KELOMPOK 1
PENDAHULUAN
Mulut adalah salah satu anggota tubuh yang ada di wajah dimana terdapat bagian-
bagian lagi di dalamnya. Gigi dan lidah adalah bagian terpenting yang ada di dalam
mulut yang berperan penting dalam proses pencernaan awal. Mulut merupakan bagian
pertama dari sistem pencernaan dan merupakan bagian tambahan dari sitem pernapasan.
Selain itu, ada pula saliva untuk membersikan mulut secara mekanis. Mulut merupakan
rongga yang tidak bersih dan penuh bakteri, karenanya harus selalu di bersihkan setelah
makan dan sebelum tidur. Minimal tiga kali sehari. Kerusakan gigi dapat di sebabkan
oleh kebiasaan mengkonsumsi makanan manis, menggigit benda keras dan kebersihan
mulut yang kurang. Perawatan gigi dan mulut cukup menentukan kesehatan mulut dan
gigi mereka pada tingkatan selanjutnya. Beberapa penyakit yang mungkin muncul akibat
perawatan gigi dan mulut yang buruk adalah karies, gingivitis (radang gusi), dan
sariawan.
Rongga mulut merupakan sebuah bagian tubuh yang terdiri dari: lidah bagian oral
(dua pertiga bagian anterior dari lidah), palatum durum (palatum keras), dasar dari mulut,
trigonum retromolar, bibir, mukosa bukal, alveolar ridge, dan gingiva. Tulang
mandibula dan maksila adalah bagian tulang yang membatasi rongga mulut.
Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomis oleh pipi,
palatum keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk dinding bagian lateral masing-
masing sisi dari rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh kulit.
Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh membran mukosa, yang terdiri dari
epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi. Otot-otot businator (otot yang menyusun
dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun di antara kulit dan membran mukosa dari pipi.
Bagian anterior dari pipi berakhir pada bagian bibir.
PEMBAHASAN
Halitosis adalah kebiasaan dan masalah yang umum yang bisa membawa kita pada
kerenggangan sosial dan rasa malu. Terminologi halitosis berasal dari bahasa latin yaitu
halitus berarti nafas dan bahasa Yunani osis yang berarti abnormal atau penyakit.
Halitosis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tanda nafas tidak sedap
pada saat nafas dihembuskan. Halitosis merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan nafas tidak sedap yang berasal baik dari rongga mulut maupun diluar
rongga mulut. Sedangkan, bau rongga mulut adalah istilah khusus yang digunakan untuk
menggambarkan bau dari kavitas rongga mulut.
Halitosis, nafas bau atau biasa yang disebut dengan nafas buruk dapat dibagi menjadi
true halitosis, pseudohalitosis, dan halitophobia.
a. True halitosis
True halitosis dapat dibagi menjadi halitosis fisiologis dan patologis. Halitosis fisiologis
termasuk halitosis yang dapat disebabkan komponen makanan, kebiasaan yang buruk,
nafas pagi hari, dan juga berdampak pada xerostomia yang juga disebabkan oleh factor
fisiologis. Halitosis patologis terjadi karena kondisi patologik atau jaringan mulut seperti
gingiva atau penyakit periodontal misalnya periodontitis, acute necrotizing ulcerative
gingivitis, darah residu pascaoperasi, sisa makanan, lesi ulseratif pada rongga mulut,
halitosis bisa juga berkaitan dengan lidah yang terlapis sisa makanan, dapat juga berefek
sekunder berupa xerostomia yang disebabkan oleh penyakit glandula saliva dan
tonsilolitis.
b. Pseudohalitosis
Pasien yang menderita penyakit pseudohalitosis mengeluhkan atas adanya halitosis
meskipun orang lain tidak merasakannya. Kondisi ini dapat diatasi dengan konseling
(menggunakan dukungan literature, pengetahuan, dan penjelasan atas hasil pengujian) dan
pengukuran kebersihan mulut sederhana.
c. Halitophobia
Beberapa individu tetap ingin melanjutkan perawatan meskipun telah dirawat
berdasarkan halitosis sejati ataupun halitosis semu. Individu seperti ini dikategorikan
sebagai halitophobic. Halitophobia dapat dipertimbangkan sebagai penyakit ketika tidak
ada bukti fisik atau bukti sosial yang ada, yang membuktikan halitosis itu benar-benar ada.
d. Psychogenic Halitosis
Psychogenic Halitosis adalah orang yang membayangkan. Orang ini percaya bahwa
nafasnya berbau buruk meskipun itu tidak terjadi. Masalah ini terjadi pada orang yang
cenderung melebih-lebihkan sensasi tubuhnhya yang normal. Terkadang hal ini dapat
disebabkan oleh penyakit mental yang serius seperti schizophrenia. Orang ini terobsesi
dengan pikiran yang selalu merasa kotor. Orang yang paranoid ini memiliki khayalan
bahwa organ tubuhnya membusuk. Kebanyakan orang seperti ini merasa bau mulutnya
busuk. Beberapa orang dapat ditolong dengan meminta pendapat dokter atau dokter gigi
bahwa mulut mereka tidak berbau. Jika permasalahan berlanjut, orang seperti ini dapat
berkonsultasi dengan psikoterapis.
o ETIOLOGI HALITOSIS
Faktor penyebab halitosis secara sederhana dapat dibagi dua, yaitu faktor eksternal dan faktor
internal. Faktor eksternal antara lain adanya sisa makanan di dalam mulut, sedangkan faktor
internal meliputi karies gigi, radang kronis pada saluran pernafasan, gangguan pencernaan
dan lain-lain. Secara umum faktor penyebab halitosis dibagi atas faktor penyebab oral dan
non-oral. Faktor penyebab oral meliputi kebersihan mulut yang buruk atau adanya penyakit
periodontal sedangkan faktor non-oral meliputi penyebab medis seperti kronis, serta
gangguan saluran pencernaan. Meskipun beberapa penyebab halitosis dapat dihubungkan
dengan bagian ekstra oral seperti saluran pernafasan atas dan bawah, saluran pencernaan,
penyakit ginjal, dan hati, namun 85-90% masalah bau mulut berasal dari rongga mulut itu
sendiri. Oleh karena itu, dokter gigi sebagai orang yang mengetahuinya perlu memperhatikan
hal ini pada waktu perawatan gigi di klinik. Faktor lain yang dapat menyebabkan halitosis
adalah faktor risiko seperti tembakau, alkohol, mulut kering, diet, makanan dan minuman,
obat-obatan, dan gigi tiruan.
Makanan-makanan tertentu yang dapat menimbulkan halitosis antara lain bawang putih,
bawang merah dan lobak sedangkan minuman yang dapat menyebabkan halitosis antara lain
minuman beralkohol, produk susu dan lain-lain. Pada keadaaan ini, permasalahannya bukan
diawali pada saat makanan atau minuman berada di dalam rongga mulut tetapi terjadi setelah
bahan makanan atau minuman ini diserap pada pembuluh darah. Bau makanan atau minuman
yang tersebut selanjutnya akan ditransmisikan ke dalam paru-paru, yang kemudian keluar
bersama dengan udara pernafasan melalui mulut, dan semua keadaan ini bersifat sementara.
b. Oral Hygiene
Bila oral hygiene tidak dilakukan dengan baik, sisa-sisa makanan akan mengumpul diantara
gigi. Cepat atau lambat makanan yang telah mengalami pembusukan akan terbentuk, dan
hampir keseluruhan dari produk-produk yang disebabkan oleh pembusukan akan
mengeluarkan bau yang tidak sedap.
c. Penyakit Periodontal
Keadan periodontal mungkin merupakan keadaan patologi yang paling sering terlihat dan
dapat menimbulkan halitosis. Penyebab utama dari keberadaan penyakit ini adalah plak.
d. Xerostomia
Merupakan istilah untuk keadaan mulut yang kering. Xerostomia atau kekeringan di dalam
rongga mulut dapat pula menyebabkan terjadinya bau mulut atau halitosis.
e. Kebiasaan
Halitosis juga dapat disebabkan oleh penggunaan tembakau. Kebiasaan ini berkaitan dengan
resiko yang besar untuk terjadinya penyakit periodontal dan kanker di dalam rongga mulut
pada individu yang memiliki kebiasaan ini.
f. Penyakit Sistemik
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan halitosis, diantaranya infeksi pada saluran nafas,
diabetes, permasalahan pada saluran pencernaan, infeksi pada sinus dan kelainan hati serta
ginjal.
g. Obat-obatan
Beberapa obat dapat menimbulkan halitosis. Obat-obat tertentu dapat juga merubah rasa dan
bau, obat-obat tertentu tersebut dapat menimbulkan berkurangnya produksi saliva yang
menyebabkan terjadinya halitosis.
VSC (Volatile Sulfur Compounds) merupakan unsur utama penyebab halitosis. Volatile
Sulfur Compound merupakan hasil produksi dari aktivitas bekteri-bakteri anaerob di dalam
mulut yang berupa senyawa berbau yang tidak sedap dan mudah menguap sehingga
menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang lain disekitarnya. Di dalam aktivitasnya
di dalam mulut, bakteri anaerob bereaksi dengan protein-protein yang ada, protein di dalam
mulut dapat diperoleh dari sisa-sisa makanan yang mengandung protein sel-sel darah yang
telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun sel-sel epitel yang terkelupas dari mukosa
mulut. Seperti yang telah diketahui, di dalam mulut banyak terdapat bakteri baik gram positif
maupun gram negatif. Kebanyakan bakteri gram positif adalah bakteri sakarolitik artinya di
dalam aktivitas hidupnya banyak memerlukan karbohidrat, sedangkan kebanyakan bakteri
gram negatif adalah bakteri proteolitik dimana untuk kelangsungan hidupnya banyak
memerlukan protein. Protein akan dipecah oleh bakteri menjadi asam-asam amino.
Sebenarnya terdapat beberapa macam VSC serta senyawa yang berbau lainnya di dalam
rongga mulut, akan tetapi hanya terdapat 3 jenis VSC penting yang merupakan penyebab
utama halitosis, diantaranya metal mercaptan (CH3SH), dimetil mercaptan (CH3)2S, dan
hidrogen sulfide (H2S). Ketiga macam VSC tersebut menonjol karena jumlahnya cukup
banyak dan mudah sekali menguap sehingga menimbulkan bau. Sedangkan VSC lain hanya
berpengaruh sedikit, seperti skatole, amino, cadaverin dan putrescine.
o PENTALAKSAAN HALITOSIS
a. Oral Hygiene
Telah lama diketahui bahwa tindakan-tindakan untuk meningkatkan oral hygiene seperti
scaling, polishing, sikat gigi dan flossing, khususnya pembersihan lidah dapat mengurangi
bau mulut. Prosedur-prosedur pemeliharaan oral hygiene pada dasarnya adalah untuk
membersihkan sehingga mengurangi plak atau sisa-sisa makanan serta mengurangi jumlah
bakteri. Dengan menjaga oral hygiene secara baik aktivitas bakteri dapat ditekan sehingga
halitosis akan berkurang.
Kerusakan gigi dan susunan gigi perlu dilakukan perawatan apabila ingin memperbaiki
kondisi halitosis. Apabila terdapat peradanga pada jaringan penyangga gigi atau jaringan
mulut lainnya juga perlu dilakukan perawatan, akan tetapi satu hal perlu diingat bahwa
halitosis tetap dapat terjadi pada seseorang dengan kesehatan gigi dan mulut yang baik
sekalipun.
b. Obat Kumur
Penggunaan obat kumur mulut dengan bahan antibakteri dapat mengurangi halitosis dengan
cara mengurangi jumlah bakteri serta menghambat aktivitas bakteri. Penggunaan bahan ini
juga biasanya efektif untuk sementara waktu saja karena efeknya terhadap flora normal
mulut biasanya transitory. Beberapa bahan ini misalnya mengandung thymol, eucalyptus,
chlorhexidine, povidone iodine dan sebagainya.
c. Herbal
Disampung cara-cara yang telah dijelaskan diatas, pada sementara masyarakat dipergunakan
pula cara-cara tradisional yang diyakini dapat menghilangkan halitosis akan tetapi
mekanisme kerjanya belum jelas dan merupakan kebiasaan turun-temurun. Cara-cara ini
misalnya penggunaan jus tomat, anjuran mengunyah parsley, makan chlorophyll, pemakaian
ragi, ekstrak teh, di Jepang masyarakiat menggunakan sejenis rempah-rempah yang disebut
kampo, juga di Indonesia sendiri ada yang menggunakan ramuan dari daun mangkokan.
PENGOBATAN HALITOSIS
d. Chlorine Dioxide
Chlorine Dioxide atau chlordioksida merupakan salah satu bahan anti halitosis yang paling
banyak dan luas dipergunakan. Bahan ini pulalah yang telah diketahui mekanisme kerjanya
terhadap VSC. Bentuk sebenarnya dari sebenarnya dari senyawa ini adalah gas oleh sebab
itu cukup sulit digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan perawatan halitosis agar dapat dipergunakan misalnya dalam
bentuk bahan kumur mulut, perlu dilakukan stabilisasi agar tidak mudah menguap dan tidak
menjadi aktif sebelum dipergunakan.
Stabilisasi ini dapat dilakukan dalam berbagai cara, tetapi hanya beberapa yang sesuai untuk
penggunaan secara oral. Chlorine dioxide di dalam bahan kumur mulut berada dalam
keadaan stabil atau berbentuk tidak aktif oleh sebab itu dapat tetap stabil sebagai suatu
produk sampai sekitar dua tahun. Bahan ini menjadi aktif pada pH rendah atau asam.
Didalam mulut, keasaman dari permukaan plak dapat mengaktifkan bahan ini. Adanya
bakteri menghasilkan banyak interaksi asam-basa, dengan demikian akan menyebabkan
bahan chlorine dioxide dalam bentuk stabil ini menjadi aktif dan bekerja mengubah VSC.
Dengan demikian, makin lama larutan bahan ini berada dalam mulut akan makin baik
bekerjanya. Apabila bahan ini menjadi aktif, chlorine dioxide akan mengoksidasi ikatan
sulfur melalui suatu reaksi oksidasi reduksi. Dengan teroksidasinya senyawa yang
mengandung ikatan sulfur tersebut makan senyawa yang tadinya mudah menguap dan
menyebabkan bau akan diubah menjadi senyawa lain yang tidak berbau.
e. Baking Soda
Baking soda atau natrium bikarbonat sebaiknya dipergunakan secara hati-hati, seperti
diketahui di dalam suatu poket, misalnya pada penyakit periodontal, terdapat kondisi pH
basa serta kondisi lingkungan anaerob. Penggunaan baking soda untuk membersihkan gigi
geligi akan membuat saliva lebih bersifat basa sehingga membuat suasana lebih kondusif
untuk terjadinya halitosis. Baking soda pada konsentrasi yang tinggi (0,5-1 mol/1) dapat
menaikkan pH mulut dan dapat tetap bertahan lama. Pada konsentrasi yang rendah (lebih
kecil dari 0,5 mol/1) baking soda dapat menaikkan pH mulut akan tetapi cepat turun
kembali. Pada seseorang yang mempunyai periodontal pocket atau penyakit periodontal,
penggunaan baking soda dapat memperberat penyakit periodontal tersebut.
Hal ini terjadi karena adanya peningkatan aktivitas bakteri anaerob serta VSC yang
dihasilkan pada suasan pH basa tersebut, kecuali baking soda tersebut dipergunakan dalam
konsentrasi yang tinggi. Baking soda pada konsentrasi yang tinggi memang mempunyai
aktivitas bakterisidal terhadap kuman-kuman periodontal tertentu, akan tetapi pada
konsentrasi yang rendah tidak terlihat mempunyai daya bakterisidal tertentu. Baking soda
mudah sekali larut oleh karenanya dapat dengan cepat menjadi hilang dari sulkus gingival
dan berkurang konsentrasinya sampai dibawah tingkat yang dapat mematikan bakteri.
f. Peroksida
Peroksida seperti H2O2, misalnya yang banyak digunakan untuk perawatan gigi dan mulut
dalam fungsinya akan mengeluarkan oksigen bebas. Hal ini tampaknya akan membantu
untuk membuat kondisi mulut menjadi aerob sehingga aktivitas bakteri anaerob akan
tertekan, akan tetapi efektifitasnya kurang dibandingkan chlorine dioxide dalam mengubah
VSC. O nascens yang dihasilkan dari peroksida akan mengakibatkan oksigenisasi pada
jaringan mulut sedangkan chlorine dioxide memberikan reaksi oksidasi dan reduksi
khususnya terhadap VSC sehingga berubah menjadi bentuk senyawa laian yang tidak
berbau.
g. Obat Kumur
Obat-obatan atau bahan-bahan untuk umur mulut kebanyakan adalah bersifat antiseptik.
Oleh sebab itu bahan-bahan tersebut dapat menekan semua pertumbuhan bakteri di dalam
mulut, padahal bakteri-bakteri yang ada adalag merupakan flora normal mulut. Kebanyakan
bakteri yang ada tetap diperlukan di dalam mulut, khususnya untuk membantu penvernaan
dan tidak bersifat pathogen. Disamping itu, bahan-bahan kumur mulut yang beredar di
pasaran kebanyakan mengandung alcohol dengan kadar yang berbeda-beda. Alcohol
mempunyai pengaruh membuat jaringan lunak mulut menjadi kering sehingga
permeabilitasnya berubah dan dapat meningkatkan sekresi protein keluar jaringan.
Dengan demikian obat kumur mulut yang kebanyakan beredar dipasaran tidak mempunyai
pengaruh terhadap VSC yang timbul di dalam rongga mulut. Efek antiseptiknya dalam
membunuh bakteri juga hanya bertahan sebentar sehigga kurang berperan untuk mengurangi
nafas tak sedak untuk jangka panjang.
h. Bahan-bahan lain
Bahan-bahan lain yang dipergunakan untuk mengatasi halitosis dan telah beredar dipasaran
antara lain adalah: Zn-Chloride, Anthium chloride, Thimol, dan Eucalyptus.
o KEILITIS MONILIASIS
Keilitis Moniliasis adalah peradangan pada bibir yang berkaitan dengan Candida albicans
dan kebiasaan menjilat bibir. Candida albicans mendapat jalan masuk ke lapisan-lapisan
permukaan dari epitel bibir setelah lapisan tipisnya rusak, yang disebabkan oleh keadaan
basah dan kering yang berulang-ulang dari jaringan bibir. Akibatnya, terjadi pengelupasan
epitel permukaan bibir dan dapat terlihat sisik keputihan halus.
Selain kebiasaan menjilat bibir, keilitis moliasis juga disebabkan oleh reaksi hipersensitif
terhadap bahan-bahan yang terdapat di dalam pelembab bibir atau lipstick.
Cara mengatasi penyakit ini adalah dengan menghentikan kebiasaan menjilat bibir, serta
dibantu dengan melakukan pengolesan salep nistatin.
PRINSIP KERJA PRODUK PERAWATAN MULUT
ANTISEPTIK DAN DESINFEKSI
Antiseptik berasal dari bahasa yunani yang secara singkat berarti kuman. Secara
umum, antiseptik dan desinfeksi adalah untuk mengeliminasi mikroba patogen pada
berbagai sarana atau peralatan, terutama sarana atau peralatan yang langsung
digunakan pada prosedur atau tindakan medis serta mikroba yang lekat dengan para
petugas. Demikian juga untuk setiap prosedur atau tindakan medis atau perawatan
yang ditunjukan kepada penderita, yang akan beresiko masuknya mikroba patogen ke
tubuh penderita (Darmadi, 2005).
Desinfektan adalah senyawa kimia yang mempunyai sifat bakteriostatik dan
bakterisidal. Tujuan digunakan desinfektan adalah untuk membunuh bakteri patogen
yang penularannya melalui air seperti bakteri penyebab typus, kolera disentri, dan
lain-lain (waluyo, 2005).
Antiseptik adalah zat- zat yang membunuh atau mencegah pertumbuhan
mikroorganisme. Istilah ini terutama digunakan untuk sediaan yang dipakai pada
jaringan hidup (staf UNISRI, 2008:163).
Selain itu tujuan antiseptic menurut darmadi, 2008 adalah:
1. Untuk pengobatan local misalnya pada kulit, mulut, atau tenggorokan
2. Untuk irigasi daerah- daerah tubuh yang terinfeksi
3. Untuk mencuci luka terutama luka kotor
4. Untuk mencegah infeksi pada perawatan luka
5. Untuk mencuci kulit sebelum operasi untuk mencegah infeksi
6. Untuk mencuci tangan sebelum operasi untuk mencegah infeksi silang.
Ketentuan Pasal 3 dari Petunjuk Kosmetik ASEAN menetapkan bahwa "Produk kosmetik
yang dipasarkan tidak boleh menyebabkan kerusakan pada kesehatan manusia bila
diterapkan dalam kondisi penggunaan normal atau yang dapat diperkirakan secara wajar
dengan mempertimbangkan khususnya presentasi produk, pelabelannya , instruksi untuk
penggunaan dan pernyataan peringatan pembuangan serta informasi lainnya yang diberikan
oleh pabrikan atau agen resminya atau oleh orang lain yang bertanggung jawab untuk
menempatkan produk di pasar. (NPRA, 2017)"
Oleh karena itu, produk kosmetik harus aman bagi konsumen dan jika relevan
profesional yang terlibat (misalnya penata rambut, kecantikan, dll.) (NPRA, 2017).
Toksisitas sistemik yang mungkin timbul akibat penyerapan perkutan atau dari kecelakaan
(anak-anak) atau yang dapat diperkirakan secara wajar (misalnya produk kebersihan mulut,
lipstik) asupan oral juga harus dipertimbangkan (NPRA, 2017).
Menerapkan Pedoman Praktek Manufaktur Kosmetik yang Baik atau setara yang
disetujui
Selesaikan bahan kosmetik dengan hati-hati, pastikan mereka aman pada konsentrasi
tertentu dalam produk jadi yang sudah jadi
Memeriksa toleransi lokal terhadap produk jadi
Pemilihan kemasan yang memadai untuk menjaga kualitas produk dan menghindari,
sejauh mungkin, risiko penyalahgunaan atau kecelakaan
Kontrol kualitas, terutama mikrobiologi dan kimia
Studi stabilitas mis. untuk mengevaluasi umur simpan, efektivitas pengawet
(tantangan uji), kompatibilitas produk dan kemasannya, dll.
Pelabelan yang sesuai - penyajian produk, instruksi penggunaan dan pembuangan,
peringatan (jika relevan) dan tindakan yang tepat untuk dilakukan jika terjadi
kecelakaan
Prosedur yang memadai jika terjadi efek samping dengan produk yang dipasarkan -
kasus perkara, pengobatan medis, dermatologis, oftalmosologi, saran yang
diperlukan, tindak lanjut produk di pasar dan komentar konsumen, penyimpanan
informasi dll. Dalam kasus Kejadian Serius Serius, prosedurnya harus serupa dengan
Manual Panduan untuk Pelaporan Efek Buruk
Memastikan tindakan / tindak lanjut korektif, jika ada perubahan atau pemalsuan
produk yang terlihat disarankan dari pasar
Meskipun tidak mungkin untuk mencapai risiko nol atau untuk mendapatkan keselamatan
mutlak dalam aktivitas manusia apa pun, termasuk tata rias, namun upaya yang wajar harus
dilakukan untuk mengurangi risiko dari produk kosmetik seminimal mungkin, sesuai dengan
keadaan seni di waktu.
Tidak ada pendekatan formalistik terhadap proses evaluasi keselamatan. Proses yang
sebenarnya akan bervariasi dari produk ke produk sesuai dengan kebaruan komposisi produk
dan relevansi dan kecukupan informasi yang ada. Namun, sebagai aturan umum, dasar utama
untuk evaluasi keselamatan diberikan dengan mempertimbangkan profil toksikologi bahan-
bahannya (NPRA, 2017).
Pengkajian mutu produk secara berkala hendaklah dilakukan terhadap semua obat terdaftar,
termasuk produk ekspor, dengan tujuan untuk membuktikan konsistensi proses, kesesuaian
dari spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan produk jadi, untuk melihat tren dan
mengidentifikasi perbaikan yang diperlukan untuk produk dan proses. Pengkajian mutu
produk secara berkala biasanya dilakukan tiap tahun dan didokumentasikan, dengan
mempertimbangkan hasil kajian ulang sebelumnya dan hendaklah meliputi paling sedikit
(BPOM, 2012) :
kajian terhadap bahan awal dan bahan pengemas yang digunakan untuk produk,
terutama yang dipasok dari sumber baru;
kajian terhadap pengawasan selama-proses yang kritis dan hasil pengujian produk
jadi;
kajian terhadap semua bets yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan dan
investigasi yang dilakukan;
kajian terhadap semua penyim-pangan atau ketidaksesuaian yang signifikan, dan
efektivitas hasil tindakan perbaikan dan pencegahan;
kajian terhadap semua perubahan yang dilakukan terhadap proses atau metode
analisis;
kajian terhadap variasi yang diajukan, disetujui, ditolak dari dokumen registrasi
yang telah disetujui termasuk dokumen registrasi untuk produk ekspor;
kajian terhadap hasil program pemantauan stabilitas dan segala tren yang tidak
diinginkan;
kajian terhadap semua produk kembalian, keluhan dan penarikan obat yang
terkait dengan mutu produk, termasuk investigasi yang telah dilakukan;
kajian kelayakan terhadap tindakan perbaikan proses produk atau peralatan yang
sebelumnya;
kajian terhadap komitmen pasca pemasaran dilakukan pada obat yang baru
mendapatkan persetujuan pendaftaran dan variasi persetujuan pendaftaran;
status kualifikasi peralatan dan sarana yang relevan misal system tata udara
(HVAC), air, gas bertekanan, dan lain-lain; dan
kajian terhadap Kesepakatan Teknis untuk memastikannya selalu mutakhir.
Bahan (NPRA, 2017)
Bahan kosmetik kebanyakan bahan kimia dan sering dicampur bahan kimia asal
sintetis atau ekstrak alami. Pemilihan bahan yang hati-hati merupakan isu utama
untuk memastikan keamanan produk jadi.
Struktur kimia menentukan reaktivitas kimia dan biologisnya. Ini harus
dipertimbangkan dari dua sudut pandang: kepentingan dan keamanan kosmetik.
Pertimbangan lain adalah tingkat kemurnian kimia, kemungkinan interaksi dengan
bahan lain dalam perumusan dan potensiasi penetrasi kulit. Secara umum, adanya
kotoran secara teknis tidak terhindarkan. Tapi kotoran ini tidak memiliki relevansi
toksikologis yang signifikan dalam produk jadi. Perhatian khusus harus diberikan
pada kemungkinan interaksi antara kotoran (misalnya pembentukan nitrosamin) dan
adanya residu pestisida, logam beracun dan / atau ensefalopati spongiform yang
dapat ditularkan (TSE) dalam ramuan asal botani atau diambil dari hewan.
o Bahan yang perlu dihindari
Untuk setiap bahan baku, perlu untuk memeriksa apakah undang-undang
tersebut ditutupi oleh undang-undang saat ini dan, jika ya, apakah
penggunaan yang diusulkan sesuai dengan parameter yang ditentukan.
o Sumber data toksikologi
Sumber utama data toksikologi bahan berasal dari pemasok. Pembuat bahan
baku harus mematuhi undang-undang nasional tentang bahan kimia / zat
berbahaya (keamanan kerja, transportasi, pengemasan dan pelabelan).
Kesimpulannya halitosis dapat dialami oleh semua orang. Sumber utama halitosis adalah di
dalam mulut, yaitu adanya senyawa-senyawa belerang yang mudah menguap atau volatile
sulphur compounds (VSCs). senyawa ini dihasilkan dari proses anaerob, khususnya pada
permukaan lidah bagian belakang. Untuk terhindar dri halitosis, disarankan agar melakukan
berbagai upaya pencegahan dan perawatan seperti yang disampaikan di atas.
REFERENSI
1. Amerogen AV. Ludah dan Kelenjar Ludah Arti Bagi Kesehatan Gigi. Alih Bahasa
Rafiah Abyono. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. 1988
2. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. EGC
3. BPOM RI. 2012. Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Kepala
Badan Pengawasan Obat dan Makanan: Indonesia.
4. Chandra B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan, Indonesia: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
5. Darmadi, 2008, infeksi nasokomial problematika dan pengendalian, Salemba Medika,
Jakarta.
6. Dixon, Andrew D. Anatomi untuk Kedokteran Gigi ed.5. Jakarta: Hipokrates. 1993
7. Drugs.com. 2017. Sensodyne original flavour. Available Online at:
https://www.drugs.com/drp/sensodyne-original-flavor.html. [Accessed on 17/9/2017]
8. Guyton. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 7 th. Jakarta: EGC. 1994
9. Geneser, Finn. Buku Teks Histologi, Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994.
10. National Pharmaceutical Regulatory Agency (NPRA). 2017. Guidelines for Control
of Cosmetic Products in Malaysia. Revisi Pertama. Kementerian Kesihatan Malaysia:
Malaysia.
11. Roth GL, Calmes R. Oral Biology. St. Louis: CV Mosby. 1981
12. Staf Pengajar Departemen Farmakologi. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi
2. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. EGC. Jakarta.
13. Tortora dan Derrickson, 2009, Principles of Anatomy and Physiology, John Wiley &
Sons.
14. Waluyo, Lud. 2007. Mikrobiologi Umum. Malang: UMM Press.
15. Yousem DM, Chalian AA: Oral cavity and pharynx. Radiol Clin North Am 36:967-
981, 1998.