PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Atresia esophagus merupakan suatu kelainan congenital dimana esophagus tidak
terbentuk secara sempurna. Pada kebanyakan kasus, kelainan ini disertai dengan
terbentuknya hubungan antara esophagus dengan trakea yang disebut fistula
trakeaoesophageal (Tracheoesophageal Fistula/ TEP). Prematuritas merupakan hal umum
dan lebih dari 50% penderita disertai dengan beragai kelainan lain seperti penyakit jantung
congenital, kelainan traktus urinarius dan kelainan traktus gastrointestinal atresi esophagus
ataupun fistula trakeoesofageal ditangani dengan tindakan bedah. Diagnosis ini harus
diperhatikan pada setiap neonates yang mengeluakan banyak mucus dan saliva, dengan
atau tanpa tanda-tanda gangguan pernapasan.
Atresia esophagus (AE) merupakan kelainan congenital yang ditandai dengan
tindak menyambungnya esophagus bagian proksimal dengan esophagus bagian distal. AE
dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus (FTE), yaitu kelainan congenital dimana
terjadi persambungan abnormal antara esophagus dengan trakea.
Atresia Esophagus (AE) merupakan kelaianan kongenital yang cukup sering
dengan insidensi rata-rata sekitar 1 setiap 2500 hingga 3000 kelahiran hidup.1 Insidensi
AE di Amerika Serikat 1 kasus setiap 3000 kelahiran hidup. Di dunia, insidensi bervariasi
dari 0,4 – 3,6 per 10.000 kelahiran hidup.2 Insidensi tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 1
kasus dalam 2500 kelahiran hidup.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang penyakit Atresia Esophagus pada anak
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus adalah:
a. Mengetahui definisi Atresia Esophagus
b. Mengetahui Etiologi Atresia Esophagus
c. Mengetahui Manifestasi klinis Atresia Esophagus
d. Mengetahui Patofisiologi Atresia Esophagus
e. Mengetahui Komplikasi Atresia Esophagus
f. Mengetahui Klasifikasi Atresia Esophagus
g. Mengetahui Diagnosis Atresia Esophagus
h. Mengetahui Penatalaksanaan Atresia Esophagus
i. Mengetahui Asuhan Keperawatan Atresia Esophagus pada anak
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Atresia berarti buntu, atresia esophagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang atau
muara (buntu), pada esophagus (+). Pada sebagian besar kasus atresia esophagus ujung
esophagus buntu, sedangkan pada 1/4 – 1/3 kasus lainnya esophagus bagian bawah
berhubungan dengan trakea setinggi karina (disebut sebagai atresia esophagus dengan
fistula).
Atresia esophagus adalah sekelompok kelainan congenital yang mencangkup
gangguan kontinuitas esophagus disertai atau tanpa adanya hubungan trakea.
Atresia esoofagus adalah esophagus (kerongkongan) yang tidak terbentuk secara
sempurna. Pada atresia esophagus, kerongkongan menyempit atau buntu ; tidak
tersambung dengan lambung. Kebanyakan Bayi yang menderita atresia esophagus juga
memiliki fistula trakeoesofageal (suatu hubungan abnormal antara kerongkongan dan
trakea/pipa udara).
2. Etiologi
Etiologi atresia esophagus merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui
dengan jelas. Atresia esophagus merupakan suatu kelainan bawaan pada saluran
pencernaan. Terdapat beberapa jenis atresia, tetapi yang sering ditemukan adalah
kerongkongan yang buntu dan tidak tersambung dengan kerongkongan bagian bawah serta
lambung. Atresia esophagus dan fistula ditemukan pada 2-3 dari 10.000 bayi.
Hingga saat ini, teratogen penyebab kelainan ini masih belum diketahui. Terdapat
laporan yang menghubungkan atresia esophagus dalam keluarga.juga dihubunterdapat 2%
resiko apabila saudara telah terkena kelainan ini. Kelainan ini juga dihubungkan dengan
trisomi 21, 13, 18. Angka kejadian pada anak kembar dinyatakan 6x lebih banyak
dibanding bukan kembar.
3. Manifestasi Klinis
Biasanya timbul setelah bayi berumur 2-3 minggu, yaitu berupa muntah yang proyektil
beberapa saat setelah minum susu ( yang dimuntahkan hanya susu ), bayi tampak selalu
haus dan berat badan sukar naik.
a. Biasanya disertai dengan hidramnion (60%) dan hal ini pula yang menyebabkan
kenaikan frekuensi bayi lahir premature, sebaiknya dari anamnesis didapatkan
keterangan bahwa kehamilan ibu disertai hidrmnion hendaknya dilakukan kateterisasi
esophagus . bila kateter berhenti pada jarak < 10 cm, maka diduga artesia esophagus.
b. Bila pada BBL timbul sesak yang disertai dengan air liur yang meleleh keluar, dicurigai
terdapat atresia esophagus.
c. Segera setelah diberi minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena aspirasi
cairan kedalam jalan napas.
d. Pada fistula trakeaesofagus, cairan lambung juga dapat masuk kedalam paru, oleh
karena itu bayi sering sianosis.
Gejalanya bisa berupa :
a. Mengeluarkan luda yang sangat banyak
b. Terbatuk atau tersedak setelah berusaha untuk menelan
c. Tidak mau menyusu
d. Sianosis (kulitnya kebiruan)
Adanya fistula menyebabkan ludah bisa masuk kedalam paru-paru sehingga terjadi
resiko terjadinya pneumonia aspirasi.
4. Patofisiologi
Motilitas dari esophagus selalu dipengaruhi pada atresia esophagus. Gangguan
peristaltic esophagus biasanya paling sering dialami pada bagian esophagus distal. Janin
dengan atresia tidak dapat dengan efektif menelan cairan amnion. Sedangkan pada atresia
esophagus dengan fistula trkeoesofageal distal, cairan amnion masuk melaalui trakea
kedalam usus. Polihydramnion bisa terjadi akibat perubahan dari sirkulasi amnion pada
janin.
Neonates dengan atresia tidak dapat menelan dan akan mengeluarkan banyak sekali
air liur atau saliva. Aspirasi dari saliva atau air susu dapat menyebabkan aspirasi
pneumonia. Pada atresia dengan distal TEF, sekresi dengan gaster dapat masuk keparu-
paru dan sebaliknya, udara juga dapat bebas masuk dalam saluran pencernaan saat bayi
menangis ataupun mendapat ventilasi bantuan. Keadaan-keadaan ini bisa menyebabkan
perforasi akut gaster yang fatal. Diketahui bahwa bagian esophagus distal tidak
menghasilkan peristaltic dan ini bisa menyebabkan disfagia setelah perbaikan esophagus
dan dapat menimbulkan reflux gastroesofageal.
Trakea juga dipengaruhi akibat gangguan terbentuknya atresia esophagus. Trakea
abnormal, terdiri dari berkurangnya tulang rawan trakea dan bertambahnya ukuran otot
tranversal pada posterior trakea. Dinding trakea lemah sehingga mengganggu kemampuan
bayi untuk batuk yang akan mengarah pada munculnya pneumonia yang bisa berulang-
ulang. Trakea juga dapat kolaps bila diberikan makanana atupun air susu dan ini akan
menyebabkan pernapasan yang tidak efektif, hipoksia atau bahkan bisa menjadi apneo.
5. Klasifikasi
a. Kalasia
Chalasia ialah keadaan bagian bawah esophagus yang tidak dapat menutup secara
baik, sehingga menyebabkan regurgitasi, terutama kalau bayi dibaringkan. Pertolongan :
member makanan dalam posisi tegak, yaitu duduk dalam kursi khusus. Kalasia adalah
kelainan yang terjadi pada bagian bawah esophagus (pada persambungan dengan lambung
yang tidak dapat menutup rapat sehingga bayi sering regurgitasi bila dibaringkan.
b. Akalasia
Ialah kebalikan chalasia yaitu bagian akhir esophagus tidak membuka secara baik,
sehingga keadaan seperti stenosis atau atresia. Disebut pula spasmus cardio-oesophagus.
Sebabnya : karena terdapat cartilage trachea yang tumbuh ektopik dalam esophagus bagian
bawah, berbentuk tulang rawan yang ditemukan secara mikroskopik dalam lapisan otot.
c. Classification System Gross
Atresia esophagus disertai dengan fistula trakeoesofageal distal adalah tipe yang
paling sering terjadi. Varisi anatomi dari atresia esophagus menggunakan system
klasiifikasi gross of bostom yang sudah popular digunakan.
System ini berisi antara lain:
1) Tipe A : Atresia esophagus tanpa fistula ; atresia esophagus murni (10%)
2) Tipe B : Atresia esophagus dengan TEF proximal (<1%)
3) Tipe C : Atresia esophagus dengan TEF distal (85%)
4) Tipe D : Atresia esophagus dengan TEF proximal dan distal (<1%)
5) Tipe E : TEF tanpa atresia esophagus ; fistula tipe H (4%)
6) Tipe F : Stenosis esophagus congenital tanpa atresia (<1%)
6. Komplikasi
a. Komplikasi dini, mencakup
1) Kebocoran anastomosis
Terjadi 15-20% dari kasus. Penanganan dengan cara dilakukan thoracostomy
sambil suction terus menerus dan menunggu penyembuhan dan penutupan
anastomisis secara spontan, atau dengan melakukan tindakan bedah darurat
untuk menutup kebocoran.
2) Striktur anastomisis
Terjadi pada 30-40% kasus. Penanganannya ialah dengan melebarkan striktur
yang ada secara endoskopi.
3) Fistula rekuren
Terjadi pada 5-14% kasus.
7. Diagnosis
a. Anamnesis :
1) Biasanya disertai dengan hidramnion (60%) dan hal ini pula yang menyebabkan
kenaikan frkuensii bayi bayi yang lahir premature. Sebaiknya bila dari anamnesis
didapatkan keterangan bahwa kehamilan ibu disertai hidramnion, hendaknya
dilakukan katerisasi esophagus dengan kateter no 6-10 F. Bila kateter terhenti
pada jarak kurang dari 10 cm, maka harus diduga terdapat atresia esophagus.
2) Bila pada bayi baru lahir timbul sesak napas yang disertai dengan air liur yang
meleleh ke luar, harus dicurigai terdapat atresia esophagus.
3) Segera setelah diberi minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena
aspirasi cairan kedalam jalan napas.
4) Perlu dibedakan pada pemeriksaan fisis apakah lambung terisi atau kosong untuk
menunjang atau menyingkirkan terdapatnya fistula trakeo-esofagus.hal ini dapat
dilihat pada foto abdomen.
b. Pemeriksaan fisis :
Ditemukan gerakan peristaltic lambung dalam usaha melewatkan makanan
melalui daerah yang sempit di pylorus. Teraba tumor pada saat gerakan peristaltic
tersebut. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sesaat setelah anak diberi minum.
c. Pemeriksaan penunjang : Dengan memberikan barium peroral didapatkan
gambaran radiologis yang patognomonik barupa penyempitan pylorus yang
relative lebih panjang.
d. Gambaran Radiologik : Pada barium per os, yang patognomonik pada kelainan
ini ialah penyampitan pylorus yang relative lebih panjang.
e. Diagnosis lainnya :
1) Antenatal
Atresia esophagus dapat dicurigai pada USG bila didapati polihidramion pada
Ibu, abdomen yang kecil pada janin, dan pemesaran ujung esophagus bagian
atas. Dugaan juga semakin jelas bila didapati kelainan-kelainan lain yang
bekaitan dengan atresia esophagus.
2) Diagnosis klnis
Bayi dengan sekresi air liur dan ingus yang sering dan banyak harus
diasumsikan menderita atresia esophagus sampai terbkti tidak ada. Diagnosis
dibuat dengan memasukkan kateter/NGT ke dalam mulut, berakir pada sekitar
10 cm dari pangkal gusi. Kegagalan untuk memasukan kateter ke lambung
menandakan adanya atresia esophagus. Ukuran kateter yang lebih kecil bisa
melilit di kantong proximal sehingga bisa membuat kesalahan diagnosis
adanya kontinuitas esophagus. Radiografi dapat membuktikan kepastian
bahwa selang tidak tidak mencapai lambung. Selang tidak boleh dimasukkan
dari hidung karena dapat merusak saluran napas atas. Dalam kedokteran
modern, diagnosis dengan menunggu bayi tersedak atau batuk pada
pemberian makan pertama sekali, tidak disetujui lagi.
3) Diagnosis Anatomis
Tindakan penanganan tergantung dari variasi anatomi. Penting untuk
mengetaui apakah ada fistula pada satu atau kedua segmen esophagus. Juga
penting untuk mengetahui jarak antara kedua ujung esophagus.
Bila tidak ada fistula distal, pada foto thorax dengan selang yang
dimasukkan melalui mulut akan menunjukan segmen atas esophagus berakhir
diatas medistinum. Dari posisi lateral dapat dilihat adanya fistula dan udara di
esophagus distal. Dari percabangan trakea bisa dilihat letak dari fistula.
Tidak adanya udara atau gas pada abdomen menunjukkan adanya suatu
atresia tanpa disertai fistula atau atresia dengan fistula trrakeosofageal
proximal saja. Jika didapati ujung kantong esophagus proximal, bisa
diasumsikan bahwa ini adalah atresia esophagus tanpa fistula. Adanya udara
atau gas pada lambung dan usus menunjukan adanya fistula trakeoesofageal
distal.
Pada bayi dengan H-Fistula (Gross Tipe E) agak berbeda karena
esophagus utuh. Anak dapat menelan, tetapi dapat tersedak dan batuk saat
makan. Bila udara keluar daro fistula dan masuk kesaluran pencernaan akan
menimbulkan distensi abdomen, selain itu, aspirasi makanan yang berulang
akan menyebabkan infekasi saluran pernapasan . diagnosis dapat diketahui
dengan endoskopi atau penggunaan kontras.
4) Pemeriksaan Laboratorium
a) Darah Rutin
Terutama untuk mengetahui apabila terjadi suatu infeksi pada saluran
pernapasan akibat aspirasi makanan ataupun cairan.
b) Elektrolit
Untuk mengetahui keadaan abnormal bawaaan lain yang menyertai.
c) Analisa Gas Darah Arteri
Untuk mengetahui apabila ada gangguan respiratorik terutama pada bayi.
d) BUM dan Serum Creatinin
Untuk mengetahui keadaan abnormal bawaan lain yang menyertai.
e) Kadar Gula Darah
Untuk mengetahui keadaan abnormal bawaan lain yang menyertai.
5) Diagnosis Banding
a) Pilorospasme, yang gejalanya akan hilang setelah anak diberi
spasmolitikum
b) Prolaps mukosa lambung.
Tindakan : anak disiapkan untuk operasi pyloromyotomi cara fredet-
ramstedt. Operasi ini mudah dan memberikan penyembuhan yang
memuaskan.
8. Penatalaksanaan
a. Tindakan Sebelum Operasi
Atresia esophagus ditangani dengan tindakan bedah. Persiapan operasi untuk
bayi baru lahir mulai umur 1 hari antara lain :
1) Cairan intravena mengandung glukasa untuk kebutuhan nutrisi bayi.
2) Pemberian antibiotic broad-spectrum secara intra vena.
3) Suhu bayi dijaga agar selalu hangat dengan menggunakan incubator, spine dengan
posisi fowler, kepala diangkat sekitar 45o.
4) NGT dimasukkan secara oral dann dilakukan suction rutin.
5) Monitor vital signs.
Pada bayi premature dengan kesulitan benapas, diperlukan pehatin khusus.
Jelas diperlukan pemasangan endotracheal tube dan ventilator mekanik. Sebagai
tambahan, ada resiko terjadinya distensi berlebihan ataupun rupture lambung apabila
udara respirasi masuk kedalam lambung melalui fistula karena adanya resistensi
pulmonal. Keadaan ini dapat diminimalisasi dengan memasukkan ujung endotracheal
tube sampai kepintu masuk fistula dan dengan memberikan ventilasi dengan tekanan
rendah.
Echochardiography atau pemerikksaan EKG pada bayi dengan atresia
esophagus penting untuk dilakukan agar segera dapat mengetahui apabila terdapat
adanya kelainan kardiovaskular yang memerlukan penanganan segera.
b. Tindakan Selama Operasi
Pada umumnya operrasi perbaikan atresia esophagus tidak dianggap sebagai
hal yang darurat. Tetapi satu pengecualian ialah bila bayi premature dengan gangguan
respiratorik yang memerlukan dukungan ventilatorik. Udara pernapasan yang keluar
melalui distal fistula akan menimbulkan distensi lambung yang akan mengganggu
fungsi pernapasan. Distensi lambung yang terus-menerus kemudian bisa
menyebabkan rupture dari lambung sehingga mengakibatkan tension
pneumoperitoneum yang akan lebih lagi memperberat fungsi pernapasan.
Pada keadaan diatas, maka tindakan pilihan yang dianjurkan ialah dengan
melakukan ligasi terhadap fistula trakeaesofageal dan menunda tindakan thoratocomi
sampai masalah ganggua respiratorik pada bayi benr-benar teratasi. Targetnya ialah
operasi dilakukan 8-10 hari kemuudian untuk memisahkan fistula dari memperbaiki
esophagus.
Pada prnsipnya tindakan operasi dilakukan untuk memperbaiki abnormalitas
anatomi. Tindakan operasi dari atresia esophagus mencakup.
a) Operasi dilaksanakan dalam general endotracheal anesthesia dengan akses
vaskuler yang baik dan menggunakan ventilator dengan tekanan yang cukup
sehingga tidak menybabkan distensi lambung.
b) Bronkoskopi pra-operatif berguuna untuk mengidentifikasi dan mengetahui lokasi
fistula.
c) Posisi bayi ditidurkan pada sisi kiri dengan tangan kanan diangkat di depan dada
untuk dilaksanakan right posterolateral thoracotomy. Pada H-fistula, operasi
dilakukan melalui leher karena hanya memisahkan fistula tanpa memperbaiiki
esophagus. Esophagus
d) Operasi dilaksanakan thoracotomy, dimana fistula ditutup dengan cara diikat dan
dijahit kemudian dibuat anastomisis esophageal antara kedua ujung proximal dan
distal dan esofagus.
e) Pada atresia esofagus dengan fistula trakeoesofageal, hamppir selalu jarak antara
esofagus proksimal dan distal dapat disambung langsung ini disebut dengan
primary repairyaitu apabila jarak kedua ujung esofagus dibawah 2 ruas vertebra.
Bila jaraknya 3,6 ruas vertebra, dilakukan delaved primary repair. Operasi
ditunda paling lama 12 minggu, sambil dilakukan cuction rutin dan pemberian
makanan melalui gstrostomy, maka jarak kedua ujung esofagus akan menyempit
kemudian dilakukan primary repair. Apabiila jarak kedua ujung esofagus lebih
dari 6 ruas vertebra, maka dijoba dilakukan tindakan diatas, apabila tidak bisa
juga makaesofagus disambung dengan menggunakan sebagai kolon.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata
1) Identitas Klien
Nama/Nama panggilan :
Tempat tanggal lahir / Usia :
Jenis Kelamin :
Agama :
Pendidikan :
Alamat :
Tanggal masuk :
Tanggal pengkajian :
Diagnosa Medik :
2) Identitas Orang Tua
3) Identitas Saudara Kandung
f. Riwayat Nutrisi
1) Pemberian ASI
2) Pemberian makanan tambahan
3) Pola perubahan Nutrisi tiap tahapan usia sampai nutrisi saat ini
g. Riwayat Psichososial
h. Riwayat Spritual
i. Reaksi Hospitalisasi
a) Pemahaman keluarga tentang sakit dan rawat inap
b) Pemahaman anak tentang sakit dan rawat inap
c) Aktivitas sehari-hari
1) Nutrisi :
Sebelum sakit.
Saat sakit
2) Cairan
Sebelum sakit.
Saat sakit
3) Eliminasi (bak/bab)
4) Istirahat tidur
5) Olah raga : belum ada
6) Personal Hygine
7) Rekreasi
j. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum Klien 14) Sistem kardiovaskuler
2) Tanda – tanda vital 15) Sistem Pencernaan
3) Antropometri 16) System indra
4) Panjang badan 17) Sistem syaraf
5) Berat Badan 18) Fungsi cerebral
6) Lingkar lengan atas 19) Sistem Muskulo
7) Lingkar kepala Skeletal
8) Lingkar dada 20) Sistem Integumen
9) Lingkar perut 21) Sistem Endokrine
10) Sistem Pernafasan 22) Sistem perkemihan (
11) Hidung semua normal bak
12) Leher lancar )
13) D a d a 23) Sistem imun
k. Test diagnostic
1) Laboratorium
2) Ro. Photo
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko Aspirasi b/d tidak efektifnya kebersihan jalan nafas dan tidak
adanya reflek muntah
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
ketidakmampuan untuk memakan makanan sekunder dan ketidaksadaran
c. Resiko Injury b/d immobilisasi, penekanan sensorik patologi intrakranial
dan ketidaksadaran
d. Defisit perawatan diri b/d immobilisasi diri, kerusakan persepsi dan
kognitif
Diagnosa keperawatan
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi