Anda di halaman 1dari 41

ANALISIS KEEFEKTIFAN CHEST PHYSIOTHERAPY (CLAPPING) DAN

BATUK EFEKTIF TERHADAP KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN


JALAN NAFAS PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIS (PPOK) DI RUANG ICU RSUD WANGAYA DENPASAR

OLEH:

I GEDE WIRAWAN RANGGA PUTRA

19J10169

FAKULTAS KESEHATAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN (ITEKES) BALI

TAHUN AJARAN 2020


8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gaya hidup dan lingkungan yang tidak sehat merupakan hal yang
sangat berperan dalam penyebaran penyakit ini. Kurangnya pemahaman
dalam menjaga gaya hidup dan menjaga kesehatan lingkungan akan
memberi dampak pada kualitas hidup seseorang, seperti: kebiasaan
merokok, polusi udara, polusi lingkungan dan perubahan cuaca. Menurut
Brunner & Suddarth (2015) kebiasaan inilah yang membuat penyebab
penyakit PPOK, yang terjadi dalam rentang waktu 20 tahun sampai 30
tahun.
Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok
terbesar di dunia setelah Cina dan India. Peningkatan konsumsi rokok
berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok dan
bertambahnya angka kematian akibat rokok. Hampir 80% perokok mulai
merokok ketika usianya belum mencapai 19 tahun (Sari et al., 2015).
Banyak penyakit dikaitkan secara langsung dengan kebiasaan merokok,
dan salah satu yang harus diwaspadai adalah penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) (Susanti, 2015). Hal ini dikarenakan kandungan tembakau
yang terdapat di dalam rokok dapat merangsang produksi sputum sehingga
akan menimbulkan masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas
(Supraba, 2016).
Terjadinya penumpukan sputum di jalan napas akan
mengakibatkan jalan napas menyempit, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya obstruksi jalan napas yang dapat mengganggu pergerakan udara
dari dan ke luar paru. Terjadinya gangguan pergerakan udara dari dan ke
luar paru akan mengakibatkan penurunan kemampuan batuk efektif. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya masalah ketidakefektifan bersihan jalan
napas. Jika tidak segera di atasi akan menyebabkan peningkatan kerja
pernapasan, hipoksemia secara revesible sampai terjadi gangguan
9

pertukaran gas hingga menyebabkan kematian (Muttaqin, 2009 dalam


Rahayu, 2016).
Pada tahun 2020 PPOK diprediksi sebagai penyebab kematian
keempat di dunia, dan menjadi tantangan bagi dunia kesehatan untuk dapat
dicegah dan diobati. Data World Health Organization (WHO),
menunjukkan bahwa lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada
tahun 2012, yakni sebesar 6% dari semua kematian global tahun itu dan
lebih dari 90% kematian PPOK terjadi di negara berpenghasilan rendah
dan menengah (Putra, 2017). Prevalensi PPOK di negara-negara Asia
Tenggara prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China
(6,5%) dari total penduduknya (Saftarina et al., 2017). Sedangkan Di
Indonesia, PPOK menempati urutan kelima sebagai penyakit penyebab
kematian dan diperkirakan akan menduduki peringkat ke-3 pada tahun
2020 mendatang (Susanti, 2015).
Di Indonesia prevalensi PPOK umur ≥ 30 tahun, sebanyak 3,7%.
Dimana indeks prevalensi tertinggi mencapai 10,0% di Nusa Tenggara Timur
dan indeks prevalensi terendah 1,4% di Lampung. Prevalensi PPOK di Bali
khususnya mencapai angka 3,5% pada tahun 2013. Prevalensi PPOK
meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dimana pravelensi tertinggi
pada usia ≥ 75tahun yang mencapai angka 9,4% dan prevalensi terendah
mencapai angka 1,6% pada umur 25-34 tahun (RISKESDAS 2013).
Prevalensi PPOK di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat,
salah satunya disebabkan oleh banyaknya jumlah perokok di Indonesia.
Secara nasional konsumsi tembakau di Indonesia cenderung meningkat
dari 27% pada tahun 1995 menjadi 36.3% pada tahun 2013
(Kusumawardani et al., 2016). Dari hasil studi pendahuluan yang
dilakukan di Poliklinik Paru RSUD Wangaya Denpasar ditemukan bahwa
sebagian besar pasien menjalani rawat inap lebih dari sekali dalam
setahun. Pasien hanya mengandalkan obat-obatan yang diperoleh dari
rumah sakit dan apabila obatnya sudah habis pasien mengatakan
kebingungan mengenai tindakan apa yang mesti dilakukan untuk
mempertahankan kondisinya. Selama ini edukasi yang diberikan di rumah
10

sakit hanya sebatas imbauan untuk menghindari faktor resiko seperti


merokok, asap berbahaya dan debu. Edukasi mengenai manajemen
perawatan diri secara menyeluruh belum pernah diberikan. Intervensi
manajemen perawatan diri membantu pasien dengan PPOK memperoleh
dan melatih keterampilan yang mereka butuhkan untuk melaksanakan
rejimen medis penyakit tertentu, memandu perubahan perilaku kesehatan
dan memberikan dukungan emosional untuk memungkinkan pasien
mengontrol penyakit mereka.
Terjadinya penumpukan sputum di jalan napas akan
mengakibatkan jalan napas menyempit, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya obstruksi jalan napas yang dapat mengganggu pergerakan udara
dari dan ke luar paru. Terjadinya gangguan pergerakan udara dari dan ke
luar paru akan mengakibatkan penurunan kemampuan batuk efektif. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya masalah ketidakefektifan bersihan jalan
napas (Muttaqin, 2009 dalam Rahayu, 2016). Oleh karena itu, untuk
mencegah terjadinya komplikasi tersebut, maka pada pasien PPOK dengan
masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas harus segera
diberikan penanganan yang benar tepat dan berkualitas yaitu terapi
farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologis yang dapat
dilakukan adalah bronkodilator, metylxanthine, kartikosteroid,
phosphodiesterase-4 inhibator. Sedangkan intervensi lain: vaksin, alpha-
1augmentation therapy, antibiotik, mukolitik, immunoregulators, antitusif,
vasodilator, narkotik (morfin) (Soeroto & Suryadinata, 2014). Intervensi
keperawatan yang diberikan untuk pasien PPOK dengan masalah
keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas yaitu manajemen jalan
napas, pengisapan jalan napas, kewaspadaan aspirasi, manajemen asma,
peningkatan batuk, pengaturan posisi, pemantauan pernapasan dan bantaun
ventilasi (Wilkinson, 2017).
Berkaitan dengan manajemen jalan napas, intervensi pendukung
yang bisa dilakukan adalah teknik clapping dan batuk efektif. Clapping
dan batuk efektif adalah teknik menggunakan posisi spesifik yang
memungkinkan gaya gravitasi untuk membantu dalam membuang sekresi
11

bronchial (Brunner dan Sudart, 1997 dalam Andayani & Supriyadi, 2014).
Selain itu ada intervensi lain yang termasuk dalam terapi farmakologis
mukolitik yang bisa dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien
PPOK dengan masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas
adalah madu. Madu dapat mencegah terjadinya PPOK, dengan kandungan
antioksidannya madu mencegah terjadinya peningkatan mukus, perubahan
sel epitel jalan nafas, dan penyempitan pada jalan nafas yang irreversibe
(Saputra & Wulan, 2016).
Berdasarkan latar belakang di atas, didapatkan bahwa masalah
ketidakefektifan bersihan jalan napas mempunyai pengaruh besar terhadap
kondisi pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk mengeksplorasi asuhan keperawatan pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dengan masalah
keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas di ruang ICU RSUD
Wangaya Denpasar.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan untuk melakukan
analisa terhadap kasus kelolaan pada pasien Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) dengan intervensi chest physiotherapy (clapping) dan
batuk efektif terhadap masalah keperawatan Ketidakefektifan Bersihan
Jalan Nafas di Ruang ICU RSUD Wangaya Denpasar.

2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi kasus kelolaan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) yang dirawat diruang ICU RSUD
Wangaya yang meliputi pengkajian, diagnose keperawatan,
rencana keperawatan, implementasi, evaluasi dan dokumentasi.
b. Menganalisis intervensi chest physiotherapy (clapping) dan batuk
efektif terhadap ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang
diterapkan secara kontinyu pada pasien kelolaan.
12

C. Manfaat
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan informasi bagi penulis tentang asuhan
keperawatan dengan masalah PPOK, selain itu diharapkan dapat
menjadi salah satu cara penulis dalam mengaplikasikan ilmu
keperawatan yang diperoleh di dalam perkuliahan.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Manfaat penulisan studi kasus ini sebagai masukan dan tambahan
wacana pengetahuan, menambah wacana bagi mahasiswa ITEKES
Bali tentang pemberian Asuhan Keperawatan pada pasien PPOK.
3. Bagi Institusi Rumah Sakit
Bagi institusi rumah sakit diharapkan dapat bermanfaat sebagai
wacana dalam hal asuhan keperawatan pada pasien PPOK sehingga
dapat meningkatkan mutu dari penerapan asuhan keperawatan
terutama pada pasien PPOK.
13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori Kasus


Konsep Dasar Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
1. Definisi
PPOK merupakan penyakit yang dapat terjadi sebagai hasil dari
peningkatan resistensi sekunder terhadap edema mukosa bronkus atau
kontraksi otot polos serta penurunan kelenturan pada emfisema (Black
& Hawks, 2014).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang
dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yang tidak dapat pulih
sepenuhnya (Brunner & Suddarth, 2015).
PPOK adalah penyakit dengan karakteristik hambatan aliran udara
menetap dan progresif yang disertai dengan peningkatan respon
inflamasi kronis pada saluran napas dan paru terhadap partikel
berbahaya (Tanto, Liwang, Hanifari & Pradipta , 2016 ).
a. Gambaran Klinis

1. Bronkitis Kronik

Bronkitis Kronik didefinisikan sebagai adanya batuk


produktif selama 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun
berturut-turut. Bronkitis kronik bisa dikenali dengan adanya
pengeluaran sekret yang berlebihan dari trakeo-bronchial dan
terakumulasisetiap hari selama paling tidak 3 bulan pertahun
selama dua tahun berturut-turut. Merokok diperkirakan menjadi
penyebab timbulnya 80-90% kasus PPOK. Faktor resiko
lainnya termasuk keadaan sosial-ekonomi dan status pekerjaan
yang rendah, kondisi lingkungan yang buruk karena dekat
lokasi pertambangan, perokok pasif, atau terkena polusi udara
dan konsumsi alkohol yang berlebih (Padila, 2012).
14

2. Emfisema
Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal
ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding
alveoli. Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area
permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru
secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan di area paru
dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi dan
mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen
mengakibatkan hipoksemia (Brunner & Suddarth, 2015).
3. Asma Bronkhial
Asma adalah gangguan pada bronkus yang ditandai
adanya bronkospasme periodik yang reversible ( kontraksi
berkepanjangan bronkus). Gangguan ini melibatkan
beberapa faktor antara lain biokimia, imunologis, endokrin,
infeksi, otonom, dan psikologis. Penyakit asma diakibatkan
oleh faktor keturunan dan faktor lingkungan (infeksi virus,
alergen, polutan). Faktor lain yang memicu (stress,
tertawa,dan menangis yang berlebihan), olahraga,
perubahan suhu, dan bau yang menyengat. Hal tersebut bisa
menyebabkan saluran napas akan meradang yang
menyebakan kesulitan bernapas (Black & Hawks, 2014).

2. Klasifikasi
Klasifikasi PPOK menurut (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Decease [GOLD] 2014) berdasarkan atas kapasitas
VEP yang diuraikan dalam table di bawah ini.
Tabel 1. Klasifikasi PPOK (GOLD, 2014).

Klasifikasi Spesifikasi Spirometri

GOLD 1 Ringan VEP 1 ≥ 80 % prediksi


15

GOLD 2 Sedang 50 % ≤ VEP1 <80 % prediksi

GOLD 3 Berat 30 % ≤ VEP 1<50 % prediksi

GOLD 4 Sangat Berat VEP 1< 30 % prediksi

1. Anatomi dan Fisiologi

Anatomi dan Fisiologi sistem pernapasan menurut (Black & Hawks,


2014) adalah sebagai berikut:
a. Anatomi Sistem Pernapasan

Gambar 1. Anatomi & Fisiologi Sistem Pernapasan

(http://genggaminternet.com/pengertian-pernapasan-dan-alat-alat-

pernapasan/)
16

1) Saluran Napas Atas

a) Rongga Hidung

Hidung terbentuk dari tulang dan kartilago (tulang rawan).


Tulang nasal membentuk septum nasi / jembatan hidung, dan
sisi hidung lainnya tersusun oleh tulang rawan dan jaringan
pengikat. Tiap lubang hidung pada wajah (nostril atau nares)
bersambung ke suatu ruangan (vestibulum). Vestibulum pada
bagian depan dilapisi oleh kulit dan rambut yang akan
menyaring objek asing dan mencegah agar tidak terinhalasi.
Vestibulum posterior dilapisi oleh membrane mukosa yang
terdiri atas sel epitel kolumner dan sel goblet yang
menyekresikan mukus. Membran mukosa meluas sepanjang
saluran napas dan silia (tonjolan menyerupai rambut)
mengeluarkan mukus ke faring untuk dieliminasi dengan cara
dibatukkan atau ditelan. Bagian membrane mukosa dilapisi oleh
epitel khusus (olfaktorius) yang memberi sensasi penghidu.
Oleh karena epitel olfaktorius tidak terletak pada tempat yang
biasa dialiri udara pernapasan, maka penghiduan atau
penciuman ditingkatkan dengan usaha mengendus.
Pada sisi vestibulum terdapat turbinatus/konka yang
mengandung suplai darah, yang berfungsi sebagai
menghangatkan dan melembabkan udara yang diinspirasikan.
Macam – macam sinus paranasal yaitu, frontalis,
ethmoidalis, sfenoidalis, dan maksilaris. Aliran dari sinus
paranasalis mengalir ke rongga hidung. Duktus nasolakrimalis
yang mengalirkan air mata juga mengalirkan ke rongga hidung.
Secara umum hidung mempunyai fungsi menghangatkan,
melembabkan, dan menyaring udara.
17

b) Faring

Faring adalah saluran berbentuk corong yang memanjang


dari tulang hidung ke laring. Faring dapat dibagi menjadi 3
bagian yaitu, nasofaring, orofaring, dan laringofaring
(hipofaring).
Nasofaring berlokasi di atas tepi palatum molle dan
menerima udara dari rongga hidung. Dari telinga, tuba
eustachius terhubung dengan nasofaring. Tonsil faring (disebut
adenoid jika mengalami pembesaran) berlokasi pada dinding
posterior nasofaring.
Orofaring berperan pada respirasi dan pencernaan.
Orofaring menerima udara dari nasofaring dan makanan dari
rongga mulut. Tonsil palatina (fausial) berlokasi di sepanjang
sisi mulut bagian posterior dan tonsilia lingualis berlokasi pada
dasar lidah.
Laringofaring (hipofaring) berlokasi dibawah dasar lidah
dan merupakan bagian faring paling inferior. Laringofaring
menghubungkan laring dan berperan pada pernapasan dan
pencernaan.
c) Laring
Laring biasanya disebut sebagai kotak suara (voice box).
Laring menghubungkan saluran napas atas (faring) dan bawah
(trakea). Laring terletak anterior esofagus atas. Sembilan
kartilago membentuk laring; tiga buah kartilago tunggal yang
besar (epiglotis, tiroid, krikoid) dan ada tiga pasang kartilago
yang lebih kecil (aritenoida, kornikulata, kuneiformis). Kartilago
melekat pada tulang hioid disebelah atas dan di sebelah bawah
melekat pada trakea oleh otot dan ligamen, semua struktur ini
mencegah laring mengalami kolaps selama inspirasi dan
menelan.
Laring terdiri atas endolaring dan kartilago dan tulang
berbentuk segitiga yang mengelilinginya. Endolaring terbentuk
18

dari dua pasang lipatan jaringan, membentuk plika vokalis palsu


dan plika vokalis sejati. Celah di antara plika vokalis disebut
glotis. Epiglotis suatu struktur seperti daun terletak langsung di
bawah dasar lidah, terletak diatas laring. Ketika makan atau
cairan ditelan, epiglottis menutup laring, melindungi saluran
napas bawah dari aspirasi.
Kartilago tiroid menonjol di depan laring membentuk
jakun( Adam apple). Kartilago krikoid terletak dibawah
kartilago tiroid dan merupakan tempat anatomis untuk membuat
lubang buatan ke trakea (trakeostomi atau krikotiroidektomi).
Bagian dalam laring tersusun atas otot – otot yang membantu
menelan, berbicara, dan bernapas serta berkontribusi pada nada
suara. Suplai darah ke laring melalui cabang arteri tiroid.
Inervasi saraf melalui nervus laringeal rekuren dan nervus
laringeal superior.

2) Saluran Napas Bawah


a) Trakea
Trakea (pipa udara) memanjang dari laring ke bawah
setinggi vertebra torakalis 7, yang kemudian bercabang menjadi
bronkus primer (utama). Tempat percabangan disebut sebagai
karina. Trakea adalah suatu jalan napas muskular dan fleksibel
dengan panjang 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk huruf
C. Bersama dengan daerah saluran napas bawah yang lain,
trakea dilapisi epitel kolumna berlapis semu yang mengandung
sel goblet (sel yang menghasilkan mukus) dan silia. Oleh karena
silia bergetar ke atas, menuju ke faring. Pada alveoli tidak
terdapat silia.
b) Bronkus dan Bronkiolus
Bronkus utama kanan lebih pendek dan lebih luas,
berjalan lebih vertikal ke bawah dibandingkan bronkus utama
kiri. Dengan demikian, benda asing lebih mudah masuk ke
19

bronkus kanan dibanding bronkus kiri. Bronki segmental dan


subsegmental adalah subdivisi dari bronki utama dan menyebar
menyerupai pohon terbalik menuju ke masing – masing paru.
Kartilago menyelubungi jalan napas di bronki tetapi pada
bronkioli (jalan napas terakhir sebelum sampai ke alveoli)
kartilago menghilang sehingga bronkioli dapat mengalami
kolaps dan mengandung udara selama ekshalasi aktif.
Bronkiolus terminalis adalah saluran udara terakhir pada
sistem konduksi. Area pada hidung sampai bronkiolus tidak
mengalami pertukaran gas dan berfungsi sebagai ruang rugi
anatomik (anatomic dead space). Kekurangan pertukaran gas
berarti bahwa udara yang pertama keluar dari mulut selama
ekshalasi mencerminkan udara ruangan, tetapi udara terakhir
yang keluar (udara tidal akhir) mencerminkan udara alveolar.
c) Paru dan Alveoli
Paru terletak di dalam rongga toraks pada kedua sisi
jantung. Paru berbentuk kerucut dengan apeks terletak di atas
rusuk pertama dan dasar/basal terletak pada diafragma. Tiap
paru terbagi menjadi lobus superior dan inferior oleh fisura
oblik. Paru kanan dibagi lagi oleh fisura horizontal sehingga
paru kanan terbagi dalam tiga lobus yaitu, lobus superior, lobus
medius, dan lobus inferior, sedangkan paru kiri terdiri atas dua
lobus. Paru juga terbagi menjadi 10 unit yang lebih kecil
(segmen bronkopulmonal). Tiap segmen mencerminkan bagian
paru yang di suplai oleh bronkus tersier spesifik. Segmen ini
penting secara bedah karena segmen yang mengalami kerusakan
dapat dilakukan resekresi tanpa harus mengangkat seluruh lobus
atau keseluruhan paru. Kedua paru dipisahkan oleh sebuah
ruangan (mediastinum) dimana terletak organ – organ seperti
jantung, aorta, vena cava, pembuluh darah pulmonal, esofagus,
bagian dari trakea dan bronki serta kelenjar timus.
20

Paru – paru mengandung gas, darah, dinding alveolus


yang tipis, dan struktur pendukung. Dinding alveolus
mengandung serabut kolagen dan elastis yang memungkinkan
paru mengembang ke semua arah. Rekoil (pentalan) elastis
membantu mengembalikan paru ke volume saat istirahat.
Cabang arteri pulmonal memperdarahi sebagian besar
paru – paru. Darah pada arteri ini miskin oksigen tetapi oksigen
di suplai oleh udara inspirasi. Trakea dan bronkiolus yang bukan
merupakan bagian dari permukaan yang berperan pada
pertukaran gas menerima darah kaya oksigen dari cabang aorta.
Paru- paru seorang pria berusia 19 tahun memiliki
kapasitas total sebesar 5.900 ml. Akan tetapi, seseorang tidak
dapat menghembuskan semua udara dari paru- paru, sekitar
1.200 ml udara tetap berada di paru- paru, seberapapun kuatnya
ekspirasi. Volume yang tertinggal ini (volume residual)
mencegah struktur paru mengalami kolaps selama ekspirasi.
Volume udara yang bergerak masuk dan keluar setiap
pernapasan disebut sebagai volume tidal. Selama pernapasan
biasa, volume tidal sekitar 500 ml. jika seseorang menarik napas
dalam, paru menjadi lebih mengembang. Jumlah udara
tambahan yang dihirup melebihi volume tidal dan disebut
sebagai volume cadangan inspirasi, udara tambahan yang dapat
dihembuskan setelah pernapasan paksa disebut sebagai volume
cadangan ekspirasi.
Kapasitas paru sering dikombinasikan menjadi kapasitas :
(1) Kapasitas total paru : keempat volume paru
(2) Kapasitas vital : semua volume kecuali volume residual,
yang merupakan jumlah yang dapat diventilasi seseorang.
(3) Kapasitas cadangan fungsional: volume residual ditambah
cadangan ekspirasi
(4) Kapasitan inspirasi: volume tidal ditambah volume
cadangan inspirasi
21

Laju udara yang dapat dikeluarkan dari paru juga


memberikan informasi diagnostik. Volume ekspirasi paksa
dalam “waktu” tertentu didapatkan dari pemeriksaan dengan
meminta klien melakukan inspirasi maksimal (sampai kapasitas
paru total) diikuti dengan ekshalasi maksimal (sampai volume
residual). Jumlah total udara yang diekshalasi adalah kapasitas
vital. FEV1 mengindikasikan volume udara yang dihembuskan
selama detik pertama, biasanya mencapai 80% kapasitas vital
dan FEV3 mengindikasikan volume udara yang dihembuskan
selama 3 detik, biasanya sekitar 95% kapasitas vital.
Volume dan kapasitas ini sering berubah pada beberapa
penyakit. Pola dan derajat perubahan berkorelasi dengan derajat
proses penyakit. Parenkim paru, yang terdiri atas jutaan unit
alveolus adalah area yang bekerja pada jaringan paru. Pada saat
kelahiran, seseorang memiliki sekitar 24 juta alveoli, pada usia 8
tahun, seseorang memiliki 300 juta alveoli. Total area
permukaan alveolus yang bekerja sekitar 750 sampai 860 kaki
persegi. Suplai darah yang mengalir ke alveoli datang dari
ventrikel kanan jantung.
Keseluruhan unit alveolear (zona respirasi) tersusun atas
bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakus alveolaris.
Dinding alveolus sangat tipis dengan jaringan kapiler yang
saling berhubungan membentuk anyaman yang solid/padat. Oleh
karena rumitnya sistem kapiler, aliran darah pada dinding
alveolus sering dideskripsikan sebagai suatu lembaran dari darah
yang mengalir.
Oksigen dan CO 2 ditukar melalui suatu membran
respirasi, dengan tebal sekitar 0,2 mm. Rata - rata diameter
kapiler paru hanya sekitar 5μm, tetapi sel darah merah (ukuran
mdiameter 7μm) harus menerobos melewati struktur ini, atau
menyentuh dinding kapiler. Oleh karena itu jarak difusi oksigen
dan CO 2 harus dikurangi. Penebalan membran respirasi
22

(misalkan pada edema paru atau fibrosis) dapat mengganggu


pertukaran gas ini.
Alveolus terdiri atas dua macam sel : pneumosit tipe I
yang melapisi alveolus, merupakan sel tipis dan tidak mampu
bereproduksi tetapi efektif untuk pertukaran gas. Pneumosit tipe
II adalah sel kuboid dan tidak dapat melakukan pertukaran
oksigen dan CO 2 dengan baik. Sel ini menghasilkan surfaktan
dan penting pada jejas paru dan reparasi jaringan karena sel ini
dapat berdiferensiasi menjadi makrofag alveolar. Sel ini juga
dapat berdiferensiasi menjadi sel tipe I, oksigenasi dapat
terganggu selama masa transisi dari tipe II ke tipe I.
d) Toraks
Ruangan toraks yang disusun oleh rangka tulang
memberikan perlindungan pada paru, jantung dan pembuluh
darah. Lapisan paling luar dari toraks tersusun atas 12 pasang
tulang rusuk. Tulang rusuk berhubungan pada bagian posterior
dengan prosesus transversus vertebra torakalis pada tulang
belakang. Pada bagian depan, tujuh pasang rusuk melekat pada
sternum melalui kartilago. Rusuk ke- 8, 9 dan 10 ( rusuk palsu)
saling dilekatkan oleh kartilago kostalis. Tulang rusuk ke- 11
dan 12 (rusuk melayang) memungkinkan ekspansi dada penuh
karena mereka tidak terlekat pada sternum.
e) Diafragma
Pernapasan dilakukan oleh perubahan otot skelet pada
rongga toraks. Diafragma adalah otot utama pernapasan dan
berperan sebagai tepi bawah toraks. Diafragma berbentuk kubah
pada posisi relaksasi, dengan otot utama melekat pada prosesus
xifoideus sternum dan rusuk bagian bawah. Kontraksi diafragma
menarik otot ke bawah, meningkatkan ruangan toraks dan secara
aktif mengembangkan paru. Inervasi diafragma (nervus
frenikus) berasal dari medulla spinalis setinggi vertebra
23

servikalis ketiga. Oleh karena itu, cedera spinal pada C3 atau


diatasnya dapat mengganggu ventilasi.
f) Pleura
Pleura adalah membrane serosa yang membungkus paru
sebagai kantong dengan dua dinding. Pleura viseralis
membungkus paru dan fisura antara kedua lobus paru. Pleura
parietalis membungkus paru dari dalam pada setiap hemitoraks,
mediastinum dan puncak diafragma, kemudian bergabung
dengan pleura viseralis dan hilus (suatu celah pada permukaan
medial paru, dimanacabang utama bronkus, pembuluh darah
pulmonal dan saraf masuk ke paru).
Dalam keadaan normal, tidak ada ruangan antara kedua
pleura, ruang pleura adalah ruangan potensial antara kedua lapis
pleura. Suatu lapisan film tipis (hanya beberapa millimeter)
yang terdiri atas cairan serosa berperan sebagai suatu lubrikan
pada ruangan potensial ini. Cairan ini juga menyebabkan
membrane pleura yang lembap saling melekat, menyebabkan
suatu tekanan menarik yang membantu menyatukan paru pada
posisi mengembang karena pleura parietal melekat pada sangkar
rusuk. Aksi pleura ini analog dengan memasangkan kedua
lembar kaca dengan suatu lapisan film yang tipis. Sangat sulit
memisahkan kedua lembaran kaca pada sudut tegak lurus,
melainkan kedua lembar ini saling bergeser satu sama lain. Oleh
karena sifat pasangan ini, gerakan pada paru sangat terikat
dengan gerakan dada. Jika udara atau peningkatan jumlah cairan
serosa, darah atau pus terakumulasi pada ruang toraks, paru akan
terkompresi dan diikuti dengan kesulitan dalam bernapas.
Kondisi ini dapat terjadi pada pneumotoraks (udara pada ruang
pleura) atau hemotoraks (darah pada ruang pleura) dan efusi
pleura (cairan ada pleura).
24

b. Fisiologi Sistem Pernapasan


Sistem pernapasan meningkatkan pertukaran gas. Inspirasi
membawa udara kaya oksigen ke alveoli. Saluran napas atas dan bawah
menyaring dan melembabkan udara yang diinspirasi. Pertukaran gas
antara udara dan darah terjadi pada alveolus. Oksigen berdisfusi ke
darah dan CO 2 berdisfusi dari darah ke udara alveoli. Udara kaya CO 2
dibuang dari tubuh selama ekspirasi. Alveoli dalam jumlah besar dan
area permukaan yang luas dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
pertukaran gas selama istirahat dan selama aktivitas.
Toraks dan diafragma mengubah tekanan dalam toraks untuk
menghasilkan gerakan udara. Gerakan udara bergantung pada
perbedaan tekanan antara atmosfer dan udara paru, dengan aliran udara
dari daerah tekanan tinggi ke daerah dengan tekanan rendah. Pada
waktu inspirasi, kubah diafragma mendatar dan sangkar rusuk
terangkat. Seiring dengan peningkatan volume dada dan paru, tekanan
alveolar menurun dan udara tertari ke paru.
Tahanan jalan napas (airway resistance) juga mempengaruhi
gerakan udara dan dipengaruhi terutama oleh diameter jalan napas.
Penurunan diameter sampai setengahnya akan menghasilkan
peningkatan tahanan jalan napas sampai 16 kali lipat. Oleh karena itu,
penurunan diameter jalan napas karena kontraksi otot bronkial atau
sekresi pada jalan napas meningkatkan tahanan dan menurunkan laju
aliran udara. Hal ini adalah keadaan yang sering ditemukan pada
penyakit obstruktif jalanan napas seperti asma.

Selama pernapasan tenang, ekspirasi biasanya bersifat pasif,


maksudnya tidak membutuhkan penggunaan otot- otot. Kebalikan
dengan paru, dinding dada cenderung untuk recoil keluar. Kekuatan
yang berlawanan pada paru dan dinding dada menyebabkan suatu
kekuatan subatmosferik (negatif) sekitar -5 cm air dalam ruangan
intrapleural pada akhir ekshalasi tenang. Ekshalasi juga menyebabkan
recoil elastis paru.
25

4. Patofisiologi
a. Etiologi
Etiologi menurut ( Brunner & Suddarth, 2015).
1) Merokok sigaret
2) Polusi udara (asap rokok, asap kendaraan, debu)
3) Pajanan di tempat kerja (batu bara, katun, biji-bijian padi)
b. Proses Terjadinya
Obstruksi jalan napas menyebabkan reduksi aliran udara yang
beragam bergantung pada penyakit. Pada bronkitis kronis asap
mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan
inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang
mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia
menurun dan lebih banyak lendir yang dihasilkan sehingga bronkiolus
menyempit dan tersumbat. Faktor resiko lain yang dapat memicu yaitu
perokok pasif dan terkena polusi udara (Padila, 2012). Pada emfisema
obstruksi terjadi karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area
permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara
kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru
dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan
kerusakan difusi oksigen (Brunner & Suddarth, 2015). Pada asma
gangguan pada bronkus ditandai adanya bronkospasme. Faktor
lingkungan yang yang bisa mencetuskan yaitu infeksi virus, allergen,
dan pulutan. Faktor lain yang bisa memicu yaotu stress, tertawa,
menangis yang berlebihan, olahraga, perubahan suku dan bau yang
menyengat. Faktor tersebut bisa menginflamasi saluran napas dan
menyebabkan obstruksi saluran napas (Black & Hawks, 2014).
Pada PPOK merokok, polusi udara dan paparan di tempat kerja
(terhadap batu bara, katun dan biji- bijian padi) merupakan faktor risiko
penting yang menunjang terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi
dalam rentang lebih dari 20-30 tahun (Brunner & Suddarth, 2015).
26

c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut ( Brunner & Suddarth, 2015).
1) PPOK dicirikan oleh batuk kronis, produksi sputum, dan dispnea
saat mengerahkan tenaga kerap memburuk seiring dengan waktu.
2) Penurunan berat badan sering terjadi.
3) Gejala yang spesifik dengan penyakit seperti, Bronkitis, Asma
Bronkial, dan Emfisema.
d. Komplikasi
1) Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang
dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya
klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan
pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis.
2) Asidosis Respiratorik
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda
yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, letargi, dizzines,
tachipnea.
3) Infeksi Respiratorik
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema
mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas
dan timbulnya dispnea.
4) Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus diobservasi terutama pada pasien dengan dispnea berat.
Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronkitis kronis,
tetapi pasien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah
ini.
5) Kardiak Disritmia
Timbul akibat dari hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat
atau asidosis respiratorik.
27

6) Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam
kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang
biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi
vena leher seringkali terlihat.

2. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik menurut (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2012).
a. Pemeriksaan Diagnostik seperti,
1) Sinar X dada : Dapat menyatakan hiperinflasi paru- paru;
mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal;
penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda
bronkovaskuler (bronkitis); hasil normal selama periode remisi
(asma).
2) Tes fungsi paru : Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau
restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk
mengevaluasi efek terapi, misalnya: bronkodilator.
3) TLC (Total Lung Capacity) : Peningkatan pada luasnya bronkitis
dan kadang- kadang pada asma; penurunan emfisema.
4) Kapasitas inspirasi : Menurun pada emfisema.
5) Volume residu : Meningkat pada emfisema, bronkitis kronis dan
asma.
6) Forced Expiratory Flow (F EV 1)/ Forced Vital Capacity (FVC) :
Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun
pada bronkitis dan asma.
7) EKG (Elektrokardiogram): Deviasi aksis kanan, peninggian
gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian
gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis
vertikal QRS (emfisema).
28

8) EKG latihan, tes stress : Membantu dalam mengkaji derajat


disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan/ evaluasi program latihan.
9) Bronkogram: Dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada
inspirasi; kolaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema);
pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkitis.
b. Pemeriksaan Laboratorium seperti,
1) Analisa Gas Darah (AGD) : Memperkirakan progresi proses
penyakit kronis, misalnya ,paling sering PaO 2 menurun, dan
PaCO2 normal atau meningkat (bronkitis kronis dan emfisema)
tetapi sering menurun pada asma; pH normal atau asidosis,
alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi
(emfisema sedang atau asma). Normal PaCO2 : 35 – 45 mmHg,
normal PaO2 : 75 – 100 mmHg.
2) Kimia darah : Alfa l-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan
defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
3) Sputum : Kultur untuk menentukan adanya infeksi,
mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui
keganasan atau gangguan alergi.
4) Jumlah Darah Lengkap (JDL) dan diferensial : Hemoglobin
meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).

6. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis menurut (Soeroto & Suryadinata, 2014)
a. Terapi Farmakologis
1) Bronkodilator : pengobatan yang berguna untuk meningkatkan
FEV 1 atau mengubah variable spirometri dengan cara
mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas, seperti
antikolinergik.
2) Kortikosteroid : kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara
regular dapat memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta
mengurangi frekuensi eksaserbasi.
29

3) Methylxanthine : obat ini dilaporkan berperan dalam perubahan


otot – otot inspirasi. Contoh obat yang tergolong methylxanthine
adalah teofilin.
4) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator dan antioksidan) :
ambroksol, endostein, dapat mengurangi gejala eksaserbasi.
5) Vaksin : dianjurkan memberikan vaksinasi untuk influenza dan
pneumococcus setiap tahun karena dapat mengurangi eksaserbasi
dan meningkatkan kualitas hidup.
6) Vasodilator : untuk melonggarkan saluran napas.
7) Antibiotik : penggunaannya untuk mengobati infeksi bacterial yang
mencetuskan eksaserbasi.
8) Narkotik (morfin).
9) Terapi herbal dengan metode akupuntur dan hemopati.
b. Terapi Supuratif
1) Pemberian O2.
c. Terapi Operatif
1) Pembedahan bulektomi untuk mengurangi dispnea, penurunan
volume paru untuk meningkatkan elastisitas dan fungsi lobus,
transplantasi paru.
d. Terapi Non Farmakologis
1) Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita
dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang
telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai tanda
pernapasan berat, beberapa kali msuk ruang gawat darurat, dan
kualitas hidup yang menurun.
2) Konseling nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi
yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapnia
menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
30

3) Edukasi
Edukasi yang tepat diharapkan dapa mengurangi kecemasan pasien
PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan
aktivitas. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuikan
dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan
sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.

B. Asuhan Keperawatan Teoritis


1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan
dan merupakan suatu proses yang sistimatis dalam pengumpulan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien (Nursalam, 2011).
Pengkajian keperawatan pada pasien PPOK meliputi, riwayat
merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan, riwayat
terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja, riwayat penyakit
emfisema pada keluarga, terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak,
misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara, batuk berulang dengan atau tanpa
dahak, dan sesak napas atau tanpa bunyi mengi ( Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2003).
Pengkajian keperawatan pada pasien PPOK menurut (Doenges, Moorhouse,
& Geissler, 2012).

a. Aktivitas/Istirahat
1) Gejala
Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan melakukan
aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas, ketidakmampuan untuk
tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi, dispnea pada saat
istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
31

2) Tanda
Keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan massa
otot.
b. Sirkulasi
1) Gejala
Pembengkakan pada ekstremitas bawah.
2) Tanda
Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi
jantung/takikardia berat, disritmia, distensi vena leher (penyakit
berat), edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit
jantung, bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan
peningkatan diameter anterior posterior dada), warna kulit atau
membran mukosa: normal atau abu-abu/sianosis; kuku tabuh dan
sianosis perifer, pucat dapat menunjukkan anemia.
c. Integritas Ego
1) Gejala
Peningkatan faktor risiko, perubahan pola hidup.
2) Tanda
Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
d. Makanan/Cairan
1) Gejala
Mual/muntah, nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema),
ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan,
penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat
badan menunjukkan edema (bronkitis).
2) Tanda
Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat,
penurunan berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan
(emfisema), palpitasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali
(bronkitis).
32

e. Higiene
1) Gejala
Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
2) Tanda
Kebersihan buruk, bau badan.
f. Pernapasan
1) Gejala
Napas pendek (muncul tersembunyi dengan dispnea
sebagai gejala menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja,
cuaca atau episode berulangnya sulit bernapas (asma), rasa dada
tertekan, ketidakmampuan untuk bernapas (asma), batuk menetap
dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun)
selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun setidaknya 2
tahun. Produksi sputum (hijau, putih, kuning) dapat banyak sekali
(bronkitis kronis). Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak
produktif pada tahap dini meskipun dapat menjadi produktif
(emfisema).
Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia
/iritan pernapasan dalam jangka panjang (misalnya rokok sigaret)
atau debu/asap (misalnya asbes, debu batubara, rami katun, serbuk
gergaji). Faktor keluarga dan keturunan, misalnya defisiensi alfa-
antitripsin (emfisema). Penggunaan oksigen pada malam hari atau
terus menerus.
2) Tanda
Pada pernapasan biasanya cepat, dapat lambat, fase
ekspirasi memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema).
Lebih memilih tiga posisi (“tripod”) untuk bernapas (khususnya
dengan eksaserbasi akut bronkitis kronis). Penggunaan otot bantu
pernapasan, misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa
supraklavikula, melebarkan hidung. Pada dada dapat terlihat
hiperinflasi dengan peninggian diameter Anterior Posterior
33

(bentuk-barrel), gerakan diafragma minimal. Bunyi napas


mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar,
lembut, atau krekels lembab kasar (bronkitis), ronki, mengi
sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama
inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi napas
(asma). Saat perkusi hiperesonan pada area paru (misalnya jebakan
udara dengan emfisema), bunyi pekak pada area paru (misalnya
konsolidasi, cairan, mukosa). Kesulitan bicara kalimat atau lebih
dari 4 atau 5 kata sekaligus. Warna pucat dengan sianosis bibir
dan dasar kuku, abu-abu keseluruhan, warna merah (bronkitis
kronis, “biru menggembung”). Pasien dengan emfisema sedang
sering disebut “pink puffer” karena warna kulit normal meskipun
pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernapasan cepat.Tabuh
pada jari-jari (emfisema).
g. Keamanan
Gejalanya yaitu riwayat reaksi alergi atau sensitif terhadap zat/ faktor
lingkungan, adanya/berulangnya infeksi, kemerahan /berkeringat
(asma).
h. Seksualitas
Gejalanya yaitu penurunan libido.
i. Interaksi Sosial
1) Gejala
Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, kegagalan
dukungan dari/terhadap pasangan/orang terdekat, penyakit lama
atau ketidakmampuan membaik.
2) Tanda
Ketidakmampuan untuk membuat/ mempertahankan suara karena
distres pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik, kelainan hubungan
dengan anggota keluarga lain.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan
respons manusia (status kesehatan) atau risiko perubahan pola) dari
34

individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat


mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga
status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan mengubah
(Nursalam, 2011).
Diagnosa Keperawatan menurut (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2012;
Carpenito, 2014).
a. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif berhubungan dengan
bronkospasme, peningkatan produksi secret, sekresi tertahan, tebal,
sekresi kental, penurunan energi/ kelemahan ditandai dengan
pernyataan kesulitan bernapas, perubahan kedalaman/kecepatan
pernapasan, penggunaan otot aksesori, bunyi napas tak normal,
misalnya mengi, ronki, krekels. Batuk (menetap), dengan/tanpa
produksi sputum.
b. Kerusakan Pertukaran Gas berhubungan dengan gangguan suplai
oksigen, kerusakan alveoli, ditandai dengan dispnea, bingung, gelisah,
ketidakmampuan membuang sekret, nilai AGD tidak normal, perubahan
tanda-tanda vital, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
c. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan batuk tak efektif, ditandai
dengan perubahan frekuensi atau pola pernapasan, perubahan frekuensi
nadi, pernapasan sukar atau berhati-hati.
d. Perubahan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh berhubungan dengan
dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia,
mual/muntah, ditandai dengan penurunan berat badan, kehilangan
massa otot, tonus otot buruk, kelemahan, mengeluh gangguan sensasi
pengecap, keengganan untuk makan, kurang tertarik pada makanan.
e. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan gangguan sistem transpor
oksigen sekunder akibat PPOK, peningkatan kebutuhan metabolik
sekunder akibat infeksi virus atau penyakit kronis, ketidakadekuatan
sumber energi sekunder akibat malnutrisi ditandai dengan peningkatan
frekuensi nadi secara berlebihan, lemah, peningkatan frekuensi napas
secara berlebihan, pucat atau sianosis, peningkatan tekanan diastolik
>15 mmHg.
35

f. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi


berhubungan dengan kurang informasi/tidak mengenal sumber
informasi, salah mengerti tentang informasi, kurang
mengingat/keterbatasan kognitif, ditandai dengan pertanyaan tentang
informasi, pernyataan masalah/kesalahan konsep, tidak akurat
mengikuti instruksi, terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.
g. Ansietas berhubungan dengan ancaman aktual atau presepsi ancaman
terhadap biologis sekunder akibat menjelang ajal, serangan, penyakit,
prosedur invasif ditandai dengan peningkatan frekuensi nafas,
peningkatan tekanan darah, mual atau muntah, sering berkemih, diare,
gelisah, kekhawatiran, ketidakberdayaan, menangis, mudah lupa.
h. Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan sering terbangun, sekunder
akibat dispnea, ditandai dengan pernyataan kesulitan untuk tidur,
keletihan saat bangun atau letih sepanjang hari, perubahan mood,
mengantuk sepanjang hari.
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan adalah pengembangan strategi desain
untuk mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah- masalah yang
telah diidentifikasi pada diagnosis keperawatan. Tahap ini dimulai setelah
menentukan diagnosis keperawatan dan menyimpulkan rencana
dokumentasi (Nursalam, 2011).
a. Rencana Keperawatan pada pasien PPOK menurut ( Doenges,
Moorhouse, & Geissler, 2012)
1) Bersihan Jalan Napas Tak Efektif
a) Hasil yang diharapkan: mempertahankan jalan napas pasien
dengan bunyi napas bersih/jelas, menunjukkan perilaku untuk
memperbaiki bersihan jalan napas, misalnya batuk efektif dan
mengeluarkan sekret.
b) Intervensi
(1) Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas, misalnya
mengi, krekels, ronki.
36

Rasional: Beberapa derajat spasme bronkus terjadi


dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tidak
dimanifestasikan adanya bunyi napas
adventisius.
(2) Kaji/pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi
/ekspirasi.
Rasional: Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat
dan dapat ditemukan pada penerimaan atau
selama stres/adanya proses infeksi akut.
Pernapasan dapat melambat dan frekuensi
ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
(3) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya
peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran
tempat tidur.
Rasional: Peninggian kepala tempat tidur dapat
mempermudah fungsi pernapasan dengan
menggunakan gravitasi. Namun, pasien
dengan distress berat akan mencari posisi
yang paling mudah untuk bernapas.
Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal,
dan lain-lain membantu menurunkan
kelemahan otot dan dapat sebagai alat
ekspansi dada.
(4) Observasi karakteristik batuk, misalnya menetap, batuk
pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki
keefektifan upaya batuk.
Rasional: Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif,
khususnya bila pasien lansia, sakit akut, atau
kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi
duduk tinggi atau kepala dibawah setelah
perkusi dada.
37

(5) Dukung pengobatan pernapasan, dengan fisioterapi dada


Rasional: Perkusi bagian penting untuk membuang
banyaknya sekresi/kental, dan memperbaiki
ventilasi pada segmen dasar paru

(6) Kolaborasi
Berikan humidifikasi tambahan, misalnya nebulizer
Rasional: Kelembaban menurunkan kekentalan sekret,
mempermudah pengeluaran dan dapat
membantu menurunkan/mencegah
pembentukan mukosa tebal pada bronkus.
2) Kerusakan Pertukaran Gas
a) Hasil yang diharapkan: menunjukkan perbaikan ventilasi dan
oksigenasi jaringan adekuat dengan AGD dalam rentang normal
PaO2 55 mmHg dan bebas gejala distress pernapasan.
b) Intervensi
(1) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan
otot aksesori, napas bibir, ketidakmampuan
bicara/berbincang.
Rasional: Berguna dalam evaluasi derajat distress
pernapasan dan/kronisnya proses penyakit.
(2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih
posisi yang mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam
perlahan atau napas bibir sesuai kebutuhan /toleransi
individu.
Rasional: Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan
posisi duduk tinggi dan latihan napas untuk
menurunkan kolaps jalan napas, dispnea, dan
kerja napas.
(3) Dorong pengeluaran sputum; penghisapan bila
diindikasikan.
38

Rasional: Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah


sumber utama gangguan pertukaran gas pada
jalan napas kecil. Penghisapan dibutuhkan
bila batuk tidak efektif.
(4) Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara
dan/atau bunyi tambahan.
Rasional: Bunyi napas redup karena penurunan aliran
udara atau area konsolidasi. Adanya mengi
mengindikasikan spasme
bronkus/tertahannya sekret. Krekels basah
menyebar menunjukkan cairan pada
interstisial/dekompensasi jantung.
(5) Kolaborasi
Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi
hasil Analisa Gas Darah (AGD) dan toleransi pasien.
Rasional: Dapat memperbaiki/mencegah
memburuknya hipoksia.
3) Pola Napas Tidak Efektif
a) Hasil yang diharapkan: Irama, frekuensi dan kealaman
pernapsan dalam batas normal, pada pemeriksaan rontgen thorak
tidak ditemukan adanya akumulasi cairan dan bunyi napas
terdengar jelas.
b) Intervensi
(1) Observasi tanda-tanda vital terutama pernapasan
Rasional: Peningkatan frekuensi napas dan takikardi
merupakan indikasi adanya penurunan
fungsi paru.
(2) Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernapasan
Rasional: Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan
kedalaman pernapasan kita dapat
mengetahui sejauh mana perubahan kondisi
pasien.
39

(3) Beri posisi yang nyaman atau posisi semifowler


Rasional: Penurunan diafragma dapat memperluas
daerah dada sehingga ekspansi paru bisa
maksimal.
(4) Kolaborasi dalam pemberian O2
Rasional: Pemberian O2 dapat menurunkan beban
pernapasan dan mencegah terjadinya
sianosis akibat hipoksia.
4) Perubahan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
a) Hasil yang diharapkan: Menunjukkan peningkatan berat badan
menuju tujuan yang tepat.
b) Intervensi
(1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat
derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran
tubuh.
Rasional: Pasien distress pernapasan akut sering
anoreksia karena dispnea, produksi sputum,
dan obat. Selain itu, banyak pasien PPOK
mempunyai kebiasaan makan buruk,
meskipun kegagalan pernapasan membuat
status hipermetabolik dengan peningkatan
kebutuhan kalori.
(2) Auskultasi bunyi usus
Rasional: Penurunan bising usus menunjukkan
penurunan motilitas gaster dan konstipasi
yang berhubungan dengan pembatasan
pemasukan cairan, pilihan makanan buruk,
penurunan aktivitas, dan hipoksemia.
(3) Beri makanan sesuai kebutuhan gizi pasien
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien
40

(4) Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.


Rasional : Dapat menghasilkan distensi abdomen yang
mengganggu napas abdomen dan gerakan
diafragma, dan dapat meningkatkan dispnea.
(5) Beri HE tentang makan sedikit tapi sering yang tinggi
protein.
Rasional : Untuk memenuhi nutrisi pasien dan
mengurangi mual muntah.
(6) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional : Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori,
menyusun tujuan berat badan, dan evaluasi
keadekuatan rencana nutrisi.
(7) Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk rencana diet.
Kaji pemeriksaan laboratorium, misalnya albumin serum,
transferin, profil asam amino, besi, pemeriksaan
keseimbangan nitrogen, glukosa, pemeriksaan fungsi hati,
elektrolit.
Rasional : Mengevaluasi / mengatasi kekurangan dan
mengawasi keefektifan terapi nutrisi.
5) Gangguan Pola Tidur
a) Hasil yang diharapkan: pernyataan tidak kesulitan untuk tidur,
tidak mengalami keletihan saat bangun atau tidak letih
sepanjang hari, tidak mengantuk sepanjang hari.
b) Intervensi
(1) Kaji kebiasaan tidur biasanya dan perubahan yang terjadi.
Rasional: Mengkaji perlunya dan mengidentifikasi
intervensi yang tepat.
(2) Beri HE tentang pentingnya istirahat yang cukup.
Rasional: Dengan istirahat yang cukup dapat
mengurangi lingkaran hitam di sekitar mata.
(3) Buat lingkungan nyaman dan kurangi kebisingan
41

Rasional: Memberikan stimulasi kondusif untuk tidur.


(4) Berikan posisi nyaman dan bantu dalam mengubah posisi.
Rasional: Perubahan posisi mengubah area tekanan
dan meningkatkan istirahat.
6) Intoleransi Aktivitas
a) Hasil yang diharapkan: pernyataan tidak lemas, tidak
menyatakan tidak merasa nyaman setelah beraktivias, ADL
(Activity Daily Living) terpenuhi, TTV (Tanda- Tanda Vital)
dalam batas normal terutama nadi.
b) Intervensi
(1) Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital terutama
nadi.
Rasional: Mengetahui perkembangan kondisi pasien
dan mengetahui apakah terjadi peningkatan
frekuensi nadi secara berlebihan.
(2) Kaji tingkat kemampuan pasien.
Rasional: Menjadi data dasar dalam melakukan
intervensi berikutnya.
(3) Dekatkan benda-benda yang tidak mudah dijangkau pasien.
Rasional: Dengan mendekatkan benda-benda yang
tidak mudah dijangkau, diharapkan dapat
membantu dalam pemenuhan ADL pasien.
(4) Bantu pasien dalam mengembangkan motivasi diri dan
penguatan.
Rasional: Mempercepat dalam proses penyembuhan.
(5) Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan
tidur.
Rasional: Tirah baring dipertahankan selama fase akut
untuk menurunkan kebutuhan metabolik,
menghemat energi untuk penyembuhan.
42

(6) Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL.


Rasional: Dengan melibatkan keluarga diharapkan
ADL pasien dapat terpenuhi, seperti
membantu pasien untuk mandi, makan dan
lain-lain.

7) Kurang Pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi


a) Hasil yang diharapkan: penyatakan pemahaman kondisi/proses
penyakit dan tindakan, tidak tampak kebingungan, akurat dalam
mengikuti instruksi.
b) Intervensi
(1) Beri HE (Health Education) tentang proses penyakit
individu. Dorong pasien/orang terdekat untuk menanyakan
pertanyaan.
Rasional: Menurunkan ansietas dan dapat
menimbulkan perbaikan partisipasi pada
rencana pengobatan.
(2) Beri HE tentang latihan napas, batuk efektif, dan latihan
kondisi umum.
Rasional: Napas bibir dan napas
abdominal/diagfagmatik menguatkan otot
pernapasan, membantu meminimalkan
kolaps jalan napas kecil, dan memberikan
individu arti untuk mengontrol dispnea.
Latihan kondisi umum meningkatkan
toleransi aktivitas, kekuatan otot dan rasa
sehat.
(3) Diskusikan obat pernapasan, efek samping dan reaksi yang
tidak diinginkan.
Rasional: Pasien ini sering mendapat obat pernapasan
banyak sekaligus yang mempunyai efek
samping hampir sama dan potensial interaksi
43

obat. Penting bagi pasien memahami


perbedaan antara efek samping mengganggu
(obat dilanjutkan) dan efek samping
merugikan (obat mungkin
dihentikan/diganti).
(4) Diskusikan pentingnya mengikuti perawatan medik, foto
dada periodik dan kultur sputum.
Rasional: Pengawasan proses penyakit untuk membuat
program tetapi untuk memenuhi perubahan
kebutuhan dan dapat membantu mencegah
komplikasi.
8) Ansietas
a) Hasil yang diharapkan: Pernyataan tidak cemas, tidak terjadi
peningkatan frekuensi napas, tidak terjadi peningkatan tekanan
darah, mual atau muntah, diare, gelisah, kekhawatiran dan tidak
menangis.
b) Intervensi
(1) Kaji tingkat kecemasan pasien
Rasional: Dengan mengetahui tingkat kecemasan
pasien, kita akan dapat menentukan tindakan
berikutnya.
(2) Observasi respons fisik seperti, gelisah, perubahan tanda
-tanda vital, gerakan berulang, serta catat kesesuaian
komunikasi verbal/ non verbal.
Rasional: Berguna dalam derajat masalah, khususnya
bila dibandingkan dengan pernyataan verbal.
(3) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan yang
sedang dirasakan pasien.
Rasional: Dengan memberikan kesempatan untuk
mengungkapkan isi perasaan diharapkan
dapat melegakan perasaan yang sedang
cemas atau sedih.
44

(4) Beri motivasi atau jawaban untuk mengurangi kecemasan


pasien.
Rasional: Memberikan semangat atau solusi dari
ungkapan perasaan klien yang dapat
mengurangi kecemasan.
(5) Libatkan keluarga dalam memberikan motivasi
Rasional: Dengan motivasi dari orang terdekat klien
diharapkan dapat mengurangi atau
menghilangkan kecemasan pasien.

4. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan adalah pelaksaan dari rencana intervensi untuk
mencapai tujuan yang spesifik.Tahap implementasi dimulai setelah
rencana intervensi disusun untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu rencana yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien
(Nursalam, 2011).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan,
rencana intervensi, dan implementasinya. Tahap evaluasi memungkinkan
perawat untuk memonitor “keadaan” yang terjadi selama tahap pengkajian,
analisis, perencanaan, dan implementasi, intervensi. (Nursalam, 2011).
C. WOC : Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK )

Merokok, lingkungan pertambangan, Kerusakan dinding alveoli Polutan terhirup

perokok pasif, polusi udara, Penurunan kontak area permukaan Fase sensitifasi, peningkatan IgE

Iritasi jalan napas alveolar dengan kapiler paru Alergen mengikat IgE

Penumpukan lendir & sekresi yang Peningkatan ruang rugi Melekat pada sel Mast

sangat banyak, batuk tidak efektif, Kerusakan difusi O 2 Mediator- mediator terlepas : Histamin,
Ketidakefektifan
Bersihan Jalan
perubahan irama dan frekuensi pernapasan Gangguan transfer udara Leukotrien, Bradikinin
Napas

Bronkitis Kronik dari dan keluar paru Edema lokal Sekresi mukus Spasme otot

ditandai dengan yang kental dalam polos bronkiolus


Emfisem
Hipoksia secara reversible, sianosis a bronkiolus lumen bronkiolus

PPOK Inflammasi saluran napas


Kerusakan
Pertukaran Gas Obstruksi saluran napas

Hiperaktifitas bronkus
Dispnea, kesulitan untuk tidur,
Asma Bronkial
keletihan saat bangun Kesulitan bernapas

49
Gangguan Pola Tidur
Peningkatan frekuensi pernapasan,

pernapasan cuping hidung, retraksi otot dada

Respons sistemis dan psikologis

keluhan sistemis, mual, intake nutrisi Kebutuhan Psikososial,

tidak adekuat, malaise, dispneu ketidaktahuan akan prognosis

Kelemahan, peningkatan Gelisah, peningkatan

nadi secara berlebihan frekuensi nadi


Perubuhan Nutrisi Kurang Kurang
Dari Kebutuhan Pengetahuan Pola Napas Tidak
Efektif
Intoleransi Aktivitas Ansietas

Sumber : (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2012; Padila, 2012; Black & Hawks, 2014).
50
51

Anda mungkin juga menyukai