Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN KASUS

PERTUSIS DENGAN MULTIPLE ASD

Disusun oleh:
dr. Andi Vannesya Astriani

Pendamping:
dr. Rara Purbasari

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS KECAMATAN CILINCING DKI JAKARTA
15 November 2022- 15 November 2023
HALAMAN PENGESAHAN
PERTUSIS DENGAN MULTIPLE ASD

Disusun oleh :
dr. Andi Vannesya Astriani

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas
Dokter Internship Puskesmas Kecamatan Cilincing

Jakarta, 2023

Pembimbing

dr. Rara Purbasari


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan Kasus Pertusis dengan ASD dengan
baik dan tepat waktu. Laporan ini disusun dalam rangka memenuhi kewajiban
tugas sebagai dokter internship di Puskesmas Kecamatan Cilincing. Selama proses
penyusunan laporan mulai dari awal hingga akhir, penulis mendapat banyak
bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada :
1. dr. Rara Purbasari selaku Pembimbing Internshi di Puskesmas Kecamatan
cilincing yang telah memberikan sarana dan prasarana sehingga
pelaksanaan kegiatan dan pembuatan laporan dapat terlaksana dengan
baik. Terima kasih kepada dr. Rara Purbasari yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing, memotivasi dan memberikan semangat
kepada saya selama penyusunan laporan kasus ini.
2. Ny. F dan keluarga atas kerjasama dan kesempatannya sehingga laporan
ini dapat terlaksana dan terselesaikan dengan baik.
Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih dan mohon maaf apabila terdapat
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan Laporan Kasus Pertusis dengan
ASD. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pihak lainnya.
Jakarta,
2023

dr. Andi Vannesya


Astriani
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................................
BAB I Tinjauan Pustaka.................................................................................................
1.1. Definisi...........................................................................................................
1.2. Epidemiologi .................................................................................................
1.3. Faktor Risiko..................................................................................................
1.4. Patofisiologi....................................................................................................
1.3. Klasifikasi.......................................................................................................
1.4. Gambaran klinis..............................................................................................
1.4. Tatalaksana.....................................................................................................
1.4. Follow up........................................................................................................
BAB II Data Klinis..........................................................................................................
2.1. Identitas...........................................................................................................
2.2. Anamnesis.......................................................................................................
2.3. Status Generalis..............................................................................................
2.4. Status Obstetri...............................................................................................
2.5. Pemeriksaan Penunjang................................................................................
2.6. Resume.........................................................................................................
2.7. Diagnosis Kerja............................................................................................
2.8. Diagnosis Banding........................................................................................
2.9. Pemeriksaan Anjuran....................................................................................
2.10. Penatalaksanaan..........................................................................................
2.11. Prognosis....................................................................................................
2.12. Follow up....................................................................................................
BAB II Pembahasan......................................................................................................
BAB II Kesimpulan.......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PERTUSIS

2.1.1 Definisi
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh Bordetella
pertusis. Pertusis atau batuk rejan disebut juga whooping cough, tussis quinta,
violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang
pertama kali menggunakan istilah pertussis atau batuk kuat pada tahun 1670.
Pertusis dikenal sebagai batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan
individu yang terinfeksi berteriak saat batuk. Pertusis merupakan penyakit
infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang, namun rentan
terjadi pada anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan
kekebalan yang menurun.
2.1.2 Epidemiologi
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4
tahun. Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab
utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di
Amerika Serikat.
Menurut salah satu lembaga penelitian kesehatan dunia Communicable
Disease Control (CDC) 2010 Annual Morbidity Report mengatakan bahwa
insiden pertusis meningkat setiap 3 sampai 5 tahun sekali. Pada 2010
peningkatan kembali terjadi, seperti di Los Angeles terjadi peningkatan kasus
sejak 50 tahun terakhir yaitu 972 kasus saat ini (696 diagnosa pasti, 276
suspect) dengan angka kejadian 9.91 kasus per 100.000 jiwa. Sedangkan di
California angka kejadian pertusis yaitu 23,3 kasus per 100.000 jiwa.
Di Indonesia angka kejadian pertusis jarang ditemukan berkat
terselenggaranya program Imunisasi Nasional dimana lebih dari 87% anak di
Indonesia sudah mendapatkan imunisasi secara lengkap. Begitu dianggap
pentingnya pemberian kekebalan pada anak-anak sehingga imunisasi standar
diberikan secara gratis di Puskesmas. BCG untuk menangkal TBC, DPT
untuk menangkal Dipteri Pertusis (batuk) dan Tetanus, lalu vaksin Polio,
Campak dan Hepatitis D. Program imunisasi ini diperkuat oleh program
imunisasi gratis di sekolah-sekolah, yaitu vaksinasi Dipteri Tetanus untuk
siswa kelas I SD dan vaksinasi TT untuk siswa kelas II dan III SD. Program
ini merupakan perwujudan Pasal 10 UU No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan, dimana upaya kesehatan juga dilakukan lewat pencegahan
penyakit.
2.1.3 Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus
pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus
respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella
pertusis ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan
anak–anak kecil yang ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor
inspiratori memanjang ” batuk rejan”.1,3
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil
dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak
bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita
pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou. 1,5
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak
sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas.
Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica,
B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B.
parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada
manusia.7
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis.
Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan
pertussis. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin pertusis
mulai digunakan secara luas, dan terendah sepanjang kasus yang dilaporkan
di Amerika Serikat pada tahun 1976.5 Oleh karena itu di negara maju
imunisasi merupakan prosedur rutin untuk mencegah dan menurunkan angka
kejadian dari berbagai macam penyakit.
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir kebal terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada
neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian
sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn
dapat menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan nasofaring akan
negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis
atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih
rentan terhadap penyakit ini jika terpajan.1

2.1.4 Patogenesis
Bordetella pertusis ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme
patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan
yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu,
kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik.1
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor
(LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan
Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis
kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran
napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi
bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan
menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan
whooping cough.1,9
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin
sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian
menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel.
Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.1,9
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek
mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi
perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah
dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek
memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan
menurunkan konsentrasi gula darah.1,9
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan
limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia,
maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi
infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan
Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang
dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.1,9
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi
pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat
perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat
pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.1
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila
sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya
efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella
pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan
toksin pertusis.1

2.1.5 Gejala Klinis


Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah di
imunisasi. Setelah masa inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya
disertai batuk dan keluar cairan hidung yang sulit dibedakan dengan batuk
pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenal
sebagai pertusis. Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Anak akan
infesius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah gejala terjadi.10
Pertusis dibagi dalam 3 stadium yaitu :4
1. Stadium Kataralis
Berlangsung Selama 1-2 minggu, ditandai dengan adanya batuk-batuk
ringan, terutama pada malam hari, pilek, serak, anoreksia, dan demam ringan.
Stadium ini menyerupai influenza.
2. Stadium Paroksismal
Berlangsung selama 2-4 minggu. Batuk semakin berat sehingga pasien
gelisah dengan muka merah dan sianostik. Batuk terjadi parosismal berupa
batuk-batuk khas. Serangan batuk panjang dan tidak ada inspirasi di
antaranya dan diakhiri dengan whoop (tarikan nafas panjang, dalam, dan
berbunyi melengking). Sering diakhiri dengan muntah disertai sputum kental.
Terkadang disertai berak atau terkencing-kencing akibat tekanan saat batuk.
Dapat terjadi perdarahan subkonjungtiva dan epitaksis. Pasien tampak
berkeringat, pembuluh darah leher terlihat dan muka lebar.
3. Stadium Konvalesensi
Berlangsung selama 2 minggu. Jumlah dan beratnya serangan batuk
berkurang, muntah berkurang, dan nafsu makan kembali baik.
2.1.6 Diagnosis
Curiga pertusis jika anak batuk lebih dari 2 minggu, terutama jika
penyakit diketahui terjadi lokal. Tanda-tanda diagnostik yang paling
berguna :10
 Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering
disertai muntah.
 Perdarahan subkonjungtiva.
 Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis.
 Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang
diikuti oleh berhentinya nafas atau sianosis, atau nafas berhenti tanpa batuk.
 Periksa anak untuk tanda pneumonia atau tanyakan tentang kejang.

Pemeriksaan laboratorium :
 Bakteri B.Pertusis ditemukan dengan melakukan swab pada daerah
nasofaring dan ditanam pada media agar Bordet-Gengou. Biakan positif pada
stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan
menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.1,3
 Pada pemeriksaan darah didapatkan leukositosis 20,000-50,000/UI
dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama
stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk
diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.1,3
 Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk
menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. IgG toksin pertusis
merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi
dan tidak tampak setelah pertussis.10,12

Pemeriksaan radiologi :
 Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat
perihiler, atelektasis atau emfisema.

2.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan umum :
 Membatasi jumlah paroksismal.
 Mengamati keparahan batuk.
 memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele.
Tujuan rawat inap :
 menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam
jiwa pada puncak penyakit.
 mencegah atau mengobati komplikasi.
 mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan
yang akan diberikan di rumah.

Tatalaksana :10
Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat
jalan dengan perawatan panjang. Umur < 6 bulan dirawat dirumah sakit.
Demikian juga pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk,
henti nafas lama, atau kebiruan setelah batuk.
Antibiotik :
 Beri eritromisin oral (12.5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10
hari atau jenis makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya
sakit tetapi akan menurunkan periode infeksius.
Oksigen :
 Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas
atau batuk paroksismal berat.
 Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal,
karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari
mukus agar tidak menghambat aliran oksigen.
 Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada
lagi.
 Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada
pada posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua
sambungan aman.

Tatalaksana jalan napas :


 Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih
rendah dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi
muntahan dan membantu pengeluaran sekret.
 Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan
tenggorokan dengan lembut dan hati-hati.
 Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual
atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.

Perawatan penunjang :
 Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang
terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan
tenggorokan dan penggunaan NGT.
 Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin.
 Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu.
 Jika anak demam (≥ 39º C) yang dianggap dapat menyebabkan distres,
berikan parasetamol.
 Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa
nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk
memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan,
berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi dan
mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan
pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan
terus terjadi, beri makanan melalui NGT.
Pemantauan :
Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali
sehari. Agar dapat dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap
serangan apnu, serangan sianotik, atau episode batuk yang berat, anak harus
ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan perawat dan dekat dengan
oksigen. Juga ajarkan orang tua untuk mengenali tanda serangan apnu dan
segera memanggil perawat bila ini terjadi.
2.1.8 Komplikasi 10
1. Pneumonia
Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh
infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan.
2. Kejang
Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan
apnu atau sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin.
3. Gizi kurang
Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan
oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah.
4. Perdarahan
Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis.
Tidak ada terapi khusus.
5. Hernia
Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang
kuat. Tidak perlu dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi
saluran pencernaan, tetapi rujuk anak untuk evaluasi bedah setelah
fase akut.

2.1.9 Pencegahan
Tindakan kesehatan masyarakat:10
 Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam
keluarga yang imunisasinya belum lengkap.
 Beri DPT ulang untuk anak yang sebelumnya telah diimunisasi.
 Beri eritromisin suksinat (12.5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama
14 hari untuk setiap bayi yang berusia di bawah 6 bulan yang disertai
demam atau tanda lain dari infeksi saluran pernapasan dalam
keluarga.

Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum


mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari
sesudah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan,
eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat
eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin
diberikan pada waktu terjadi epidemi.1,11

2.1.10 Prognosis
Tergantung ada tidaknya komplikasi terutama komplikasi paru dan saraf
pada bayi dan anak kecil.

2.2 PENYAKIT JANTUNG BAWAAN


2.2.1. Pendahuluan

Jantung adalah suatu organ yang merupakan bagian dari suatu sistem

dalam tubuh manusia yang ikut berperan dalam mekanisme untuk

mempertahankan homeostasis. Fungsi utama jantung adalah mendorong

darah agar dapat mengalir dengan lancar di dalam pembuluh darah pada

sistem sirkulasi ke seluruh tubuh. 12

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan bentuk kelainan jantung

yang sudah didapatkan sejak bayi baru lahir. Manifestasi klinis kelainan ini

bervariasi dari yang paling ringan sampai berat. Pada bentuk yang ringan,

sering tidak ditemukan gejala, dan tidak ditemukan kelainan pada

pemeriksaan klinis. Sedangkan pada PJB berat, gejala sudah tampak sejak

lahir dan memerlukan tindakan segera. Dengan berkembangnya teknologi,


khususnya ekokardiografi, banyak kelainan jantung yang sebelumnya tidak

dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisis dan penunjang biasa, EKG,

radiologi dengan menggunakan alat ini dapat dideteksi dengan mudah.13

Ada 2 golongan besar PJB, yaitu asianotik (tidak biru) dan sianotik (biru)

yang masing-masing memberikan gejala dan memerlukan penatalaksanaan

yang berbeda. 3

2.2.2. DEFINISI

Penyakit jantung bawaan adalah penyakit dengan kelainan pada struktur

jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi

akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada

fase awal perkembangan janin. 3

2.2.3. EPIDEMIOLOGI

Penyakit jantung bawaan adalah penyebab paling banyak pada anak.

Data dari the nothern region paediatric cardiology data base memperkirakan

insiden PJB di UK sebesar 6,9/12000 kelahiran, atau 12 di antara 1245

kelahiran bayi sedangkan di beijing, cina insiden PJB 8,2/12000 dari total

kelahiran, dimana 1268,9/12000 lahir mati dan 6,7/12000 lahir hidup. insiden

PJB menurut World Health Organization (WHO) PJB di Bangladesh (6%),

India (125%), Burma (6%), dan Srilangka (120%). 15

Di negara maju hampir semua jenis PJB telah dideteksi dalam masa

bayi bahkan pada usia kurang dari 12 bulan, sedangkan di negara berkembang

banyak yang baru terdeteksi setelah anak lebih besar, sehingga pada beberapa

jenis PJB yang berat mungkin telah meninggal sebelum terdeteksi. Angka

kejadian PJB adalah 8 tiap 12000 kelahiran hidup atau kurang lebih 32000
bayi setiap tahun di Indonesia dan 30% diantaranya telah memberikan gejala

pada minggu-minggu pertama kehidupan. Bila tidak terdeteksi secara dini dan

tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada bulan

pertama kehidupan. 14,16

2.2.4. Etiologi

Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit jantung bawaan tidak

diketahui. Berbagai jenis obat, penyakit ibu, pajanan terhadap sinar X,

telah diduga menjadi penyebab eksogen penyakit jantung bawaan.

Penyakit rubela yang diderita ibu pada awal kehamilan dapat

menyebabkan PJB pada bayi. Disamping faktor eksogen terdapat pula

faktor endogen yang berhubungan dengan kejadian jantung bawaan.

Berbagai jenis penyakit genetik dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan

kejadian penyakit jantung bawaan seperti sindrom down. Diperkirakan

lebih dari 90% kasus penyebabnya adalah multifaktorial yaitu gabungan

antara kerentanan individual dengan faktor eksogen. Kedua faktor tersebut

secara bersama dapat menyebbkan kelainan struktural jantung apabila

terjadi pada minggu-minggu pertama kehidupan mudigah. 13,17

2.2.5. Patogenesis

1. Embriogenesis jantung
Embriogenesis jantung merupakan serangkaian proses yang

kompleks. Untuk keperluan pemahaman, proses yang rumit tersebut

dapat disederhanakan menjadi 4 tahapan, yaitu : 19

a. Tubing (Pembentukan Tabung)

Pada awal pembentukan jantung hanya merupakan sebuah tabung

lurus yang berasal dari fusi sepasang pridomia simetris. Pada

beberapa bagian terdapat dilatasi ventrikel yaitu atrium primitif,

komponen ventrikel yang terdiri dari segmen inlet dan outlet serta

truktus arteriosus yang kelak menjadi aorta dan arteri pulmonalis.

Pembentukan jantung ini terjadi pada embrio yang berusia 6 minggu

kehamilan yang panjangnya sekitar 120 mm.

Gambar 12. Tahapan Tubing (Kiri) dan Looping (Kanan)


b. Looping

Proses perkembangan selanjutnya dikenal sebagai suatu

pembentukan “loop” antara atrium dengan komponen inlet dengan

outlet ventrikel. Perkembangan yang bertahap menyebabkan atrium

primitif bergeser ke arah sinus venosus, hingga terbentuk

lengkungan ke kanan antara atrium dan segmen inlet ventrikel.

c. Septasi

Proses selanjutnya adalah tahapan septasi atrium, ventrikel serta

trunkus arteriosus. Sistem vena yang simetris mengalami lateralisasi

dengan anstomosis dari kiri ke kanan di daerah kepala dan abdomen.

Celah antara septum primum dan bantalan endokardium disebut

ostium primum. Selanjurnya fusi septum primum dan bantalan

endokardium menutup ostium primum. Untuk mempertahankan

hubungan interatial, tepi atas septum terlepas ke bawah membentuk

foramen sekundum. Kemudian lipatan yang terbentuk di kanan

dinding atrium primitif menutup foramen sekundum dan melapisi

bagian bawah septum primum. Celah antara kedua sekat ini disebut

foramen ovale.
Gambar 2. Skema septasi atrium melukiskan perkembangan septum

atrium dan foramen ovalenya

Kantung yang terbentuk dari komponen inlet pada proses looping

akan menjadi daerah trabekular ventrikel kiri, sedang kantong dari

komponen outlet menjadi daerah trabekular ventrikel kanan. akibat

pembentukan kantong-kantong ini terjadilah septum trabekular yang

kelak akan menjadi bagian bawah dari cincin lubang antara komponen

inlet dan outlet ventrikel. Pada stadium ini seluruh aliran kanalis

atrioventrikularis masuk ke daerah trabekular ventrikel kiri sedangkan

aliran yang keluar melalui trunkus akan berasal dari area trabekular

ventrikel kanan.
Gambar 3. Skema pembentukan bagian-bagian ventrikel

Septasi trunkus arteriosus terjadi dengan terbentuk dan berfungsinya

tonjolan-tonjolan endokardial yang dimulai dari segmen outlet

ventrikel. Semula proses ini berlangsung seperti spiral dan selanjutnya

pada saat fusi menjadi septum yang berlangsung seperti spiral dan

selanjutnya pada saat fusi menjadi septum yang lurus. Septum tersebut

kemudian menjadi pemisah aorta dan arteri pulmonalis.

Gambar 4. Septasi Trunkus Arteriosus menjadi Aorta dan Arteri Pulmonalis

d. Migrasi
Bersamaan dengan proses perkembangan septasi kanalis

atrioventrikularis dengan terbentuknya bantalan endokardium, juga

terjadi pergeseran (migrasi) segmen inlet ventrikel, sehingga officium

antrioventrikularis kanan dan kiri akan berhubungan dengan daerah

trabekuler ventrikel kanan. Pada saat yang sama, terbentuk septum

inlet antara officium antrioventrikularis kanan dan kiri, sehingga

ventrikel kanan sudah mempunyai daerah inlet dan outlet sedangkan

ventrikel kiri hanya mempunyai inlet.

Gambar 5. Migrasi bagian Inlet Ventrikel, Ventrikel Kiri hanya mempunyai

Inlet. Ventrikel Kanan mempunyai Inlet dan Outlet.

2. Sirkulasi Janin

Pada janin, darah dengan oksigen relatif cukup (pO 2 30 mmHg)

mengalir dari plasenta melalui vena umbilikalis. separuh jumlah darah

ini mengalir melalui hati, sedangkan sisanya memintas hati melalui

duktus venosus ke vena kava inferior, yang juga menerima darah dari
hati (melalui vena hepatika) serta tubuh bagian bawah. Sebagian besar

darah dari vena cava inferior mengalir ke dalam atrium kiri melalui

foramen ovale, selanjutnya ke ventrikel kiri, aorta ascendens dan

sirkulasi koroner. dengan demikian sirkulasi otak dan koroner mendapat

darah dengan tekanan oksigen yang cukup.

Sebagian darah dari vena cava inferior memasuki ventrikel kanan

melalui katup trikuspid. Darah yang kembali dari leher dan kepala janin

(pO2 120 mmHg) memasuki atrium kanan melalui vena cava superior

lalu bergabung dengan darah dari sinus coronarius menuju ventrikel

kanan dan berlanjut ke arteri pulmonalis.

Pada masa fetal hanya 122-125% darah dari ventrikel kanan yang

akan memasuki paru, selebihnya akan melewati duktus arteriosus

menuju aorta desenden lalu bercampur dengan darah dari aorta asenden.

Darah yang banyak mengandung CO tersebut akan mengalir ke organ-

organ tubuh sesuai dengan tahanan vaskular masing-masing dan juga ke

plasenta melalui arteri umbilikalis. 18

3. Sirkulasi Bayi Baru Lahir

Perubahan yang sangat penting dalam sirkulasi setelah bayi lahir terjadi

karena putusnya hubungan plasenta dari sirkulasi sistemik dan paru yang

mulai berkembang. Perubahan-perubahan yang terjadi adalah: 18

1) Penurunan tahanan vaskular pulmonal akibat ekspansi mekanik paru-paru,

peningkatan saturasi oksigen arteri pulmonalis dan pO2 alveolar karena

tahanan arteri pulmonalis menurun maka aliran darah pulmonal

meningkat. Lapisan medial arteri pulmonalis perifer berangsur-angsur


menipis dan pada usia bayi 120-124 hari tahanan arteri pulmonalis sudah

seperti orang dewasa. Penurunan tahanan arteri pulmonalis akan terhambat

bila terdapat aliran darah paru yang meningkat seperti pada defek septum

ventrikel ataupun pada duktus arteriosus yang besar.

2) Tahanan vaskular sistemik meningkat.

3) Duktus arteriosus menutup pada 120-125 jam setelah lahir. Penutupan

permanen terjadi pada usia 2-3 minggu.

4) Foramen ovale menutup saat bayi lahir tetapi tidak semua bayi

mengalaminya. Dalam jam-jam pertama setelah lahir masih dapat

dideteksi terdapatnya pirau dari atrium kanan ke atrium kiri melalui

foramen ovale karena tekanan pada atrium kanan masih sedikit lebih tinggi

dibandingkan atrium kiri.

2.2.6. Klasifikasi

Secara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi 2 kelompok,

yaitu penyakit jantung bawaan asianotik dan penyakit jantung bawaan

sianotik.

1. Penyakit Jantung Bawaan Asianotik

Penyakit jantung bawaan asianotik merupakan bagian terbesar

dari seluruh penyakit jantung bawaan. Penyakit jantung bawaan

asianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang dibawa

lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di sekat

jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah satu

katup jantung dan penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh

darah besar tanpa adanya lubang di sekat jantung. PJB asianotik


memiliki 2 kelompok besar yaitu (12) PJB asianotik dengan lesi atau

lubang di jantung sehingga terdapat aliran pirau dari kiri ke kanan

misalnya ventricular septal defect (VSD), atrial septal defect (ASD)

dan patent ductus arteriosus (PDA), dan (2) PJB asianotik dengan

lesi obstruktif di jantung bagian kiri atau kanan tanpa aliran pirau

melalui sekat di jantung aortic stenosis (AS), coarctatio aorta (CoA)

dan pulmonary stenosis (PS).14,26

a. Ventrikuler Septal Defect (VSD)

VSD adalah kelainan jantung bawaan berupa tidak

terbentuknya septum antara ventrikel jantung kiri dan kanan

sehingga antara keduanya terdapat lubang (tunggal atau

multiple) yang saling menghubungkan.19

Gambar 12. Ventrikuler Septal Defect (VSD)

b. Atrial Septal Defect (ASD)

Atrial Septal Defect (ASD) adalah setiap lubang yang

menyebabkan hubungan antara atrium kanan dan kiri. Secara

anatomis defek ini dibagi menjadi defek septum atrium primum,

sekundum, tipe sinus venosus dan tipe sinus koronarius. Bila


terdapat lubang patologis di tempat fosa ovalis disebut dengan

ASD sekundum, bila terdapat celah pada bagian bawah septum

atrium atau pada daun katup mitral disebut ASD primum, dan

bila berada di dekat muara vena cava superior atau vena kava

inferior dan seringkali disertai dengan anomali parsial drainase

vena pulmonalis maka disebut ASD tipe sinus venosus.

Sedangkan bila terletak pada muara sinus koroner disebut tipe

sinus koroner.21,24

Gambar 2. Atrial Septal Defect (ASD)

c. Patent Ductus Arteriosus (PDA)

Terbukanya duktus arteriosus yang secara fungsional menetap

beberapa saat setelah lahir.24


Gambar 3. Patent Ductus Arteriosus (PDA)

d. Pulmonary stenosis (PS)

Stenosis pulmonal adalah suatu keadaan terdapatnya obstruksi

anatomis jalan keluar ventrikel kanan yang menyebabkan

terjadinya perbedaan tekanan antara kanan dan kiri.

Penyempitan pada stenosis pulmonal dapat terjadi dibawah

katup, yaitu infundibulum (stenosis subvalvular atau

infundibular), pada katupnya sendiri (valvular), atau diatas katup

(supravlvular).

e. Aortic Stenosis (AS)

Penyempitan pada jalan keluar ventrikel kiri pada katup aorta

ataupun area tepat dibawah atau atas katup aorta mengakibatkan

perbedaan tekanan antara ventrikel kiri dan aorta Stenosis aorta

dapat terjadi pada tingkat subvalvular, valvular atau

supravalvular.

f. Coarctatio Aorta (CoA)


Koartasio aorta adalah obstruksi pada aorta akibat penyempitan

aorta yang sebagian besar terletak di distal percabangan arteri

subclavia sinistra.12,13,14

Gambar 4. Coarctatio Aorta (CoA)

2. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik

Pada PJB sianotik didapatkan kelainan struktur dan fungsi jantung

sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik

yang mengandung darah rendah oksigen kembali beredar ke sirkulasi

sistemik. Terdapat aliran pirau dari kanan ke kiri atau terdapat

percampuran darah balik vena sistemik dan vena pulmonalis. Pada

golongan PJB ini sianosis pada mukosa bibir dan mulut serta kuku jari

tangan–kaki adalah penampilan utama dan akan terlihat bila reduce

haemoglobin yang beredar dalam darah lebih dari 5g %. Bila dilihat dari

penampilan klinisnya, secara garis besar terdapat 2 golongan PJB sianotik

yaitu (12) yang dengan gejala aliran darah ke paru yang berkurang,

misalnya Tetralogi of Fallot (TF) dan Pulmonal Atresia (PA) dengan VSD,

Pulmonall Atresia (PA) tanpa VSD dan (2) yang dengan gejala aliran darah
ke paru yang bertambah misalnya Transposition of the Great Arteries

(TGA.)120

a. Tetralogi Fallot

Tetralogy of fallot (ToF) merupakan penyakit jantung bawaan sianotik

yang terdiri dari empat kelainan khas, yaitu defek septum ventrikel

(ventricular septal defect, VSD), stenosis infundibulum ventrikel

kanan atau biasa disebut stenosis pulmonal, hipertrofi ventrikel kanan,

dan overriding aorta.125

Gambar 5. Tetralogi Fallot

b. Atresia Pulmonal dengan Ventricular Septal Defect

Pada kelainan ini darah dari ventrikel tidak dapat menuju arteri

pulmonalis dan semua darah dari ventrikel kanan akan masuk ke

aorta.

c. Atresia Pulmonal tanpa Ventricular Septal Defect

Pada kelainan ini darah dari ventrikel kanan tidak dapat keluar karena

terdapat atresia pulmonal dan tidakterdapat defek septum ventrikel.

d. Atresia Trikuspid (AT)


Pada AT tidak ada jalan keluar dari atrium kanan ke ventrikel kanan

dan seluruh vena kembali masuk ke jantung kiri melalui foramen ovale

atau defek sekat atrium.

e. Transposisi Arteri Besar (TGA)

Transposisi Arteri Besar adalah kelainan dimana kedua pembuluh

darah arteri besar mengalami transposisi yaitu aorta keluar dari

ventrikel kanan dan arteri pulmonalis dari ventrikel kiri.3.

Gambar 6. Transposisi Arteri Besar (TGA)

2.2.7. Gejala Klinis

1. Penyakit Jantung Bawaan Asianotik

a. Ventrikuler Septal Defect (VSD)

1) VSD kecil (luas defek kurang dari 5 mm2/ m2 luas permukaan

tubuh). Biasanya gejala asimtomatik. Jantung normal atau

sedikit membesar dan tidak ada gangguan tumbuh kembang.

Pada auskulasi biasanya bunyi jantung terdengar normal, dapat

ditemukan bising sistolik dini (early systolic murmur) pendek

yang mungkin didahului early systolic click. Ditemukan juga


bising pansistolik yang biasanya keras disertai oleh getaran

bising dengan pungtum maksimum di sela iga III-IV garis

parasternal kiri dan menjalar ke sepanjang sternum kiri, bahkan

ke seluruh prekordium.

2) VSD sedang (luas defek 5-120 mm2/ m2 luas permukaan tubuh).

Penderita mengeluh mudah lelah. Gejala timbul pada masa bayi

berupa sesak napas saat minum atau memerlukan waktu lebih

lama/tidak mampu menyelesaikan makan dan minum, kenaikan

BB tidak memuaskan, dan sering terkena infeksi paru yang lama

sembuhnya. Gagal jantung mungkin terjadi sekitar usia 3 bulan

yang seringkali didahului dengan infeksi paru, tetapi umumnya

responsif terhadap pengobatan medik. Bayi tampak kurus

dengan dispnu, takipnu, serta retraksi. Pada pasien yang besar,

dada mungkin sudah menonjol., tetapi pada bayi dada terlihat

normal. Pada auskultasi terdengar bunyi jantung I dan II yang

normal dengan bising pansistolik yang keras, kasar, disertai

getaran bising dengan pungtum maksimum di sela iga III-IV

garis parasternal kiri yang menjalar ke seluruh prekordium.

3) VSD besar (luas defek lebih dari 120 mm 2/ m2 luas permukaan

tubuh). Gejala dapat timbul pada masa neonatus. Dispneu dapat

terjadi bila terdapat pirau kiri ke kanan yang bermakna dalam

minggu pertama setelah lahir, meskipun hal ini sering tidak

ditemukan. Gagal jantung biasanya timbul pada setelah minggu

VI, sering didahului dengan infeksi saluran napas bawah. Bayi


sesak napas saat istirahat, kadang tampak sianosis karena

kekurangan oksigen akibat gangguan pernapasan. Gangguan

pertumbuhan sangat nyata. Biasanya bunyi jantung masih

normal, dapat didengar bising pansistolik, dengan atau tanpa

getaran bising, melemah pada akhir sistolik karena terjadi

tekanan sistolik yang sama besar pada kedua ventrikel. Bising

mid-diastolik di daerah mitral mungkin terdengar akibat flow

murmur pada fase pengisian cepat.7,8, 120

b. Atrial Septal Defect (ASD)

Anak- anak atau remaja dengan ASD biasanya asimptomatik

bahkan dengan shunt yang besar sekalipun. Berat dan tinggi pasien

seringkali di bawah normal. Pada pasin yang kurus, pulsasi jantung

mingkin bisa dilihat atau dipalpasi pada dinding dada. Pada

auskultasi, suara jantung I diperkeras sebanding dengan ukuran

shunt. Suara jantung II membelah lebar (wide split) selama 0,05

detik atau lebih secara konstan (tak berubah dengan respirasi). Ini

adalah khas pada ASD yang cukup besar. Bila penyakit ini

berlanjut dapat terdengan suara jantung II yang mengeras. Ini

adalah tanda terjadinya hipertensi pulmonal yang permanen. 9, 120

c. Patent Ductus Arteriosus (PDA)

Klasifikasi dan gejala klinis :

Tingkat 12 :Umumnya tidak ada gejala. petumbuhan dan

perkembangan fisik berlangsung dengan baik.


Tingkat 2 :Pasien sering menderita infeksi saluran napas,

pertumbuhan fisik masih sesuai umur dan hipertensi

pulmonal ringan.

Tingkat 3 :Infeksi saluran napas smakin sering terjadi,

pertumbuhan anak biasanya terlambat, anak tampak

kecil tidak sesuai umur dengan gejala gagal jantung.

Jika melakukan aktifitas anak akan sesak disertai

sianosis ringan. Suara bising jantung dapat didengar

diantara sela iga tiga dan empat. Pemeriksaan foto

rontgen dada dan EKG di temukan hipertrofi ventrikel

kiri dan atrium kiri yang juga disertai hipertrofi

ventrikel kanan yang ringan.

Tingkat 4 :Anak akan semakin sesak dan sianosis. Pemeriksaan

foto rontgen dada dan EKG di temukan hipertrofi

ventrikel kiri, atrium kiri, ventrikel kanan yang disebut

sindrom Eisenmenger.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan denyut nadi yang

cepat dan melompat terutama pada neonatus yang sakit

tanpa bising yang khas.Denyut arterial meningkat cepat

menjadi puncak tunggal atau ganda, kemudian kolaps

dengan cepat.Terjadi pulsasi nadi dengan amplutido

yang besar. Thrill sistolik dapat diraba diantara sela iga

dua dan tiga, dan disertai dengan suara bising jantung

yang kontinu.1212
d. Pulmonary stenosis (PS)

Penderita PS biasanya tidak memperlihatkan gejala meskipun

stenosisnya berat. Status giZi penderita dengan PS umumnya baik

dengan pertambahan berat badan yang memuaskan dengan wajah

moon face. Toleransi latihan normal, dan tidak terdapat infeksi

saluran napas berulang. Pada palpasi dada pasien PS sedang atau

berat teraba getaran bising di sela iga II tepi kiri sternum.

Penemuan pada auskultasi jantung dapat menentukan derajat

beratnya obstruksi. Pada stenosis pulmonal valvular terdengar

bunyi jantung satu normal yang diikuti dengan klik ejeksi saat

katup pulmonal yang abnormal membuka. Klik akan terdengar

lebih awal bila derajat obstruksinya berat atau mungkin tidak

terdengar bila katup kaku dan stenosis sangat berat. Bising sistolik

ejeksi yang kasar dan keras terdengar di area pulmonal. Bunyi

jantung dua yang tunggal dan bising sistolik ejeksi yang halus akan

ditemukan pada stenosis yang berat.3, 120

e. Aortic Stenosis (AS)

Pada awal kehidupan AS jarang terdiagnosis karena katup aorta

masih berfungsi normal. Namun AS berat dapat ditemukan pada

masa bayi bahkan neonatus jika menyebabkan gagal jantung. Pada

anak yang lebih besar stenosis aorta biasanya tidak memberikan

gejala dan ditemukan pada pemeriksaan rutin. Jikalau ada gejala

biasanya berupa nyeri substernal, sesak napas, pusing, atau sinkop

pada saat bekerja atau berolahraga saat pemeriksaan rutin terdengar


bising sistolik ejeksi dengan atau tanpa klik ejeksi di area aorta;

parasternal sela iga 2 kiri sampai ke apeks dan leher. Bayi dengan

stenosis aorta derajat berat terdengar split paradoksal bunyi jantung

II yang akan timbul gagal jantung kongestif pada usia minggu-

minggu pertama atau bulan-bulan pertama kehidupannya.3,120

f. Coarctatio Aorta (CoA)

Jika gejala tampak pada masa neonatus, biasanya koartasio aorta

sangat berat. Gejala dapat timbul mendadak. Bayi yang sebelumnya

tampak sehat mendadak akan sesak napas, oligouria atau anuria,

kemudian meninggal. Tanda klasik KoA adalah nadi brachialis

yang teraba normal atau kuat, sedangkan nadi femoralis serta

dorsalis pedis tidak teraba atau teraba kecil. CoA pada anak yang

lebih besar umumnya juga asimptomatik walaupun derajat

obstruksinya sedang atau berat. Kadang-kadang ada yang mengeluh

sakit kepala atau epistaksis berulang, tungkai lemah atau nyeri saat

melakukan aktivitas. Tanda yang klasik pada kelainan ini adalah

tidak teraba, melemah atau terlambatnya pulsasi arteri femoralis

dibandingkan dengan arteri brakhialis, kecuali bila ada PDA besar

dengan aliran pirau dari arteri pulmonalis ke aorta desendens.

Selain itu juga tekanan darah lengan lebih tinggi dari pada tungkai.

Pada auskultasi jantung jikalau CoA tidak disertai oleh kelainan

lain maka tidak ditemukan bising diderah prekordium, tetapi

terdapat bising yang lunak didaerah subscapula. 3, 120


2. Penyaakit Jantung Bawaan Sianotik

a. Tetralogy of Fallot (ToF)

Pada waktu baru lahir biasanya bayi belum sianotik, bayi tampak biru

setelah tumbuh. Manisfestasi klinis berupa jari tabuh pada sebagian

besar pasien yang telah tampak pada usia 6 bulan. Terjadi serangan

sianotik yang akibat hipoksia sel, yang bertambah jelas saat saat

menangis atau beraktifitas. Sianosis ditandai dengan timbulnya sesak

napas mendadak, napas cepat dan dalam, syanosis bertambah, lemas

dan dapat juga terjadi kejang. Serangan hebat dapat berakhir dengan

koma hingga kematian. Pada bayi bentuk dada normal, namun pada

anak yang lebih besar tampak menonjol akibat pelebaran ventrikel

kanan. Getaran bising jarang teraba. Bunyi jantung I normal, sedangkan

bunyi jantung II akan terdengar tunggal pada stenosis pulmonal yang

berat atau dengan komponen pulmonal yang lemah bila PS ringan.

Bising sistolik ejeksi dari stenosis pulmonal akan terdengar jelas di sela

iga 2 parasternal kiri yang menjalar ke bawah klavikula kiri.3,126

b. Atresia Pulmonal dengan Ventricular Septal Defect

Manifestasi klinis berupa sianosis yang terlihat lebih dini

dibandingkan pada ToF, yaitu dalam hari-hari pertama pasca lahir.

Pada pemeriksaan fisik tidak terdengar bising didaerah jalan keluar

ventrikel kanan, namun bising biasanya terdengar di daerah anterior

dan posterior. Jantung dapat membesar dan hiperaktif hingga terjadi

gagal jantung pada usia bayi. Terdapat hipertrofi ventrikel kanan pada

EKG serta adanya sianosis.126


c. Atresia Pulmonal tanpa Ventricular Septal Defect

Manifestasi Klinis sianosis tampak bayi baru lahir yang terus bertambah

pada hari-hari pertama. Bayi sesak dengan gejala gagal jantung. Pada

pemeriksaan fisik biasanya tidak terdengar bising atau terdengar bising

pansistolik insufisiensi tricuspid atau terdengar bising duktus

arterious.126

d. Transposisi Arteri Besar (TGA)

Gejala timbul pada minggu pertama, dan sianosis akan menjadi

progresif apabila duktus arteriousus menutup, bayi menjadi asidotik dan

terjadi gagal jantung Bayi menjadi sesak napas, sering mengalami

pneumonia, dan pertumbuhan badannya lambat. Pada pemeriksaan fisis

ditemukan biru yang tidak bervariasi dengan menangis atau pemberian

oksigen. Bunyi jantung I normal, sedang bunyi jantung II terdengar

tunggal terdengar keras, biasanya tidak terdengar bising jantung kalau

ada biasanya berasal dari stenosis pulmonal atau septum ventrikel.

Getaran bising jantung jarang ditemukan.126

2.2.8. Pemeriksaan Penunjang

1. Penyakit Jantung Bawaan Asianotik

a. Ventrikuler Septal Defect (VSD)

1) Rontgen thoraks

a) VSD kecil, memperlihatkan bentuk dan ukuran jantung

yang normal dengan vaskularisasi paru normal atau hanya

sedikit meningkat
b) VSD sedang, tampak kardiomegali sedang dengan konus

pulmonalis yang menonjol, peningkatan vaskularisasi paru

serta pembesaran pembuluh darah di sekitar hilus.

c) VSD besar, tampak kardiomegali yang nyata dengan

konus pulmonalis yang menonjol, pembuluh darah hilus

membesar, dengan vaskularisasi paru meningkat.120

2) Echochardiografi baik dua dimensi maupun Doppler, menjadi

salah satu pilihan mendiagnosis VSD. Dengan pemeriksaan ini

dapat melihat defek, taksiran besar ukuran shunt dengan

memperkirakan ukuran relative ruangan-ruangan dan

arahannya. Gelombang kontinu Doppler dapat merefleksikan

perbedaan tekanan ventrikel kiri dan kanan saat sistolik. VSD

dengan defek yang kecil, shunt minimal atau defek yang

multiple sulit terdeteksi dengan Doppler.7

3) Elektrochardiogram

a) VSD kecil, gambaran EKG normal atau sedikit terdapat

peningkatan aktivitas ventrikel kiri.

b) VSD sedang, biasanya terdapat peningkatan aktivitas

ventrikel kiri dan kanan, akan tetapi aktivitas ventrikel kiri

lebih meningkat.

c) VSD besar menunjukkan hipertrofi biventricular karena

terdapatnya peningkatan aktivitas yang hebat pada ventrikel

kiri dan ventrikel kanan. 120

b. Atrial Septal Defect (ASD)


1) Pada rontgen thoraks memperlihatkan atrium kanan yang menonjol, dan

dengan konus pulmonalis yang menonjol. biasanya jantung hanya sedikit

membesar dan vaskularisasi paru tampak meningkat sesuai dengan

besarnya pirau. 120

2) Ekokardiografi M-Mode pada defek septum atrium sekundum

menunjukkan pembesaran ventrikel kanan dengan gerakan septum

paradoksal atau mendatar. Sementara itu pada defek septum atrium

primum kadang kita perlu melihat gambaran katup mitral.9

3) Elektrochardiografi menunjukkan deviasi sumbu QRS ke kanan,

hypertropi ventrikel kanan dan right bundle branch block (RBBB). 120

c. Patent Ductus Arteriosus (PDA)

1) Rontgen thoraks menunjukkan pada penderita duktus kecil, gambaran

radiologi jantung maupun paru dalam batas normal. Pada penderita

duktus sedang dan lebar dengan tahanan paru normal menunjukkan

kardiomegali, batang arteri pulmonalis menonjol sehingga tonjolan

pulmonal prominen, dan atrium kiri membesar. Pada penderita duktus

lebar dengan tahanan paru mulai naik menunjukkan besar jantung normal

atau sedikit membesar, ventrikel kanan membesar dan batang arteri

pulmonalis membesar.

2) Ekokardiografi menunjukkan duktus paling baik ditampakkan melalui

pandangan bidang parasagital parasternal kiri atas. Duktus bersambung

dengan batang arteri pulmonalis sedikit superior kiri arteri pulmonali

3) Elektrocardiografi tidak menunjukkan perubahan spesifik. Penderita

dengan ductus kecil (tingkat 12) gambar EKG masih dalam batas normal.
Pada bayi dengan ductus besar (tingkat III) gambar EKG menunjukkan

hypertrofi biventricular.1212

d. Pulmonary stenosis (PS)

1) Rontgen thoraks menunjukkan ukuran jantung biasanya normal, tetapi

bisa juga tampak membesar ringan. Pada stenosis pulmonal valvuler

dijumpai penonjolan pulmonal karena adanya dilatasi batang arteri

pulmonalis post-stenosis.

2) Electrocardiogram, pada stenosis ringan gambaran EKG normal. Pada

stenosis yang bermakna akan terlihat hypertofi ventrikel kanan serta

deviasi sumbu ke kanan. Pada umumnya ada hubungan beratnya stenosis

dengan kelainan EKG. Makin berat stenosis, maka makin berat deviasi

sumbu ke kanan dan makin jelas pula gambaran hypertrofi ventrikel

kanan.

3) Echocardiografi dan Doppler, dengan echocardiografi 2D mungkin dapat

dilihat dari katup pulmonal yang menebal dengan gerakan kurang. Dapat

pula tampak dooming katup pulmonal pada saat sistolik. Pemeriksaan

Doppler dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai besarnya

perbedaan tekanan antara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis.120,124

e. Aortic Stenosis (AS)

1) Rontgen thoraks, biasanya tidak terlalu membantu pada kasus ringan

karena jantung biasanya terkesan normal, jarang yang mengalami

pembesaran. Kadang-kadang dapat juga dijumpai dilatasi aorta asendens


pasca stenosis. Pada kasus yang berat biasanya terlihat adanya

pembesaran jantung kiri.

2) Elektrocardiografi, pada stenosis ringan gambaran EKG terkesan normal.

Pada obstruksi berat akan didapatkan perubahan pada segmen S-T dan

gelombang T pada hantaran thoraks (prekordial) sinistra.

3) Echocardiografi, dapat menilai ukuran aorta desendens dan perbedaan

tekanan maksimal sewaktu diseberang katup. Evaluasi fungsi ventrikel

dilakukan dengan pengukuran volume dan indeks kontraksi pada status

miokardium. Fungsi katup lebih baik dinilai dengan menggunakan

Doppler.124

f. Coarctatio Aorta (CoA)

1) Rontgen thoraks,biasanya terdapat hypertrofi ventrikel kiri dan

pembesaran aorta asendens dan desendens. Rib notching dapat dilihat

pada koartasio yang bermakna dan berlangsung lama.

2) Elektrocardiografi, gambaran EKG pada neonatus atau bayi dengan

koartasio akan menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan. Sedangkan pada

gambaran EKG pada anak setelah berusia 12 tahun dapat normal dan

mungkin juga disertai gambaran hipertrofi ventrikel kiri.

3) Echocardiografi pada pandangan suprasternal dapat memperlihatkan

koarktasio aorta, namun hal ini sulit bagi anak besar. Pada neonates

diagnosisnya lebih mudah dilakukan.120,123

2. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik

a. Tetralogi Fallot
1) Rontgen thoraks, CTR biasanya normal atau sedikit membesar.

Apeks jantung kecil dan terangkat, konus pulmonalis cekung, serta

vaskularisasi paru menurun. Gambaran ini biasa disamakan dengan

bentuk sepatu.

2) Electrocardiografi, menunjukkan deviasi sumbu ke kanan dan

hypertrofi ventrikel kanan.

3) Echocardiografi, didapatkan over-riding aorta dan terdapat

penebalan dinding ventrikel kanan tanpa katup pulmonal.

Echocardiografi dapat menunjukkan kelainan anatomis yang ada.126

b. Atresia Pulmonal dengan Ventricular Septal Defect

1) Rontgen thoraks, menunjukkan gambaran mirip tetralogi fallot,

dengan oligemia paru hebat.

2) Electrocardiogram, menunjukkan adanya hypertrofi ventrikel kanan

dengan deviasi sumbu ke kanan dan seringkali disertai pembesaran

atrium kanan (P pulmonal).

3) Echocardiografi, didapatkan over-riding aorta dan terdapat

penebalan dinding ventrikel kanan tanpa katup pulmonal.

Echocardiography dapat menunjukkan kelainan anatomi yang ada.126

c. Atresia Pulmonal tanpa Ventricular Septal Defect

1) Rontgen thoraks, menunjukkan kardiomegali dengan atrium kanan

prominem setelah bayi berumur 2-3 hari.


2) Electrocardiogram, menunjukkan gelombang P yang tinggi yang

menunjukkan pembesaran atrium kanan. Bila ventrikel kanan

hipoplastik tampak ventrikel kiri dominan

3) Echocardiografi, menunjukkan rongga ventrikel kanan kecil dengan

dinding yang tebal, ventrikel kiri dan aorta relatif besar.126

d. Transposisi Arteri Besar (TGA)

1) Rontgen thoraks

Gambaran khas pada transposisi arteri besar adalah jantung dengan

pedicle atau mediastinum yang sempit oleh karena posisi aorta dan

arteri pulmonalis serta arteri-posterior dan kelenjar tymus yang

sering tidak ada. Jantungnya berbentuk telur yang terletak pada

sisinya (egg on side). Corakan vascular paru awalnya tampak

normal, kemudian menjadi pletorik. Bila transposisi disertai VSD

dan stenosis pulmonal, maka vaskularisasi paru menurun dan ukuran

jantung normal.

2) Elektocardiografi

Menunjukkan pola normal pada neonatus. Hypertrofi ventrikel kanan

dan pembesaran atrium kanan makin jelas setelah pasien berumur 2

minggu. Terdapat hypertrofi biventricular yang berdampak adanya

VSD besar.

3) Echocardiografi

Echocardiografi 2D dan Doppler sangat penting untuk penilaian

anatomis dan fungsional, serta untuk menyingkirkan diagnosis lain.


Pada sumbu panjang parasternal tampak satu pembuluh darah besar

yang keluar dari ventrikel kiri, melengkung ke bawah dan bercabang

dua.24

2.2.9. Penatalaksanaan

1. Penyakit Jantung Bawaan Asianotik

a. Ventrikuler Septal Defect (VSD)

Pasien dengan defek yang kecil tidak memerlukan pengobatan

apapun, kecuali pemberian profilaksis terhadap terjadinya

endokarditis infektif.Bila terjadi gagal jantung pada pasien defek

septum ventrikel sedang atau besar biasanya diatasi dengan

digoksin. Tindakan operasi dengan penutupan defek dilakukan

jika pada umur 3 atau 4 tahun defek belum menutup dan terjadi

pembesaran jantung dan masih terdapat gejala.Sebagian besar

pasien defek septum ventrikel berukuran besar memerlukan

tindakan bedah korektif. Penutupan defek septum ventrikel

dengan teknik transkateter menggunakan instrument antara lain

Amplatzer dan Bard Clamsshell Umbrella.21,24

b. Atrial Septal Defect (ASD)

Operasi penutupan ASD dilakukan secara elektif pada usia pra-

sekolah (3-4 tahun) kecuali bila sebelum usia tersebut telah timbul

gejala congestive heart failure yang tidak teratasi secara

medikamentosa. Tindakan penutupan ASD tidak dianjurkan lagi

bila sudah terjadi hipertensi pulmonal dengan penyakit obstruktif

vaskuler paru.13
c. Patent Ductus Arteriosus (PDA)

Pada bayi atau anak tanpa gejala gagal jantung dan gagal tumbuh

kembang, tindakan penutupan PDA secara bedah dapat dilakukan

secara elektif pada usia diatas 3-4 bulan. Ada beberapa teknik

operasi yang dipakai untuk menutup duktus, seperti penutupan

dengan mengunkan teknik cincin dan metode ADO(Amplatzer

Duct Occluder). ADO berupa coil yang terdiri dari

beberapaukuran yang seseuai dengan ukuran duktus dan

dimasukkan ke dalam duktusdengan bantuan kateterisasi jantung

melalui arteri femoralis sampai ke aorta. Pengobatan gagal

jantung dengan golongan digitalis, diuretik dan vasodilator harus

diberikan pada bayi dengan PDA yang besar disertai tanda-tanda

congestive heart failure. Tindakan penutupan PDA tidak

dianjurkan lagi bila telah terjadi hipertensi pulmonal dengan

penyakit obstruktif vascular paru.19,24

d. Pulmonary stenosis (PS)

Intervensi non bedah menggunakan tehnik Balloon

Pulmonary Valvuloplasty (BPV) dilakukan pada bayi dan anak

dengan kasus stenosis pulmonal valvular yang berat dan bila

tekanan sistolik ventrikel kanan supra sistemik lebih dari 80

mmHg. Sedangkan intervensi bedah koreksi dilakukan bila

tindakan BPV gagal atau disertai dengan stenosis pulmonal

infundibular (subvalvar). 19

e. Aortic Stenosis (AS)


1) Pembedahan dilakukan dengan memotong katup dan

menggantinya dengan katup yang baru.

2) Balloon Valvulotomi yang dilakukan dengan memasukkan

kateter ke dalam aorta.24

f. Coarctatio Aorta (CoA)

Pemberian Prostaglandin E12(PGE12) dengan tujuan

mempertahankan PDA agar tetap terbukaakan sangat membantu

memperbaiki kondisi sementara menunggu persiapan untuk

operasikoreksi. Untuk tindakan operasi dilakukan 3 tehnik

dalam pembedahan yaitu end to end anastomosis, patch

aortoplastydan left subclavian flap aortoplasty.19,24

2. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik

a. Tetralogi Fallot (ToF)

Pada bayi atau anak dengan riwayat spel hipoksia harus

diberikan Propranolol peroral sampaidilakukan operasi.Dengan

obat ini diharapkan spasme otot infundibuler berkurang

danfrekwensi spel menurun. Selain itu keadaan umum pasien

harus diperbaiki, misalnya koreksianemia, dehidrasi atau infeksi

yang semuanya akan meningkatkan frekwensi spel. Bila

spelhipoksia tak teratasi dengan pemberian propranolol dan

keadaan umumnya memburuk, makaharus secepatnya dilakukan

operasi paliatif Blalock-Tausig Shunt (BTS), yaitu

memasangsaluran pirau antara arteri sistemik (arteri subklavia

atau arteri inominata) dengan arteri pulmonalis kiri atau kanan.


Tujuannya untuk menambah aliran darah ke paru sehingga

saturasioksigen perifer meningkat, sementara menunggu bayi

lebih besar atau keadaan umumnya lebihbaik untuk operasi

definitif (koreksi total).19

b. Atresia Pulmonal dengan Ventricular Septal Defect

Pasien atresia pulmonal dengan VSD dapat mungkin hidup bila

duktus arteriosus tetap terbuka. Untuk mempertahakan digunakan

Prostaglandin E atau dengan operasi paliatif (Blalock-Taussig

atau Waterston). Pada operasi dilakukan penutupan lubang VSD

dan pemasangan conduit.24,18

c. Atresia pulmonal tanpa Ventricular Septal Defect

Penggunaan Prostaglandin E untuk mempertahankan duktus

arteriosus agar tetap terbuka bermanfaat selama tindakan

kateterisasi jantung, angiografi dan tindakan operasi. Bila katup

tricuspid, ventrikel kanan dan cincin katup pulmonal hampir

normal, valvulotomi pulmonal akan mengurangi obstruksi. Tetapi

pada sebagian besar kasus, ventrikel kanan hipoplastik sehingga

diperlukan pelebaran defek atrium baik dengan septostomi balon

(Rashkind) maupun operasi.24,18

d. Transposisi Arteri Besar (TGA)

Sebuah pintas antara sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal

diperlukan segera. Pintas tersebut dibuat dengan cara Balloon

Atrial Septostomy (prosedur Rashkind). Sebuah kateter khusus

berlumen ganda dimasukkan lewat vena cava inferior, atrium


kanan dan foramen ovale menuju ke atrium kiri. Balon dekat

kateter dikembangkan dengan medium kontras, kemudian kateter

dan balon ditarik kembali dengan keras melalui septum atrium,

sehingga merobek septum dan membuat defek septum yang besar.

Hal ini memungkinkan pencampuran darah dan menyebabkan

sianosis. Operasi koreksi definitive merupakan suatu perbaikan

anatomi, yaitu dengan mengganti arteri pulmonalis dan aorta ke

ventrikel yang seharusnya. Hal ini biasanya dilakukan pada

minggu pertama atau minggu ke dua kehidupan. 24,18

2.2.10. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit jantung bawaan antara lain:
17

1. Sindrom Eisenmenger. Komplikasi ini terjadi pada PJB non-sianotik

yang menyebabkan aliran darah ke paru yang meningkat. Akibatnya

lama kelamaan pembuluh kapiler di paru akan bereaksi dengan

meningkatkan resistensinya sehingga tekanan di arteri pulmonal dan

di ventrikel kanan meningkat. Jika tekanan di ventrikel kanan

melebihi tekanan di ventrikel kiri maka terjadi pirau terbalik dari

kanan ke kiri sehingga anak mulai sianosis. Tindakan bedah sebaiknya

dilakukan sebelum timbul komplikasi ini.

2. Serangan sianotik. Komplikasi ini terjadi pada PJB sianotik. Pada saat

serangan anak menjadi lebih biru dari kondisi sebelumnya, tampak sesak

bahkan dapat timbul kejang. Kalau tidak cepat ditanggulangi dapat

menimbulkan kematian.
3. Abses otak. Abses otak biasanya terjadi pada PJB sianotik. Biasanya

abses otak terjadi pada anak yang berusia di atas 2 tahun. Kelainan ini

diakibatkan adanya hipoksia dan melambatnya aliran darah di otak. Anak

biasanya datang dengan kejang dan terdapat defisit neurologis.

2.2.11. PROGNOSIS

Umumnya pasien yang segera dilakukan tindakan operasi memiliki

prognosis yang sangat baik. Bila tidak ditangani, akan mengakibatkan

kematian. Koreksi definitif yang dilakukan pada usia muda akan mencegah

terjadinya distorsi pertumbuhan jantung, juga mencegah terjadinya

hipertensi pulmonal. Operasi paliatif saat ini masih banyak dilakukan

dengan tujuan memperbaiki keadaan umum, sambil menunggu saat operasi

korektif dapat dilakukan. Namun tindakan paliatif ini seringkali

menimbulkan distorsi pertumbuhan jantung, di samping pasien

menghadapi risiko operasi dua kali dengan biaya yang lebih besar pula.

Oleh karena itu terus dilakukan upaya serta penelitian agar operasi jantung

dapat dilakukan pada neonatus dengan lebih aman.13


2.3 Hipertensi Pulmonal
Hipertensi Pulmonal (PH) menurut 6th World Symposium on Pulmonary
Hypertension pada tahun 2018 didefinisikan sebagai peningkatan mean
pulmonary artery pressure (mPAP) >20 mmHg dari pengukuran langsung lewat
kateterisasi jantung kanan. Kondisi ini digolongkan menjadi 5 golongan menurut
WHO (World Health Organization) sesuai dengan etiologinya, akan tetapi satu hal
yang menjadi ciri khas umum dari kesemua golongan adalah terjadinya proses
remodeling pada pembuluh darah pulmonal yang menyebabkan peningkatan
tekanan arteri pulmonalis dan pada akhirnya memunculkan gejala klinis yang
umumnya ditemukan.

2.3.1 Definisi
Hipertensi pulmonal (PH) adalah kelainan patofisiologi pada pembuluh
darah paru-paru yang dapat melibatkan berbagai kondisi klinik dan dapat menjadi
komplikasi dari penyakit-penyakit kardiovaskular dan respirasi. Hipertensi
pulmonal (PH) ditandai dengan peningkatan tekanan rerata arteri pulmonalis
(mean pulmonary artery pressure / mPAP) di atas normal, yaitu > 20 mmHg dan
peningkatan tahanan vaskular pulmonal (pulmonary vascular resistance/PVR) di
atas normal, pada kondisi istirahat.

2.3.2 Patofisiologi Hipertensi Pulmonal


Patofisiologi PH melibatkan proses remodeling pada pembuluh darah
pulmonal, mulai dari arteri pulmonalis utama, arteri lobaris, arteri segmentalis
arteri distalis, arteriola pulmonalis, kapiler sampai ke vena pulmonalis postkapiler.
Proses lesi remodeling tersebut berlangsung secara bertahap dan dalam berbagai
derajat keparahan lesi. Pada sistem arteri, proses remodeling meliputi: 1)
akumulasi sel-sel abnormal pada endotel dan lapisan intima (fibrosis intima, lesi
trombotik dan lesi pleksiform), otot polos arteri pulmonalis (hipertrofi/hiperplasi
otot polos dan infiltrasi fibroblast), dan lapisan adventisia (fibrosis adventisia), 2)
berkurangnya atau hilangnya densitas arteriola pulmonalis prekapiler, dan 3)
infiltrasi perivaskular oleh sel-sel inflamasi yang berlebihan (limfosit B dan T, sel
mast, sel dendritik, makrofag dan sebagainya). Tabel 2.1 menunjukkan gambaran
patofisiologi pada pembuluh darah pulmonal yang mendasari terjadinya P.

2.3.3 Klasifikasi Hipertensi Pulmonal


Berdasarkan the 6 th World Symposia on Pulmonary Hypertension, maka PH
dikelompokkan menjadi 5 grup. Klasifikasi ini bertujuan untuk mengelompokkan
kondisi klinis berdasarkan patofisologi, presentasi klinis, karakteristik
hemodinamik dan respon tatalaksana
2.3.4 Diagnosis Hipertensi Pulmonal
Gejala klinis Gejala PH tidak spesifik, seperti sesak saat beraktivitas, mudah
lelah, lemas, nyeri dada, pusing atau sinkop, dan kadang disertai batuk. Gejala
gagal jantung kanan yang progresif (edema, asites, distensi abdomen) terjadi
seiring dengan progresivitas penyakit. Gejala lain dari PH seperti hemoptisis,
sindrom Ortner / suara serak (paralisis pita suara unilateral) dan aritmia dapat
terjadi, namun jarang. 4.1.2Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan peningkatan bunyi jantung kedua (komponen P2), ventrikel kanan
terangkat, distensi vena jugularis, refluks hepatojugular, asites, hepatomegali
dan/atau splenomegali, edema, murmur regurgitasi katup trikuspid/pulmoner, dan
gallop S3. Penyakit yang berhubungan dengan PH dapat diketahui melalui riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan peningkatan bunyi
jantung kedua (komponen P2), ventrikel kanan terangkat, distensi vena jugularis,
refluks hepatojugular, asites, hepatomegali dan/atau splenomegali, edema,
murmur regurgitasi katup trikuspid/pulmoner, dan gallop S3. Penyakit yang
berhubungan dengan PH dapat diketahui melalui riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan Penunjang
 Elektrokardiografi (EKG) Kelainan pada EKG sering ditemukan pada PH
derajat berat. Akan tetapi, tidak ditemukannya kelainan pada EKG bukan
berarti diagnosis PH tersingkir. Kelainan EKG yang dapat ditemukan, antara
lain P pulmoner, right axis deviation, hipertrofi ventrikel kanan, strain
ventrikel kanan, right bundle branch block, dan pemanjangan QTc. Strain
pada ventrikel kanan memiliki angka sensitivitas tertinggi. Pemanjangan dari
QTc dan pelebaran dari kompleks QRS menandakan keparahan penyakit.
Aritmia supraventrikular seperti atrial flutter dan atrial fibrilasi dapat
ditemukan pada stadium lanjut.
 Foto rontgen toraks Kelainan rontgen toraks yang dapat ditemukan pada
pasien dengan PAH adalah dilatasi arteri pulmonaris sentral disertai dengan
menurunnya vaskularisasi di perifer (pruning). Pembesaran atrium dan
ventrikel kanan juga terdapat pada beberapa kasus PH yang sudah lanjut.
Rontgen toraks dapat membantu membedakan PH arteri dan vena melalui
gambaran peningkatan atau penurunan rasio arteri vena, serta membantu
penegakan diagnosis diferensial PH jika terdapat tanda penyakit paru (PH
grup 3) atau kongesti vena pulmonalis akibat kelainan jantung kiri (PH grup
2). Seperti EKG, hasil rontgen toraks yang normal tidak dapat eksklusi
adanya PH.
 Laboratorium dan imunologi Pemeriksaan darah kurang berperan dalam
penegakan diagnosis PH, tetapi membantu membedakan jenis-jenis PH serta
mengetahui ada tidaknya komplikasi pada organ lain. Gangguan fungsi tiroid
sering terjadi bersamaan dengan PAH, dan perlu dipertimbangkan bila terjadi
perubahan klinis mendadak. Gangguan fungsi liver menandakan adanya
kongesti maupun efek samping obat. Peningkatan brain natriuretic peptide
(BNP) dan N-terminal pro-BNP (NT-proBNP) menandakan adanya overload
ventrikel kanan dan merupakan prediktor dari prognosis yang buruk. Skrining
hepatitis, HIV, dan penyakit jaringan ikat juga sebaiknya rutin diperiksakan.
Peningkatan kadar antinuclear antibodies (ANA) sering ditemukan, meskipun
dengan titer yang rendah (1:80). Pasien dengan penyakit jaringan ikat yang
berhubungan dengan thrombofilia dan chronic thromboembolic PH (CTEPH)
sebaiknya diperiksakan parameter untuk koagulopati dan thrombofilia, seperti
anticardiolipin antibodies, lupus anticoagulant dan anti-β2-glycoprotein
antibodies.
 Tes fungsi paru dan analisis gas darah Tes fungsi paru harus mencakup
kapasitas total paru-paru dan kapasitas difusi paru-paru terhadap karbon
monoksida (DLCO). Mayoritas pasien dengan PAH didapatkan komponen
restriktif ringan. Penurunan DLCO yang nyata
 Ekokardiografi transtorakal Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
penunjang non invasif yang paling penting, meskipun diagnosis pasti PH
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kateterisasi jantung kanan. Probabilitas
PH berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal menggunakan
kombinasi beberapa parameter yang terdiri dari tricuspid regurgitant velocity
(TR Vmax), ditambah dengan parameter tambahan seperti ukuran ventrikel
kanan, fungsi septum interventrikular, fluktuasi dari vena cava inferior (IVC)
terhadap siklus respirasi, area sistolik atrium kanan, pola kecepatan aliran
sistolik terhadap early diastolic pulmonary regurgitant velocity (PVAcct),
serta diameter dari Arteri Pulmonalis seperti yang terlihat pada tabel 4.1 dan
4.2. Untuk mengubah derajat probabilitas PH dibutuhkan minimal dua tanda
ekokardiografi dari kategori yang berbeda (A/B/C) yang terdapat pada

 Computed Tomography (CT)


Pencitraan CT meningkatkan kecurigaan PH jika didapatkan adanya
dilatasi dari ventrikel kanan, atrium kanan, dan pelebaran arteri pulmonalis
(diameter ≥ 29 mm), atau perbandingan antara diameter dari arteri
pulmonalis/aorta asenden ≥ 1. Pemeriksaan CT toraks dengan resolusi tinggi
tanpa menggunakan kontras dapat mengidentifikasi penyakit parenkim paru
sehingga dapat digunakan untuk membedakan PH yang disebabkan oleh
penyakit paru (PH grup 3) dengan PAH (PH grup 1). Perubahan khas pada
CT scan dari PVOD adalah edema interstisial dengan opasifikasi ground-
glass sentral difus dan penebalan septa interlobular. Gambaran ground-glass
juga didapatkan pada >1/3 pasien PAH. Hemangiomatosis kapiler paru
menunjukkan penebalan difus bilateral dari septa interlobular dan adanya
opasitas noduler yang kecil tanpa batas yang jelas. CTEPH dapat didiagnosis
pada CT angiografi pulmoneris dengan gambaran obstruksi total pada arteri
pulmonalis maupun lapisan intima yang ireguler

2.3.5 Terapi Hipertensi Pulmonal


a. Diuretik
Gagal jantung dekompensatif mengarah pada retensi cairan, peningkatan
tekanan vena sentral, kongesti hepatik, asites, dan edema perifer. Walaupun
belum ada RCT mengenai penggunaan diuretik pada PAH, pengalaman klinis
menunjukkan manfaat simtomatis pada pasien dengan overload cairan yang
ditangani dengan terapi ini. Keputusan pilihan dan dosis terapi diuretik
tergantung pada klinisi yang terkait. Tambahan antagonis aldosteron perlu
dipertimbangkan pada kondisi bersamaan dengan penilaian dari kadar
elektrolit plasma. Penggunaan diuretik sebaiknya disertai pengawasan fungsi
ginjal dan biokimia darah pada pasien untuk menghindari hipokalemia dan
efek dari berkurangnya volume intravaskular yang dapat mengarah pada
gagal ginjal pre-renal.
b. Calcium Channel Blockers (CCB)
Hanya sejumlah kecil pasien dengan IPAH yang menunjukkan respon
yang baik terhadap uji vasoreaktivitas akut saat RHC yang dapat diberikan
CCB. CCB yang banyak digunakan dalam studi yang dilaporkan adalah
nifedipine, diltiazem dan amlodipine, dengan penekanan khusus pada
nifedipine dan diltiazem. Pilihan CCB didasarkan pada denyut jantung pasien
di awal, apabila cenderung bradikardia diberikan nifedipine dan amlodipine,
jika cenderung takikardia diberikan diltiazem. Dosis harian untuk terapi PAH
relatif tinggi: 120 – 240 mg untuk nifedipine, 240 – 720 mg untuk diltiazem,
dan hingga 20 mg untuk amlodipine. Terapi dimulai dengan dosis rendah,
misalnya nifedipine lepas lambat 30 mg dua kali sehari, atau diltiazem 60 mg
tiga kali sehari, atau amlodipine 2,5 mg sekali sehari, kemudian ditingkatkan
hingga dosis maksimum yang dapat ditoleransi.
Efek samping tersering yaitu hipotensi dan edema perifer ekstremitas
bawah. Pasien dengan IPAH yang memenuhi kriteria respon vasodilator
positif dan diberikan CCB sebaiknya dimonitor secara ketat untuk menilai
keamanan dan kemanjuran terapi, dengan evaluasi ulang secara menyeluruh
setelah 3-4 bulan pemberian terapi, termasuk RHC. Jika pasien tidak
menunjukkan respon yang adekuat, yang didefinisikan sebagai WHO-FC I
atau II dan dengan perbaikan hemodinamik yang nyata (mendekati normal),
maka sebaiknya diberikan terapi PAH tambahan. Pada beberapa kasus,
kombinasi CCB dengan obat-obatan PAH diperlukan karena kemungkinan
perburukan klinis yang lebih berat jika CCB dicoba dihentikan. Pasien yang
tidak dilakukan uji vasoreaktivitas atau mereka dengan respon negatif
sebaiknya tidak diberikan CCB karena potensi efek samping yang berat
(seperti hipotensi, sinkop dan gagal jantung kanan).
c. Digoksin dan obat kardiovaskular lain
Digoksin terbukti meningkatkan CO secara akut pada IPAH, walaupun
kemanjurannya pada pemberian kronis masih belum diketahui. Obat tersebut
dapat diberikan untuk memperlambat denyut jantung pada pasien yang
mengalami takiaritmia atrial. Belum tersedia data yang meyakinkan akan
manfaat dan keamanan angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-i),
antagonis reseptor angiotensin II, penyekat reseptor Beta, atau ivabradine
pada pasien PAH
BAB II
DATA KLINIS

2.1 Identitas Pasien

Nama : An A
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 8 bulan
Agama : Islam

2.2 Anamnesis
Dilakukan alloanamnesis pada tanggal 25 July 2023 di Poli Batuk
Puskesmas Kecamatan Cilincing pukul 10.00 WIB

Keluhan utama :
Nafas cepat sejak kemarin sore

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Puskesmas Kecamatan Cilincing dengan keluhan
nafas cepat sejak kemarin sore. Keluhan disertai batuk sejak 3 hari, batuk
menggonggong, berdahak namun sulit keluar. Pasien kontak erat dengan
sepupu yang sedang pengobatan TB. BB pasien beberapa bulan terakhir
tidak naik. Keluhan demam, diare, mual muntah disangkal. Pasien
disarankan ke igd untuk nebulasi, setelah nebulasi kondisi membaik dan
pasien banyak mengeluarkan dahak. Satu hari sebelumnya pasien
mengeluh hal serupa, berobat ke igd puskesmas kecamatan cilincing dan
dilakukan nebulasi. Kondisi pasien membaik hingga keesokan paginya
nafas lebih cepat kembali.
Selanjutnya pasien diminta berobat ke RS namun karena ditakutkan
perlu rujukan sehingga pasien diminta untuk mengambil rujukan dari
faskes asal dengan kondisi pasien sudah stabil.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak pernah mengalami sesak, biru, ataupun batuk pilek berulang

Riwayat Penyakit Keluarga :


Sepupu pasien TB on OAT 1 bulan, Penyakit serupa disangkal

Riwayat Psikososial :
Makan 3x sehari, disertai cemilan biscuit bayi dan minum susu formula.

Riwayat Kehamilan :
Ibu pasien melahirkan usia 37 minggu di RS Kebantenan. Saat hamil tidak
pernah sakit campak ataupun sakit kulit lainnya.

Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar saat lahir, karena ibu menolak imunisasi takut anak demam
dan kejang

2.3 Status Generalis


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tensi : mmHg
Nadi : 100 x/menit, regular isi cukup
Pernafasan : 62 x/menit
Suhu : 37,4 o C
Antropometri : BB: 7,1 kg
: TB: 66,2 cm
Kepala
Rambut : Distribusi merata, tidak mudah rontok.
Mata : Konjungtiva anemis -/-,
sklera ikterik -/-,
Gigi & Mulut : Dalam batas normal
Leher
KGB : Dalam batas normal
Tiroid : Dalam batas normal
Thoraks
Inspeksi : Gerak pernapasan simetris, retraksi dinding dada
( +)
Palpasi : Tidak dilakukan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : suara napas dan Bunyi jantung sulit dinilai karena
anak tidak kooperatif.
Abdomen
Inspeksi : cembung
AuskultasI : Tidak dapat dinilai
Perkusi : Tidak dapat dinilai
Palpasi : Tidak dapat dinilai

Ekstremitas : Akral hangat, lembab, CRT < 2”, Edema -/-

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Dilakukan Pemeriksaan radiologi di RSUD Cilncing. Lalu diputuskan
untuk dirujuk post rawat ke RS Jantung Jakarta. Dilakukan Pemeriksaan
ulang di RS tersebut.
2.6 Resume
An AA, usia 10 bulan datang dengan keluhan nafas cepat
sejak kemarin sore. Keluhan disertai batuk sejak 3 hari, batuk
menggonggong, berdahak namun sulit keluar. Pasien kontak erat
dengan sepupu yang sedang pengobatan TB. BB pasien beberapa
bulan terakhir tidak naik. Satu hari sebelumnya pasien mengeluh
hal serupa, berobat ke igd puskesmas kecamatan cilincing dan
dilakukan nebulasi. Kondisi pasien membaik hingga keesokan
paginya nafas lebih cepat kembali. Setelah dirujuk ibu pasien
mengaku anaknya biru saat di rontgen di RSUD dari poli,
sehingga langsung dilarikan ke igd RSUD Cilincing.
Pada Pemeriksaan fisik saat di poli batuk didapatkan,
kesadaran cimpos mentis, RR 50x/menit, suhu 37,4 c, nadi 100
x/menit, tidak tampak sianosis, retraksi +/+. Pada Pemeriksaan
penunjang didapatkan pneumonia bilateral, dan hasil echo
didapatkan regurgitasi tricuspid ec multiple ASD.
2.7 Diagnosis Kerja
Pertusis dengan multiple ASD

2.10 Penatalaksanaan
Pasien dirawat inap di RS selama 5 hari di RSUD Cilincing, diberikan
 Terapi oksigen nasal kanul 2 Lpm
 NGT
 Antibiotik IV
 Dan furosemide 40 mg, 2 kali sehari
 Rawat Bersama dengan Sp.JP
Post rawat inap pasien di rujuk ke RS Jantung Jakarta untuk terapi
jantung lebih lanjut. Terapi dari DPJP diberikan Kaptopril 12,5 mg
sebanyak 2 kali sehari, dan tidak perlu dilakukan operasi karena saat
echocardiography ulang didapatkan sudah mulai terbentuk lapisan
penutup.

2.11 Prognosis
Qua ad vitam : dubia ad bonam
Qua ad functionam : dubia ad bonam
Qua ad sanationam : dubia ad bonam

1.12 Follow-up
Follow-up tanggal 28 Juli 2023

S / pasien sudah tidak sesak, batuk berkurang, tidak biru-biru lagi


O /
Kesadaran : Compos mentis
TD :-
N : 94x/menit
RR : 28 x/menit tanpa bantuan oksigen
T : 36,6 C
SpO2 : 98%
Mata : CA -/-, SI -/-
Hidung : secret -/-
Mulut : Sianosis -
Leher : pembesaran KGB -/-, tiroid -/-
Thorax : simetris +/+, retraksi -/-
Cor : S1/S2 reguler, murmur samar tertutup suara nafas
Pulmo : rhonki kasar +/+, wheezing -/-
Abdomen : supel, BU + 8x/menit
Extremitas : akral hangat +/+, CRT <2 detik, sianosis -/-, edema -/-

A/ Pertusis dan ASD


P/ saat di RSUD cilincing, diberikan antibiotik injeksi, puyer batuk
pilek, dan furosemide (2x 40 mg). NGT dan O2 nasal kanul sudah
dilepas.
Follow up tanggam 23 Agustus 2023

S / pasien sudah tidak sesak, batuk berkurang, tidak biru-biru lagi.


Post imunisasi DPT 1 dan polio tetes 1
O /
Kesadaran : Compos mentis
TD :-
N : 88 x/menit
RR : 26 x/menit
T : 36,5 C
SpO2 : 98%
Mata : CA -/-, SI -/-
Hidung : secret -/-
Mulut : Sianosis -
Leher : pembesaran KGB -/-, tiroid -/-
Thorax : simetris +/+, retraksi -/-
Cor : S1/S2 reguler, murmur
Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : supel, BU + 8x/menit
Extremitas : akral hangat +/+, CRT <2 detik, sianosis -/-, edema -/-

A/ ASD
P/ Kaptopril 12,5 mg, 2 kali sehari, Kontrol lagi 4 September.
DAFTAR PUSTAKA

1. S. Long, Sarah. 2005. Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC.

2. Cherry JD. 2005. Comparison of the epidemiology of the disease pertussis with
the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics : Diakses 30
Desember 201212 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/125867059.

3. Turner, B, Lewis, NE. 20120. Annnual Morbidity Report of Pertusis. Journal of


Communicable Disease Control. Diakeses pada 3 Desember 20123 dari
http://www.cdc.gov/mmwr/mmwr_nd/index.html.

4. Mansjoer Arif, Suprohaita dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III (jilid2).
Jakarta: Media Aesculpius FKUI .

5. Black S. (12997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23


Desember 201212 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/912091262

6. Anonim. 201212. Imunisasi Murah dan Efektif Imunisasi Melindungi Anak


Indonesia dari Wabah, Kematian atau Kecacatan. Jakarta: Pusat Komunikasi
Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada 3
Desember 20123 dari www.depkes.go.id.

7. Farizo KM. 12992. Epidemiological features of pertussis in the United States,


12980-12989. Clin Infect Dis ; 124(3):708-129. Diakses 23 Desember 201212
dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12562663.

8. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (12993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.

9. Hewlett EL. 2005. Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed. Mandell GL, Bennett JE dkk . Philadelphia. Diakses pada 4
desember dari, http://www.health.nsw.gov.au .

10. Tim Adaptasi Indonesia. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota.
Jakarta : WHO Indonesia. Diakses pada 4 desember dari
http://www.ichrc.org/47-pertusis

11. Staf pengajar I.K.Anak FKUI. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta, Indonesia. FKUI, 12997. Jilid 2. h: 564-566.

12. Herman BR. Buku ajar fisiologi jantung. Jakarta : EGC. 201212. Hal. 12

13. Djer MM, Madiyono B,. Tatalaksana penyakit jantung bawaan. Sari Pediatri,

Vol. 2, No 3. Desember 2000. Hal 1255-1262.


14. Roebiono PS. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Jakarta :

Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK-UI Pusat Jantung Nasional

Harapan Kita. 2000.pp 12-7

15. Hariyanto D. Profil Penyakit Jantung Bawaan di Instalasi Rawat Inap Anak

RSUP Dr. M. Djamil Padang Januari-Februari 201212. Sari Pediatri. 20122.

Vol. 124:pp 1252-1257

16. Amal I, Ontoseno T,. Tatalaksana dan rujukan awal penyakit jantung bawaan

kritis. CDK-256. Vol 44, No 9. 20127. Hal 667-669.

17. Sastroasmoro S, Madiyono B. Epidemiologi dan Etiologi Penyakit Jantung

Bawaan. Dalam: Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku Ajar Kardiologi Anak.

Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.12994. Hal.1266-

12712.

18. Roebiono PS, Rahajoe AU, Sastroasmoro S. Embriogenesis Kardiovaskular

Dan Sirkulasi Janin. Dalam: Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku Ajar

Kardiologi Anak. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak

Indonesia.12994. Hal.1274-1289.

19. Lisa C, Wahab AS. Defek Septum Ventrikel. Dalam: Wahab AS. Kardiologi

Anak. Jakarta : EGC. 2009. Hal. 37-67.

20. Wahab AS, Adjie MY. Defek Sekat Atrium dan Defek Bantalan Endokardium.

Dalam: Wahab AS. Kardiologi Anak. Jakarta : EGC. 2009. Hal. 1212-36

21. Soeroso S, Sastrosoebroto H. Penyakit Jantung Bawaan Asianotik. Dalam:

Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : Badan

Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.12994. Hal.12912-232.


22. Silalahi C, Wahab AS. Ductus Arteriosus Paten. Dalam: Wahab AS. Kardiologi

Anak. Jakarta : EGC. 2009. Hal. 69-85

23. Allamanda E, Wahab AS. Stenosis Aorta dan Insufisiensi Aorta Kongenital.

Dalam: Wahab AS. Kardiologi Anak. Jakarta : EGC. 2009. Hal. 1289-230

24. Irawati D, Wahab AS. Koarktasio Aorta. Dalam: Wahab AS. Kardiologi Anak.

Jakarta : EGC. 2009. Hal. 2312-249

25. Lubis TA, Kristiani D, Wahab AS. Stenosis dan Insufisiensi Pulmonal. Dalam:

Wahab AS. Kardiologi Anak. Jakarta : EGC. 2009. Hal. 1257-1288

26. Ruslie HR, Darmadi. Diagnosis dan Tatalaksana Tetralogy of Fallot. Lampung:

20123

27. Prasodo AM. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik. Dalam: Sastroasmoro S,


Madiyono B. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia.12994. Hal.234-277

Anda mungkin juga menyukai