PROPOSAL
OLEH :
EKA NURZANAH
NIM. 2021/020
Mengetahui :
Direktur Akademi Keperawatan
Kesdam I/Bukit Barisan Pematangsiantar
Azis Mangara, S.kep., Ners., M.M
NIDN : 0104066501
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan kepada penulis berupa kesehatan dan kekuatan sehingga
penulis dapat menyelesaikan proposal ini yang berjudul “Implementasi Latihan
Batuk Efektif pada Klien Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) untuk
mengeluarkan sputum di Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar”. Penulis
berharap semoga proposal ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua
khususnya, bagi tenaga kesehatan terutama perawat dalam menerapkan latihan
batuk efektif pada klien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di Rumah Sakit
Vita Insani Pematangsiantar”
Dalam penyusunan proposal ini, penulis banyak dapat bimbingan serta
nasehat dari berbagai pihak maka, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada:
1. Bapak
2. Bapak Azis Mangara, S.Kep., Ns., M.KM. selaku Direktur Akademi
Keperawatan Kesdam I/BB Pematangsiantar.
3. Bapak Julwansa Saragih, S.Kep., Ns., M.KM. selaku dosen pembimbing
akademik dan proposal yang telah memberikan bimbingan dan saran serta
petunjuk dalam penyusunan proposal.
4. Bapak Norong Perangin-angin, SST., M.Biomed. selaku penguji 1 saya yang
telah banyak memberikan masukan dan saran terhadap penyusunan proposal.
5. Ibu Evi Anita Yunia, SKM., M.KM. selaku penguji 1 saya yang telah banyak
memberikan masukan dan saran terhadap penyusunan proposal.
6.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan proposal ini masih jauh dari
kesempurnaa, untuk itu saran-saran yang membangun sangat peneliti harapkan.
Akhir kata penulis berharap semoga ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dalam bidang keperawatan
Eka Nurzanah
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN PROPOSAL
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SKEMA
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat penelitian
BAB II : TINJAUAN TEORI
A. Tinjuan Teoritis Medis
1. Defenisi
2. Etiologi
3. Anatomi Fisiologi
4. Pathway
5. Manifestasi Klinis
6. Klasifikasi
7. Komplikasi
8. Pemeriksaan Penunjang
9. Penatalaksanaan
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
2. Diagnosa Keperawatan
3. Intervensi Keperawatan
C. Konsep Latihan Batuk Efektif
1. Defenisi Batuk Efektif
2. Tujuan Tindakan Batuk Efektif
3. Mekanisme Pengeluaran Sekret
4. Indikasi Batuk Efektif
5. Kontraindikasi Batuk Efektif
6. Langkah-langkah Batuk Efektif
D. Konsep Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
1. Defenisi
2. Etiologi
3. Tanda dan Gejala
4. Kondisi Klinis
5. Kriteria Bersihan Jalan Nafas Efektif
E. Penelitian terkait
F. Kerangka konsep
BAB III : METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
B. Lokasi dan Waktu
C. Populasi dan Sampel
D. Defenisi Operasional
E. Instrumen Penelitian
F. Teknik Pengumpulan Data
G. Etika Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SKEMA
A. LATAR BELAKANG
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu kondisi yang
ditandai dengan obstruksi jalan nafas yang membatasi aliran udara,
menghambat ventilasi. Penyakit paru obstruktif kronik dapat terjadi
sebagai hasil dari peningkatan resistensi sekunder terhadap edema mukosa
bronkus dan kontraksi otot polos. Hal ini juga bisa terjadi akibat
penurunan kelunturan (elastisitas recoil) (Alifariki, 2023).
Data World Health Organization (WHO) tahun 2020 menyebutkan
bahwa penyakit PPOK merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di
dunia sebanyak 3,23 juta kematian di tahun 2019 dengan merokok sebagai
penyebab utamanya. Tahun 2020, Global intiative for chronic obstructive
Lung Disease (GOLD) memperkirakan secara epidemiologi di tahun 2060
angka prevalensi PPOK akan terus meningkat karena meningkatnya
jumlah angka orang yang merokok
Jumlah penderita PPOK di Amerika pada tahun 2020 mencapai
12,5 juta jiwa atau 5,0% dari total populasi orang dewasa (American Lung
Assosiation, 2020). Di indonesia berdasarkan data riset kesehatan dasar
2013 prevelensi PPOK mencapai 3,7% atau sekitar 9,2 juta jiwa yang
mengalami PPOK.
Riset Kesehatan Kementerian Kesehatan memperlihatkan jumlah
perokok di Indonesia masih sangat tinggi, kira-kira 33,8% atau 1 dari 3
orang di Indonesia merokok. Hal ini memberikan kontribusi pada kejadian
PPOK yang besar. Angka merokok dengan perokok pria mempunyai
proporsi yang besar sekitar 63% atau 2 dari 3 pria di Indonesia saat ini
merokok. Selain itu peningkatan prevalensi merokok cenderung lebih
tinggi pada kelompok remaja usia 10 sampai 18 tahun, yakni sekitar 7,2%
naik menjadi 9,1% di tahun 2018 atau hampir 1 dari 10 anak di Indonesia
merokok (Kementrian Kesehatan Republik Indonresia, 2021)
Data riset kesehatan dasar tahun 2018 menyebutkan prevalensi
PPOK mencapai 3,7% dengan jenis kelamin yang paling banyak adalah
laki-laki (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Sedangkan
prevalensi di Sumatera Utara yaitu 3,6% dari total penderita PPOK di
Indonesia. Gejala penyakit PPOK umumnya muncul pada pengidap yang
berusia 35 hingga 40 tahun (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2018)
Berdasakan data yang diproleh dari Medical Record Rumah Sakit
Umum Vita Insani Pematangsiantar, jumlah pasien PPOK dari tahun 2021
s/d 2023 sebanyak 936 orang penderita dengan penjabaran pada tahun
2021 sebanyak 359 orang penderita, pada tahun 2022 sebanyak 210 orang
dan pada tahun 2023 sebanyak 367 orang yang menderita penyakit PPOK.
Pada 3 bulan terakhir jumlah kasus PPOK di bulan Oktober sebanyak 29
orang, pada bulan November sebanyak 33 orang dan pada bulan Desember
sebanyak 32 orang. (Rekam medis Rumah Sakit Vita Insani
Pematangsiantar, 2024)
Salah satu dampak dari PPOK adalah gejala umum yang dapat
dikenali dan muncul pertama kali adalah sesak napas, batuk kronis disertai
dahak, dan rasa lelah yang berlebihan. Seiring berkembangnya PPOK,
penderita akan mulai merasa kesulitan dalam melakukan aktivitas normal
sehari-hari (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2023).
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah bersihan jalan nafas tidak efektif adalah mengajarkan pasien
untuk mampu melakukan teknik latihan batuk efektif. Latihan batuk
efektif merupakan aktivitas perawat untuk membersihkan sekresi pada
jalan nafas dengan tujuan untuk meningkatkan mobilisasi sekresi dan
mencegah resiko tinggi retensi sekresi (Trevia, 2021)
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Hanifah dan Hisni (2023) dengan judul analisis asuhan keperawatan
dengan intervensi fisioterapi dada dan batuk efektif terhadap pengeluaran
sputum pada pasien PPOK di Ruang Melati RSUD Pasar Rebo bahwa
hasil penerapan intervensi fisioterapi dada dan batuk efektif terhadap
pengeluaran sputum yang telah dilaksanakan 2 kali sehari dalam kurung
waktu 3 hari menunjukan perubahan yang signifikan kepada tiga
responden dengan PPOK ditandai berdasarkan data hasil rata-rata evaluasi
klien mengatakan sudah dapat mengeluarkan dahak tanpa disertai nyeri
saat batuk, batuk secara terus menerus berkurang, sesak napas berkurang,
terjadi perubahan sputum dari warna hingga konsistensi dan data
berdasarkan objektif didapatkan hasil rata-rata frekuensi napas membaik
menjadi 22 kali permenit dari 24-26 kali permenit dan saturasi oksigen
naik menjadi 99 persen dari sebelumnya dibawah 90 persen.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Latihan Batuk
Efektif pada Klien PPOK untuk Mengeluarkan Sputum di Rumah Sakit
Vita Insani Pematangsiantar”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas kita dapat mengetahui
bagaimana pengaruh pemberian teknik latihan batuk efektif pada klien
PPOK untuk mengeluarkan sputum di Rumah Sakit Vita Insani
Pematangsianatar
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam proposal ini adalah untuk mengetahui
bagaimana pengaruh pemberian teknik latihan batuk efektif pada klien
PPOK untuk mengeluarkan sputum di Rumah Sakit Vita Insani
Pematangsiantar
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus pada proposal ini yaitu:
a. Untuk mengetahui pengkajian keperawatan pada klien PPOK di
Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar
b. Untuk mengetahui Diagnosis keperawatan pada klien PPOK di
Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar
c. Untuk mengetahui Intervensi keperawatan pada klien PPOK di
Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan ilmu pengetahuan
dalam melakukan latihan batuk efektif untuk mengeluarkan sputum
pada klien penyakit paru obstruksi kronis
2. Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salat satu acuan yang dapat
di praktikkan dalam pengeluaran sputum secara nonfarmakologi
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk pelaksanna
pendidikan sertan masukan dan perbandingan untuk penelitian lebih
lanjut asuhan keperawatan pada pasien penyakit paru obstruksi kronik
dalam melakukan latihan batuk efektif untuk mengeluarkan sputum di
Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar
4. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pelayanan
keperawatan dengan memberikan gambaran asuhan keperawatan pada
pasien penyakit paru obstruksi kronik dalam melakukan latihan batuk
efektif untuk mengeluarkan sputum di Rumah Sakit Vita Insani
Pematangsiantar
5. Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan
pengalaman mahasiswa yang lebih dalam tentang asuhan keperawatan
pada pasien penyakit paru obstruksi kronik dalam melakukan latihan
batuk efektif untuk mengeluarkan sputum di Rumah Sakit Vita Insani
Pematangsiantar
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2. Anatomi Fisiologi
Anatomi dan fisiologi sistem pernafasan menurut Zuriati (2017)
Gambar 2.1 Anatomi sistem pernafasan pada manusia
a. Anatomi
1) Hidung (Cavum Nasalis)
Hidung adalah jalan masuk udara masuk udara utama dan
terdiri atas rongga berukuran besar yang tidak beraturan yang
dibagi menjadi dua lubang yang sama besar oleh suatu septum.
Hidung dilapisi oleh epithelium kolumnar bersilia yang kaya
vascular (membrane mukosa bersilia) yang mengadnudng sel
goblet yang menyekresi mucus. Pada lubang hidung anterior,
sel ini bersatu dengan kulit dan pada bagian posterior meluas
hingga ke faring. Lubang hidung anterior atau nostril
merupakan saluran penghubung dari eksterior ke rongga nasal.
Di sini terdapat rambut hidung yang dilapisi mucus yang
lengket. Lubang hidung posterior merupakan saluran dari
rongga nasal ke faring. Sinus paranasal posterior adalah
rongga di tulang wajah cranium, yang berisi udara.
2) Faring
Udara dan rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan
saluran yang memliki panjang 12-14 cm dan memanjang dari
dasar tengkorak dan vertebra servikalis-servikalis ke-6. Faring
berada dibelakang hidung mulut dan laring
Faring dibagi menjadi 3 bagian:
a) Nasofaring (saluran pernafasan bagian depan). Bagian
nasal faring terletak di belakang hidung dan di atas
palatum molle.
b) Orofaring (saluran pernafasan bagian belakang)
c) Laringofaring. Bagian laryngeal faring memanjang dari
atas orofaring dan berlanjut ke bawah osofagus, yakni dari
vetebrata servikalis ke-3 hingga ke-6
3) Laring
Laring atau kotak suara memanjang dari langit-langit lidah dan
tulang hiroid hingga trakea. Laring berada didepan
laringofaring pada vertebra servikalis ke-3,4,5 dan 6. Saat
pubertas, terdapat perbedaan ukuran laring membesar pada
pria dan wanita. Selanjutnya, ukuran laring membesar pada
pria, disebut jakun (Adam’s Apple) dan umumnya
menyebabkan pria memiliki suara yang lebih berat. Laring
merupakan suatu saluran yang dikelilingi oleh tulang rawan.
Salah satu tulang rawan pada laring disebut epiglotis. Epiglotis
terletak di ujung bagian pangkal laring
4) Trakea
Trakea atau pipa angina merupakan kelanjutan dari faring dan
memanjang ke bawah hingga sekitar betebra ke-5 dimana
trakea mengalami percabangan di karima menjadi bronkus
kanan dan kiri, dimana tiap bronkus menuju tiap paru (kiri dan
kanan). Panjang trakea sekitar 10-11 cm dan terutama terletak
dibagian median di depan osofagus.
5) Brokus
Bronkus adalah percabangan yang terdapat pada unjung batang
tenggorakan/trakea. Struktur penyusun bronkus terdiri dari
jaringan ikat, jaringan oto polos, dan jaringan tulang rawan.
Bronkus yng menuju ke paru-paru sebelah kiri bentuknya lebih
mendatar, sedangkan bronkus yang menuju ke paru-paru
sebelah kanan berbentuk lebih curam.
Bronkus mempunyai dua percabangan :
Bronkus kanan. Bronkus ini lebih besar, lebih pendek, dan
lebih vertical daripada bronkus kiri sehingga cenderung sering
mengalami obstruksi oleh benda asing. Panjangnya sekitar 2,4
cm, setelah memasuki hilum, bronkus kanan terbagi menjadi
tiga cabang, satu untuk tiap lobus. Tiap cabang kemudian
terbagi menjadi saluran-saluran kecil dalam substansi paru.
Bronkus kiri. Panjangnya sekitar 5 cm dan lebih sempit
daripada bronkus kanan. Setelah sampai di hilum paru,
bronkus terbagi menjadi dua cabang, satu untuk tiap lobus.
Tiap cabang kemudia terbagi menjadi saluran-saluran kecil
dalam substansi paru.
b. Fisiologi
1) Hidung
Fungsi pernafasan pada hidung antara lain:
a) Jalan nafas pertama yang dilalui udara yang di inspirasi
b) Menghangatkan
c) Melembabkan
d) Menyaring udara
e) Alat penciuman
2) Faring
Fungsi faring antara lain:
a) Saluran nafas dan makanan. Udara masuk melalui bagian
nasal dan oral, sedangkan makanan melalui bagian oral
dan laring.
b) Penghangat dan pelembab. Dengan cara yang sama seperti
hidung, udara dihangatkan dan dilembabkan saat masuk
ke faring.
c) Berbicara. Fungsi faring dalam bahasa adalah bekerja
sebagai bilik resonansi untuk suara yang naik dari laring
(bersama sinus) membantu memberikan suara yang khas
pada tiap individu
3) Laring
Fungsi laring antara lain:
a) Produksi suara. Suara merupakan nada, volume,
resonansi. Nada suara tergantung pada panjang dan
kerapatan pita suara. Pada saat pubertas, pita suara pria
mulai bertambah panjang, sehingga nada suara pria
semakin rendah. Volume suara tergantung pada besarnya
tekanan pada pita suara yang digetarkan. Semakin besar
tekanan udara ekspirasi, semaki besar getara pita suara dan
semakin keras suara yang dihasilkan. Resonansi
bergantung pada bentuk mulut, posisi lidah dan bibir, otot
wajah, dan suara parasanal.
b) Berbicara. Berbicara terjadi saat ekspirasi ketika suara
yang dihasilkan oleh pita suara dimanipulasi oleh lidah,
pipi dan bibir.
c) Jalan masuk udara. Laring berfungsi sebagai penghubung
jalan nafas anatar faring dan trakea.
4) Trakea
Fungsi trakea antara lain:
a) Penunjang dan menjaga kepatenan. Susunan jaringan
kartilago dan elastic menjaga kepatenan jalan nafas dan
mencegah obstruksi jalan nafas saat kepala dan leher
digerakkan
b) Refleks batuk. Ujung saraf laring, trakea dan brokus peka
terhadap iritasi sehingga membangkitkan implus saraf
yang dihantarkan oleh saraf vagus ke pusat pernafasan di
batang otak.
5) Bronkus
Fungsi utama bronkus adalah menyediakan jalan bagi udara
yang masuk dan keluar paru-paru
3. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya penyakit Paru
Obstruksi Kronis menurut Nuridah (2023) adalah :
a. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15%
perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan
mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap
rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi
paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
b. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak-kanak
berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal
yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK saat
dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
c. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan
peningkatan resiko morbiditas PPOK
4. Pathway PPOK
Skema 2.1. Pathway PPOK (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Nuridah (2023) terdiri dari :
a. Batuk-batuk disertai dahak yang berlebih
b. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut
c. Penurunan berat badan akibat hilangnya nafsu makan
Selain itu, tanda dan gejala yang timbul pada pasien dengan
PPOK menurut Sangadji (2024) adalah :
a. Sesak nafas akibat adanya hipersekresi sputum
b. Bunyi napas wheezing akibat adanya eksaserbasi mikroorganisme
c. Suara nafas ronchi akibat penumpukan di jalan nafas
d. Sianosis dikarenakan menurunnya supply oksigen dalam tubuh
6. Klasifikasi
Klasifikasi PPOK menurut Kardiyudiani (2021) terdiri dari:
a. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk dengan atau
tanpa produksi sputum dan dengan sesak nafas derajat nol sampai
satu. Sementara pemeriksaan spirometrinya menunjukkan VEP1
> 80% prediksi (normal) dan VEP1/KVP <70%
b. PPOK sedang adalah pasien dengan atau tanpa gejala klinis
(batuk dengan dahak) dengan sesak yang semakin bertambah
(derajat dua), karena fungsi paru semakin berkurang.
Pemeriksaan spirometrinya menunjukkan VEP1 > 70% dan
VEP1/KVP < 80% prediksi.
c. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak nafas derajat
tiga atau empat dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih
sering terjadi. Disertai komplikasi kor pulmonum atau gagal
jantung kanan Adapun hasil spirometri menunjukkan VEP1/KVP
<70%, VEP1 <30% prediksi atau VEP1 30% dengan gagal nafas
kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisis gas
darah dengan kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau
hipoksemia dengan hiperkapnia.
7. Komplikasi
Komplikasi yang terdapat pada pasien PPOK menurut Ahmad
(2021) antara lain:
a. Masalah jantung, PPOK dapat menyebabkan detak jantung tidak
teratur dan mengalami perubahan. Kondisi ini disebut dengan
aritmia. Masalah jantung lain yang juga mungkin berisiko pada
orang dengan PPOK adalah gagal jantung.
b. Tekanan darah tinggi, PPOK dapat menyebabkan tekanan darah
tinggi pada pembuluh darah yang termasuk darah ke paru-paru.
Kondisi ini disebut hipertensi paru.
c. Infeksi pernafasan, ketika memiliki PPOK anda mungkin akan
lebih sering untuk terkena pilek, flu, atau bahkan pneumonia
(infeksi paru serius yang disebabkan oleh virus atau jamur). Infeksi
ini dapat membuat gejala anda memburuk atau menyebabkan
kerusakan paru lebih lanjut
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien PPOK menurut Ahmad
(2021) sebagai berikut:
a. Tes fungsi paru-paru (spirometri) untuk mengukur volume udara
yang dihirup dan dikeluarkan oleh pasien, serta untuk mengetahui
apakah paru-paru dapat mengirimkan oksigen dalam jumlah cukup
ke dalam darah
b. Tes darah, untuk mrengukur kadar protein alpha-1 antitrypsin
dalam darah dan menyingkirkan kemungkinan gejala disebabkan
oleh penyakit lain, seperti anemia dan polisitemia
c. Analisi gas darah arteri, untuk mengukur kadar oksigen dan
karbon dioksida dalam darah
d. Pemindaian dengan foto rontgen dan CT-Scan, untuk mendeteksi
emfisema atau gangguan lain di paru-paru
e. Elektrokardiogram (EKG) dan ekokardiogram untuk mengetahui
kondisi jantung
f. Pemeriksaan sampel dahak untuk mendeteksi kemungkinan adanya
infeksi bakteri dan jamur
9. Penatalaksanaan
a. Terapi farmakologis
Menurut Brunner & Suddarth (2019) penatalaksanaan pada pasien
penyakit paru obstruksi kronik adalah :
1) Bronkodilator, kortikosteroid dan obat lain (mis, terapi
augmentasi alfa, antitrypsin, agens antibiotic, agens mukolitik,
agens atitusif, vasodilator, narkotika). Vaksin mungkin juga
efektif.
2) Pembedahan: bulektomi untuk mengurangi dispnea,
penurunan volume paru untuk meningkatkan elastisitas dan
fungsi lobus, translantasi paru.
b. Terapi Non farmakologis
Menurut Pangandaheng (2019) penatalaksanaan pada pasien
penyakit paru obstruksi kronik adalah:
1) Berhenti merokok. Tindakan berhenti merokok merupakan
salah satu upaya utama dalam menunjang penurunan risiko
berkembangnya PPOK dan memperlambat terjadinya
progesivitas penyakit.
2) Rehabilitasi PPOK
a) Aktivitas fisik: aktivitas fisik berupa olahraga fisik sangat
disarankan pada pasien PPOK.
b) Latihan pernapasan: Teknik latihan meliputi latihan batuk
efektif, pernapasan diafragma dan pursed lips breathing.
c) Psikososial: Penyakit kronik dapat menyebabkan
terganggunya status mental seseorang.
3) Terapi oksigen, manfaat pemberian terapi oksigen antara lain
mengurangi sesak dan memperbaiki aktivitas
4) Nutrisi. Pengurangan indeks massa tubuh merupakan factor
risiko independen untuk mortalitas PPOK
i. Interaksi sosial
Gejala: hubungan krtrgantungan, kegagalan dukungan terhadap
pasangan/orang terdekat, ketidakmampuan membaik karena
penyakit lama
Tanda: ketidakmampuan untuk mempertahankan suara karena
disstres pernafasan, keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian
hubungan dengan anggota keluarga lain.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang muncul pada pasien PPOK menurut Daryaswanti
(2024) adalah sebagai berikut
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif (D.0001) berhubungan dengan
spasme jalan nafas, hipersekresi jalan nafas ditandai dengan
dispnea, sulit bicara, ortopnea, batuk tidak efektif, tidak mampu
batuk, sputum berlebih, mengi, wheezing, dan/atau ronkhi kering,
meconium dijalan napas (pada neonates), gelisah, sianosis, bunyi
napas menurun, frekuensi napas berubah dan pola napas berubah.
b. Pola napas tidak efektif (D.0005) berhubungan dengan depresi
pusat pernapasan, hmbatan upaya napas ditandai dengan dispnea,
ortopnea, pengguanaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi
memanjang, pola napas abnormal (mis, takipnea, bradipnea,
hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes), pernapasan pursed-lip,
pernapasan cuping hidung, diameter thoraks anterior-posterior
meningkat, ventilasi semenit menurun, kapasitas vital menurun,
tekanan ekspirasi menurun, tekanan inspirasi menurun, ekskursi
dan dada berubah.
c. GangguanRokok
Destruksi serat- Hipertropi Peningkatan
Polusi Udara
pertukaran gas (D.0003) berhubungan dengan
Infiltrasi Edema
Polusi Udara
Hipersensitivitas di
ketidakseimbangan
jumlah sel ventilasi-perfusi, perubahan membrane
serat elastin dan kelenjar sel-sel mukosa saluan nafas
alveolus-kapiler
kolagen di paru bronkus ditandai dengan
radang dispnea, pusing, penglihatan
bronkus
kabur, PCO2 meningkat/menurun, PO2 menurun, takikardia,Reaksi pH antigen
arteri Batuk
meningkat/menurun, Pembentukan
bunyi napasmucus tambahan, sianosis,antibody
diaphoresis,
produktifgelisah, napas cupingmeningkat
hidung, pola napas abnormal
Hilangnya (cepat/lambat, regular/regular, dalam/dangkal), warnaPelepasan kulit mediator-
elastisitas abnormal (mis, pucat, kebiruan), dan kesadaran menurun. mediator kimia
paru Bronkiolus rusak dan melebar
d. Intoleransi aktivitas (D.0056) berhubungan dengan
ketidakseimbanganBronkhitis
antaraKronik
suplai dan kebutuhan oksigen ditandai
Emfisema dengan
Penyakitmengeluh lelah, dispnea
Paru Obstruktif Kroniksaat/setelah
(PPOK) aktivitas, merasa tidak Asma
nyaman setelah beraktivitas, merasa lelah, frekuensi jantung
Spasme jalan nafas Obstruksi jalan nafas Ketidakseimbangan Ketidakseimbangan
meningkat >20% dari kondisi istirahat, tekanan darah berubah
ventilasi-perfusi antara suplai dan
>20% dari kondisi istirahat, gambaran EKG menunjukkan aritmia
Batuk tidak efektif Dispnea kebutuhan oksigen
Hipoksemia
saat/setelah beraktivitas, gambaran EKG dan
menunjukkan iskemia,
Sputum berlebih, danPola
sinosis.
napas abnormal sesak nafas Dispnea saat/setelah
Mengi, 3. Intervensi Keperawatan
dan Pernapasan cuping Gangguan aktivitas dan lemah
Intoleransi
wheezing/ronkhi Pola hidung
Intervensi
napas keperawatan pertukaran gas aktivitas
tidak efektifdari diagnose yang sudah ditetapkan pada
kering
Bersihan jalan nafas pasien PPOK menurut Daryaswanti (2024) sebagai berikut:
tidak efektif
Tabel 2.1. Intervensi Keperawatan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI,
2018 dan Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2017)
NO Diagnosa Luaran dan Intervensi
Keperawatan Kriteria hasil Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan Latihan batuk efektif
tidak efektif (D.0001) tindakan (I.01006)
berhubungan dengan keperawatan Observasi
spasme jalan nafas, selama 3 x 24 jam 1. Identifikasi
hipersekresi jalan diharapkan kemampuan batuk
nafas ditandai dengan bersihan jalan 2. Monitor adanya
dispnea, sulit bicara, napas meningkat retensi sputum
ortopnea, batuk tidak (L.01001) 3. Monitor tanda dan
efektif, tidak mampu Kriteria hasil : gejala infeksi
batuk, sputum 1. Batuk efektif saluran napas
berlebih, mengi, meningkat 4. Monitor input dan
wheezing, dan/atau 2. Produksi output cairan (mis,
ronkhi kering, sputum jumlah dan
meconium dijalan menurun karakteristik)
napas (pada 3. Mengi menurun Terapeutik
neonates), gelisah, 4. Wheezing 1. Atur posisi semi-
sianosis, bunyi napas menurun fowler atau fowler
menurun, frekuensi 5. Mekontum 2. Pasang eprlak dan
napas berubah dan (pada neonatus) bengkok di
pola napas berubah. 6. Dispnea pangkuan pasien
menurun 3. Buang sekret pada
7. Ortopnea tempat sputum
menurun Edukasi
8. Sulit bicara 1. Jelaskan tujuan dan
menurun prosedur batuk
9. Sianosis efektif
menurun 2. Anjurkan tarik
10. Gelisah napas dalam
menurun melalui hidung
11. Frekuensi selama 4 detik,
napas membaik ditahan selama 2
12. Pola napas detik kemudian
Membaik keluarkan dari
mulut dengan bibir
mencucu
(dibulatkan) selama
8 detik
3. Anjurkan
mengulangi tarik
napas dalam hingga
3 kali
4. Anjurkan batuk
dengan kuat
langsung setelah
tarik napas dalam
yang ke-3
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
mukolitik atau
2. ekspektoran, jika
perlu
4. Kondisi klinis
a. Gullian barre syndrome
b. Sklerosis multiple
c. Myasthenia grevis
d. Prosedur diagnostic (mis: bronkoskopi, transesophageal
echocardiography (TEE)
e. Depresi sistem saraf pusat
f. Cedera kepala
g. Stroke
h. Kuadriplegia
i. Sindrom aspirasi meconium
j. Infeksi saluran napas
5. Kriteria Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
Kriteria bersihan jalan nafas tidak efektif : Bersihan jalan napas
meningkat (L.01001)
Kriteria hasil:
a. Batuk efektif meningkat
b. Produksi sputum menurun
c. Mengi menurun
d. wheezing menurun
e. Mekonium (pada neonatus) menurun
f. Dispnea menurun
g. Ortopnea menurun
h. Sulit bicara menurun
i. Sianosis menurun
j. Gelisah menurun
k. Frekuensi napas membaik
l. Pola napas membaik
E. PENELITIAN TERKAIT
1. Hanifah & Hisni (2023) dengan judul analisis asuhan keperawatan
dengan intervensi fisioterapi dada dan batuk efektif terhadap
pengeluaran sputum pada pasien PPOK di Ruang Melati RSUD Pasar
Rebo. Hasil penerapan intervensi fisioterapi dada dan batuk efektif
terhadap pengeluaran sputum yang telah dilaksanakan 2 kali sehari
dalam kurung waktu 3 hari menunjukan perubahan yang signifikan
kepada tiga responden dengan PPOK ditandai berdasarkan data hasil
rata-rata evaluasi klien mengatakan sudah dapat mengeluarkan dahak
tanpa disertai nyeri saat batuk, batuk secara terus menerus berkurang,
sesak napas berkurang, terjadi perubahan sputum dari warna hingga
konsistensi dan data berdasarkan objektif didapatkan hasil rata-rata
frekuensi napas membaik menjadi 22 kali permenit dari 24-26 kali
permenit dan saturasi oksigen naik menjadi 99 persen dari sebelumnya
dibawah 90 persen.
2. Rohman, Fitri & Purwono (2021) dengan judul penerapan
clappingdan batuk efektif terhadap pengeluaran sputum pada pasien
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Hasil penerapan
menunjukkan bahwa setelah dilakukan clapping dan batuk efektif,
pengeluaran sputum pada subyek mengalami peningkatan. Bagi pasien
dan keluarga dengan PPOK yang sulit mengeluarkan sputum,
hendaknya dapat melakukan teknik clapping dan batuk efektif secara
mandiri karena clapping dan batuk efektif dapat membantu
mengeluarkan sputum.
3. Agustin, Inayati & Ayubbana (2023) dengan judul penerapan clapping
dan batuk efektif terhadap pengeluaran sputum pada pasien dengan
PPOK di Ruang Paru RSUD Jend.A Yani kota Metro tahun 2022.
Setelah dilakukan tindakan clapping dan batuk efektif selama 3 hari,
kedua subyek dapat mengeluarkan sputum, suara nafas masih
terdengar ronchi, karakteristik sputum encer.
4. Yulianti, Purwono & Utami (2022) dengan judul penerapan clapping
dan batuk efektif terhadap pengeluaran sputum pada pasien Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di kota Metro tahun 2021. Setelah
dilakukan tindakan clapping dan batuk efektif selama 1 hari
ditemukan subyek (Tn. S) dapat mengeluarkan sputum, suara nafas
ronchi berkurang, nilai RR 26 x/menit, dan saturasi oksigen 92%.
5. Anas, Agustin & Wahyudi (2023) dengan judul pengaruh latihan
batuk efektif dan fisioterapi dada terhadap pengeluaran sputum pada
pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik di RS KhususParu Karawang.
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan sebelum dilakukan
intervensi pengeluaran sputum responden sebanyak 3 orang, sesudah
dilakukan intervensi pengeluaran sputum responden sebanyak 19
orang. Dengan demikian yang didapatkan dari penelitian adalah
terdapat pengaruh latihan batuk efektif dan fisioterapi dada terhadap
pengeluaran sputum pada pasien PPOK di Ruang Rawat Inap Rs
Khusus Paru Karawang.
6. Dettasari & Istiqomah (2023) dengan judul upaya penerapan batuk
efektif dalam pengeluaran sputum pada pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK). Hari pertama batuk efektif sebelum, dahak
tidak keluar dan setelah dahak tidak keluar. Hari kedua batuk efektif
sebelum, dahak keluar 3 ml dan setelah dahak keluar 10 ml. Hari
ketiga batuk efektif sebelum, dahak keluar 10 ml dan setelah dahak
keluar 38 ml. Hasil rata-rata pengeluaran sputum 17,6 ml. Kesimpulan
teknik batuk efektif mampu membantu terapi farmakologi dalam
meningkatkan pengeluaran jumlah sputum pada pasien PPOK.
7. Maulabibi, Afni (2023) dengan judul asuhan keperawatan pada pasien
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) : Bersihan jalan napas tidak
efektif dengan intervensi batuk efektif. Hasil studi menunjukkan
bahwa pengelolaan asuhan keperewatan pada pasien dengan diagnosis
medis Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dengan masalah
keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif yang dilakukan
tindakan keperawatan intervensi latihan batuk efektif selama 1 x 24
jam didapatkan hasil terjadi penurunan respiratory rate dari 26
x/menit menjadi 23 x/menit dan bunyi napas tambahan ronkhi dari
meningkat menjadi menurun. Rekomendasi tindakan intervensi latihan
batuk efektif akan efektif dilakukan pada pasien Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK)
8. Kailasari & Novitasari (2024) dengan judul pengaruh fisioterapi dada
dan datuk efektif terhadap pasien bersihan jalan nafas tidak efektif
dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Hasil temuan
perubahan yang terjadi sebelum dan setelah terapi memungkinkan
seseorang untuk menyimpulkan bahwa terapi fisioterapi dada dan
batuk adalah pengobatan yang sangat efektif bagi pasien dengan
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang mengalami kesulitan
membersihkan saluran napas.
9. Trevia (2021) dengan judul pengaruh penerapan batuk efektif dalam
mengatasi ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada pasien Penyakit
Paru Obstruktif Kronik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value =
0,000, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan
rata-rata bunyi napas antara responden yang sebelum dan sesudah
melakukan tindakan keperawatan batuk efektif. Hal ini menunjukkan
bahwa ada pengaruh tindakan keperawatan batuk efektif terhadap
pemeriksaan bunyi napas responden pada Penyakit Paru Obstruktif
Kronik di RSU Mayjend HA Thalib Kabupaten Kerinci tahun 2021.
10. Agustina & Haryanti (2024) dengan judul asuhan keperawatan
pasien yang mengalami Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
dengan pola napas tidak efektif di Ruang Melati RSD Balung Jember.
Data yang didapatkan oleh peneliti pada catatan perkembangan klien 1
mengalami kemajuan pada hari ke 2 dan pada hari ke 3 klien
dinyatakan meninggal dunia. Sedangkan pada klien 2 mengalami
kemajuan yang signifikan serta menunjukkan bahwa sesak mulai
berkurang dan sudah bisa batuk efektif.
F. KERANGKA KONSEP
Kerangka konseptual merupakan hasil sintesis, abstraksi, dan
ekstrapolasi dari berbagai teori dan pemikiran ilmiah, yang
mencerminkan paradigma penelitian, artinya kerangka konseptual
didasarkan pada tinjauan pustaka yang telah disampaikan pada BAB 2
(Setyawan,2017).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada proposal ini yaitu penelitian
kuantitatif dengan desain penelitian deskriftif melalui pendekatan studi
kasus. Menurut Sinambela (2022), penelitian deskriptif adalah penelitian
yang mendeskripsikan karakteristik dari suatu populasi tentang suatu
fenomena yang diamati. Rancangan studi kasus adalah suatu penyelidikan
yang intensif terhadap sesorang, atau kelompok yang dilakukan secara
mendalam dengan menentukan berbagai variable penting yang terkait
dengan individu atau kelompok yang diteliti (Sinambela, 2022)
B. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini akan dilakukan di Ruang Cendrawasi Rumah Sakit
Vita Insani Pematangsiantar mulai bulan April sampai Mei 2024
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari,
dan kemudian ditarik kesimpulannnya (Sinambela, 2022). Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh pasien PPOK yang di Rumah Sakit
Vita Insani Pematangsiantar
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut (Sinambela, 2022). Sampel untuk
penelitian ini sebanyak 2 responden yang mengalami penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK). Pengambilan sampel dalam penelitian ini
yaitu menggunakan purposive sampling. Adapun kriteria sampel
dalam penelitian ini adalah :
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subyek penelitian
mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai
sampel (Kurniawan, 2021)
Kriteria inklusi dalam penelitian ini, adalah :
1) Pasien dirawat di Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar
2) Pasien kooperatif
3) Pasien dengan jenis kelamin laki-laki
4) Pasien yang menderita penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) dengan rentang umur 40-70 tahun
5) Pasien dalam keadaan sadar penuh
6) Pasien yang bersedia diikut sertakan dalam penelitian
b. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subyek penelitian
tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat
(Kurniawan, 2021).
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini, adalah
1) Pasien yang tidak bersedia menjadi responden
2) Pasien yang tidak kooperatif
3) Pasien yang tidak sadar
D. Defenisi Operasional
Defenisi operasional adalah uraian tentang variabel yang dimaksud
atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan (Iriani,
2022)
Defenisi operasional dalam penelitian ini adalah:
1. Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit pada paru yang
ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang
dapat diakibatkan oleh penumpukkan sputum.
2. Latihan batuk efektif adalah salah satu cara untuk membersihkan
sputum dan melatih pasien yang tidak mampu batuk secara efektif.
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah ketidakmampuan
membersihkan sumbatan jalan napas dan mempertahankan jalan nafas
tetap paten.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat ukur yang gunakan untuk
mengukur suatu fenomena atau variabel yang diamati oleh peneliti
(Sinambela, 2022). Instrumen yang digunakan dalam penelitian terdiri
dari: standar operasional prosedur kegiatan latihan batuk efektif dan
mengeluarkan sputum, format pengkajian keperawatan medikal bedah.
F. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan suatu cara yang digunakan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data terkait permasalahan penelitian yang
diambilnya (Hidayatullah, 2023). Data yang akan dikumpulkan setelah
mendapatkan izin dari Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar. Peneliti
menentukan responden berdasarkan kriteria inklusi dengan menggunakan
teknik purposive sampling, kemudian peneliti menjelaskan waktu, tujuan
dan prosedur pelaksanaan penelitian kepada calon pasien. Pasien yang
bersedia dalam penelitian ini akan diberikan informed consent dan data
yang dikumpulkan penulis yaitu dengan melakukan observasi, wawancara
dan dokumentasi.
G. Etika Penelitian
Etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan
bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya
dilakukan seseorang terhadap orang lain (Uliyah, 2022)
Prinsip etik menurut uliyah adalah sebagai berikut :
1. Otonomi (Autonomy)
Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang
menuntut pembedaan diri. Dalam hal ini peneliti tidak memaksa hak
responden untuk beragumentasi.
2. Berbuat baik (Beneficience)
Peneliti mampu memberikan upaya pelayanan kesehatan dengan baik
dan menghargai etik otonomi responden.
3. Keadilan (Justice)
Peneliti melakukan terapi yang sama dan adil terhadap orang yang
berpartisipasi sebagai responden.
4. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Peneliti mampu melakukan tindakan dengan tidak menimbulkan
bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran dan tidak ada yang di
sembunyikan.
7. Kerahasiaan (Confidentiality)
Peneliti tidak mencantumkan nama responden yang bertujuan untuk
menjaga kerahasiaan data pribadi.