Anda di halaman 1dari 37

SARI PUSTAKA

INFEKSI PADA USIA LANJUT:

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TERKINI

Disusun oleh:

Monica Syefi Febriyanti

2165050057

Pembimbing:

dr. Hildebrand Hanoch Victor Watupongoh, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

PERIODE 18 OKTOBER 2021 – 1 JANUARI 2022

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA
SARI PUSTAKA

INFEKSI PADA USIA LANJUT:

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TERKINI

Disusun oleh:

Monica Syefi Febriyanti

2165050057

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

PERIODE 18 OKTOBER 2021 – 1 JANUARI 2022

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA
SARI PUSTAKA

INFEKSI PADA USIA LANJUT:

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TERKINI

Sari Pustaka ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia

Telah disetujui

Pada: 19 Desember 2021

Disusun Oleh:

Monica Syefi Febriyanti

2165050057

Jakarta, 30 Desember 2021

Pembimbing,

dr. Hildebrand Hanoch Victor Watupongoh, Sp.PD


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan
kemudahan dan kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan Sari Pustaka
yang berjudul “Infeksi pada Usia Lanjut: Diagnosis Dan Tatalaksana Terkini”. Sari
Pustaka ini disusun guna memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
dalam di RS UKI.

Adapun ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua penulis
yang tidak pernah berhenti mendoakan dan mendukung kelancaran belajar selama
masa pendidikan penulis. Penulis juga berterima kasih khususnya kepada dr.
Hildebrand Hanoch Victor Watupongoh, Sp. PD, selaku pembimbing dalam
penulisan referat ini, yang selalu memberikan bimbingan, masukan, dan
meluruskan pembelajaran penulis sampai Sari Pustaka ini terselesaikan.

Penulis menyadari akan kekurangan dan ketidaksempurnaan yang terdapat


dalam referat ini. Dengan demikian, besar harapan penulis akan saran dan masukan
demi perbaikan di masa mendatang. Semoga Sari Pustaka ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.

Jakarta, 19 Desember 2021

Monica Syefi Febriyanti

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
ABSTRAK ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3
II.1. Sindrom Geriatri ......................................................................... 3
II.2. Immunosenesens ......................................................................... 3
II.2.1. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Immunosenesens 4
II.2.2. Perubahan Sistem Imun pada Lansia ............................ 5
II.3. Infeksi pada Lansia ..................................................................... 8
II.3.1. Pneumonia pada Lansia ................................................ 8
II.3.2. Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada Lansia .................. 15
II.4. Kerangka Konsep ...................................................................... 26
BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28

ii
ABSTRAK

Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Penuaan
dapat menyebabkan perubahan pada sistem kekebalan tubuh sehingga terjadi
penurunan proteksi secara signifikan. Pada lansia terjadi perubahan atau penurunan
imun yang disebut dengan immunosenesens. Penurunan sistem imun tubuh pada
lansia dapat diakibatkan faktor internal maupun eksternal. Akibat penurunan imun
pada lansia dapat meningkatkan keparahan infeksi yang terjadi dan peningkatan
risiko terpapar infeksi. Infeksi yang sering di derita pasien lansia yaitu pneumonia
dan infeksi saluran kemih (ISK). Pneumonia pada lansia sering tidak menunjukkan
tanda dan gejala yang jelas. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis
dapat melalui pemeriksaan imaging, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
mikrobiologis. Tatalaksana yang diberikan pada pasien pneumonia lanjut usia yaitu
berdasarkan klasifikasi dari pneumonia. Pada pneumonia komunitas atau CAP pada
lansia, tatalaksana dapat dibedakan berdasarkan ada tidaknya risiko frailty.
Tatalaksana pneumonia nosokomial atau HAP pada lansia diberikan berdasarkan
waktu terjadinya pneumonia setelah mendapatkan perawatan di Fasilitas
Kesehatan. Infeksi saluran kemih (ISK) pada lansia sering tidak menunjukkan
gejala klasik ISK. Perubahan status mental merupakan salah satu tanda ISK pada
lansia dan pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan peningkatan suhu tubuh dan
nyeri pada perut. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
ISK pada lansia yaitu pemeriksaan urinalisis, pemeriksaan kultur urine, dan
pemeriksaan mikroskopik urin. Tatalaksana ISK pada lansia diberikan berdasarkan
klasifikasi dari ISK yaitu ISK komplikata dan non-komplikata.

Kata kunci: Lanjut usia, Immunosenesens, Pneumonia pada Lansia, Infeksi Saluran
Kemih pada Lansia

iii
ABSTRACT

Someone can be considered as an elderly if they have reached the age of 60 years
and over. Aging can make changes in the immune system resulting in a significant
decrease in protection. In the elderly there is a change or decrease in the immune
system called immunosenescence. The decline in the body's immune system in the
elderly can be caused by internal and external factors. Due to decreased immunity
in the elderly, it can increase the severity of infections that occur and increase the
risk of exposure to infections. Infections that are often suffered by elderly patients
are pneumonia and urinary tract infections (UTI). Pneumonia in the elderly often
does not show clear signs and symptoms. Supportive examinations to establish the
diagnosis can be through imaging examinations, laboratory examinations, and
microbiological examinations. The treatment given to elderly pneumonia patients
is based on the classification of the pneumonia. In community pneumonia or CAP
in elderly, treatment can be differentiated based on the presence or absence of the
risk of frailty. The management of nosocomial pneumonia or HAP in the elderly is
given based on the time of occurrence of pneumonia after receiving treatment at a
health facility. Urinary tract infections (UTIs) in the elderly often do not show the
classic symptoms of UTI. Changes in mental status is one of the signs of UTI in the
elderly and on physical examination can be found an increase in body temperature
and pain in the abdomen. Examinations that can be done to establish the diagnosis
of UTI in the elderly are urinalysis examination, urine culture examination, and
urine microscopic examination. Management of UTI in the elderly is given based
on the classification of UTI, namely complicated and non-complicated UTI.

Keywords: Elderly, Immunosenescence, Pneumonia in the Elderly, Urinary Tract


Infection in the Elderly

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Lanjut usia menurut UU nomer 13 tahun 1999 adalah seseorang yang telah
mencapai usia 60 tahun ke atas.1 Populasi global berusia diatas 60 tahun
diperkirakan akan terus meningkat hingga 22% pada tahun 2050 seiring dengan
bertambahnya usia harapan hidup manusia.1,2 Penuaan pada manusia ditandai
dengan adanya penurunan kemampuan fisik dan fisiologis, dengan bertambahnya
usia maka akan terjadi penurunan sistem imun tubuh.3 Penuaan dapat menyebabkan
perubahan pada sistem kekebalan tubuh sehingga terjadi penurunan proteksi secara
signifikan.2 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020, hampir separuh
dari lansia di Indonesia mengalami keluhan kesehatan baik fisik maupun psikis
(48.14%) (Gambar I.1).1

Gambar I. 1. Presentase Penduduk Lansia Menurut Kondisi Kesehatan 20201

Pada lansia terjadi perubahan atau penurunan imun yang disebut dengan
immunosenesens.2,3 Penurunan sistem imun tubuh pada lansia dapat diakibatkan
faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang berkaitan dengan genetik dan

1
jenis kelamin, sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan stress oksidatif,
sosiodemografi, dan malnutrisi.4 Akibat penurunan imun pada lansia dapat
meningkatkan keparahan infeksi yang terjadi dan peningkatan risiko terpapar
infeksi.2,5

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada


lansia seperti immunoseneses, penyakit komorbid, malnutrisi dan terjadinya
perubahan fungsi organ.6,7 Deteksi dini terjadinya infeksi pada lansia sulit
dilakukan karena tanda dan gejala infeksi (demam dan leukositosis) sering tidak
ada dan tidak khas.5,8,9 Menurut beberapa penelitian, infeksi yang sering di derita
pasien lansia yaitu pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK).5,7,10

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Sindrom Geriatri


Pasien geriatri adalah pasien lanjut usia dengan multi penyakit dan atau
gangguan akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan
lingkungan yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu dengan
pendekatan multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin. Sindrom geriatri
merupakan kumpulan gejala atau masalah kesehatan yang dialami oleh
seorang pasien geriatri. Sindrom geriatri ini dikenal juga dengan istilah 14 i
yaitu:11

1. Imobilisasi: berkurangnya kemampuan gerak


2. Instabilitas postural: jatuh dan patah tulang
3. Inkontinensia urin: mengompol
4. Infeksi
5. Impairment of senses: gangguan fungsi panca indera
6. Inanition: gangguan gizi
7. Iatrogenik: masalah akibat tindakan medis
8. Insomnia: gangguan tidur
9. Intelectual impairment gangguan fungsi kognitif
10. Isolasi: menarik diri
11. Impecunity: berkurangnya kemampuan keuangan
12. Impaction: konstipasi
13. Immune deficiency: gangguan sistem imun
14. Impotence: gangguan fungsi seksual

II.2. Immunosenesens
Penuaan dapat terjadi kerusakan fungsi fisiologis yang terkait dengan
waktu. Kekebalan tubuh yang mengalami disregulasi seiring bertambahnya
usia sehingga terjadi peningkatan risiko terhadap infeksi virus maupun

3
bakteri, pengaktifan kembali virus laten dan penurunan respons terhadap
vaksin.2 Melemahnya atau terjadinya perubahan pada sistem kekebalan lansia
disebut dengan immunosenesens.2,3 Beberapa komponen dari sistem imun
bawaan dan adaptif mengalami perubahan terkait dengan penuaan, seperti
perubahan jumlah sel monositik dan dendritik, penurunan aktivitas
fagositosis neutrofil, inflasi sel T, dan produksi sitokin inflamasi kronik.12

II.2.1. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Immunosenesens


1. Faktor Internal
a. Jenis kelamin
Androgen berpengaruh terhadap immunosenesens dengan
berkontribusi pada kecepatan involusi timus.4 Seiring
bertambahnya usia terjadi penyusutan timus dan terjadi
perubahan menjadi jaringan lemak.6 Involusi timus yang
berkaitan dengan usia dan penurunan output timus sel T CD8+
menjadikan tubuh lebih rentan terhadap berbagai infeksi dan
penyakit tidak menular.3
b. Genetik
❖ Metilasi DNA
❖ Modifikasi histon: metilasi, asetilasi, fosforilasi, modifikasi
struktural kromatin
2. Faktor Eksternal
a. Stress oksidatif
Terjadi peningkatan kecepatan dalam pemendekan
telomer yang sangat penting perannya dalam mengatur replikasi
sistem imun terutama limfosit.
b. Sosiodemografik
Tempat tinggal, pendapatan, tingkat pendidikan dan gaya
hidup dapat berpengaruh terhadap penyakit degeneratif secara
langsung maupun tidak langsung.
c. Malnutrisi

4
Malnutrisi berkaitan dengan penurunan imunitas dan
peningkatan risiko terhadap berbagai penyakit infeksi.
Defisiensi terhadap satu atau lebih makro maupun mikronutrien
berpengaruh pada respon imun.4

II.2.2. Perubahan Sistem Imun pada Lansia


1. Sistem Imun Spesifik atau Adaptif
Terdapat perubahan imun adaptif yang terjadi pada pasien
lanjut usia yaitu dapat terjadi peningkatan maupun penurunan pada
limfosit T dan limfosit B (Tabel II.1).4

Tabel II. 1. Perubahan Terkait Usia pada Respon Imun Spesifik4


Peningkatan Terkait Penurunan Terkait
Tipe Sel
Proses Menua Proses Menua
Jumlah sel efektor dan Jumlah sel T naïve
memori
Peningkatan klon sel Keragaman jenis sel T
efektor
Limfosit T Ekspresi molekul ko-
stimulator (CD28,
Peningkatan sitokin
CD27, CD20L) dan
proinflamasi
kemampuan
proliferasinya
Pembentukan
prekursor sel B
Jumlah sel B naive
Ekspresi molekul ko-
Antibodi serum
Limfosit B stimulator (CD27,
autoreaktif
CD40)
Afinitas antibodi
Perubahan menjadi
isotipe lain

5
2. Sistem Imun Non-spesifik atau Bawaan
Terdapat perubahan imun bawaan yang terjadi pada pasien
lanjut usia yaitu dapat terjadi peningkatan maupun penurunan pada
limfosit neutrofil, makrofag, sel dendritik, dan Natural Killer Cells
(Tabel II. 2).4,12
a. Neutrofil
Terjadi perubahan kemampuan fagositosis bakteri yang
teropsonisasi dan respon sel efektor yang dipicu Fc reseptor
menurun.4
b. Makrofag
Makrofag berperan penting pada inisiasi respon inflamasi,
eliminasi patogen, pengaturan respon imun spesifik dan
perbaikan jaringan yang rusak. Seiring proses menua, kadar
molekul MHC kelas II yang menentukan respon sel T CD4
menurun. Terjadi penurunan prekursor makrofag dan fungsi
fagosit makrofag juga mengalami penurunan.4
c. Sel Dendritik
Sel dendritik merupakan penghubung antara respons imun
spesifik dan non-spesifik, dengan berperan sebagai antigen
presenting cells, sel dendritik akan menginisiasi respon imun
dengan menangkap, memproses antigen dan melepaskan
berbagai macam sitokin.4
Sel dendritik turunan monosit (monocyte-derived
dendritic cells) mengalami penurunan kemampuan untuk
fagositosis sel yang mengalami apoptosis. Berdasarkan
kemampuan fagositosis maka terjadi respon anti-inflamasi,
sehingga pada lansia terbentuk status pro-inflamasi. Selain itu,
mikropinositosis dan kemampuan migrasi sel dendritik pada
lansia juga mengalami penurunan.4
d. Natural Killer Cells (Sel NK)

6
Sel NK merupakan sel sitotoksik yang berperan dalam
pengenalan sel yang terinfeksi virus dan rejeksi sel tumor.
Sitotoksisitas sel NK yang tinggi berhubungan dengan proses
menua yang sehat dan panjang usia, sedangkan sitotoksisitas sel
NK rendah berhubungan dengan peningkatan dan morbiditas
dan mortalitas hasil dari infeksi, aterosklerosis dan respon buruk
terhadap vaksin.4
Proses penuaan menyebabkan penurunan kapasitas
fungsional sel NK yang sedikit terkompensasi dengan
peningkatan jumlah sel NK yang matur.4

Tabel II. 2. Perubahan Terkait Usia pada Respon Imun Non-


spesifik4
Peningkatan
Penurunan Terkait Proses
Tipe Sel Terkait Proses
Menua
Menua
Oxidative burst
Neutrofil Kemampuan fagositosis
Aktivitas bakterisidal
Oxidative burst
Kemampuan fagositosis
Makrofag
ROS dan produksi sitokin
Ekspresi MHC II
Respon proliferatif terhadap IL-2
Sel NK Jumlah total sel Sitotoksisitas
Maturasi dan presentasi Ag
Sel Kemampuan stimulasi sel T
Dendritik spesifik
Sitokin Homing ke kelenjar getah bening
Kadar IL-3, IL-
dan
1β dan TNF-α
kemokin

7
II.3. Infeksi pada Lansia
Infeksi pada lansia dapat menjadi penyebab utama morbiditas dan
mortalitas.5 Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan infeksi pada lansia
seperti immunoseneses, penyakit komorbid kronis, penurunan kemampuan
komunikasi, malnutrisi dan perubahan fungsi organ dapat mengubah
frekuensi dan tingkat keparahan infeksi pada lansia.5,7 Deteksi dini terjadinya
infeksi pada lansia sulit dilakukan karena tanda dan gejala infeksi (demam
dan leukositosis) sering tidak ada dan tidak khas.5,8,9

Angka insidensi dan prevalensi penyakit infeksi pada lansia semakin


meningkat. Menurut beberapa penelitian, angka prevalensi terjadinya infeksi
pada lansia bervariasi antara 1,6% hingga 32,7%.7 Infeksi yang sering di
derita pasien lansia yaitu pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK).5,7,10

Berdasarkan penelitian sebelumnya, risiko tertular infeksi yang


berkaitan dengan perawatan kesehatan (Healthcare-Associated
Infections/HAIs) meningkat seiring bertambahnya usia. Prevalensi HAIs
pada pasien usia diatas 85 tahun sebesar 11,5%, sedangkan pada pasien usia
dibawah 65 tahun sebesar 7,4%. Mikroorganisme utama yang terlibat dalam
HAIs pada pasien geriatri yaitu E. coli, S. aureus, Klebsiella spp., P.
aeruginosa, C. difficile, Acinetobacter spp., dan Proteus sp. Banyak dari
mikroorganisme ini resisten terhadap berbagai obat (Multidrug-Resistant
Organism/MDRO).10

II.3.1. Pneumonia pada Lansia


II.3.1.1. Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi atau peradangan akut di
jaringan paru yang disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme, seperti bakteri, virus, parasit, jamur.13 Pada
usia lanjut mengalami berbagai perubahan fisiologis terkait
penuaan. Berbagai faktor dapat menjadi penyebab
meningkatnya kejadian pneumonia pada usia lanjut yaitu
perubahan pada sistem imun, terjadi gangguan barier

8
mekanik, aktivitas fagositik, imunitas humoral dan sel T,
serta penurunan fungsi sel natural killer, makrofag, dan
neutrofil. Keadaan ini dapat diperberat dengan kondisi
multipatologi yang sering dialami pada pasien usia lanjut.14

II.3.1.2. Epidemiologi Pneumonia pada Lansia


Semakin bertambahnya usia, maka risiko mengalami
pneumonia semakin meningkat.5 Insidensi pneumonia pada
lansia terus meningkat tiap tahun dan mortalitasnya dapat
mencapai 30%, sebagian besar kasus pneumonia pada lansia
diakibatkan terinfeksi bakteri terutama bakteri Steptococcus
pneumonia.5,7 Menurut data penelitian, 1 dari 1.000 kasus
pneumonia pada lansia perlu dirawat di Rumah Sakit dan 12
dari 1.000 kasus pneumonia berusia lebih dari 75 tahun.
Sekitar 50% dari CAP (Community Acquired Pneumonia)
berusia lebih dari 65 tahun.5 Di antara pneumonia yang
didapatkan di Rumah Sakit atau disebut juga pneumonia
nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia/HAP),
pneumonia terkait ventilator (Ventilator Acquired
Pneumonia/VAP) paling sering terjadi pada pasien geriatri.10

II.3.1.3. Klasifikasi Pneumonia


1. Pneumonia Komunitas (Community Acquired
Pneumonia/CAP)
Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang
didapat dari luar rumah sakit atau fasilitas kesehatan.
Terdapat kriteria pasien perlu dilakukan rawat inap
atau menjalani rawat jalan dengan menggunakan
sistem skor CURB-65 (Gambar II. 1). Apabila pasien
mendapat total skor 0 atau 1 maka pasien dapat berobat
jalan, apabila didapatkan total skor 2 maka pasien
dianjurkan dirawat. Jika mendapat total skor 3, pasien

9
harus dirawat, sedangkan skor 4 atau 5 disarankan
untuk dirawat di ruangan intensif.14

Gambar II. 2. Skor CURB-6514

2. Pneumonia Nosokomial (Hospital Acquired


Pneumonia/HAP)
Pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang
timbul setelah dua hari perawatan di Rumah Sakit atau
selama 10-14 hari setelah pasien pulang dari Rumah
Sakit.14

II.3.1.4. Gejala dan Tanda Pneumonia pada Lansia


Pneumonia pada lansia sering tidak menunjukkan
gejala yang jelas. Tidak selalu ditemukan demam maupun
gejala gangguan pernapasan. Gejala yang dialami pasien
pneumonia pada lansia yaitu perubahan status mental
(delirium) atau perilaku, keluhan jatuh, gangguan status
fungsional, penurunan kesadaran, lesu, anoreksia, dehidrasi,
nafsu makan berkurang, inkontinensia urin, sesak napas,
takipnea, takikardia.14,15 Gejala dan tanda yang jarang

10
ditemukan yaitu nyeri pleuritik, batuk, demam,
leukositosis.15

II.3.1.5. Penegakkan Diagnosis Pneumonia pada Lansia


A. Anamnesis
Terdapat gejala dan tanda atipikal yang dapat
menjadi indikator awal pneumonia pada lansia seperti
kebingungan, delirium, disorientasi, lemas, kehilangan
napsu makan, dementia, inkontinensia urin.16
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien pneumonia lansia
kurang jelas tanda dan gejala. Perubahan status mental
merupakan salah satu tanda pneumonia pada lansia.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan frekuensi
pernapasan (>25 kali/menit) dan oksimetri (saturasi
oksigen <90%).16
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Imaging
Pada pemeriksaan rontgen sebagai gold
standard dapat ditemukan opak pada bagian
pulmonal.16 Hasil rontgen thorax pasien pneumonia
pada lansia dapat ditemukan distribusi lesi secara
anatomis, penampakan lesi, dapat menentukan proses
terjadi di alveolus atau interstisial, dapat menentukan
infiltrat pada lobus atau segmen paru.17 Namun pada
lansia kualitas hasil pemeriksaan foto thorax dapat
buruk karena status kognitif pasien yang buruk,
kekuatan otot yang buruk, dan ketidakmampuan
pasien dalam mempertahankan postur tubuh.16
Pemeriksaan CT-Scan (Computed Tomography-
Scan) dapat mendeteksi pneumonia hingga 47%

11
kasus yang tidak dapat diidentifikasi dengan
menggunakan pemeriksaan foto thorax.16
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan jumlah leukosit untuk
mengevaluasi adanya inflamasi dan evaluasi
kerusakan organ dan tingkat keparahan penyakit
dengan pemeriksaan kadar kreatinin, enzim hati, dan
jumlah trombosit. Berdasarkan beberapa penelitian,
tidak ditemukan adanya leukositosis dan leukopenia
pada pasien pneumonia lanjut usia. Pada pasien
pneumonia juga dapat ditemukan peningkatan
neutrofil.16
Menurut beberapa penelitian, pemeriksaan
CRP (C-Reactive Protein) dan PCT (Procalcitonin)
dapat digunakan untuk mengevaluasi tingkat
keparahan pneumonia pada pasien lanjut usia.
Terdapat hubungan antara kadar CRP yang tinggi
dengan tingkat keparahan pneumonia pada lansia.16
Pemeriksaan kadar albumin yang rendah dapat
menandakan prognosis yang buruk pada pasien
pneumonia komunitas. Kadar albumin serum yang
rendah dan limfosit yang rendah menandakan
prognosis yang buruk.16
3. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis dapat dengan
dilakukan pemeriksaan kultur sputum, kultur darah,
dan tes antigen urin untuk mengetahui adanya
Streptococcus pneumonia dan Legionella
pneumophila.16

12
II.3.1.6. Tatalaksana Farmakologis Pneumonia pada Lansia
Lama pemberian antibiotika pada pasien pneumonia
yaitu sekitar 7-10 hari, namun bila terdapat kecurigaan
terhadap infeksi Pseudomonas maka antibiotika diberikan
selama 14 hari.14

Terdapat beberapa kriteria untuk merubah dari terapi


injeksi menjadi oral antara lain yaitu pasien bisa menerima
asupan oral, frekuensi jantung pasien kurang dari 100
kali/menit, frekuensi napas < 25 kali/menit, tekanan darah
sistolik diatas 90 mmHg, suhu tubuh < 28.3℃. 14

1. Pneumonia Komunitas (Community Acquired


Pneumonia/CAP) pada Lansia
Pemilihan antibiotika pada lansia dipengaruhi oleh
derajat kerentanan (frailty), sumber infeksi, adanya
faktor risiko infeksi terhadap mikroorganisme yang
resisten, serta tingkat keparahan pneumonia. .Untuk
menilai status frailty dapat digunakan instrumen clinical
frailty scale (CFS).14
a. Tanpa Frailty
Terapi pneumonia komunitas pada lansia
tanpa frailty dapat diberikan berdasarkan skor
CURB-65 (Tabel II.3).14

Tabel II. 3. Terapi Pneumonia Komunitas pada


Lansia Tanpa frailty14
Pasien Pilihan Antibiotik
Rawat Jalan Amoksisilin atau Sefalosporin
atau generasi kedua
Skor CURB- +
65 dari 0-1 Azitromisin atau Fluorokuinolon

13
Rawat Inap Amoksisilin atau Seftriakson atau
atau Sefotaksim atau Seftarolin
Skor CURB- +
65 yaitu 2 Azitromisin atau Fluorokuinolon
Seftriakson atau Sefotaksim atau
Seftarolin atau Ertapenem
+
Pneumonia
Azitromisin atau Flurokuinolon
Berat
± Linezolid atau Vankomisin
± β Lactam Antipseudomonas
± Oseltamivir

Pemilihan linezolid atau vankomisin dipilih


apabila terdapat risiko terinfeksi Staphylococcus
aureus. Apabila pasien memiliki risiko terinfeksi
bakteri Pseudomonas aeruginosa maka β-lactam
Antipseudomonas dapat menjadi pilihan terapi
pneumonia.14
b. Frailty
Terapi pneumonia komunitas pada lansia
dengan frailty dapat diberikan berdasarkan status
frailty yang dialami masing-masing individu lansia
(Tabel II. 4).14

Tabel II. 4. Terapi Pneumonia komunitas pada


Lansia dengan Frailty14
Pasien Pilihan Antibiotika
Amoksisilin / Klavunat atau
Seftriakson atau Sefotaksim atau
Prefrailty Seftarolin
+
Azitromisin atau Fluorokuinolon

14
Ertapenem
Atau
Frailty Amoksisilin / Klavunat
Atau
Seftriakson+Klindamisin

2. Pneumonia Nosokomial (Hospital Acquired


Pneumonia/HAP)
Terapi pneumonia nosokomial pada lansia
diberikan berdasarkan onset pasien mengalami
pneumonia dan ada tidaknya faktor risiko (Tabel II. 5).14

Tabel II. 5. Terapi Pneumonia Nosokomial pada


Lansia14
Pasien Pilihan Antibiotika
Pneumonia Seftriakson atau Sefotaksim atau
Nosokomial Seftarolin
Dini (<5 hari) Atau
tanpa faktor Fluorokuinolon
risiko
Seftazidim atau Sefepim atau
Pneumonia Imipenem atau Meropenem atau
Nosokomial Piperasilin/Tazobaktam
Lambat +
(>5hari) atau Ciprofloksasin atau Levofloksasin
dengan faktor atau Amikasin atau Tobramisin
risiko ±
Linezolid atau Vankomisin

II.3.2. Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada Lansia


II.3.2.1. Definisi Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi pada
saluran kemih yaitu ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra.

15
Saluran kemih dapat dibagi menjadi saluran atas (ginjal dan
ureter) dan saluran bawah (kandung kemih dan uretra).18

II.3.2.2. Epidemiologi Infeksi Saluran Kemih pada Lansia


Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi pada
lansia paling sering kedua setelah pneumonia.5,10 Infeksi
saluran kemih (ISK) dialami oleh lansia sekitar 15-30% pada
pria dan 25-50% pada wanita, serta angka mortalitas akibat
ISK mencapai 5-10%.7 ISK pada pasien geriatri terjadi akibat
pemasangan kateter urin dan sebagian besar ISK pada lansia
disebabkan oleh E. coli.5,10

II.3.2.3. Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih


Klasifikasi infeksi saluran kemih terbagi menjadi dua,
yaitu ISK non-komplikata, ISK komplikata, ISK berulang,
ISK terkait kateter, dan urosepsis (Tabel II.6).19,20

Tabel II. 6. Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih19,20


Klasifikasi Definisi
- ISK bersifat akut
- Berulang pada saluran kemih bawah
(sistitis non-komplikata) dan saluran
ISK Non- kemih atas (pielonefritis non-
Komplikata komplikata)
- Wanita yang tidak hamil tanpa kelainan
anatomis dan gangguan fungsional
saluran kemih atau komorbiditas
- Semua ISK yang tidak termasuk dalam
definisi non-komplikata
ISK - ISK yang terjadi pada semua pria,
Komplikata wanita hamil, pasien dengan kelainan
anatomis atau fungsional dari saluran
kemih, penggunaan kateter urin yang

16
menetap, memiliki penyakit ginjal,
dan/atau dengan penyakit penyerta
lainnya yang dapat melemahkan imun
tubuh seperti diabetes.
ISK yang kambuh dengan komplikata atau
non-komplikata, dengan frekuensi
ISK
setidaknya setidaknya mengalami 3x
berulang
dalam setahun terakhir atau 2x dalam 6
bulan terakhir.
ISK yang terjadi pada pasien yang salurah
ISK terkait
kemihnya dipasang kateter dalam 48 jam
kateter
terakhir.
Keadaan yang mengancam organ dan jiwa
akibat respon imun host yang tidak
Urosepsis
sewajarnya terhadap infeksi saluran kemih
dan/atau organ genital pria.

Klasifikasi Berdasarkan Infeksi Level Anatomis:20

1. Ginjal: Pyelonefritis
2. Kandung kemih: Sistitis
3. Uretra: Uretritis
4. Darah atau sistemik: Urosepsis

II.3.2.4. Tanda dan Gejala Infeksi Saluran Kemih pada Lansia


Gejala klasik ISK yaitu disuria (nyeri saat buang air
kecil), poliuria (sering buang air kecil) dan urgensi urin
(keinginan secara tiba-tiba untuk berkemih walaupun
kandung kemih belum terisi penuh).21,22 Selain itu terdapat
gejala tidak khas seperti demam, mual atau muntah.22
Namun, pada pasien lanjut usia dan pasien yang
menggunakan kateter, tidak menunjukkan gejala klasik ISK.

17
ISK pada pasien lanjut usia dapat muncul gejala seperti
kebingungan atau delirium, mudah lelah, inkontinensia urin
(mengompol), dan anoreksia.21

II.3.2.5. Penegakkan Diagnosis Infeksi Saluran Kemih pada


Lansia
A. Anamnesis
Terdapat tanda dan gejala tidak khas infeksi
saluran kemih yang dikeluhkan pada lansia seperti
mudah lelah, mengompol, dan anoreksia serta tanda khas
infeksi saluran kemih yaitu disuria, poliuria, dan urgensi
urin.21,22
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien ISK pada lansia kurang
jelas tanda dan gejalanya. Perubahan status mental
merupakan salah satu tanda ISK pada lansia. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan peningkatan suhu
tubuh dan nyeri pada perut.22
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
Pada pemeriksaan urinalisis dapat
ditemukan adanya piuria (terdapat 10 sel leukosit
per LPB dalam urin), bakteriuria, nitrit positif,
hematuria (terdapat eritrosit >5 sel per LPB dalam
urin), perubahan warna urin. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan tes dipstick dan dapat diperiksa
juga berat jenis, pH, konsentrasi glukosa, protein,
keton, bilirubin.20,22
2. Pemeriksaan Kultur Urine
Kultur urine direkomendasikan untuk:20
• Diduga menderita pielonefritis akut

18
• Gejala yang tidak hilang atau terjadi kembali
dalam 4 minggu setelah penyelesaian terapi,
• Wanita yang menunjukkan gejala tidak khas,
• Wanita hamil
• Pria yang diduga ISK.
• Menentukan ada tidaknya bacteriuria yang
signifikan pada pasien yang dicurigai dengan
ISK komplikata
3. Pemeriksaan Mikroskopik Urin
Pemeriksaan mikrobiologi secara
kuantitatif, namun tidak ada hitungan bakteri yang
pasti dalam mengindikasikan adanya bakteriuria
yang yang bisa diterapkan pada semua jenis ISK.20
• ≥103 cfu/mL uropatogen dalam sebuah urin
sampel tengah dalam acute unkomplikata
cystitis pada wanita
• ≥104 cfu/mL uropathogen dalam urine porsi
tengah dalam acute unkomplikata
pyelonephritis pada wanita
• ≥105 cfu/mL uropathogen dalam urine porsi
tengah pada wanita, atau ≥104 cfu/mL
uropatogen dalam urine porsi tengah pada pria,
atau kateterisasi pada wanita dengan ISK
komplikata.
• Spesimen pungsi aspirasi suprapubic, hitungan
bakteri berapapun hasilnya dikatakan
bermakna.
• Bakteriuria asimptomatik didiagnosis apabila
berdasarkan hasil urine porsi tengah
menunjukkan kolonisasi bakteri ≥105 cfu/mL

19
pada 2 sampel berturut-turut pada wanita dan 1
sampel tunggal pada pria.
• ISK terkait kateter dapat di diagnosis apabila
ditemukan ≥103 cfu/mL pertumbuhan bakteri
pada 1 sampel spesimen urin kateter atau urin
mid-stream pada pasien yang telah dilakukan
pencabutan kateter (baik transurethra,
suprapubik, maupun kondom kateter) dalam
waktu 48 jam.

20
II.3.2.6. Tatalaksana Infeksi Saluran Kemih
A. Infeksi Saluran Kemih Non-Komplikata
Terdapat perbedaan terapi pasien infeksi saluran
kemih pada wanita dan pria, serta bila terdapat resistensi
lokal E.Coli (Tabel II. 7).20

1. Sistitis Non Komplikata

Tabel II. 7. Terapi Sistitis Non-Komplikata20


Dosis Durasi
Antimikroba Komentar
Harian Terapi
Terapi pada Wanita (Lini Pertama)
Fosfomisin 3g dosis
1 hari
trometamol tunggal
50-100
Nitrofurantoin
mg 4x 5 hari
makrokristal
sehari
Nitrofurantoin Direkomondasi
100 mg
monohidrat/ 5 hari hanya untuk
2x sehari
makrokristal wanita tanpa
Nitrofurantoin sistitis komplikata
makrokristal 100 mg
5 hari
dengan prolong 2x sehari
release
400 mg 3-5
Pivmecillinam
3x sehari hari
Alternatif
Cefalosporin 500 mg
3 hari
(cefadroxil) 2x sehari
Bila terdapat pola resistensi lokal E. coli
Tidak untuk
200 mg
Trimethoprim 5 hari trimester pertama
2x sehari
kehamilan

21
160-800 Tidak untuk
Trimethoprim-
mg 2x 3 hari trimester akhir
sulphamethoxazole
sehari kehamilan
Terapi pada Pria
Terbatas pada
pria,
160-800 fluorokuinolon
Trimethoprim-
mg 2x 7hari dapat pula
sulphamethoxazole
sehari diberikan
berdasarkan tes
sensitivitas lokal.

2. Pielonefritis Akut Non Komplikata


Terapi pada pielonefritis akut non-komplikata
terbagi menjadi terapi secara oral (Tabel II. 8) dan
parenteral (Tabel II. 9).20
a. Terapi Antimikroba Oral

Tabel II. 8. Terapi Antimikroba Oral pada Pielonefritis


Akut Non-Komplikata20
Dosis Durasi
Antimikroba Komentar
Harian Terapi
500- Bila resistensi
750 mg fluoroquinolone
Ciprofloxacin 7 hari
2x kurang dari 10%
sehari
750 mg
Levofloxacin setiap 5 hari
hari
Trimethoprim 160/ Ketika sediaan
14 hari
sulphamethoxazol 800mg tertentu dipakai

22
2x secara empiris,
sehari dosis intravena
inisial dari
200mg
antimikroba
Cefpodoxime 2x 10 hari
parenteral long
sehari
acting sebaiknya
400mg
diberikan
Ceftibuten setiap 10 hari
hari

b. Terapi Antimikroba Parenteral

Tabel II. 9. Terapi Antimikroba Parenteral pada


Pielonefritis Akut Non-Komplikata20

Dosis
Antimikroba Komentar
Harian
Terapi Lini Pertama
400mg 2x
Ciprofloxacin
sehari
750mg setiap
Levofloxacin
hari
Tidak diteliti sebagai
2 gram 3x monoterapi pada
Cefotaxime
sehari pielonefritis non-
komplikata akut
Telah diteliti dosis yang
1-2 gram lebih rendah, namun dosis
Ceftriaxone
setiap hari lebih tinggi
direkomendasikan.
Terapi Lini Kedua

23
1-2 gram 2x Telah diteliti dosis yang
Cefepime
sehari lebih rendah, namun dosis
Piperacillin/ 2,5-4,5 gram lebih tinggi
Tazobactam 3x sehari direkomendasikan
Ceftolozane/ 1,5 gram 3x
Tazobactam sehari
Ceftazidime/ 2,5 gram 3x
Avibactam sehari
5mg/kgBB Tidak diteliti sebagai
Gentamicin
setiap hari monoterapi pada
15mg/kgBB pyelonephritis non-
Amikacin
setiap hari komplikata akut
Alternatif
Imipenem/ 0,5 gram 3x Pertimbangkan pemberian
Cilastatin sehari hanya carbapenem pada
pasien dengan kultur
sebelumnya
1 gram 3x
Meropenem mengindikasikan adanya
sehari
organisme multi-drug
resistance.

B. Infeksi Saluran Kemih Komplikata


1. Terapi dengan Antibiotik

Pasien dengan ISK dengan gejala sistemik


perlu rawat inap di rumah sakit dan diberikan terapi
intra vena golongan aminoglikosida dengan atau
tanpa amoxicillin, atau sefalosporin generasi dua atau
generasi tiga, atau penicillin spektrum luas dengan
atau tanpa aminoglikosida.20 Pilihan terapi yang lain

24
terutama untuk mikroorganisme yang sudah resisten
antara lain:20

a. Ceftolozane/tazibactam 1.5 g setiap 8 jam


menunjukkan hasil kuratif yang baik pada ISK
komplikata yang disebabkan oleh
Enterobacteriaceae.
b. Cefiderocol 2g tiga kali sehari tidak berbeda
efektifitasnya dibandingkan Imipenem-Cilastin 1g
tiga kali sehari untuk terapi ISK komplikata akibat
infeksi gram negative yang sudah resisten.
c. Imipenem-Cilastin kombinasi dengan Relebactam
250 atau 125 mg mempunyai efektifitas yang sama
dengan Imipenem-Cilastin untuk terapi ISK
komplikata.
d. Ceftazidime/Avibactam mempunyai efektifitas
seperti Carbapenem untuk terapi ISK komplikata
yang disebabkan oleh Enterobactriceae, namun
efek samping lebih sering terjadi pada
Ceftazidime/Avibactam.
e. Plazomicin sehari sekali dapat digunakan sebagai
terapi Enterobactericeae strain yang resisten yang
menyebabkan ISK komplikata.

25
II.4. Kerangka Konsep

Pasien Geriatri

Faktor Eksternal
Sindroma Geriatri

Immunosenesens

Infeksi

Faktor Internal

26
BAB III

KESIMPULAN

Infeksi pada lansia dapat menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas.5
Deteksi dini terjadinya infeksi pada lansia sulit dilakukan karena tanda dan gejala
infeksi sering tidak ada dan tidak khas.5,8,9 Infeksi yang sering di derita pasien lansia
yaitu pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK).5,7,10

Pneumonia pada lansia terdapat gejala dan tanda seperti kebingungan,


delirium, disorientasi, lemas, kehilangan napsu makan, dementia, inkontinensia
urin. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan frekuensi pernapasan (>25
kali/menit) dan oksimetri (saturasi oksigen <90%). Pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis dapat melalui pemeriksaan imaging (foto thorax dan CT-
Scan), pemeriksaan laboratorium (kadar kreatinin, enzim hati, jumlah trombosit,
leukositosis, leukopenia, neutrofil), dan pemeriksaan mikrobiologis (kultur sputum,
kultur darah, dan tes antigen urin).16 Tatalaksana yang diberikan pada pasien
pneumonia lanjut usia yaitu berdasarkan klasifikasi dari pneumonia. Pada
pneumonia komunitas atau CAP pada lansia, tatalaksana dapat dibedakan
berdasarkan ada tidaknya risiko frailty. Tatalaksana pneumonia nosokomial atau
HAP pada lansia diberikan berdasarkan waktu terjadinya pneumonia setelah
mendapatkan perawatan di Fasilitas Kesehatan.14

Infeksi saluran kemih (ISK) pada lansia terdapat tanda dan gejala seperti
delirium, mudah lelah, mengompol, dan anoreksia serta tanda khas infeksi saluran
kemih yaitu disuria, poliuria, dan urgensi urin.21,22 Perubahan status mental
merupakan salah satu tanda ISK pada lansia dan pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan peningkatan suhu tubuh dan nyeri pada perut.22 Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis ISK pada lansia yaitu pemeriksaan
urinalisis, pemeriksaan kultur urine, dan pemeriksaan mikroskopik urin.
Tatalaksana ISK pada lansia diberikan berdasarkan klasifikasi dari ISK yaitu ISK
komplikata dan non-komplikata.20

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pusat Statistik. Statistik Penduduk Lanjut Usia. Badan Pusat Statistik;
2021.
https://www.bps.go.id/publication/2020/12/21/0fc023221965624a644c111
1/statistik-penduduk-lanjut-usia-2020.html

2. Siregar FM. Immunosenescence : Penuaan Pada Sel Makrofag. J Ilmu


Kedokt. 2019;13(1):14. doi:10.26891/jik.v13i1.2019.14-22

3. Fuentes E, Fuentes M, Alarcón M, Palomo I. Immune system dysfunction in


the elderly. An Acad Bras Cienc. 2017;89(1):285-299. doi:10.1590/0001-
3765201720160487

4. Setiati S, Aulia R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI. (Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Marcelius S, Setiyohadi B, Syam AF, eds.). Interna Publishing;
2014.

5. Esme M, Topeli A, Yavuz BB, Akova M. Infections in the Elderly Critically-


Ill Patients. Front Med. 2019;6(118):1-9. doi:10.3389/fmed.2019.00118

6. Suchard M. Immunosenescence: Ageing of the immune system. SA Pharm


J. 2015;82(8):28-31.
https://www.researchgate.net/publication/283667108_Immunosenescence_
Ageing_of_the_immune_system

7. Prahasanti K. Gambaran Kejadian Infeksi Pada Usia Lanjut. Qanun Med -


Med J Fac Med Muhammadiyah Surabaya. 2019;3(1):81-91.
doi:10.30651/jqm.v3i1.2300

8. Farran S, Zangeneh T. Presentation of Common Infections in Older Adults.


Univ Arizona. Published online 2016:1-2.
https://www.uofazcenteronaging.com/care-sheet/providers/presentation-
common-infections-older-adults

28
9. Michener A, Heath B, Crnich CJ, et al. Infections in Older Adults: A Case-
Based Discussion Series Emphasizing Antibiotic Stewardship.
MedEdPORTAL J Teach Learn Resour. 2018;14:1-10.
doi:10.15766/mep_2374-8265.10754

10. Cristina ML, Spagnolo AM, Giribone L, Demartini A, Sartini M.


Epidemiology and prevention of healthcare-associated infections in geriatric
patients: A narrative review. Int J Environ Res Public Health. 2021;18(10):1-
12. doi:10.3390/ijerph18105333

11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia Di Pusat Kesehatan Masyarakat.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2015:1-100.

12. Oh SJ, Lee JK, Shin OS. Aging and the immune system: The impact of
immunosenescence on viral infection, immunity and vaccine
immunogenicity. Immune Netw. 2019;19(6):1-18.
doi:10.4110/in.2019.19.e37

13. Indonesian Society Of Respirology. Press Release “Perhimpunan Dokter


Paru Indonesia ( PDPI ) Outbreak Pneumonia Di Tiongkok". Ikat Dr
Indones. Published online 2020:1-4.
https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/Press_Release_Outbreak_p
neumonia_Pneumonia_Wuhan-17_Jan_2020.pdf

14. Mulyana R. Terapi Antibiotika pada Pneumonia Usia Lanjut. J Kesehat


Andalas. 2019;8(1):172. doi:10.25077/jka.v8i1.987

15. Cilloniz C, Hurtado DR, Torres A. Characteristics and Management of


Community-Acquired Pneumonia in the Era of Global Aging. Med Sci.
2018;6(35):1-17. doi:10.3390/medsci6020035

16. Henig O, Kaye KS. Bacterial Pneumonia in Older Adults. Infect Dis Clin
North Am. 2017;31(4):689-713. doi:10.1016/j.idc.2017.07.015

29
17. Rai IBN, Artana IG. B. “Workshop On Pneumonia” Deal The Challenge -
Improve The Outcome.; 2016.
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/5549/1/66822ee3d9bf3b983fdd86eec5e331
af.pdf

18. Tan CW, Chlebicki MP. Urinary tract infections in adults. Singapore Med J.
2016;57(9):485-490. doi:10.11622/smedj.2016153

19. Bonkat G, Bartoletti R, Bruyère F, et al. EAU Guidelines on Urological


Infections. European Association of Urology; 2020. https://uroweb.org/wp-
content/uploads/EAU-Guidelines-on-Urological-infections-2020.pdf

20. Seputra PK, Tarmono, Noegroho BS, et al. Panduan Tatalaksana Infeksi
Saluran Kemih Dan Genitalia Pria 2020. (Purnomo AF, Hakim MBI,
Samudra FS, et al., eds.). Ikatan Ahli Urologi Indonesia; 2020.

21. Manas LR. Urinary tract infections in the elderly : a review of disease
characteristics and current treatment options. Drug Context. 2020;9:1-8.
doi:10.7573/dic.2020-4-13

22. Alpay Y, Aykin N, Korkmaz P, Gulduren HM, Caglan FC. Urinary tract
infections in the geriatric patients. Pakistan J Med Sci. 2018;34(1):67-72.
doi:10.12669/pjms.341.14013

30

Anda mungkin juga menyukai