Anda di halaman 1dari 35

1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-nya, sehingga Karya Tulis dengan judul
“Manajemen Konflik” ini dapat diselesaikan g baik.

Karya Tulis ini saya buat dengan tujuan untuk memberikan gambaran mengenai
manajemen konflik dalam suatu organisasi. Hal ini sangat bermanfaat untuk
melengkapi pengetahuan mahasiswa agar mampu mengatasi konflik yang mungkin
terjadi, baik konflik secara personal atau interpersonal dalam dunia kerja.

Meskipun upaya semaksimal sudah dilakukan dalam penyusunan karya tulis ini,
namun saya menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan yang ditemukan.
oleh karena itu, saya mohon adanya kritik dan saran yang bersifat membangun guna
melengkapi karya tulis ini.

Jamnbi, 23 Maret 2021

Riski Andrifa Manik

2
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................................1
KATA PENGANTAR .....................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG.......................................................................................... 4
1.2 TUJUAN............................................................................................................... 5
1.2.1 Tujuan Umum ...............................................................................5
1.2.2 Tujuan Khusus ..............................................................................5

BAB II TINJAUAN TEORI


2.1 Kepemimpinan ..................................................................................................... 7
2.2 Konflik.................................................................................................................. 11
2.3 Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik ......................................... 20

BAB III PEMBAHASAN .............................................................................................. 23

BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN .................................................................................................... 31
4.2 SARAN ................................................................................................................ 31

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perawat adalah salah satu profesi yang menyediakan pelayanan jasa keperawatan
dan langsung berinteraksi dengan banyak orang dalam hal ini adalah klien.
Profesi perawat juga menjalin hubungan kolaboratif antar tim kesehatan, baik itu
dengan dokter, laboran, ahli gizi, apoteker, dan semua yang terlibat dalam
pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan pekerjaannya, perawat akan saling
berinteraksi dengan tim kesehatan tersebut dan ketika tim ini memandang suatu
masalah atau situasi dari sudut pandang yang berbeda maka dapat terjadi sebuah
konflik (CNO, 2009). Perawat seringkali mengambil tindakan menghindar dalam
menyelesaikan permasalahan atau konflik yang terjadi dengan tujuan
mempertahankan status nyaman dan mencegah perpecahan dalam kelompok
(Hudson, 2005). Ironisnya, strategi tersebut memberikan dampak destruktif
terhadap perkembangan individu dan organisasi.

Perawat sebagai pengelola, dalam hal ini sebagai manajer, memegang peranan penting
dalam menentukan strategi penyelesaian konflik antar anggotanya. Seorang pemimpin
yang dianggap berkompeten dalam menyelesaikan konflik (a conflict-competent
leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika terjadinya suatu
konflik, memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu konflik, mendorong
respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang mampu menangani
konflik secara efektif (a conflict-competent organization) (Runde and Flanagan,
2007).

Penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami mungkin dengan tujuan


meningkatkan proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam
menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang (Shetach, 2012).
Menurut Rahim (2002), gaya kepemimpinan (demokratis, autokratis, dan Laissez

4
faire) sangat mempengaruhi pemilihan strategi penyelesaian konflik
(integrating (problem solving), obliging, compromising, dominating (forcing),
avoiding), dimana setiap strategi tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan
masing-masing tergantung pada batasan dan sumber konflik, serta tujuan yang
ingin dicapai apakah berorientasi pada hubungan antar anggota (concern for
others) atau berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Oleh karena itu
seorang pemimpin perlu memiliki pemahaman yang cukup tentang pengaruh
gaya kepemimpinan terhadap penyelesaian konflik individu ataupun organisasi.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah menyusun makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu
memahami tentang penerapan manajemen konflik di seluruh tatanan.

1.2.2 Tujuan Khusus


Mahasiswa diharapkan mampu :
a. Menjelaskan tentang konsep dasar kepemimpinan dan manajemen
konflik.
b. Menjelaskan pengaruh kepemimpinan dalam manajemen konflik.
c. Membuat kasus konflik dan melakukan analisa terkait gaya
kepemimpinan dan strategi penyelesaian konflik yang tepat.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepemimpinan
2.1.1 Definisi
Kepemimpinan adalah suatu seni untuk memotivasi sekelompok orang
untuk bertindak dalam mencapai tujuan bersama (Marquis & Huston,
2012).

2.1.2 Teori Kepemimpinan


Ada beberapa macam teori kepemimpinan yaitu:
a. The Great Man Theory
The Great Man Theory menyimpulkan bahwa pemimpin sejati sudah
mempunyai bakat sejak lahir. Menurut teori ini, seorang pemimpin
harus memiliki karisma, kecerdasan, dan kebijaksanaan (Russel,
2011).
b. Trait Theories
Trait Theories merupakan cabang dari Great Man Theory. Teori ini
menyimpulkan bahwa sifat-sifat tertentu dari seorang individu
memberikan kecenderungan yang lebih baik untuk menjadi pemimpin.
Teori ini menekankan bahwa para pemimpin mempunyai ciri-ciri
umum dan karakteristik yang membuat mereka sukses (Russel, 2011).
c. Contingency Theories
Contingency Theories menyimpulkan bahwa seorang pemimpin
menjadi besar karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti
situasi, kualitas para pengikut atau sejumlah variabel lainnya. Dalam
teori ini tidak ada satu cara yang tepat untuk memimpin karena faktor
internal dan eksternal dari lingkungan memerlukan pemimpin untuk
beradaptasi dengan situasi tertentu (Fiedler, 1967 cit Waworuntu,
2003).

6
d. Situasional Theories
Teori Situasional sangat mirip dengan teori contingency. Teori ini
menyimpulkan bahwa kinerja yang baik ditentukan oleh gaya
kepemimpinan yang baik. Kepemimpinan yang efektif ditentukan oleh
pemimpin, kelompok yang dipimpin dan kinerja yang baik (Russel,
2011) .
e. Behavioral Theories
Teori ini bertolak belakang dengan Great Man Theory, Behavioral
Theories menyimpulkan bahwa seorang pemimpin menjadi besar
karena dibuat, tidak dilahirkan. Teori ini berfokus pada tindakan atau
ciri-ciri prilaku para pemimpin. Pemimpin dapat menjadi seorang
pemimpin yang efektif melalui pengamatan, pengalaman dan
pembelajaran (Waworuntu, 2003).
f. Participative Theories
Teori Partisipatif menyimpulkan bahwa pemimpin yang baik
mempertimbangkan apa yang orang lain miliki sebagai masukan. Jenis
kepemimpinan pada teori ini memberikan kepercayaan terhadap
bawahan dengan maksud untuk mengumpulkan partisipasi kolaboratif
aktif dalam organisasi. Dengan membiarkan bawahan untuk terlibat
dalam suatu pekerjaan, maka akan meningkatkan pengetahuan mereka
tentang cara kerja dalam organisasi dan membantu mereka untuk
memahami bagaimana
proses pengambilan keputusan oleh pemimpin.
Jenis kepemimpinan ini dapat mengakibatkan konsekuensi negatif jika
pemimpin sering meminta pendapat kepada bawahan kemudian
mengabaikan masukan dari bawahan (Russel, 2011) .
g. Management Theories
Teori Manajemen (sering disebut Teori Transaksional) menyimpulkan
bahwa kinerja yang optimal dapat dicapai melalui pemberian reward

7
and punisment. Teori-teori ini sering digunakan dalam manajemen
perusahaan atau institusi di mana karyawan diberikan reward berupa
bonus/insentif dan cuti ketika kinerja mereka dianggap baik oleh
atasan dan diberi punishment berupa teguran, penggantian jam
kerja/lembur ketika kinerja mereka sangat di bawah ekspektasi
(Zagorsek at all, 2009).
h. Relationship theories
Teori Hubungan (Teori Transformasional) menyimpulkan bahwa
pemimpin harus membuat perubahan positif kepada bawahan sehingga
dapat meningkatkan motivasi dan kinerja bawahan (Konorti, 2008).
Pemimpin harus memotivasi dan menginspirasi bawahan dengan
membantu mereka untuk memahami pentingnya tugas atau tujuan
yang akan dicapai. Pemimpin dalam model teoritis ini biasanya
memiliki standar etika dan moral yang tinggi dan berusaha untuk
memastikan organisasi, kelompok dan keberhasilan individu (Buckley
& Brown, 2005)

2.1.3 Gaya Kepemimpinan


Beberapa gaya kepemimpinan menurut beberapa para ahli adalah:
a. Autocratic leadership
Kepemimpinan otokratis adalah bentuk paling ekstrim dari
kepemimpinan transaksional. Pemimpin memiliki kontrol mutlak dan
tidak membiarkan bawahan untuk memberikan masukan. Namun,
jenis kepemimpinan ini dapat menjadi efektif bila tenaga kerja tidak
terampil atau dalam situasi stres yang tinggi dan perlu dilakukan
tindakan cepat.
Beberapa karakteristik autocratic leadership, yaitu:
1) Atasan memiliki kontrol mutlak
2) Bawahan bekerja karena adanya paksaan
3) Bawahan bekerja harus sesuai perintah atasan

8
4) Komunikasi dari atas ke bawah
5) Pengambilan keputusan tidak melibatkan bawahan
6) Penekanan pada perbedaan status “saya” dan “kamu”
7) Kritik bersifat destruktif

b. Democratic/participative leadership
Kepemimpinan demokratis atau partisipatif adalah pemimpin
mendorong partisipasi bawahan untuk berkontribusi pada proses
pengambilan keputusan. Kepemimpinan jenis ini memotivasi bawahan
untuk bekerja lebih keras agar mereka benar-benar merasa memiliki.
Pemimpin masih membuat keputusan akhir tapi semua orang terlibat
dalam brainstorming dan diskusi. Jenis kepemimpinan bekerja sangat
baik ketika fokusnya adalah kualitas, bukan kuantitas atau kecepatan.
Bawahan harus mampu mengkomunikasikan ide-ide atau pendapat
mereka secara efektif sehingga pemimpin memahami dan dapat
menggunakan input bawahan untuk membantu menyelesaikan tugas.
Beberapa karakteristik democratic leadership, yaitu:
1) Kontrol kurang dipertahankan
2) Reward diberikan untuk memotivasi bawahan
3) Atasan hanya memberikan arahan dan petunjuk
4) Komunikasi ke atas dan ke bawah
5) Pengambilan keputusan merupakan kesepakatan bersama
6) Penekanan pada “kami” bukan “saya” dan “kamu”
7) Kritik bersifat konstruktif
c. Laissez faire leadership
Kepemimpinan Laissez-faire menjelaskan bahwa semua tanggung
jawab untuk pengambilan keputusan diserahkan kepada bawahan.
Atasan memberikan bimbingan, melakukan monitoring dan
memberikan bahan kepada bawahan untuk dapat mengembangkan

9
program dan akhirnya membuat keputusan. Jenis kepemimpinan ini
dapat diterapkan dengan efektif jika bawahan mempunyai pengetahuan
dan pengalaman.
Beberapa karakteristik laissez-faire leadership:
1) Permisif, dengan sedikit atau tanpa ada kontrol
2) Motivasi yang diberikan hanya ketika ada permintaan dari
kelompok atau individu
3) Memberikan sedikit atau tanpa arahan
4) Menggunakan komunikasi dari atas ke bawah antar anggota
kelompok
5) Pengambilan keputusan diserahkan kepada kelompok
6) Penekanan pada kelompok
7) Tidak ada kritik

2.1.4 Peran Kepemimpinan


Menurut Mulyadi, dkk (2013) ada beberapa peran dari kepemimpinan
yaitu:
a. Peran Interpersonal (The Interpersonal Roles)
Peran interpersonal terbagi menjadi 3, yaitu :
1) Simbol Organisasi (Figurehead).
Kegiatan yang dilakukan biasanya bersifat resmi, seperti menjamu
makan siang pelanggan.
2) Pemimpin (Leader).
Seorang pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk memotivasi
dan mendorong karyawannya untuk mencapai tujuan organisasi.
3) Penghubung (Liaison).
Seorang pemimpin berperan sebagai penghubung dengan orang
diluar organisasinya dan penghubung antara manajer dalam
berbagai level dengan bawahannya.

10
b. Peran Informasional (The Informational Roles)
Peran informasional terbagi menjadi 3, yaitu:
1) Pengawas (Monitor)
Pemimpin harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan secara
kontinyu terhadap lingkungannya untuk mendapatkan informasi
yang valid, yakni terhadap bawahan, atasan, dan selalu menjalin
hubungan dengan pihak luar.
2) Penyebar (Disseminator)
Pemimpin juga harus mampu menyebarkan informasi kepada
pihak-pihak yang memerlukannya.
3) Juru Bicara (Spokesperson)
Pemimpin berperan untuk menyediakan informasi bagi pihak luar.
c. Peran Pembuat Keputusan (The Decisional Roles)
1) Pengusaha (Entrepreneurial)
Pemimpin harus memiliki sikap pro aktif dalam mengembangkan
suatu proyek dan menyusun sumberdaya yang dibutuhkan.
2) Penghalau Gangguan (Disturbance Handler)
Pemimpin harus bersikap reaktif terhadap masalah dan tekanan
situasi.
3) Pembagi Sumber Dana (Resource Allocator)
Pemimpin harus dapat mendistribusikan sumber dana ke bagian-
bagian dari organisasinya yang aling membutuhkan baik berupa
uang, waktu, perbekalan, tenaga kerja dan reputasi.
4) Pelaku Negosiasi (Negotiator)
Pemimpin harus mampu melakukan negosiasi pada setiap
tingkatan, baik dengan bawahan, atasan maupun pihak luar.

2.2 Konflik
2.2.1 Definisi Konflik

11
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide,
nilai-nilai, dan perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston,
1996 dalam Hendel dkk, 2005).
Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah adanya perselisihan yang terjadi
ketika tujuan, keinginan, dan nilai bertentangan terhadap individu atau
kelompok.

2.2.2 Sumber Konflik


Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan karena: (1)
perbedaan interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis kelamin, ras,
pandangan, perasaan, pendidikan, pengalaman, tingkah laku, pendapat,
budaya, kebangsaan, keyakinan, dll, (2) perbedaan kepentingan dalam
hubungan antar manusia karena perbedaan budaya, posisi, peran, status,
dan tingkat hirarki.
Menurut Robbins (2008), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang
disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori,
yaitu : komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
a. Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan
kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber
konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik,
pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran
komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi
kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
b. Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup:
ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota
kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan
anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan,

12
dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan
bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang
mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin
terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan
terjadinya konflik.
c. Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang
meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik
kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan
sumber konflik yang potensial.

2.2.3 Jenis-jenis Konflik


Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik
intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik
antar kelompok.
a. Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi pada individu sendiri.
Keadaan ini merupakan masalah internal untuk mengklasifikasinilai
dan keinginan dari konflik yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan
sebagai akibat dari kompetisi peran. Misalnya seorang manajer
mungkin merasa konflik intrapersonal dengan loyalitas terhadap
profesi keperawatan, loyalitas terhadap pekerjaan, dan loyalitas kepada
pasien.
b. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih, dimana nilai,
tujuan, dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena
seseorang secara konstan berinteraksi dengan orang lain sehingga

13
ditemukan perbedaan-perbedaan. Sebagai contoh seorang manajer
sering mengalami konflik dengan teman sesame manajer, atasan, dan
bawahannya.
c. Konflik Intra kelompok
Konflik ini terjadi ketika seseorang didalam kelompok melakukan
kerja berbeda dari tujuan, dengan contoh seorang perawat tidak
mendokumentasikan rencana tindakan perawatan pasien sehingga akan
mempengaruhi kinerja perawat lainnya dalam satu tim untuk mencapai
tujuan perawatan di ruangan tersebut.
d. Konflik Antar Kelompok
Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja
untuk mencapai tujuan kelompoknya. Sumber konflik jenis ini adalah
hambatan dalam mencapai kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa
layanan), keterbatasan prasarana.

2.2.4 Manajemen Konflik


a. Definisi Manajemen Konflik
Manajeman konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para
pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke
arah penyelesaian yang konstruktif atau destruktif (Ross, 1993).
b. Gaya Penyelesaian Konflik
Terdapat 2 hal yang memegang peranan penting dalam keberhasilan
penyelesaian konflik, yaitu menentukan besarnya konflik dan gaya
penanganan konflik (Rahim, 2002). Yang dimaksud dengan besarnya
konflik terkait dengan jumlah individu yang terlibat, apakah konflik
mengarah pada intrapersonal, interpersonal, intra kelompok, atau antar
kelompok. Kreitner dan Kinicki (2005) mengungkapkan lima gaya
penanganan konflik (Five Conflict Handling Styles). Model ini
ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi.
Menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang

14
lain (concern for others) dan pemecahan masalah yang berorientasi
pada diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini
menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu:
integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.
1) Integrating (Problem Solving)
Proses integrasi berkaitan dengan mekanisme pemecahan masalah
(problem solving), seperti dalam menentukan diagnosis dan
intervensi yang tepat dalam suatu masalah. Dalam gaya ini pihak-
pihak yang berkepentingan secara bersama-sama
mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, bertukar informasi,
kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi
alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan
isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham
(misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan
masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan
utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam
penyelesaian masalah (Rahim, 2002). Langkah-langkah untuk
mencapai solusi ini antara lain adalah mulai dengan berdiskusi,
dengan waktu dan tempat yang kondusif, menghargai perbedaan
individu, bersikap empati dengan semua pihak, menggunakan
komunikasi asertif dengan mamaparkan isu dan fakta dengan
jelas, membedakan sudut pandang, meyakinkan bahwa tiap
individu dapat menyampaikan idenya masing-masing, membuat
kerangka isu utama berdasarkan prinsip yang umum, menjadi
pendengar yang baik. Setuju terhadap solusi yang
menyeimbangkan kekuatan dan memuaskan semua pihak sehingga
dicapai “win-win solution”.

15
2) Obliging (Smoothing)
Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian
pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri.
Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena
berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada
persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat.
Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong
terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat
sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin
dipecahkan.

3) Dominating (Forcing)
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian
terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk
menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering
disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal
dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika
cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam
penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu
penting, dan harus mengambil keputusan dalam waktu yang cepat.
Namun, teknik ini tidak tepat untuk menangani masalah yang
menghendaki adanya partisipasi dari mereka yang terlibat dan juga
tidak tepat untuk konflik yang bersifat kompleks . Kekuatan utama
gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan konflik. Kelemahannya, sering menimbulkan
kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh
mereka yang terlibat.

4) Avoiding
Teknik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sederhana, atau jika biaya yang

16
harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada
keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk
menyelesaikan masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Teknik
ini kurang tepat pada konflik yang menyangkut isu-isu penting,
dan adanya tuntutan tanggung jawab untuk menyelesaikan
masalah secara tuntas (Rahim, 2002). Kekuatan dari strategi
penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang
membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan
kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara
dan tidak menyelesaikan pokok masalah.

5) Compromising
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang
secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan
kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi
dan menerima (give and take approach) dari pihak-pihak yang
terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah
yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi
memiliki kekuatan yang sama. Kekuatan utama dari kompromi
adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang
merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat
sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam
penyelesaian masalah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Hendel (2005), gaya ini merupakan gaya yang paling banyak
dipilih oleh perawat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.

17
c. Proses Manajemen Konflik
Proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi,
dan evaluasi (feedback). Penentuan diagnosis merupakan dasar dari
keberhasilan suatu intervensi. Berikut adalah skema proses manajemen
konflik menurut Rahim (2002):
Learning&
Diagnosis Intervention Conflict effectiveness

- Measurement - Leadership - Amount of - Individual


- Analysis - Culture conflict - Group
- Design - Conflict - Organization
styles

FEEDBACK

Gambar 2. Proses Manajemen Konflik (Rahim, 2002)

Dalam proses diagnosis yang perlu dilakukan adalah pengumpulan


data-data antara lain identifikasi batasan konflik, besarnya konflik,
sumber konflik, kemudian mengkaji sumber daya yang ada apakah
menjadi penghalang atau dapat dioptimalkan untuk membantu

18
penyelesaian konflik (Huber, 2010). Setelah proses identifikasi
(measurement), selanjutnya dilakukan proses analisis terhadap data-
data yang telah dikumpulkan, hal ini bertujuan untuk menentukan
strategi resolusi konflik yang akan diambil disesuaikan berdasarkan
besarnya konflik dan gaya manajemen konflik yang akan dipakai
(integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising).

Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat bermacam-macam


strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi, konsiliasi,
mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force. Intervensi ditentukan berdasarkan
dua hal, yaitu proses dan struktural. Proses yang dimaksud adalah
intervensi yang dilaksanakan harus mampu memperbaiki keadaan
dalam suatu organisasi, seperti misalnya intervensi mampu
memfasilitasi keterlibatan aktif dari individu yang berkonflik, dan juga
penggunaan gaya penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami
mungkin dengan tujuan meningkatkan proses belajar dan pemahaman
individu atau organisasi dalam menyelesaikan konflik saat ini ataupun
yang akan datang (Shetach, 2012). Proses ini juga diharapkan dapat
merubah pola kepemimpinan seseorang dan budaya dalam
menyelesaikan konflik. Dengan demikian organisasi atau individu
akan memperoleh keterampilan baru dalam penanganan konflik.
Selain itu, intervensi juga diharapkan dapat memperbaiki struktur
organisasi, seperti dalam hal mekanisme integrasi dan diferensiasi,
hirarki, prosedur, reward system, dan lain sebagainya. Pendekatan ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan suatu organisasi untuk
menyelesaikan konflik berdasarkan berbagai sudut pandang individu
yang terlibat di dalamnya menuju ke arah konstruktif (Rahim, 2002).

Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya


proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara
bersama-sama, dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang

19
berkualitas terhadap perkembangan individu atau suatu organisasi
yang harus ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel, 2005). Setelah
intervensi, dilaksanakan suatu evaluasi terhadap setiap tindakan yang
dilakukan, sekaligus hal ini sebagai feedback proses diagnosing pada
konflik yang sudah ada ataupun konflik yang baru.

d. Outcome Resolusi Konflik


Menurut Huber (2010) outcome conflict adalah hasil dari proses
manajemen konflik antara lain:
1) Win-lose
Salah satu pihak mendominasi dan pihak yang lain terabaikan.
Yang menduduki porsi lebih besar mendapatkan kemenangan dan
sebaliknya yang lebih sedikit mengalami kekalahan.
2) Lose-lose
Semua pihak yang bertentangan mengalami kerugian. Teknik
penyuapan, memperjualbelikan, menggunakan pihak ketiga untuk
mengancam dapat memuncullkan hasil resolusi ini.
3) Win-win
Resolusi ini dicapai saat semua pihak menyetujui dan mendapatkan
manfaat dari penyelesaian konflik

2.3 Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik


Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a conflict-
competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika
terjadinya suatu konflik. Diversitas atau keragaman pihak yang terlibat dalam
suatu konflik juga perlu diidentifikasi karena merupakan sumber potensial
terjadinya konflik, antara lain budaya, gender, posisi (jabatan), dan umur (Ayoko
and Hartel, 2006). Menurut Ayoko (2007) keragaman budaya yang tidak
mendapatkan perhatian dari pemimpin akan menimbulkan dampak destruktif
pada suatu organisasi, seperti terhambatnya komunikasi dan koordinasi.
Pemimpin juga harus mampu memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu

20
konflik, mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang
mampu menangani konflik secara efektif (a conflict-competent organization)
(Runde and Flanagan, 2007).

Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses


kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama,
dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap
perkembangan individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan
masalahnya (Hendel, 2005). Menurut Ayoko dan Hartel (2006) untuk
meningkatkan respon konstruktif, seorang pemimpin juga harus mampu
memanajemen timbulnya konflik emosional karena akan menghambat
terbentuknya persatuan dan perkembangan organisasi.

Gaya kepemimpinan sangat mempengaruhi pengambilan strategi penyelesaian


masalah atau konflik, seperti misalnya gaya kepemimpinan demokratis
cenderung memilih strategi integrating (problem solving), obliging, dan
compromising yang lebih menekankan pada kepentingan bersama, gaya
kepemimpinan autokratis cenderung memilih dominating (forcing), sedangkan
gaya kepemimpinan Laissez faire cenderung memilih strategi avoiding (Rahim,
2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Brewer (2002) dalam jurnal
The International Journal of Conflict Management, gender juga memegang
peranan penting dalam pemilihan strategi penyelesaian konflik, dimana
berdasarkan kuisioner yang dibagikan, feminine group cenderung memilih
strategi avoiding, masculine group memilih dominating, dan androgynous group
(transgender) cenderung memilih strategi integrating. Dalam penelitian tersebut
tidak ditemukan kelompok gender tertentu yang khusus memilih strategi
compromising dan obliging.

Selain itu pemilihan strategi penyelesaian konflik juga dipengaruhi oleh suasana
saat berkomunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik, strategi yang bisa

21
digunakan adalah obliging, integrating, dan compromising. Sebaliknya, bila
suasana komunikasi bersifat defensive, dominating dan avoiding menjadi pilihan
(Hassan, B. et al, 2011).

Pengaruh kepemimpinan dalam pemecahan masalah konflik juga bisa dilihat


dalam model “CAPI” yang dirumuskan oleh Shetach (2012). Dengan
menerapkan CAPI (Coaleshing Authority, Power, and Influence) model’s dalam
manajemen kelompok, diharapkan pemimpin mampu menggunakan kekuatan,
otoritas, dan pengaruhnya dalam memutuskan strategi penyelesaian konflik yang
tepat.

22
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Contoh Kasus


Perawat R (wanita) 48 tahun (S2 Keperawatan, pengalaman bekerja 18 tahun)
adalah manajer keperawatan di unit perawatan neuroscience di sebuah rumah
sakit di Chicago. Beliau memiliki keinginan untuk melakukan renovasi pada unit
perawatan yang dipimpinnya dan perawat R pun menemui direktur keperawatan
di RS tersebut. Ketika bertemu dan menyampaikan keinginannya, ternyata
menurut direktur keperawatan, RS hanya memiliki biaya untuk merenovasi 1 unit
saja untuk tahun ini, dan direktur mengatakan sudah ada perawat J (laki-laki) 56
tahun (S1 Keperawatan, pengalaman bekerja 30 tahun) yang merupakan manajer
keperawatan di unit perawatan bedah ortopedi yang juga mengajukan proposal
untuk renovasi. Direktur menyarankan mereka untuk bertemu satu sama lain
untuk membahas masalah yang terjadi agar mendapatkan keputusan yang tepat.
Perawat R dan Perawat J sebelumnya juga pernah berkonflik tentang penyusunan
standar tindakan keperawatan sehingga mereka jarang menjalin komunikasi
secara langsung. Perawat R pun merasa terpaksa harus menemui Perawat J, dan
dalam pertemuan tersebut terjadi perbedaan pendapat antara keduanya, dimana
kedua belah pihak beranggapan bahwa renovasi di unit perawatan mereka lebih
penting dari renovasi di unit perawatan lainnya. Perawat J juga menganggap
perawat R tidak berkewenangan untuk melakukan negosiasi dengannya, yang
memiliki kewenangan tersebut adalah direktur keperawatan. Konflik ini
berdampak pula pada kinerja staf perawat yang bekerja di unit masing-masing
terutama dalam hal kolaborasi. Direktur keperawatan merasa bertanggung jawab
terhadap kondisi ini, dan ingin segera menyelesaikannya.

23
3.2 Analisa Kasus
3.2.1 Analisa Gaya Kepemimpinan
Konflik terjadi dari suatu ketidaksetujuan antara dua orang atau lebih
dalam suatu organisasi dimana seseorang tersebut merasa ada yang akan
mengancam kepentingannya. Sumber-sumber konflik di organisasi
dapat ditemukan pada kekuasaan, komunikasi, tujuan seseorang dan
organisasi, ketersediaan sarana, perilaku kompetisi dan personaliti serta
peran yang membingungkan.

Seorang pemimpin harus bisa mempengaruhi orang lain sebagai modal


utama pemimpin dalam menyelesaikan konflik, untuk memperoleh kesan,
rasa hormat, kepatuhan, loyalitas, dan kerjasama serta menimbulkan
harapan. Dengan kemampuan ini pula seorang pemimpin dapat mengubah
kepercayaan, nilai-nilai, pendapat, sikap, dan prilaku orang lain. Tanpa
kemampuan ini seorang pemimpin tidak dapat menyelesaikan konflik
dengan efektif (Harsono, 2010). Pemimpin juga harus mampu
menggunakan kekuatan, otoritas, dan pengaruhnya dalam memutuskan
strategi penyelesaian konflik yang tepat. Hal ini sesuai dengan model
“CAPI” (Coaleshing Authority, Power, and Influence) yang dicetuskan
oleh Shetach (2012).

Menurut Hudson, dkk (2005), pemimpin, dalam kasus ini adalah direktur
keperawatan, harus memiliki kemampuan untuk memahami sumber-
sumber konflik dan mengelola konflik tersebut agar konflik bisa dijadikan
sebagai ekplorasi ide-ide yang kreatif, sehingga bisa meningkatkan kualitas
dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien.

Dalam kasus diatas teori keperawatan yang dapat diterapkan adalah


participative theories dimana pemimpin yang baik mempertimbangkan apa
yang orang lain miliki sebagai masukan. Jenis kepemimpinan pada teori ini
memberikan kepercayaan terhadap bawahan untuk bersama-sama

24
menyelesaikan konflik. Sedangkan gaya kepemimpinan yang sesuai
dipakai oleh direktur keperawatan untuk menyelesaikan kasus di atas
adalah democratic style dimana pemimpin mendorong partisipasi bawahan
untuk berkontribusi pada proses pengambilan keputusan. Direktur
keperawatan tetap membuat keputusan akhir tetapi kedua manajer
keperawatan terlibat dalam brainstorming dan diskusi.
Direktur keperawatan juga harus menjalankan perannya sebagai seorang
pemimpin dalam menyelesaikan konflik pada kasus di atas, yaitu:
a. Peran interpersonal
Untuk menyelesaikan konflik pada kasus diatas, seorang direktur
keperawatan harus bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang leader,
dimana direktur keperawatan harus bisa mengajak perawat R sebagai
manajer keperawatan ruangan neuroscience dan perawat J sebagai
manajer ruangan orthopedic untuk duduk bersama dalam
menyelesaikan konflik. Selain itu direktur keperawatan harus menjadi
fasilitator antara kedua manager keperawatan dalam menyelesaikan
konflik tersebut.
b. Peran informasional
Direktur keperawatan harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan
langsung ke ruangan neuroscience dan ruangan orthopedic untuk
mendapatkan informasi yang valid, yakni melihat ruangan mana yang
lebih prioritas untuk dilakukan renovasi.
c. Peran pembuat keputusan
Direktur keperawatan harus menjalankan fungsinya sebagai pembuat
keputusan, dimana direktur keperawatan harus memilih ruangan mana
yang akan di renovasi terlebih dahulu agar tidak salah dalam
mendistribusikan sumber dana yang ada. Direktur keperawatan harus
mampu melakukan negosiasi kepada perawat R dan perawat J selaku
manager keperawatan terkait sumber dana yang ada, sehingga
dihasilkan keputusan yang win-win solution antara kedua belah pihak.

25
3.2.2 Analisa Strategi Penyelesaian Konflik
Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a
conflict-competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami
dinamika terjadinya suatu konflik, memahami reaksi konflik, respon
konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang mampu menangani
konflik secara efektif (a conflict-competent organization) (Runde and
Flanagan, 2007). Menurut Rahim (2002) proses manajemen konflik
meliputi proses dari diagnosis, intervensi, dan evaluasi (feedback).
Berdasarkan kasus di atas, berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan
sebagai bentuk strategi penyelesaian konflik.
a. Diagnosis (Measurement dan analisis)
1) Identifikasi batasan konflik
Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik
intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan
konflik antar kelompok. Berdasarkan kasus di atas, terdapat 2 jenis
konflik yang terjadi antara lain konflik interpersonal dan konflik antar
kelompok. Konflik interpersonal yang terjadi adalah antara Perawat J
dan Perawat R yang sebelumnya sudah pernah berkonflik dan jarang
menjalin komunikasi satu sama lain. Konflik kedua adalah konflik
antar kelompok. Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing
kelompok bekerja untuk mencapai tujuan kelompoknya masing-
masing, dalam kasus ini kelompok yang dimaksud adalah kelompok
perawat yang bekerja di unit perawatan neuroscience dan perawat yang
bekerja di unit perawatan bedah ortopedi yang sama-sama menuntut
adanya renovasi di unit perawatan masing-masing.
2) Identifikasi penyebab konflik
Konflik dapat muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya
(antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai
sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu : komunikasi,

26
struktur, dan variabel pribadi (Robbins, 2008). Dalam kasus di atas
sumber terjadinya konflik adalah 3 kategori tersebut. Kurangnya
komunikasi yang terjalin antara Perawat J dan Perawat R
menyebabkan komunikasi dua arah sulit tercapai. Perbedaan jenis
kelamin menjadi salah satu penghambat dalam berkomunikasi asertif,
dimana laki-laki cenderung agresif, independen, dan jarang melibatkan
emosi, sebaliknya wanita cenderung pasif, dependen, dan melibatkan
emosi (Brewer et al, 2002). Istilah struktur dalam konteks ini
mencakup adanya perbedaan tujuan dan kepentingan masing-masing
kelompok, sedangkan variabel pribadi yang dimaksud adalah tipe
kepribadian masing-masing pimpinan kelompok berbeda satu dengan
yang lainnya. Menurut Shetach (2012) konflik juga dapat disebabkan
oleh perbedaan interpersonal dan perbedaan kepentingan. Dalam kasus
ini perbedaan interpersonal yang terjadi terkait pada dimensi-umur,
jenis kelamin, latar belakang pendidikan, dan pengalaman bekerja. Hal
ini juga sesuai dengan pendapat Ayoko and Hartel, 2006 yang
mengatakan bahwa diversitas atau keragaman yang menjadi sumber
konflik potensial adalah budaya, gender, posisi (jabatan), pengalaman,
dan umur. Kemudian untuk perbedaan kepentingan dapat dilihat dari
adanya dua kelompok perawat yang memiliki tujuan dan kepentingan
yang berbeda (terkait posisi, peran, status, dan tingkat hirarki).
3) Identifikasi sumber daya yang dapat dioptimalkan dan yang dapat
menjadi penghalang untuk manajemen konflik
Sebelum menentukan strategi-strategi dalam penyelesaian konflik,
Direktur keperawatan harus melakukan pengkajian faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi penyelesaian konflik, salah satunya sumber daya
manusia. Sumber daya manusia yang dimaksud adalah pemimpin
terkait kemampuan, peran dan fungsi kepemimpinan, serta gaya
kepemimpinannya yang selanjutnya mempengaruhi pilihan strategi
manajemen konflik yang dihadapi.

27
4) Identifikasi strategi penyelesaian konflik
Konflik dapat menjadi konstruktif atau destruktif tergantung dari cara
menyelesaikan atau memanajemen konflik. Kondisi konstruktif dapat
dirasakan ketika solusi yang diambil memuaskan dan menguntungkan
pihak-pihak yang mengalami konflik. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan Brewer (2002), penentuan gaya penyelesaian konflik
ditentukan dari gender, yaitu feminine group cenderung memilih gaya
avoiding, masculine group memilih dominating, dan androgynous
group (transgender) cenderung memilih strategi integrating. Dalam
penelitian tersebut tidak ditemukan kelompok gender tertentu yang
khusus memilih strategi compromising dan obliging. Sedangkan
menurut Hassan (2011) pemilihan strategi penyelesaian konflik adalah
berdasarkan suasana komunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin
baik, strategi yang bisa digunakan adalah obliging, integrating, dan
compromising. Sebaliknya, bila suasana komunikasi bersifat defensif,
dominating dan avoiding menjadi pilihan. Berdasarkan kasus di atas,
gaya penyelesaian konflik yang dipilih adalah berdasarkan suasana
komunikasi bukan berdasarkan gender, yaitu compromising. Gaya ini
menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang
memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini
merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give and take
approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan
untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki
tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama, dan penyelesaian
masalah dianggap sebagai prioritas agar tidak berkembang menjadi
konflik baru yang melibatkan pihak lain (Hoffmann, 2005). Kekuatan
utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan
tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Outcome resolusi konflik
yang diharapkan dari kasus di atas adalah win-win solution.

28
b. Intervensi
Strategi intervensi penanganan konflik yang dipakai dalam kasus di
atas adalah fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi. Ketiga strategi itu
melibatkan pihak ketiga yang dalam hal ini adalah direktur
keperawatan. Fasilitasi dilakukan dengan cara mempertemukan kedua
pihak yang berkonflik untuk membangun komunikasi dua arah,
misalnya dalam suatu rapat. Mediasi dimana pihak ketiga membantu
menjalin hubungan yang baik antara kedua belah pihak yang
berkonflik. Kemudian arbitrasi adalah proses selanjutnya dari mediasi,
dimana pihak ketiga akan mendengarkan persepsi atau sudut pandang
kedua pihak. Hal ini juga membantu pemimpin untuk menentukan
prioritas tindakan dan membantu untuk tercapainya suatu kesepakatan
yang adil. Ketiga proses ini juga menjamin terbentuknya komunikasi
yang baik sehingga kompromi merupakan hal yang tepat untuk dipilih.
Dalam hal ini kesepakatan yang mungkin ditawarkan dengan
menggunakan prinsip kompromi adalah :
- Melakukan renovasi tahap pertama di kedua unit dengan biaya
operasional dibagi 2, yaitu 50% untuk unit neuroscience, kemudian
50% untuk unit bedah ortopedi, kemudian di tahun selanjutnya
renovasi dilanjutkan kembali.
- Unit perawatan bedah ortopedi melakukan renovasi fisik dengan
biaya 75%, sedangkan unit neuroscience membeli perlengkapan
sekunder untuk unitnya dengan biaya 25%, di tahun berikutnya
dilakukan barter, unit neuroscience mendapatkan 75% untuk
renovasi fisik, dan unit bedah ortopedi mendapat 25% untuk
melengkapi sarana dan prasarana lainnya.
c. Evaluasi
Setelah strategi-strategi manajemen konflik dilaksanakan, pemimpin
melakukan evaluasi:
1) Evaluasi proses

29
Evaluasi terhadap keseluruhan proses manajemen konflik yang terdiri
dari:
- Bagaimana proses berjalan?
- Terdapat progress atau tidak?
- Berapa orang yang terlibat?
- Apakah option yang ditawarkan diterima oleh pihak yang
berkonflik?
- Bagaimana reaksi pihak yang berkonflik (negatif/positif,
verbal/nonverbal)?
- Apakah strategi yang dipilih mengarah pada penyelesaian masalah
atau memunculkan masalah baru?
- Apakah terdapat hambatan dalam implementasi strategi yang
direncanakan dalam intervensi?
2) Evaluasi hasil
Membandingkan hasil yang didapatkan dengan indikator yang telah
direncanakan dalam intervensi. Hal yang perlu dievaluasi adalah
apakah hasil manajemen konflik mengarah pada proses yang
konstruktif atau destruktif. Manajemen konflik yang konstruktif bisa
diidentifikasi dari adanya proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian
masalah dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik dianggap
sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan
individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan
masalahnya (Hendel, 2005). Sedangkan konflik bersifat destruktif bila
berfokus hanya pada satu individu saja, menggunakan emosi yang
bersifat negatif, dan menurunkan fungsi suatu grup atau organisasi
(Runde and Flanagan, 2007).

30
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilai-
nilai, keyakinan, dan perasaan antara dua orang atau lebih. Seorang pemimpin
memiliki peran yang besar dalam mengelola konflik yang konstruktif dalam
pengembangan, peningkatan, dan produktivitas suatu organisasi. Gaya
kepemimpinan seseorang sangat mempengaruhi pemilihan strategi penanganan
konflik (integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising). Salah
satu model penyelesaian konflik yang digunakan adalah Model Rahim (2002),
yang terdiri atas proses diagnosis, intervensi, dan evaluasi. Untuk menegakkan
diagnosis, diperlukan langkah-langkah identifikasi, antara lain identifikasi
batasan konflik, sumber konflik, potensi sumber daya manusia, dan identifikasi
strategi yang akan dilakukan. Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat
bermacam-macam strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi,
konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force yang dapat dipilih berdasarkan
gaya kepemimpinan seseorang. Intervensi yang dipilih bersifat sealami mungkin
dan mampu memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi dan meningkatkan
proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam menyelesaikan
konflik saat ini ataupun yang akan datang. intervensi juga diharapkan dapat
memperbaiki struktur organisasi, seperti dalam hal mekanisme integrasi dan
diferensiasi, hirarki, prosedur, reward system, dan lain sebagainya. Proses
terakhir adalah evaluasi sebagai mekanisme umpan balik terhadap proses
diagnosis dan intervensi yang telah dilakukan.

4.2 Saran
Perlu adanya kegiatan pelatihan dasar kepemimpinan yang berkelanjutan bagi
profesi keperawatan, khususnya sebagai perawat pengelola (manajer) untuk dapat

31
menerapkan gaya kepemimpinan yang baik dalam menentukan strategi
penyelesaian konflik.

32
DAFTAR REFERENSI

Ayoko, O.B. & Hartel C.E. (2006). Cultural diversity and leadership “a conceptual
model of leader intervention in conflict events in culturally heterogenous
workgroups. Cross Cultural Management: An International Journal, 13(4),
345-360.
Ayoko, O.B. (2007). Communication openness, conflict events and reactions to
conflict in culturally diverse workgroups. Cross Cultural Management: An
International Journal, 14 (2), 105-124.
Brewer, N., Mitchell, P., Weber, N. (2002). Gender role, organizational status, and
conflict management styles. The International Journal of Conflict
Management. 13(1), 78-94.
Buckley M.R & Brown J.A. (2005). Barnard on conflicts of responsibility
“implications for today’s perspectives on transformational and authentic
leadership”. Management Decision Journal, 43(10), 1396.
CNO. (2009). Practice Guidelines Conflict prevention and management. Retrieved
from: http://www.cno.org/global/docs/prac/47004_conflict_prev.pdf.
Harsono. (2010). Paradigma ”Kepemimpinan Ketua” dan Kelemahannnya. Makara,
Sosial Humaniora. 14(1), 56-64.
Hassan, B., Maqsood, A., & Muhammad, N. R. (2011). Relationship between
organizational communication climate and interpersonal conflict
management style. Pakistan Journal of Physicology, 42(2), 23-41.
Hendel, T., Fish, M..,Galon, V. (2005). Leadership style and choice of strategy in
conflict management among Israeli nurse managers in general hospitals.
Journal of Nursing Management, 13, 137-146.
Hoffmann, M.H.G. (2005). Logical argument mapping: a method for overcoming
cognitive problems of conflict management. The International Journal of
Conflict Management, 16(4), 304-334.
Huber, D. L. (2010). Leaderhip and Nursing Care Management ed. 4. Maryland
Heights: Saunders/Elsevier.

33
Hudson, K., Grisham, T. Srinivasan, P. (2005). Conflict management, negotiation,
and effective communication: esential skill for project managers. Retrieved
from:
http://thomasgrisham.com/file/Conflict_Management_AIPM_Australia.pdf.
Kreitner & Angelo Kinicki. (2005). Organizational Behaviour. Chicago: Irwin.
Konorti. (2008). The 3D Transformational leadership model. The Journal of
American Academy of Business, 14, 10-20.
Marquis, B. L. & Huston, C. J. (2010). Kepemimpinan dan Manajemen
Keperawatan: Teori dan Aplikasi. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Mulyadi, dkk. (2013). Analisis Peran Kepemimpinan terhadap Motivasi Kerja
Pegawai pada Departemen Fasilitas Umum dan Penataan Lingkungan Perum
Peruri. Jurnal Managemen. 10 (3), 1305-1318
Rahim, M. Afzalur. (2002). Toward a theory of managing organizational conflict. The
International Journal of Conflict Management, 13 (3), 206-235.
Riggio, R.E. (2003). Introduction to Industrial/ Organizational Psychology. (4th Ed.).
Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Robbins, S. P. (2008). Perilaku Organisasi. Buku 2. Jakarta: Salemba Empat.
Russel, E. (2011). Leadership theories and style: a transitional approach. Retrieve
fromhttp://usacac.army.mil/cac2/cgsc/repository/dcl_secondplaceessay_110
2.pdf.
Runde, C. E. & Flanagan, T. A. (2007). Effective leadership stems from ability to handle
conflict. (2007). Dispute Resolution Journal, 62(2), 92.
Shetach, A. (2012). Conflict leadership: Navigating toward effective and efficient
team outcomes. The Journal for Quality and Participation, 35(2), 25-30.
Waworuntu, B. (2003). Determinan Kepemimpinan. Makara, Sosial Humaniora. 7
(2), 71-81.
Zagorsek, H., Dimovski, V., Skerlavai, M. (2009). Transactional and
transformational leadership impacts on organizational learning. Journal for
East European Management Studies, 14, 144-165.

34
35

Anda mungkin juga menyukai