OLEH:
19J10169
FAKULTAS KESEHATAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gaya hidup dan lingkungan yang tidak sehat merupakan hal yang
sangat berperan dalam penyebaran penyakit ini. Kurangnya pemahaman
dalam menjaga gaya hidup dan menjaga kesehatan lingkungan akan
memberi dampak pada kualitas hidup seseorang, seperti: kebiasaan
merokok, polusi udara, polusi lingkungan dan perubahan cuaca. Menurut
Brunner & Suddarth (2015) kebiasaan inilah yang membuat penyebab
penyakit PPOK, yang terjadi dalam rentang waktu 20 tahun sampai 30
tahun.
Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok
terbesar di dunia setelah Cina dan India. Peningkatan konsumsi rokok
berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok dan
bertambahnya angka kematian akibat rokok. Hampir 80% perokok mulai
merokok ketika usianya belum mencapai 19 tahun (Sari et al., 2015).
Banyak penyakit dikaitkan secara langsung dengan kebiasaan merokok,
dan salah satu yang harus diwaspadai adalah penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) (Susanti, 2015). Hal ini dikarenakan kandungan tembakau
yang terdapat di dalam rokok dapat merangsang produksi sputum sehingga
akan menimbulkan masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas
(Supraba, 2016).
Terjadinya penumpukan sputum di jalan napas akan
mengakibatkan jalan napas menyempit, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya obstruksi jalan napas yang dapat mengganggu pergerakan udara
dari dan ke luar paru. Terjadinya gangguan pergerakan udara dari dan ke
luar paru akan mengakibatkan penurunan kemampuan batuk efektif. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya masalah ketidakefektifan bersihan jalan
napas. Jika tidak segera di atasi akan menyebabkan peningkatan kerja
pernapasan, hipoksemia secara revesible sampai terjadi gangguan
9
bronchial (Brunner dan Sudart, 1997 dalam Andayani & Supriyadi, 2014).
Selain itu ada intervensi lain yang termasuk dalam terapi farmakologis
mukolitik yang bisa dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien
PPOK dengan masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas
adalah madu. Madu dapat mencegah terjadinya PPOK, dengan kandungan
antioksidannya madu mencegah terjadinya peningkatan mukus, perubahan
sel epitel jalan nafas, dan penyempitan pada jalan nafas yang irreversibe
(Saputra & Wulan, 2016).
Berdasarkan latar belakang di atas, didapatkan bahwa masalah
ketidakefektifan bersihan jalan napas mempunyai pengaruh besar terhadap
kondisi pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk mengeksplorasi asuhan keperawatan pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dengan masalah
keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas di ruang ICU RSUD
Wangaya Denpasar.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan untuk melakukan
analisa terhadap kasus kelolaan pada pasien Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) dengan intervensi chest physiotherapy (clapping) dan
batuk efektif terhadap masalah keperawatan Ketidakefektifan Bersihan
Jalan Nafas di Ruang ICU RSUD Wangaya Denpasar.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi kasus kelolaan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) yang dirawat diruang ICU RSUD
Wangaya yang meliputi pengkajian, diagnose keperawatan,
rencana keperawatan, implementasi, evaluasi dan dokumentasi.
b. Menganalisis intervensi chest physiotherapy (clapping) dan batuk
efektif terhadap ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang
diterapkan secara kontinyu pada pasien kelolaan.
12
C. Manfaat
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan informasi bagi penulis tentang asuhan
keperawatan dengan masalah PPOK, selain itu diharapkan dapat
menjadi salah satu cara penulis dalam mengaplikasikan ilmu
keperawatan yang diperoleh di dalam perkuliahan.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Manfaat penulisan studi kasus ini sebagai masukan dan tambahan
wacana pengetahuan, menambah wacana bagi mahasiswa ITEKES
Bali tentang pemberian Asuhan Keperawatan pada pasien PPOK.
3. Bagi Institusi Rumah Sakit
Bagi institusi rumah sakit diharapkan dapat bermanfaat sebagai
wacana dalam hal asuhan keperawatan pada pasien PPOK sehingga
dapat meningkatkan mutu dari penerapan asuhan keperawatan
terutama pada pasien PPOK.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Bronkitis Kronik
2. Emfisema
Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal
ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding
alveoli. Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area
permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru
secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan di area paru
dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi dan
mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen
mengakibatkan hipoksemia (Brunner & Suddarth, 2015).
3. Asma Bronkhial
Asma adalah gangguan pada bronkus yang ditandai
adanya bronkospasme periodik yang reversible ( kontraksi
berkepanjangan bronkus). Gangguan ini melibatkan
beberapa faktor antara lain biokimia, imunologis, endokrin,
infeksi, otonom, dan psikologis. Penyakit asma diakibatkan
oleh faktor keturunan dan faktor lingkungan (infeksi virus,
alergen, polutan). Faktor lain yang memicu (stress,
tertawa,dan menangis yang berlebihan), olahraga,
perubahan suhu, dan bau yang menyengat. Hal tersebut bisa
menyebabkan saluran napas akan meradang yang
menyebakan kesulitan bernapas (Black & Hawks, 2014).
2. Klasifikasi
Klasifikasi PPOK menurut (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Decease [GOLD] 2014) berdasarkan atas kapasitas
VEP yang diuraikan dalam table di bawah ini.
Tabel 1. Klasifikasi PPOK (GOLD, 2014).
(http://genggaminternet.com/pengertian-pernapasan-dan-alat-alat-
pernapasan/)
16
a) Rongga Hidung
b) Faring
4. Patofisiologi
a. Etiologi
Etiologi menurut ( Brunner & Suddarth, 2015).
1) Merokok sigaret
2) Polusi udara (asap rokok, asap kendaraan, debu)
3) Pajanan di tempat kerja (batu bara, katun, biji-bijian padi)
b. Proses Terjadinya
Obstruksi jalan napas menyebabkan reduksi aliran udara yang
beragam bergantung pada penyakit. Pada bronkitis kronis asap
mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan
inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang
mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia
menurun dan lebih banyak lendir yang dihasilkan sehingga bronkiolus
menyempit dan tersumbat. Faktor resiko lain yang dapat memicu yaitu
perokok pasif dan terkena polusi udara (Padila, 2012). Pada emfisema
obstruksi terjadi karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area
permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara
kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru
dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan
kerusakan difusi oksigen (Brunner & Suddarth, 2015). Pada asma
gangguan pada bronkus ditandai adanya bronkospasme. Faktor
lingkungan yang yang bisa mencetuskan yaitu infeksi virus, allergen,
dan pulutan. Faktor lain yang bisa memicu yaotu stress, tertawa,
menangis yang berlebihan, olahraga, perubahan suku dan bau yang
menyengat. Faktor tersebut bisa menginflamasi saluran napas dan
menyebabkan obstruksi saluran napas (Black & Hawks, 2014).
Pada PPOK merokok, polusi udara dan paparan di tempat kerja
(terhadap batu bara, katun dan biji- bijian padi) merupakan faktor risiko
penting yang menunjang terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi
dalam rentang lebih dari 20-30 tahun (Brunner & Suddarth, 2015).
26
c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut ( Brunner & Suddarth, 2015).
1) PPOK dicirikan oleh batuk kronis, produksi sputum, dan dispnea
saat mengerahkan tenaga kerap memburuk seiring dengan waktu.
2) Penurunan berat badan sering terjadi.
3) Gejala yang spesifik dengan penyakit seperti, Bronkitis, Asma
Bronkial, dan Emfisema.
d. Komplikasi
1) Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang
dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya
klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan
pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis.
2) Asidosis Respiratorik
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda
yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, letargi, dizzines,
tachipnea.
3) Infeksi Respiratorik
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema
mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas
dan timbulnya dispnea.
4) Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus diobservasi terutama pada pasien dengan dispnea berat.
Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronkitis kronis,
tetapi pasien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah
ini.
5) Kardiak Disritmia
Timbul akibat dari hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat
atau asidosis respiratorik.
27
6) Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam
kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang
biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi
vena leher seringkali terlihat.
2. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik menurut (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2012).
a. Pemeriksaan Diagnostik seperti,
1) Sinar X dada : Dapat menyatakan hiperinflasi paru- paru;
mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal;
penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda
bronkovaskuler (bronkitis); hasil normal selama periode remisi
(asma).
2) Tes fungsi paru : Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau
restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk
mengevaluasi efek terapi, misalnya: bronkodilator.
3) TLC (Total Lung Capacity) : Peningkatan pada luasnya bronkitis
dan kadang- kadang pada asma; penurunan emfisema.
4) Kapasitas inspirasi : Menurun pada emfisema.
5) Volume residu : Meningkat pada emfisema, bronkitis kronis dan
asma.
6) Forced Expiratory Flow (F EV 1)/ Forced Vital Capacity (FVC) :
Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun
pada bronkitis dan asma.
7) EKG (Elektrokardiogram): Deviasi aksis kanan, peninggian
gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian
gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis
vertikal QRS (emfisema).
28
6. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis menurut (Soeroto & Suryadinata, 2014)
a. Terapi Farmakologis
1) Bronkodilator : pengobatan yang berguna untuk meningkatkan
FEV 1 atau mengubah variable spirometri dengan cara
mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas, seperti
antikolinergik.
2) Kortikosteroid : kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara
regular dapat memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta
mengurangi frekuensi eksaserbasi.
29
3) Edukasi
Edukasi yang tepat diharapkan dapa mengurangi kecemasan pasien
PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan
aktivitas. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuikan
dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan
sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
a. Aktivitas/Istirahat
1) Gejala
Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan melakukan
aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas, ketidakmampuan untuk
tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi, dispnea pada saat
istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
31
2) Tanda
Keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan massa
otot.
b. Sirkulasi
1) Gejala
Pembengkakan pada ekstremitas bawah.
2) Tanda
Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi
jantung/takikardia berat, disritmia, distensi vena leher (penyakit
berat), edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit
jantung, bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan
peningkatan diameter anterior posterior dada), warna kulit atau
membran mukosa: normal atau abu-abu/sianosis; kuku tabuh dan
sianosis perifer, pucat dapat menunjukkan anemia.
c. Integritas Ego
1) Gejala
Peningkatan faktor risiko, perubahan pola hidup.
2) Tanda
Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
d. Makanan/Cairan
1) Gejala
Mual/muntah, nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema),
ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan,
penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat
badan menunjukkan edema (bronkitis).
2) Tanda
Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat,
penurunan berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan
(emfisema), palpitasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali
(bronkitis).
32
e. Higiene
1) Gejala
Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
2) Tanda
Kebersihan buruk, bau badan.
f. Pernapasan
1) Gejala
Napas pendek (muncul tersembunyi dengan dispnea
sebagai gejala menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja,
cuaca atau episode berulangnya sulit bernapas (asma), rasa dada
tertekan, ketidakmampuan untuk bernapas (asma), batuk menetap
dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun)
selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun setidaknya 2
tahun. Produksi sputum (hijau, putih, kuning) dapat banyak sekali
(bronkitis kronis). Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak
produktif pada tahap dini meskipun dapat menjadi produktif
(emfisema).
Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia
/iritan pernapasan dalam jangka panjang (misalnya rokok sigaret)
atau debu/asap (misalnya asbes, debu batubara, rami katun, serbuk
gergaji). Faktor keluarga dan keturunan, misalnya defisiensi alfa-
antitripsin (emfisema). Penggunaan oksigen pada malam hari atau
terus menerus.
2) Tanda
Pada pernapasan biasanya cepat, dapat lambat, fase
ekspirasi memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema).
Lebih memilih tiga posisi (“tripod”) untuk bernapas (khususnya
dengan eksaserbasi akut bronkitis kronis). Penggunaan otot bantu
pernapasan, misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa
supraklavikula, melebarkan hidung. Pada dada dapat terlihat
hiperinflasi dengan peninggian diameter Anterior Posterior
33
(6) Kolaborasi
Berikan humidifikasi tambahan, misalnya nebulizer
Rasional: Kelembaban menurunkan kekentalan sekret,
mempermudah pengeluaran dan dapat
membantu menurunkan/mencegah
pembentukan mukosa tebal pada bronkus.
2) Kerusakan Pertukaran Gas
a) Hasil yang diharapkan: menunjukkan perbaikan ventilasi dan
oksigenasi jaringan adekuat dengan AGD dalam rentang normal
PaO2 55 mmHg dan bebas gejala distress pernapasan.
b) Intervensi
(1) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan
otot aksesori, napas bibir, ketidakmampuan
bicara/berbincang.
Rasional: Berguna dalam evaluasi derajat distress
pernapasan dan/kronisnya proses penyakit.
(2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih
posisi yang mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam
perlahan atau napas bibir sesuai kebutuhan /toleransi
individu.
Rasional: Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan
posisi duduk tinggi dan latihan napas untuk
menurunkan kolaps jalan napas, dispnea, dan
kerja napas.
(3) Dorong pengeluaran sputum; penghisapan bila
diindikasikan.
38
4. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan adalah pelaksaan dari rencana intervensi untuk
mencapai tujuan yang spesifik.Tahap implementasi dimulai setelah
rencana intervensi disusun untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu rencana yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien
(Nursalam, 2011).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan,
rencana intervensi, dan implementasinya. Tahap evaluasi memungkinkan
perawat untuk memonitor “keadaan” yang terjadi selama tahap pengkajian,
analisis, perencanaan, dan implementasi, intervensi. (Nursalam, 2011).
C. WOC : Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK )
perokok pasif, polusi udara, Penurunan kontak area permukaan Fase sensitifasi, peningkatan IgE
Iritasi jalan napas alveolar dengan kapiler paru Alergen mengikat IgE
Penumpukan lendir & sekresi yang Peningkatan ruang rugi Melekat pada sel Mast
sangat banyak, batuk tidak efektif, Kerusakan difusi O 2 Mediator- mediator terlepas : Histamin,
Ketidakefektifan
Bersihan Jalan
perubahan irama dan frekuensi pernapasan Gangguan transfer udara Leukotrien, Bradikinin
Napas
Bronkitis Kronik dari dan keluar paru Edema lokal Sekresi mukus Spasme otot
Hiperaktifitas bronkus
Dispnea, kesulitan untuk tidur,
Asma Bronkial
keletihan saat bangun Kesulitan bernapas
49
Gangguan Pola Tidur
Peningkatan frekuensi pernapasan,
Sumber : (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2012; Padila, 2012; Black & Hawks, 2014).
50
51