Anda di halaman 1dari 41

HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN

KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH


KERJA UPTD KESEHATAN PUSKESMAS SUKAMULYA
KABUPATEN CIAMIS TAHUN 2016

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
Pada Program Studi S1 Keperawatan

Oleh :

FITRI GUSMAN YULIANI


NIM. 12SP277016

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH


TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS
2016

i
HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN
KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH
KERJA UPTD KESEHATAN PUSKESMAS SUKAMULYA
KABUPATEN CIAMIS TAHUN 2016

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
Pada Program Studi S1 Keperawatan

Oleh :

FITRI GUSMAN YULIANI


NIM. 12SP277016

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH


TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS
2016

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberculosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi dan menular

(Raynel, 2010). Laporan Word Health Organization (WHO, 2012)

diperkirakan 8,7 juta orang terjangkit tuberkulosis paru dan 1,4 juta orang

meninggal. Kasus tuberkulosis paru baru sebanyak 6.216.513 dan 2.621.308

merupakan BTA positif. Kasus terbanyak tuberkulosis paru antara umur

15-

44 tahun yaitu 734.908. Data WHO menunjukkan, lima Negara dengan

insiden kasus tuberkulosis terbanyak yaitu India (2,0-2,5 juta), China (0,9-

1,0 juta), Afrika Selatan (0,4-0,6 juta), Indonesia (0,4-0,5 juta), Pakistan (0,3-

0,5 juta). India dan Cina masing-masing menyumbangkan 26% dan 12%

dari seluruh jumlah kasus di dunia (WHO, 2012)

Menurut laporan WHO tahun 2013, Indonesia menempati urutan ke

tiga setelah India dan Cina dengan jumlah sebesar 700 ribu kasus. Angka

kematian masih sama dengan tahun 2011 sebesar 27 per 100.000

penduduk, tetapi angka insidennya turun menjadi 185 per 100.000 penduduk

di tahun 2012. Lima provinsi dengan TB paru tertingi adalah Jawa Barat

(0,7%), Papua (0,6%), DKI Jakarta (0,6%), Gorontalo (0,5%), dan Papua

Barat (0,4%) (Kemenkes, 2013). Prevalensi tuberkulosis paru di Provinsi

Jawa Barat sebesar 102/100.000 penduduk, Success Rate (SR) Provinsi

Jawa Barat sebesar 92,1% telah melampaui target Renstra 2013 sebesar

87% (Depkes, 2013).

1
2

Jumlah penderita tuberkulosis paru yang berada di kabupaten Ciamis

tahun 2013 sebanyak 1.164 kasus, tahun 2014 sebanyak 1.388 dan tahun

2015 sebanyak 1.139 (Dinkes, 2015).

Puskesmas Sukamulya merupakan puskesmas yang memiliki jumlah

penderita tuberkulosis paru terbanyak di bandingkan dengan puskesmas

yang berada di sekitarnya yaitu Puskesmas Gardujaya, Sukamantri,

Jatinagara dan dengan jumlah penderita tuberkulosis sebanyak 50 kasus

pada tahun 2015. Adapun Program Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis

Paru yang sudah dijalankan adalah dengan menyediakan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan mutu terjamin dan pencatatan

secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program

penanggulangan tuberkulosis dan melakukan penyuluhan kepada penderita

tuberkulosis paru namun kejadian tuberkulosis masih tetap tinggi.

Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit menular kronis yang

menjadi target ke-6 di dalam Millenium Development Goals (MGDs) hingga

tahun 2015. Transisi Millenium Development Goals (MGDs) menuju

Sustainable Development Goals (SDGs) hingga tahun 2030 untuk penyakit

tuberkulosis paru menjadi target ke-2 dari 13 target bersamaan dengan

penyakit HIV dan malaria (Kemenkes. 2015).

Target MGDs dalam kegiatan pengendalian penyakit tuberkulosis

belum tercapai sepenuhnya maka dicantumkan kembali pada target SDGs

sehingga pemerintah Indonesia masih menjalankan strategi DOTS ( Directly

Observed Treatment Short Course) yang telah dimulai sejak tahun 1999

serta dilaksanakan secara Nasional di seluruh fasilitas pelayanan

kesehatan
3

terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar

(Kemenkes, 2015)

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci yaitu komitmen politis dari

para pengambil keputusan termasuk dukungan dana, diagnosis tuberkulosis

dengan pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya,

pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus tuberkulosis

dengan tatalaksana kasus yang tepat termasuk pengawasan langsung

pengobatan oleh PMO, jaminan ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

jangka pendek dengan mutu yang terjamin serta sistem pencatatan secara

baku untuk memudahkan penilaian maupun evaluasi program

penanggulangan

Teori trial epidemiologi dari John Gordon mengklasifikasikan penyebab

suatu penyakit ke dalam tiga faktor yaitu faktor Host, Agent dan

Environment (Muaz, 2014). Salah satu faktor host pada TB paru ialah

kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki resiko yang lebih

tinggi untuk terkena tuberkulosis paru (Horshburgh,2009). Penelitian yang

dilakukan oleh (Rusnoto, 2008) menyatakan orang yang memiliki kebiasaan

merokok beresiko 2,56 kali lebih besar terkena tuberkulosis paru

dibanding orang yang tidak pernah merokok. Hasil penelitian lain yang

dilakukan oleh Sarwani dan Nurleila (2012) dalam (Lambodo, Palandeng, &

Kallo, 2015) menunjukkan separuh dari kematian akibat tuberkulosis paru

terjadi pada laki-laki disebabkan merokok dan 3,2 dari perokok

berkembang menjadi penderita tuberkulosis paru.

Merokok merupakan salah satu perilaku tidak sehat dan merokok

hukumnya haram karena termasuk kategori perbuatan yang dilarang dalam

Al-Quran seperti dicantumkan dalam surat Al- A’raf ayat 157, yaitu :
4

‫ةإرتنا يف ىُْدع بٕتكي َّٔدجي يذنا ييْلا يبُنا ٕلسزنا ٌٕعبتي ٍيذنا‬
‫ًُنا ٍع ْىبُٓٔي ٔفزعًنبب ىْزيأي ميَجلْأ ٕاُيآ ٍيذنبف ٓىيهع َتبك‬01‫زك‬ ٔ‫وزحئ تبب ي طن ا ٓى ن م حي‬
‫يتنا للَغْلٔا ىْزصإ ىُٓع عضئ ثئ بب خن ا ىٓ ي ه ع‬
ٔ ‫بتٔا ِٔزصَٔ ِٔرز‬0‫ُٕرنا إع‬0ُ ‫حهًفنا ْى كئنٔأ ّعي لَزأ يذنا‬
ٌٕ‫ع ّب‬
)0‫علا‬
ْ ‫فاز‬,ٕ٧٥١(

Artinya ;

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa

baca tulis) yang (nama-namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan

Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf

dan

mencegah dari yang munkar, dan menghalalkan segala yang baik


bagi

mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan

membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada

mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,

menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan

kepadanya (Al-Quran) mereka itulah orang-orang yang beruntung”.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada lima

penderita tuberkulosis paru didapatkan hasil bahwa lima penderita

merupakan perokok aktif dengan rata-rata jumlah rokok yang dihisap setiap

harinya kurang lebih satu bungkus dan rata-rata usia mulai merokok 20

tahun keatas. Rendahnya pengetahuan yang dimiliki memicu peningkatan

konsumsi rokok dan menggap bahwa kebiasaan merokok merupakan hal

yang wajar sehingga sulit meninggalkan kebiasaan merokok walaupun

sedang menjalani pengobatan tuberkulosis paru di Puskesmas Sukamulya.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Kebiasaan


Merokok
5

Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas

Sukamulya Kabupaten Ciamis “.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah yang telah diuraikan diatas maka rumusan

masalah dalam penelitian ini : “Adakah hubungan kebiasaan merokok

terhadap kejadian tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas

Sukamulya Kabupaten Ciamis ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian

tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten

Ciamis.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui kejadian tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas

Sukamulya Kabupaten Ciamis.

b. Mengetahui kebiasaan merokok pada penderita tuberkulosis paru

maupun bukan penderita tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas

Sukamulya Kabupaten Ciamis.

c. Mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis

paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis


6

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Memberikan tambahan khasanah pengetahuan khususnya dalam

pengembangan ilmu keperawatan mengenai penyakit tuberkulosis paru

dalam bentuk hasil penelitian yang berkaitan dengan kebiasaan merokok

pada penderita tuberkulosis paru.

2. Manfaat Praktis

a. Dinas Kesehatan

Penelitian ini dapat bermanfaat dalam melaksanakan program

kesehatan, khususnya mengenai TB Paru.

b. Puskesmas

Penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi dalam pelaksanaan

penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit tuberkulosis paru

serta pencegahan penyakit tuberkulosis paru dengan mengubah gaya

hidup salah satunya kebiasaan merokok.

c. Institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat menambah wawasan serta menunjang

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan penyakit

dalam.

d. Penderita tuberkulosis paru

Penelitian ini dapat bermanfaat guna mengubah pola fikir

penderita tuberkulosis paru salah satunya gaya hidup yang erat

kaitannya dengan kebiasaan merokok.


7

e. Peneliti lain

Penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi dan bahan dasar

sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor resiko

yang berhubungan dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai TB Paru pernah disusun oleh (Setiarni, Sutomo,

& Hariyono, 2011) mengenai hubungan antara tingkat pengetahuan, status

ekonomi, dan kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru pada

orang dewasa diwilayah kerja Puskesmas Tuan-Tuan Kabupaten Ketapang

Kalimantan Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan

dan kebiasaan merokok ada hubungan dengan kasus TB paru pada orang

dewasa di wilayah kerja Puskesmas Tuan-Tuan Kabupaten Ketapang

Kalimantan Barat dengan tingkat pengetahuan (p = 0,026) dan kebiasaan

merokok (p = 0,012). Hasil analisis multivariat yang paling dominan

kasus TB paru adalah kebiasaan merokok dengan value 0,012.

Persamaan dengan penelitian yang penliti buat adalah subjek

penelitian yang meneliti tentang tuberkulosis paru serta kebiasaan merokok.

Perbedaannya pada waktu, lokasi penelitian, teknik pengambilan sample.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Tuberkulosis Paru

a. Pengertian

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang

disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis.Sebagian besar

kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga menyerang organ

tubuh lainnya (Depkes, 2011).

b. Etiologi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium

tuberculosis. bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium

tuberculosis yang dapat menimbulkan gangguan pada saluran

nafas dikenal dengan MOTT (Mycobacterium Other Than

Tuberculosis) terkadang dapat mengganggu penegakan diagnosis

dan pengobatan tuberculosis. Pemeriksaan bakteriologis mampu

mengidentifikasi terhadap Mycobacterium Tuberculosis sehingga

dapat dijadikan sarana penegakkan diagnosis ideal untuk

tuberkulosis. Basil tuberkulosis berbentuk batang dengan panjang

1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron. Bersifat tahan asam

dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen. Memerlukan

medis

khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.

8
9

Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam

pemeriksaan dibawah mikroskop.

Tahan jangka
hidup dalam terhadap suhu
waktu rendah
lama sehingga
pada suhu dapat
antara 4⁰C bertahan
sampai

minus 70⁰C. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari

dan sinar ultraviolet sehingga paparan langsung terhadap panas

mengakibatkan
beberapa menit. sebagian besarpada
Dalam dahak kuman
suhuakan mati
antara 30⁰dalam
- 47⁰Cwaktu
akan

mati dalam waktu kurang 1 minggu. Kuman dapat bersifat dormant

yang artinya dapat tidur atau berkembang (Kemenkes, 2014)

c. Patogenesis

Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui perantara udara,

yaitu melalui inhalasi droplet saluran nafas yang mengandung

kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang-orang yang

terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus

biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri satu sampai

tiga basil. Setelah berada dalam ruangan alveolus, biasanya

dibagian bawah lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus

bawah, basil tuberkel membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit

polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit

bakteri tersebut, namun tidak membunuh organisme tersebut.

Sesudah hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang

terserang akan mengalami konsolidasi. Bakteri terus difagosit atau

berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah

bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag

yang
10

mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu

sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang di kelilingi oleh

limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20 hari (Price

& Standridge, 2006)

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran nafas

akan bersarang dijaringan paru kemudian membentuk suatu

sarang pneumonik kecil yang disebut sarang primer. Dari sarang

primer akan terlihat peradangan saluran getah bening menuju

hilus dan juga diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di

hilus (limfadenitis regional). Kompleks primer menurut

(PDPI,

2011) selanjutnya dapat menjadi :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali

(restitution and integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara

lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3. Berkomplikasi dan menyebar

Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa.

TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi

diregion atas paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk

tuberkel yaitu suatu granuloma yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit

dan berbagai jaringan ikat. Sarang dini yang meluas sebagai

granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitar dan

bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek


11

membentuk perkejuan. Bila jaringan perkejuan dibatukkan,

akan menimbulkan kavitas (Bahar, 2009).

d. Klasifikasi

Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum, TB paru menurut

PDPI (2011) dikategorikan menjadi :

1) Tuberkulosis Paru BTA (+)

a) Sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil

BTA positif.

b) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan

BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan

gambaran tuberkulosis aktif.

c) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan

BTA positif dan biakan positif.

2) Tuberkulosis Paru BTA (-)

a) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA

negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik

menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak merespons

dengan pemberian antibiotik spektrum luas.

b) Hasil pemeriksaan dahak sebanyak 3 kali menunjukkan

BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif.

c) Apabila belum diketahui hasil pemeriksaan dahak, maka

tulis BTA belum diperiksa.


12

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :

1) Kasus baru

Penderita yang belum pernah mendapat pengobatan

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari

satu bulan (30 dosis harian)

2) Kasus kambuh (relaps)

Penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan

sembuh atau telah menjalani pengobatan lengkap, kemudian

kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif

atau biakan positif. Apabila hanya menunjukkan perubahan

pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif

kembali, maka perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan:

a) Infeksi sekunder.

b) Infeksi jamur.

c) TB paru kambuh

3) Kasus pindahan (Transfer In)

Penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di

suatu wilayah dan kemudian pindah berobat ke wilayah lain.

Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan

atau pindah.

4) Kasus lalai berobat

Penderita yang telah berobat kurang dari 1 bulan, dan

berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali


13

berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif.

5) Kasus Gagal

a) Penderita BTA positif dengan hasil pemeriksaan tetap

positif atau kembali positif pada akhir bulan ke-5 (satu

bulan sebelum akhir pengobatan).

b) Penderita dengan hasil BTA negatif namun gambaran

radiologik positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan atau

gambaran radiologik ulang hasil menunjukkan kearah

perburukan.

6) Kasus kronik

Penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih

positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan

pengawasan yang baik.

7) Kasus bekas TB

a) Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan bila ada

memungkinkan) negatif dan gambaran radiologik paru

menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik

serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat

pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung.

b) Kasus dengan gambaran radiologik meragukan dengan lesi

TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT

selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran

radiologik.
14

e. Manifestasi Klinis

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu

gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah

paru maka gejala lokal berupa gejala respiratorik (PDPI, 2011) :

1) Gejala respiratorik

Gejala respiratorik sangat bervariasi mulai tidak

bergejala sampai gejala yang cukup berat bergantung dari

luas lesi. Gejala respiratorik terdiri dari : (PDPI, 2011)

a) Batuk > 2 minggu

b) Batuk darah

c) Sesak nafas

d) Nyeri dada

2) Gejala sistemik

a) Demam

b) Keringat malam

c) Anoreksia

d) Berat badan menurun.

f. Diagnosis TB paru

Penemuan penderita tuberkulosis dilakukan secara pasif

artinya penjaringan suspek penderita dilaksanakan apabila

berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif

tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh

petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan

cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal


15

dengan sebutan passive promotive case finding

(penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif)

(Depkes, 2007) Selain itu semua yang memiliki kontak dengan

penderita

TB paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa

dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan

tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis

adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian.

Semua tersangka penderita harus diperiksa tiga specimen dahak

dalam waktu dua hari berturut-turut yaitu sewaktu-pagi-sewaktu

(Depkes, 2007)

Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan

pemeriksaan penunjang lainnya. Pada pemeriksaan fisik, kelainan

paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama

daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus

inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara

nafas bronchial, amforik, suara nafas melemah, ronki basah,

tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (PDPI,

2011). Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering

ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru

yang sakit dapat menarik isi mediastinum atau paru lainnya

(Amin dan Bahar, 2009)

Pada pemeriksaan radiologi (PDPI, 2011) menyatakan

gambaran yang di curigai sebagai lesi TB aktif diantaranya :


16

1) Bayangan berawan atau nodular di segmen apical dan

posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.

2) Kavitis, terutama lebih dari satu dan dikelilingi oleh

bayangan opak berawan atau nodular

3) Bayangan bercak milier

4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Ada beberapa cara pemeriksaan untuk menegakkan

diagnosis TB yaitu dengan cara konvensional dan tidak

konvensional. Cara konvensional terdiri dari pemeriksaan

mikroskopik, biakan kuman, uji kepekaan terhadap obat dan

identifikasi keberadaan kuman isolate serta pemeriksaan

histopatologis (Kusuma, 2007)

Pemeriksaan sputum nerupakan hal yang penting karena

dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah dapat

ditegakkan. Dikatakan BTA (+) jika ditemukan dua atau lebih

dahak BTA (+) atau 1 BTA (+) disertai dengan hasil radiologi yang

menunjukkan TB aktif (PDPI, 2011)

Semua suspek TB diperiksa tiga specimen dalam waktu

dua hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru

pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB

(BTA). Pada program TB Nasional, penemuan BTA melalui

pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.

Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan

dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sesuai dengan

indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB

hanya
17

berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu

memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering

terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak

selalu menunjukkan aktifitas penyakit (Depkes, 2007).

g. Pencegahan

Pencegahan TB agar tidak menularkan ke orang lain

diantaranya (Depkes, Program Penanggulangan TB, 2009):

1) Menelan OAT secara lengkap dan teratur sampai sembuh.

Pasien TB harus menutup mulutnya dengan satu tangan atau

tisu maupun tangan pada saat bersin dan batuk setelah itu

mencuci tangan.

2) Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi pada

tempat khusus dan tertutup. Misalnya, dengan menggunakan

wadah atau kaleng bertutup yang sudah diberi air sabun.

Buanglah dahak ke lubang WC atau timbun ke dalam tanah di

tempat yang jauh dari keramaian.

3) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) :

a) Menjemur alat tidur.

b) Membuka pintu dan jendela setiap pagi agar udara dan

sinar matahari langsung dapat mematikan kuman TB.

c) Makan-makanan bergizi.

d) Tidak merokok dan minum minuman keras.

e) Olahraga secara teratur.

f) Mencuci pakaian hingga bersih.

g) Buang air besar dijamban atau WC.


18

h) Mencuci tangan hingga bersih dengan air yang mengalir

setelah selesai buang air besar, sebelum dan sesudah

makan.

i) Beristirahat cukup.

j) Tidak tukar menukar peralatan mandi.

h. Faktor Resiko

Kejadian suatu penyakit menurut John Gordon

menyebutkan bahwa timbul tidaknya suatu penyakit pada

manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama yang digambarkan

dalam segitiga yang dikenal dengan istilah segitiga epidemiologi

yang saling mempengaruhi (Najmah, 2015) diantaranya :

1) Faktor Agent (Penyebab Penyakit)

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman TB (Mycobacteria Tuberculosis)

termasuk dalam family Mycobacteriaceae dan termasuk

dalam ordo Actinomy. Mycobacteria Tuberculosis merupakan

jenis yang terpenting dan paling sering ditemui

(Kemenkes,

2011)

2) Faktor Enviroment (Lingkungan)

a) Kepadatan Hunian Rumah

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas

lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu

rumah tinggal. Secara umum penilaian kepadatan

penghuni dengan menggunakan ketentuan standar

minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi


19

syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas


2
lantai dengan jumlah penghuni > 9 m perorang dan

kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan

bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah

2
penghuni < 9 m perorang (Lubis dalam (Ruswanto, 2010)

b) Pencahayaan Alami

Pencahayaan alami ruangan rumah ialah

penerangan yang bersumber dari sinar matahari yaitu

semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya

matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting

kaca. Sinar matahari sangat penting karena dapat

membunuh bakteri pathogen didalam rumah salah

satunya kuman TB (Machfoedz, 2008)

c) Ventilasi

Rumah yang cukup sehat sebaiknya memiliki jumlah

ventilasi yang cukup sekurang-kurangnya 15%-20% dan

perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat masuk ke

dalam ruangan tanpa terhalang oleh bangunan lainnya.

(Machfoedz, 2008)

d) Suhu

Indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang

memenuhi syarat kesehatan adalah 20°C sampai 30°C

dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan

adalah < 20°C atau 30°C. Mycobacterium Tuberculosis

merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam


20

rentang 25°C-40°C, akan tetapi bakteri ini tumbuh secara

optimal pada suhu 31°C-37°C (Ruswanto, 2010).

e) Jenis lantai

Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembapan,

pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat

menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya dan

dapat menjadi media penularan kuman TB paru (Adnani &

Hariza, 2012)

f) Kelembaban

Kelembaban yang tidak memenuhi syarat akan

mendukung kehidupan kuman TB, apabila kelembaban

tinggi dalam suatu rumah, maka kuman TB dapat

bertahan hidup dan berkembang dengan tidak baik

sehingga menjadi mata rantai penularan TB paru (Naben,

Ximenis, Suhartono, & Nurjazuli, 2013)

3) Faktor Host (Pejamu)

a) Umur

Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada

kejadian TB. Resiko untuk mendapatkan TB paru dapat

dikatakan sebagai kurva normal terbalik, puncaknya pada

dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang

menjelang umur tua. Insiden tertinggi TB paru biasanya

mengenai umur dewasa muda. Indonesia diperkirakan

75% penderita TB paru adalah kelompok umur produktif

yaitu 15 sampai 50 tahun (Kemenkes,2011).


21

b) Jenis kelamin

Jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat

dibandingkan jumlah penderita TB paru pada perempuan,

yaitu 42,3% pada laki-laki dan 28,9% pada perempuan.

TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan

dengan perempuan karena laki-laki sebagian besar

mempunyai kebiasaan merokok sehingga mudah

terjangkit TB paru (Ruswanto, 2010).

c) Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi

terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai

rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan

pengetahuan penyakit TB paru (Ruswanto,2010).

Hasil (Riskesdas, 2013) menunjukkan bahwa proporsi

penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang

tidak pernah sekolah yaitu sebesar 0,5%.

d) Jenis Pekerjaan

Bila sesorang bekerja di lingkungan yang berdebu

paparan partikel debu di daerah terpapar akan

menyebabkan gangguan pada saluran pernafasan.

Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan

morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran

pernafasan dan umumnya TB paru (Ruswanto,2010).

Hasil (Riskesdas, 2013) menunjukkan bahwa proporsi


22

penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang

tidak bekerja yaitu sebesar 11,7%..

e) Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang

menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang

rendah, diantaranya infeksi HIV atau AIDS dan malnutrisi.

Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya

tahan tubuh seluler dan merupakan faktor resiko paling

kuat bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi penderita TB

paru dengan hasil BTA (+). Bila jumlah orang yang

terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan

meningkat dengan demikian penularan TB di masyarakat

akan meningkat pula (Kemenkes, 2011).

f) Status Gizi

Kejadian gizi buruk yang buruk, maka reaksi

kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemamapuan

dalam mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi

seperti TB paru mengalami penurunan, dengan demikian

seseorang yang menderita TB paru pada umumnya status

gizinya mengalami penurunan ( (Notoatmodjo, 2007)

g) Status Imunisasi BCG

Status Imunisasi BCG mempengaruhi kejadian TB.

Tujuan imunisasi BCG (Basil Calmette Guerin) yaitu untuk

mencegah bayi atau anak terserang penyakit TB yang

berat. Hal ini dikarenakan bayi atau anak masih rentan


23

terinfeksi Mycobacterium Tuberkulosis penyebab penyakit

TB akibat adanya kontak dengan pendeita TB yang ada di

sekitarnya seperti orang tua, keluarga, pengasuh dan lain-

lain (Setiarini, 2011).

h) Merokok

Merokok adalah membakar tembakau yang

kemudian dihisap asapnya, baik menggunakan rokok

maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang

rokok yang dibakar adalah 900°C untuk ujung rokok yang

dibakar dan 30°C untuk ujung rokok yang terselip di antara

bibir perokok. Asap panas yang berhembus terus menerus

masuk ke dalam rongga mulut merupakan rangsangan

panas yang menyebabkan perubahan aliran darah dan

mengurangi pengeluaran air ludah. Akibatnya rongga

mulut menjadi kering sehingga perokok beresiko lebih

besar terinfeksi bakteri (Kemenkes, 2012).

Merokok dapat mengganggu bersihan mukosilier.

Makrofag alveolar paru yang merupakan pertahanan

utama terjadi penurunan dalam fungsi fagositosis dan

membunuh kuman pada individu yang merokok. Merokok

berhubungan dengan penurunan tingkat sitokin

proinflamasi yang dikeluarkan. Sitokin sangat penting

untuk respons awal pertahanan lokal untuk infeksi kuman

termasuk TB. Dalam berbagai studi menunjukkan bahwa

jumlah dan lamanya merokok pada perokok aktif


24

berpengaruh terhadap resiko infeksi TB sedangkan pada

perokok pasif berhubungan dengan peningkatan kejadian

TB pada anak dan usia muda (PPTI, 2012)

Janson menyebutkan bahwa pajanan asap rokok

dapat beresiko mengakibatkan penurunan aktifitas

mukosiliar epitel, penurunan bersihan partikel asing oleh

epitel, dan abnormalitas permeabilitas vaskular, sehingga

meningkatkan resiko seorang terinfeksi TB (PPTI, 2012).

Temuan yang dikumpulkan oleh International Union

Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD)

menunjukan bahwa pajanan asap rokok berhubungan

dengan resiko penularan TB paru, terutama pajanan asap

sekunder atau Secondhand Smoke (asap yang

dikeluarkan dari mulut perokok).

Korban utama dari temuan ini adalah anak-anak dan

umur muda yang dikaitkan dengan kematian anak-anak

akibat TB paru pada satu dari lima orang terutama

berhubungan kebiasaan merokok orang tua di dekat

anaknya. Kematian dan kekambuhan TB beruhubungan

dengan jumlah serta lama merokok pada penderita TB

sehingga program berhenti merokok perlu ditekankan

pada penderita TB (PPTI, 2012).


25

Penelitian Sarwani dan Nurlaela (2012) (Lambodo,

Palandeng, & Kallo, 2015), menunjukkan bahwa

kebiasaan merokok berhubungan dengan kejadian TB

paru dengan (p=0,022). Data menyebutkan dari 34 kasus

ada 17 orang diantaranya memiliki kebiasaan merokok,

gambaran perilaku merokok pada kelompok kasus

menunjukkan semuanya merokok lebih dari 10 batang

perhari, bahkan hampir 40% yang merokok lebih dari 20

batang per hari.

2. Rokok

a. Pengertian

Rokok adalah salah satu produk tembakau yang

dimaksudkan untuk dibakar, dihisap atau dihirup termasuk rokok

kretek, rokok putih, cerutu, atau bentuk lainnya yang dihasilkan

dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesialis

lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung Nikotin dan

Tar dengan atau tanpa bahan tambahan (Kemenkes, 2012).

b. Komposisi

Rokok mengandung 4800 jenis zat kimia diantaranya adalah

nikotin, tar, karbon monoksida (CO), timah hitam, dan lain-lain

(Kemenkes, 2012).
26

Adapun penjelasan dari komposisi rokok tersebut adalah

sebagai berikut :

1) Nikotin

Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang

terdapat dalam Nikotiana Tabacum, dan spesies lainnya atau

sintesisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan

ketergantungan. Nikotin bersifat sangat adiktif, beracun dan

tidak berwarna. Nikotin yang dihirup dari asap rokok masuk ke

paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah kemudian masuk

ke dalam otak perokok dalam tempo 7-10 detik. Nikotin

merangsang terjadinya sejumlah reaksi kimia yang

mempengaruhi hormon dan neurotransmitter seperti

adrenalin, dopamine, dan insulin sehingga membuat sensasi

yang nikmat pada rokok seketika.

Secara farmakologi, nikotin adalah racun yang

mematikan. Konsentrasi nikotin biasanya sekitar 5% dari per

100 gram berat tembakau. Sebatang rokok biasanya

mengandung 8-20 mg nikotin. Tubuh menyerap 1 mg nikotin

untuk satu batang rokok yang dihisap. Kadar nikotin 4-6 mg

yang dihisap pleh orang dewasa setiap hari sudah bisa

membuat seorang ketagihan. Dosis lethal (mematikan) nikotin

pada manusia sekitar 60 mg.

Semakin banyak nikotin yang dikonsumsi, semakin

tinggi juga resiko untuk terkena penyakit akibat rokok. Hal ini

dikarenakan nikotin dapat terakumulasi di dalam hati,

ginjal,
27

lemak dan paru-paru. Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan

syaraf, menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik dan

diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung

seperti dipaksa, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah

pada pembuluh koroner bertambah, vasokontriksi pembuluh

darah perifer meningkatkan kolesterol LDL, dan meningkatkan

agregasi sel pembekuan darah.

2) Tar

Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika

yang bersifat karsinogenik. Sejenis cairan berwarna coklat tua

atau hitam yang bersifat lengket dan menempel pada paru-

paru sehingga dapat membuat warna gigi dan kuku seorang

perokok menjadi coklat, begitu juga di paru-paru. Tar yang

dihirup dari asap rokok dapat mengganggu kejernihan mukosa

silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama

dalam melawan infeksi. Silia juga dapat memperbaiki

menempelnya bakteri pada sel epitel pernafasan yang

hasilnya adalah kolonisasi bakteri dan infeksi.

Pada saluran nafas besar, sel mukosa membesar dan

kelenjar mukus bertambah banyak (hiperplasia). Kemudian

terjadi penurunan fungsi T sel yang dimanifestasikan oleh

penurunan perkembangbiakan mitogen T sel. Polarisasi

fungsi T sel dari respon TH-1 ke TH-2 mungkin juga

mengganggu pertahanan pejamu dalam melawan infeksi

akut. Tar juga mempunyai dampak negatif pada fungsi B-

limfosit membawa
28

kepada menurunya produksi imunoglobulin. Secara ringkas

tar dapat menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran

nafas dan jaringan paru-paru serta respon imunologis pejamu

terhadap infeksi (Eisner, 2013).

3) Karbon Monoksida (CO)

Karbon monoksida adalah suatu zat beracun yang

sifatnya tidak berwarna dan tidak berbau. Unsur ini dihasilkan

oleh pembakaran tidak sempurna dari unsur zat arang atau

karbon. Gas CO yang dihasilkan sebatang tembakau dapat

mencapai 3%-6% dan gas ini dapat dihisap oleh siapa saja.

Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin yang

terdapat dalam sel darah merah., lebih kuat daibandingkan

oksigen sehingga setiap ada asap tembakau, disamping

kadar oksigen udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel

darah merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang

diangkut adalah CO dan bukan oksigen.

Sel tubuh yang kekurangan oksigen akan melakukan

spasme yaitu menciutkan pembuluh darah. Bila proses ini

berlangsung terus menerus maka pembuluh darah mudah

rusak dengan terjadinya proses aterosklerosis (penyempitan).

Penyempitan pembuluh darah akan terjadi di mana-mana.

Pada saluran nafas kecil, terjadi radang ringan hingga

penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan

lendir. Pada jaringan paru, terjadi peningkatan jumlah sel


29

radang dan kerusakan alveoli (cabang dari paru) Kemenkes,

2012)

4) Timah Hitam

Timah hitam merupakan partikel asap rokok. Setiap satu

batang rokok yang dihisap diperhitungkan mengandung 0,5

mikrogram timah hitam. Bila seorang menghisap satu

bungkus rokok per hari berarti menghasilkan 10 mikrogram,

sedangkan batas bahaya kadar Pb dalam tubuh adalah 20

mikrogram/ hari.

c. Jenis Rokok

Rokok dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu (CDC, 2013):

1) Rokok Kretek

Rokok kretek mengandung 60-70% tembakau, 30-40%

cengkeh dan zat adiktif lainya. Rokok ini memiliki nikotin, tar,

karbon monoksida yang lebih banyak dari rokok lainya.

2) Rokok Putih

Rokok putih adalah jenis rokok yang diartikan sebagai

rokok tanpa campuran cengkeh seperti pada rokok kretek.

Rokok putih memiliki filter di ujung batang rokok. Rokok putih

atau seringkali disebut dengan rokok mild merupakan salah

satu dari produk olahan tembakau. Rokok ini memiliki

kandungan tar dan nikotin yang lebih rendah dibandingkan

degan rokok kretek dan rokok pada umumnya.


30

3) Rokok Linting atau Cerutu

Rokok linting atau cerutu adalah gulungan utuh daun

tembakau yang dikeringkan dan difermentasikan, yang mirip

dengan rokok, salah satu ujungnya dibakar dan asapnya

dihisap oleh mulut di ujung lainya. Rokok ini dianggap kurang

berbahaya oleh masyarakat karena bentuknya kecil dan

memiliki rasa yang menarik untuk anak-anak. Tetapi,

cerutu ini memiliki bahaya yang sama seperti rokok. Cerutu ini

dapat menimbulkan gangguan pernafasan bahkan kanker.

d. Klasifikasi

Perokok dapat dibagi menjadi beberapa golongan

tergantung pada jumlah rokok yang dikonsumsi. Berikut adalah

golongan atau klasifikasi perokok yaitu :

1) Tidak merokok

2) Merokok ringan (tidak setiap hari)

3) Merokok sedang (merokok setiap hari dalam jangka kecil)

4) Merokok berat (merokok lebih dari satu bungkus tiap hari)

5) Berhenti merokok/tidak pernah merokok.

(Kemenkes, 2012)

e. Jenis Perokok

Jenis perokok dibedakan menjadi tiga diantaranya :

1) Perokok ringan (1-10 batang perhari)

2) Perokok sedang (11-20 batang perhari)

3) Perokok berat (lebih dari 20 batang perhari).

(Kemenkes, 2012)
31

3. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB Paru

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan

meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit

jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung

kemih.Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB

paru sebanyak 2,2 kali (Achmadi, 2013).

Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang

lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita

perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan

mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru (Darmanto, 2012).

Teori trial epidemiologi dari John Gordon mengklasifikasikan

penyebab suatu penyakit ke dalam tiga faktor yaitu faktor Host,

Agent dan Environment (Muaz, 2014). Salah satu faktor host pada

TB paru ialah kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok

memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terkena tuberkulosis paru

(Horshburgh,2009).

B. Landasan Teori

Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyakit infeksi menular yang

disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis yang dapat menyerang

berbagai organ khususnya paru-paru. Penyakit tuberkulosis paru dapat

disebabkan oleh 3 faktor menurut John Gordon dalam teorinya segitiga

epidemiologi diantaranya faktor agent, environment dan Host.

Merokok merupakan salah satu faktor host dan merupakan factor

resiko TB Temperatur pada satu batang rokok yang dibakar merupakan

rangsangan panas yang menyebabkan perubahan aliran darah dan


32

mengurangi produksi air ludah akibatnya rongga mulut menjadi kering

sehingga pada perokok beresiko lebih besar terinfeksi bakteri termasuk

bakteri tuberkulosis. Merokok berhubungan dengan penurunan

tingkat sitokin proinflamasi sebagai respon awal pada pertahanan lokal

untuk infeksi kuman. Jumlah dan lamanya merokok pada perokok aktif

berpengaruh terhadap resiko terinfeksi TB paru sedangkan panjanan

asap rokok atau lebih dikenal dengan perokok pasif berhubungan dengan

resiko penularan TB paru terutama asap yang dikeluarkan dari mulut

perokok penderita TB paru sehingga meningkatkan resiko seseorang

terinfeksi TB walaupun bukan perokok.

C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan

dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau

menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap

penting untuk masalah (Notoatmodjo, 2010).

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah asebagai

berikut.
33

Faktor Agent :
Mycobacterium Tuberculosis
Faktor Environment :
1. Kepadatan Hunian
Rumah
2. Pencahayaan Alami
3. Ventilasi
4. Suhu
5. Jenis Lantai
6. Kelembaban TB (+)
Kejadian
Faktor Host :
Tuberkulosis
1. Umur
2. Jenis kelamin Paru
TB (-)
3. Tingkat pendidikan
4. Jenis Pekerjaan
5. Penyakit HIV
6. Status gizi
7. Status imunisasi
BCG
8. Merokok

Gambar 2.1
Keterangan : Kerangka
= TidakKonsep
diteliti
(Sumber : Najmah, 2015)

= Diteliti

= Tidak diteliti

Sesuai kerangka teori bahwa penyebab penyakit menurut John

Gordon dibagi kedalam tiga bagian yang disebut segitiga epidemiologi

yaitu faktor agent, environment, host. Dari ketiga faktor peneliti lebih

memilih faktor host salah satunya merokok yang merupakan faktor resiko

penting yang dapat diubah (modified) dan memiliki dampak yang

signifikan terhadap epidemiologi tuberkulosis paru secara global

(Panjaitan, 2012).
34

Berbagai studi menunjukkan bahwa jumlah dan lamanya merokok

pada perokok aktif berpengaruh terhadap risiko infeksi TB sedangkan

pada perokok pasif dikaitkan dengan pajanan asap rokok sekunder atau

asap yang dikeluarkan dari mulut perokok (PPTI, 2012).

Faktor environment diantaranya kepadatan hunian yang

berpengaruh terhadap kondisi pencahayaan, ventilasi, suhu maupun

kelembaban tidak diteliti karena hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

Rosiana (2013) dalam (Sejati & Sofiana, 2015) menunjukkan bahwa

kepadatan hunian tidak ada hubungannya dengan kejadian TB

dikarenakan setiap orang memiliki peluang yang sama untuk terpapar

dan menderita TB paru.

D. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian, yang

kebenarannya harus diuji secara empiris (Notoatmodjo, 2010).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Terdapat hubungan antara

kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis ”


DAFTAR PUSTAKA

Adnani, & Hariza. (2012). Hubungan Kondisi Rumah dengan Penyakit TBC Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunung Kidul
Tahun 2003-2006. Jurnal Kesehatan Surya Medika

Bahar, A. d. (2009). Tuberkulosis Paru. In A. W. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu


Penyakit
Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI.

CDC. (2013). Tersedia di http://www.cdc.gov/tobacco/data_statistics/fact_


sheets/tobacco_industr y/hookahs/index.htm [diakses 16 Maret 2016

Depkes. (2007). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen


Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes. (2009). Program Penanggulangan TB. Direktorat Jenderal


Pengendalian penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Dinkes, C. (2015). Angka Kejadian Tuberkulosis Paru. Ciamis : Dinkes Ciamis.

Eisner, M. (2013). Biology and Mechanisms for Tobacco-attributable

Respiratory
Diseases, including TB, Bacterial Pnemonia and Other Respiratory
Diseases. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease , 12.

Fatimah, S. (2008). Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan


dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap (Kecamatan Sidareja,
Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun 2008.
Program Pasca Sarjana Universitas Dipenogoro Semarang.

Hastono, S., & Sabri, L. (2010). Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers.

Horshburgh, C.R. (2009). Epidemiology of Tuberculosis. Available

from :
www.uptodate.com [Accessed 15 Maret 2016

Ketut, & S, N. L. (2013). Faktor Resiko Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di


Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi Ntb Tahun 2013.
Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Udayana .

Adnani, & Hariza. (2012). Hubungan Kondisi Rumah dengan Penyakit TBC
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunung
Kidul Tahun 2003-2006. Jurnal Kesehatan Surya Medika.

Bahar, A. d. (2009). Tuberkulosis Paru. Dalam A. W. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI.

Depkes. (2007). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen


Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes. (2009). Program Penanggulangan TB. Direktorat Jenderal
Pengendalian penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Dinkes, C. (2015). Angka Kejadian Tuberkulosis Paru. Ciamis : Dinkes Ciamis.

Eisner, M. (2013). Biology and Mechanisms for Tobacco-attributable


Respiratory Diseases, including TB, Bacterial Pnemonia and Other
Respiratory Diseases. The International Journal of Tuberculosis and
Lung Disease,
12.

Fatimah, S. (2008). Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan


dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap (Kecamatan Sidareja,
Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun
2008. Program Pasca Sarjana Universitas Dipenogoro Semarang.

Hastono, S., & Sabri, L. (2010). Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali

Pers. Kemenkes. (2011). Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes. (2012). Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberkulosis


di Indonesia Tahun 2012. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Kemenkes. (2012). Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 Tentang


Penggunaan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa
Tembakau Bagi Kesehatan. . Jakarta: Kementerian Kesehatan.

Kemenkes. (2012). Peraturan Pemerintah No.109 tahun 2012 tentang


Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa
Tembakau bagi Kesehatan. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.

Kemenkes. (2015). Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh. Pusdatin.

Kemenkes, R. (2013). Profile Kesehatan Indonesia 2013. Kementrian

Kesehatan
RI.

Kemenkes, R. (2014). Pedoman Nasional Tuberkulosis. Jakarta: Direktorat


Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Kesehatan RI, R. K. (2015). Kesehatan dalam Kerangka Sustainable


Development Goals (SDGs). Jakarta.

Ketut, & S, N. L. (2013). Faktor Resiko Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru


di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi Ntb Tahun
2013. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Kurniasari, Setia, R. A., Suhartono, & Cahyo, K. (2012, Oktober). Faktor
Resiko Kejadian Tuberkulosis Paru di Kecamatan Baturetno Kabupaten
Wonogiri. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia(11).

Kusuma. (2007). Diagnostik Tuberkulosis Paru (Vol. 8). Sari Pediatri.

Lambodo, A. Y., Palandeng, H., & Kallo, V. D. (2015, Mei). Hubungan


Kebiasaan Merokok dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas
Siloam Kecamatan Tamako Kabupaten Kepulauan Singihe. jurnal
Keperawatan,
3.

Machfoedz, I. (2008). Menjaga Kesehatan Rumah Dari Berbagai Penyakit


Bagian Dari Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Masyarakat, Sanitasi
Pedesaan dan Perkotaan.

Machfoedz, I. (2008). Menjaga Kesehatan Rumah dari Berbagai Penyakit,


Bagian dari Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Masyarakat,
Sanitasi Pedesaan dan Perkotaan.

Machfoedz, I. (2008). Menjaga Kesehatan Rumah dari Berbagai Penyakit,


Bagian dari Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Masyarakat,
Santitasi Pedesaan dan Perkotaan.

Manullang, S. (2011). Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarat


Tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian
Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan
Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Bara. Medan: Universitas Sumatera
Utara.

Muaz, F. (2014). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru


Basil Tahan Asam Positif di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang
Kota Serang. Skripsi .

Muhammadiyah, P. P. (2010). Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan


Pusat Muhammadiyah No.6/SM/MTT/III/2010 tentang Hukum
Merokok. Muhammadiyah.

Naben, Ximenis, A., Suhartono, & Nurjazuli. (2013, April). Kebiasaan Tinggal
di Rumah Etnis Timor Sebagai Faktor Resiko Tuberkulosis Paru.
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 12.

Najmah. (2015). Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat.

Notoatmodjo, S. (2007). Ilmu Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni.

Jakarta:
Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.


Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan . Surabaya: Salemba
Medika.

Panjaitan, F. (2012). Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa Rawat


Inap di Rumah Sakit Umum Dr. Soedarso Pontianak Periode
September- November 2010.

PDPI. (2011). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.


Jakarta: Perhimpunan Doker Paru Indonesia.

PPTI. (2012). Merokok dan Tuberkulosis. Jurnal Tuberkulosis Indonesia, 18-

23. Price, S. A., & Standridge, M. P. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis

Proses-
Proses Penyakit . Jakarta: EGC.

Raynel, F. (2010). Gambaran komponen konsep diri pada penderita TB paru di


wilayah kerja Puskesmas Padang Pasir kota Padang. Jurnal
keperawatan Ners, 6, 93-98.

RI, K. (2010). Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok. Jakarta: Pusat


Promosi Kesehatan.

RI, K. K. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.

RI, K. K. (2015). Tuberkulosis : Temukan Obati Sampai Sembuh.

Pusadatin. Riduan, A. (2007). Rumus dan Data dalam Analisis dan

Statistik. Bandung:
Alfabeta.

Riskesdas. (2013). Laporan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Kementrian


Kesehatan.

Riskesdas. (2013). Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Kementrian


Kesehatan.

Rosiana, A. M. (2013). Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian


Tuberkulosis Paru. Unnes Journal of Public Health, 2, 1-8.

Rusnoto. (2013). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB paru


Pada Usia Dewasa (Studi Kasus di balay Pencegahan dan
Pengobatan Penyakit Paru Pati). Jurnal Epidemiologi.

Rusnoto, Rahmatullah, P., & Udiono, A. (2008). Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru Pada Usia Dewasa (Studi
kasus di Balai Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit Paru Pati). Jurnal
Epidemiologi.
Ruswanto, & Bambang. (2010). Analisis Spasial Sebaran Kasus
Tuberkulosis Paru Ditinjau dari Faktor Lingkungan dalam dan Luar
Rumah di kabupaten Pekalongan. Tesis Program Pascasarjana
Universitas Dipenogoro.

Ruswanto, B. (2010). Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru


Ditinjau dari Faktor Lingkungan dalam dan Luar Rumah di Kabupaten
Pekalongan. Skripsi : Universitas Dipenogoro.

Sayuti, J. (2013, November). Asap Sebagai Salah Satu Faktor Risiko Kejadian
TB Paru BTA Positif.

Sejati, A., & Sofiana, L. (2015). Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis. Jurnal


Kesehatan Masyarakat.

Serimbing, S. M. (2012). Perilaku Penderita TB Paru Positif dalam Upaya


Pencegahan Penularan Tuberkulosis Pada Keluarga di
Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah . Medan .

Setiarini. (2011). Penggunaan Vaksin BCG untuk Pencegahan Tuberkulosis.

Setiarni, S. M., Sutomo, A. H., & Hariyono, W. (2011). Hubungan antara Tingkat
Pengetahuan, Status Ekonomi dan Kebiasaan Merokok dengan
Kejadian Tuberkulosis Paru pada Orang Dewasa di Wilayah Kerja
Puskesmas Tuan-Tuan Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Jurnal
Kesehatan Masyarakat.

Soetioso, V. B. (2015). Hubungan antara Merokok dengan Kejadian Tuberkulosis


Paru di RSUD Dr. Soewandhie Surabaya.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D .


Bandung: Alfabeta.

Suharmiati, Handajani, L., & Handajani, A. (2010, September). Hubungan Pola


Penggunaan Rokok Dengan Tingkat Kejadian Penyakit Asma. 394-

403. UPTD Kesehatan, P. S. (2015). Angka Kejadian Tuberkulosis Paru.

WHO. (2012). Global Tuberculosis Report. France.

WHO. (2013). Global Tuberculosis Report. France .

Anda mungkin juga menyukai