Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin meningkat seiring
bertambahnya waktu, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di Indonesia
berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria diantaranya menderita gejala saluran
kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) akibat BPH.1
BPH didefinisikan sebagai proliferasi dari sel stroma pada prostat, yang
menyebabkan perbesaran pada kelenjar prostat. Berdasarkan anatominya insiden BPH
hanya terjadi pada laki-laki, dan gejala pertama kali akan muncul pada usia sekitar 40
tahun. BPH adalah suatu kondisi yang mempunyai kaitan dengan penuaan. Meskipun
BPH bukan suatu kelainan yang mengancam jiwa, BPH merupakan manifestasi klinis
dari LUTS yang dapat mengurangi kualitas hidup penderita. 2
Pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga kandung kemih
sering berkontraksi meski belum penuh. Apabila kandung kemih menjadi
dekompensasi, akan terjadi residual urine, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir
berkemih.3
Etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti, tetapi diketahui bersifat
multifaktor dan berhubungan dengan endokrin. Beberapa hipotesis yang diduga
sebagai penyebab BPH diantaranya teori dihidrotestosteron, ketidakseimbangan
antara estrogen-testosteron, interaksi stromal-epitel, berkurangnya kematian sel
prostat, dan teori inflamasi kronis.1
Dalam menegakkan diagnosis BPH dapat dilakukan anamnesis dengan
menayakan keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) yang dibagi atas
gejala obstruktif (hesitansi, pancaran miksi melemah, intermitensi, miksi tidak puas,
dan menetes setelah miksi), gejala iritiatif (frekuensi, urgensi, disuria, dan nokturia).
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prostat
Prostat adalah kelenjar seks tambahan terbesar pria yang ekresinya
berkontribusi pada cairan semen. Prostat terletak didalam rongga pelvis ditembus oleh
dua buah saluran, uretra dan ductus ejaculatorius. Berbentuk seperti piramida terbalik
dan mempunyai ukuran yang bervariasi sekitar 4x3x2 sentimeter. Konsistensinya
keras, sebagian berupa kelenjar sebagian berupa otot. Prostat terbungkus dalam
sebuah kapsul jaringan ikat, kapsul ini dilapisi lagi oleh fascia prostatica yang tebal
(berasal dari fascia pelvica). Prostat difiksasi oleh ligamentum puboprotaticum, fascia
superior diaphragmatis urogenitalis dan bagian depan musculus levator ani.1
Prostat terbagi dalam beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona
sentral, zona transisional, zona preprostatik sfingter, dan zona anterior. Secara
histopatologik kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen
stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf, dan jaringan
penyanggah lainnya.1
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari
cairan ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra
posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat
ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan ± 25% dari seluruh volume ejakulat.1
Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari
pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus menerima masukan serabut parasimpatik dari
korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus hipogastrikus (T10-L2). Stimulasi
parasimpatis meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan
simpatis menyebabkan pengeluaran cairan prostat saat ejakulasi. Jika kelenjar ini
mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi
penekanan uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.1

2
Gambar 2.1. Anatomi Prostat.1

2.2 Definisi
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan kelainan jinak dari prostat,
yang ketika membesar, dapat mengakibatkan berbagai tingkat obstruksi saluran
kemih, kadang-kadang membutuhkan intervensi bedah. BPH merupakan tumor jinak
kronik progresif paling sering pada laki-laki, yang menimbulkan keluhan LUTS yang
mengganggu kualitas hidup pasien.1,2
Para klinisi memakai terminologi BPH untuk menerangkan sindroma klinik
yang terdiri dari 3 komponen yaitu keluhan saluran kencing bawah (LUTS), benign
prostatic enlargement (BPE) dan bladder outlet obstruction (BOO). Secara histologi
BPH didefinisikan sebagai hiperplasi nodular dari sel stromal dan epitelial pada zona
transisional prostat.3

2.3 Epidemiologi
WHO pada tahun 2013 memperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus
degeneratif, salah satunya ialah BPH, dengan insidensi di negara maju sebanyak 19%,
sedangkan di negara berkembang sebanyak 5.35% kasus. Pada tahun 2010 di Amerika
Serikat hampir 14 juta pria menderita gejala Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS)
yang disebabkan oleh BPH. BPH mempengaruhi sekitar 50% pria antara usia 51
sampai 60 tahun, dan meningkat 80% pada pria yang berusia 80 tahun. Survei dari
Multi-national Aging Men (MSAM) yang dilakukan di Eropa dan Amerika,
menunjukkan bahwa lebih dari 14.000 pria usia 50-80 tahun mengalami masalah

3
seksual akibat BPH dimana sebesar 49% mengalami kesulitan ereksi, 48% mengalami
gangguan ejakulasi dan 7% mengalami nyeri saat berhubungan seksual.4
Tahun 2013 di Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH, di antaranya diderita
oleh laki-laki berusia di atas 60 tahun.5 Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah,
Denpasar, selama tahun 2013 terdapat 103 pasien dengan BPH yang menjalani
operasi, dari total 1161 pasien urologi yang menjalani operasi.6

2.4 Etiologi
Etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti namun diduga bersifat
multifaktorial dan berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen
epithelial dan stromal dimana pada salah satu atau keduanya dapat muncul nodul
hiperplastik dengan gejala yang berhubungan dengan BPH. Beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya BPH antara lain 1,6,7:

1. Teori Dihidrotestosteron
BPH terjadi pada zona transisional prostat, dimana sel stroma dan sel
epitel berinteraksi. Dihidrotestosteron (DHT) merupakan suatu androgen
yang merupakan pemicu utama terjadinyaa proliferasi kelenjar pada pasien
BPH. Di dalam sel prostat DHT dibentuk dari testosteron oleh 5α-reduktase
dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan
dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti
sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat.

Gambar 2.2 Perubahan Testosteron menjadi Dihidrotestosteron oleh


Enzim 5α-reduktase

4
2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan
kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen:
testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen didalam
prostat berperan didalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari
semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru
akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih
besar.

3. Interaksi stromal-epitel
Diferensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma yang mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol. Sel- sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel- sel stroma itu sendiri secara intrakrin atau autokrin serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu sendiri
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.

4. Berkurangnya kematian sel prostat


Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel prostat menjadi meningkat sehingga terjadi
pertambahan masa prostat.

5. Teori inflamasi kronis


Inflamasi kronis diduga sebagai salah satu penyebab BPH ditemukan
adanya limfosit pada stromal dan intraepithelial prostat manusia normal.
Inflamasi dapat disebabkan infeksi virus atau bakteri yang kemudian
menyebabkan sekeresi mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin dan
growth factor yang menyebabkan pertumbuhan pada sel epitel dan stroma

5
prostat. Pada Uji klinis oleh Medical Therapy of Prostatic Symptoms
(MTOPS) menunjukan bahwa inflamasi kronis ditemukan pada sekitar 40%
hasil biopsi pasien dengan nilai prostate-specific antigen (PSA) yang tinggi
dan volume prostat yang besar.

2.5 Faktor Resiko


2.5.1 Usia
Laki-laki yang memiliki usia ≥ 50 tahun memiliki risiko sebesar 6,24 kali
lebih besar disbanding dengan laki-laki yang berusia < 50 tahun. Semakin
bertambahnya usia kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urine
menurun pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat,
sehingga menimbulkan gejala. Sesuai dengan pertambahan usia, kadar testosteron
mulai menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia
60 tahun keatas.8

2.5.2 Riwayat Keluarga


Risiko BPH pada laki-laki dengan riwayat keluarga yang pernah menderita
BPH sebesar 5,28 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak mempunyai
riwayat keluarga yang pernah menderita BPH. Seseorang akan memiliki risiko
terkena BPH lebih besar bila pada anggota keluarganya ada yang menderita BPH
atau kanker Prostat. Dimana dalam riwayat keluarga ini terdapat mutasi dalam gen
yang menyebabkan fungsi gen sebagai gen penekan tumor mengalami gangguan
sehingga sel akan berproliferasi secara terus menerus tanpa adanya batas kendali.8

2.5.3 Merokok
Kebiasaan merokok menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki
kebiasaan merokok mempunyai risiko BPH 3,95 lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Nikotin dan konitin (produk pemecahan
nikotin) pada rokok meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga
menyebabkan penurunan kadar testosteron.8

6
2.6 Patofisiologi
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel.
Normalnya rasio stroma dibanding dengan epitel prostat adalah 2:1, namun pada BPH,
rasionya meningkat menjadi 4:1.1
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebakan perubahan
anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase
kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS).1
Dengan semakin meningkatnya resistensi urethra, otot detrusor masuk ke
dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi ke seluruh bagian buli-
buli tidak terkecuali tekanan tersebut mempengaruhi kedua muara ureter. Tekanan
yang tinggi buli-buli menyebabkan urin dari ureter tidak dapat masuk ke buli-buli
sehingga mengakibatkan penumpukan urin di ureter bahkan sampai ke ginjal. Keadaan
ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.7
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala
yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periurethra yang akan mendesak
urethra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urin (obstruksi infra vesikal)
sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang
merupakan reseptor alpha adrenergik. Stimulasi pada reseptor alpha adrenergik akan
menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen
dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari
beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.7

7
2.7 Manifestasi Klinis

2.7.1 Keluhan pada saluran kemih bagian bawah


Keluhan pada saluran kemih bawah (LUTS) dibagi atas gejala obstruktif
seperti hesitansi, pancaran miksi melemah, intermitensi, miksi tidak puas, dan urin
menetes setelah miksi; dan gejala iritiatif seperti frekuensi, urgensi, disuria, dan
nokturia.1
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah, dibuat sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri
oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah Skor Internasional
Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score). Dari skor I-PSS
itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan: skor 0 – 7,
(2) sedang: skor 8 – 19, dan (3) berat: skor 20 – 35.1
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-
buli untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami
kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan
dalam bentuk retensi urine akut.1
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa
faktor pencetus, antara lain: (1) volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada
cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau
minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi), dan minum air dalam
jumlah yang berlebihan, (2) massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah
melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut, dan (3) setelah
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot.1

2.7.2 Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat BPH pada saluran kemih bagian atas berupa gejala
obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda
dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau
urosepsis.1

2.7.3 Gejala di luar saluran kemih


Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan
pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.1

8
2.8 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh
dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-
kadang didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu
merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur
diperhatikan: (1) tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus untuk
menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik, (2) mukosa rektum, dan
(3) keadaan prostat, antara lain: adanya nodul, ukuran, konsistensi, simetrisitas
antar lobus dan batas prostat.1
Colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal, lobus
kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma
prostat, konsistensi prostat keras/teraba nodul dan mungkin di antara lobus
prostat tidak simetri.1

Gambar 2.2. Prostat Normal (Kiri), Benign Prostat Hyperplasia (Kanan).4

2.9 Pemeriksaan Laboratorium


Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis
kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman
terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.1
Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas, sedangkan gula darah dimaksudkan untuk
mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes melitus yang dapat menimbulkan
kelainan persarafan pada buli-buli (bulibuli neurogenik).7

9
Prostate Spesific Antigen (PSA) adalah cara untuk membedakan BPH dengan
kanker prostat walaupun PSA sendiri bukanlah penanda spesifik untuk kanker prostat.
Serum PSA digunakan untuk mendeteksi berkembangnya penyakit BPH, jika kadar
PSA tinggi berarti pertumbuhan volume prostat lebih cepat, laju urin lebih rendah, dan
lebih mudah terjadi retensi urin.9

2.10 Pencitraan
Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau TRUS, dimaksudkan untuk
mengetahui: besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran
prostat maligna, sebagai guidance (petunjuk) untuk melakukan biopsi aspirasi prostat,
menentukan jumlah residual urine, dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di
dalam buli-buli. Dapat juga dilakukan ultrasonografi transabdominal untuk
mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang
lama.7
Pencitraan saluran kemih bagian atas (IVP dan USG) dianjurkan apabila
didapatkan kelainan penyerta dan atau terdapat komplikasi misalnya hematuria, ISK,
insufisiensi renal dan riwayat batu ginjal. 7

2.11 Pemeriksaan Lain


Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur1:
1. Residual urine yaitu jumlah sisa urine setelah miksi. Sisa urine ini dapat
dihitung dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan
dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi.
2. Pancaran urine atau urine flow rate dapat dihitung dengan menghitung jumlah
urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urine.

2.12 Diagnosa Banding


Obstruksi saluran kemih bagian bawah lain seperti striktur uretra, kontraktur
pada leher buli, batu buli atau keganasan prostat, riwayat instrumentasi uretra, uretritis
atau trauma harus dieksklusi. Hematuria dan nyeri umumnya berhubungan dengan
batu buli-buli, keganasan prostat dapat terdeteksi pada colok dubur dan peningkatan
PSA.7

10
Infeksi saluran kemih dapat menyerupai gejala iritatif dari BPH yang
diidentifikasi dari urinalisis dan kultur. Keluhan iritatif juga dapat berhubungan
dengan keganasan kandung kemih terutama karsinoma insitu. Riwayat kelainan
neurologis, stroke, DM dan cedera tulang belakang dapat mengarah ke neurogenic
bladder. Umumnya didapatkan penurunan sensibilitas pada perineum dan ekstremitas
inferior dan penurunan tonus spinkter ani dan reflek bulbokavernosus serta mungkin
didapatkan perubahan pola defekasi.7

2.13 Penatalaksanaan
2.13.1 Watchful waiting
Penderita dengan BPH yang simptomatis tidak selalu mengalami progresi
keluhan, beberapa mengalami perbaikan spontan. Watchful waiting merupakan
penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH dengan nilai IPSS 0-7. Penderita
dengan gejala LUTS sedang juga dapat dilakukan observasi atas kehendak pasien. 1
Proses watchful waiting terdiri dari: edukasi mengenai kondisi pasien,
meyakinkan bahwa tidak ada keganasan, pengawasan secara berkala, perubahan
gaya hidup, seperti menghindari makanan dan minuman yang mengakibatkan
iritasi misalnya, kafein atau alkohol), menghindari atau pemantauan beberapa obat
(misalnya, diuretik, dekongestan, antihistamin, antidepresan), dan memantau
waktu berkemih.7
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya
keluhannya apakah menjadi lebih baik, disamping itu dilakukan pemeriksaan
laboratorium, residu urine, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah buruk
daripada sebelumnya, perlu dipertimbangkan untuk memilih terapi yang lain.1

2.13.2 Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa
blocker) dan mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara
menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui
penghambat 5α-reduktase. Selain kedua cara diatas, sekarang banyak dipakai
terapi menggunakan fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas. 1

2.13.3 Operatif

11
Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang
paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi
non invasif lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk melihat
hasil terapi. Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi
pada BPH. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka, reseksi prostat
transuretra (TURP), atau insisi prostat transuretra (TUIP atau BNI). 2

12
BAB III

KESIMPULAN

Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan kelainan jinak dari prostat,


yang ketika membesar, dapat mengakibatkan berbagai tingkat obstruksi saluran
kemih, kadang-kadang membutuhkan intervensi bedah. Etiologi BPH belum
sepenuhnya dimengerti, tetapi diketahui bersifat multifaktor dan berhubungan dengan
endokrin. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab BPH diantaranya teori
dihidrotestosteron, ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi stromal-
epitel, berkurangnya kematian sel prostat, dan teori inflamasi kronis. Faktor resiko
terjadinya BPH diantaranya adalah usia , riwayat keluarga, dan merokok.
Pasien BPH pada umumnya mengalami keluhan pada saluran kemih bagian
bawah, tetapi dapat juga mengalami keluhan pada saluran kemih bagian atas dan diluar
saluran kemih. Dalam mendiagnosis BPH dapat dilakukan anamnesis dengan
menanyakan keluhan yang berhubungan dengan manifestasi klinis BPH, kemudian
pemeriksaan fisik dengan colok dubur, pemeriksaan laboratorium dan pencitraan.
Penatalaksaan BPH dapat dibagi menjadi yaitu watchfull waiting, dengan
medikamentosa ataupun dengan operatif.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo, B. Dasar-dasar Urologi,. Jakarta: Sagung Seto.2011.


2. Skinder, D., Zacharia, I., Studin, J., and Covino, J.. Benign Prostatic
Hyperplasia: A Clinical Review. 2016. Vol. 29 No. 8.
3. Gravas S, Bachmann A, Descazeaud A, et al. Guidelines on
the Management of Non-Neurogenic male Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS), incl. Benign Prostatic Obstruction (BPO).European Association of
Urology;2014.
4. S, Kazuhiro., 2009 Epidemiology of Prostate Cancer and Benign Prostatic
Hyperplasia. JMAJ, November/December 2009 — Vol. 52, No. 6.
5. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2013. 2013.
6. Duarsa GWK, Lesmana R, Mahadewa TGB. High serum prostate specific
antigen as a risk factor for moderate-severe prostate inflammation in patients
with benign prostatic hyperplasia. Bali Med J. 2016;4(3):148-151.
7. Cooperberg MR, Presti Jr.JC, Shinohara K, Carrol PR. Neoplasms of the
prostate gland. In: McAninch JW, Lue TF. editors. Smith & Tanagho's general
urology. 18th ed. California: Lange McGraw-Hill Medical; 2013. p. 350-79.
8. Patel, Nishant D, and J Kellogg Parsons. “Epidemiology and etiology of
benign prostatic hyperplasia and bladder outlet obstruction.” Indian journal of
urology : IJU : journal of the Urological Society of India vol. 30,2 2014: 170-
6. doi:10.4103/0970-1591.126900
9. Kapoor, A. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Management In The Primary
Care Setting. The Canadian Journal of Urology., 2012. Vol. 19 No. 1, pp.2027-
2040.

14

Anda mungkin juga menyukai