Anda di halaman 1dari 19

HALITOSIS

1.1 Pengertian Halitosis


Halitosis berasal dari bahasa latin halitus (nafas) dan Yunani osis (keadaan). Jadi
halitosis merupakan keadaan dari bau nafas. Umumnya istilah ini mengacu pada suatu
keadaan bau mulut yang berasal dari keadaan metabolic secara sistemik termasuk saluran
pencernaan. Halitosis dapat berupa halitosis fisiologi maupun patologis. Halitosis
fisiologis adalah halitosis yang bersifat sementara dan terjadi bila substansi yang
menimbulkan bau tersebut secara hematologi menuju paru-paru dan biasanya berasal dari
makanan, seperti bawang dan lobak dan bisa juga berasal dari minuman, seperti the,
kopi, serta minuman beralkohol. Halitosis fisiologis adalah halitosis yang dasarnya
terjadi dalam suatu mekanisme yang sama dengan halitosis fisiologis, dalam hal ini
bahan-bahan yang secara hematologis menuju paru-paru. Penyebab utama keadaan
keadaan ini karena adanya kelainan yang bersifat lokal maupun sistemik seperti diabetes
mellitus, uremia, gastritis, tukak lambung, dan hepatitis (Jurnal Kedokteran Gigi
Mahasaraswati Volume 2).
Halitosis adalah kondisi kesehatan mulut yang ditandai dengan napas yang berbau
konsisten. Meskipun rongga mulut terjaga, sudah menghindari makanan yang berbau
tidak sedap (Warianto, 2009).

1.2 Etiologi Terjadinya Halitosis


Halitosis dapat disebabkan oleh faktor-faktor fisiologis dan patologis yang
berasal dari rongga mulut atau intra oral dan faktor- faktor sistemik atau ekstra oral.
Berdasarkan survei yang telah dilakukan di Amerika Serikat, penyebab utama halitosis
sebagian besar (90%) adalah karena faktor-faktor yang melibatkan rongga mulut. Perlu
ditekankan bahwa halitosis bukanlah suatu penyakit, tetapi dianggap sebagai gejala dari
penyakit sistemik tertentu. Namun bukan berarti bahwa setiap bau yang tidak sedap
menandakan adanya suatu penyakit tertentu.
1.2.1 Faktor Fisiologis Intra Oral
Dalam rongga mulut seseorang, terdapat substrat-substrat protein eksogen
(sisa makanan) dan protein endogen (deskuamasi epitel mulut, protein saliva dan
darah) yang banyak mengandung asam amino yang mengandung sulfur (S).
(Soeprapto, 2003) Selain itu halitosis juga dihasilkan oleh bakteri yang secara
normal hidup di permukaan lidah dan dalam kerongkongan yang membantu proses

pencernaan makanan dengan memecah protein. Spesies bakteri yang terdapat pada
permukaan oral dapat bersifat sakarolitik, yaitu menggunakan karbohidrat sebagai
sumber energi. Spesies lain bersifat asakarolitik atau proteoliti, yaitu menggunakan
protein, peptida, asam amino sebagai sumber utamanya. Kebanyakan bakteri gram
positif bersifat sakarolitik dan bakteri gram negatif bersifat proteolitik. (Djaya,
2000) Menurut penelitian yang dipelopori oleh Prof. Dr. Joseph.Tozentich dari
Universitas of British Columbia, Vancouver, berhasil mendeteksi bahwa terdapat
suatu senyawa sulfur yang mudah menguap dan berbau tak sedap sebagai hasil

produksi penguraian protein oleh bakteri anaerob gram negatif di dalam mulut.
Senyawa

sulfur

yang

Compounds (VSCs)

mudah

menguap

yang

ini

disebut

mengandung Hidrogen

mercaptan (CH3SH) dan Dimetil sulfida (CH3SCH3)

sebagai Volatile

Sulfur

sulfida (H2S),Methil

yang merupakan

penyebab

utama halitosis yang berasal dari rongga mulut.


Kondisi mulut yang dapat memicu terjadinya bau mulut ialah kurang atau berhentinya
flow (aliran)
jumlah

saliva,

protein

meningkatnya

makanan,

pH

bakteri
rongga

gram

negatif

anaerob, meningkatnya

mulut

yang

lebih bersifat alkali dan

meningkatnya jumlah sel-sel mati dan sel epitel nekrotik di dalam mulut. (Ravel, 2006)
Walaupun penyebab halitosis belum diketahui sepenuhnya, sebagian besar penyebab
diketahui berasal dari sisa makanan

yang tertinggal di dalam rongga mulut yang

diproses oleh flora normal rongga mulut. Beberapa faktor rongga mulut yang perlu
mendapat perhatian khusus karena mempunyai peranan serta pengaruh besar terhadap
timbulnya halitosis pada seseorang diantaranya adalah saliva, lidah, ruang interdental, dan
gigi geligi. (Widagdo, 2007).

2.2.2 Faktor Fisiologis Ekstra Oral


Beberapa jenis masakan dan substansi makanan yang dikonsumsi sehari-hari
juga dapat menimbulkan bau nafas yang kurang sedap. Makanan yang digoreng dan
dan banyak mengandung bumbu seperti bawang dapat menimbulkan bau yang
bertahan di mulut selama 10-12 jam. Bahkan bau tersebut masih tetap terasa setelah
gigi-gigi dibersihkan. Bau ini timbul karena substansi makanan tersebut diserap oleh
saluran pencernaan dan dikeluarkan dengan lambat melalui paru-paru. Keadaan ini
telah dibuktikan oleh Morris dan Read dengan memberikan suatu kapsul yang
mengandung bawang putih kepada pasien yang diteliti dan menghasilkan bau yang
bertahan lama pada udara pernafasan. Peneliti lainnya juga membuktikan bahwa bau
bawang putih tersebut dalam waktu singkat telah dapat dirasakan pada pernafasan
dan

bertahan

selama

beberapa

jam

walaupun

saluran

pencernaan

seperti jejunum merupakan bagian yang terpisah dari perut. (Simorangkir, 2001).

2.2.3 Faktor Patologis Intra Oral


Faktor penyebab halitosis yang paling sering terlihat adalah disebabkan karena
kurang terjaganya kebersihan dan kesehatan rongga mulut. Pada pasien yang
oral higienenya buruk cenderung terjadi pembusukan sisa-sisa makanan yang

menumpuk di sela-sela gigi oleh bakteri yang ada di dalam rongga mulut. Keadaan
ini akan bertambah parah pada pasien yang memiliki kecenderungan untuk
membentuk kalkulus dengan cepat.
Gingivitis dan periodontitis adalah penyakit inflamasi yang paling umum
terjadi dan memicu terjadinya halitosis disebabkan bakteri gram negatif
seperti veilonella,

fusobacterium

nucleatum dan porphyromonas

gingivalis tersembunyi di dalam jaringan periodontal yang sakit dan menimbulkan


gas yang bau. (Ravel, 2006) Selain karena pembusukan sisa-sisa makanan yang
terperangkap di dalam poket, pada kondisi ini saliva juga dapat cepat membusuk
sehingga

menambah

parah

bau

mulut

individu.

Disamping

itu,

jaringan nekrotik yang terbentuk dan suplai darah yang berkurang menyebabkan
kadar oksigen di daerah infeksi juga berkurang. Dengan demikian bakteri akan
berkembang terus dan membebaskan zat-zat yang berfungsi sebagai virulensi serta
dapat menimbulkan eksudat purulen yang keluar melalui sulkus gingiva. Reaksi
metabolik

timbul

menghasilkan

gas

H2 S

dan

NH2 (Amino)

sehingga

terjadi peninggian konsentrasi sulfur yang mudah menguap dalam udara di rongga
mulut. (Gayford dan Haskell, 1990).

2.2.4 Faktor Patologis Ekstra Oral


Keadaan septik hidung dan struktur-struktur yang berhubungan dengannya
menimbulkan ozena atau rinitis atropik yang ditandai dengan rasa kering dan atrofi
membrane sehingga rongga hidung menjadi besar, bergerak, dan menimbulkan bau.
Hanya saja rinitis atropik jarang dijumpai, sedang sinusitis kronis sering disertai
dengan nafas yang bau. Hal ini terlihat nyata pada kasus sinusitis maxilaris kronis,
terutama karena disebabkan gigi terinfeksi oleh bakteri Streptokokus viridans yang
mampu

mengeluarkan

bau

tidak

sedap. Septik

adenoid dan tonsilitis dapat

menyebabkan menyumbatan pada hidung yang disertai dengan fetor ex ore. Bedah
tonsilektomi sendiri dapat menghasilkan bau yang serupa dengan bau darah busuk
yang terjadi setelah dilakukan operasi mulut. (Gayford dan Haskell, 1990).

2.3 Klasifikasi Halitosis


Berdasarkan faktor etiologinya, halitosis dibedakan atasa halitosis sejati,
(genuine) pseudohalitosis dan halitophobia. Halitosis sejati dibedakan lagi atas fisiologis
dan patologis. Halitosis fisiologis merupakan bersifat sementara dan tidak membutuhkan
perawatan, sebaliknya halitosis patologis merupakan halitosis bersifat permanen dan
tidak dapat diatasi hanya dengan pemeliharaan oral hygiene saja, tetapi membutuhkan
suatu penanganan dan perawatan sesuai dengan sumber penyebab halitosis.
(http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/131087479.pdf)
2.3.1 Genuine Halitosis (halitosis sejati)
a. Halitosis Fisiologis
Halitosis fisiologis merupakan halitosis yang bersifat sementara dan tidak
membutuhkan perawatan. Pada halitosis tipe ini tidak ditemukan adanya kondisi

patologis yang menyebabkan halitosis. Contohnya adalah morning breath, yaitu bau
nafas pada waktu bangun pagi. Keadaan ini disebabkan tidak aktifnya otot pipi dan
lidah serta berkurangnya aliran saliva selama tidur. Bau nafas ini dapat diatasi
dengan merangsang aliran saliva dan menyingkirkan sisa makanan di dalam mulut
dengan mengunyah, menyikat gigi atau berkumur.
b. Halitosis Patologis
Halitosis patologis merupakan halitosis yang bersifat permanen dan tidak
dapat diatasi hanya dengan pemeliharaan oral higiene saja, tetapi membutuhkan
suatu penanganan dan perawatan sesuai dengan sumber penyebab halitosis. Adanya
pertumbuhan bakteri yang dikaitkan dengan kondisi oral higiene yang buruk
merupakan

penyebab

halitosis

patologis

intraoral

yang

paling

sering

dijumpai. Tongue coating, karies dan penyakit periodontal merupakan penyebab


utama halitosis berkaitan dengan kondisi tersebut.Infeksi kronis pada rongga nasal
dan sinus paranasal, infeksi tonsil(tonsilhlith), gangguan pencernaan, tukak lambung
juga dapat menghasilkan gas berbau. Selain itu, penyakit sistemik seperti diabetes
ketoasidosir, gagal ginjal, dan gangguan hati juga dapat menimbulkan bau nafas
yang khas. Penderita diabetes ketoasidosis mengeluartan nafas berbau aseton. Udara
pernafasan pada penderita kerusakan ginjal berbau amonia dan disertai dengan
keluhan dysgeusi, sedangkan pada penderita gangguan hati dan kantung empedu
seperti sirosis hepatis akan tercium bau nafas yang khas, dikenal dengan
istilah foetor hepaticus.
2.3.2

Pseudo Halitosis (Halitosis Semu)


Pada kondisi ini, pasien merasakan dirinya memilki bau nafas yang buruk, namun

hal ini tidak dirasakan oleh orang lain disekitarnya ataupun tidak dapat terdeteksi dengan
tes ilmiah. Oleh karena tidak ada masalah pernapasan yang nyata, maka perawatan yang
perlu diberikan pada pasien berupa konseling untuk memperbaiki kesalahan konsep yang
ada (menggunakan dukungan literature, pendidikan dan penjelasan hasil pemeriksaan)
dan mengingatkan perawatan oral hygiene yang sederhana.
2.3.3 Halitophobia
Pada kondisi ini, walaupun telah berhasil mengikuti perawatan genuine
halitosis maupun telah mendapat konseling pada kasus pseudo halitosis, pasien masih
kuatir dan terganggu oleh adanya halitosis. Padahal setelah dilakukan pemeriksaan yang
teliti baik kesehatan gigi dan mulut maupun kesehatan umumnya ternyata baik dan tidak
ditemukan suatu kelainan yang berhubungan dengan halitosis, begitu pula dengan tes
ilmiah yang ada tidak menunjukkan hasil bahwa orang tersebut menderita halitosis.
Pasien juga dapat menutup diri dari pergaulan sosial, sangat sensitif terhadap komentar
dan tingkah laku orang lain. Maka dari itu, diperlukan pendekatan psikologis untuk
mengatasi masalah kejiwaan yang melatar belakangi keluhan ini yang biasanya dapat
dilakukan oleh seorang ahli seperti psikiater ataupun psikolog.

2.4 Mekanisme Terjadinya Halitosis


Mekanisme terjadinya halitosis sangat dipengaruhi oleh penyebab yang
mendasari keadaan tersebut. Pada halitosis yang disebabkan oleh makanan tertentu, bau
nafas berasal dari makanan yang oleh darah ditransmisikan menuju paru-paru yang
selanjutnya dikeluarkan melalui pernafasan. Secara khusus, bakteri memiliki peranan
yang penting pada terjadinya bau mulut yang tak sedap atau halitosis. Bakteri dapat

berasal dari rongga mulut sendiri seperti plak, bakteri yang berasal dari poket yang dalam
dan bakteri yang berasal dari lidah memiliki potensi yang sangat besar menimbulkan
halitosis (Jurnal Kedokteran Gigi Mahasaraswati Volume 2).
VSC (Volatile Sulfur Compounds) merupakan unsure utama penyebab halitosis.
VPC merupakan hasil produksi dari akrivitas bakteri-bakteri anaerob di dalam mulut
yang berupa senyawa berbau yang tidak sedap dan mudah menguap sehingga
menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang lain disekitarnya. Di dalam
aktivitasnya di dalam mulut, bakteri anaerob bereaksi dengan protein-protein yang ada,
protein di dalam mulut dapat diperoleh dari sisa-sisa makanan yang mengandung protein,

sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun sel-sel epitel yang
terkelupas dari mukosa mulut. Seperti yang telah diketahui, di dalam mulut banyak
terdapat bakteri baik gram positif maupun gram negatif. Kebanyakan bakteri gram positif
adalah bakteri sakarolitik artinya di dalam aktivitas hidupnya banyak memerlukan
karbohidrat, sedangkan kebanyakan bakteri gram negatif adalah bakteri proteolitik
dimana untuk kelangsungan hidupnya banyak memerlukan protein. Protein akan dipecah
oleh bakteri menjadi asam-asam amino ( Agus Djaya, 2000).
Sebenarnya terdapat beberapa macam VSC serta senyawa yang berbau lainnya di
dalam rongga mulut, akan tetapi hanya terdapat 3 jenis VSC penting yang merupakan
penyebab utama halitosis, diantaranya metal mercaptan (CH3SH), dimetil mercaptan
(CH3)2S, dan hidrogen sulfide (H2S). Ketiga macam VSC tersebut menonjol karena
jumlahnya cukup banyak dan mudah sekali menguap sehingga menimbulkan bau.
Sedangkan VSC lain hanya berpengaruh sedikit, seperti skatole, amino, cadaverin dan
putrescine (Agus Djaya, 2000).

2.5 Gejala Halitosis


Kita sering tidak menyadari bahwa diri kita mengidap halitosis. Kalaupun tahu bau
mulut sering membuat kita rendah diri. Karena itu, kita perlu mengenali beberapa gejala
tersebut :
1.

Sering merasa tidak enak dalam mulut.

2.

Orang lain berkomentar mengenai bau nafas anda kemudin menawarkan sejenis
permen atau obat penyedap bau nafas.

3.

Tanpa sadar anda sering menggunakan produk penghilang bau mulut, penyegar
nafas.

4.

Orang lain tidak mau berdekatan saat berbicara dengan anda.

5.

Anda merasakan mulut kering atau kondisi air liur lebih kental daripada biasanya.
Kondisi ini tidak dapat diperbaiki walau dengan segala usaha yang anda lakukan.

2.6 Diagnosis dan Pengukuran Halitosis


Diagnosis halitosis sangat penting dilakukan untuk mengetahui penyebab dan
mencegah terjadinya halitosis sehingga memungkinkan untuk melakukan evaluasi
terhadap keberhasilan pencegahan yang telah dilakukan. Kondisi umum pasien,
pemeriksaan kondisi oral hygiene, karies, status periodontal diperlukan untuk

mendukung diagnosa yang tepat. Metode diagnosis dibedakan atas metode langsung dan
tidak langsung
2.6.1 Metode Langsung
Metode langsung dilakukan dengan menghirup langsung bau yang terpancar atau
mengakur gas-gas yang mengandung sulfur penyebab timbulnya halitosis. Metode
langsung meliputi self diagnosis and home diagnosis pengukuran organoleptik,
pengukuran dengan menggunaknan instrument seperti gas Kharomatografi, monitor
sulfide/portable (halimeter) dan elektronik nose.

2.6.2 Metode Tidak Langsung


Metode ini biasanya dilakukan di laboratorium dengan mengidentifikasi
mikroorganisme yang berperan menghasilkan VSC secara secara invivo atau
mengidentifikasi produk-produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut secara
invitro. Yang termasuk ke dalam metode tidak langsung antara lain pengujian enzim
yaitu tes BANA dan tes -galaktosidase

2.7 Pencegahan dan Perawatan Halitosis


Penanganan halitosis tergantung pada faktor penyebabnya, yang penting dokter
gigi dapat membedakan penyebab bau mulut sebagai kelainan di dalam atau di luar
mulut. Umumnya halitosis bisa dikurangi atau dihilangkan sama sekali dengan menjaga
kebersihan mulut seperti menyikat gigi, menggunakan benang gigi, membersihkan lidah,
menggunakan obat kumur dan diet sehat, namun kadang-kadang diperlukan penangganan
oleh tenaga profesional untuk melakukan rujukan. Untuk dapat mengatasi halitosis
secara efektif, diperlukan pemeriksaan secara menyeluruh dan diagnosa yang tepat.
Tindakan pencegahan dan perawatan pada halitosis antara lain,
a. Menyikat Gigi
Sebaiknya gigi disikat dua kali sehari. Gigi disikat dengan bulu sikat yang
lembut dan kepala sikat yang kecil. Hindarkan pemakaian bulu sikat yang kasar
karena bulu sikat yang kasar dapat menyebabkan resesi gingiva.Penyikatan gigi
sebaiknya menggunakan pasta gigi yang mengandung fluor untuk mencegah karies
gigi sekaligus. ( Dentika Dental Journal, Vol 13 )
b. Menggunakan Benang Gigi ( Dental Floss )
Benang gigi (dental floss) digunakan untuk membersihkan celah gigi yang
sempit yang tidak dapat dicapai dengan sikat gigi. Hal ini dilakukan dengan cara
memotong benang kira-kira sepanjang 40 cm, kemudian diputarkan di kedua jari
tengah kanan dan kiri. Benang dimasukkan ke celah diantara gigi dan ditahan dengan
ibu jari agar kuat dan tidak lepas ketika dilakukan gerakan seperti menggergaji.
Tindakan ini sebaiknya dilakukan satu kali sehari, namun bila memungkinkan
dilakukan dua kali sehari. Setelah tahap ini diperbolehkan kumur sampai bersih atau
dibilas dengan air. ( Dentika Dental Journal, Vol 13)
c. Membersihkan Lidah
Permukaan lidah dibersihkan dengan cara menyikat lidah dua kali sehari
menggunakan sikat gigi atau alat khusus pembersih lidah (tongue scrapper).
Permukaan lidah disikat dengan lembut dan perlahan agar lidah tidak luka. Sambil

lidah dijulurkan ke depan, tempatkan tongue scrapper sejauh mungkin ke belakang


lidah, selama masih tahan, sambil ditarik ke depan dan ke bawah dengan tekanan
ringan.

Gunakan

kain/kertas

tissue

bersih

atau

air

mengalir

untuk

membersihkan tongue scrapper. Ulangi prosedur ini 2-4 kali sampai seluruh
permukaan dibersihkan. (Djaya, 2000)
d. Penggunaan Obat Kumur
Obat kumur digunakan paling sedikit sekali sehari. Waktu yang paling tepat
menggunakan obat kumur adalah sebelum tidur karena obat kumur memberikan efek
antibakteri selama tidur saat aktivitas bakteri penyebab bau mulut meningkat. Obat

kumur yang mengandung alkohol dapat mengakibatkan mulut kering dan apabila
digunakan dalam waktu lama dapat menyebabkan mukosa mulut terkelupas. Oleh
karena itu, sebaiknya menggunakan obat kumur non-alkohol seperti yang
mengandung sodium sakarin. Penggunaan tidak perlu terlalu berlebihan, kurang lebih
10-15 ml sudah cukup untuk membasahi seluruh permukaan mulut. Kumur sekurangkurangnya 1-2 menit. Jangan kumur langsung dari botol, karena apabila tersentuh
ludah, bahan akan terkontaminasi, sehingga bahan aktif selebihnya di dalam botol dapat
menjadi rusak, akibatnya tidak berguna lagi untuk pemakaian selanjutnya. (Pintauli,
2008)
e. Diet Sehat
Diet sehat dilakukan dengan memakan makanan segar berserat seperti sayuran
dan mempunyai konsistensi kasar yang dapat membantu membersihkan dorsum lidah,
menghindari memakan makanan yang menimbulkan bau, serta banyak minum air
putih setiap hari. Baru-baru ini, penelitian di Jepang melaporkan bahwa yogurt tanpa
gula dapat mengurangi senyawa penyebab halitosis. Hal ini dibuktikan dengan
dijumpai penurunan level senyawa hidrogen sulfida sampai 80% setelah mengkonsumsi
90 gram yogurt setiap hari selama 6 minggu. Selain itu, hasil penelitian di
Amerika menunjukan bahwa polifenol (seperti catechin dan theaflavin), senyawa yang
terkandung dalam teh juga dapat menghambat pertumbuhan bakkteri penyebab
halitosis. Catechin terkandung

dalam

teh

hijau

maupun

teh

hitam

sedangkantheaflavin lebih dominan pada teh hitam. Mengurangi konsumsi makanan


dengan protein tinggi.

Kunyahlah permen bebas gula (non-kariogenik) khususnya

apabila mulut terasa kering. Banyak minum air dalam sehari. Menghindari konsumsi
alkohol, rokok, obat-obatan yang dapat menurunkan aliran saliva. ( Dentika Dental
Journal, Vol 13 )
f. Penanganan Oleh Tenaga Profesional
Apabila karies, penyakit periodontal atau infeksi mulut lainnya yang
menyebabkan timbulnya halitosis, maka diperlukan penanganan khusus oleh tenaga
profesional, misalnya melakukan penambalan, skeling atau tindakan penyerutan akar
gigi (root planning). Selain itu, dokter gigi akan mencabut sisa akar bila radiks atau
akar gigi yang menyebabkan timbulnya halitosis. (Pintauli, 2008)
g. Rujukan

Jika kecurigaan penyebab di dalam mulut sudah diatasi, tetapi halitosis masih ada, maka
perlu diwaspadai kemungkinan adanya penyakit yang tidak berkaitan dengan masalah
gigi dan mulut seperti penyakit sistemik. Dalam hal ini, dokter gigi akan merujuk pasien ke
dokter spesialis untuk menanganinya (http://repository.usu.ac.id).

IMPAKSI MAKANAN
Definisi: Masuknya makanan secara paksa ke dalam jaringan periodonsium.
Area yang umum mengalami impaksi makanan:
1. Vertical impaction:
A. Open contacts

B. Irregular marginal ridge


C. Plunger cusps (cusp yang cenderung memaksa masuk makanan/menyebabkan
impaksi makanan secara interproksimal
Penyebab: occlusal wear, perubahan/pergeseran posisi gigi normal
2. Horizontal (lateral) impaction pembesaran embrasur gusi
MEKANISME IMPAKSI LATERAL
Penyakit periodontal

Kerusakan jaringan

Resesi gusi

Embrasur gusi membesar


Ada tekanan lateral dari bibir, pipi,
dan/atau lidah

Impaksi Makanan
KLASIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB IMPAKSI MAKANAN
CLASS I
: Occlusal wear
CLASS II : Loss of proximal contact
CLASS III : Extrusion beyond the occlusal plane
CLASS IV : Congenital morphological abnormality
CLASS V : Improperly constructed restorations
1. CLASS I : Occlusal wear
A. Tipe A: Gaya wedging yang disebabkan oleh adanya plunger cusp ke bagian
facet oblique dari gigi antagonisnya.

B.

Tipe B: Cusp gigi maksila yang telah mengalami keausan secara oblique
menyebabkan adanya overhanging dari permukaan distal gigi antagonis.

C. Tipe C: Sama seperti tipe B, hanya gigi yang mengalami keausan adalah gigi
mandibula.

2. CLASS II : Loss of proximal support

A. Tipe A: Kehilangan penyangga distal gigi akibat ekstraksi gigi sebelah distal dari
gigi yang mengalami impaksi.

i.
ii.
iii.
iv.

B. Tipe B: Kehilangan penyangga mesial akibat ekstraksi.


C. Tipe C: Terjadi pergeseran gigi secara oblique karena gigi yang hilang tidak
diganti dengan gigi yang baru (gigi tiruan).
D. Tipe D: Adanya ruang interdental cukup lebar untuk terjadi oklusi terbuka
permanen dari gigi antagonis. Disebabkan oleh 4 hal:
Drifting pasca ekstraksi gigi proksimal
Kebiasaan mendorong-dorong gigi keluar dari posisi normal (anterior)
Penyakit periodontal
Karies gigi
3. CLASS III : EXTRUSION A TOOTH RETINING CONTIGUITY WITH THE
ADJACENT MESIAL AND DISTAL MEMBERS
4. CLASS IV : CONGENITAL MORPHOLOGIC ABNORMALITIES
A. Tipe A: Posisi gigi secara torsi
B. Tipe B: Adanya embrasur cukup besar diantara 2 gigi yang servikalnya tebal
C. Tipe C: tilting gigi fasio-lingual
D. Tipe D: malposisi (fasial atau lingual)
5. CLASS V : IMPROPERLY CONSTRUCTED RESTORATION
A. Tipe A: Kehilangan titik kontak
B. Tipe B: Lokasi titik kontak yang tidak baik
C. Tipe C: Kontur oklusal yang buruk
D. Tipe D: restorasi cantileber yang buruk

TANDA DAN GEJALA


1. Keluhan
A. Rasa tidak nyaman/ada tekanan
B. Nyeri ringan
C. Muncul karies akar
2. Perubahan jaringan periodonsium
A. Inflamasi gusi gusi berdarah
B. Resesi gusi
C. Periodontitis
D. Adanya abses periodontal
E. Kehilangan tulang alveolar secara vertikal
PENCEGAHAN DAN PERAWATAN
1. Terapi periodontal: Scaling, flossing, stimulasi gusi, kuretase
2. Occlusal Adjustment (penyesuaian oklusi)
A. Plunger cusp: Ujung cusp yang tajam dihaluskan dan dibundarkan/ditumpulkan
terutama pada cusp yang paling sering membuat impaksi makanan.

B. Perbaiki tinggi oklusal dari marginal ridge


i.Pilih antara restorasi atau grinding berdasarkan:
Relasi dengan struktur gigi antagonis serta bidang oklusinya
Derajat celah/jarak interproksimal yang terbentuk
Faktor iatrogenik
ii.Perhatikan jug lereng dari marginal ridge (internal/eksternal)

iii.Saat marginal ridge diperbaiki umumnya fossa proksimal mengalami


keruskan, fossa ini juga harus diperbaiki.
C. Grooves and fossa
Recarving fossa yang hilang atau rusak sesuai dengan bentuk anatomis
normalnya. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya impaksi makanan lagi
baik secara interproksimal, fasial, maupun lingual.

3. Memerbaiki titik kontak yang ideal: Kontak proksimal yang baik dapat mencegah
terjadinya impaksi makanan secara interproksimal melindungi papila interdental.
A. Kontak ideal dilihat dari aspek:
i. Location
ii. Width
iii. Height
iv. Tightness
B. Setelah diperbaiki periksa menggunakan dental floss secara hati-hati agar tidak
melukai papila interdental
4. Restorasi Permanen
Faktor yang harus diperhatikan dalam membuat restorasi permanen:
i. Kontak proksimal
ii. Kontur permukaan oklusal
iii. Kontur fasial dan lingual
Restorasi yang dapat digunakan bisa dari restorasi direct (jarang digunakan) atau
menggunakan inlay logam/porselen. Apabila perbaikan gigi mencapai hampir
seluruh permukaan dapat digunakan restorasi crown.

Anda mungkin juga menyukai