Anda di halaman 1dari 13

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Metabolisme xenobiotik adalah reaksi metabolisme yang terjadi pada
senyawa asing yang terdapat di dalam tubuh (obat-obatan, karsinogen
kimiawi, beragam senyawa lain sePCBs dan insektisida tertentu). Proses
metabolisme xenobiotik terjadi pada semua manusia, yang merupakan
mekanisme pertahanan pada senyawa ataupun benda asing yang masuk ke
dalam tubuh baik melalui proses pencernaan, pernafasan, transdermal, dan
intra venus. Seperti proses metabolisme xenobiotik pada obat paracetamol
yang sering digunakan oleh masyarakat.
Paracetamol atau asetamino merupakan obat yang berkhasiat sebagai
obat analgetik (menghilangkan rasa nyeri atau sakit) dan sebagai obat
antipiretik (menurunkan panas). Di indonesia paracetamol banyak dipakai
pada obat-obat turun panas maupun obat untuk flu yang disertai batuk dan
demam. Paracetamol yang masuk ke dalam tubuh manusia akan diidentifikasi
sebagai benda asing tubuh.
Paracetamol yang sudah masuk di dalam tubuh manusia secara
otomatis akan dicerna tubuh dengan proses metabolisme xenobiotik yang
nantinya akan di identifikasi untuk menentukan paracetamol di serap oleh
tubuh melalui pembuluh darah dan meredahkan saraf nyeri atau di buang
bersama urin karena menjadi racun bagi tubuh manusia.
Dari permasalahan tersebut, penyusun membuat makalah ini untuk
membahas reaksi xenobiotik pada obat paracetamol.

1.2 Rumusan Masalah


Dari permasalahan tersebut penyusun menbuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1) Apa yang dimaksud dengan obat paracetamol?.
2) Bagaimana mekanisme kerja obat paracetamol di dalam tubuh dalam
meredahkan rasa nyeri dan demam?.
3) Bagaimana mekanisme kerja obat paracetamol di dalam tubuh pada
proses metabolisme xenobiotik dan keadaan overdosis?.

1.3 Tujuan

1
1.3.1 Tujuan konstruksional umum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Ilmu Dasar
Keperawatan 2 diharapkan mahasiswa semester 2 dapat mengetahui
proses metabolisme xenobiotik pada obat paracetamol.
1.3.2 Tujuan konstruksional khusus
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Ilmu Dasar
Keperawatan 2 diharapkan mahasiswa semester 2 dapat mengetahui
proses metabolisme xenobiotik pada peredahan rasa nyeri dan demam,
mekanisme kerja obat pada proses ekskresi, dan pada keadaan
overdosis.

1.4 Manfaat
(1) Menambah pengetahuan dalam pembelajaran pada proses metabolisme
xenobiotik.
(2) Sebagai media pembelajaran dalam proses metabolisme pada obat
paracetamol.
(3) Menambah sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan keperawatan bagi pembaca.

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Metabolisme Xenobiotik


Xenobiotik adalah bahan kimia yang ditemukan dalam organisme,
tetapi tidak diharapkan untuk diproduksi atau terdapat di dalamnya, atau
mereka adalah bahan kimia yang ditemukan dalam konsentrasi yang lebih

2
tinggi dari biasanya. Terdapat lima proses kemungkinan penyerapan usus
xenobiotik, mereka transpor aktif, difusi pasif, pinositosis, filtrasi melalui
"pori-pori" dan penyerapan limfatik. Sejumlah faktor yang dapat mengubah
tingkat penyerapan xenobiotik yang meliputi diet, motilitas usus, gangguan
gastro flora usus, perubahan dalam laju pengosongan lambung, usia, dan
tingkat disolusi. Xenobiotik yang dimetabolisme oleh biotransformasi atau
reaksi detoksifikasi dan mereka dikelompokkan ke dalam fase satu dan fase
dua reaksi. Fase pertama reaksi berupa reaksi oksidasi satu meliputi reaksi
reduksi, hidrolisis dan fase kedua berupa glukoronidase, sulfasi, glutasi,
asetilsai, metilasi. Ekskresi terjadi melalui urin xenobiotik, napas, feses, dan
keringat. Xenobiotik (Gk xenos asing) merupakan semua senyawa yang
asing bagi tubuh (obat, zat aditif, lain-lain).
Xenobiotik umumnya tidak larut air, sehingga kalau masuk tubuh
tidak dapat diekskresi. Untuk dapat diekskresi xenobiotik harus
dimetabolisme menjadi zat yang larut, sehingga bisa diekskresi. Organ yang
paling berperan dalam metabolisme xenobiotik adalah hati. Ekskresi
xenobiotik melalui empedu dan urine.
Metabolisme xenobiotik dibagi 2 fase; Fase Hidroksilasi dan Fase
Konjugasi. Fase Hidroksilasi adalah fase mengubah xenobiotik aktif
menjadi inaktif. Fase konjugasi adalah fase mereaksikan xenobiotik inaktik
dengan zat kimia tertentu dalam tubuh menjadi zat yang larut, sehingga
mudah diekresi baik lewat empedu maupun urine. Pada fase hidroksi
mengubah xenobiotik aktif menjadi inaktif, oleh enzim Monooksidase atau
Sitokrom P450. Enzim Sitokrom P450 terdapat banyak di Retikulum
Endoplasma. Fungsi enzim ini adalah sebagai katalisator perubahan
Hidrogen (H) pada xenobiotik menjadi gugus Hidroksil (OH). Reaksi
Hidroksilasi oleh enzim Sitokrom P450 adalah sebagai berikut: RH + O2
R-OH + H2O. Sitokrom P450 merupakan hemoprotein seperti Hemoglobin,
banyak terdapat pada membran retikulum endoplasma sel hati. Pada
beberapa keadaan produk hidroksilasi bersifat mutagenik atau karsinogenik.
Fase konjugasi adalah fase mereaksikan xenobiotik inaktik dengan
zat kimia tertentu dalam tubuh menjadi zat yang larut, sehingga mudah
diekskresi baik lewat empedu maupun urine. Zat dalam tubuh yang biasa

3
dipergunakan untuk proses konjugasi adalah: asam glukoronat, sulfat,
acetat, glutation atau asam amino tertentu. Glukuronidasi: proses
menkonjugasi xenobiotik dengan asam glukorunat, dengan enzim glukuronil
transferase. Xenobiotik yang mengalami glukorunidasi adalah:
asetilaminofluoren (karsinogenik), anilin, asam benzoat,
meprobamat, fenol dan senyawa steroid.
Sulfasi adalah proses konjugasi xenobiotik dengan asam sulfat,
dengan enzim sulfotransferase. Xenobiotik yang mengalami sulfasi
adalah: alkohol, arilamina, fenol. Konjugasi dengan Glutation, yang terdiri
dari tripeptida (glutamat, sistein, glisin) dan biasa disingkat GSH,
menggunakan enzim glutation S-transferase atau epoksid hidrolase.
Xenobiotik yang berkonjugasi dengan GSH adalah xenobiotik elektrofilik
(karsinogenik). Metabolisme xenobiotik kadang disebut proses
detoksifikasi, tetapi istilah ini tidak semuanya benar, sebab tidak semua
xenobiotik bersifat toksik. Respon metabolisme xenobiotik mencakup efek
farmakologik, toksik, imunologik dan karsinogenik.

Respon metabolisme xenobiotik dapat menguntungkan karena


metabolit yang dihasilkan menjadi zat yang polar sehingga dapat diekskresi
keluar tubuh. Respon metabolisme xenobiotik dapat merugikan karena:
Berikatan dengan makromolekul dan menyebabkan cidera sel, Berikatan
dengan makromolekul menjadi hapten dan merangsang pembentukan
antibodi dan menyebakan reaksi hipersensitivitas yang berakibat cidera sel,

4
dan Berikatan dengan makromolekul menjadi zat mutan yang menyebakan
timbulnya sel kanker.

2.2 Paracetamol
Paracetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik
yang digunakan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal, sakit ringan
dan demam. Digunakan dalam sebagian besar resep obat analgesik salesma
dan flu. Paracetamol aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah
didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.
Berbeda dengan obat analgesik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen,
paracetamol tidak memiliki sifat antiradang.
Paracetamol sering dikombinasikan dengan aspirin untuk mengatasi
rasa nyeri pada rematik, karena paracetamol tidak mempunyai efek anti
inflamasi seperti aspirin sehingga bila kedua obat ini digabung maka akan
didapatkan sinergi pengobatan yang bagus pada penyakit rematik.
Paracetamol aman diberikan pada wanita hamil dan menyusui namun tetap
dianjurkan pada wanita hamil untuk meminum obat ini bila benar-benar
membutuhkan dan dalam pengawasan dokter. Paracetamol dikombinasikan
dengan opiod codein. Paracetamol dikombinasikan dengan codein dan
penenang (syndol atau mersyndol). Parasetamol umumnya digunakan untuk
mengobati demam, sakit kepala, dan rasa nyeri ringan.
Identifikasi obat paracetamol:
2.2.1 Kandungan paracetamol
Ingredients Quantities

Paracetamol 24 g

Amaranth Solution BP 2 mL

Chloroform Spirit BP 20 mL

Concentrated Raspberry Juice BP 25 mL

Alcohol (95%) BP 100 mL

Propylene Glycol BP 100 mL

Invert Syrup BP 275 mL

Glycerol BP to 1000 mL

5
2.2.2 Dosis paracetamol
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram
pada orang dewasa berpotensi hepatotoksik. Dosis 4 gram pada
anak-anak dan 15 gram pada dewasa dapat menyebabkan
hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati.
Dosis lebih dari 20 gram bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita
yang mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim hati,
kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi
metabolit meningkat.
2.2.3 Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan
kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-
kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk
tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam
glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin
dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil
benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit
berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari
glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan
berikatan dengan sulfhidril dari protein hati (Lusiana Darsono 2002).
2.2.4 Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan
Salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai
sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang
diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti-
inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan
Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol
merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah.
Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua
obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan
asam basa.
Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui
penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat
siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi

6
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase
secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat
lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol
menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada
siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol
hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai
sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan
efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol
menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung
prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan
menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan
akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula
peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik (Aris 2009).
2.2.5 Efek samping
Acetaminophen atau Paracetamol bekerja di pusat nyeri otak
untuk mengurangi rasa nyeri dan demam. Acetaminophen
mempunyai efek samping yang sangat minim terutama pada
lambung bila dibandingkan dengan obat NSAID. Meskipun
demikian, bila digunakan melebihi dosis yang dianjurkan,
acetaminophen dapat menyebabkan kerusakan hati berat. Pada
peminum alcohol, acetaminophen dapat menyebabkan kerusakan
hati walau diberikan pada dosis yang rendah. Obat NSAID
mengurangi nyeri dengan cara mengobati reaksi inflamasi yang
menyebabkan terjadinya nyeri. Obat ini disebut non steroid karena
memang berbeda dari obat steroid walaupun mempunyai efek sama
mencegah terjadinya reaksi inflamasi. Obat-obat yang termasuk ke
dalam golongan steroid (kortikosteroid) tidak dipergunakan karena
mempunyai efek samping yang kurang bagus bila digunakan dalam
jangka waktu yang lama. Efek samping ini tidak ditemukan pada
obat NSAID.

2.3 Mekanisme Kerja Obat Paracetamol Pada Tubuh


1) Proses kerja obat paracetamol pada pusat nyeri dan panas

7
paracetamol merupakan obat anagesik dan antipiretik yang dapat
menghilangkan rasa nyeri dan demam. Paracetamol menghambat suatu
enzim yang namanya COX-3 (siklooksigenase) yang ada di otak.
Berbeda dengan obat-obat analgesik yang lain seperti aspirin, ibuprofen,
metampiron atau golongan NSAID mereka menghambat COX-1 dan
COX-2 yang ada di sistem syaraf perifer (tepi). Semua obat analgesik ini
mengurangi gejala rasa sakit, sementara tidak disertai sumber
penyakitnya. Tetapi sebagai antipiretik parasetamol langsung
menurunkan demam di pusatnya. Demam sendiri merupakan respon dari
tubuh terhadap agen penyebab penyakit. Tetapi apabila demam sangat
tinggi dimana suhu tubuh di atas normal bahkan mendekati 40 C maka
antipiretik perlu diberikan. Demam yang sangat tinggi dapat
menyebabkan mengigau, dehidrasi dan bahkan kejang-kejang.
Maka dari itu paracetamol sangat diperlukan. Paracetamol dapat
menghambat enzim COX (siklooksigenase). COX disini dihasilkan oleh
arachidhonic acid. Dimana arachidonic acid ini dapat dihasilkan dari
membran pospholipid yang terdapat pada membran sel (pada
hipotalamus). COX yang telah dihasilkan (COX-1,COX-2, dan COX-3)
ini dapat menghasilkan protaglandin. Dimana COX ini memiliki peran
masing-masing. COX-1 dapat mempengaruhi sistem pencernaan. COX-

8
2 mempengaruhi terjadinya inflamasi, sedangkan COX -3 dapat
mempengaruhi nyeri dan demam. Ketika COX-3 mendapat stressor
maka kerja prostaglandin yang mengarah pada pengaturan suhu dan
nyeri akan terganggu, sehingga menimbulkan efek demam dan rasa
nyeri. Dalam kondisi demam dan nyeri ini parasetamol bekerja sebagai
penghambat kerja COX-3 yang berlebihan. Sehingga kerja enzim COX
akan normal kembali.
2) Proses kerja metabolisme xenobiotik paracetamol dan overdosis
paracetamol.

Parasetamol sendiri merupakan obat yang memiliki khasiat


sebagai analgesik (meredakan rasa sakit) dan antipiretik (menurunkan
demam). Metabolisme paracetamol sendiri ada 2 fase: Fase 1 dimana
reaksi yang terjadi berupa oksidasi, reduksi, hidrolisis dan lain-lain.
Untuk menjadikan molekul obat lebih polar di perlukan Fase 2 atau fase
konjugasi, dimana obat ini dikonjugasi dengan gugus-gugus yang bisa
menjadikan obat lebih polar, contohnya: glukoronidasi (ditempel asam
glukoronat), sulfatasi (ditempeli gugus sulfat). Dimana obat itu masuk
di fase metabolisme tergantung sifat obatnya, jadi ada obat yang harus
lewat fase 1 dan 2 supaya bisa dikeluarkan, ada yang langsung fase 2,
ada yang cuma fase 1. Sedangkan untuk parasetamol para ahli pertama
memperkirakan hanya melewati metabolisme fase 2 saja yaitu
glukoronidasi dan sulfatasi. Seiring berjalannya waktu ada beberapa
laporan telah terjadi kasus hepatotoksik. Jadi para ahli mulai meneliti
kembali dan akhirnya di temukan pada parasetamol tidak hanya dengan

9
2 jalur tersebut namun ada suatu jalur metabolisme yang menyebabkan
hepatotoksik tersebut.
Pada gambar di atas fase pertama pada metabolisme xenobiotik
paracetamol sebagai berikut; paracetamol masuk dalam tubuh melewati
lambung dan kemudian menuju ke dalam hati. Di dalam hati
paracetamol mengalami proses metabolisme xenobiotik pada tahap
pertama yaitu proses hidroksilasi. Dimana pada proses hidroksilasi
parasetamol (APAP = Acetaminophen) di ubah dari keadaan inaktif
menjadi aktif yang kemudian dapat diekskresi. Pada hidroksilasi
paracetamol atau APAP dimetabolisme oleh Cytochrome P-450
terutama oleh isoenzim 2E1 (CYP 2E1), ini dimetabolisme di fase 1
yaitu oleh Cytochrome P-450 terutama oleh isoenzim 2E1 (CYP 2E1)
dan menjadi polar. Setelah pada fase 1 menjadi polar CYP 2E1
mengalami konjugasi pada fase 2. Pada fase ini CYP 2E1 di konjugasi
oleh glukoronidasi dan sulfasi. Paracetamol dikonjugasi dengan proses
sulfasi karena paracetamol memiliki kandungan alkohol atau etanol.
Setelah mengalami glukoronidasi menjadi NAPQI (N-asetil-p-benzo-
kuinon imina) yang bersifat efek toksik. Bila paracetamol dikonsumsi
secara normal, metabolit toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi
menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan melalui
ginjal. Namun jika paracetamol masih dalam bentuk NAPQI yang
terjadi di dalam sitosol hati yaitu retikulum endoplasma, NAPQI tidak
bisa dikeluarkan melalui urin. Untuk mengeluarkan NAPQI tersebut,
NAPQI dikonjugasi dengan GSH sehingga menjadi NAPQIGS dan
dapat dikeluarkan lewat urin.
Namun apabila pasien mengkonsumsi paracetamol pada dosis
tinggi atau overdosis, jumlah GSH jauh lebih rendah daripada NAPQI.
Karena parasetamol yang dikonsumsi banyak dan NAPQI yang
terbentuk banyak. Pada kondisi overdosis metabolisme dengan
glukoronidasi dan sulfatasi suatu saat akan menjadi jenuh. Hal ini
karena jumlah glukoronidasi dan sulfatasi terbatas. Dimana suatu saat
jumlah glukoronidasi dan sulfat akan habis dan metabolisme

10
paracetamol akan dibebankan pada jalur CYP 2E1. Dan jumlah
paracetamol yang lewat jalur CYP 2E1 meningkat, maka jumlah
NAPQI juga meningkat. Sehingga, jumlah NAPQI akan terlalu banyak
bagi GSH. GSH yang ada akan berusaha menetralkan NAPQI dengan
semua kemampuan yang dimiliki. Namun jumlah GSH semakin lama
semakin sedikit dan dapat habis karena. NAPQI yang tersisa akan
berusaha mencari tempat ikatan, dan parahnya NAPQI berikatan
dengan protein-protein di hati. Sehingga fungsi hati dapat terganggu
dan jika kondisi ini dibiarkan atau jumlah NAPQI terlalu banyak maka
dapat terjadi kerusakan dan nekrosis hati.

BAB 3 PENUTUP

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :


Paracetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik
yang digunakan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal, sakit ringan dan
demam, namun paracetamol tidak memiliki sifat antiradang. Paracetamol dapat
menghambat enzim COX (siklooksigenase). COX disini dihasilkan oleh
arachidhonic acid. Dimana arachidonic acid ini dapat dihasilkan dari membran
pospholipid yang terdapat pada membran sel (pada hipotalamus). COX yang
telah dihasilkan (COX-1,COX-2, dan COX-3) ini dapat menghasilkan
protaglandin. Dimana COX ini memiliki peran masing-masing. COX-1 dapat
mempengaruhi sistem pencernaan. COX-2 mempengaruhi terjadinya inflamasi,
sedangkan COX -3 dapat mempengaruhi nyeri dan demam. Ketika COX-3
mendapat stressor maka kerja prostaglandin yang mengarah pada pengaturan

11
suhu dan nyeri akan terganggu, sehingga menimbulkan efek demam dan rasa
nyeri. Dalam kondisi demam dan nyeri ini parasetamol bekerja sebagai
penghambat kerja COX-3 yang berlebihan. Sehingga kerja enzim COX akan
normal kembali.
Cara kerja paracetamol ada 2 fase. Fase pertama proses hidroksilasi
parasetamol (APAP = Acetaminophen), dimetabolisme oleh Cytochrome P-450
terutama oleh isoenzim 2E1 (CYP 2E1), ini dimetabolisme di fase 1 yaitu oleh
Cytochrome P-450 terutama oleh isoenzim 2E1 (CYP 2E1) dan menjadi polar.
Setelah pada fase 1 menjadi polar CYP 2E1 mengalami konjugasi pada fase 2.
Pada fase ini CYP 2E1 di konjugasi oleh glukoronidasi dan sulfasi.
Paracetamol dikonjugasi dengan proses sulfasi karena paracetamol memiliki
kandungan alkohol atau etanol. Setelah mengalami glukoronidasi menjadi
NAPQI (N-asetil-p-benzo-kuinon imina) yang bersifat efek toksik. Bila
paracetamol dikonsumsi secara normal, metabolit toksik NAPQI ini segera
didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan
melalui ginjal dengan berikatan pada GSH. Namun jika paracetamol
dikonsumsi dengan jumlah banyak dapat terjadi kerusakan dan nekrosis hati.

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna, S.G.. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi IV, 214. Jakarta: UI Press.
Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
http://shintarosalia.lecture.ub.ac.id/files/2012/11/SRD_toxico2_farmakokinetik1.p
df. (Diakses pada hari Jumat tanggal 7 Maret 2014).

lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/626_pp0911253.pdf (Diakses pada hari Jumat


tanggal 7 Maret 2014).

Murray, Robert K, dkk.. 2009. Biokimia Harper, edisi 27. Jakarta: EGC.
Poedjiadi, supriyanti. 2007. Dasar-Dasar Biokimia. Bandung: UI Press.

12
Raharja, Kirana. 1997. Obat-Obat Penting, edisi 5. Jakarta: Elex Media
Computindo.
staff.undip.ac.id/fk/amallia.../xenobiotik_2011.pdf (Diakses pada hari Jumat
tanggal 7 Maret 2014).

13

Anda mungkin juga menyukai