Wahyu Damarwati
3425140764
Difteri adalah penyakit infeksi saluran pernafasan atas yang ditandai oleh
adanya pseudomembran dan dapat menyerang kulit serta organ sistemik lain.
Penyakit ini disebabkan oleh jenis Corynebacterium diphtheriae yang bersifat
toksigenik. Selain itu terdapat juga Corynebacterium ulcerans dan
Corynebacterium pseudotuberculosis yang biasanya menyerang hewan dan
memiliki gejala klinis yang mirip dengan penyakit difteri pada manusia. Jenis
Corynebacterium diphtheriae ada yang bersifat toksigenik dan non toksigenik.
Pengujian toksigenisitas isolat bakteri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
pengujian dengan elek test dan dengan menggunakan PCR untuk mendeteksi gen
tox. Hasil positif pengujian toksigenisitas isolat bakteri penyebab difteri pada
pengujian dengan elek test dapat terlihat hasil berupa garis presipitasi berwarna
putih diantara olesan bakteri dengan Anti Difteri Serum (ADS) yang
menggunakan prinsip imunopresipitasi yaitu ikatan antara antigen dan antibodi,
dimana toksin difteri bertindak sebagai antigen dan Anti Difteri Serum (ADS)
bertindak sebagai antibodi. Hasil positif pengujian toksigenisitas bakteri dengan
metode PCR yaitu terbacanya dua pita DNA pada 538 bp dan 162 bp.
i
LEMBAR PENGESAHAN
Disetujui,
Pembimbing 2 Pembimbing 1
Mengetahui,
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
ridho dan rahmat serta limpahan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
laporan observasi dan laporan penelitian Praktek Kerja Lapangan (PKL). Melalui
laporan observasi dan laporan penelitian ini, penulis dapat memaparkan profil
Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Jakarta serta kegiatan
penelitian yang telah dilakukan selama kegiatan PKL di Puslitbang Biomedis dan
Teknologi Dasar Kesehatan Jakarta. Penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada pihak-pihak yang telah membatu dalam penyusunan dan penyelesaian
laporan observasi dan laporan penelitian ini. Ucapan terimakasih ini penulis
tujukan kepada :
1. Ibu drh. Atin Supiyani, M.Si selaku dosen pembimbing I dari Universitas
Negeri Jakarta yang telah besedia meluangkan waktunya untuk
membimbing dan memberi arahan serta perbaikan dalam proses penulisan
dengan sangat baik, penuh kesabaran serta keikhlasan sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan observasi dan laporan penelitian PKL.
2. Bapak Dr. Sunarno M.Si, Med selaku pembimbing II dari Puslitbang
Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Jakarta yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis selama kegiatan penelitian PKL
berlangsung dengan sangat baik dan penuh kesabaran serta keikhlasan dan
memberi arahan serta proses perbaikan dalam penulisan laporan sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan observasi dan laporan penelitian
PKL.
3. Ibu Dr. Reni Indrayanti, M.Si selaku Koordinator Program Studi Biologi,
Universitas Negeri Jakarta.
4. Bapak Kambang Sariadji S.Si, M. Biomed selaku Kepala Laboraorium
Bakteriologi yang telah membantu dan memberi izin kepada penulis untuk
melakukan kegiatan PKL di Laboratorium Bakteriologi, Puslitbang
Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Jakarta.
iii
5. Bapak Bangkit dan Bapak Bambang yang telah membantu dalam
kelancaran perizinan PKL di Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan Jakarta.
6. Para peneliti dan tenisi di Laboratorium Bakteriologi Puslitbang Biomedis
dan Teknologi Dasar Kesehatan Jakarta, Ibu Nelly, Ibu Wati, Mbak Novi,
Mbak Sundari, Mbak Pooh, Mbak Intan, Bapak Nirvan, Bapak Jaya yang
telah memberi arahan serta bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga
penulis dapat mempelajari bagaimana bekerja di laboratorium dengan baik
dan dapat belajar mengenai teknik dari uji toksigenisitas bakteri penyebab
difteri sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan PKL dengan baik
dan penulis dapat menyelesaikan laporan observasi serta laporan penelitian
PKL.
7. Mama, Bapak dan Adik yang telah memberikan semangat, do’a dan kasih
sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan PKL serta dapat
menyelesaikan proses penulisan laporan observasi dan laporan penelitian
PKL.
8. Teman-teman Biologi 2014 terkhusus Siti Fatimah, Ade Nahdia, Adiati
Bintari dan Nur Alivia yang telah memberikan semangat, bantuan serta
do’a dalam proses pelaksanaan PKL hingga penulis dapat menyelesaikan
laporan observasi dan laporan penelitian PKL ini.
Laporan observasi dan laporan penelitian ini masih jauh dari sempurna
sehingga besar harapan penulis untuk mendapatkan kritik serta saran demi
kebaikan dan pengembangan laporan ini di masa mendatang. Harapan penulis
semoga laporan observasi dan laporan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan pembaca sehingga dapat dijadikan acuan untuk penelitian-penelitian
selanjutnya terkait uji toksigenisitas.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN…………………………………………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... ii
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL.................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR ….......................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... ix
v
BAGIAN 2. LAPORAN KEGIATAN PKL
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................18
B. Perumusan Masalah................................................................................20
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................21
D. Manfaat Penelitian .................................................................................21
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Etiologi Difteri...............................................................22
B. Patogenisitas Bakteri………………........................................................23
C. Toksigenisitas Bakteri……………….…………………........................26
D. Faktor Genetik Yang Berperan Dalam Toksigenitas Bakteri Penyebab
Difteri……………………….………………………………………….27
E. Pemeriksaan Toksigenisitas……….………………………...................28
F. Identifikasi Secara Umum dan Pemeriksaan Laboratorium…………...29
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................31
B. Metode Penelitian
1. Alat dan Bahan ..................................................................................31
2. Prosedur Penelitian ...........................................................................31
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ...........................................35
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pemeriksaan toksigenisitas bakteri penyebab difteri dengan Elek Tes
…………………………….....................................................................36
B. Pemeriksaan toksigenisitas Corynebacterium dengan metode PCR
………………………………………………………………….………38
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……………………………………………………………42
B. Saran ……………………………………………………………..........42
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Difteri adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan atas yang
ditandai oleh inflamasi pada daerah yang terkena infeksi. Selain pada saluran
pernaafasan atas (Acang, 1996), difteri juga menyerang kulit yang ditandai oleh
adanya lesi pada kulit (Benoist et al., 2004) serta organ sistemik lainnya
(Vetrichevvel et al., 2008) dan menimbulkan berbagai penyakit seperti
miokarditis, ginjal dan sistem saraf. Penyakit ini disebabkan oleh spesies bakteri
dari Corynebacterium.
Spesies dari Corynebacterium yang menyebabkan penyakit difteri adalah
Corynebacterium diphtheriae. Spesies dari Corynebacterium lainnya yang dapat
menyebabkan gejala yang mirip dengan penyakit difteri adalah Corynebacterium
ulcerans dan Corynebacterium pseudotuberculosis. Spesies dari Corynebacterium
dapat bersifat toksigenik, non toksigenik atau Non Toxigenic Tox-gene Bearing
(NTTB). Strain bakteri toksigenik dapat menghasilkan toksin yang dapat
menyebabkan gejala berupa inflamasi dan terbentuknya pseudomembran,
miokarditis, polyneuritis serta gejala sistemik lainnya. Toksin difteri ini
bertanggung jawab terhadap kerusakan organ internal yang berhubungan dengan
saluran pernafasan atas (Burkovski, 2014).
Strain non toksigenik tidak dapat mensekresikan toksin. Strain ini dapat
menyebabkan penyakit seperti endokarditis dan sepsis. Strain non toksigenik
dapat berubah menjadi toksigenik apabila diinsersi oleh corynephage yang
membawa gen tox. Sebagian strain non toksigenik memiliki gen tox tetapi gen
tersebut tidak terekspresi sehingga tidak dapat menghasilkan toksin secara
fenotipik. Strain ini dikenal dengan strain Non Toxigenic Tox-gene Bearing
(NTTB).
Kasus difteri di dunia dan di Indonesia sangatlah tinggi. Indonesia
menduduki peringkat ke-3 dunia dengan kasus difteri tertinggi setelah India
1
2
dan Madagaskar. Oleh sebab itu, diagnosis penyakit difteri sangatlah penting serta
pemeriksaan difteri menjadi hal yang tidak dapat dikesampingkan mengingat
epidemi difteri yang tinggi. Dilakukannya pemeriksaan secara cepat dapat
ditentukan penanganan apa yang harus diberikan. Dengan demikian, epidemi
difteri dapat dikendalikan dan kasus difteri dapat ditekan.
B. Tujuan
Tujuan dari Praktek Kerja Lapangan ini adalah untuk mengasah kemampuan
dalam bekerja di laboratorium, berlatih bekerja sama dalam mengerjakan
penelitian di laboratorium, menerapkan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan
dari universitas (baik teori maupun praktek) di dalam dunia kerja, menambah
wawasan dan pengetahuan baru dari lapangan (laboratorium), berlatih menguji
bakteri yang menghasilkan toksin.
3
4
Kegiatan dikelola oleh 3 (tiga) satuan kerja, yaitu Pusat Biomedis dan
Teknologi Dasar Kesehatan (PBTDK), Balai Litbang Biomedis Papua dan Loka
Litbang Biomedis Aceh, juga dapat melibatkan unit lain dengan mekanisme
keseminatan. Sasaran kegiatan adalah meningkatnya penelitian dan
pengembangan di bidang biomedis dan teknologi dasar kesehatan. Indikator
pencapaian sasaran kegiatan sampai dengan tahun 2019 adalah:
1) Jumlah rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari penelitian dan
pengembangan di bidang biomedis dan teknologi dasar kesehatan sebanyak 25
rekomendasi.
2) Jumlah publikasi karya tulis ilmiah di bidang biomedis dan teknologi dasar
kesehatan yang dimuat di media cetak dan atau elektronik nasional dan
internasional sebanyak 100 publikasi.
3) Jumlah hasil penelitian dan pengembangan di bidang Biomedis dan Teknologi
Dasar Kesehatan sebanyak 88 dokumen hasil penelitian.
4) Jumlah laporan status biomedis hasil Riset Kesehatan Nasional sebanyak 5
laporan.
5) Jumlah Laporan Dukungan Manajemen Litbang Bidang Biomedis dan
Teknologi Dasar Kesehatan sebanyak 55 laporan.
C. Struktur Organisasi
D. Lokasi
Pusat penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan) berlokasi di
Jalan Percetakan Negara No. 23, RT. 23/ RW. 7, Johar Baru, Kota Jakarta Pusat
10560.
E. Kegiatan
Kegiatan penelitian di Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan
dikelompokkan dalam 4 sub bidang:
1. Sub Bidang Penyakit Menular
Kegiatan yang dilakukan di sub bidang ini antaralain melaksanakan penelitian
dan pengembangan kesehatan di bidang inovasi vaksin dan diagnostik dengan
metode yang memanfaatkan biologi manusia, agen penyakit, etiologi dan
prognostic sampai dengan uji klinik penyakit menular.
2. Sub Bidang Penyakit Tidak Menular
Kegiatan yang dilakukan pada sub bidang ini antaralain melakukan
penyusunan kebijakan teknis dan pelaksanaan penelitian dan pengembangan
kesehatan di bidang inovasi vaksin dan diagnostic dengan metode yang
memanfaatkan biologi manusia, agen penyakit, etiologi dan prognostik sampai
dengan uji klinik penyakit tidak menular.
3. Sub Bidang Produk Biologi
Kegiatan yang dilakukan pada sub bidang ini antaralain melakukan penyiapan
penyusunan kebijakan teknis dan pelaksanaan penelitian dan pengembangan
kesehatan di bidang produk biologi meliputi obat, obat tradisional, biosimilar
dan formula makanan sampai dengan uji klinik.
4. Sub Bidang Instrumen dan Produk Diagnostik
Kegiatan yang dilakukan dalam sub bidang ini antara lain melakukan
penyiapan penyusunan kebijakan teknis dan pelaksanaan penelitian dan
pengembangan kesehatan di bidang instrumen dan produk diagnostik sampai
dengan uji klinik.
8
F. Laboratorium
Berikut laboratorium yang terdapat pada Puslitbang Biomedis dan Teknologi
Dasar Kesehatan:
1. Laboratorium Bakeriologi
Kegiatan yang dilakukan di laboratorium bakteriologi selain penelitian dan
pengembangan di bidang kesehatan juga menyediakan pelayanan kepada
masyarakat untuk pemeriksaan makanan, minuman dan air secara mikrobakterial.
Selain itu kegiatan yang dilakukan berupa melakukan identifikasi dan resistensi
terhadap Enterobacteriaceae, TBC Mycobacteriacea, Shigella, Salmonella,
Typoid dan Lain-lain; melakukan penentuan LT dengan test Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA), ST (Suckling mice) dan ETEC
Laboratorium Swasta dan lain-lain; (f) Penunjang kegiatan penelitian dan KLB
lainnya.
3. Laboratorium Parasitologi
Kegiatan yang dilakukan di laboratorium parasitologi antara lain: (a)
Pemeriksaan mikroskopis untuk mengidentifikasi parasit malaria, filaria, parasit
dan protozoa usus serta vektor; (b) Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi
antigen (parasit dan konfirmasi vektor) dan human antibody dengan teknik
ELISA, atau presipitin; (c) Pemeriksaan biomolekuler malaria untuk penentuan
spesies (Plasmodium falciparum, P.vivax, P.ovale, P.malariae, P.knowlesi),
genotype parasit P. falciparum, identifikasi gen resisten terhadap obat antimalaria
tertentu dan pengembangan diagnosa dalam membedakan kegagalan pengobatan
karena parasit resisten dengan infeksi baru; (d) Pengembangbiakan parasit malaria
(Plasmodium falciparum) secara berkesinambungan; (e) Pengembangbiakan
parasit rodent malaria (P. berghei dan P. yoelii) pada binatang percobaan; (f) Uji
efikasi obat antimalaria secara in vivo dan in vitro; (g) Uji efektifitas tanaman
obat sebagai obat antimalaria secara in vivo dengan menggunakan hewan coba
atau secara in vitro pada biakan parasit; (h) Melakukan kultur cacing usus dan
cacing lainnya, identifikasi schisotomiasis filariasis, malaria, protozoa dan
penyakit parasit lainnya; (i) Melakukan test resistensi in vivo dan in vitro terhadap
P. Falciparum; (j) Melakukan uji Enzym Link Immunosorbent Assay (ELISA) dan
transformasi limfosit dan Polimerase Chain Reaction (PCR), vivax dan lain-lain.
4. Laboratorium Immunologi
Kegiatan yang dilakukan di laboratorium immunologi antara lain: (a)
Pemeriksaan Enzyme Linked Immunosorbant Assay (ELISA) untuk 15 parameter
Riskesdas (HIV Ag/Ab, Dengue IgG/IgM, Ig G Toxoplasma, Ig G Rubella, Ig G
Cytomegalovirus, EBV VCA Ig A, Ferritin, Ig G/IgM Campak, Ig G Difteri, Ig G
Pertusis, Ig G Tetanus, Anti HCV, HBsAg, Anti HBs, Anti HBc, TSH) serta
pemeriksaan untuk deteksi antigen penyakit tertentu (NS1 Dengue, IgM Dengue);
(b) Pemeriksaan Luminex (Multiplex Flow Cytometry Assay); (c) Pemeriksaan
FACS CALIBUR (Flowcytometry); (d) kloning; (e) elektroporator; (f) SDS
PAGE; (g) Western Blott.
11
C. Pelaksanaan PKL
Kegiatan PKL ini dilaksanakan dari mulai persiapan sampel, persiapan
media, uji toksigeinsitas bakteri penyebab difteri dengan metode elek test, dan uji
toksigenisitas dengan menggunakan metode Polymerase Chan Reaction (PCR).
13
14
1. Persiapan sampel
Sampel isolat bakteri dipersiapkan dalam bentuk biakan cair di dalam botol
ampul. Jenis bakteri yang dipersiapkan antara lain: (a) Isolat bakteri sampel
dengan kode A, B, dan C; (b) isolat bakteri kontrol positif berupa NCTC 3984
dengan strain Corynebacterium diphtheriae biotipe gravis dan NCTC 10648
dengan strain Corynebacterium diphthriae biotipe gravis; (c) isolat bakteri kontrol
negatif berupa NCTC 12077 dengan strain Corynebacterium ulcerans. Bakteri
sampel dan bakteri kontrol dikultur pada medium agar darah dan diinkubasi dalam
inkubator pada suhu 37°C selama 24 jam.
Praktek Kerja Lapangan (PKL) adalah kegiatan yang sangat bermanfaat bagi
mahasiswa karena melalui PKL ini, mahasiswa dapat mengetahui dan merasakan
bagaimana kondisi sesungguhnya dalam dunia kerja di laboratorium. Mahasiswa
dapat belajar bekerja sama di dalam suatu pekerjaan. Kegiatan PKL ini juga
memberikan pengalaman berharga dan dapat menambah ilmu baik teoritis dan
praktek yang belum didapat di perkuliahan. Mahasiswa dapat belajar
mengembangkan ilmu yang diperoleh selama di perkuliahan dan
mengaplikasikannya di kegiatan PKL ini. Ilmu dan kemampuan serta pengalaman
mengenai teknik di laboratorium yang di dapatkan selama PKL ini sangat berguna
sehingga dapat meningkatkan kualitas lulusan yang nantinya diharapkan di dunia
kerja.
Penulis berharap laporan ini dapat berguna bagi pembaca khususnya
pembaca yang akan melakukan penelitian mengenai uji toksigenisitas bakteri serta
dapat memberikan pengetahuan bagi mahasiswa pada umumnya.
17
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh toksin dari bakteri
jenis Corynebacterium diphtheriae. Penyakit ini biasanya menyerang saluran
pernafasan atas (Acang, 1996). Selain itu, bakteri ini juga dapat menyerang kulit
(Benoist et al., 2004) dan dapat pula menyerang organ lainnya (Vetrichevvel et
al., 2008).
Sejak dipergunakannya vaksin difteri secara meluas di tahun 1920-an, kasus
difteri pernafasan telah terkontrol dengan baik di Amerika Serikat. Sebelum
adanya program vaksinasi, sedikitnya terdapat 200.000 kasus difteri terjadi setiap
tahunnya (CDC, 2003). Menurut World Health Organization (WHO), epidemik
difteri tetap menjadi ancaman kesehatan bagi negara berkembang (Dass, 2007).
Kasus difteri menyebabkan lebih dari 157.000 kasus dan 5.000 kematian (Mattos-
Guaraldi et al., 2003; Vitek, 1998).
Kasus difteri selama tahun 1993-2003 di Latvia menghasilkan 1.359 kasus
difteri dengan 101 angka kematian. Kejadiannya menurun dari 3,9 kasus per
100.000 kasus pada tahun 2001 menjadi 1,12 kasus per 100.000 populasi di tahun
2003. Selama tahun 1995-2002, 17 kasus difteri kulit disebabkan oleh strain
toksigenik di Inggris (Benois et al., 2004). Rasio Tingkat Kematian (Case
Fatality Ratio : CFR) difteri adalah 5-10% dari seluruh kasus, dengan angka
kematian tertinggi terjadi pada anak-anak (WHO, 2015).
Kasus difteri di Indonesia tergolong cukup tinggi dan membuat Indonesia
berada dalam peringkat ke-3 kasus difteri terbanyak di dunia setelah India dan
Madagaskar sebagaimana terlihat pada Tabel 2. berikut ini.
18
19
Tabel 2. Negara dengan kasus difteri terbanyak selama 2012-2016 (WHO, 2017)
Negara 2016 2015 2014 2013 2012
India 3380 2365 6094 3133 2525
Madagaskar 2865 1627 - - 1
Indonesia 342 252* 430 775 1192
Nepal 140 26 1079 103 138
Iran 10 28 13 190 150
Pakistan 12 9 9 183 98
* (Kemenkes, 2015).
Jumlah kasus difteri pada tahun 2015 sebanyak 252 kasus dengan jumlah
kasus meninggal sebanyak 5 kasus sehingga CFR difteri sebesar 1,98%. Dari 13
provinsi yang melaporkan adanya kasus difteri, kasus tertinggi pertama terjadi di
Sumatera Barat dengan 110 kasus. Terjadi peningkatan kasus yang besar di
Provinsi Sumatera Barat dibandingkan tahun 2014 yang hanya sejumlah 9 kasus.
Oleh karena itu telah dilaksanakan Outbreak Respons Imunization (ORI) di
Sumatra Barat. Kasus tertinggi kedua terdapat di Jawa Timur sebanyak 67 kasus.
Jumlah kasus difteri di Jawa Timur telah menunjukkan penurunan dibandingkan
tahun 2014 (396 kasus) dan 2013 (610 kasus).
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah sampel isolat positif Corynebacterium sp. mengekspresikan
tosin?
2. Apakah sampel isolat positif Corynebacterium sp. menghasilkan uji
positif terhadap elek test ?
21
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk menguji toksigenisitas dari sampel
isolat dengan metode elek test dan PCR. Dengan demikian dapat diketahui isolat
bakteri mana yang menghasilkan toksin. Selain itu untuk mengetahui adanya
garis presipitasi yang terbentuk pada isolat bakteri toksigenik, serta mengetahui
adanya gen tox pada isolat dengan metode PCR.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini yaitu dengan diketahuinya bakteri penyebab difteri
penghasil toksin, maka pengobatan yang diberikan akan lebih tepat.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
22
23
Selain manusia, hewan juga menjadi tempat penyebaran penyakit difteri. Hal
ini dibuktikan oleh ditemukannya C. diphtheriae dari kucing domestik (Hall et al.,
2010). Selain itu kuda juga menjadi tempat penyebaran penyakit ini (Henricson et
al., 2000; Leggett et al., 2010). Hewan peternakan seperti sapi juga merupakan
tempat penybaran difteri (Corboz et al., 1996).
B. Patogenisitas
Penyakit difteri klasik adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan atas
yang dapat menyebabkan sakit tenggorokan dan demam. Gejala dapat berupa
faringitis ringan hingga mati lemas akibat penyumbatan saluran nafas dengan
pembentukan pseudomembran. Dalam kasus difteri yang parah, saluran
pernafasan benar-benar tertutup (Burkovski, 2014).
Strain toksigenik dan non-toksigenik dari Corynebacterium diphtheriae
memiliki kemampuan berbeda dalam penempelan pada fibrinogen. Strain non-
toksigenik menempel dengan intensitas yang lebih rendah dibandingkan dengan
strain toksigenik, hal ini dapat disebabkan oleh gen bakteriofag yang berhubungan
terhadap ekspresi protein yang mampu melekat pada fibrinogen (Sabbadini et al.,
2010). Pseudomembran terdiri atas bakteria, epitel yang mengalami nekrosis, dan
sel-sel inflamasi yang tertanam dalam matriks fibrin, yang mana pseudomembran
ini melekat erat pada dasar jaringan (Hadfield et al., 2000).
Infeksi dimulai dengan kolonisasi sel-sel epithelial saluran pernafasan atas
oleh C. diphtheriae. C. diphtheriae memperbanyak diri pada permukaan
membran mukosa , tetapi tidak berkembang sampai ke bagian dalam tubuh hal ini
sesuai dengan deskripsi oleh Loeffler (1884). Jaringan yang terinfeksi
menunjukan gejala inflamasi, kemudian edema dan nekrosis akibat dari aksi
toksin difteri yang bersifat merusak. Toksin yang dihasilkan juga bertanggung
jawab terhadap peradangan kapiler yang lebih dalam yang menyebabkan sekresi
fibrin masuk ke epitel yang rusak. Pelepasan protein fibrin, kerusakan sel epitel
dan bakteri bersama-sama membentuk formasi pseudomembran yang berwarna
abu-abu atau kuning keputihan.
24
Gambar 9. Ilustrasi skematik dari mekanisme kerusakan sel akibat toksin difteri
(Bernadus, 1972)
C. Toksigenisitas Bakteri
Toksigenisitas bakteri ialah kemampuan suatu bakteri dalam menghasilkan
toksin sehingga menyebabkan terjadinya penyakit pada organisme inangnya .
Toksin difteri merupakan protein tunggal yang terdiri atas 535 asam amino yang
mana pencapaian toksin ke dalam target sitoplasmik melalui internalisasi
reseptor. Protein ini terbagi menjadi dua fragmen yang keduanya dihubungkan
oleh ikatan disulfida. Fragmen pertama ialah fragmen A (FA) terminal-N
(21.167 kDa) dan yang kedua ialah fragmen B (FB) terminal-C (37.195 kDa)
(Kantardjieff et al., 1989). Pada awal tahun 1980an, bukti dari biokimia dan
genetik mendukung hipotesis bahwa toksin difteri merupakan protein yang
terdiri dari 3 domain: terminal-N pada fragmen A yang berfungsi dalam proses
katalitik (C) nicotinamide adenine dinucleotide yang bergantung ADP-ribosilasi
factor elongasi-2 eukariotik atau Eucaryotic Elongation Factor-2 (EF-2);
domain transmembran (T) yang memfasilitasi pengiriman fragmen A menuju
sitosol sel eukariotik dan domain lainnya ialah bagian yang berikatan dengan
reseptor (R). Domain T dan R terdapat pada fragmen B (Drazin et al., 1971; Gill
dan Pappenheimer, 1971; Uchida et al., 1971; Boquet et al., 1976). Berikut
disajikan gambar dari struktur toksin difteri.
besi yang disebut dengan siderofor. Sampai saat ini telah teridentifikasi 200 jenis
siderofor berbeda (Neilands, 1981). Meskipun siderofor menunjukkan struktur
yang berbeda-beda, namun semuanya membentuk enam koordinat kompleks
oktahedral dengan besi dan semuanya memiliki afinitas yang tinggi pada besi
(Fe).
E. Pemeriksaan Toksigenisitas
Pemeriksaan toksigenisitas bakteri penyebab difteri dapat dilakukan dengan
cara konvensional dan molekuler. Pemeriksaan secara konvensional dapat
dilakukan dengan secara in vivo yaitu dengan menggunakan hewan Guinea pig,
dan secara in vitro dengan menggunakan sel vero dan elek test. Penggunaan
Guinea pig banyak yang ditentang oleh bioetik hewan (Animal Welfare),
membutuhkan biaya yang cukup banyak, serta resiko kecelakaan saat inokulasi
yang membuatnya tidak aplikatif. Penggunaan vero cell cytotoxicity
membutuhkan kelengkapan laboratorium dan keterampilan tenaga kerja yang
cukup tinggi dan juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Pemeriksaan
toksigenisitas lainnya yaitu elek test yang dikembangkan oleh Elek (1949). Prinsip
dari uji toksigenisitas dengan elek test yaitu dengan adanya imunopresipitasi
berupa garis putih. Garis putih yang terbentuk merupakan hasil dari ikatan antara
antigen dari toksin yang dihasilkan oleh bakteri dengan antibodi berupa Anti
Diphtheria Serum (ADS) (Rudi et al., 2014; Efstratiou et al., 2000; J. Clin, 1997;
Handayani, 2012). Kelemahan dari metode elek test ini ialah hasil pengujian
bervariasi sehingga diperlukan pengujian di laboratorium terstandard dan
membutuhkan teknisi yang berpengalaman, serta membutuhkan waktu yang
cukup lama.
Uji toksigenisitas dengan cara molekuler yaitu dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR), enzyme immunoassay (EIA) serta immunochromatographic strip
(ICS). Kelemahan dari metode PCR yaitu tidak semua C. diphtheriae yang
mempunyai gen tox yang berperan sebagai penyandi dalam sintesis toksin difteri,
sehingga tidak menghasilkan toksin secara fenotipik, oleh sebab itu perlu untuk
dilakukan pengujian ulang dengan elek test. Selain itu, biaya yang dibutuhkan
29
cukup tinggi. Namun kelebihan dari metode PCR ini yaitu waktu yang dibutuhkan
cukup cepat serta ketelitian hasilnya cukup tinggi. (Handayani, 2012; Rudi et al.,
2014; Efstratiou, 1994).
metachromatic granule yang lebih jelas. Jika pada pewarnaan dan pemeriksaan
mikroskopik terlihat gambaran difteroid, maka dilakukan isolasi dan purifikasi
pada media blood agar (BA) untuk selanjutnya dilakukan uji biokimia. Untuk
membedakan strain Corynebacterium yang berpotensi toksigenik dengan bakteri
lain yaitu dengan reaksi cystinase dan pyrazinamidase. Reaksi biokimia juga
dapat membedakan antara spesies C. diphtheriae dengan C. ulcerans dan C.
pseudotuberculosis yaitu dengan reaksi nitrat dan urease. Reaksi fermentasi dari
gula-gula juga dapat membedakan subtype dari C. diphtheriae serta membedakan
C. ulcerans dengan C. pseudotuberculosis.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
B. Metode Penelitian
Metode penelitian berupa percobaan laboratorium, yaitu pemeriksaan
toksigenitas isolat bakteri penyebab difteri dengan metode elek test dan PCR.
1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam kegiatan ini adalah cawan petri diameter 4.5 cm,
tabung reaksi, gelas ukur, laminar, ose, siring, PCR, ESCO Fume Hood,
sentrifuge, vortex, tip, mikropipet, tabung eppendorf, gel doc, alat elektroforesis
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah 3 sampel isolat
Corynebacterium sp. dengan label A, B, dan C serta digunakan sampel bakteri
National Collection of Type Cultures (NCTC) 12077 dengan strain
Corynebacterium ulcerans sebagai kontrol negatif, lalu digunakan NCTC 3984
dengan strain Corynebacterium diphtheriae biotipe gravis dan NCTC 10648
dengan strain Corynebacterium diphthriae biotipe gravis sebagai kontrol positif,
media elek, Anti Difteri Serum (ADS), paper disk Whatman no.3, aquades, RX
Mix, primer, water, PBS, lysis buffer, binding buffer, wash buffer A, wash buffer
B, DNA free water, agarose, TBE, marker, agarose.
2. Prosedur Penelitian
2.1. Sampel penelitian
Sampel penelitian dan sampel kontrol didapatkan dari Laboratorium
Bakteriologi Puslitbang Biomedis dan Kesehatan Jakarta berupa suspensi
bakteri spesies dari Corynebacterium. Suspensi bakteri dengan kode A, B
dan C serta suspensi bakteri kontrol National Collection of Type Cultures
31
32
hingga kira-kira sudah tidak panas. Kultur bakteri sampel dan bakteri
kontrol pada media agar darah diambil dengan ose kemudian dioleskan
pada media elek yang telah ditentukan lokasinya. Setelah semuanya di
oleskan, simpan pada inkubator dengan suhu 37°C dan diamkan selama
24-48 jam. Amati garis presipitasi yang terbentuk.
2.3. Pemeriksaan toksigenisitas isolat bakteri penyebab difteri dengan metode
PCR
Persiapan mix
Hal yang dilakukan terlebih dahulu adalah dengan mengunakan APD
terlebih dahulu. Dinyalakan ESCO Fume Hood kemudian ditunggu
beberapa saat lalu dibersihkan dengan alkohol dan dilap dengan tisu.
Dipersiapkan mikrotube, vortex, mikropipet, tip dan wadah serta plastik
untuk sampah. Siapkan Reaction Mix (Rx Mix), primer, dan Nuclease
Free Water (NFW). Pembuatan reaksi 1x mix untuk difteri yaitu dengan
mencampurkan 12.5 µl Rx Mix dengan 4 µl primer dan 4.5 NFW dalam
mikrotube kemudian di vortex. Perbandingan campuran mix ini dapat
berlaku kelipatan untuk reaksi lebih dari 1x.
Ekstraksi DNA
Dipergunakan APD terlebih dahulu, ESCO fume hood dinyalakan
dan ditunggu beberapa saat kemudian dibersihkan dengan alkohol dan
dilap dengan tisu. Dipersiapkan sampel bakteri, mikropipet, tip, vortex,
wadah sampah, tabung eppendorf serta kit Koogene. Sebanyak 200 µL
PBS dimasukkan pada masing-masing tube yang telah diberi kode.
Koloni bakteri isolat sampel dan isolat bakteri kontrol yang ditumbuhkan
pada media Blood Agar (BA) diambil dengan ose steril dan dimasukkan
ke dalam larutan PBS dalam tube. Sebanyak 500 µl larutan lysis buffer
dimasukkan ke dalam microsentrifuge tube, lalu tambakan 200 µl sampel
yang akan diperiksa kemudian dihomogenkan dengan vortex lalu
diamkan selama 10 menit pada suhu ruang. Dilakukan sentrifugasi pada
12.000 rpm selama 10 menit.
34
Elektroforesis
Pada tahap elektroforesis ini, dilakukan pembuatan agarose 2%
terlebih dahulu. Bahan agarose ditimbang sebanyak 2 gram dan
ditambahkan dengan buffer 100 ml dalam erlenmeyer. Erlenmeyer
ditutup dengan alumunium foil lalu dilubangi. Larutan tersebut kemudian
dimasukkan dalam oven bersuhu 70°C selama 15 menit. Disiapkan
peralatan elektroforesis. Agarose dituang kedalam cetakan dan tunggu
hingga memadat. Sisir dicabut ketika agar sudah mengeras. Setelah
mengeras, dituang buffer TBE kemudian agarose yang telah memadat
diletakkan diatasnya. Buffer TBE dituang kembali pada agarose.
Sebanyak dimasukkan 5 µl DNA marker pada sumur pertama.
Dimasukkan masing-masing 5 µl sampel yang telah di PCR yaitu sampel
A, B, C serta kontrol negatif dan kontrol positif ke dalam masing-masing
sumur. Tutup wadah elektroforesis lalu colokkan kabel ke sumber daya
listrik. Atur tegangan menjadi 100 Volt dan waktu selama 45 menit lalu
tekan run.
Gel doc
Agar yang telah dielektroforesis diletakkan dalam mesin Gel Doc
dan dilakukan pembacaan dengan sinar UV melalui aplikasi di computer.
Atur tampilan yang diinginkan dan diberi kode nama kemudian print.
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Hasil pemeriksaan toksigenisitas dengan metode elek test dan PCR
multipleks dideskripsikan dan dianalisis dengan cara melakukan perbandingan
hasil pemeriksaan pada masing-masing sampel.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
a b c
Gambar 11. Morfologi koloni isolat sampel dan isolat kontrol pada medium BA
dengan (a) adalah NCTC 12077; (b) adalah NCTC 3984 (kiri) NCTC
10648 (kanan); (c) sampel A (kiri) B (tengah) C (kanan)
Berdasarkan pada Gambar 11. diatas, tiga isolat sampel yaitu isolat A, B dan
C serta isolat kontrol ketika ditumbuhkan pada media BA menunjukkan hasil
koloni berwarna putih. Ketiga isolat sampel tersebut merupakan isolat
Corynebacterium diphtheriae. Hasil pemeriksaan toksigenisitas dengan metode
elek test ditunjukkan pada Gambar 12.
36
37
Sampel NCTC
isolat C 3984
Sampel NCTC
isolat A 10648
NCTC Sampel
12077 isolat B
Gambar 12. Hasil pemeriksaan toksigenisitas isolat bakteri sampel dan kontrol
dengan metode elek test menunjukkan adanya garis presipitasi pada
spesies dari Corynebacterium yang bersifat toksigenik.
Elek yang pertama kali dijelaskan pada tahun 1949, yang mana secara teknis
rentan akan terjadinya kesalahan penafsiran (Efstratiou, 1996).
538 bp
375 bp
162 bp
100 bp
al., 2005; Reacher et al., 2000) dan dapat berubah menjadi strain toksigenik jika
diinsersi oleh corynephage yang membawa gen tox (Titov et al., 2003).
Produksi toksin difteri dikode oleh gen tox dan hanya bakteri yang memiliki
gen ini yang mampu menghasilkan toksin sehingga keberadaan gen tox inilah
yang menjadikannya penanda strain bakteri difteri toksigenik. Peranan gen tox ini
diregulasi oleh gen yang disebut dengan gen diphtheria toxin Regulation (dtxR).
Gen dtxR ini dimiliki oleh semua Corynebacterium diphtheriae toksigenik
maupun non-toksigenik, sehingga keberadaan gen dtxR ini digunakan sebagai
penanda bakteri Corynebacterium diphtheriae (Cerdeño-Tárraga et al., 2003; Xu
T et al., 1994; Boyd J et al., 1990).
Keberadaan gen tox dan gen dtxR pada Corynebacterium diphtheriae dapat
dideteksi dengan PCR multipleks dengan target gen dtx dan dtxR. Gen tox dibawa
oleh famili dari corynebacteriophage tetapi ekspresi dari gen tox ini diregulasi
oleh gen dtxR (Boyd et al., 1990). Ketika gen dtxR teraktivasi oleh ion logam
berat divalent yaitu ion besi, hal tersebut dapat mengikat operator gen tox dan
memblok jalur transkripsi dari gen tox. (Nakao et al., 1996).
Kendala yang terdapat pada pemeriksaan dengan metode elek tes dan PCR
yaitu pada strain Corynebacterium diphtheriae NTTB yaitu strain bakteri yang
memiliki gen tox namun tidak terekspresi secara fenotipik, strain bakteri tersebut
dapat terdeteksi dengan PCR karena memiliki gen tox, namun ketika dilakukan
pemeriksaan dengan metode elek test , toksin tidak terdeteksi karena memang gen
tox yang dimilikinya tidak mengekspresikan toksin sehingga tidak akan terbentuk
garis presipitasi pada medium elek (De Zoysa dan Efstratieu, 2006; Burkovski,
2014).
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada sampel isolat A dan C merupakan strain Corynebacterium diphtheriae
toksigenik, sedangkan sampel isolat B merupakan Corynebacterium diphtheriae
non-toksigenik. Sifat toksigenik dari sampel terlihat pada elek test berupa garis
presipitasi sedangkan strain non-toksigenik tidak menunjukkan adanya garis
presipitasi. Pada metode PCR, terlihat adanya tiga pita DNA yaitu pada 100 bp,
162 bp dan 538 bp pada strain Corynebcaterium diphtheriae sedangkan pada
strain non-toksigenik hanya terdapat satu pita DNA yaitu pada 162 bp.
B. Saran
Disarankan agar dilakukan pengujian toksigenisitas dengan spesies
Corynebacterium lainnya. Dilakukan uji coba lanjutan untuk menentukan
kelayakan pemeriksaan toksigenisitas dengan elek tes dan PCR dengan berbagai
jenis Corynebacterium lainnya.
42
DAFTAR PUSTAKA
43
44
Groman NB. (1984). Conversion by corynephages and its role in the natural
history of diphtheria. J Hyg (Lond) 93(3):405–417.
Hadfield TL, McEvoy P, Polotsky Y, Tzinserling VA, Yakovlev AA. (2000). The
pathology of diphtheria. J Infect Dis 181:116–120.
Hall AJ, Cassiday PK, Bernard KA, Bolt F, Steigerwalt AG, Bixler D, Pawloski
LC, Whitney AM, Iwaki M, Baldwin A, Dowson CG, Komiya T,
Takahashi M, Hinrikson HP, Tondella ML. (2010). Novel
Corynebacterium diphtheriae in domestic cats. Emerg Infect Dis
16(4):688–691.
Handayani S. (2012). Deteksi kuman difteri dengan polymerase chain reaction
(PCR). CDK-191. 39(3).
Henricson B, Segarra M, Garvin J, Burns J, Jenkins S, Kim C, Popovic T, Golaz
A, Akey B. (2000). Toxigenic Corynebacterium diphtheriae associated
with an equine wound infection. J Vet Diagn Invest 12(3):253–257.
Hirata R Jr, Pereira GA, Filardy AA, Gomes DL, Damasco PV, Rosa AC, Nagao
PE, Pimenta FP, Mattos-Guaraldi AL. (2008). Potential pathogenic role of
aggregative-adhering Corynebacterium diphtheriae of different clonal
groups in endocarditis. Braz J Med Biol Res 41:986–991.
Holmes RK. (2000). Biology and molecular epidemiology of diphtheria toxin and
the tox gene. J Infect Dis 181(Suppl 1):S156–S167.
Kantardjieff K, Collier RJ, Eisenberg D. (1989). X-ray grade crystals of the
enzymatic fragment of diphtheria toxin. J Biol Chem 264(18):10402–
10404.
Leggett BA, De Zoysa A, Abbott YE, Leonard N, Markey B, Efstratiou A. (2010).
Toxigenic Corynebacterium diphtheriae isolated from a wound in a horse.
Vet Rec 166(21):656–657.
Lin RVTP, Lim SCS, Yew FS, Tan SY, Tey BH. (1994). Corynebacterium
diphtheriae endocarditis in an adult with congenital heart disease: a case
report. J Trop Med Hyg 97:189–191.
47
Vetrichevvel TP, Pise GA, Agrawal KK, Thappa DM. (2008). Cutaneous
diphtheria masquerading as a sexually transmitted disease. Indian J
Dermatol Venereol Leprol.;74:187.
Vitek CR, Wharton M. (1998). Diphtheria in the former Soviet Union:
reemergence of a pandemic disease. Emerg Infect Dis. Oct-Dec. 4(4):539-
50.
Vitek C, Wharton M. (2008). Diphtheria toxoid. In: Plotkin SA, Orenstein WA,
Offit PA (eds) Vaccines 5th ed. Saunders, Philadelphia, pp 139–156.
Wennerhold J, Bott M. (2006). The DtxR regulon of Corynebacterium
glutamicum. J Bacteriol 188(8):2907–2918.
Wouters MA, Lau KK, Hogg PJ. (2004). Cross-strand disulphides in cell entry
proteins: poised to act. Bioessays 26(1):73–79.
Xu T, Schiering N, Hui-yan Z, Ringe D and Murphy JR. (1994). Iron, DtxR, and
the regulation of diphtheria toxin expression. Molecular
Microbiology.14(2):191-197.
Zasada AA, Zaleska M, Podlasin RB and Seferyńska I. (2005). The first case of
septicemia due to nontoxigenic Corynebacterium diphtheriae in Poland:
case report. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials, 4:8.
50
Pembimbing 2 Pembimbing 1