Disusun oleh:
Fenty Dwi E I.
G4A020100
Pembimbing:
dr. Ferdi Wiweko Ardianto, M. Si, Med Sp.B, FICS
Kanker kolorektal adalah suatu tumor maligna yang muncul dari jaringan
epitel kolon atau rektum. Kanker pada colon dan kanker rektum sering
dikelompokkan bersama karena keduanya memiliki banyak ciri yang sama (Siegel
et al., 2020). Di Amerika Serikat, ca colorectal menempati urutan ketiga penyebab
kanker paling umum yang menyebabkan kematian. Pusat data global untuk Colon
Rectal Cancer (CRC) memperkirakan kasus kanker kolorektal akan meningkat
sebesar 60% menjadi lebih dari 2,2 juta kasus baru dan 1,1 juta kematian pada
tahun 2030. Insiden CRC dan mortalitas hingga saat ini masih meningkat pesat di
banyak negara terutama yang berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk
Indonesia (Siegel et al., 2020).
Di indonesia, CRC menempati urutan keempat untuk kanker dengan
mortalitas tertinggi dimana presentasi kasus yang terjadi sebesar 8,6% dari total
keseluruhan kasus kanker dan menempati urutan kedua terbanyak pada pria
dengan mortalitas 21.1 per 100.000 kasus kanker serta urutan kelima pada wanita
dengan mortalitas 6.9 per 100.000 kasus. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa
usia pasien kanker kolorektal di Indonesia lebih muda dibandingkan pasien kanker
kolorektal di negara maju. Lebih dari 30% kasus ditemukan pada pasien yang
berusia 40 tahun atau lebih muda, sedangkan di negara maju, pasien yang berusia
kurang dari 50 tahun kasusnya hanya sekitar 2-8 % (Sayuti dan Nouva, 2019).
Secara keseluruhan risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal adalah 1
dari 20 orang (5%). Risiko penyakit cenderung lebih sedikit pada wanita
dibandingkan pada pria. Banyak faktor lain yang dapat meningkatkan risiko
individual untuk terkena kanker kolorektal. Perubahan gaya hidup dan pola makan
yang memperngaruhi terjadinya kanker kolorektal. Kanker kolorektal juga dapat
disebabkan karena kebiasaan merokok yang merupakan salah satu risiko
terjadinya kanker kolorektal (Nishihara et al., 2015).
“THE AMERICAN SOCIETY OF COLON AND RECTAL SURGEONS
CLINICAL PRACTICE GUIDELINES FOR THE MANAGEMENT OF
COLON CANCER”
METODE
Guideline ini merupakan pembaharuan dari pedoman ca colorectal
sebelumnya pada tahun 2017. Dibandingkan dengan tahun 2017, terdapat 11 point
baru, 10 point yang diperbarui dan 2 rekomendasi yang dieksklusikan. Review
literatur menggunakan PubMed dengan kombinasi pencarian jurnal pada rentang
tanggal 8 April 2015 hingga 4 April 2021 yang menghasilkan sekitar 328 sitasi
yang termasuk dalam daftar referensi. Setiap point memiliki tingkat rekomendasi
berbeda yang dikelompokkan sesuai evidence based yang telah dilakukan. Secara
umum, setiap Guideline Praktik Klinis ASCRS diperbarui setiap lima tahun.
Tabel 1.1 ASCRS Colon Cancer Clinical Practice Guideline
Tabel 1.2 The GRADE System - Grading Recommendations ASCRS
STAGING CA COLON
11. Oophorektomi disarankan pada kasus curiga metastase ca colon pada ovarium
abnormal tetapi profilaksis oophorektomi rutin tidak dianjurkan.
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan low-quality
evidence, 1C
Pada pasien metastasis ca colon ke ovarium, oophorektomi en bloc
biasanya dilakukan sebagai bagian dari reseksi dengan tujuan kuratif. Pada
pasien dengan dugaan ca colon metastasis ovarium, oophorektomi
dikaitkan dengan manfaat survival rate menurut studi retrospektif. Dalam
situasi ini, oophorektomi bilateral biasanya perlu dilakukan bahkan jika
satu ovarium tampak sangat normal. Sedangkan pada pasien dengan
ovarium tampak normal, oophorektomi profilaksis rutin tidak
direkomendasikan. Namun, oophorectomy profilaksis harus
dipertimbangkan pada wanita dengan ca colon dengan risiko ca ovarium
herediter dan wanita pasca menopause yang hendak mengurangi risiko.
Pada ca mamae gen kanker 1 atau 2 (BRCA1/BRCA2), oophorektomi
telah dikaitkan dengan penurunan 80% risiko kanker ovarium, tuba falopi,
peritoneum dan reduksi 77% seluruh penyebab mortalitas (Arredondo et
al., 2017)
12. Pada pasien ca colon stadium lanjut, kemoterapi atau radioterapi neoadjuvant
dapat meregresi tumor dan memfasilitasi eksisi kanker lokal stadium lanjut
margin-negatif.
• Grade rekomendasi: weak recommendation berdasarkan moderate-quality
evidence, 2B
Kemoterapi dan/atau radioterapi neoadjuvant dapat
dipertimbangkan untuk memfasilitasi eksisi komplit dari ca colon stadium
lanjut. Guideline NCCN saat ini meliputi: rekomendasi pertimbangan
kemoterapi neoadjuvant menggunakan oxaliplatin untuk pasien dengan
"nodul besar" atau “ca colon stadium T4b”. Pada sistematic review tahun
2020, 6 penelitian menunjukkan kemoterapi neoadjuvant mengurangi
volume tumor pada 2/3 pasien dan regresi tumor patologis utama pada 4-
37% pasien, meningkatkan survival rate hingga 3 tahun pada responden
dibandingkan dengan non responden (94% vs 63%, p = 0,005) dan 23%
kematian lebih rendah tiga tahun pada pasien dengan tumor cT4b yang
menerima neoadjuvant dibandingkan kemoterapi ajuvan (HR 0,77, 95% CI
0,6-0,98; p = 0,04) tetapi tidak ada manfaat untuk tumor cT3 atau cT4a
(Arredondo et al., 2020). FOxTROT trial, sebuah studi prospektif dari
Inggris, menggunakan 1053 subjek acak dengan ca colon cT3-4N0-3M0
penerima kemoterapi adjuvant berbasis oxaliplatin (12 siklus) atau terapi
neoadjuvant (3 siklus) diikuti pembedahan dan kemoterapi ajuvan (9
siklus). Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan antara kelompok dengan
morbiditas pascaoperasi atau kematian. Pasien dengan kemoterapi
neoadjuvant mengalami penurunan stadium T dan N yang signifikan (p <
0,001), respons patologis lengkap berkisar 3,8% dan kecenderungan
rekurensi atau persistensi berkurang dalam dua tahun (14,0% vs 17,5%)
(Seymour et al., 2019).
Trial PRODIGE-22 berupa kolaborasi multicenter Prancis,
termasuk 104 pasien dengan ca colon cT3-4 dan/atau N2 yang diacak
untuk reseksi kuratif diikuti kemoterapi adjuvant (12 siklus) atau
kemoterapi neoadjuvant (4 siklus) diikuti pembedahan kemudian
kemoterapi ajuvan (8 siklus).142 Subyek pada neoadjuvant lebih mungkin
untuk mencapai nilai regresi tumor 1-2 (44% vs 8%, p <0,001) dan
memiliki tingkat penurunan pTNM yang signifikan. Namun, secara
keseluruhan tidak ada perbedaan terhadap survival rate (90,3% vs 90,4%)
dalam tiga tahun. Batasan PRODIGE-22 adalah overstaging klinis pada
1/3 pasien terapi adjuvant (kontrol), menunjukkan bahwa pengobatan
berlebihan mungkin telah terjadi pada neoadjuvant (eksperimental).
Sementara FOxTROT dan PRODIGE 22 tidak menunjukkan perbedaan
survival rate dalam terapi kemo neoadjuvant, dimana analisis retrospektif
National Cancer Database (NCDB) 2018 menemukan peningkatan
survival rate tiga tahun (74% vs 66%, p = 0,002) di antara pasien dengan
ca colon cT4b yang diobati dengan neoadjuvant dibandingkan dengan
kemoterapi adjuvan (Karoui et al., 2020). Tidak terdapat peningkatan
survival rate di antara pasien NCDB dengan cT3 atau cT4a terkait
penggunaan terapi neoadjuvant. Terapi radiasi neoadjuvant tidak banyak
digunakan baik studi center atau NCDB menyimpulkan bahwa radiasi
neoadjuvant untuk ca colon cT4 dapat dikaitkan dengan penurunan
stadium tumor, tingkat reseksi R0 yang superior dan peningkatan overall
survival rate (Hawkins et al., 2019).
13. Ca colon sinkron dapat diobati dengan dua cara: reseksi segmental atau
colectomy subtotal.
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan moderate-
quality evidence, 1B
Istilah ca colon sinkron digunakan untuk menggambarkan situasi
ca colon primer kedua yang didiagnosis pada waktu yang sama atau
hingga 12 bulan setelah deteksi ca colon. Ca sinkron dilaporkan terjadi
pada 4-5% pasien dan dikaitkan dengan penurunan overall survival rate.
Ca sinkron di segmen colon yang sama diangkat dengan colectomy
segmental, sedangkan di segmen colon yang terpisah dapat dilakukan
reseksi extended atau dua segmental. Sedangkan reseksi colon extended
tidak langsung berkaitan dengan peningkatan morbiditas atau peningkatan
survival rate (Bos et al., 2018). Ketika ca colon dikaitkan dengan penyakit
lainnya (seperti chronic ulcerative colitis atau nonpolyposis hereditary
colorectal ca syndrome), tingkat reseksi harus mempertimbangkan etiologi
yang mendasarinya (Herzig et al., 2017).
15. Untuk pasien dengan “polip ganas”, baik eksisi endoskopik atau reseksi
onkologis merupakan pilihan tepat tergantung pada hasil Histo PA dan
kelengkapan eksisi
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan moderate-
quality evidence, 1B
Pasien dengan polip ganas biasanya berkembang dari polip
adenomatosa atau ca stadium T1 yang dapat diobati dengan eksisi
endoskopik atau reseksi onkologis. Teknik polipektomi kolonoskopi
konvensional, reseksi endoskopik, diseksi endoskopik submukosa, atau
kombinasi endoskopi dan laparoskopi seluruhnya telah digunakan dengan
aman dan berhasil terutama dalam menghindari colectomy pada pasien
risiko rendah polip ganas. Tindakan awal dengan eksisi endoskopik
sedikit-demi sedikt sampai komplit biasanya dipilih karena bersifat kuratif
pada >80% pasien. Beberapa faktor histopatologis yang menjadi
pertimbangan ketika eksisi endoskopik atau colectomy antara lain margin
eksisi, kedalaman invasi submukosa (SM) sel kanker, derajat diferensiasi
sel, invasi limfovaskular dan perineural (LVI dan PNI), dan jumlah tumor
budd (Richards et al., 2018).
Definisi eksisi polipektomi margin negatif masih menjadi
perdebatan, dengan laporan sebelumnya menyebutkan batas margin ≥
2mm. Riview penelitian single center di AS tahun 2012 pada 143 pasien
dengan polip ganas yang menjalani eksisi endoskopi dan colectomy
ditemukan sisa kanker pada lokasi polipektomi atau KGB regional pada
0%, 9%, 16% dan 5%, 21% dan 7% pasien dengan margin eksisi
polipektomi 1mm, <1mm, atau tak ditentukan. Sebuah analisis di Inggris
tahun 2013 dari database NORCCAG (NORthern Colorectal Cancer Audit
Group) dijelaskan bahwa margin eksisi polip ganas pada 0 dan > 0mm
menghasilkan sisa kanker masing-masing 34% dan 5% di lokasi
polipektomi atau KGB regional (Gill et al., 2013). Studi di Skotlandia
tahun 2018 pada pasien dengan eksisi polip komplit ditemukan memiliki
sisa kanker di lokasi polipektomi atau KGB regional masing-masing 7%
dan 7%, sedangkan pada pasien dengan eksisi polip non komplit, sisa
kanker di lokasi polipektomi atau KGB regional terjadi sebesar 29% dan
9%. Studi di Skotlandia ini juga menunjukkan bahwa margin eksisi polip
≥1mm tidak mengurangi risiko sisa kanker pasca polipektomi bila
dibandingkan dengan margin negatif 0mm (Richards et al., 2018).
Kedalaman invasi submukosa merupakan faktor prognostik penting
untuk polip ganas. Kedalaman ini dapat dikelompokkan menjadi invasi
superfisial, intermediate atau deep invasion (yaitu submukosa 1, 2 atau 3)
atau dengan kedalaman submukosa terukur (seperti <500, 500–1000, atau
>1000 mikrometer). Dalam sistematik review tahun 2013, invasi SM 1, 2,
dan 3 dikaitkan dengan metastasis KGB masing-masing 3,4%, 8,5% dan
22,6% kasus. Studi tambahan menunjukkan nilai prognostik buruk pada
SM3/ kedalaman invasi >1000 mikrometer dan mendukung reseksi
onkologis bila diperlukan (Bosch et al., 2013).
Klasifikasi Haggitt dapat digunakan untuk stratifikasi risiko
metastasis KGB atau outcome buruk terkait polip ganas. Pada tahun 1985,
Haggitt melaporkan bahwa ketika invasi ganas terbatas pada kepala, leher
atau tangkai (level 1, 2 atau 3) pada polip bertangkai, tidak akan terjadi
metastasis KGB dan hanya satu dari 101 pasien (1%) meninggal karena ca
colorectal. Akibatnya, secara umum disebutkan bahwa eksisi polip ganas
bertangkai dengan invasi level 1-3 direkomendasikan, asalkan tidak ada
faktor merugikan lainnya (seperti LVI, diferensiasi buruk, dll), atau pada
pasien dengan invasi Haggitt level 4 dengan sel-sel di submukosa sebagai
dasar polip bertangkai, tujuh dari 28 pasien (25%) didiagnosis dengan
metastasis KGB atau sistemik. Studi selanjutnya mencatat metastasis KGB
pada 13% pasien dengan polip ganas "level 4" yang mendukung perlunya
colectomy. Namun, saat ini invasi SM dan level Haggitt merupakan dua
dari banyak variabel yang perlu dipertimbangkan dalam polip ganas risiko
rendah atau tinggi dan ketika eksisi endoskopik atau reseksi onkologis
diperlukan (Brown et al., 2016).
Sistematic review tahun 2013 dan meta analisis pasien ca
colorectal pT1 yang menjalani reseksi onkologis mengungkapkan bahwa
11% kasus memiliki keterlibatan KGB dan pada LVI, kedalaman invasi
submukosa ≥ 1mm, diferensiasi sel kanker buruk dan adanya tumor
budding dikaitkan dengan metastasis KGB di 22%, 12%, 24% dan 21%
kasus. Polip bertangkai atau polip sessile risiko rendah dapat didefinisikan
sebagai seseorang dengan kanker berdiferensiasi baik atau sedang tanpa
LVI atau PNI, atau tidak ada tumor budding atau reseksi margin negatif,
dan kedalaman invasi submukosa <1mm. Eksisi endoskopik umumnya
dianggap sebagai tindakan definitif untuk polip ganas ini karena risiko sisa
kanker di dinding colon atau KGB dapat diabaikan. Atau, ketika polip
ganas bertangkai/sessile mengandung sel berdiferensiasi buruk, margin
positif atau kedalaman invasi submukosa >1 mm, reseksi onkologis
segmental umumnya dapat dilakukan, karena risikon rekurensi pada
dinding colon atau KGB regional sangat tinggi (Shaukat et al, 2020).
16. Untuk pasien ca colon sisi kiri dengan obstruksi dan masih memungkinkan
untuk disembuhkan, pilihan dekompresi dengan stent endoskopik, diverting
kolostomi dengan interval colectomy atau pengobatan awal dengan colectomy
segmental perlu disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien dan
expertise yang dimiliki institusi lokal.
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan moderate-
quality evidence, 1B
Sebuah sistematic review dan metaanalisis tahun 2020
memaparkan hasil dari 27 penelitian pada sekitar 4000 pasien dengan ca
colon sisi kiri disertai obstruksi, pemasangan stent awal sebagai tindakan
kuratif lebih sering digunakan pada anastomosis primer, menyebabkan
penrunan morbiditas dan mortalitas setidaknya 30 hari namun tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam 3, 5 atau overal survival rate
(Spannenburg et al., 2020). Metaanalisis tahun 2017 pun menunjukkan 8
randomized controlled trial yang membandingkan pemasangan stent
sebagai bridging operasi dengan batasan reseksi emergency pada ca colon
sisi kiri masing-masing menurunkan angka mortalitas 60 hari sebesar 9,6%
dan 9,9% (p > 0,05), morbiditas 60 hari sebesar 34% dan 51% (p = 0,02),
tingkat kebutuhan -ostomy sementara 34% dan 51% (p <0,001), dan
tingkat anastomosis primer 70% dan 54% (p = 0,04) (Arezzo et al., 2017).
Selanjutnya, dalam analisis tahun 2017 ini, kelompok reseksi emergency
membutuhkan -ostomy permanen lebih sering (35% vs 22%). Meskipun
demikian, data awal menunjukkann reseksi segmental lebih dipilih dengan
risiko anastomosis non diverting rendah dimana temporary diverting
ileostomy diterima lebih baik oleh pasien maupun ahli bedah (Boland et
al., 2019).
Sementara pemasangan stent yang berhasil telah dilaporkan pada
77-81% pasien dengan tingkat perforasi 2-9%. Pasien dengan perforasi
akibat stent memiliki peningkatan risiko rekurensi ca lokoregional.
Diverting colostomy dapat menjadi alternatif dari pada pemasangan stent
untuk pasien dengan ca colon sisi kiri yang mengalami obstruksi. Dalam
population-based cohort studies di Belanda baru-baru ini, pasien yang
dengan ca colon sisi kiri disertai obstruksi yang menjalani diverting
ostomy atau pemasangan stent dekompresi awal, pasien akan lebih sering
dilakukan reseksi laparoskopi kemudian pada segmen colon yang
mengalami obstruksi (57% vs 9%, p <0,001), memiliki lebih banyak
anastomosis primer (88% vs 41%, p <0,001), mereduksi mortalitas hingga
90 hari (1,7% vs 7,2%, p = 0,03), peningkatan signifikan hingga 3 tahun
dan overall survival rate (79% vs 73% (95% CI 0,20-0,65)) serta lebih
sedikit stoma permanen (22% vs 42%, p <0,0010). Pada akhirnya
beberapa faktor seperti kondisi pasien, pengalaman ahli bedah, expertise
endoskopi yang tersedia, dan informed-desicion making pasien terhadap
opsi perawatan optimal ca colon sisi kiri obstruktif (Balciscueta et al.,
2020).
17. Untuk pasien ca colon sisi kanan atau transversal dengan obstruksi dan
memungkinkan disembuhkan, colectomy inisial atau inisial endoskopi dengan
stent dekompresi melalui interval colectomy dapat dilakukan
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan low-quality
evidence, 1C
Untuk pasien ca colon sisi kanan atau transversum dengan
obstruktif, reseksi segmental dengan anastomosis ileocolica dapat
dilakukan dengan aman pada sebagian besar kasus. Pembuatan
anastomosis primer tergantung pada kondisi umum pasien saat reseksi dan
tidak adanya faktor lain yang mengindikasikan pemasangan stoma. Disaat
sebagian besar penelitian telah mengevaluasi Stenting as a Bridge To
Surgery (SBTS) pada ca colon sisi kiri dengan obstruksi, studi retrospektif
terbaru menunjukkan pasien dengan lesi sisi kanan dapat dipasang stent
dengan aman dan efektif. Penempatan stent sisi kanan yang berhasil
dilaporkan sebesar 87-96% kasus. Di Jepang, studi database nasional
menyatakan 1500 pasien berhasil menjalani colectomy kanan emergency
atau SBTS, dimana kelompok SBTS lebih sering menggunakan
laparoskopi (50% vs 25%, p <0,001), pembuatan stoma lebih sedikit (1,7%
vs 5,1%, p <0,001), dan mengalami penurunan length of stay (13 vs15
hari, p <0,001.197 Sistematic review dan metaanalisis tahun 2020
menunjukkan colectomy emergency atau SBTS untuk ca colon sisi kanan
dengan obstruksi menunjukkan penambahan 5 tahun bebas penyakit dan
overall survival rate diantara kelompok penelitian (Ji et al., 2017).
18. Dalam kondisi perforasi atau impending perforasi colon, reseksi dilakukan
sesuai prinsip onkologi dengan low threshold untuk prosedur bertahap bila
memungkinkan.
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan low-quality
evidence, 1C
Beberapa studi retrospektif telah membandingkan outcome antara
ca colon perforasi dan non perforasi. Secara umum, pasien ca colon
dengan perforasi cenderung memiliki anastomosis primer dan angka
morbiditas dan mortalitas tinggi pasca operasi. Selain itu, pasien dengan
perforasi memiliki 5-year disease survival jauh lebih rendah dibanding
jenis ca colon lain namun memiliki tingkat survival rate lebih tinggi
dibanding carcinomatosis metachronous peritoneal. Pasien dengan
perforasi bebas memiliki survival rate lebih buruk daripada pasien dengan
perforasi biasa. Dalam kasus perforasi tanpa keterlibatan colon proksimal
akibat obstruksi tumor, reseksi dilakukan mengikuti prinsip-prinsip
onkologi yang telah ditetapkan. Selain itu, segmen yang mengalami
perforasi harus di repair atau di reseksi dengan atau tanpa diversi.
Pembuatan anastomosis (dengan atau tanpa diversi proksimal) dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif daripada pembuatan kolostomi pada
pasien tertentu dengan kontaminasi minimal, kualitas jaringan sehat dan
klinis stabil. Alternatifnya, pada ca colon dengan perforasi bebas atau
tidak yang diikuti abses atau peritonitis, reseksi onkologis dengan end
ostomy harus dipertimbangkan. Penggunaan stent logam
dikontraindikasikan dalam setting ca colon dengan perforasi (Boeding et
al., 2021).
19. Pendarahan inferior GI tract akut pada ca colon yang baru didiagnosis harus di
tatalaksana awal dengan pendekatan nonsurgical jika memungkinkan
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan low-quality
evidence, 1C
Anemia sekunder akibat perdarahan kronis sering terjadi pada
pasien dengan ca colon meskipun biasanya tidak mengubah perkiraan dan
pendekatan tindakan operasi. Namun, perdarahan inferior GI tract akut
yang masif merupakan komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa.
Dalam kasus perdarahan GI yang sumbernya tidak diketahui, resusitasi
pasien diikuti upaya lokalisasi perdarahan dapat dilakukan. Pilihan untuk
lokalisasi praoperasi dapat dilakukan dengan cara: imaging radionuclide,
CT angiografi, angiografi konvensional dan kolonoskopi. Dalam studi
patologi perdarahan GI, CT angiografi telah terbukti unggul dibanding
radionuclide (sensitivitas masing-masing 85% dan 20-60%). Angiografi
konvensional dapat mendeteksi perdarahan pada 40-90% pasien dan dapat
dikombinasikan dengan embolisasi angiografi yang dapat menghentikan
perdarahan pada 70-90% pasien. Colonoskopi cito memberi gambara 20-
40% pasien dengan perdarahan GI yang inferior sedangkan angiografi,
lebih memiliki keunggulan diagnostik dan terapeutik. Apabila nonsurgical
terapi gagal mengontrol perdarahan, intervensi pembedahan umumnya
diperlukan, seperti reseksi onkologi yang dilakukan sesuai dengan prinsip-
prinsip bedah yang telah ditetapkan (Liska et al., 2017).
21. Perawatan pasien ca colon stadium IV yang dapat direseksi harus bersifat
individualized dan berdasarkan diskusi multidisiplin komprehensif
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan moderate-
quality evidence, 1B
Ketika mempertimbangkan treatment untuk pasien stadium IV,
penting untuk mengklasifikasikan penyakit pasien termasuk jenis ca
metastatik yang dapat direseksi secara langsung atau termasuk ca yang
berpotensi direseksi serelah mengalami regresi post kemoterapi. Konversi
menjadi lesi yang resectable dijelaskan menggunakan regimen kemoterapi
standar melalui penambahan bevacizumab atau cetuximab. Ketika ca
metastasis dianggap dapat direseksi atau berpotensi dapat direseksi,
reseksi tumor primer harus dipertimbangkan. Secara umum, pasien yang
sehat secara medis dengan metastasis liver dan/atau paru yang bersifat
resectable akan lebih baik jika dilakukan reseksi kuratif dari metastasis
tersebut. Ketetapan dari konferensi multidisiplin terkait panduan
tatalaksana ditujukkan untuk meningkatkan penggunaan metastasektomi
sehingga mampu meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan ca
colorectal stadium IV (Folprecht et al., 2014)
22. Pasien ca colon metastase liver yang dapat direseksi dapat diobati dengan
kemoterapi neoadjuvant diikuti reseksi onkologi atau up-front surgery
• Grade rekomendasi: weak recommendation berdasarkan moderate-quality
evidence, 2B
Peran kemoterapi sistemik pada setting metastasis liver dibahas
dalam EORTC 40983, yaitu pada > 4 pasien ca colon metastasis liver yang
resectable dipilih salah satu operasi liver saja (yaitu, tanpa kemoterapi
neoadjuvant atau adjuvant) atau dilakukan kemoterapi hingga 6 siklus
neoadjuvant 5-fluorouracil, leucovorin, dan oxaliplatin (FOLFOX),
kemudian metastasektomi, dan kemudian menjalani 6 siklus kemoterapi
adjuvant FOLFOX. Komplikasi reseksi liver meningkat pada kelompok
yang di kemoterapi (25% vs 16% (p = 0,04)). Selama tiga tahun masa
follow up, ditemukan progres survival rate sekitar 7% lebih baik pada
kelompok terapi kemo perioperatif dibandingkan dengan kelompok
operasi saja (35% vs 28%, p = 0,04). Pada rerata follow up dalam 8,5
tahun (interkuartil 7,6-9,5), 5-year overall survival rate tidak memiliki
perbedaan signifikan antara kelompok perlakuan (51% bagi penerima
kemoterapi perioperatif dan 48% bagi yang hanya menjalani operasi saja).
Sejalan dengan adanya peningkatan free survival rate pada kelompok
kemoterapi perioperatif, para peneliti EORTC merekomendasikan
algoritma pengobatan ini. Pada pedoman NCCN saat ini, inisial operatif
atau kemoterapi neoadjuvant dilanjutkan operasi dan diikuti terapi
adjuvant menjadi algoritma yang direkomendasikan untuk pasien dengan
ca colon metastasis liver ganas atau metachronous yang dapat direseksi
(Tomasello et al., 2017).
23. Pasien ca colon metastase liver yang awalnya tidak dapat dioperasi harus
dipertimbangkan untuk kemoterapi neoadjuvant agar berubah menjadi
resectable dan dapat dioperasi
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan moderate-
quality evidence, 1B
Sebuah sistematic review dan metaanalisis tahun 2017 pada 11
studi menunjukkan bahwa oxaliplatin (FOLFOX) atau irinotecan
(FOLFIRI) sebagai kemoterapi neoadjuvant dikombinasikan dengan
bevacizumab secara efektif dapat mengonversi 39% (27–53%) pasien ca
colon yang awalnya tidak dapat direseksi dalam hal ini ca colon metastasis
liver menjadi dapat direseksi dan dari pasien yang perubahan ini, nilai
reseksi R0 dicapai pada angka 28% (18-41%). Dalam trial FIRE-3,
dilaporkan pada tahun 2018 pasien dengan tumor colorektal metastatik
liver dinilai sebelum dan sesudah pengobatannya dengan irinotecan-based
chemoterapy (FOLFIRI) dan bevacizumab atau cetuximab (untuk ca tipe
wild-KRAS), dan resectability meningkat dari 22% menjadi 53% (p
<0,001).225 Sebuah sistematic review tahun 2020, dari 20 trial telah
menunjukkan bahwa penggunaan neoadjuvant dari FOLFOX atau
FOLFIRI atau kombinasi dari 5-FU, oxaliplatin, dan irinotecan
(FOLFIRINOX) ditambah bevacizumab atau cetuximab (untuk ca tipe
wild-KRAS) akan menghasilkan tingkat respons 55-85%, dan konversi
menjadi ca colon resectable sebesar 10-61% kasus, dan tingkat reseksi R0
hingga setinggi 54% (Bolhuis et al., 2020).
25. Pada pasien dengan ca colon dan metastasis liver yang dapat direseksi, sebuah
operasi "kombinasi" umumnya direkomendasikan jika kompleksitas relatif
rendah dan operasi sekuensial atau "bertahap" umumnya direkomendasikan
untuk kasus dengan kompleksitas yang lebih tinggi
• Grade rekomendasi: weak recommendation berdasarkan moderate-quality
evidence, 2B
Pasien dengan ca colon stadium IV yang dapat direseksi terbatas
pada metastasis liver harus menjalani reseksi pada keduanya baik tumor
primer maupun fokus metastasis dimana urutan reseksi menjadi
disesuaikan setiap individual pasien, tetapi penting bahwa prosedur
dilakukan di senter dengan expertise yang mampu menangani operasi
colon dan reseksi liver. Pada sebuah studi retrospektif tahun 2003 oleh
Martin et al, disebutkan bahwa reseksi kombinasi (n = 134) bersifat kurang
kompleks (yaitu, lebih banyak colectomy sisi kanan dan lesi liver lebih
kecil serta lebih sedikit) daripada reseksi bertahap (n = 106) dengan
morbiditas secara keseluruhan lebih rendah (49% vs 67%, p<0,003) dan
penurunan total length of stay (10 vs 18 hari, p <0,001).
Sebuah studi retrospektif multicenter berikutnya oleh Reddy et al
yang mencakup 475 tahap dan 135 reseksi kombinasi colorectal dan liver
menunjukkan bahwa penambahan reseksi colorectal ke hepatektomi minor
tidak menyebabkan peningkatan morbiditas yang parah (12,5% vs 14,1%)
tetapi penambahan reseksi colorektal ke hepatektomi mayor berakibat
peningkatan morbiditas parah dibandingkan dengan hanya reseksi liver
mayor saja (36,1% vs 15,1%, p <0,05). Perlu diketahui pula bahwa
hepatsektomi mayor adalah sebuah prediktor independen morbiditas berat
(HR 3.4, p = 0,008).231 Sebuah studi NSQIP pada tahun 2015
menunjukkan bukti yang mendukung operasi kombunasi untuk
kompleksitas yang relatif rendah dan operasi bertahap untuk kasus yang
lebih kompleks. Pada penelitian tersebut, perkiraan morbiditas pasca
operasi kumulatif berkisar dari serendah 25% untuk colectomy berisiko
rendah (misal colectomy kanan) dikombinasikan dengan reseksi liver
risiko rendah (misal hepatektomi kiri) mencapai survival rate setinggi
39%. Untuk colectomy risiko tinggi (misal colectomy total abdomen)
dikombinasi dengan reseksi liver risiko tinggi (misalnya, hepatektomi
kanan).
Sementara itu, dalam studi retrospektif lain yang lebih baru
disebutkan bahwa termasuk 145 simultan dan 53 colorectal bertahap dan
reseksi liver, komplikasi parah (kelas Calvien-Dindo III-IV) terjadi pada
15% dan 19% pasien (p = 0,51). Dalam analisis subkelompok, pasien yang
menjalani hepatektomi mayor simultan atau bertahap 63% dan 56%
mengalami komplikasi pasca operasi tingkat apapun (p = 0,70), termasuk
diantaranya 23% dan 18% yang parah (nilai p tidak disediakan),
menunjukkan bahwa reseksi simultan mungkin lebih aman bahkan untuk
kasus yang lebih kompleks ketika dilakukan di pusat dengan keahlian yang
sesuai (Shubert et al., 2015).
26. Pada pasien dengan ca colon metastasis paru yang dapat direseksi, reseksi lesi
paru harus dipertimbangkan karena dapat memperpanjang kelangsungan hidup
• Grade rekomendasi: weak recommendation berdasarkan moderate-quality
evidence, 2B
Sebuah studi retrospektif tahun 2019 dilakukan pada 345 pasien
dengan ca colorectal metastasis paru yang menjalani reseksi paru anatomis
atau non anatomis menunjukkan rerata overall survival rate selama 101
bulan dengan hasil terbaik pada pasien dengan tipe kanker wild-KRAS
yang menjalani reseksi anatomis. Sebuah studi retrospektif nasional di
Jepang terhadap 553 pasien yang menjalani metastasektomi paru
dilaporkan bebas rekurensi ca selama lima tahun post operasi dengan
angka kejadian 49% dan 36% sementara survival rate lima tahun kedepan
sebesar 80% dan 68% setelah menjalani segmentektomi (n = 98) atau
reseksi segmental (n = 455). Dalam studi registrasi nasional di spanyol
(2008–2010), di mana terdapat berbagai jenis eksisi yang dilakukan pada
522 pasien, rerata kelangsungan hidup bebas penyakit dan spesifik
penyakit masing-masing adalah 28 dan 55 bulan, dengan hasil terbaik pada
pasien yang menjalani reseksi besar dengan limfadenektomy (Renaud et
al., 2019).
Pada tahun 2015 di Jepang, studi retrospektif single-center pada 94
pasien dilaporkan 5-year survival rate sebesar 45%, dengan tingkat
kelangsungan hidup lima tahun yang jauh lebih baik untuk colon
dibandingkan dengan metastasis rektal (62% vs 24%, p = 0,03) tetapi
kekambuhan kanker (lokal atau jauh) pada 69% pasien berada pada
median 11,5 (0–50) bulan. Studi kohort dari Pulmonary Metastasectomy in
Colorectal Cancer (PulMiCC) terkait Ca colorectal yang dilakukan
metastasektomi atau tanpa metastasektomi rerata survival rate nya masing-
masing adalah 3,5 (3,1-6,6) tahun dan 3,8 (3,5–4,6) tahun, mendukung
pernyataan bahwa pengobatan nonsurgical perlu dipertimbangkan pula.
Stereotactic body radiation therapy (SBRT) juga dapat dipertimbangkan
dalam kasus ini meskipun untuk efikasinya lebih minimal daripada reseksi
hal tersebut terkait dengan progression-free dan overall survival jika
dibandingkan dengan metasektomi (Milosevic et al., 2020).
27. Pada pasien ca colorectal yang dapat direseksi metastasis peritoneal, operasi
sitoreduktif dengan atau tanpa kemoterapi intraperitoneal perlu
dipertimbangkan dalam pertimbangan multidisiplin dengan keahlian yang
sesuai
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan moderate-
quality evidence, 1B
Pada pasien dengan ca colon stadium IV, sebanyak 25% akan
mengalami metastasis yang terbatas pada peritoneum. Pada pasien ini,
pilihan pengobatan awal termasuk kemoterapi sistemik dan/atau reseksi ca
peritoneal dengan atau tanpa kemoterapi intraperitoneal. Terapi sistemik
menggunakan agen kemoterapi modern dan terapi biologis yang
ditargetkan telah meningkatkan outcome pasien dengan karsinomatosis
terkait ca colorectal, yang saat ini memiliki rata-rata survival rate 16-24
bulan. Sayangnya, overall survival rate dan 5 year free disease post
kemoterapi dengan oksaliplatin sistemik saja memiliki outcome hanya <
5%, dan untuk penambahan bevacizumab ini dapat memberi manfaat
minimal (Leung et al., 2017).
Pendekatan bedah untuk ca colorectal dengan metastasis peritoneal
berupa kombinasi operasi sitoreduktif dalam penambahan hipertermik
intraperitoneal mitomycin-C atau oxaliplatin dengan atau tanpa
hipertermia. Dengan pendekatan ini, >500 pasien yang dirawat di Prancis,
5 year overall dan disease free survival nya masing-masing berkisar 27%
dan 10%, dengan proporsi kelangsungan hidup berbanding terbalik dengan
tingkat kejadian penyakit peritoneal seperti dijelaskan oleh Peritoneal
Cancer Index (PCI). Studi lain telah melaporkan kelangsungan hidup rata-
rata berkisar 22-63 bulan, dan overall survival rate lima tahun setelahnya
sekitar 19-51% pasien dengan pendekatan ini. Dalam randomize trial
pertama operasi sitoreduktif dan kemoterapi intraperitoneal vs kemoterapi
berbasis oksaliplatin sistemik, perpanjangan survival rate dua dan lima
tahun masing-masing 54% dan 38% (p = 0,04) dan 33% dan 4% p = 0,02)
(Cashin et al., 2016).
Kelengkapan sitoreduksi bedah juga berhubungan dengan overall
survival rate setelah kemoterapi intraperitoneal hipertermik (hyperthermic
intraperitoneal chemotherapy/ HIPEC). Pada tahun 2021, hasil uji coba
multicenter dari PRODIGE-7 yang membandingkan sitoreduksi tunggal
(n = 132) vs sitoreduksi dan HIPEC (n = 133) menimbulkan keraguan
tentang nilai HIPEC yang memberikan tingkat efek samping lebih tinggi
namun tidak ada manfaat terkait kelangsungan hidup secara keseluruhan
(41-42 bulan). Konsensus Chicago tahun 2020 tentang manajemen ca
colorectal metastasis peritoneal mengakui hasil PRODIGE-7 dan
merekomendasikan terapi kemosistemik pra operasi (± imunoterapi pada
kanker MSI-H) untuk kasus risiko tinggi, operasi sitoreduktif inisial untuk
kasus risiko rendah dengan atau tanpa penggunaan kemoterapi
intraperitoneal (Chicago Consensus working group, et al., 2020).
28. Pada pasien ca colon stadium IV yang tidak dapat disembuhkan dan ca colon
primer asimtomatik, kemoterapi sistemik direkomendasikan sebagai
pengobatan awal
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan moderate-
quality evidence, 1B
Untuk pasien ca colon stadium IV yang tidak dapat disembuhkan
dan tumor colon primer asimtomatik, terdapat laporan yang saling
bertentangan terkait pemilihan reseksi tumor primer. Pernyataan kuat yang
mendukung pendekatan awal non-operatif mungkin didasarkan pada fase
prospektif multicenter NSABP C-10 trial, yang mengevaluasi pasien
dengan ca colon atau tumor colon primer utuh maupun metastasis yang
tidak dapat direseksi dan dirawat dengan kemoterapi FOLFOX atau
bevacizumab. Dalam penelitian ini, setelah follow up selama 21 bulan,
sebanyak 14% pasien memiliki morbiditas utama berhubungan dengan
tumor colon primer dan 12% memerlukan tindakan operasi, dimana paling
sering dilakukan pada kasus obstruksi. Selain itu, analisis data dasar SEER
(1998–2013) dari 4692 pasien dengan ca colorectal stadium IV (74%
colon dan 26% rectal) tanpa rencana operasi pada akhirnya diperlukan
pula pada 12% pasien. Dalam analisis SEER ini, kemungkinan pasien
memerlukan operasi yang tak direncanakan antara 6-12 bulan, 12 dan 24
bulan, atau >24 bulan berturut-turut 8,1%, 6,7%, dan 5,3% dengan jenis
kelamin perempuan, tumor colon sisi kiri dan usia lebih muda merupakan
faktor risiko untuk operasi tak direncanakan (Lorimer et al., 2019).
Selanjutnya, analisis multivariat dari National Cancer Database
tahun 2017 yang mencakup penyesuaian efek potensial cofounder,
menunjukkan tidak adanya perbedaan survival rate pasien antara reseksi
tumor primer asimtomatik dibandingkan dengan hanya kemoterapi.
Akhirnya, pada tahun 2021, hasil uji coba JCOG1007-iPACS, di mana 165
pasien ca colorectal stadium IV dan tumor primer asimtomatik secara
random dilakukan tindakan kemoterapi saja (84 pasien) atau Primary
Tumor Resection (PTR) ditambah kemoterapi (81 pasien) dilaporkan.
Dengan rata-rata follow up 22 bulan, overall survival rate rata-rata adalah
25,9 bulan (95% CI 19,9-31,5) pada PTR ditambah kemoterapi dan 26,7
(95% CI 21,9–32,5) pada kelompok kemoterapi saja (HR 1,10; 95% CI
0,76-1,59; p = 0.69). Sebaliknya, bukti yang mendukung operatif di awal
relatif lemah dan berasal dari tahun 2016 berupa analisis studi retrospektif
data provinsi Kanada, dan meta analisis tahun 2019 yang mencapai
kesimpulan reseksi paliatif tumor primer dikaitkan dengan peningkatan
survival rate dibandingkan hanya kemoterapi tanpa peningkatan
morbiditas yang signifikan (Kanemitsu et al., 2021)
Bukti yang mendukung terkait reseksi awal tumor primer dapat
diperoleh dari analisis tahun 2018 dimana 8 penelitian termasuk dalam
database ARCAD yang menunjukkan peningkatan progres kesembuhan
(9,7 vs 7,9 bulan, HR 1,31 (1,19-1,44) dan kelangsungan hidup secara
keseluruhan (22,2 vs 16,4 bulan, HARI 1,60 (1,43-1,78)) pada pasien yang
menjalani reseksi tumor colon primer. Dalam analisis ARCAD ini,
mayoritas pasien ca colon menerima oxaliplatin atau kemoterapi sistemik
berbasis irinotecan, sebagian besar juga diobati dengan terapi antibodi
tertentu, tetapi spesifik disebutkan seberapa sering tumor colon utama
sebenarnya tanpa gejala. Keterbatasan kembali hadir dalam analisis NCDB
tahun 2018 (2004–2012) yang menunjukkan peningkatkan overall survival
rate (22 vs 13 bulan) pada kelompok reseksi tumor primer. Publikasi
terbaru menyebutkan bahwa operasi awal dalam setting seperti demikian
diputuskan atas dasar : uji coba multicenter prospektif Korea tahun 2020
dari 48 pasien yang diacak untuk reseksi primer vs pasien yang hanya
menerima kemoterapi. Kemudian diungungkapkan bahwa tingkat survival
rate spesifik ca selama 2 tahun sebesar 72% pada kelompok dengan
reseksi dan 47% pada kelompok dengan kemoterapi (p = 0,05) dimana
peningkatan relevan secara klinis tetapi secara statistik tidak signifikan
secara keseluruhan kelangsungan hidup (69% vs 45%, p = 0,06), masing-
masing. yang utama tingkat komplikasi terkait tumor adalah 23% pada
kelompok terapi kemo dan komplikasi pasca operasi berkembang pada
lima pasien (19%; 4% mayor) setelah reseksi colon. (Simillis et al., 2019).
Namun, sementara perlu dicatat bahwa uji coba dihentikan lebih
awal karena tidak mencukupi pendaftaran dan bahwa 4 dari 48 pasien
yang terdaftar hilang untuk ditindaklanjuti. Jadi, dengan bukti yang
tersedia saat ini, meskipun argumen dapat dibuat mendukung perawatan
bedah awal untuk pasien ini, kasus yang lebih kompleks dapat dibuat
untuk: kemoterapi awal, evaluasi respon, estimasi prognosis dan diskusi
ulang dalam multidisiplin pengaturan tersebut. Hasil uji klinis prospektif
yang sedang berlangsung (CAIRO4 dan GRECCAR 8) sedang ditunggu-
tunggu memberikan data tambahan untuk memandu pengambilan
keputusan dalam hal ini pasien.
29. Pada pasien ca colon dengan obstruksi dan menimbulkan metastasis dalam,
endoskopi untuk pemasangan stent atau kolostomi lebih direkomendasikan
daripada colectomy ketika harapan hidup kurang dari satu tahun.
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan moderate-
quality evidence, 1B
Dalam pengaturan paliatif, dekompresi stent endoskopik pada ca
colon obstruksi lebih dipilih daripada colectomy di fase awal karena telah
terbukti menghasilkan penurunan angka kematian, penggunaan -ostomy,
dan interval untuk memulai kemoterapi, tanpa adanya perbedaan tingkat
survival rate. Dibandingkan dengan pasien tanpa metastasis peritoneal,
pasien ca colon metastasis peritoneum lebih kecil kemungkinannya untuk
berhasil dalam penempatan penggunaan stent colon dan berisiko
mengalami komplikasi lebih tinggi. Stenting endoluminal dalam setting
pasien paliatif memiliki durasi patensi rata-rata 106 (68–288) hari dan
tingkat patensi masing-masing dalam 1, 6 dan 12 bulan sebesar 69%, 54%,
dan 50%. Ketika tumor yang tumbuh ke dalam lumen colon dan
mengakibatkan obstruksi berulang, penempatan stent telah terbukti aman
dan efektif pada mayoritas pasien (Finlayson et al., 2016).
Sebuah studi kohort observasional menilai hasil dari 345 pasien ca
colon membutuhkan rawat inap darurat untuk ca colorectal obstruktif
dengan -ostomy atau pemasangan stent tanpa rencana reseksi lebih lanjut.
Pasien yang dirawat dengan stent secara signifikan lebih kecil
kemungkinannya untuk mengalami peningkatan waktu inap atau length of
stay dan lebih mungkin untuk dipulangkan ke tempat tinggal pasien.
Tingkat rawat inap kembali adalah serupa untuk kedua kelompok, seperti
halnya operasi kembali pada operasi ulang pada 90 hari atau satu tahun
lebih sering diperlukan dalam kelompok pasuen dengan pemasangan stent.
Berkaitan dengan bevacizumab pada pasien yang dirawat dengan stent
endoluminal, sebuah studi meta-analisis yang diterbitkan pada tahun 2014
menunjukkan tingkat perforasi usus lebih tinggi pada pasien yang
pengobatannya menggunakan bevacizumab (12,5%) dibandingkan dengan
hanya kemoterapi (7%), tetapi studi retrospektif yang terbaru telah
menunjukkan tidak adanya peningkatan di antara kasus perforasi pada
pasien dg stent bevacizumab pasien yang dirawat (Abelson et al., 2017;
Lee et al., 2019).
30. Pada pasien ca colon stadium II dengan Histo PA mikrosatelit stabil, disertai
obstruksi, perforasi, terdapat keterlibatan <12 KGB pada spesimen reseksi,
diferensiasi buruk, invasi limfovaskular, invasi perineural, atau tumor budd
tingkat tinggi, kemoterapi adjuvant dapat menjadi pilihan
• Grade rekomendasi: weak recommendation berdasarkan moderate-quality
evidence, 2B
Pasien ca colon stadium II adalah kelompok yang heterogen
dengan harapan sekitar hidup lima tahun pada 90% pasien dengan T3,
diferensiasi sel kanker baik sampai dengan sebesar 74% untuk pasien
dengan T4b yang berdiferensiasi buruk.70 Ca colon stadium II berisiko
tinggi termasuk pada pasien dengan obstruksi atau perforasi, KGB yang
terlibat <12, margin reseksi positif, kedalaman tumor pada level T4b,
diferensiasi buruk, invasi limfovaskular, invasi perineural, tumor budd
tinggi, atau apakah perbaikan mikrosatelit stabil/tidak cocok pada
gambaran histopatologi (André et al., 2015).
Terdapat data yang bertentangan mengenai peran kemoterapi
adjuvant pada ca colon stadium II. Sebagian besar randomized trial study
menunjukkan terdapat perbedaan pada kemoterapi adjuvant pada ca colon
stadium II dan stadium III dimana sesuai dengan potensi peningkatan
absolut dalam survival rate sekitar 2-3% dengan 5-FU/LV dan 3-4%
dengan FOLFOX pada pasien stadium II. Namun, proporsi pasien dengan
kanker stadium II sekitar 20-25% dalam uji coba ini membatasi
penenarikan kesimpulan yang jelas. Meskipun analisis subkelompok awal
dari percobaan MOSAIC menyarankan penambahan oxaliplatin ke
kemoterapi adjuvant untuk pasien stadium II risiko tinggi, analisis terbaru
menunjukkan tidak ada manfaat oxaliplatin dalam pengobatan ca colon
stadium II, terlepas dari apakah pasien diklasifikasikan sebagai risiko
rendah atau tinggi.
Pada analisis gabungan dari lima percobaan prospektif di tahun
2016, di mana kemoterapi adjuvan berbasis fluorouracil dibandingkan
dengan kemoterapi adjuvan berbasis oxaliplatin pada pasien ca colon
stadium II, dibuktikan bahwa penambahan oxaliplatin menghasilkan
mencegah terjadinya rekurensi atau 5 tahun bebas penyakit (10,3% vs
15,3%, p <0,05) namun tidak ada perbedaan terkait angka kematian pada
lima tahun tersebut (9,4% 10,2%, p> 0,05) (Casadaban et al., 2016).
Sebaliknya, dalam analisis baru-baru ini pada >150.000 pasien ca colon
stadium II yang termasuk dalam National Cancer Database (NCDB),
penggunaan kemoterapi adjuvan terkait dengan peningkatan kelangsungan
hidup terlepas dari faktor-faktor risiko patologis. Dalam studi NCDB ini,
setelah penyesuaian kovariat, pasien dengan ca colon stadium II risiko
rendah atau tinggi yang diobati tanpa atau dengan fluorouracil adjuvant
atau kemoterapi berbasis oxaliplatin, memiliki rata-rata survival rate
masing-masing 8,8 dan 13,2 tahun (p <0,001) dan 6,9 dan 11,0 tahun (p
<0,001). Terlepas dari data NCDB ini, dengan keterbatasan metodologinya
terkait desain retrospektif, sebagian besar data menunjukkan bahwa
terdapat sedikit atau bahkan tidak ada manfaat untuk pengobatan adjuvant
pada pasien ca colon stadium II "risiko rendah". Pasien tadium II dengan
satu atau lebih faktor berisiko tinggi memiliki risiko rekurensi mendekati
ca colon stadium IIIa dan secara rutin dipertimbangkan untuk kemoterapi
adjuvant (Kumar et al., 2015).
Tes multigen dan pengukuran sirkulasi DNA tumor (ctDNA)
adalah teknologi baru yang mungkin dapat pula berperan dalam keputusan
terapi adjuvant pada pasien ca colon stadium II.
32. Pada pasien ca colon stadium IV dengan pilihan repair colon yang tidak
sesuai, defisiensi perbaikan sel (dMMR) atau ca colon high microsatellite
(MSI-H), immunotherapy targeting programmed cell death-ligand-1 (PD-L1)
atau protein kematian sel terprogram/programmed cell death protein 1 (PD-1)
perlu dipertimbangkan
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan high-quality
evidence, 1A
Pada tahun 2020, uji coba KEYNOTE-177 pada 307 pasien ca
colorectal stadium IV dMMR/MSI-H menggunakan kemoterapi lini
pertama atau pembolizumab (anti PD-1), menunjukkan peningkatan free
survival disease (median 16,5 vs 8,2 bulan; p = 0,0002). Pada fase
CheckMate untuk 142 sampel, pengobatan lini kedua (setelah pengobatan
dengan FOLFOX, FOLFIRI atau intoleransi dengan kedua obat ini) dari
74 pasien Ca colorectal IV dengan stadium dMMR/MSI-H, respons yang
objektif ditemukan pada 23 dari 74 pasien (31%) di antaranya 8 pasien
(11%) memiliki berespon selama 12 bulan. Percobaan KEYNOTE-164
melibatkan populasi penelitian yang mirip dengan CheckMate 142 sampel
(yaitu, perkembangan kanker pada terapi kemoterapi standar ± anti-VEGf
atau anti-EGFR) dimana ditunjukkan bahwa pembrolizumab menghasilkan
respons terhadap pengobatan pada 32% pasien dan free survival disease
selama 12 bulan yaitu presentasenya sebesar 41%.308 Atezolizumab,
antibodi monokolonal terhadap protein kematian sel terprogram ligand-1
(PD-L1), saat ini sedang diteliti lebih lanjut dalam percobaan ATOMIC di
mana pasien dengan ca colon dMMR stadium III diacak untuk diberikan
kemoterapi berbasis oxaliplatin adjuvant dengan atau tanpa Atezolizumab.
Sementara itu, terapi yang menargetkan PD-1 dan PDl-1 tidak efektif
untuk pengobatan mikrosatelit ca colorectal yang stabil/MMR tingkat
lanjut (André et al., 2020).
33. Secara umum, kemoterapi adjuvant harus dimulai dalam waktu 8 minggu
setelah reseksi colon
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan moderate-
quality evidence, 1B
Analisis National Cancer Database Amerika Serikat pada pasien ca
colon stadium III tahun 2016 dan 2018 menunjukkan peningkatan survival
rate secara keseluruhan ketika kemoterapi adjuvant dimulai dalam 6-8
minggu setelah reseksi, bahkan terapi adjuvant tetap bermanfaat meskipun
dimulai sekitar 24 minggu setelah reseksi. Sebuah studi nasional dari
Belanda tahun 2015 menunjukkan pula bahwa overall survival rate pasien
menurun ketika terapi kemoterapi adjuvant dimulai >8 minggu setelah
reseksi ca colon stadium III (Bos et al., 2015).
34. Penggunaan uji analisis ekspresi multigen CDX2 dan circulating tumor DNA
(ctDNA) untuk melengkapi pengambilan keputusan multidisiplin pada pasien
ca colon stadium II atau III.
• Grade rekomendasi: strong recommendation berdasarkan moderate-
quality evidence, 1B
Oncotype DX adalah uji yang mengukur ekspresi lima reference
gene dan tujuh recurrence risk gene sebagai prognostik klasifikasi
rekurensi ca colon tergolong rendah, sedang atau tinggi. Oncotype DX
yang digunakan pada sampel tumor pasien ca colon stadium II yang
terdaftar dari The Cancer and Leukemia Group B (CALGB) 9581 studi
menunjukkan bahwa Rekurensi Skor (RS, berasal dari fungsi matematika
berupa penggabungan nilai ekspresi gen kanker yang dipilih) berkisar
antara 2 hingga 78 (median 31,4), dan bahwa peningkatan RS hingga 25
secara signifikan terkait dengan kekambuhan kanker (HR 1,52 (95% CI
1,09-2,12; p = 0,013)) (Niedzwiecki et al., 2016).
Dalam analisis serupa, sampel tumor dari pasien ca colon stadium
II dan III yang terdaftar di National Surgical Adjuvant Breast and Bowel
Project (NSABP) C-07 studi, nilai RS memprediksi rekurensi kanker
dimana rekurensi akan meningkat pada kelompok RS tinggi dibandingkan
dengan kelompok pasien dengan RS rendah (HR 2,11 (95% CI 1,54-2,88,
p <0,001) sedangkan RS yang lebih tinggi terkait dengan penurunan
disease-free dan overall survival rate pasien dan meningkatkan manfaat
untuk kemoterapi adjuvant berbasis oksaliplatin. Dalam penelitian lain, di
mana menggunakan uji coba 13 gen menggunakan analisis yang mirip
dengan Oncotype-DX, digunakan sampel tumor pasien stadium II dari
Quick and Simple and Reliable (QUASAR) studi, kekambuhan kanker
pada 3 tahun dilaporkan sebesar 12%, 18% dan 22% masing-masing pada
kelompok pasien dengan RS rendah, menengah, dan tinggi (HR 1,94, p <
0,001) tetapi informasi ini tidak dapat memprediksi manfaat kemoterapi
adjuvant (Dalerba et al., 2016).
ColoPrint adalah uji multigene dengan ekspresi 18 gen yang
mengkuantifikasi kemungkinan rekurensi kanker menjadi rendah atau
tinggi. Dalam sebuah penelitian terhadap 206 pasien dengan ca colon
stadium I-III yang tumornya dievaluasi dengan ColoPrint, tingkat 5 year
reccurence-free survival rate pada kelompok probabilitas rendah dan tinggi
masing-masing adalah 88% (CI 81-94%) dan 67% (CI 55–79%). ColDx
adalah uji multigen tambahan yang menggunakan 634 probe base untuk
membantu mengidentifikasi pasien ca colon stadium II berisiko tinggi
kambuh. Dalam suatu studi pasien stadium II, mereka yang diidentifikasi
oleh ColDx memiliki risiko tinggi mengalami penurunan free survival rate
bila dibandingkan dengan pasien risiko rendah (HR 2.13 CI 1.3-3.5, p
<0.01).
CDX2 adalah faktor transkripsi yang baru-baru ini terbukti penting
dalam identifikasi risiko tinggi ca colon stadium II pada pasien dengan
kemoterapi adjuvant. Pada ca colon stadium II, pasien dengan tumor
CDX2-negatif memiliki free survival rate sekitar 5 tahun yang secara
signifikan lebih rendah daripada pasien dengan tumor positif CDX2 HR
3,44 CI 1,60–7.38; p = 0,002. Tingkat 5 year free survival rate lebih tinggi
pada pasien dengan tumor CDX2-negatif yang diobati dengan kemoterapi
adjuvant dibandingkan dengan yang yang tidak diobati (91% vs 56%, p =
0,006) (Reinert et al., 2019).
Circulating tumor DNA (ctDNA) adalah fragmen dari DNA sel
kanker yang telah memasuki aliran darah dan dapat digunakan sebagai
penanda untuk penyakit residual atau reccurent disease. Kehadiran ctDNA
dapat digunakan untuk penilaian risiko maupun identifikasi pasien ca
colon yang direseksi apakah mungkin berisiko lebih tinggi untuk kambuh.
Dalam suatu studi pada 178 pasien ca colon stadium II, 14 pasien (7,9%)
memiliki ctDNA yang terdeteksi pasca operasi dan 11 diantaranya (79%)
didiagnosis dengan reccurence cancer pada follow up 27 bulan kemudian.
Sebagai perbandingan, dari 164 pasien yang ctDNA tidak terdeteksi,
hanya 16 pasien (9,8%) yang mengalami kekambuhan(p <0,001). Selain
itu, ctDNA dapat membantu dalam pengawasan setelah reseksi atau
kemoterapi untuk mendeteksi kekambuhan lebih lanjut yang dinilai lebih
cepat dibandingkan dengan pengawasan standar (Tie et al., 2016).
Studi lain telah menunjukkan korelasi antara penurunan ctDNA
selama terapi sistemik pada ca colon metastatik melalui respon tumor.
Dengan demikian, ctDNA sedang dipelajari terkait penentuan apakah
dapat menjadi marker berguna dalam penilaian fungsi pengobatan
adjuvant. Dalam pengamatan prospektif studi pasien ca colon stadium II,
deteksi ctDNA segera pasca kemoterapi adjuvant dikaitkan dengan free
survival rate dan rekurensi yang lebih rendah (HR 11, CI 1,8-68, p =
0.001).322 Dalam penelitian serupa pada pasien ca colon stadium III,
pasien dengan ctDNA yang terdeteksi setelah menyelesaikan pengobatan
adjuvant memiliki free survival rate dan rekurensi 3 tahun atau sebesar
30% vs 77% jika ctDNA tidak terdeteksi (HR 6.8; CI 11-157, p
<0,001.325 Sebuah studi tambahan melaporkan 17x lipat risiko rekurensi
lebih tinggi jika ctDNA tetap dapat dideteksi setelah menyelesaikan
kemoterapi adjuvant (HR 17,5 CI 5.4–56.5, p <0,001 (Berger et al., 2017).
Studi ini menjadi dukungan awal penggunaan ctDNA untuk
menginformasikan efektivitas kemoterapi adjuvant; namun, mereka
memiliki ukuran sampel yang terbatas dan berbagai platform pengujian
ctDNA yang berbeda.
Kesimpulan
Kanker kolorektal adalah penyakit yang umum terjadi, dengan beban
kesehatan yang signifikan di seluruh dunia. Tingginya prevalensi kejadian kanker
kolorektal diseluruh dunia menyebabkan perlu dibuatnya panduan dalam
tatalaksana kasus tersebut. Tatalaksana pasien kanker kolorejtal sebagian besar
ditentukan berdasarkan stadium, manifestasi klinis, evaluasi dan diagnosis pasien.
Tindakan pembedahan merupakan treatment utama untuk sebagian besar pasien,
sedangkan kemoterapi paling sering digunakan sebagai adjuvan terapi. Perubahan
dari isi pedoman perlu disesuaikan pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan
terbaru.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Colon asenden panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa
iliaca dextra sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah
kanan. Areterialisasi colon asenden dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic
dextra yang berasal dari arteri mesentrica superior. Colon transversum
panjangnya sekitar 38 cm berjalan dari flexura coli dextra sampai flexura coli
sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan pankreas
di sebelah dorsal. Aliran darah kaya oksigen didapat dari arteri colica media
yang berasal dari arteri mesenterica superior untuk 2/3 proksimal dan 1/3
distal dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior.
C. Etiologi
Penyabab pasti dari kanker kolorektal belum diketahui sama halnya
dengan kanker yang lainnya. Tapi diyakini ada beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya kanker kolorektal seperti:
1. Hereditas
Terdapat hingga 30% pasien kanker kolorektal mempunyai
keluarga yang juga menderita penyakit yang sama. Orang yang memiliki
keluarga tingkat pertama yang telah didiagnosis penyakit kanker
kolorektal memiliki kemungkinan 2 sampai 4 kali untuk terkena penyakit
yang sama. Kerentanan genetik terhadap kanker kolorektal meliputi Lynch
syndrome dan familial adenomatous polyposis. Oleh karena itu, riwayat
keluarga perlu ditanyakan pada semua penderita kanker kolorektal
(American Cancer Society, 2019).
2. Faktor Lingkungan
Salah satu faktor lingkungan yang memberi pengaruh adalah diet.
Tingginya masukan protein hewani, lemak dan rendahnya serat dianggap
sebagai faktor insiden tingginya kanker kolorektal. Masukan tinggi lemak,
sekresi empedu juga banyak, hasil uraian asam empedu juga banyak dan
aktivitas enzim bakteri anaerob usus juga meningkat sehingga pemacu
karsinogen dalam usus bertambah dan mengarah ke timbulnya kanker
kolorektal. Memperbanyak makan serat menurunkan risiko terjadinya
kanker kolorektal pada individu dengan diet tinggi lemak (Doherty, 2017).
3. Faktor Host
a. Usia
Usia merupakan faktor yang paling relevan mempengaruhi risiko
KKR pada sebagian besar populasi. Risiko KKR meningkat dengan
pertambahan umur. Usia rata rata didiagnosis kanker kolon adalah 68
tahun untuk pria dan 72 tahun untuk wanita, sedangkan pada kanker
rektum rata rata usia terdiagnosis adalah 63 tahun untuk pria dan
wanita (American Cancer Society, 2019).
Kanker kolorektal identik dengan orang lanjut usia. Namun dalam
10 tahun belakangan ini terdapat peningkatan setiap tahunnya pada
penderita KKR untuk kelompok usia kurang dari 50 tahun. Sebaliknya,
jumlah penderita KKR pada usia 50 tahun ke atas cenderung menurun.
Namun meskipun demikian, jumlah penderita KKR lansia masih lebih
banyak dibandingkan dengan penderita KKR usia muda. Hal ini
diperkirakan karena adanya perubahan gaya hidup (Araghi et al.,
2019).
b. Jenis Kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa kasus kanker kolorektal lebih
tinggi pada laki laki daripada perempuan dengan proporsi laki laki
52,9% dan perempuan 47,1%. Adanya hubungan dengan tingkat
estradiol diperkirakan menjadi penyebab tingginya kasus pada laki
laki. Dalam jumlah normal, estradiol berfungsi dalam spermatogenesis
dan fertilitas. Namun jika berlebih bisa mengakibatkan terhambatnya
sekresi protein gonadotropin seperti LH. Terhambatnya sekresi
tersebut dapat mengurangi sekresi dari testosteron. Kadar testosteron
yang tinggi dapat mengurangi risiko kanker kolorektal (Rawla et al.,
2018)
c. Suku/Etnis/Ras
Di negara negara maju, penderita kanker kolorektal lebih sering
terkena pada pasien keturunan kulit hitam dengan angka morbiditas
yang lebih tinggi. Pada waktu terdiagnosis, ras kulit hitam
memperlihatkan stadium yang tinggi dengan prognosis yang lebih
buruk. Faktor yang mempengaruhi risiko ini antara lain karena faktor
lingkungan dan biologis (American Cancer Society, 2019).
d. Golongan Darah
Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara golongan
darah ABO dengan kejadian kanker kolorektal. Glycoconjugat ini
kemungkinan berperan dalam modifikasi adhesi interselular, sinyal
membran kekebalan imun yang dapat mempengaruhi tumorgenesis
(Khalili et al., 2011). Berdasarkan penelitian dari Lese et al,
didapatkan penderita kanker kolorektal memiliki golongan darah A
sebanyak 40,81% dan golongan darah O sebanyak 35,34% dari total
365 penderita. Dari hasil tersebut diduga golongan darah mengambil
peran dalam peningkatan risiko kanker kolorektal (Leşe et al., 2013).
Selain itu penelitian pada 355.797 orang, didaptkan pada golongan
darah A dan AB memiliki risiko terkena karsinoma atau
adenocarcinoma 15-17% lebih rendah dibandingkan kelompok dengan
golongan darah A (Huang et al., 2017).
D. Faktor Risiko
Banyak faktor risiko kejadian kanker kolorektal (KKR) yang dikaitkan
dengan negara negara berpenghasilan tinggi seperti gaya hidup menetap, diet
dan merokok. Orang di negara maju yang mempunyai gaya hidup sehat akan
membantu mengurangi risiko KKR dibandingkan dengan populasi biasa.
Faktor risiko KKR terbagi dua yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan yang
tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi seperti faktor
keturunan dan riwayat medis termasuk riwayat KKR atau polip adenoma pada
individu atau keluarga dan adanya riwayat individu penyakit kronis
inflamatorik pada usus. Sedangkan faktor yang masih bisa dimodifikasi adalah
aktivitas fisik, obesitas, diet, merokok dan konsumsi alcohol (American
Cancer Society, 2019).
1. Suku
Di negara negara maju, penderita kanker kolorektal lebih sering
terkena pada pasien keturunan kulit hitam dan juga memiliki angka
morbiditas yang lebih tinggi (American Cancer Society, 2019).
2. Genetik
Kanker kolorektal sama dengan penyakit keganasan lainnya yang
dapat dipicu oleh faktor genetik atau keturunan. Orang dengan riwayat
keluarga yang menderita KKR mempunyai risiko menderita KKR lebih
tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai riwayat keluarga
penderita KKR. Pasien dengan Familial Adenomatous Polyposis ditandai
dengan munculnya ratusan hingga ribuan polip adenomatosa pada kolon
dan rektum yang disebabkan oleh germline mutations dari Adenomatous
Polyposis Coli (APC). Mortalitas akan semakin tinggi dengan
berkembangnya polip menjadi kanker kolorektal yang juga dipicu oleh
tingginya kadar trigliserida dan kolestrol dalam darah (Rodriguez et al.,
2017).
3. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik dapat membantu menurunkan risiko penyakit kanker
kolon tapi tidak dengan kanker rektum. Penelitian menyebutkan bahwa
dengan aktivitas fisik dapat mengurangi risiko perkembangan tumor
bagian proksimal dan distal sebesar 25% dibandingkan orang yang kurang
aktif (Boyle et al., 2012). American Cancer Society dan The Centers for
Disease Control and Prevention menyarankan untuk orang dewasa
melakukan setidaknya aktivitas fisik intensitas sedang dalam waktu 150
menit atau 75 menit untuk aktivitas fisik intensitas kuat dalam seminggu
(American Cancer Society, 2019).
4. Obesitas
Kelebihan berat badan meningkatkan risiko terhadap kanker
kolorektal dengan perbandingan lebih banyak pada laki laki dibanding
perempuan dan lebih banyak menderita kanker kolon daripada kanker
rektum. Jika diibandingkan dengan orang yang mempunyai berat badan
normal, laki laki obesitas memiliki risiko menderita kanker kolon 50%
lebih tinggi dan 20% lebih tinggi menderita kanker rektum. Sedangkan
untuk wanita obesitas, memiliki peningkatan risiko 20% untuk kanker
kolon dan 10% untuk kanker rectum (American Cancer Society, 2019).
5. Diet
Pola hidup menjadi salah satu faktor yang berperan dalam
perkembangan kanker kolorektal. Perbedaan pola hidup antara masyarakat
negara maju dan negara berkembang menyebabkan risiko kanker
kolorektal cenderung lebih tinggi pada negara maju akibat pola diet tinggi
lemak, tinggi protein dan rendah serat. Pola diet kemungkinan
memengaruhi risiko secara langsung, melalui makanan tertentu, dan secara
tidak langsung, melalui kelebihan gizi dan obesitas. Diet juga memiliki
pengaruh besar pada mikroorganisme kolektif di usus besar. Komposisi
yang beragam ini dinilai memiliki peran positif dan negatif dalam
perkembangan tumor melalui pengaruhnya terhadap respon imun
(Thanikachalam and Khan, 2019).
E. Patogenesis
Timbulnya kanker kolorektal merupakan akibat dari interaksi antara faktor
lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan bereaksi terhadap defek
yang didapat dan berkembang menjadi kanker kolorektal. Kanker kolorektal
merupakan penyakit yang berasal dari epitel yang melapisi kolon dan rektum.
Ada jalur sinyal tertentu yang merupakan faktor utama dalam pembentukan
tumor. Paling sering akibat mutasi pada jalur sinyal Wnt yang meningkatkan
aktivasinya sehingga menjadi awal dari kejadian kanker kolorektal. Gen yang
paling sering bermutasi pada kanker kolorektal adalah gen Adenomatous
Polyposis Coli (APC) yang menghasilkan protein APC. Gen APC ini
berfungsi untuk mengatur kematian sel dan jika terjadi mutasi pada gen APC
ini dapat mengakibatkan proliferasi yang selanjutnya berkembang menjadi
adenoma. Akibat tidak berfungsinya APC, Wnt memberikan sinyal yang tidak
wajar. Mutasi pada onkogen K-RAS biasanya terjadi pada adenoma yang
berukuran besar dan akan menyebabkan gangguan pertumbuhan tidak normal.
Selain dari kerusakan pada jalur persinyalan Wnt, harus terjadi mutasi lain
untuk menjadi sel yang bersifat kanker. Transisi dari adenoma menjadi
karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen TP53. Protein P53 yang
dihasilkan oleh gen TP53 bertugas untuk memonitor dan menghambat
proliferasi sel jika DNA dalam sel tersebut terdapat kerusakan. Mutasi pada
gen TP53 menyebabkan sel dengan kerusakan DNA tetap bisa bereplikasi dan
menghasilkan sel sel dengan kerusakan DNA yang lebih parah. Terkadang gen
yang mengkode p53 tidak bermutasi, melainkan protein pelindung lain yang
bermutasi bernama BAX (Mustafa and Menon, 2016).
Ada 2 mekanisme yang menimbulkan instabilitas genom dan berujung
pada kanker kolorektal yaitu instabilitas kromosom (Cromosomal Instability
atau CIN) dan instabilitas mikrosatelit (Microsatelite Instability atau MIN).
Pada umumnya kanker kolon terjadi melalui mekanisme CIN yang melibatkan
penyebaran materi genetik yang tidak seimbang. MIN disebabkan oleh
hilangnya missmatch-repair (MMR) (Dekker et al., 2019).
Terjadinya mutasi dari sinyal TGF-β menjadi salah satu faktor dari
progresi kanker kolorektal. Sekitar sepertiga dari kejadian kanker kolorektal,
mutasi somatik menginaktivasi TGFBR2. Setengah dari semua kanker
kolorektal dengan wild-type MMR, menghilangkan sinyal dari TGF-β oleh
inaktivasi mutasi missens pada domain TGFBR2 kinase. Mutasi yang
menginaktivasi jalur TGF-β terjadi dengan transisi dari adenoma ke karsinoma
(Dekker et al., 2019).
Gambar 2.6 Patogensis dan manifestasi klinis Ca colorectal (Calgaryguide,
2021)
F. Klasifikasi
Klasifikasi stadium kanker digunakan untuk menentukan luas atau ekstensi
kanker dan nilai prognostik pasien. Sistem yang paling banyak digunakan
adalah sistem TNM. Sistem ini dibuat oleh American Joint Committee on
Cancer (AJCC) dan International Union for Cancer Control (UICC). TNM
mengklasifikasi ekstensi tumor primer (T), kelenjar getah bening regional (N)
dan metastasis jauh (M), sehingga staging akan dinilai berdasarkan T, N dan
M (Kemenkes, 2018).
G. Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis kanker kolorektal dapat dilakukan secara
bertahap, antara lain melalui anamnesis yang tepat, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, baik dari
laboratorium klinik maupun laboratorium patologi anatomi. Selanjutnya
pemeriksaan penunjang berupa pencitraan seperti foto polos atau dengan
kontras (barium enema), kolonoskopi, CT Scan, MRI, dan Transrectal
Ultrasound juga diperlukan dalam menegakkan diagnosis penyakit ini (Sayuti
& Nouva, 2017).
a. Anamnesis
Gejala yang biasa timbul akibat manifestasi klinik dari karsinoma
kolorektal dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Gejala subakut
Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak
menyebabkan perubahan pada pola buang air besar (meskipun besar).
Tumor yang memproduksi mukus dapat menyebabkan diare. Pasien
mungkin memperhatikan perubahan warna feses menjadi gelap, tetapi
tumor seringkali menyebabkan perdarahan samar yang tidak disadari
oleh pasien (Sayuti & Nouva, 2017).
Kehilangan darah dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan anemia defisiensi besi. Ketika seorang wanita post
menopouse atau seorang pria dewasa mengalami anemia defisiensi
besi, maka kemungkinan kanker kolon harus dipikirkan dan
pemeriksaan yang tepat harus dilakukan. Karena perdarahan yang
disebabkan oleh tumor biasanya bersifat intermitten, hasil negatif dari
tes occult blood tidak dapat menyingkirkan kemungkinan adanya
kanker kolon (Sayuti & Nouva, 2017).
Sakit perut bagian bawah biasanya berhubungan dengan tumor
yang berada pada kolon kiri, yang mereda setelah buang air besar.
Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada pola buang air
besar serta adanya darah yang berwarna merah keluar bersamaan
dengan buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah penurunan
berat badan dan demam. Meskipun kemungkinannya kecil tetapi
kanker kolon dapat menjadi tempat utama intususepsi, sehingga jika
ditemukan orang dewasa yang mempunyai gejala obstruksi total atau
parsial dengan intususepsi, kolonoskopi dan double kontras barium
enema harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kanker
kolon (Sayuti & Nouva, 2017).
2. Gejala akut
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau
perforasi, sehingga jika ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala
obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kanker.
Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi
hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan
diagnosis secara cepat dan penanganan bedah (Sayuti & Nouva, 2017).
Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa
flatus atau buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika
obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi iskemia dan
nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis
dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini
dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa
terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda
tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat
menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal
ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker
kolon (Sayuti & Nouva, 2017).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tidak banyak berperan kecuali colok dubur/Rectal
Toucher yang dilakukan pada pasien dengan perdarahan ataupun gejala
lainnya. Pada tingkat pertumbuhan lanjut, palpasi dinding abdomen
kadang-kadang teraba masa di daerah kolon kanan dan kiri. Hepatomegali
jarang terjadi. Colok dubur merupakan cara diagnostik sederhana. Pada
pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior;
serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah.
Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum
dimana sesuai dengan posisi anatomis cavum douglas sebagai akibat
infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari
yang mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari
kanker kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga colok dubur merupakan
cara yang baik untuk mendiagnosa kanker kolon (Sayuti & Nouva, 2017).
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Klinis
Pemeriksaan laboratorium terhadap karsinoma kolorektal bisa
untuk menegakkan diagnosa maupun monitoring perkembangan atau
kekambuhannya. Pemeriksaan terhadap kanker ini antara lain
pemeriksaan darah, Hb, elektrolit, dan pemeriksaan tinja yang
merupakan pemeriksaan rutin. Anemia dan hipokalemia kemungkinan
ditemukan oleh karena adanya perdarahan kecil. Perdarahan
tersembunyi dapat dilihat dari pemeriksaan tinja.Selain pemeriksaan
rutin di atas, dalam menegakkan diagnosa karsinoma kolorektal
dilakukan juga skrining CEA (Carcinoma Embrionic Antigen).
Carcinoma Embrionic Antigen merupakan pertanda serum terhadap
adanya karsinoma kolon dan rektum. CEA adalah sebuah glikoprotein
yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran
darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status
kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase
ke hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan
sebagai skrining kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA serum,
bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya
nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut
dari penyakit dan adanya metastase ke organ dalam. Meskipun
konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen.
Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring
berkelanjutan setelah pembedahan (Sayuti & Nouva, 2017).
2. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pemeriksaan Laboratorium Patologi Anatomi pada kanker
kolorektal adalah terhadap bahan yang berasal dari tindakan biopsi saat
kolonoskopi maupun reseksi usus. Hasil pemeriksaan ini adalah hasil
histopatologi yang merupakan diagnosa definitif. Dari pemeriksaan
histopatologi inilah dapat diperoleh karakteristik berbagai jenis kanker
maupun karsinoma di kolorektal ini (Sayuti & Nouva, 2017).
3. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan yaitu foto polos
abdomen atau menggunakan kontras. Teknik yang sering digunakan
adalah dengan memakai double kontras barium enema, yang
sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran
>1 cm. Teknik ini jika digunakan bersama-sama sigmoidoskopi,
merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti
kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi,
atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang
mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko
perforasi dengan menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu
sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah
kontras larut air harus digunakan daripada barium enema (Sayuti &
Nouva, 2017).
Computerised Tomography (CT) scan, Magnetic Resonance
Imaging (MRI), Endoscopic Ultrasound (EUS) merupakan bagian dari
teknik pencitraan yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak
lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi teknik ini bukan merupakan
skrining tes. CT scan mempunyai karakterisik, yaitu dapat
memperlihatkan invasi ekstra-rektal dan invasi organ sekitar rektum,
tetapi tidak dapat membedakan lapisan-lapisan dinding usus; akurasi
tidak setinggi ultrasonografi endoluminal untuk mendiagnosis
metastasis ke kelenjar getah bening; berguna untuk mendeteksi
metastasis ke kelenjar getah bening retroperitoneal dan metastasis ke
hepar; berguna untuk menentukan suatu tumor stadium lanjut apakah
akan menjalani terapi adjuvan pra-operasi; dan untuk mengevaluasi
keadaan ureter dan buli- buli (Kemenkes, 2018)
4. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran
seluruh mukosa kolon dan rektum. Prosedur kolonoskopi dilakukan
saluran pencernaan dengan menggunakan alat kolonoskop, yaitu
selang lentur berdiameter kurang lebih 1,5 cm dan dilengkapi dengan
kamera. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat
menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan
dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada
barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%. Kolonoskopi
juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol
perdarahan dan dilatasi dari striktur (Sayuti & Nouva, 2017).
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana
komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi)
hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan
cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari
inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus,
gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon dan
neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi
daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi
utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan
komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik (Sayuti & Nouva,
2017).
I. Tatalaksana
Penatalaksanaan kanker kolorektal bersifat multidisiplin yang melibatkan
beberapa spesialisasi/subspesialisasi antara lain gastroenterologi, bedah
digestif, onkologi medik, dan radioterapi. Pilihan dan rekomendasi terapi
tergantung pada beberapa faktor, seperti stadium kanker, histopatologi,
kemungkinan efek samping, kondisi pasien dan praferensi pasien. Terapi
bedah merupakan modalitas utama untuk kanker stadium dini dengan tujuan
kuratif. Kemoterapi adalah pilihan pertama pada kanker stadium lanjut dengan
tujuan paliatif. Radioterapi merupakan salah satu modalitas utama terapi
kanker rektum. Saat ini, terapi biologis (targeted therapy) dengan antibodi
monoklonal telah berkembang pesat dan dapat diberikan dalam berbagai
situasi klinis, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan modalitas
terapi lainnya. Penatalaksanaan kanker kolorektal dibedakan menjadi
penatalaksanaan kanker kolon dan kanker rektum (Kemenkes, 2018) :
Stadium Terapi
Stadium 0 - Eksisi lokal atau polipektomi sederhana
(TIsN0M0) - Reseksi en-block segmental untuk lesi yang tidak
memenuhi syarat eksisi lokal
Stadium I Wide surgical resection dengan anastomosis tanpa
(T1-2N0M0) kemoterapi ajuvan
Stadium II - Wide surgical resection dengan anastomosis
(T2N0M0, - Terapi ajuvan setelah pembedahan pada paisien
T4a-bN0M0) dengan risiko tinggi
Stadium III - Wide surgical resection dengan anastomosis
(TapapunN1-2M0) - Terapi ajuvan setelah pembedahan
Stadium IV - Reseksi tumor primer pada kasus KKR dengan
(TapapunNapapun metastasis yang dapat direseksi
M1) - Kemoterapi sistemik pada kasus KKR yang tidak
dapat direseksi dan tanpa gejala
Stadium Terapi
Stadium I Eksisi transanal (TEM) atau reseksi transabdominal
ditambah pembedahan teknik TME bila risiko tinggi,
observasi
Stadium IIA-IIIC - Kemoterapi neoajuvan (5-FU/RT jangka pendek atau
capecitabine/RT jangka pendek)
- Reseksi transabdominal (AR atau APR) dengan
teknik TME dan terapi ajuvan
Stadium IIIC dan atau - Neoajuvan : 5FU/RT atau Cape/RT atau
locally unresectable 5FU/Leuco/RT (RT jangka panjang 25x)
- Reseksi transabdominal + pembedahan teknik TME
bila memungkinkan dan ajuvan pada T apapun
Stadium - Kombinasi kemoterapi atau reseksi
IVA/B staged/synchhronous lesi metastasis dan lesi rektum
(metastasis atau 5-FU/RT pelvis
bisadireseksi) - Lakukan pengkajian ulang untuk menentukan
stadium dan kemungkinan reseksi
Stadium IVA/B - Kombinasi kemoterapi atau 5-FU/RT pelvic
(metastasis - Lakukan penilaian ulang untuk menentukan
borderline stadium dan kemungkinan reseksi
resectable)
Stadium IVA/B - Bila simptomatik, terapi simptomatis berupa reseksi
(metastasis atau stoma/kolon stenting
synchronous tidak - Lanjutkan dengan kemoterapi paliatif untuk kanker
dapat direseksi) lanjut
- Bila asimptomatik berikan terapi non-bedah lalu kaji
ulang untuk menentukan kemungkinan reseksi
Abelson JS, Yeo HL, Mao J, Milsom JW, Sedrakyan A. Longterm postprocedural
outcomes of palliative emergency stenting vs stoma in malignant
large-bowel obstruction. JAMA Surg.2017;152:429–435
André T, de Gramont A, Vernerey D, et al. Adjuvant fluorouracil, leucovorin, and
oxaliplatin in stage II to III colon cancer: updated 10-year survival and
outcomes according to braf mutation and mismatch repair status of the
MOSAIC Study. J Clin Oncol. 2015;33:4176–4187
André T, Shiu KK, Kim TW, et al.; KEYNOTE-177 Investigators.
Pembrolizumab in microsatellite-instability-high advanced colorectal
cancer. N Engl J Med. 2020;383:2207–2218.
Argilés G, Tabernero J, Labianca R, et al; ESMO Guidelines Committee.
Electronic address: clinicalguidelines@esmo.org. Localised colon
cancer: ESMO clinical practice guidelines for diagnosis, treatment and
follow-up. Ann Oncol. 2020;31:1291–1
Becerra AZ, Probst CP, Tejani MA, et al. Evaluating the prognostic role of
elevated preoperative carcinoembryonic antigen levels in colon cancer
patients: results from the national cancer database. Ann Surg Oncol.
2016;23:1554–1561.
Berger AW, Schwerdel D, Welz H, et al. Treatment monitoring in metastatic
colorectal cancer patients by quantification and KRAS genotyping of
circulating cell-free DNA. PLoS One.2017;12:e0174308
Bick BL, Vemulapalli KC, Rex DK. Regional center for complex colonoscopy:
yield of neoplasia in patients with prior incomplete colonoscopy.
Gastrointest Endosc. 2016;83:1239
Boeding JRE, Ramphal W, Rijken AM, et al. A systematic review comparing
emergency resection and staged treatment for curable obstructing
right-sided colon cancer. Ann Surg Oncol. 2021;28:3545–3555.
Bolhuis K, Kos M, van Oijen MGH, Swijnenburg RJ, Punt CJA. Conversion
strategies with chemotherapy plus targeted agents for colorectal
cancer liver-only metastases: A systematic review. Eur J Cancer.
2020;141:225–238
Bos ACRK, Kortbeek D, van Erning FN, et al. Postoperative mortality in elderly
patients with colorectal cancer: the impact of age, time-trends and
competing risks of dying. Eur J Surg Oncol. 2019;45:1575–1583.
Casadaban L, Rauscher G, Aklilu M, Villenes D, Freels S, Maker AV. Adjuvant
chemotherapy is associated with improved survival in patients with
stage II colon cancer. Cancer. 2016;122:3277–3287
Cashin PH, Mahteme H, Spång N, et al. Cytoreductive surgery and intraperitoneal
chemotherapy versus systemic chemotherapy for colorectal peritoneal
etastases: a randomised trial. Eur J Cancer. 2016;53:155–162.
Chesney TR, Nadler A, Acuna SA, Swallow CJ. Outcomes of resection for
locoregionally recurrent colon cancer: a systematic review. Surgery.
2016;160:54–6
Chicago Consensus Working Group. The Chicago consensus on peritoneal surface
malignancies: management of colorectal metastases. Ann Surg Oncol.
2020;27:1761–1767
Dalerba P, Sahoo D, Paik S, et al. CDX2 as a prognostic biomarker in stage II and
stage III colon cancer. N Engl J Med.2016;374:211–222
DʼAngelica MI, Correa-Gallego C, Paty PB, et al. Phase II trial of hepatic artery
infusional and systemic chemotherapy for patients with unresectable
hepatic metastases from colorectal cancer: conversion to resection and
long-term outcomes. Ann Surg. 2015;261:353–360.
Elekonawo FMK, Starremans B, Laurens ST, et al. Can [18F] F-FDG PET/CT be
used to assess the pre-operative extent of peritoneal carcinomatosis in
patients with colorectal cancer? Abdom Radiol (NY). 2020;45:301–
306
Finlayson A, Hulme-Moir M. Palliative colonic stenting: a safe alternative to
surgery in stage IV colorectal cancer. ANZ J Surg.2016;86:773–777.
Flor N, Ceretti AP, Luigiano C, et al. Performance of CT colonography in
diagnosis of synchronous colonic lesions in patients with occlusive
colorectal cancer. AJR Am J Roentgenol.2020;214:348–354.
Folprecht G, Gruenberger T, Bechstein W, et al. Survival of patients with initially
unresectable colorectal liver metastases treated with
FOLFOX/cetuximab or FOLFIRI/cetuximab in a multidisciplinary
concept (CELIM study). Ann Oncol.2014;25:1018–1025
Giglia MD, Chu DI. Familial colorectal cancer: understanding the alphabet soup.
Clin Colon Rectal Surg. 2016;29:185–195.
Grothey A, Sobrero AF, Shields AF, et al. Duration of adjuvant chemotherapy for
stage III colon cancer. N Engl J Med.2018;378:1177–1188
Hallet J, Zih FS, Lemke M, Milot L, Smith AJ, Wong CS. Neoadjuvant
chemoradiotherapy and multivisceral resection to optimize R0
resection of locally recurrent adherent colon cancer. Eur J Surg Oncol.
2014;40:706–712.
Huang SH, Tsai WS, You JF, et al. Preoperative carcinoembryonic antigen as a
poor prognostic factor in stage I-III colorectal cancer after curative-
intent resection: a propensity score matching analysis. Ann Surg
Oncol. 2019;26:1685–1694.
Jarrar A, Sheth R, Tiernan J, et al. Curative intent resection for loco-regionally
recurrent colon cancer: Cleveland clinic experience. Am J Surg.
2020;219:419–423
Ji WB, Kwak JM, Kang DW, et al. Clinical benefits and oncologic equivalence of
self-expandable metallic stent insertion for right-sided malignant
colonic obstruction. Surg Endosc.2017;31:153–158
Kanemitsu Y, Shitara K, Mizusawa J, et al.; JCOG Colorectal Cancer Study
Group. Primary tumor resection plus chemotherapy versus
chemotherapy alone for colorectal cancer patients with asymptomatic,
synchronous unresectable metastases (jcog1007; ipacs): a randomized
clinical trial. J Clin Oncol. 2021;39:1098–1107
Kim WS, Lee HS, Lee JM, et al. Fluoro-2-deoxy-d-glucose positron emission
tomography/computed tomography for the detection of proximal
synchronous lesions in patients with obstructive colorectal cancer. J
Gastroenterol Hepatol. 2017;32:401–408
Kumar A, Kennecke HF, Renouf DJ, et al. Adjuvant chemotherapy use and
outcomes of patients with high-risk versus lowrisk stage II colon
cancer. Cancer. 2015;121:527–534
Lee JH, Emelogu I, Kukreja K, et al. Safety and efficacy of metal stents for
malignant colonic obstruction in patients treated with bevacizumab.
Gastrointest Endosc. 2019;90:116–124
Leijssen LGJ, Dinaux AM, Kunitake H, Bordeianou LG, Berger DL. Detrimental
impact of symptom-detected colorectal cancer. Surg Endosc.
2020;34:569–579
Leung V, Huo YR, Liauw W, Morris DL. Oxaliplatin versus mitomycin c for
HIPEC in colorectal cancer peritoneal carcinomatosis. Eur J Surg
Oncol. 2017;43:144–149
Liska D, Stocchi L, Karagkounis G, et al. Incidence, patterns, and predictors of
locoregional recurrence in colon cancer. Ann Surg Oncol.
2017;24:1093–1099.
Lorimer PD, Motz BM, Kirks RC, et al. Frequency of unplanned surgery in
patients with stage IV colorectal cancer receiving palliative
chemotherapy with an intact primary: an analysis of SEERMedicare. J
Surg Oncol. 2019;120:407–414.
Milosevic M, Edwards J, Tsang D, et al. Pulmonary metastasectomy in colorectal
cancer: updated analysis of 93 randomized patients - control survival
is much better than previously assumed. Colorectal Dis.
2020;22:1314–1324
Niedzwiecki D, Frankel WL, Venook AP, et al. Association between results of a
gene expression signature assay and recurrence-free interval in
patients with stage II colon cancer in cancer and leukemia group B
9581 (Alliance). J Clin Oncol.2016;34:3047–3053.
Pak LM, Kemeny NE, Capanu M, et al. Prospective phase II trial of combination
hepatic artery infusion and systemic chemotherapy for unresectable
colorectal liver metastases: long term results and curative potential. J
Surg Oncol.2018;117:634–643
Reinert T, Henriksen TV, Christensen E, et al. Analysis of plasma cell-free DNA
by ultradeep sequencing in patients with stages I to III colorectal
cancer. JAMA Oncol.2019;5:1124–1131
Renaud S, Seitlinger J, Lawati YA, et al. Anatomical resections improve survival
following lung metastasectomy of colorectal cancer harboring KRAS
mutations. Ann Surg. 2019;270:1170–1177
Siegel RL, Miller KD, Goding Sauer A, et al. Colorectal cancer statistics, 2020.
CA Cancer J Clin. 2020;70:145–164
Siegel RL, Miller KD, Jemal A. Cancer statistics, 2020. CA Cancer J Clin.
2020;70:7–30
Simillis C, Kalakouti E, Afxentiou T, et al. Primary tumor resection in patients
with incurable localized or metastatic colorectal cancer: a systematic
review and meta-analysis. World J Surg. 2019;43:1829–1840
Simmerman EL, King RS, Ham PB III, Hooks VH III. Feasibility and safety of
intraoperative colonoscopy after segmental colectomy and primary
anastomosis. Am Surg. 2018;84:1175–1179.
Shubert CR, Habermann EB, Bergquist JR, et al. An NSQIP review of major
morbidity and mortality of synchronous liver resection for colorectal
metastasis stratified by extent of liver resection and type of colorectal
resection. J Gastrointest Surg.2015;19:1982–1994.
Tie J, Wang Y, Tomasetti C, et al. Circulating tumor DNA analysis detects
minimal residual disease and predicts recurrence in patients with stage
II colon cancer. Sci Transl Med. 2016;8:346ra
Thiels CA, Naik ND, Bergquist JR, et al. Survival following synchronous colon
cancer resection. J Surg Oncol. 2016;114:80–85.
Tomasello G, Petrelli F, Ghidini M, Russo A, Passalacqua R, Barni S.
FOLFOXIRI plus bevacizumab as conversion therapy for patients
with initially unresectable metastatic colorectal cancer: a systematic
review and pooled analysis. JAMA Oncol.2017;3:e170278
Tougeron D, Mouillet G, Trouilloud I, et al. Efficacy of adjuvant chemotherapy in
colon cancer with microsatellite instability: a large multicenter AGEO
study. J Natl Cancer Inst. 2016;108:108.
Vogel JD, Eskicioglu C, Weiser MR, Feingold DL, Steele SR. The American
Society of Colon and Rectal Surgeons clinical practice guidelines for
the treatment of colon cancer. Dis Colon Rectum. 2017;60:999–1017.
Wisselink DD, Klaver CEL, Hompes R, Bemelman WA, Tanis PJ. Curative-intent
surgery for isolated locoregional recurrence of colon cancer: review of
the literature and institutional experience. Eur J Surg Oncol.
2020;46:1673–168