Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN

PRAKTEK KERJA LAPANGAN

PEMERIKSAAN TOKSIGENISITAS ISOLAT BAKTERI


Corynebacterium sp. DENGAN METODE ELEK TEST
DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

Wahyu Damarwati
3425140764

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2017
RINGKASAN

Difteri adalah penyakit infeksi saluran pernafasan atas yang ditandai oleh
adanya pseudomembran dan dapat menyerang kulit serta organ sistemik lain.
Penyakit ini disebabkan oleh jenis Corynebacterium diphtheriae yang bersifat
toksigenik. Selain itu terdapat juga Corynebacterium ulcerans dan
Corynebacterium pseudotuberculosis yang biasanya menyerang hewan dan
memiliki gejala klinis yang mirip dengan penyakit difteri pada manusia. Jenis
Corynebacterium diphtheriae ada yang bersifat toksigenik dan non toksigenik.
Pengujian toksigenisitas isolat bakteri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
pengujian dengan elek test dan dengan menggunakan PCR untuk mendeteksi gen
tox. Hasil positif pengujian toksigenisitas isolat bakteri penyebab difteri pada
pengujian dengan elek test dapat terlihat hasil berupa garis presipitasi berwarna
putih diantara olesan bakteri dengan Anti Difteri Serum (ADS) yang
menggunakan prinsip imunopresipitasi yaitu ikatan antara antigen dan antibodi,
dimana toksin difteri bertindak sebagai antigen dan Anti Difteri Serum (ADS)
bertindak sebagai antibodi. Hasil positif pengujian toksigenisitas bakteri dengan
metode PCR yaitu terbacanya dua pita DNA pada 538 bp dan 162 bp.

i
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pemeriksaan Toksigenisitas Isolat Bakteri


Corynebacterium sp. Dengan Metode Elek Test Dan
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Nama Mahasiswa : Wahyu Damarwati
No Reg : 3425140764
Program Studi : Biologi

Disetujui,

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dr. Sunarno M.Si, Med drh. Atin Supiyani, M.Si


NIP. 197704121996031001 NIP. 19780914 200604 2 001

Mengetahui,

Kepala Laboratorium Bakteriologi Koordinator Prodi Biologi

Kambang Sariadji S.Si, M. Biomed Dr. Reni Indrayanti, M.Si


NIP. 197204122006041003 NIP. 19621023 199803 2 002

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
ridho dan rahmat serta limpahan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
laporan observasi dan laporan penelitian Praktek Kerja Lapangan (PKL). Melalui
laporan observasi dan laporan penelitian ini, penulis dapat memaparkan profil
Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Jakarta serta kegiatan
penelitian yang telah dilakukan selama kegiatan PKL di Puslitbang Biomedis dan
Teknologi Dasar Kesehatan Jakarta. Penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada pihak-pihak yang telah membatu dalam penyusunan dan penyelesaian
laporan observasi dan laporan penelitian ini. Ucapan terimakasih ini penulis
tujukan kepada :
1. Ibu drh. Atin Supiyani, M.Si selaku dosen pembimbing I dari Universitas
Negeri Jakarta yang telah besedia meluangkan waktunya untuk
membimbing dan memberi arahan serta perbaikan dalam proses penulisan
dengan sangat baik, penuh kesabaran serta keikhlasan sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan observasi dan laporan penelitian PKL.
2. Bapak Dr. Sunarno M.Si, Med selaku pembimbing II dari Puslitbang
Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Jakarta yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis selama kegiatan penelitian PKL
berlangsung dengan sangat baik dan penuh kesabaran serta keikhlasan dan
memberi arahan serta proses perbaikan dalam penulisan laporan sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan observasi dan laporan penelitian
PKL.
3. Ibu Dr. Reni Indrayanti, M.Si selaku Koordinator Program Studi Biologi,
Universitas Negeri Jakarta.
4. Bapak Kambang Sariadji S.Si, M. Biomed selaku Kepala Laboraorium
Bakteriologi yang telah membantu dan memberi izin kepada penulis untuk
melakukan kegiatan PKL di Laboratorium Bakteriologi, Puslitbang
Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Jakarta.

iii
5. Bapak Bangkit dan Bapak Bambang yang telah membantu dalam
kelancaran perizinan PKL di Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan Jakarta.
6. Para peneliti dan tenisi di Laboratorium Bakteriologi Puslitbang Biomedis
dan Teknologi Dasar Kesehatan Jakarta, Ibu Nelly, Ibu Wati, Mbak Novi,
Mbak Sundari, Mbak Pooh, Mbak Intan, Bapak Nirvan, Bapak Jaya yang
telah memberi arahan serta bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga
penulis dapat mempelajari bagaimana bekerja di laboratorium dengan baik
dan dapat belajar mengenai teknik dari uji toksigenisitas bakteri penyebab
difteri sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan PKL dengan baik
dan penulis dapat menyelesaikan laporan observasi serta laporan penelitian
PKL.
7. Mama, Bapak dan Adik yang telah memberikan semangat, do’a dan kasih
sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan PKL serta dapat
menyelesaikan proses penulisan laporan observasi dan laporan penelitian
PKL.
8. Teman-teman Biologi 2014 terkhusus Siti Fatimah, Ade Nahdia, Adiati
Bintari dan Nur Alivia yang telah memberikan semangat, bantuan serta
do’a dalam proses pelaksanaan PKL hingga penulis dapat menyelesaikan
laporan observasi dan laporan penelitian PKL ini.
Laporan observasi dan laporan penelitian ini masih jauh dari sempurna
sehingga besar harapan penulis untuk mendapatkan kritik serta saran demi
kebaikan dan pengembangan laporan ini di masa mendatang. Harapan penulis
semoga laporan observasi dan laporan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan pembaca sehingga dapat dijadikan acuan untuk penelitian-penelitian
selanjutnya terkait uji toksigenisitas.

Jakarta, Oktober 2017

Penulis

iv
DAFTAR ISI
Halaman

RINGKASAN…………………………………………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... ii
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL.................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR ….......................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... ix

BAGIAN 1. OBSERVASI PROFIL LEMBAGA PKL


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………..……………………………1
B. Tujuan………………………………………………………………...…2
C. Manfaat kegiatan PKL…………………………………………………..2
BAB II PROFIL PUSLITBANG BIOMEDIS DAN TEKNOLOGI DASAR
KESEHATAN JAKARTA
A. Sejarah, Visi dan Misi…………………………………………………...3
B. Tugas dan Fungsi………………………………………………………..5
C. Struktur Organisasi……………………………………………………...6
D. Lokasi…………………………………………………………………....7
E. Kegiatan…………………………………………………………………7
F. Laboratorium…………………………………………………………....8
BAB III KEGIATAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN
A. Tempat dan Waktu Kegiatan…………………………………………..13
B. Alat dan Bahan…………………………………………………………13
C. Pelaksanaan PKL………………………………………………………13
BAB IV PENUTUP……………………………………………………………...17

v
BAGIAN 2. LAPORAN KEGIATAN PKL
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................18
B. Perumusan Masalah................................................................................20
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................21
D. Manfaat Penelitian .................................................................................21
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Etiologi Difteri...............................................................22
B. Patogenisitas Bakteri………………........................................................23
C. Toksigenisitas Bakteri……………….…………………........................26
D. Faktor Genetik Yang Berperan Dalam Toksigenitas Bakteri Penyebab
Difteri……………………….………………………………………….27
E. Pemeriksaan Toksigenisitas……….………………………...................28
F. Identifikasi Secara Umum dan Pemeriksaan Laboratorium…………...29
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................31
B. Metode Penelitian
1. Alat dan Bahan ..................................................................................31
2. Prosedur Penelitian ...........................................................................31
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ...........................................35
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pemeriksaan toksigenisitas bakteri penyebab difteri dengan Elek Tes
…………………………….....................................................................36
B. Pemeriksaan toksigenisitas Corynebacterium dengan metode PCR
………………………………………………………………….………38
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……………………………………………………………42
B. Saran ……………………………………………………………..........42

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................43

vii
DAFTAR TABEL

Halaman

1. Ketentuan PCR untuk difteri……………………………………………........16


2. Negara dengan kasus difteri terbanyak selama tahun 2012-2016………19
3. Ketentuan PCR untuk difteri……………………………....………………....35
4. Hasil pemeriksaan toksigenisitas sampel A B dan C dengan elek tes dan PCR
……………………………...…………………………………………….......39
5. Monitoring kegiatan PKL............................................................................... 50

vii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Struktur organisasi Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan


tahun 2015-2019....................................................................…………….…..6
2. Kegiatan di Laboratorium Bakteriologi……..…………………….................8
3. Kegiatan di Laboratorium Virologi..................................................................9
4. Kegiatan di Laboratorium Immunologi..........................................................11
5. Kegiatan di Laboratorium Stem Cell…………...………………......……....11
6. Kegiatan di Laboratorium Gizi Makanan.............………..............................12
7. Diagram kasus difteri menurut kelompok umur di Indonesia........................19
8. Kasus difteri global tahunan dan cakupan DTP3………...............................22
9. Ilustrasi skematik dari mekanisme sel akibat toksin difteri............................25
10. Struktur toksin difteri......................................................................................26
11. Morfologi koloni isolat sampel dan isolat kontrol pada medium Blood Agar
(BA)................................................................................................................36
12. Hasil pemeriksaan toksigenisitas isolat bakteri sampel dan kontrol dengan
metode elek test..............................................................................................37
13. Pemeriksaan toksigenisitas isolat bakteri penyebab difteri dengan PCR dan
elektroforesis..................................................................................................38
14. Pola hasil pemeriksaan PCR multipleks........................................................ 39

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar hadir dan kegiatan PKL ......................................................................50

ix
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Difteri adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan atas yang
ditandai oleh inflamasi pada daerah yang terkena infeksi. Selain pada saluran
pernaafasan atas (Acang, 1996), difteri juga menyerang kulit yang ditandai oleh
adanya lesi pada kulit (Benoist et al., 2004) serta organ sistemik lainnya
(Vetrichevvel et al., 2008) dan menimbulkan berbagai penyakit seperti
miokarditis, ginjal dan sistem saraf. Penyakit ini disebabkan oleh spesies bakteri
dari Corynebacterium.
Spesies dari Corynebacterium yang menyebabkan penyakit difteri adalah
Corynebacterium diphtheriae. Spesies dari Corynebacterium lainnya yang dapat
menyebabkan gejala yang mirip dengan penyakit difteri adalah Corynebacterium
ulcerans dan Corynebacterium pseudotuberculosis. Spesies dari Corynebacterium
dapat bersifat toksigenik, non toksigenik atau Non Toxigenic Tox-gene Bearing
(NTTB). Strain bakteri toksigenik dapat menghasilkan toksin yang dapat
menyebabkan gejala berupa inflamasi dan terbentuknya pseudomembran,
miokarditis, polyneuritis serta gejala sistemik lainnya. Toksin difteri ini
bertanggung jawab terhadap kerusakan organ internal yang berhubungan dengan
saluran pernafasan atas (Burkovski, 2014).
Strain non toksigenik tidak dapat mensekresikan toksin. Strain ini dapat
menyebabkan penyakit seperti endokarditis dan sepsis. Strain non toksigenik
dapat berubah menjadi toksigenik apabila diinsersi oleh corynephage yang
membawa gen tox. Sebagian strain non toksigenik memiliki gen tox tetapi gen
tersebut tidak terekspresi sehingga tidak dapat menghasilkan toksin secara
fenotipik. Strain ini dikenal dengan strain Non Toxigenic Tox-gene Bearing
(NTTB).
Kasus difteri di dunia dan di Indonesia sangatlah tinggi. Indonesia
menduduki peringkat ke-3 dunia dengan kasus difteri tertinggi setelah India

1
2

dan Madagaskar. Oleh sebab itu, diagnosis penyakit difteri sangatlah penting serta
pemeriksaan difteri menjadi hal yang tidak dapat dikesampingkan mengingat
epidemi difteri yang tinggi. Dilakukannya pemeriksaan secara cepat dapat
ditentukan penanganan apa yang harus diberikan. Dengan demikian, epidemi
difteri dapat dikendalikan dan kasus difteri dapat ditekan.

B. Tujuan
Tujuan dari Praktek Kerja Lapangan ini adalah untuk mengasah kemampuan
dalam bekerja di laboratorium, berlatih bekerja sama dalam mengerjakan
penelitian di laboratorium, menerapkan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan
dari universitas (baik teori maupun praktek) di dalam dunia kerja, menambah
wawasan dan pengetahuan baru dari lapangan (laboratorium), berlatih menguji
bakteri yang menghasilkan toksin.

C. Manfaat Kegiatan PKL


Manfaat dari kegiatan PKL ini adalah mahasiswa dapat meningkatkan
wawasan dan pengetahuan serta berlatih dalam bekerja di laboratorium,
mendapatkan ilmu yang bermanfaat yang berkaitan dengan penelitian yang
dilakukan selama kegiatan PKL, berlatih kerjasama dalam melakukan penelitian,
melatih tanggung jawab dalam bekerja di laboratorium.
BAB II PROFIL PUSLITBANG BIOMEDIS
DAN TEKNOLOGI DASAR KESEHATAN

A. Sejarah, Visi dan Misi


Sejarah
Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan) adalah salah
satu unit eselon 2 Badan Litbang Kesehatan yang terbentuk berdasarkan Peraturan
Menkes RI No. 64 Tahun 2015 tanggal 29 September 2015, tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Puslitbang biomedis bersama dengan 15
unit kerja lainnya bersama-sama menjalankan tugas dan fungsi Badan Litbang
Kesehatan. Berikut adalah 16 unit kerja tersebut:
1) Sekretariat Badan (Setban).
2) Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan (Pusat BTDK).
3) Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (Pusat TTKEK).
4) Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat (Pusat TIKM).
5) Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat (Pusat
HKKPM).
6) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit
Salatiga (B2P2VRP).
7) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional Tawangmangu (B2P2TOOT).
8) Balai Penelitian dan Pengembangan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
Magelang (Balai Litbang GAKI).
9) Balai Penelitian dan Pengembangan Biomedis Papua (Balai Litbang Biomedis
Papua).
10) Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber
Binatang Donggala (Balai Litbang P2B2 Donggala).
11) Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber
Binatang Banjarnegara (Balai Litbang P2B2 Banjarnegara).

3
4

12) Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber


Binatang Tanah Bumbu (Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu).
13) Loka Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber
Binatang Baturaja (Loka Litbang P2B2 Baturaja).
14) Loka Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber
Binatang Ciamis (Loka Litbang P2B2 Ciamis).
15) Loka Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber
Binatang Waikabubak (Loka Litbang P2B2 Waikabubak).
16) Loka Penelitian dan Pengembangan Biomedis Aceh (Loka Litbang Biomedis
Aceh).
Visi
Badan Litbangkes memiliki visi memberikan hasil penelitian dan pengembangan
kesehatan yang berkualitas dan berinovasi untuk dimanfaatkan oleh para
pengambil keputusan dan pengelola program pembangunan kesehatan.
Misi
Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Jakarta memiliki misi sebagai berikut:
1) Memperluas kerjasama penelitian dalam lingkup nasional dan international
yang melibatkan Kementerian/Lembaga lain, perguruan tinggi dan pemerintah
daerah dengan perjanjian kerjasama yang saling menguntungkan dan
percepatan proses alih teknologi.
2) Menguatkan jejaring penelitian dan jejaring laboratorium dalam mendukung
upaya penelitian dan sistem pelayanan kesehatan nasional.
3) Aktif membangun aliansi mitra strategic dengan Kementerian/Lembaga Non
Kementerian, Pemda, dunia usaha dan akademisi.
4) Meningkatkan diseminasi dan advokasi pemanfaatan hasil penelitian dan
pengembangan untuk kebutuhan program dan kebijakan kesehatan.
5) Melaksanakan penelitian dan pengembangan mengacu pada Kebijakan
Kementerian Kesehatan dan Rencana Kebijakan Prioritas Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Tahun 2015-2019.
6) Pengembangan sarana, prasarana, sumber daya dan regulasi dalam
pelaksanaan penelitian dan pengembangan.
5

Kegiatan dikelola oleh 3 (tiga) satuan kerja, yaitu Pusat Biomedis dan
Teknologi Dasar Kesehatan (PBTDK), Balai Litbang Biomedis Papua dan Loka
Litbang Biomedis Aceh, juga dapat melibatkan unit lain dengan mekanisme
keseminatan. Sasaran kegiatan adalah meningkatnya penelitian dan
pengembangan di bidang biomedis dan teknologi dasar kesehatan. Indikator
pencapaian sasaran kegiatan sampai dengan tahun 2019 adalah:
1) Jumlah rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari penelitian dan
pengembangan di bidang biomedis dan teknologi dasar kesehatan sebanyak 25
rekomendasi.
2) Jumlah publikasi karya tulis ilmiah di bidang biomedis dan teknologi dasar
kesehatan yang dimuat di media cetak dan atau elektronik nasional dan
internasional sebanyak 100 publikasi.
3) Jumlah hasil penelitian dan pengembangan di bidang Biomedis dan Teknologi
Dasar Kesehatan sebanyak 88 dokumen hasil penelitian.
4) Jumlah laporan status biomedis hasil Riset Kesehatan Nasional sebanyak 5
laporan.
5) Jumlah Laporan Dukungan Manajemen Litbang Bidang Biomedis dan
Teknologi Dasar Kesehatan sebanyak 55 laporan.

B. Tugas dan Fungsi


Tugas pokok yang diemban oleh Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan antara lain:
1) Melaksanakan penyusunan kebijakan teknis
2) Pelaksanaan dan pemantauan
3) Evaluasi dan pelaporan penelitian
4) Pengembangan kesehatan di bidang biomedis dan teknologi dasar kesehatan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Puslitbang BTDK juga bertugas untuk mengampu dalam hal teknis penelitian
terhadap dua satuan kerja dilingkungan Badan Litbang Kesehatan yaitu Balai
Litbang Biomedis di Papua dan Loka Litbang Biomedis di Aceh.
6

Adapun fungsi yang diselenggarakan oleh Puslitbang Biomedis dan


Teknologi Dasar Kesehatan antara lain:
1) Penyusunan kebijakan teknis penelitian dan pengembangan kesehatan di
bidang biomedis dan teknologi dasar kesehatan.
2) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan di bidang biomedis dan
teknologi dasar kesehatan.
3) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan penelitian dan pengembangan di bidang
biomedis dan teknologi dasar kesehatan.
4) Pelaksanaan administrasi Pusat.

C. Struktur Organisasi

Kepala Puslitbang BTDK


Pretty Multihartina, Phd

Kepala Bagian Tata


Usaha
R. Herry Bagdja, SH.
M, Si.

Ka. Sub. Bagian KKU Ka. Sub. Bagian PKS


Astria Unik Prawati, Irwan Fazar W., S.
SKM, M.Kes Kom, MAP

Ka. Bid. Teknologi


Ka. Bid. Biomedis Dasar Kesehatan
Drh. Rita Marleta Dewi, Dr. Fitrah Ermawati, M.
M. Kes Peneliti Sc.

Ka. SUb. Bid. Biomedis Ka. Sub. Bid. Produk


Penyakit Tidak Menular Biologi
dr. Ni Ketut Susilarini, Nelis Imaningsih, STP, M.
MS. Sc.

Ka. Sub. Bid. Biomedis Ka. Sub. Bid. Instrumen &


Penyakit Menular Produk Diagnostik
dr. Masri Sembiring M., Indri Rooslamiati, M. Sc.
DTMH, MCTM Apt.

Gambar 1. Struktur Organisasi Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar


Kesehatan tahun 2015-2019
7

D. Lokasi
Pusat penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan) berlokasi di
Jalan Percetakan Negara No. 23, RT. 23/ RW. 7, Johar Baru, Kota Jakarta Pusat
10560.

E. Kegiatan
Kegiatan penelitian di Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan
dikelompokkan dalam 4 sub bidang:
1. Sub Bidang Penyakit Menular
Kegiatan yang dilakukan di sub bidang ini antaralain melaksanakan penelitian
dan pengembangan kesehatan di bidang inovasi vaksin dan diagnostik dengan
metode yang memanfaatkan biologi manusia, agen penyakit, etiologi dan
prognostic sampai dengan uji klinik penyakit menular.
2. Sub Bidang Penyakit Tidak Menular
Kegiatan yang dilakukan pada sub bidang ini antaralain melakukan
penyusunan kebijakan teknis dan pelaksanaan penelitian dan pengembangan
kesehatan di bidang inovasi vaksin dan diagnostic dengan metode yang
memanfaatkan biologi manusia, agen penyakit, etiologi dan prognostik sampai
dengan uji klinik penyakit tidak menular.
3. Sub Bidang Produk Biologi
Kegiatan yang dilakukan pada sub bidang ini antaralain melakukan penyiapan
penyusunan kebijakan teknis dan pelaksanaan penelitian dan pengembangan
kesehatan di bidang produk biologi meliputi obat, obat tradisional, biosimilar
dan formula makanan sampai dengan uji klinik.
4. Sub Bidang Instrumen dan Produk Diagnostik
Kegiatan yang dilakukan dalam sub bidang ini antara lain melakukan
penyiapan penyusunan kebijakan teknis dan pelaksanaan penelitian dan
pengembangan kesehatan di bidang instrumen dan produk diagnostik sampai
dengan uji klinik.
8

F. Laboratorium
Berikut laboratorium yang terdapat pada Puslitbang Biomedis dan Teknologi
Dasar Kesehatan:
1. Laboratorium Bakeriologi
Kegiatan yang dilakukan di laboratorium bakteriologi selain penelitian dan
pengembangan di bidang kesehatan juga menyediakan pelayanan kepada
masyarakat untuk pemeriksaan makanan, minuman dan air secara mikrobakterial.
Selain itu kegiatan yang dilakukan berupa melakukan identifikasi dan resistensi
terhadap Enterobacteriaceae, TBC Mycobacteriacea, Shigella, Salmonella,
Typoid dan Lain-lain; melakukan penentuan LT dengan test Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA), ST (Suckling mice) dan ETEC

Gambar 2. Kegiatan di Laboratorium Bakteriologi


2. Laboratorium Virologi
Laboratorium virologi adalah laboratorium rujukan nasional untuk
pemeriksaan beberapa penyakit dan juga menjadi laboratorium yang mendapatkan
akreditasi dari WHO untuk pemeriksaan polio, campak dan Influenza. Adapun
tugas pokok dan fungsi laboratorium virologi adalah: (a) melakukan pemeriksaan
untuk menunjang kegiatan penelitian dan KLB penyakit yang disebabkan oleh
virus (campak, rubella, polio, influenza, HIV, rabies, dengue, chikungunya,
hepatitis, rotavirus, enterovirus dan lain-lain); (b) Memberikan
pelatihan/pendampingan pemeriksaan virus dengan teknik PCR dan pemeriksaan
serologi; (c) Melakukan konfirmasi diagnostik hasil pemeriksaan serologi dan
PCR virus; (d) Melakukan pelatihan dan bimbingan pada mahasiswa; (e)
Melakukan kerjasama penelitian dengan instansi lain seperti: Balitvet,
Universitas, Lembaga Eijkman, BPPT, Biofarma, BTKL, BBLK, LABKESDA,
9

Laboratorium Swasta dan lain-lain; (f) Penunjang kegiatan penelitian dan KLB
lainnya.

Gambar 3. Kegiatan di Laboratorium Virologi


Kegiatan yang dilakukan di laboratorium virologi antara lain: (a) Melakukan
pemeliharaan biakan jaringan Vero Slam Hep-2, RD-50, L20B, C6/36, B-95 dan
sell MDCK; (b) Melakukan isolasi dan identifikasi virus polio, entero,
chikungunya, campak, rubella, influenza, dengue dan lain-lain; (c) Melakukan
isolasi dan identifikasi virus polio, entero, chikungunya, campak, rubella,
influenza, dengue dan lain-lain; (d) Melakukan uji hemaglutinasi inhibisi metode
microtiter untue diagnosis demam berdarah dengue, chikungunya, influenza A
dan B; (e) Melakukan uji ELISA untuk intratypic differentation virus polio, IgM
dan IgG campak, hepatitis (HbsAg), anti HbsAg. BbcAg, HIV, JE, dengue dan
Rubella dan lain lain; (f) Melakukan uji netralisasi untuk menentukan titer
antibodi polio, campak dan rota virus, entero 71 (HFMD) dan lain-lain; (g)
Melakukan Floresen Antbody (FA) untuk rabies, campak dan Dengue
Haemoragic Fever (DHF); (h) Dengan menggunakan Genetic Analyzer (Applied
Biosystem 3130/3130XL) dapat mengetahui urutan basa nukleotida yang
menyusun suatu molekul DNA makhluk hidup; (i) Kultur virus di BSL2 dan
BSL3, mendeteksi antibodi dengan metode ELISA, mendeteksi antibodi dengan
metode Hemagglutinasi Inhibisi, mendeteksi antigen dengan metode
Hemagglutinasi; (j) Karakterisasi genetik virus dan antigenik virus, pemeriksaan
PCR konvensional dan realtime dan pemeriksaan Sekuensing dan pemeriksaan
IFA.
10

3. Laboratorium Parasitologi
Kegiatan yang dilakukan di laboratorium parasitologi antara lain: (a)
Pemeriksaan mikroskopis untuk mengidentifikasi parasit malaria, filaria, parasit
dan protozoa usus serta vektor; (b) Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi
antigen (parasit dan konfirmasi vektor) dan human antibody dengan teknik
ELISA, atau presipitin; (c) Pemeriksaan biomolekuler malaria untuk penentuan
spesies (Plasmodium falciparum, P.vivax, P.ovale, P.malariae, P.knowlesi),
genotype parasit P. falciparum, identifikasi gen resisten terhadap obat antimalaria
tertentu dan pengembangan diagnosa dalam membedakan kegagalan pengobatan
karena parasit resisten dengan infeksi baru; (d) Pengembangbiakan parasit malaria
(Plasmodium falciparum) secara berkesinambungan; (e) Pengembangbiakan
parasit rodent malaria (P. berghei dan P. yoelii) pada binatang percobaan; (f) Uji
efikasi obat antimalaria secara in vivo dan in vitro; (g) Uji efektifitas tanaman
obat sebagai obat antimalaria secara in vivo dengan menggunakan hewan coba
atau secara in vitro pada biakan parasit; (h) Melakukan kultur cacing usus dan
cacing lainnya, identifikasi schisotomiasis filariasis, malaria, protozoa dan
penyakit parasit lainnya; (i) Melakukan test resistensi in vivo dan in vitro terhadap
P. Falciparum; (j) Melakukan uji Enzym Link Immunosorbent Assay (ELISA) dan
transformasi limfosit dan Polimerase Chain Reaction (PCR), vivax dan lain-lain.
4. Laboratorium Immunologi
Kegiatan yang dilakukan di laboratorium immunologi antara lain: (a)
Pemeriksaan Enzyme Linked Immunosorbant Assay (ELISA) untuk 15 parameter
Riskesdas (HIV Ag/Ab, Dengue IgG/IgM, Ig G Toxoplasma, Ig G Rubella, Ig G
Cytomegalovirus, EBV VCA Ig A, Ferritin, Ig G/IgM Campak, Ig G Difteri, Ig G
Pertusis, Ig G Tetanus, Anti HCV, HBsAg, Anti HBs, Anti HBc, TSH) serta
pemeriksaan untuk deteksi antigen penyakit tertentu (NS1 Dengue, IgM Dengue);
(b) Pemeriksaan Luminex (Multiplex Flow Cytometry Assay); (c) Pemeriksaan
FACS CALIBUR (Flowcytometry); (d) kloning; (e) elektroporator; (f) SDS
PAGE; (g) Western Blott.
11

Gambar 4. Kegiatan di Laboratorium Immunologi


5. Laboratorium Stem Cell
Kegiatan yang dilakukan di laboratorium stem cell antara lain; (a) Isolasi dan
kultur sel fibroblast, Inner Cell Mass (ICM) dari embrio blastosis, hemapoetik
dari darah perifer (pada hewan coba); (b) Kriopreservasi sel dengan metode
vitrifikasi; (c) Diferensiasi sel syaraf dan sel jantung; (d) Karakterisasi stem cell
dengan imunohistokimia dan PCR; (e) Inner Cell Mass (ICM) dari embrio
blastosis mencit sebagai salah satu sumber stem cell (sel punca).

Gambar 5. Kegiatan di Laboratorium Stem Cell


6. Laboratorium Biosavety Level 3
Kegiatan yang dilakukan di laboratorium biosavety level 3 ini antara lain: (a)
Isolasi dan kultur virus influenza termasuk avian influenza dan novel influenza A
(Swine Flu); (b) Isolasi dan kultur virus HIV; (c) Isolasi dan kultur virus Dengue;
(d) Netralisasi virus; (e) Membuat virus rekombinan sebagai kandidat vaksin.
7. Laboratorium Hewan Coba
Kegiatan yang dilakukan di laboratorium hewan coba antara lain: (a)
Mengembangbiakkan dan menyediakan hewan percobaan seperti tikus, mencit,
marmut, gerbil, hamster, angsa, kera dan sebagainya; (b) Melakukan kontrol
genetik melalui coat colour test nandible shape test dan biochemical market test;
(c) Melakukan uji biologis semua bahan biologi dengan menggunakan hewan
12

coba; (d) Melakukan kontrol penyakit hewan percobaan konvensional; (e)


Melakukan penelitian tentang kualitas makanan atau nilai gizi, toksikologi dan
obat tradisional dengan menggunakan hewan percobaan dan makanan diagnosis
penyakit.
8. Laboratorium Farmasi
Laboratorium farmasi di Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan telah mendapatkan SNI ISO/IEC 17025:2008 (ISO/IEC 17025:2005).
Selain melakukan penelitian, laboratorium ini juga memberikan pelayanan kepada
masyarakat untuk melakukan pemeriksaan air secara kimiawi. Pemeriksaan dan
penelitian di laboratorium ini meliputi beragam uji analisis dan pengembangan di
bidang: kimia farmasi, bio farmasi, kimia air, teknologi formulasi dan fitokimia.
9. Laboratorium Biomarker
Kegiatan yang dilakukan di laboratorium biomarker antara lain: (a)
Melakukan pengambilan sampel dari biomarker, udara dan air; (b) Melakukan
analisis biomarker (darah, urin, rambut), logam berat, udara, air bersih,
pencemaran lingkungan; (c) Menganalisis faktor resiko dalam rangka
pengendalian penyakit.
10. Laboratorium Gizi Makanan
Kegiatan yang dilakukan di laboratorium gizi makanan antara lain; (a)
Melakukan analisis vitamin larut lemak, dan larut air dan asam amino; (b)
melakukan analisis kuantitatif; (c) melakukan analisis pH; (d) melakukan analisis
asam lemak; (e) melakukan analisis mineral dan logam berat; (f) melakukan
analisis nitrogen atau protein.

Gambar 6. Kegiatan di Laboratorium Gizi Makanan


BAB III KEGIATAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

A. Tempat dan Waktu Kegiatan


Kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) dilaksanakan di Pusat penelitian dan
Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan (Puslitbang Biomedis
dan Teknologi Dasar Kesehatan) yang berlokasi di Jalan Percetakan Negara No.
23, RT . 23/ RW. 7, Johar Baru, Kota Jakarta Pusat 10560. PKL ini berlangsung
selama 5 minggu yaitu dimulai pada tanggal 14 Agustus 2017 sampai tanggal 15
September 2017.

B. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam kegiatan ini antara lain: cawan petri diameter 4,5
cm, tabung reaksi, gelas ukur, laminar, ose, siring, PCR, ESCO Fume Hood,
sentrifuge, vortex, tip, mikropipet, tabung eppendorf, gel doc, alat elektroforesis.
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah 3 sampel isolat
Corynebacterium sp. dengan label A, B, dan C serta digunakan sampel bakteri
National Collection of Type Cultures (NCTC) 12077 dengan strain
Corynebacterium ulcerans sebagai kontrol negatif, lalu digunakan NCTC 3984
dengan strain Corynebacterium diphtheriae biotipe gravis dan NCTC 10648
dengan strain Corynebacterium diphthriae biotipe gravis sebagai kontrol positif,
media elek, Anti Difteri Serum (ADS), paper disk Whatman no.3, aquades, RX
Mix, primer, water, PBS, lysis buffer, binding buffer, wash buffer A, wash buffer
B, DNA free water, agarose, TBE, marker, agarose.

C. Pelaksanaan PKL
Kegiatan PKL ini dilaksanakan dari mulai persiapan sampel, persiapan
media, uji toksigeinsitas bakteri penyebab difteri dengan metode elek test, dan uji
toksigenisitas dengan menggunakan metode Polymerase Chan Reaction (PCR).

13
14

1. Persiapan sampel
Sampel isolat bakteri dipersiapkan dalam bentuk biakan cair di dalam botol
ampul. Jenis bakteri yang dipersiapkan antara lain: (a) Isolat bakteri sampel
dengan kode A, B, dan C; (b) isolat bakteri kontrol positif berupa NCTC 3984
dengan strain Corynebacterium diphtheriae biotipe gravis dan NCTC 10648
dengan strain Corynebacterium diphthriae biotipe gravis; (c) isolat bakteri kontrol
negatif berupa NCTC 12077 dengan strain Corynebacterium ulcerans. Bakteri
sampel dan bakteri kontrol dikultur pada medium agar darah dan diinkubasi dalam
inkubator pada suhu 37°C selama 24 jam.

2. Persiapan Media Elek


Media elek dibuat dengan menimbang bahan yang dibutuhkan, dipanaskan
diatas kompor, dituang dalam botol tabung sebanyak 10 ml lalu disterilkan dengan
autoklaf selama 1 jam. Setelah steril, media elek dicampur dengan Newbovine
Serum (NBS) sebanyak 2 ml, dihomogenkan lalu dituang ke dalam 3 cawan petri
berdiameter 4,5 cm kemudian didiamkan hingga padat dan disimpan di dalam
kulkas.

3. Uji toksigenisitas bakteri penyebab difteri dengan elek test


Media elek dalam cawan petri di tanda dengan spidol untuk menempatkan
paper disk dan tiap-tiap isolat. Paper disk berukuran 0,5 cm di rendam dalam
campuran Anti Difteri Serum (ADS) dan aquades dengan perbandingan 1:3 dan
kemudian diletakkan di bagian tengah media elek. Semua bakteri sampel dengan
kode A, B dan C serta bakteri kontrol yang telah ditumbuhkan dalam media Blood
Agar (BA) di oleskan dengan ose steril pada tiap tepat yang sudah ditandai di
media elek. Disimpan dalam inkubator dengan suhu 37°C selama 24-48 jam.

4. Uji toksigenisitas bakteri penyebab difteri dengan PCR


Tahap pertama adalah tahap pembuatan mix PCR. Dibuat mix PCR dengan
mencampurkan 12,5 µl Rx Mix dengan 4 µl primer dan 4,5 NFW dalam
15

mikrotube kemudian dihomogenkan dengan vortex untuk satu kali reaksi.


Perbandingan mix ini dapat berlaku kelipatan untuk reaksi lebih dari 1x.
Tahap kedua adalah tahap ekstraksi DNA. Isolat bakteri dan kit koogene
dipersiapkan. Sebanyak 200 µL PBS dimasukkan pada masing-masing tube yang
telah diberi kode. Isolat bakteri sampel dan kontrol pada media Blood Agar (BA)
diambil dengan ose dan dimasukkan dalam masing-masing tube yang telah berisi
PBS. Larutan lysis buffer sebanyak 500 µl dimasukkan ke dalam microsentrifuge
tube dan sebanyak 200 µl sampel dalam PBS ditambahkan kemudian
dihomogenkan dengan vortex lalu diamkan selama 10 menit pada suhu ruang.
Sentrifugasi pada 12.000 rpm selama 10 menit.
Supernatan yang terbentuk diambil sebanyak 700 µl dan ditambahkan dengan
larutan binding buffer sebanyak 700 µl dan kemudian dihomogenkan dengan
vortex. Campuran sampel dan binding buffer diambil sebanyak 750 µl dan
dimasukkan ke dalam spin column. Sentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit.
Buang cairan pada tube bagian bawah spin column, tempatkan kembali spin
column dalam tube, lalu tambahkan sisa dari campuran sampel. Sentrifugasi pada
12.000 rpm selama 1 menit. Buang cairan pada tube bagian bawah spin column
dan tempatkan kembali spin column pada tube.
Wash buffer A ditambahkan sebanyak 500 µl ke dalam spin column.
Sentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit. Buang cairan pada tabung bagian
bawah spin column dan tempatkan kembali spin column ke dalam tube. Wash
buffer B ditambahkan sebanyak 500 µl ke dalam spin column. Sentrifugasi pada
12.000 rpm selama 1 menit. Buang cairan pada tabung bagian bawah spin column
dan tempatkan kembali spin column ke dalam tube. Sentrifugasi pada kecepatan
12.000 rpm selama 1 menit, untuk mengeringkan cairan yang ada di dalam spin
column. Tube bagian bawah spin column dibuang lalu tempatkan spin column
pada microsentrifuge tube baru berukuran 1,5 ml yang telah diberi kode. Nuclease
Free Water (NFW) sebanyak 30 – 100 µl ditambahkan dan posisi memasukkan
tepat pada posisi tengah dari membran spin column. Dilakukan sentrifugasi pada
kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit. Buang spin column, dan hasil DNA yang
16

diinginkan telah ada pada microsentrifuge tube. Dimasukkan sebanyak 4 µl DNA


ke dalam mix yang telah dibuat.
Tahap ketiga adalah tahap PCR. Campuran mix dan DNA dihomogenkan
dengan vortex terlebih dahulu kemudian tube dimasukkan dalam mesin PCR dan
atur PCR dengan kriteria sebagai berikut:
Tabel 1. Ketentuan PCR Untuk Difteri (Puslitbang Biomedis, 2017)
Suhu (°C) Waktu
Predenaturasi 95 5 menit
Denaturasi 95 15 detik
Annealing 55 30 x 15 detik
Extension 72 30 detik
Elongasion
20 Forever

Tahap keempat adalah tahap elektroforesis. Dilakukan pembuatan agarose


2% yaitu menimbang agarose sebanyak 2 gram pada timbangan digital dan
dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan dengan buffer TBE
sebanyak 100 ml. Mulut Erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil dan dilubangi
kemudian dimasukkan dalam oven bersuhu 70°C selama 15 menit. Agarose yang
sudah selesai dipanaskan dengan oven kemudian dituang kedalam cetakan
elektroforesis dan ditunggu hingga memadat. Sisir dicabut ketika agar sudah
memadat. Tuang buffer TBE pada wadah elektroforesis kemudian agarose yang
telah memadat diletakkan diatasnya. Buffer TBE dituang kembali pada
permukaan agarose. Sebanyak 5 µl DNA marker dimasukkan pada sumur
pertama. Sebanyak 5 µl sampel yang telah di PCR yaitu sampel A, B, C serta
kontrol negatif dan kontrol positif dimasukkan ke dalam masing-masing sumur.
Tutup wadah elektroforesis lalu colokkan kabel ke sumber daya listrik. Atur
tegangan menjadi 100 Volt dan waktu selama 45 menit lalu tekan run.
Tahap kelima adalah tahap pembacaan pita DNA dengan Gel Doc yang
memanfaatkan sinar UV. Agar yang telah dielektroforesis diletakkan dalam mesin
Gel Doc dan dilakukan pembacaan dengan sinar UV melalui aplikasi di komputer.
Tampilan yang diinginkan diatur baik kecerahannya dan warna tampilan pita
DNA lalu diberi kode nama kemudian dicetak dengan printer yang tersedia.
BAB IV PENUTUP

Praktek Kerja Lapangan (PKL) adalah kegiatan yang sangat bermanfaat bagi
mahasiswa karena melalui PKL ini, mahasiswa dapat mengetahui dan merasakan
bagaimana kondisi sesungguhnya dalam dunia kerja di laboratorium. Mahasiswa
dapat belajar bekerja sama di dalam suatu pekerjaan. Kegiatan PKL ini juga
memberikan pengalaman berharga dan dapat menambah ilmu baik teoritis dan
praktek yang belum didapat di perkuliahan. Mahasiswa dapat belajar
mengembangkan ilmu yang diperoleh selama di perkuliahan dan
mengaplikasikannya di kegiatan PKL ini. Ilmu dan kemampuan serta pengalaman
mengenai teknik di laboratorium yang di dapatkan selama PKL ini sangat berguna
sehingga dapat meningkatkan kualitas lulusan yang nantinya diharapkan di dunia
kerja.
Penulis berharap laporan ini dapat berguna bagi pembaca khususnya
pembaca yang akan melakukan penelitian mengenai uji toksigenisitas bakteri serta
dapat memberikan pengetahuan bagi mahasiswa pada umumnya.

17
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh toksin dari bakteri
jenis Corynebacterium diphtheriae. Penyakit ini biasanya menyerang saluran
pernafasan atas (Acang, 1996). Selain itu, bakteri ini juga dapat menyerang kulit
(Benoist et al., 2004) dan dapat pula menyerang organ lainnya (Vetrichevvel et
al., 2008).
Sejak dipergunakannya vaksin difteri secara meluas di tahun 1920-an, kasus
difteri pernafasan telah terkontrol dengan baik di Amerika Serikat. Sebelum
adanya program vaksinasi, sedikitnya terdapat 200.000 kasus difteri terjadi setiap
tahunnya (CDC, 2003). Menurut World Health Organization (WHO), epidemik
difteri tetap menjadi ancaman kesehatan bagi negara berkembang (Dass, 2007).
Kasus difteri menyebabkan lebih dari 157.000 kasus dan 5.000 kematian (Mattos-
Guaraldi et al., 2003; Vitek, 1998).
Kasus difteri selama tahun 1993-2003 di Latvia menghasilkan 1.359 kasus
difteri dengan 101 angka kematian. Kejadiannya menurun dari 3,9 kasus per
100.000 kasus pada tahun 2001 menjadi 1,12 kasus per 100.000 populasi di tahun
2003. Selama tahun 1995-2002, 17 kasus difteri kulit disebabkan oleh strain
toksigenik di Inggris (Benois et al., 2004). Rasio Tingkat Kematian (Case
Fatality Ratio : CFR) difteri adalah 5-10% dari seluruh kasus, dengan angka
kematian tertinggi terjadi pada anak-anak (WHO, 2015).
Kasus difteri di Indonesia tergolong cukup tinggi dan membuat Indonesia
berada dalam peringkat ke-3 kasus difteri terbanyak di dunia setelah India dan
Madagaskar sebagaimana terlihat pada Tabel 2. berikut ini.

18
19

Tabel 2. Negara dengan kasus difteri terbanyak selama 2012-2016 (WHO, 2017)
Negara 2016 2015 2014 2013 2012
India 3380 2365 6094 3133 2525
Madagaskar 2865 1627 - - 1
Indonesia 342 252* 430 775 1192
Nepal 140 26 1079 103 138
Iran 10 28 13 190 150
Pakistan 12 9 9 183 98
* (Kemenkes, 2015).

Jumlah kasus difteri pada tahun 2015 sebanyak 252 kasus dengan jumlah
kasus meninggal sebanyak 5 kasus sehingga CFR difteri sebesar 1,98%. Dari 13
provinsi yang melaporkan adanya kasus difteri, kasus tertinggi pertama terjadi di
Sumatera Barat dengan 110 kasus. Terjadi peningkatan kasus yang besar di
Provinsi Sumatera Barat dibandingkan tahun 2014 yang hanya sejumlah 9 kasus.
Oleh karena itu telah dilaksanakan Outbreak Respons Imunization (ORI) di
Sumatra Barat. Kasus tertinggi kedua terdapat di Jawa Timur sebanyak 67 kasus.
Jumlah kasus difteri di Jawa Timur telah menunjukkan penurunan dibandingkan
tahun 2014 (396 kasus) dan 2013 (610 kasus).

Gambar 7. Diagram kasus difteri menurut kelompok umur di Indonesia


(Kemenkes RI 2015)
20

Etiologi dari penyakit difteri pada manusia dan hewan yaitu


Corynebacterium diphtheriae, Corynebacterium ulcerans dan Corynebacterium
pseudotuberculosis (Burkovski, 2014). Spesies dari Corynebacterium terdiri dari
sekelompok bakteri katalase positif, non motil dan tidak membentuk spora,
berbentuk batang, dan gram positif (Funke dan Bernard, 2011). Biotipe
C.diphtheriae terdiri dari gravis, intermedius, mitis dan belfanti (Dorella et al.,
2006). Gejala klinis positif difteri berupa terbentuknya pseudomembran pada
tonsil.
Uji toksigenisitas penting untuk mengetahui jenis bakteri penyebab dan
kemampuannya dalam menghasilkan toksin sehingga dapat ditentukan
pengobatan tepat yang harus diberikan selanjutnya. Pengobatan terhadap kasus
difteri saluran pernafasan harus menggunakan Anti Difteri Serum (ADS) dan
antibiotik, sedangkan untuk kasus non-toksigenik dan difteri kulit tidak perlu
menggunakan ADS (De Zoysa dan Efstratieu, 2006).
Elek test merupakan gold standard untuk deteksi toksigenisitas namun
memerlukan media yang sulit untuk dibuat dan antitoksin yang sulit untuk
didapat. Hasil pengamatan biasanya berupa teramatinya positif palsu dan negatif
palsu pada Elek tes dengan pembacaan pada jam ke-72 pembiakan. Oleh sebab
itu tidak disarankan setelah 48 jam dilakukan pembacaan, karena hal ini akan
memberikan positif palsu (Efstratiou, 1994). Tes toksigenisitas juga dapat
dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Meskipun tes PCR
cepat dan relatif mudah diterapkan untuk mendeteksi gen toksik, PCR hanya
disarankan untuk melengkapi metode elek test (EQA, 2012).

B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah sampel isolat positif Corynebacterium sp. mengekspresikan
tosin?
2. Apakah sampel isolat positif Corynebacterium sp. menghasilkan uji
positif terhadap elek test ?
21

3. Apakah terdeteksi gen pembawa sifat toksigenisitas pada sampel isolat


positif Corynebacterium sp. dengan metode PCR?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk menguji toksigenisitas dari sampel
isolat dengan metode elek test dan PCR. Dengan demikian dapat diketahui isolat
bakteri mana yang menghasilkan toksin. Selain itu untuk mengetahui adanya
garis presipitasi yang terbentuk pada isolat bakteri toksigenik, serta mengetahui
adanya gen tox pada isolat dengan metode PCR.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini yaitu dengan diketahuinya bakteri penyebab difteri
penghasil toksin, maka pengobatan yang diberikan akan lebih tepat.
BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Etiologi Difteri


Difteri adalah suatu penyakit infeksi pada saluran pernafasan atas dan
seringkali penyakit ini juga di temukan di kulit dan organ lainnya. Gejala yang
timbul berupa inflamasi dan terbentuknya pseudomembran, miokarditis,
polyneuritis serta gejala sistemik lainnya. Gejala ini disebabkan oleh toksin yang
disekresikan oleh beberapa strain Corynebacterium diphtheriae. Loeffler (1884)
menjelaskan bahwa C. diphtheriae mendiami membran dari rongga nasofaring
tetapi tidak pada tubuh bagian dalam. Sekresi toksin bertanggung jawab terhadap
kerusakan fatal dari organ internal yang berhubungan dengan difteri pada saluran
pernafasan atas. Selain C. diphtheriae, C. ulcerans dan C. pseudotuberculosis
juga dapat menghasilkan toksin dan menimbulkan gejala yang menyerupai
penyakit difteri apabila diinsersi oleh corynebacteriophage yang membawa gen
tox dan mengalami siklus lisogenik (Burkovski, 2014; Groman, 1984; Buck et al.,
1985; Cianciotto dan Groman, 1996).
Pengertian difteri menurut WHO (2015), difteri adalah infeksi bakterial yang
disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, ditularkan dari manusia ke manusia
melalui kontak fisik dan kontak respirasi. Penyakit difteri ini dapat menyebabkan
infeksi pada nasofaring yang akan membuat penderitanya mengalami kesulitan
bernafas dan akan menyebabkan kematian. Prevalensi difteri di seluruh dunia
disajikan pada Gambar 8. berikut ini.

Gambar 8. Kasus Difteri Global Tahunan dan Cakupan DTP3 (WHO/IVB


database 2017)

22
23

Selain manusia, hewan juga menjadi tempat penyebaran penyakit difteri. Hal
ini dibuktikan oleh ditemukannya C. diphtheriae dari kucing domestik (Hall et al.,
2010). Selain itu kuda juga menjadi tempat penyebaran penyakit ini (Henricson et
al., 2000; Leggett et al., 2010). Hewan peternakan seperti sapi juga merupakan
tempat penybaran difteri (Corboz et al., 1996).

B. Patogenisitas
Penyakit difteri klasik adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan atas
yang dapat menyebabkan sakit tenggorokan dan demam. Gejala dapat berupa
faringitis ringan hingga mati lemas akibat penyumbatan saluran nafas dengan
pembentukan pseudomembran. Dalam kasus difteri yang parah, saluran
pernafasan benar-benar tertutup (Burkovski, 2014).
Strain toksigenik dan non-toksigenik dari Corynebacterium diphtheriae
memiliki kemampuan berbeda dalam penempelan pada fibrinogen. Strain non-
toksigenik menempel dengan intensitas yang lebih rendah dibandingkan dengan
strain toksigenik, hal ini dapat disebabkan oleh gen bakteriofag yang berhubungan
terhadap ekspresi protein yang mampu melekat pada fibrinogen (Sabbadini et al.,
2010). Pseudomembran terdiri atas bakteria, epitel yang mengalami nekrosis, dan
sel-sel inflamasi yang tertanam dalam matriks fibrin, yang mana pseudomembran
ini melekat erat pada dasar jaringan (Hadfield et al., 2000).
Infeksi dimulai dengan kolonisasi sel-sel epithelial saluran pernafasan atas
oleh C. diphtheriae. C. diphtheriae memperbanyak diri pada permukaan
membran mukosa , tetapi tidak berkembang sampai ke bagian dalam tubuh hal ini
sesuai dengan deskripsi oleh Loeffler (1884). Jaringan yang terinfeksi
menunjukan gejala inflamasi, kemudian edema dan nekrosis akibat dari aksi
toksin difteri yang bersifat merusak. Toksin yang dihasilkan juga bertanggung
jawab terhadap peradangan kapiler yang lebih dalam yang menyebabkan sekresi
fibrin masuk ke epitel yang rusak. Pelepasan protein fibrin, kerusakan sel epitel
dan bakteri bersama-sama membentuk formasi pseudomembran yang berwarna
abu-abu atau kuning keputihan.
24

Corynebacterium diphtheriae adalah agen penyebab utama penyakit difteri


yang pencegahannya bergantung pada pelaksanaan imunisasi dengan
menggunakan molekul toksoid (Hadfield et al., 2000; Vitek dan Wharton, 2008).
Biasanya difteri pernafasan ditandai dengan pembengkakan pada leher yang
disebut dengan ‘bull neck’ dan adanya pseudomembran yang melekat pada
mukosa saluran pernafasan. Pseudomembran merupakan tanda patogonomis
utama dari difteri yang kemudian meluas kedalam trakea, bronkus dan bronkiolus
yang menyebabkan adanya penyumbatan pada aliran udara. Toksin difteri yang
dikeluarkan oleh strain Corynebacterium toksigenik diserap ke dalam sirkulasi
darah kemudian bereaksi dengan banyak jaringan terutama miokardium, sistem
saraf pusat, ginjal dan kelenjar adrenal.
Kematian dapat disebabkan oleh sesak nafas dari efek peradangan lokal oleh
toksin difteri, perluasan pseudomembran atau karena efek sistemik terutama
miokarditis dan gagal ginjal (Hadfield, 2000). Saat ini, terjadi peningkatan kasus
infeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae non toksigenik yang
ditandai dengan sakit tenggorokan dan faringitis. Penyakit lainnya yang juga
dtimbulkan yaitu endokarditis, artritis septik, abses limpa dan osteomyelitis
(Alexander, 1984; Tiley et al., 1993; Lin et al., 1994; Poilane et al., 1995; Golaz
et al., 2000; Mattos- Guaraldi et al., 2001; Dzupova et al., 2005; Hirata et al.,
2008; Gomes et al., 2009; Farfour et al., 2012).
Sintesis toksin difteri bergantung pada konsentrasi ion besi (Fe) pada
lingkungan ekstraselular. Ketika kadar ion besi terbatas, maka bakteri mulai
mensintesis toksin yang nantinya akan disekresikan ke medium ekstraselular
sebagai rantai tunggal polipeptida (Pappenheimer, 1977; Holmes, 2000). Toksin
yang baru dikeluarkan oleh bakteri tersebut bentuknya masih inaktif. Kemudian
toksin akan diserap ke dalam sistem sirkulasi dan disebarluaskan ke bagian tubuh
lainnya. Ketika toksin berikatan dengan reseptornya, yaitu Heparin-Binding
Epidermal Growth Factor (HB-EGF) (Naglich et al., 1992), maka toksin dapat
memasuki sel dengan cara endositosis. Saat berada di dalam endosom, toksin
difteri yang masih inaktif yaitu yang masih terdiri dari rantai polipeptida A dan
rantai polipeptida B kemudian akan membelah. Kondisi pH yang rendah
25

menginduksi perubahan konformasi dari domain T pada rantai polipeptida B dan


menginisiasi tahap translokasi membran. Rantai polipeptida A akan dilepaskan ke
dalam sitoplasma yang kemudian akan diaktivasi oleh pembelahan lebih lanjut
menjadi toksin aktif dan menginaktivasi faktor elongasi-2 atau Elongation Factor
2 (EF-2) oleh ADP-ribosilasi (Pappenheimer, 1977; Lord et al., 1999; Falnes dan
Sandvig, 2000).

Gambar 9. Ilustrasi skematik dari mekanisme kerusakan sel akibat toksin difteri
(Bernadus, 1972)

Pengiriman domain-C atau rantai polipeptida A dari ruang endosomal


menuju ke sitoplasma membutuhkan enzim dan faktor translokasi untuk
memutus ikatan disulfida. Selama periode translokasi dari membran, fragmen
katalitik dari toksin difteri tetap terhubung dengan domain-T oleh ikatan
disulfida antara residu sistein yang telah dijelaskan untuk menyimpan energi
potensial tinggi dan menstabilkan struktur sekunder dari toksin (Wouters et al.,
2004). Ikatan disulfida direduksi oleh thioredoxin reductase yang menyelesaikan
proses pengiriman dengan bantuan oleh faktor sitosolik translokasi (Ratts et al.,
2003).
Toksin Difteri memiliki dosis letal minimum yaitu 50-100 ng/kg massa
tubuh (Pappenheimer, 1977, 1993; Mekada et al., 1988). Selain kemampuannya
dalam menghambat sintesis protein (Chang et al., 1989a), toksin difteri juga
26

menginduksi pembelahan internukleosomal DNA (mengindikasikan aktifitas


penginduksi apoptosis) yang prosesnya mendahului sitolisis.

C. Toksigenisitas Bakteri
Toksigenisitas bakteri ialah kemampuan suatu bakteri dalam menghasilkan
toksin sehingga menyebabkan terjadinya penyakit pada organisme inangnya .
Toksin difteri merupakan protein tunggal yang terdiri atas 535 asam amino yang
mana pencapaian toksin ke dalam target sitoplasmik melalui internalisasi
reseptor. Protein ini terbagi menjadi dua fragmen yang keduanya dihubungkan
oleh ikatan disulfida. Fragmen pertama ialah fragmen A (FA) terminal-N
(21.167 kDa) dan yang kedua ialah fragmen B (FB) terminal-C (37.195 kDa)
(Kantardjieff et al., 1989). Pada awal tahun 1980an, bukti dari biokimia dan
genetik mendukung hipotesis bahwa toksin difteri merupakan protein yang
terdiri dari 3 domain: terminal-N pada fragmen A yang berfungsi dalam proses
katalitik (C) nicotinamide adenine dinucleotide yang bergantung ADP-ribosilasi
factor elongasi-2 eukariotik atau Eucaryotic Elongation Factor-2 (EF-2);
domain transmembran (T) yang memfasilitasi pengiriman fragmen A menuju
sitosol sel eukariotik dan domain lainnya ialah bagian yang berikatan dengan
reseptor (R). Domain T dan R terdapat pada fragmen B (Drazin et al., 1971; Gill
dan Pappenheimer, 1971; Uchida et al., 1971; Boquet et al., 1976). Berikut
disajikan gambar dari struktur toksin difteri.

Gambar 10. Struktur toksin difteri. a. FA (Domain C) warna biru. FB (Domain T


warna hijau dan Domain R warna merah); b. Struktur kristalografik;
c. Gambaran permukaan molekul toksin difteri (Rodnin et al., 2010)
27

D. Faktor Genetik Yang Berperan Dalam Toksigenitas Bakteri Penyebab


Difteri
Gen yang berperan dalam sifat toksigenisitas spesies dari Corynebacterium
adalah gen diphtheria toxin (gen dtx) atau gen tox dan gen diphtheria toxin
Regulation (dtxR). Toksin difteri diproduksi dan dikode oleh gen dtx. Hanya
bakteri yang memiliki gen dtx ini yang dapat menghasilkan toksin difteri sehingga
keberadaan gen ini dianggap sebagai penanda strain Corynebacterium diphtheriae
yang bersifat toksigenik. Produksi toksin oleh gen dtx diregulasi oleh gen lain
yang disebut dengan gen dtxR. Gen dtxR ini merupakan penanda dari
Corynebacterium diphtheriae karena gen ini dimiliki oleh semua strain
Corynebacterium baik yang toksigenik maupun non-toksigenik (Cerdeño et al.,
2003; Xu T et al., 1994; Boyd J, Oza MN, Murphy AJ, 1990).
Bakteri yang bersifat non-toksigenik dapat berubah menjadi toksigenik
apabila terinsersi oleh corynephage yang membawa gen tox (tox+). Sebaliknya,
strain bakteri toksigenik akan kehilangan toksigenisitasnya apabila terjadi
eliminasi (curing) bakteriophage yang membawa gen tox. Terdapat 2 lokasi pada
kromosom bakteri yang dijadikan tempat insersi yaitu attB1 dan attB2 (Rappuoli
et al., 1983; Sekizuka et al., 2012).
Gen dtxR mengontrol jaringan kompleks dari gen yang terlibat dalam proses
homeostasis besi (Fe) (De Zoysa et al., 2005; Wennerhold dan Bott, 2006).
Produksi toksin oleh gen tox diatur oleh suatu mekanisme kontrol negatif dimana
molekul represor yaitu produk dari gen dtxR diaktifkan oleh Fe. Molekul represor
yang aktif akan mengikat gen tox pada posisi operator kemudian menghambat
transkripsi gen tersebut. Pada konsentrasi besi yang rendah, respresor ditekan dari
promoter sehingga proses transkripsi dari gen tox dapat belangsung (Wennerhold
dan Bott, 2006). Fe dianggap sebagai korepresor karena dibutuhkan dalam proses
represi dari gen tox. Ketika kadar Fe2+ meninggi, produk dari gen dtxR berada
dalam bentuk terikat pada Fe2+ dan bentuk ini mampu berikatan dengan operator
pada gen tox, sehingga proses transkripsi dari gen tox tersebut menjadi terhambat.
Pada hewan prokariot dan eukariot rendah, besi (Fe) diangkut ke dalam
sitosol oleh sekelompok chelator besi berantai bermolekul rendah atau pembawa
28

besi yang disebut dengan siderofor. Sampai saat ini telah teridentifikasi 200 jenis
siderofor berbeda (Neilands, 1981). Meskipun siderofor menunjukkan struktur
yang berbeda-beda, namun semuanya membentuk enam koordinat kompleks
oktahedral dengan besi dan semuanya memiliki afinitas yang tinggi pada besi
(Fe).

E. Pemeriksaan Toksigenisitas
Pemeriksaan toksigenisitas bakteri penyebab difteri dapat dilakukan dengan
cara konvensional dan molekuler. Pemeriksaan secara konvensional dapat
dilakukan dengan secara in vivo yaitu dengan menggunakan hewan Guinea pig,
dan secara in vitro dengan menggunakan sel vero dan elek test. Penggunaan
Guinea pig banyak yang ditentang oleh bioetik hewan (Animal Welfare),
membutuhkan biaya yang cukup banyak, serta resiko kecelakaan saat inokulasi
yang membuatnya tidak aplikatif. Penggunaan vero cell cytotoxicity
membutuhkan kelengkapan laboratorium dan keterampilan tenaga kerja yang
cukup tinggi dan juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Pemeriksaan
toksigenisitas lainnya yaitu elek test yang dikembangkan oleh Elek (1949). Prinsip
dari uji toksigenisitas dengan elek test yaitu dengan adanya imunopresipitasi
berupa garis putih. Garis putih yang terbentuk merupakan hasil dari ikatan antara
antigen dari toksin yang dihasilkan oleh bakteri dengan antibodi berupa Anti
Diphtheria Serum (ADS) (Rudi et al., 2014; Efstratiou et al., 2000; J. Clin, 1997;
Handayani, 2012). Kelemahan dari metode elek test ini ialah hasil pengujian
bervariasi sehingga diperlukan pengujian di laboratorium terstandard dan
membutuhkan teknisi yang berpengalaman, serta membutuhkan waktu yang
cukup lama.
Uji toksigenisitas dengan cara molekuler yaitu dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR), enzyme immunoassay (EIA) serta immunochromatographic strip
(ICS). Kelemahan dari metode PCR yaitu tidak semua C. diphtheriae yang
mempunyai gen tox yang berperan sebagai penyandi dalam sintesis toksin difteri,
sehingga tidak menghasilkan toksin secara fenotipik, oleh sebab itu perlu untuk
dilakukan pengujian ulang dengan elek test. Selain itu, biaya yang dibutuhkan
29

cukup tinggi. Namun kelebihan dari metode PCR ini yaitu waktu yang dibutuhkan
cukup cepat serta ketelitian hasilnya cukup tinggi. (Handayani, 2012; Rudi et al.,
2014; Efstratiou, 1994).

F. Identifikasi Secara Umum dan Pemeriksaan Laboratorium


Spesies Corynebacterium terdiri dari sekelompok bakteri katalase positif, non
motil dan tidak membentuk spora, berbentuk batang, dan gram positif (Funke dan
Bernard, 2011).
1. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen klinis dari pasien terduga atau kontak terdekat dilakukan swab dari
nasofaring, pseudomembran (tenggorok), atau dari luka. Setelah pengumpulan
spesimen, swab harus segera dikirim ke laboratorium untuk dilakukan inokulasi
pada media kultur. Jika transport langsung dan inokulasi pada plate tidak
memungkinkan, dapat digunakan medium transport seperti media Amies atau
media silica-gel (Efstratiou dan Maple, 1994; Funke dan Bernard, 2007).
2. Isolasi dan Identifikasi
Swab diinokulasi pada media Agar Darah dan agar selektif yang mengandung
telurit (Efstratiou dan Maple, 1994). Kultur pada media yang mengandung tellurit
diinkubasi pada suhu 35-37°C selama 24-48 jam. Agar darah yang ditambahkan
dengan potassium tellurit memberikan hasil yang memuaskan. Media yang
mengandung telurit sangat selektif untuk bakteri positif pereduksi telurit yaitu tiga
spesies Corynebacterium berpotensi toksigenik yaitu Corynebacterium
diphtheriae, Corynebacterium ulcerans dan Corynebacterium pseudotuberculosis
yang tumbuh dan menghasilkan koloni berwarna coklat kehitaman. Namun
demikian, media tellurit ini juga memungkinkan beberapa spesies dari
Corynebacterium lain untuk hidup seperti C. jeikeium dan C. striatum, serta
bakteri lain seperti spesies dari Staphylococcus, spesies dari Streptococcus, dan
jamur ikut tumbuh sehingga diperlukan uji sistinase pada media tinsdal (De Zoysa
dan Efstratieu, 2006; Efstratieu dan Maple, 1994).
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan untuk diagnosis sementara. Pewarnaan
sediaan apusan dengan pewarna Albert maupun Neisser menunjukkan hasil
30

metachromatic granule yang lebih jelas. Jika pada pewarnaan dan pemeriksaan
mikroskopik terlihat gambaran difteroid, maka dilakukan isolasi dan purifikasi
pada media blood agar (BA) untuk selanjutnya dilakukan uji biokimia. Untuk
membedakan strain Corynebacterium yang berpotensi toksigenik dengan bakteri
lain yaitu dengan reaksi cystinase dan pyrazinamidase. Reaksi biokimia juga
dapat membedakan antara spesies C. diphtheriae dengan C. ulcerans dan C.
pseudotuberculosis yaitu dengan reaksi nitrat dan urease. Reaksi fermentasi dari
gula-gula juga dapat membedakan subtype dari C. diphtheriae serta membedakan
C. ulcerans dengan C. pseudotuberculosis.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Kegiatan Praktek Kerja Lapangan ini berlangsung di Laboratorium
Bakteriologi , Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Jakarta.
Kegiatan PKL ini berlangsung selama 5 minggu yaitu dimulai pada tanggal 14
Agustus 2017 sampai tanggal 15 September 2017.

B. Metode Penelitian
Metode penelitian berupa percobaan laboratorium, yaitu pemeriksaan
toksigenitas isolat bakteri penyebab difteri dengan metode elek test dan PCR.
1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam kegiatan ini adalah cawan petri diameter 4.5 cm,
tabung reaksi, gelas ukur, laminar, ose, siring, PCR, ESCO Fume Hood,
sentrifuge, vortex, tip, mikropipet, tabung eppendorf, gel doc, alat elektroforesis
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah 3 sampel isolat
Corynebacterium sp. dengan label A, B, dan C serta digunakan sampel bakteri
National Collection of Type Cultures (NCTC) 12077 dengan strain
Corynebacterium ulcerans sebagai kontrol negatif, lalu digunakan NCTC 3984
dengan strain Corynebacterium diphtheriae biotipe gravis dan NCTC 10648
dengan strain Corynebacterium diphthriae biotipe gravis sebagai kontrol positif,
media elek, Anti Difteri Serum (ADS), paper disk Whatman no.3, aquades, RX
Mix, primer, water, PBS, lysis buffer, binding buffer, wash buffer A, wash buffer
B, DNA free water, agarose, TBE, marker, agarose.

2. Prosedur Penelitian
2.1. Sampel penelitian
Sampel penelitian dan sampel kontrol didapatkan dari Laboratorium
Bakteriologi Puslitbang Biomedis dan Kesehatan Jakarta berupa suspensi
bakteri spesies dari Corynebacterium. Suspensi bakteri dengan kode A, B
dan C serta suspensi bakteri kontrol National Collection of Type Cultures

31
32

(NCTC) 12077 dengan strain Corynebacterium ulcerans sebagai kontrol


negatif, NCTC 3984 dengan strain Corynebacterium diphtheriae biotipe
gravis dan NCTC 10648 dengan strain Corynebacterium diphthriae
biotipe gravis sebagai kontrol positif . Suspensi bakteri terdapat dalam
botol ampul. Bakteri sampel dan bakteri kontrol dikultur pada medium
agar darah dan diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37°C selama 24
jam.
2.2. Pemeriksaan toksigenisitas isolat bakteri penyebab difteri dengan metode
elek test
 Persiapan media dan pemeriksaan toksigenisitas
Sebelum dimulainya kegiatan, maka diharuskan untuk menggunakan
Alat Perlindungan Diri (APD). Persiapkan bahan-bahan untuk membuat
media elek lalu timbang dan tambahkan aquades dengan ukuran sesuai
dengan prosedur. Panaskan media elek diatas kompor hingga tercampur
merata. Media elek yang sudah dipanaskan kemudian ditunggu hingga
suhunya menurun dan tempatkan dalam tabung sebanyak 10 ml dan
kemudian disterilisasi dengan autoklaf. Media elek yang sudah steril
ditambahkan dengan 2 ml NBS lalu dihomogenkan dengan vorteks.
Proses ini dilakukan di dalam laminar. Tuang campuran ke dalam 3
cawan petri berukuran diameter 4,5 cm lalu tunggu hingga mengeras
kemudian simpan dalam kulkas dan diamkan selama 24 jam.
Tandai kode sampel dan kontrol pada alas cawan petri dengan spidol
dan tandai sejauh 1 cm dari lokasi paper disk. Pengenceran Anti Difteri
Serum (ADS) dibuat dengan mencampurkan ADS dan aquades dengan
perbandingan 1:3 pada cawan petri steril. Volume dari ADS yang
digunakan adalah 100 µl dan aquades adalah 300 µl. Paper disk dengan
diameter 0,5 cm diambil dengan siring dan dimasukkan ke dalam
campuran ADS-aquades sampai semuanya terendam. Paper disk yang
telah terendam tersebut diambil dengan siring dan diletakkan pada bagian
tengah dari media elek. Panaskan ose diatas api dan tunggu beberapa saat
33

hingga kira-kira sudah tidak panas. Kultur bakteri sampel dan bakteri
kontrol pada media agar darah diambil dengan ose kemudian dioleskan
pada media elek yang telah ditentukan lokasinya. Setelah semuanya di
oleskan, simpan pada inkubator dengan suhu 37°C dan diamkan selama
24-48 jam. Amati garis presipitasi yang terbentuk.
2.3. Pemeriksaan toksigenisitas isolat bakteri penyebab difteri dengan metode
PCR
 Persiapan mix
Hal yang dilakukan terlebih dahulu adalah dengan mengunakan APD
terlebih dahulu. Dinyalakan ESCO Fume Hood kemudian ditunggu
beberapa saat lalu dibersihkan dengan alkohol dan dilap dengan tisu.
Dipersiapkan mikrotube, vortex, mikropipet, tip dan wadah serta plastik
untuk sampah. Siapkan Reaction Mix (Rx Mix), primer, dan Nuclease
Free Water (NFW). Pembuatan reaksi 1x mix untuk difteri yaitu dengan
mencampurkan 12.5 µl Rx Mix dengan 4 µl primer dan 4.5 NFW dalam
mikrotube kemudian di vortex. Perbandingan campuran mix ini dapat
berlaku kelipatan untuk reaksi lebih dari 1x.
 Ekstraksi DNA
Dipergunakan APD terlebih dahulu, ESCO fume hood dinyalakan
dan ditunggu beberapa saat kemudian dibersihkan dengan alkohol dan
dilap dengan tisu. Dipersiapkan sampel bakteri, mikropipet, tip, vortex,
wadah sampah, tabung eppendorf serta kit Koogene. Sebanyak 200 µL
PBS dimasukkan pada masing-masing tube yang telah diberi kode.
Koloni bakteri isolat sampel dan isolat bakteri kontrol yang ditumbuhkan
pada media Blood Agar (BA) diambil dengan ose steril dan dimasukkan
ke dalam larutan PBS dalam tube. Sebanyak 500 µl larutan lysis buffer
dimasukkan ke dalam microsentrifuge tube, lalu tambakan 200 µl sampel
yang akan diperiksa kemudian dihomogenkan dengan vortex lalu
diamkan selama 10 menit pada suhu ruang. Dilakukan sentrifugasi pada
12.000 rpm selama 10 menit.
34

Sebanyak 700 µl supernatan yang terbentuk diambil dan tambahkan


dengan larutan binding buffer sebanyak 700 µl dan kemudian
dihomogenkan dengan vortex. Sebanyak 750 µl campuran sampel dan
binding buffer diambil dan dimasukkan ke dalam spin column. Dilakukan
sentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit. Buang cairan pada tube
bagian bawah spin column, tempatkan kembali spin column dalam tube,
lalu tambahkan sisa dari campuran sampel. Dilakukan sentrifugasi pada
12.000 rpm selama 1 menit. Buang cairan pada tube bagian bawah spin
column dan tempatkan kembali spin column pada tube.
Sebanyak 500 µl wash buffer A ditambahkan ke dalam spin column.
Sentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit. Buang cairan pada tabung
bagian bawah spin column dan tempatkan kembali spin column ke dalam
tube. Tambahkan 500 µl wash buffer B ke dalam spin column.
Sentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit. Buang cairan pada tabung
bagian bawah spin column dan tempatkan kembali spin column ke dalam
tube. Dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit,
untuk mengeringkan cairan wash yang ada di dalam spin column. Buang
tube bagian bawah spin column dan tempatkan spin column pada 1,5 ml
microsentrifuge tube baru yang telah diberi kode. Sebanyak 30 – 100 µl
Nuclease Free Water ditambahkan dan posisi memasukkan tepat pada
posisi tengah dari membran spin column. Dilakukan sentrifugasi pada
kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit. Buang spin column, dan hasil
DNA yang diinginkan telah ada pada microsentrifuge tube. Siapkan mix
yang telah dibuat, lalu masukkan sebanyak 4 µl DNA ke dalam mix.
 PCR
Campuran mix dan DNA dihomogenkan dengan vortex terlebih dahulu
setelah itu masukkan dalam mesin PCR dan atur PCR dengan kriteria
sebagai berikut:
35

Tabel 3. Ketentuan PCR Untuk Difteri (Puslitbang Biomedis, 2017)


Suhu (°C) Waktu
Predenaturasi 95 5 menit
Denaturasi 95 15 detik
Annealing 55 30 x 15 detik
Extension 72 30 detik
Elongasion
20 Forever

 Elektroforesis
Pada tahap elektroforesis ini, dilakukan pembuatan agarose 2%
terlebih dahulu. Bahan agarose ditimbang sebanyak 2 gram dan
ditambahkan dengan buffer 100 ml dalam erlenmeyer. Erlenmeyer
ditutup dengan alumunium foil lalu dilubangi. Larutan tersebut kemudian
dimasukkan dalam oven bersuhu 70°C selama 15 menit. Disiapkan
peralatan elektroforesis. Agarose dituang kedalam cetakan dan tunggu
hingga memadat. Sisir dicabut ketika agar sudah mengeras. Setelah
mengeras, dituang buffer TBE kemudian agarose yang telah memadat
diletakkan diatasnya. Buffer TBE dituang kembali pada agarose.
Sebanyak dimasukkan 5 µl DNA marker pada sumur pertama.
Dimasukkan masing-masing 5 µl sampel yang telah di PCR yaitu sampel
A, B, C serta kontrol negatif dan kontrol positif ke dalam masing-masing
sumur. Tutup wadah elektroforesis lalu colokkan kabel ke sumber daya
listrik. Atur tegangan menjadi 100 Volt dan waktu selama 45 menit lalu
tekan run.
 Gel doc
Agar yang telah dielektroforesis diletakkan dalam mesin Gel Doc
dan dilakukan pembacaan dengan sinar UV melalui aplikasi di computer.
Atur tampilan yang diinginkan dan diberi kode nama kemudian print.
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Hasil pemeriksaan toksigenisitas dengan metode elek test dan PCR
multipleks dideskripsikan dan dianalisis dengan cara melakukan perbandingan
hasil pemeriksaan pada masing-masing sampel.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pemeriksaan toksigenisitas isolat bakteri penyebab difteri dengan


metode elek test
Pemeriksaan secara konvensional yang dilakukan adalah dengan kultur
sampel isolat dan isolat kontrol pada medium agar darah atau Blood Agar (BA)
dan tes toksigenisitas dengan metode elek test. Sampel isolat dan isolat kontrol
dikultur terlebih dahulu pada medium BA. Hasil kultur pada medium BA dapat
dilihat pada Gambar 11.

a b c
Gambar 11. Morfologi koloni isolat sampel dan isolat kontrol pada medium BA
dengan (a) adalah NCTC 12077; (b) adalah NCTC 3984 (kiri) NCTC
10648 (kanan); (c) sampel A (kiri) B (tengah) C (kanan)

Berdasarkan pada Gambar 11. diatas, tiga isolat sampel yaitu isolat A, B dan
C serta isolat kontrol ketika ditumbuhkan pada media BA menunjukkan hasil
koloni berwarna putih. Ketiga isolat sampel tersebut merupakan isolat
Corynebacterium diphtheriae. Hasil pemeriksaan toksigenisitas dengan metode
elek test ditunjukkan pada Gambar 12.

36
37

Sampel NCTC
isolat C 3984

Sampel NCTC
isolat A 10648

NCTC Sampel
12077 isolat B

Gambar 12. Hasil pemeriksaan toksigenisitas isolat bakteri sampel dan kontrol
dengan metode elek test menunjukkan adanya garis presipitasi pada
spesies dari Corynebacterium yang bersifat toksigenik.

Hasil pemeriksaan toksigenisitas isolat bakteri sampel dan kontrol dengan


metode elek test menunjukkan bahwa pada sampel kontrol NCTC 3984 (ditandai
dengan ++) dan NCTC 10648 (ditandai dengan +) yang merupakan kontrol positif
menunjukkan adanya garis presipitasi berupa garis putih diantara isolat bakteri
dengan paper disk ADS. Pada kontrol negatif yaitu NCTC 12077 tidak terlihat
adanya garis presipitasi. Pada sampel A dan sampel C, terlihat adanya garis
presipitasi diantara isolat dengan paper disk. Sampel B tidak terlihat adanya garis
presipitasi. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa sampel A dan C merupakan isolat
spesies dari Corynebacterium yang bersifat toksigenik, serta pada sampel B
merupakan isolat spesies dari Corynebacterium yang bersifat non-toksigenik.
Prinsip dari pemeriksaan toksigenisitas dengan metode elek test yaitu dengan
adanya imunopresipitasi berupa garis putih. Garis putih yang terbentuk
merupakan hasil dari ikatan antara antigen dari toksin yang dihasilkan oleh bakteri
dengan antibodi berupa Anti Difteri Serum (ADS) (Efstratiou et al., 2000).
Konfirmasi cepat dari diagnosis klinis sangat penting untuk mengontrol
epidemiologi dan dapat ditentukan jenis perawatan spesifik sehingga efektif hanya
jika ditangani selama tahap awal. Saat ini, satu-satunya metode in vitro yang
tersedia di sebagian besar laboratorium diagnostik adalah tes imunopresipitasi.
38

Elek yang pertama kali dijelaskan pada tahun 1949, yang mana secara teknis
rentan akan terjadinya kesalahan penafsiran (Efstratiou, 1996).

B. Pemeriksaan toksigenisitas isolat bakteri penyebab difteri dengan


metode PCR
Hasil pemeriksaan toksigenisitas isolat dengan metode PCR dapat dilihat
pada Gambar 13.

538 bp
375 bp

162 bp
100 bp

Gambar 13. Pemeriksaan toksigenisitas isolat bakteri penyebab difteri dengan


PCR dan elektroforesis
Pada gambar 13. dapat diketahui bahwa sampel isolat A dan C menunjukkan
adanya 3 pita DNA yang sesuai dengan kontrol positif atau positive control (PC).
Hal ini dapat disimpulkan bahwa isolat sampel A dan C merupakan
Corynebacterium diphtheriae toksigenik. Isolat sampel B merupakan
Corynebacterium diphtheriae non-toksigenik yang ditunjukkan pada adanya satu
pita DNA.
39

Gambar 14. Pola hasil pemeriksaan PCR multipleks-2: C. diphtheriae toksigenik


(1), C. diphtheriae non-toksigenik (2), C. diphtheriae NTTB (3), C.
ulcerans toksigenik (4), C. ulcerans non-toksigenik (5), C. ulcerans
NTTB (6), C. pseudotuberculosis toksigenik (7), C.
pseudotuberculosis non-toksigenik (8), C. pseudotuberculosis NTTB
(9), Bukan potentially toxigenic Corynebacteria (10) (Sunarno et al.,
2015)

Berdasaran Gambar 14. diatas, dapat diketahui bahwa Corynebacterium


diphtheriae toksigenik terlihat adanya 3 pita DNA yaitu pada 100 bp, 162 bp serta
538 bp. Sedangkan pada Corynebacterium diphtheriae non-toksigenik terlihat
adanya 1 pita DNA yaitu pada 162 bp. Pada Corynebacterium diphtheriae NTTB
terlihat adanya 2 pita DNA yaitu pada 162 bp dan 538 bp. Gen pada urutan 538 bp
merupakan penanda toksigenisitas dari spesies Corynebacterium. Hal ini sesuai
dengan hasil pengujian pada isolat A, B dan C yang menunjukkan bahwa isolat A
dan C merupakan isolat Corynebacterium diphtheriae toksigenik, sedangkan
isolat B merupakan isolat Corynebacterium diphtheriae non-toksigenik.
Tabel 4. Hasil pemeriksaan toksigenisitas sampel A B dan C dengan metode elek
tes dan PCR
Sampel Pemeriksaan toksigenisitas
Elek Test PCR
A Positif Positif
B Negatif Negatif
C Positif Positif
40

Berdasarkan Tabel 4. hasil pemeriksaan toksigenisitas sampel A, B dan C


dengan metode elek test dan PCR yaitu bahwa sampel A dan C menunjukkan hasil
positif. Sampel B menunjukkan hasil negatif. Sampel positif menandakan bahwa
terdapatnya gen tox pada sampel jika dideteksi dengan PCR sehingga dapat
terekspresi dan menghasilkan toksin difteri yang dapat terlihat berupa garis
presipitasi berwarna putih pada medium elek. Pada sampel dengan hasil negatif
menunjukkan bahwa sampel tersebut tidak terdeteksi memiliki gen tox ketika
diperiksa dengan PCR sehingga tidak dapat mengekspresikan toksin difteri pada
medium elek.
Gold standard pemeriksaan toksigenisitas difteri adalah dengan metode
konvensional yaitu dengan menggunakan hewan coba (Guinea pig), vero cell
cytotoxygenicity dan elek test, namun dalam pelaksanaanya masing-masing
pemeriksaan memiliki kelemahan. Pemeriksaan toksigenisitas dengan
menggunaan hewan coba berupa Guinea pig banyak ditentang oleh bioetik hewan
(animal welfare) dan membutuhkan waktu yang cukup lama serta biaya yang
cukup tinggi. Penggunaan sel vero sebagai pengujian toksigenisitas secara in vitro
membutuhkan biaya yang tinggi, waktu yang cukup lama, dan membutuhkan
tenaga berpengalaman yang ahli serta hanya dapat dilaksanakan di laboratorium
tertentu. Penggunaan elek test dalam pemeriksaan toksigenisitas merupakan
pemeriksaan yang umum digunakan, namun kelemahan dari metode ini adalah
tingginya kesalahan penafsiran, memiliki variasi hasil yang beragam sehingga
memerlukan laboratorium terstandard dan tenaga ahli yang berpengalaman. Selain
itu, ketersediaan reagen standard untuk pemeriksaan menjadi masalah tersendiri
(Efstratiou dan George, 1999).
Saat ini, korelasi yang sangat baik telah ditunjukkan antara pengujian dengan
elek test dan PCR yang mendeteksi subunit A dari gen toksik difteri (Pallen et al.,
1994 ; Mikhailovich et al., 1995) . PCR adalah alat yang dapat diandalkan dan
dapat digunakan kembali untuk deteksi gen toksin difteri yaitu gen tox pada
region A dan B (Nakao dan Popovic, 1997). Kendala yang muncul ialah tidak
terdeteksinya bakteri yang tidak memiliki gen tox (strain non-toksigenik) padahal
strain non-toksigenik juga dapat menimbulkan penyakit mematikan (Zasada et
41

al., 2005; Reacher et al., 2000) dan dapat berubah menjadi strain toksigenik jika
diinsersi oleh corynephage yang membawa gen tox (Titov et al., 2003).
Produksi toksin difteri dikode oleh gen tox dan hanya bakteri yang memiliki
gen ini yang mampu menghasilkan toksin sehingga keberadaan gen tox inilah
yang menjadikannya penanda strain bakteri difteri toksigenik. Peranan gen tox ini
diregulasi oleh gen yang disebut dengan gen diphtheria toxin Regulation (dtxR).
Gen dtxR ini dimiliki oleh semua Corynebacterium diphtheriae toksigenik
maupun non-toksigenik, sehingga keberadaan gen dtxR ini digunakan sebagai
penanda bakteri Corynebacterium diphtheriae (Cerdeño-Tárraga et al., 2003; Xu
T et al., 1994; Boyd J et al., 1990).
Keberadaan gen tox dan gen dtxR pada Corynebacterium diphtheriae dapat
dideteksi dengan PCR multipleks dengan target gen dtx dan dtxR. Gen tox dibawa
oleh famili dari corynebacteriophage tetapi ekspresi dari gen tox ini diregulasi
oleh gen dtxR (Boyd et al., 1990). Ketika gen dtxR teraktivasi oleh ion logam
berat divalent yaitu ion besi, hal tersebut dapat mengikat operator gen tox dan
memblok jalur transkripsi dari gen tox. (Nakao et al., 1996).
Kendala yang terdapat pada pemeriksaan dengan metode elek tes dan PCR
yaitu pada strain Corynebacterium diphtheriae NTTB yaitu strain bakteri yang
memiliki gen tox namun tidak terekspresi secara fenotipik, strain bakteri tersebut
dapat terdeteksi dengan PCR karena memiliki gen tox, namun ketika dilakukan
pemeriksaan dengan metode elek test , toksin tidak terdeteksi karena memang gen
tox yang dimilikinya tidak mengekspresikan toksin sehingga tidak akan terbentuk
garis presipitasi pada medium elek (De Zoysa dan Efstratieu, 2006; Burkovski,
2014).
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Pada sampel isolat A dan C merupakan strain Corynebacterium diphtheriae
toksigenik, sedangkan sampel isolat B merupakan Corynebacterium diphtheriae
non-toksigenik. Sifat toksigenik dari sampel terlihat pada elek test berupa garis
presipitasi sedangkan strain non-toksigenik tidak menunjukkan adanya garis
presipitasi. Pada metode PCR, terlihat adanya tiga pita DNA yaitu pada 100 bp,
162 bp dan 538 bp pada strain Corynebcaterium diphtheriae sedangkan pada
strain non-toksigenik hanya terdapat satu pita DNA yaitu pada 162 bp.

B. Saran
Disarankan agar dilakukan pengujian toksigenisitas dengan spesies
Corynebacterium lainnya. Dilakukan uji coba lanjutan untuk menentukan
kelayakan pemeriksaan toksigenisitas dengan elek tes dan PCR dengan berbagai
jenis Corynebacterium lainnya.

42
DAFTAR PUSTAKA

[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Seretariat


Jenderal Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
2016.
[WHO]. (2015). Immunization, Vaccines and Biologicals.
http://www.who.int/immunization/diseases/diphtheria/en/. [24 Agustus
2017].
[WHO] World Health Organization. (2017). Diphtheria reported cases.
http://apps.who.int/immunization_monitoring/globalsummary/timeseries/ts
incidencediphtheria.html. [23 Agustus 2017].
Acang N. (1996). Difteri. Noer HMS., editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Ed. ke-
3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Alexander D. (1984). Splenic abscess caused by Corynebacterium diphtheriae.
Clin Pediatr 23: 591–592.
Benoist AC., White JM., Efstratiou A., et al. (2004). Imported cutaneous
diphtheria, United Kingdom. Emerg Infect Dis. Mar. 10(3):511-3.
Boyd J, Oza MN, Murphy AJ. (1990). Molecular cloning and DNA sequence
analysis of a diphtheria tox iron-dependent regulatory element (dtxR) from
Corynebacterium diphtheriae. Proc. Nati. Acad. Sci. USA. 87:5968-5972
Buck GA, Cross RE, Wong TP, Loera J, Groman N. (1985). DNA relationships
among some tox-bearing corynebacteriophages. Infect Immun 49(3):679–
684.
Burkovski A. (2014). Diphtheria and its Etiological Agent. In: Burkovski A,
Editor. Corynebacterium diphtheriae and Related Toxigenic Species.
Springer.
CDC. (2001). Summary of notifiable diseases. United States,. MMWR Morb
Mortal Wkly My 2. 50(53):i-xxiv, 1-108.
Cerdeño-Tárraga AM, Efstratiou A, Dover LG, Holden MT, Pallen M, Bentley
SD, Besra GS, et al. (2003). The complete genome sequence and analysis

43
44

of Corynebacterium diphtheriae NCTC13129. Nucleic Acid


Res.;31(22):6516-23.
Cerdeño-Tarrága AM, Efstratiou A, Dover LG, Holden MT, Pallen M, Bentley
SD, Besra GS, Churcher C, James KD, De Zoysa A, Chillingworth T,
Cronin A, Dowd L, Feltwell T, Hamlin N, Holroyd S, Jagels K, Moule S,
Quail MA, Rabbinowitsch E, Rutherford KM, Thomson NR, Unwin L,
Whitehead S, Barrell BG, Parkhill J. (2003). The complete genome
sequence and analysis of Corynebacterium diphtheriae NCTC13129.
Nucleic Acids Res 31:6516–652.
Cianciotto NP, Groman NB. (1996). Extended host range of a beta-related
corynebacteriophage. FEMS Microbiol Lett 140(2–3):221–225.
Clin J. (1997). Elek test for detection of toxigenic corynebacteria in the diagnostic
laboratory. Mirobiol. 35(2):495–8.
Corboz L., Thoma R, Braun U, Zbinden R. (1996). Isolation of Corynebacterium
diphtheriae subsp. belfanti from a cow with chronic active dermatitis.
Schweiz Arch Tierheilkd 138(12):596–599.
Dass J FP, Deepika V. (2007). Implications from predictions of HLA-DRB 1
binding peptides in the membrane proteins of Corynebacterium
diphtheriae. Bioinformation. 3(3): 111-3.
De Zoysa A & Efstratieu A. (2006). Corynebacterium spp. In: Gillespie SH &
Hawkey PM. Editor. Principles and Practice of Clinical bacteriology 2nd
ed. USA: John Wiley & Son, Ltd.
De Zoysa A, Hawkey PM, Engler K, George R, Mann G, Reilly W, Taylor D,
Efstratiou A. (2005). Characterization of toxigenic Corynebacterium
ulcerans strains isolated from humans and domestic cats in the United
Kingdom. J Clin Microbiol 43:4377–4381.
Dorella FA, Pacheco LG, Oliveira SC, Miyoshi A, Azevedo VA. (2006).
Corynebacterium pseudotuberculosis: microbiology, biochemical
properties, pathogenesis and molecular studies of virulence. Vet Res
37:201–218.
45

Dzupova O, Benes J, Kriz B, Horova B, Olexova A. (2005). An unusual course of


invasive infection due to nontoxinogenic strain of Corynebacterium
diphtheriae. Klin Mikrobiol Infekc Lek 11:222–225.
Efstratiou A, Engler KH, Mazurova IK, Glushkevich T, Vuopio-Varkila J,Popovic
T. (2000). Current approaches to the laboratory diagnosis of diphtheria.
JID.;181(Suppl 1):S138–45.
Efstratiou, A., and R. C. George. (1996). Microbiology and epidemiology of
diphtheria. Rev. Med. Microbiol. 7:31–42.
Efstratiou A, PAC Maple. (1994). Manual for the laboratory diagnosis of
diphtheria. Copenhagen. WHO Europe.
Efstratiou A, George RC. (1999). Laboratory guidelines for the diagnosis of
infections caused by Corynebacterium diphtheriae and C. ulcerans.
Commun Dis Public Health. 2: 250-7.
Falnes PO, Sandvig K. (2000). Penetration of protein toxins into cells. Curr Opin
Cell Biol 12(4):407–413.
Farfour E, Badell E, Zasada A, Hotzel H, Tomaso H, Guillot S, Guiso N. (2012).
Characterization and comparison of invasive Corynebacterium
diphtheriae isolates from France and Poland. J Clin Microbiol 50:173–
175.
Funke G, Bernard KA. (2011). Coryneform Gram-positive rods. In: Versalovic J,
Carroll KC, Funke G, Jorgensen JH, Landry ML, Warnock DW (eds)
Manual of Clinical Microbiology, 10th ed. American Society for
Microbiology, Washington, DC, pp 413–442.
Golaz A, Lance-Parker S, Welty T, Schaefer L, Volmer L, La Fromboise C.
(2000). Epidemiology of diphtheria in South Dakota. S D J Med 53:281–
285.
Gomes DL, Martins CA, Faria LM, Santos LS, Santos CS, Sabbadini PS, Souza
MC, Alves GB, Rosa AC, Nagao PE, Pereira GA, Hirata R Jr, Mattos-
Guaraldi AL. (2009). Corynebacterium diphtheriae as an emerging
pathogen in nephrostomy catheter-related infection: evaluation of traits
associated with bacterial virulence. J Med Microbiol 58:1419–1427.
46

Groman NB. (1984). Conversion by corynephages and its role in the natural
history of diphtheria. J Hyg (Lond) 93(3):405–417.
Hadfield TL, McEvoy P, Polotsky Y, Tzinserling VA, Yakovlev AA. (2000). The
pathology of diphtheria. J Infect Dis 181:116–120.
Hall AJ, Cassiday PK, Bernard KA, Bolt F, Steigerwalt AG, Bixler D, Pawloski
LC, Whitney AM, Iwaki M, Baldwin A, Dowson CG, Komiya T,
Takahashi M, Hinrikson HP, Tondella ML. (2010). Novel
Corynebacterium diphtheriae in domestic cats. Emerg Infect Dis
16(4):688–691.
Handayani S. (2012). Deteksi kuman difteri dengan polymerase chain reaction
(PCR). CDK-191. 39(3).
Henricson B, Segarra M, Garvin J, Burns J, Jenkins S, Kim C, Popovic T, Golaz
A, Akey B. (2000). Toxigenic Corynebacterium diphtheriae associated
with an equine wound infection. J Vet Diagn Invest 12(3):253–257.
Hirata R Jr, Pereira GA, Filardy AA, Gomes DL, Damasco PV, Rosa AC, Nagao
PE, Pimenta FP, Mattos-Guaraldi AL. (2008). Potential pathogenic role of
aggregative-adhering Corynebacterium diphtheriae of different clonal
groups in endocarditis. Braz J Med Biol Res 41:986–991.
Holmes RK. (2000). Biology and molecular epidemiology of diphtheria toxin and
the tox gene. J Infect Dis 181(Suppl 1):S156–S167.
Kantardjieff K, Collier RJ, Eisenberg D. (1989). X-ray grade crystals of the
enzymatic fragment of diphtheria toxin. J Biol Chem 264(18):10402–
10404.
Leggett BA, De Zoysa A, Abbott YE, Leonard N, Markey B, Efstratiou A. (2010).
Toxigenic Corynebacterium diphtheriae isolated from a wound in a horse.
Vet Rec 166(21):656–657.
Lin RVTP, Lim SCS, Yew FS, Tan SY, Tey BH. (1994). Corynebacterium
diphtheriae endocarditis in an adult with congenital heart disease: a case
report. J Trop Med Hyg 97:189–191.
47

Loeffler F. (1884). Untersuchungen über die Bedeutung der Mikroorganismen für


die Entstehung der Diphtherie beim Menschen, bei der Taube und beim
Kalbe. Mitt Klein Gesundheitsamte Berlin 2:421–499.
Lord JM, Smith DC, Roberts LM. (1999). Toxin entry: how bacterial proteins get
into mammalian cells. Cell Microbiol 1(2):85–91.
Mattos-Guaraldi AL, Formiga LCD, Camello TCF, Pereira GA, Hirata R Jr, Faria
LMD, Halpern M. (2001). Corynebacterium diphtheriae threats in cancer
patients. Rev Argentina Microbiol 33:96–100.
Mattos-Guaraldi AL, Moreira LO, Damasco PV, Hirata Júnior R. (2003).
Diphtheria remains a threat to health in the developing world-an
overview. Mern Inst Oswaldo Cruz. Dec. 98(8):987-93.
Mekada E, Okada Y, Uchida T. (1988). Identification of diphtheria toxin receptor
and a nonproteinous diphtheria toxin-binding molecule in Vero cell
membrane. J Cell Biol 107:511–519.
Mikhailovich,V.M.,V.G.Melnikov,I.K.Mazurova,I.K.Wachsmuth,J.D. Wenger,
M. Wharton, H. Nakao, and T. Popovic. (1995). Application of PCR for
detection of toxigenic Corynebacterium diphtheriae strains isolate during
the Russian diphtheria epidemic, 1990 through 1994. J. Clin. Microbiol.
33:3061–3063.
Naglich JG, Metherall JE, Russell DW, Eidels L. (1992). Expression cloning of a
diphtheria toxin receptor: identity with a heparin-binding EGF-like
growth factor precursor. Cell 69(6):1051–1061.
Nakao H & Popovic T. (1997). Development of a Direct PCR Assay for Detection
of the Diphtheria Toxin Gene. J Clin Microbiol.35(7):1651-1655.
Pallen, M. J., A. J. Hay, L. H. Puckey, and A. Efstratiou. (1994). Polymerase
chain reaction for screening clinical isolates of corynebacteria for the
production of diphtheria toxin. J. Clin. Pathol. 47:353–356.
Pappenheimer AM Jr. (1977). Diphtheria toxin. Ann Rev Biochem 46:69–94.
Pappenheimer AM Jr. (1993). The story of a toxic protein, 1888–1992. Protein Sci
2:292–298.
48

Poilane I, Fawaz F, Nathanson M, Cruaud P, Martin T, Collignon A, Gaudelus J.


(1995). Corynebacterium diphtheriae osteomyelitis in an
immunocompetent child: a case report. Eur J Pediatr 154:381–383.
Rappuoli R, Michel JL, Murphy JR. (1983). Restriction endonuclease map of
corynebacteriophage γctox+ isolated from the Park-Williams no. 8 strain
of Corynebacterium diphtheriae. J Virol 45:524–530.
Ratts R, Zeng H, Berg EA, Blue C, McComb ME, Costello CE, vanderSpek JC,
Murphy JR. (2003). The cytosolic entry of diphtheria toxin catalytic
domain requires a host cell cytosolic translocation factor complex. J Cell
Biol 160(7):1139–1150.
Reacher M, Ramsay M, White J, Zoysa AD, Efstratiou A, Mann G, Mackay A,
et.al. (2000). Nontoxigenic Corinebacterium diphtheriae : An emerging
pathogen in England and Wales. Emerging Infectiuous
Diseases.6(6):640644.
Rodnin MV, Kyrychenko A, Kienker P, Sharmo O, Posokhov YO, Collier RJ,
Finkelstein A, Ladokhin AS. (2010). Conformational switching of the
diphtheria toxin T domain. J Mol Biol 402(1):1–7.
Rudi HP, Sariadji K, Sunarno, Roselinda. (2014). Corynebacterium diphtheriae:
diagnosis laboratorium bakteriologi. Edisi ke-1. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Sabbadini PS, Genovez MR, Silva CF, Adelino TL, Santos CS, Pereira GA,
Nagao PE, Dias AA, Mattos-Guaraldi AL, Hirata R Jr. (2010). Fibrinogen
binds to nontoxigenic and toxigenic Corynebacterium diphtheriae strains.
Mem Inst Oswaldo Cruz 105:706–711
Tiley S, Kociuba KR, Heron LG, Munro R. (1993). Infective endocarditis due to
non toxigenic Corynebacterium diphtheriae: report of seven cases and
review. Clin Infect Dis 16:271–275.
Titov L, Kolodkina V, Dronina A, Grimont F, Grimont PAD, Lejay-Collin M,
Zoysa A, et.al. (2003). Genotypic and Phenotipic characteristics of
Corynebacterium diphtheriae strain isolated from patients in Belarus
during an epidemic period. JCM.41(3):1285-1288.
49

Vetrichevvel TP, Pise GA, Agrawal KK, Thappa DM. (2008). Cutaneous
diphtheria masquerading as a sexually transmitted disease. Indian J
Dermatol Venereol Leprol.;74:187.
Vitek CR, Wharton M. (1998). Diphtheria in the former Soviet Union:
reemergence of a pandemic disease. Emerg Infect Dis. Oct-Dec. 4(4):539-
50.
Vitek C, Wharton M. (2008). Diphtheria toxoid. In: Plotkin SA, Orenstein WA,
Offit PA (eds) Vaccines 5th ed. Saunders, Philadelphia, pp 139–156.
Wennerhold J, Bott M. (2006). The DtxR regulon of Corynebacterium
glutamicum. J Bacteriol 188(8):2907–2918.
Wouters MA, Lau KK, Hogg PJ. (2004). Cross-strand disulphides in cell entry
proteins: poised to act. Bioessays 26(1):73–79.
Xu T, Schiering N, Hui-yan Z, Ringe D and Murphy JR. (1994). Iron, DtxR, and
the regulation of diphtheria toxin expression. Molecular
Microbiology.14(2):191-197.
Zasada AA, Zaleska M, Podlasin RB and Seferyńska I. (2005). The first case of
septicemia due to nontoxigenic Corynebacterium diphtheriae in Poland:
case report. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials, 4:8.
50

Lampiran 1. Daftar Hadir dan Kegiatan PKL

DAFTAR HADIR DAN KEGIATAN PKL

Nama : Wahyu Damarwati


No. Registrasi : 3425140764
Lokasi PKL : Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan,
Rawasari
Waktu PKL : 14 Agustus 2017-15 September 2017
Pembimbing 1 : drh. Atin Supiyani, M.Si.
Pembimbing 2 : Dr. Sunarno, M.Si, Med.

Tabel 5. Monitoring Kegiatan PKL

NNn No Hari/Tanggal Kegiatan


1. Senin/14 Agustus 2017 Pengenalan lab dan Teknisi lab; Pemberian
teori oleh Pak Sunarno
2. Selasa/15 Agustus Pemberian teori mengenai pengambilan
2017 sampel oleh Pak Kambang; Praktek
pengambilan sampel swab tenggorokan dan
nasofaring
3. Rabu/16 Agustus 2017 Membuat mix PCR, ekstraksi DNA,
amplifikasi DNA dengan PCR, elektroforesis,
pewarnaan gram pada bakteri
4. Jumat/18 Agustus 2017 Pemberian teori oleh Pak Kambang; membuat
media elek, MH, TSB dan TSB+PP
5. Senin/21 Agustus 2017 Melakukan penuangan media elek ke cawan
petri; cek sterilisasi darah domba; kultur
sampel pada media
6. Selasa/22 Agustus Uji toksigenisitas sampel dan kontrol pada
2017 media elek dengan Anti Difteri Serum (ADS);
Menyimpan koloni bakteri pada media TSB-
gliserol
7. Rabu/23 Agustus 2017 Pengamatan uji toksigenisitas; Penanaman
sampel pada media BAF dan CTBA;
Pewarnaan bakteri dan pengamatan
mikroskopik; Penanaman bakteri ke media BA
8. Kamis/24 Agustus Uji toksigenisitas; Membuat media MC dan
2017 SSA; Membuat mix PCR; Ekstraksi DNA
9. Jumat/25 Agustus 2017 Pengamatan hasil uji toksigenisitas;
Pengemasan TSB-gliserol; Amplifikasi DNA
dengan PCR; Elektroforesis; Pewarnaan
sampel dengan pewarna Albert dan
51
50

pengamatan mikroskopik; Pembacaan hasil


elektroforesis; Penyimpanan kultur bakteri
pada NaCl
10. Senin/28 Agustus 2017 Pengemasan TSB-gliserol; Rekultur bakteri
dari BAF ke BA; Pewarnaan Albert dan
pengamatan mikroskopik; Elektroforesis;
Ekstraksi DNA
11. Selasa/29 Agustus Uji biokimia bakteri positif difteri dengan API;
2017 Pembacaan hasil biokimia dengan web API;
Pembacaan pita DNA dengan Gel Doc
12. Rabu/30 Agustus 2017 Ekstraksi DNA; PCR; Pembuatan gel agarose
13. Kamis/31 Agustus Elektroforesis; Pembacaan pita DNA dengan
2017 Gel Doc
14. Jumat/1 September Kultur bakteri; Pembuatan media
2017
15. Senin/4 September Pembuataan media; Pengemasan TSB-gliserol
2017
16. Selasa/5 September Uji resistensi bakteri terhadap antibiotik;
2017 Pengamatan mikroskopik
17. Kamis/7 September Pengamatan hasil uji resistensi; Pengemasan
2017 TSB-gliserol
18. Jumat/8 September Ekstraksi DNA; PCR
2017
19. Selasa/12 September Pembuatan TSB-gliserol
2017
20. Rabu/13 September Uji toksigenisitas
2017
21. Kamis/14 September Pengamatan hasil uji toksigenisitas
2017
22. Jumat/15 September Pembuatan media toksin
2017
23. Selasa/19 September Presentasi di Puslitbang Biomedis
2017

Jakarta, 12 Oktober 2017

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dr. Sunarno, M.Si, Med. Drh. Atin Supiyani, M.Si.


NIP. 197704121996031001 NIP. 197809142006042001

Anda mungkin juga menyukai