Lapkas Pertusis + Asd
Lapkas Pertusis + Asd
Disusun oleh:
dr. Andi Vannesya Astriani
Pendamping:
dr. Rara Purbasari
Disusun oleh :
dr. Andi Vannesya Astriani
Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas
Dokter Internship Puskesmas Kecamatan Cilincing
Jakarta, 2023
Pembimbing
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan Kasus Pertusis dengan ASD dengan
baik dan tepat waktu. Laporan ini disusun dalam rangka memenuhi kewajiban
tugas sebagai dokter internship di Puskesmas Kecamatan Cilincing. Selama proses
penyusunan laporan mulai dari awal hingga akhir, penulis mendapat banyak
bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada :
1. dr. Rara Purbasari selaku Pembimbing Internshi di Puskesmas Kecamatan
cilincing yang telah memberikan sarana dan prasarana sehingga
pelaksanaan kegiatan dan pembuatan laporan dapat terlaksana dengan
baik. Terima kasih kepada dr. Rara Purbasari yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing, memotivasi dan memberikan semangat
kepada saya selama penyusunan laporan kasus ini.
2. Ny. F dan keluarga atas kerjasama dan kesempatannya sehingga laporan
ini dapat terlaksana dan terselesaikan dengan baik.
Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih dan mohon maaf apabila terdapat
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan Laporan Kasus Pertusis dengan
ASD. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pihak lainnya.
Jakarta,
2023
HALAMAN JUDUL.........................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................................
BAB I Tinjauan Pustaka.................................................................................................
1.1. Definisi...........................................................................................................
1.2. Epidemiologi .................................................................................................
1.3. Faktor Risiko..................................................................................................
1.4. Patofisiologi....................................................................................................
1.3. Klasifikasi.......................................................................................................
1.4. Gambaran klinis..............................................................................................
1.4. Tatalaksana.....................................................................................................
1.4. Follow up........................................................................................................
BAB II Data Klinis..........................................................................................................
2.1. Identitas...........................................................................................................
2.2. Anamnesis.......................................................................................................
2.3. Status Generalis..............................................................................................
2.4. Status Obstetri...............................................................................................
2.5. Pemeriksaan Penunjang................................................................................
2.6. Resume.........................................................................................................
2.7. Diagnosis Kerja............................................................................................
2.8. Diagnosis Banding........................................................................................
2.9. Pemeriksaan Anjuran....................................................................................
2.10. Penatalaksanaan..........................................................................................
2.11. Prognosis....................................................................................................
2.12. Follow up....................................................................................................
BAB II Pembahasan......................................................................................................
BAB II Kesimpulan.......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PERTUSIS
2.1.1 Definisi
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh Bordetella
pertusis. Pertusis atau batuk rejan disebut juga whooping cough, tussis quinta,
violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang
pertama kali menggunakan istilah pertussis atau batuk kuat pada tahun 1670.
Pertusis dikenal sebagai batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan
individu yang terinfeksi berteriak saat batuk. Pertusis merupakan penyakit
infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang, namun rentan
terjadi pada anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan
kekebalan yang menurun.
2.1.2 Epidemiologi
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4
tahun. Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab
utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di
Amerika Serikat.
Menurut salah satu lembaga penelitian kesehatan dunia Communicable
Disease Control (CDC) 2010 Annual Morbidity Report mengatakan bahwa
insiden pertusis meningkat setiap 3 sampai 5 tahun sekali. Pada 2010
peningkatan kembali terjadi, seperti di Los Angeles terjadi peningkatan kasus
sejak 50 tahun terakhir yaitu 972 kasus saat ini (696 diagnosa pasti, 276
suspect) dengan angka kejadian 9.91 kasus per 100.000 jiwa. Sedangkan di
California angka kejadian pertusis yaitu 23,3 kasus per 100.000 jiwa.
Di Indonesia angka kejadian pertusis jarang ditemukan berkat
terselenggaranya program Imunisasi Nasional dimana lebih dari 87% anak di
Indonesia sudah mendapatkan imunisasi secara lengkap. Begitu dianggap
pentingnya pemberian kekebalan pada anak-anak sehingga imunisasi standar
diberikan secara gratis di Puskesmas. BCG untuk menangkal TBC, DPT
untuk menangkal Dipteri Pertusis (batuk) dan Tetanus, lalu vaksin Polio,
Campak dan Hepatitis D. Program imunisasi ini diperkuat oleh program
imunisasi gratis di sekolah-sekolah, yaitu vaksinasi Dipteri Tetanus untuk
siswa kelas I SD dan vaksinasi TT untuk siswa kelas II dan III SD. Program
ini merupakan perwujudan Pasal 10 UU No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan, dimana upaya kesehatan juga dilakukan lewat pencegahan
penyakit.
2.1.3 Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus
pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus
respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella
pertusis ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan
anak–anak kecil yang ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor
inspiratori memanjang ” batuk rejan”.1,3
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil
dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak
bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita
pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou. 1,5
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak
sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas.
Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica,
B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B.
parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada
manusia.7
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis.
Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan
pertussis. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin pertusis
mulai digunakan secara luas, dan terendah sepanjang kasus yang dilaporkan
di Amerika Serikat pada tahun 1976.5 Oleh karena itu di negara maju
imunisasi merupakan prosedur rutin untuk mencegah dan menurunkan angka
kejadian dari berbagai macam penyakit.
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir kebal terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada
neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian
sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn
dapat menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan nasofaring akan
negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis
atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih
rentan terhadap penyakit ini jika terpajan.1
2.1.4 Patogenesis
Bordetella pertusis ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme
patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan
yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu,
kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik.1
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor
(LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan
Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis
kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran
napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi
bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan
menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan
whooping cough.1,9
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin
sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian
menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel.
Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.1,9
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek
mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi
perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah
dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek
memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan
menurunkan konsentrasi gula darah.1,9
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan
limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia,
maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi
infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan
Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang
dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.1,9
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi
pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat
perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat
pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.1
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila
sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya
efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella
pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan
toksin pertusis.1
Pemeriksaan laboratorium :
Bakteri B.Pertusis ditemukan dengan melakukan swab pada daerah
nasofaring dan ditanam pada media agar Bordet-Gengou. Biakan positif pada
stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan
menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.1,3
Pada pemeriksaan darah didapatkan leukositosis 20,000-50,000/UI
dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama
stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk
diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.1,3
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk
menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. IgG toksin pertusis
merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi
dan tidak tampak setelah pertussis.10,12
Pemeriksaan radiologi :
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat
perihiler, atelektasis atau emfisema.
2.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan umum :
Membatasi jumlah paroksismal.
Mengamati keparahan batuk.
memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele.
Tujuan rawat inap :
menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam
jiwa pada puncak penyakit.
mencegah atau mengobati komplikasi.
mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan
yang akan diberikan di rumah.
Tatalaksana :10
Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat
jalan dengan perawatan panjang. Umur < 6 bulan dirawat dirumah sakit.
Demikian juga pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk,
henti nafas lama, atau kebiruan setelah batuk.
Antibiotik :
Beri eritromisin oral (12.5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10
hari atau jenis makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya
sakit tetapi akan menurunkan periode infeksius.
Oksigen :
Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas
atau batuk paroksismal berat.
Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal,
karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari
mukus agar tidak menghambat aliran oksigen.
Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada
lagi.
Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada
pada posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua
sambungan aman.
Perawatan penunjang :
Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang
terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan
tenggorokan dan penggunaan NGT.
Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin.
Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu.
Jika anak demam (≥ 39º C) yang dianggap dapat menyebabkan distres,
berikan parasetamol.
Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa
nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk
memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan,
berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi dan
mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan
pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan
terus terjadi, beri makanan melalui NGT.
Pemantauan :
Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali
sehari. Agar dapat dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap
serangan apnu, serangan sianotik, atau episode batuk yang berat, anak harus
ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan perawat dan dekat dengan
oksigen. Juga ajarkan orang tua untuk mengenali tanda serangan apnu dan
segera memanggil perawat bila ini terjadi.
2.1.8 Komplikasi 10
1. Pneumonia
Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh
infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan.
2. Kejang
Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan
apnu atau sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin.
3. Gizi kurang
Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan
oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah.
4. Perdarahan
Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis.
Tidak ada terapi khusus.
5. Hernia
Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang
kuat. Tidak perlu dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi
saluran pencernaan, tetapi rujuk anak untuk evaluasi bedah setelah
fase akut.
2.1.9 Pencegahan
Tindakan kesehatan masyarakat:10
Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam
keluarga yang imunisasinya belum lengkap.
Beri DPT ulang untuk anak yang sebelumnya telah diimunisasi.
Beri eritromisin suksinat (12.5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama
14 hari untuk setiap bayi yang berusia di bawah 6 bulan yang disertai
demam atau tanda lain dari infeksi saluran pernapasan dalam
keluarga.
2.1.10 Prognosis
Tergantung ada tidaknya komplikasi terutama komplikasi paru dan saraf
pada bayi dan anak kecil.
Jantung adalah suatu organ yang merupakan bagian dari suatu sistem
darah agar dapat mengalir dengan lancar di dalam pembuluh darah pada
yang sudah didapatkan sejak bayi baru lahir. Manifestasi klinis kelainan ini
bervariasi dari yang paling ringan sampai berat. Pada bentuk yang ringan,
pemeriksaan klinis. Sedangkan pada PJB berat, gejala sudah tampak sejak
Ada 2 golongan besar PJB, yaitu asianotik (tidak biru) dan sianotik (biru)
yang berbeda. 3
2.2.2. DEFINISI
jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi
2.2.3. EPIDEMIOLOGI
Data dari the nothern region paediatric cardiology data base memperkirakan
kelahiran bayi sedangkan di beijing, cina insiden PJB 8,2/12000 dari total
kelahiran, dimana 1268,9/12000 lahir mati dan 6,7/12000 lahir hidup. insiden
Di negara maju hampir semua jenis PJB telah dideteksi dalam masa
bayi bahkan pada usia kurang dari 12 bulan, sedangkan di negara berkembang
banyak yang baru terdeteksi setelah anak lebih besar, sehingga pada beberapa
jenis PJB yang berat mungkin telah meninggal sebelum terdeteksi. Angka
kejadian PJB adalah 8 tiap 12000 kelahiran hidup atau kurang lebih 32000
bayi setiap tahun di Indonesia dan 30% diantaranya telah memberikan gejala
pada minggu-minggu pertama kehidupan. Bila tidak terdeteksi secara dini dan
tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada bulan
2.2.4. Etiologi
Berbagai jenis penyakit genetik dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan
2.2.5. Patogenesis
1. Embriogenesis jantung
Embriogenesis jantung merupakan serangkaian proses yang
komponen ventrikel yang terdiri dari segmen inlet dan outlet serta
c. Septasi
bagian bawah septum primum. Celah antara kedua sekat ini disebut
foramen ovale.
Gambar 2. Skema septasi atrium melukiskan perkembangan septum
kelak akan menjadi bagian bawah dari cincin lubang antara komponen
inlet dan outlet ventrikel. Pada stadium ini seluruh aliran kanalis
aliran yang keluar melalui trunkus akan berasal dari area trabekular
ventrikel kanan.
Gambar 3. Skema pembentukan bagian-bagian ventrikel
pada saat fusi menjadi septum yang berlangsung seperti spiral dan
selanjutnya pada saat fusi menjadi septum yang lurus. Septum tersebut
d. Migrasi
Bersamaan dengan proses perkembangan septasi kanalis
2. Sirkulasi Janin
duktus venosus ke vena kava inferior, yang juga menerima darah dari
hati (melalui vena hepatika) serta tubuh bagian bawah. Sebagian besar
darah dari vena cava inferior mengalir ke dalam atrium kiri melalui
melalui katup trikuspid. Darah yang kembali dari leher dan kepala janin
(pO2 120 mmHg) memasuki atrium kanan melalui vena cava superior
Pada masa fetal hanya 122-125% darah dari ventrikel kanan yang
menuju aorta desenden lalu bercampur dengan darah dari aorta asenden.
Perubahan yang sangat penting dalam sirkulasi setelah bayi lahir terjadi
karena putusnya hubungan plasenta dari sirkulasi sistemik dan paru yang
bila terdapat aliran darah paru yang meningkat seperti pada defek septum
4) Foramen ovale menutup saat bayi lahir tetapi tidak semua bayi
foramen ovale karena tekanan pada atrium kanan masih sedikit lebih tinggi
2.2.6. Klasifikasi
sianotik.
jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah satu
dan patent ductus arteriosus (PDA), dan (2) PJB asianotik dengan
lesi obstruktif di jantung bagian kiri atau kanan tanpa aliran pirau
atrium atau pada daun katup mitral disebut ASD primum, dan
bila berada di dekat muara vena cava superior atau vena kava
sinus koroner.21,24
(supravlvular).
supravalvular.
subclavia sinistra.12,13,14
sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik
golongan PJB ini sianosis pada mukosa bibir dan mulut serta kuku jari
haemoglobin yang beredar dalam darah lebih dari 5g %. Bila dilihat dari
yaitu (12) yang dengan gejala aliran darah ke paru yang berkurang,
misalnya Tetralogi of Fallot (TF) dan Pulmonal Atresia (PA) dengan VSD,
Pulmonall Atresia (PA) tanpa VSD dan (2) yang dengan gejala aliran darah
ke paru yang bertambah misalnya Transposition of the Great Arteries
(TGA.)120
a. Tetralogi Fallot
yang terdiri dari empat kelainan khas, yaitu defek septum ventrikel
Pada kelainan ini darah dari ventrikel tidak dapat menuju arteri
aorta.
Pada kelainan ini darah dari ventrikel kanan tidak dapat keluar karena
dan seluruh vena kembali masuk ke jantung kiri melalui foramen ovale
ke seluruh prekordium.
bahkan dengan shunt yang besar sekalipun. Berat dan tinggi pasien
detik atau lebih secara konstan (tak berubah dengan respirasi). Ini
adalah khas pada ASD yang cukup besar. Bila penyakit ini
pulmonal ringan.
sindrom Eisenmenger.
yang kontinu.1212
d. Pulmonary stenosis (PS)
bunyi jantung satu normal yang diikuti dengan klik ejeksi saat
terdengar bila katup kaku dan stenosis sangat berat. Bising sistolik
jantung dua yang tunggal dan bising sistolik ejeksi yang halus akan
parasternal sela iga 2 kiri sampai ke apeks dan leher. Bayi dengan
dorsalis pedis tidak teraba atau teraba kecil. CoA pada anak yang
sakit kepala atau epistaksis berulang, tungkai lemah atau nyeri saat
Selain itu juga tekanan darah lengan lebih tinggi dari pada tungkai.
Pada waktu baru lahir biasanya bayi belum sianotik, bayi tampak biru
besar pasien yang telah tampak pada usia 6 bulan. Terjadi serangan
sianotik yang akibat hipoksia sel, yang bertambah jelas saat saat
dan dapat juga terjadi kejang. Serangan hebat dapat berakhir dengan
koma hingga kematian. Pada bayi bentuk dada normal, namun pada
Bising sistolik ejeksi dari stenosis pulmonal akan terdengar jelas di sela
gagal jantung pada usia bayi. Terdapat hipertrofi ventrikel kanan pada
Manifestasi Klinis sianosis tampak bayi baru lahir yang terus bertambah
pada hari-hari pertama. Bayi sesak dengan gejala gagal jantung. Pada
arterious.126
1) Rontgen thoraks
sedikit meningkat
b) VSD sedang, tampak kardiomegali sedang dengan konus
3) Elektrochardiogram
lebih meningkat.
hypertropi ventrikel kanan dan right bundle branch block (RBBB). 120
lebar dengan tahanan paru mulai naik menunjukkan besar jantung normal
pulmonalis membesar.
dengan ductus kecil (tingkat 12) gambar EKG masih dalam batas normal.
Pada bayi dengan ductus besar (tingkat III) gambar EKG menunjukkan
hypertrofi biventricular.1212
pulmonalis post-stenosis.
dengan kelainan EKG. Makin berat stenosis, maka makin berat deviasi
kanan.
dilihat dari katup pulmonal yang menebal dengan gerakan kurang. Dapat
Pada obstruksi berat akan didapatkan perubahan pada segmen S-T dan
Doppler.124
gambaran EKG pada anak setelah berusia 12 tahun dapat normal dan
koarktasio aorta, namun hal ini sulit bagi anak besar. Pada neonates
a. Tetralogi Fallot
1) Rontgen thoraks, CTR biasanya normal atau sedikit membesar.
bentuk sepatu.
1) Rontgen thoraks
pedicle atau mediastinum yang sempit oleh karena posisi aorta dan
jantung normal.
2) Elektocardiografi
VSD besar.
3) Echocardiografi
dua.24
2.2.9. Penatalaksanaan
jika pada umur 3 atau 4 tahun defek belum menutup dan terjadi
sekolah (3-4 tahun) kecuali bila sebelum usia tersebut telah timbul
vaskuler paru.13
c. Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada bayi atau anak tanpa gejala gagal jantung dan gagal tumbuh
secara elektif pada usia diatas 3-4 bulan. Ada beberapa teknik
infundibular (subvalvar). 19
2.2.10. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit jantung bawaan antara lain:
17
2. Serangan sianotik. Komplikasi ini terjadi pada PJB sianotik. Pada saat
serangan anak menjadi lebih biru dari kondisi sebelumnya, tampak sesak
menimbulkan kematian.
3. Abses otak. Abses otak biasanya terjadi pada PJB sianotik. Biasanya
abses otak terjadi pada anak yang berusia di atas 2 tahun. Kelainan ini
2.2.11. PROGNOSIS
kematian. Koreksi definitif yang dilakukan pada usia muda akan mencegah
menghadapi risiko operasi dua kali dengan biaya yang lebih besar pula.
Oleh karena itu terus dilakukan upaya serta penelitian agar operasi jantung
2.3.1 Definisi
Hipertensi pulmonal (PH) adalah kelainan patofisiologi pada pembuluh
darah paru-paru yang dapat melibatkan berbagai kondisi klinik dan dapat menjadi
komplikasi dari penyakit-penyakit kardiovaskular dan respirasi. Hipertensi
pulmonal (PH) ditandai dengan peningkatan tekanan rerata arteri pulmonalis
(mean pulmonary artery pressure / mPAP) di atas normal, yaitu > 20 mmHg dan
peningkatan tahanan vaskular pulmonal (pulmonary vascular resistance/PVR) di
atas normal, pada kondisi istirahat.
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiografi (EKG) Kelainan pada EKG sering ditemukan pada PH
derajat berat. Akan tetapi, tidak ditemukannya kelainan pada EKG bukan
berarti diagnosis PH tersingkir. Kelainan EKG yang dapat ditemukan, antara
lain P pulmoner, right axis deviation, hipertrofi ventrikel kanan, strain
ventrikel kanan, right bundle branch block, dan pemanjangan QTc. Strain
pada ventrikel kanan memiliki angka sensitivitas tertinggi. Pemanjangan dari
QTc dan pelebaran dari kompleks QRS menandakan keparahan penyakit.
Aritmia supraventrikular seperti atrial flutter dan atrial fibrilasi dapat
ditemukan pada stadium lanjut.
Foto rontgen toraks Kelainan rontgen toraks yang dapat ditemukan pada
pasien dengan PAH adalah dilatasi arteri pulmonaris sentral disertai dengan
menurunnya vaskularisasi di perifer (pruning). Pembesaran atrium dan
ventrikel kanan juga terdapat pada beberapa kasus PH yang sudah lanjut.
Rontgen toraks dapat membantu membedakan PH arteri dan vena melalui
gambaran peningkatan atau penurunan rasio arteri vena, serta membantu
penegakan diagnosis diferensial PH jika terdapat tanda penyakit paru (PH
grup 3) atau kongesti vena pulmonalis akibat kelainan jantung kiri (PH grup
2). Seperti EKG, hasil rontgen toraks yang normal tidak dapat eksklusi
adanya PH.
Laboratorium dan imunologi Pemeriksaan darah kurang berperan dalam
penegakan diagnosis PH, tetapi membantu membedakan jenis-jenis PH serta
mengetahui ada tidaknya komplikasi pada organ lain. Gangguan fungsi tiroid
sering terjadi bersamaan dengan PAH, dan perlu dipertimbangkan bila terjadi
perubahan klinis mendadak. Gangguan fungsi liver menandakan adanya
kongesti maupun efek samping obat. Peningkatan brain natriuretic peptide
(BNP) dan N-terminal pro-BNP (NT-proBNP) menandakan adanya overload
ventrikel kanan dan merupakan prediktor dari prognosis yang buruk. Skrining
hepatitis, HIV, dan penyakit jaringan ikat juga sebaiknya rutin diperiksakan.
Peningkatan kadar antinuclear antibodies (ANA) sering ditemukan, meskipun
dengan titer yang rendah (1:80). Pasien dengan penyakit jaringan ikat yang
berhubungan dengan thrombofilia dan chronic thromboembolic PH (CTEPH)
sebaiknya diperiksakan parameter untuk koagulopati dan thrombofilia, seperti
anticardiolipin antibodies, lupus anticoagulant dan anti-β2-glycoprotein
antibodies.
Tes fungsi paru dan analisis gas darah Tes fungsi paru harus mencakup
kapasitas total paru-paru dan kapasitas difusi paru-paru terhadap karbon
monoksida (DLCO). Mayoritas pasien dengan PAH didapatkan komponen
restriktif ringan. Penurunan DLCO yang nyata
Ekokardiografi transtorakal Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
penunjang non invasif yang paling penting, meskipun diagnosis pasti PH
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kateterisasi jantung kanan. Probabilitas
PH berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal menggunakan
kombinasi beberapa parameter yang terdiri dari tricuspid regurgitant velocity
(TR Vmax), ditambah dengan parameter tambahan seperti ukuran ventrikel
kanan, fungsi septum interventrikular, fluktuasi dari vena cava inferior (IVC)
terhadap siklus respirasi, area sistolik atrium kanan, pola kecepatan aliran
sistolik terhadap early diastolic pulmonary regurgitant velocity (PVAcct),
serta diameter dari Arteri Pulmonalis seperti yang terlihat pada tabel 4.1 dan
4.2. Untuk mengubah derajat probabilitas PH dibutuhkan minimal dua tanda
ekokardiografi dari kategori yang berbeda (A/B/C) yang terdapat pada
Nama : An A
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 8 bulan
Agama : Islam
2.2 Anamnesis
Dilakukan alloanamnesis pada tanggal 25 July 2023 di Poli Batuk
Puskesmas Kecamatan Cilincing pukul 10.00 WIB
Keluhan utama :
Nafas cepat sejak kemarin sore
Riwayat Psikososial :
Makan 3x sehari, disertai cemilan biscuit bayi dan minum susu formula.
Riwayat Kehamilan :
Ibu pasien melahirkan usia 37 minggu di RS Kebantenan. Saat hamil tidak
pernah sakit campak ataupun sakit kulit lainnya.
Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar saat lahir, karena ibu menolak imunisasi takut anak demam
dan kejang
2.10 Penatalaksanaan
Pasien dirawat inap di RS selama 5 hari di RSUD Cilincing, diberikan
Terapi oksigen nasal kanul 2 Lpm
NGT
Antibiotik IV
Dan furosemide 40 mg, 2 kali sehari
Rawat Bersama dengan Sp.JP
Post rawat inap pasien di rujuk ke RS Jantung Jakarta untuk terapi
jantung lebih lanjut. Terapi dari DPJP diberikan Kaptopril 12,5 mg
sebanyak 2 kali sehari, dan tidak perlu dilakukan operasi karena saat
echocardiography ulang didapatkan sudah mulai terbentuk lapisan
penutup.
2.11 Prognosis
Qua ad vitam : dubia ad bonam
Qua ad functionam : dubia ad bonam
Qua ad sanationam : dubia ad bonam
1.12 Follow-up
Follow-up tanggal 28 Juli 2023
A/ ASD
P/ Kaptopril 12,5 mg, 2 kali sehari, Kontrol lagi 4 September.
DAFTAR PUSTAKA
1. S. Long, Sarah. 2005. Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC.
2. Cherry JD. 2005. Comparison of the epidemiology of the disease pertussis with
the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics : Diakses 30
Desember 201212 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/125867059.
4. Mansjoer Arif, Suprohaita dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III (jilid2).
Jakarta: Media Aesculpius FKUI .
8. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (12993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.
9. Hewlett EL. 2005. Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed. Mandell GL, Bennett JE dkk . Philadelphia. Diakses pada 4
desember dari, http://www.health.nsw.gov.au .
10. Tim Adaptasi Indonesia. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota.
Jakarta : WHO Indonesia. Diakses pada 4 desember dari
http://www.ichrc.org/47-pertusis
11. Staf pengajar I.K.Anak FKUI. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta, Indonesia. FKUI, 12997. Jilid 2. h: 564-566.
12. Herman BR. Buku ajar fisiologi jantung. Jakarta : EGC. 201212. Hal. 12
13. Djer MM, Madiyono B,. Tatalaksana penyakit jantung bawaan. Sari Pediatri,
15. Hariyanto D. Profil Penyakit Jantung Bawaan di Instalasi Rawat Inap Anak
16. Amal I, Ontoseno T,. Tatalaksana dan rujukan awal penyakit jantung bawaan
12712.
Indonesia.12994. Hal.1274-1289.
19. Lisa C, Wahab AS. Defek Septum Ventrikel. Dalam: Wahab AS. Kardiologi
20. Wahab AS, Adjie MY. Defek Sekat Atrium dan Defek Bantalan Endokardium.
Dalam: Wahab AS. Kardiologi Anak. Jakarta : EGC. 2009. Hal. 1212-36
23. Allamanda E, Wahab AS. Stenosis Aorta dan Insufisiensi Aorta Kongenital.
Dalam: Wahab AS. Kardiologi Anak. Jakarta : EGC. 2009. Hal. 1289-230
24. Irawati D, Wahab AS. Koarktasio Aorta. Dalam: Wahab AS. Kardiologi Anak.
25. Lubis TA, Kristiani D, Wahab AS. Stenosis dan Insufisiensi Pulmonal. Dalam:
26. Ruslie HR, Darmadi. Diagnosis dan Tatalaksana Tetralogy of Fallot. Lampung:
20123