Anda di halaman 1dari 104

Unggul dalam IPTEK

Kokoh dalam IMTAQ

LAPORAN HASIL PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KELUARGA DALAM


MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN SKIZOFRENIA
DI RS JIWA SEOHARTO HEERDJAN JAKARTA TAHUN 2015

DISUSUN OLEH:
MOLIDDIA PRIHATINNIA SUSKA
NPM : 2013727027

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015
LEMBAR PERSETUJUAN PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KELUARGA


DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN SKIZOFRENIA
DI RSJ. Dr. SOEHARTO HEERDJAN JAKARTA TAHUN 2015

Jakarta,Februari 2015

Menyetujui

Pembimbing

(Ns, Slametiningsih, M.Kep,Sp.Kep.J )

Mengetahui,
Ketua Program Studi Keperawatan
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta

(IrnaNursanti, S.Kp. M.Kep,Sp.Mat)

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan penelitian ini telah diperiksa, disetujui dan dipertanggungjawabkan

dihadapan Tim penguji Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta

Jakarta, Maret 2015

Mengetahui,

Penguji I Penguji II

(NinikYunitri, Ns., M.Kep, Sp.Kep.J) (GiriWidagdo, S.Kp, M.KM)

Penguji III

(Slametiningsih, Ns. M.Kep, Sp.Kep.J)

ii
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

Riset Keperawatan, Maret 2015

Moliddia PrihatinniaSuska

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keluarga dalam merawat anggota


keluarga dengan Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta

VII BAB + 84Halaman + 13 Tabel + 3 Lampiran

ABSTRAK

KesehatanJiwaadalahkeadaanjiwa yang
sehatmenurutilmuKedokteran.Upayakesehatanjiwaditujukanuntukmenjaminsetiapora
ng dapatmenikmatikehidupankejiwaan yang sehat,bebasdariketakutan, tekanan,
dangangguan lain yang dapatmengganggukesehatanjiwa. Gangguanjiwa,
neurologisdanpenyalahgunaanobat (Mental, neurological, and substance use=MNS)
umumterjadi di seluruhduniadanmerupakan contributor
utamaterhadapmorbiditasdanmortalitasdini. Salah satu gangguan jiwa berat adalah
skizofrenia, Skizofrenia adalah bentuk gangguan jiwa berat yang diderita sekitar 7 per
1000 populasi dewasa, paling banyak pada kelompok usia 15-35 tahun. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keluarga
dalam merawat anggota keluarga dengan Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto
Heerdjan Jakarta, Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif
dengan pendekatan cross sectional. Sample dalam penelitian ini sebanyak 159 orang
anggota keluarga pasien rawat jalan skizofrenia. Pengambilan sampel dilakukan
dengan menggunakan teknik purposive samplingpadakeluarga yang menemani pasien
skizofrenia berobat rawat jalan di instalasi rawat jalan RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan
Jakarta.Penelitian dilakukan dari tgl 11 sampai dengan 18 Februari 2015, data-data
yang dikumpulkan dengan cara seluruh sampel penelitian mengisi kuesioner, serta
analisa statistik menggunakan Chi Square. Hasil penelitian didapatkan dari 159
keluarga pasien dengan
Skizofreniarerataberperilakudalammerawatpasiendalamkategorikurangbaikyaitu85(53
,5%). Terdapathubunganantarapedidikan,pekerjaan,pengetahuan,sikapfaktor
pemungkin dan penguat dengan perilaku keluargadalam merawat pasien dengan
skrizofenia, nilai pvalue α < 0,05,sehingga dalam hal ini untuk meningkatkan
kebutuhan dukungan keluarga dalam bentuk perilaku merawat pasien dengan
skizofrenia, perlu dilaksanakan dan diprogramkan pada keluarga yang selama ini
belum ada,tapi lebih difokuskan pada kegiatan promotif dan preventif.

Kata Kunci : Perilaku Keluarga, Penderita Skizofrenia, Merawat

iii
Daftar Pustaka : 41 (2000 - 2014)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nyasehingga penulis dapat menyelesaikan

laporanpenelitiankeperawatan dengan judul “Faktor-Faktoryang

MempengaruhiPerilakuKeluargadalamMerawatAnggotaKeluargadenganSkizof

renia Di RS JiwaSoehartoHeerdjanJakarta”. Penelitian ini disusun sebagai salah

satu syarat memperolehgelarSarjanaKeperawatan. Penulis telah banyak mendapat

bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Muhammad Hadi SKM, M.Kep, selaku

DekanFakultasIlmuKeperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.

2. IbuIrnaNursanti, S.Kp, M.Kep,Sp.Mat, selakuKetua Program

StudiIlmuKeperawatanFakultasIlmuKeperawatanUniversitasMuhammadiyah

Jakarta.

3. IbuSlametiningsih, Ns.,M.Kep, Sp.Kep.J, selaku dosen pembimbing I dalam

penyusunan Riset Keperawatan.

4. Direktur RS Jiwadr. SoehartoHeerdjan, Kepala Instalasi Rawat Jalan, Kepala

Ruangan Rawat Jalan,yang telah memberikan ijin dan dukungan untuk

mengambil judul dan akan melakukan penelitian di RSJiwa dr.

SoehartoHeerdjan Jakarta.

iv
5. Respondenpenelitian.

Peneliti menyadari bahwalaporanpenelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu peneliti membuka diri untuk menerima kritikan dan saran yang

menunjang kesempurnaan laporanini.Akhirnya peneliti berharap hasil

penelitianininantinyabermanfaat bagi peneliti sendiri dan pengembangan profesi

keperawatan.

Jakarta, Maret 2015

Peneliti

v
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ............... ................................................................ i


LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………….…. ii
ABSTRAK ………………………………………………………………………. iii
KATA PENGANTAR…………………............................................................... iv
DAFTAR ISI........................................................................................................ vi
DAFTAR TABEL......................... ......................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………… x
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……................................................................................... 1
1.2 PerumusanMasalah.................................................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian ……............................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Skizofrenia ……………………………………………………………… 12
2.2 KonsepKeluarga ……………………………………………………….. 18
2.3 Perilaku …………………………………………………………………. 21
2.4 Faktor-faktor yang MempengaruhiPerilakuKeluarga …………………. 29
2.5 PenelitianTerkait ……………………………………………………….. 32

BAB IIIKERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI


OPERASIONAL
3.1 Kerangka KonsepPenelitian..................................................................... 34
3.2 HipotesisPenelitian ……………………………………..……………… 35
3.3 DefinisiOperasional ……………………………………………………. 36

vi
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian...................................................................................... 39
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian …............................................................... 39
4.3 Populasidan Sampel Penelitian…….......................................................... 39
4.4 Etika Penelitian ......................................................................................... 41
4.5 Pengumpulan Data ……….......................................................................... 42
4.6 Pengolahan Data …….................................................................................. 47
4.7 Analisis Data ……........................................................................................47

BAB V HASIL PENELITIAN


5.1 AnalisisUnivariat ………………………………………………………. 50
5.2 AnalisisBivariat ...……………………………………………………… 54

BAB VI PEMBAHASAN
6.1 FaktorPredisposisi (Pendorong) ……………………………………..… 62
6.2 FaktorPemungkin ………………………………………………………. 70
6.3 FaktorPenguat ………………………………………………………….. 74

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN


7.1 Kesimpulan ……..………………………………………………………. 78
7.2 Saran ...………………………………………………………………….. 79

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 81


LAMPIRAN

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 DefinisiOperasional …………………………………………… 36

Tabel 5.1 Distribusi Responden berdasarkan Faktor Predisposisi pada 51


Keluarga Pasien Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan
Jakarta Tahun 2015 ………………………………………………

Tabel 5.2 Distribusi Responden menurut Faktor Pemungkin pada Keluarga 52


Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta Tahun
2015 ……………………………………………………………...

Tabel 5.3 Distribusi Responden menurut Faktor Penguat pada Keluarga 52


Pasien dengan Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan
Jakarta Tahun 2015 ………………………………………………

Tabel 5.4 Distribusi Perilaku Keluarga Pasien dengan Skizofrenia di RS 53


Jiwadr. Soeharto Heerdjan Jakarta Tahun 2015 ………………...

Tabel 5.5 Hubungan Umur dengan Perilaku Keluarga Pasien Skizofrenia di 54


RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta Tahun 2015 ..……………

Tabel 5.6 Hubungan Pendidikan dengan Perilaku Keluarga Pasien 54


Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
Tahun 2015 ………………………………………………………

Tabel 5.7 Hubungan Pekerjaan dengan Perilaku Keluarga Pasien 55


Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
Tahun 2015 ………………………………………………………

Tabel 5.8 Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Keluarga Pasien 56


Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
Tahun 2015 ………………………………………………………

Tabel 5.9 Hubungan Sikap dengan Perilaku Keluarga Pasien Skizofrenia di 57


RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta Tahun 2015 ……………..

Tabel 5.10 Hubungan Jarak Fasilitas Kesehatan dengan Perilaku Keluarga 58


Pasien Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
Tahun 2015 ………………………………………………………

viii
Tabel 5.11 Hubungan Biaya Jaminan Kesehatan dengan Perilaku Keluarga 59
Pasien dengan Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan
Jakarta Tahun 2015 ………………………………………………

Tabel 5.12 Hubungan Penyuluhan Petugas Kesehatan dengan Perilaku 60


Keluarga Pasien Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan
Jakarta Tahun 2015 ………………………………………………

Tabel 5.13 Dukungan Lingkungan dengan Perilaku Keluarga Pasien 61


Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan JakartaTahun 2015
………………………………………………………………

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model PRECEDE-PROCEED ………………………………… 30

Gambar 3.1 KerangkaKonsepPenelitian …………………………………... 35

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : PermohonanKesediaanMenjadiResponden

Lampiran II : LembarPersetujuanResponden

Lampiran III : LembarKuesioner

xi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang

harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (Undang-undang No.36 tentang Kesehatan, Tahun 2009).

Kesehatan Jiwa adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu Kedokteran.

Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati

kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain

yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. Upaya kesehatan jiwa terdiri atas

preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah

psikososial (Kementerian Kesehatan RI , 2009).

Gangguan jiwa, neurologis dan penyalahgunaan obat (Mental, neurological, and

substance use=MNS) umum terjadi di seluruh dunia dan merupakan kontributor

utama terhadap morbiditas dan mortalitas dini. Berdasarkan studi epidemiologi

berbasis komunitas diestimasi angka prevalensi gangguan jiwa pada dewasa

12.2–48.6%, dan menempati 14% dari the global burden of disease, diukur

menggunakan disability-adjusted life years (DALYs), dapat berperan terhadap

terjadinya gangguan MNS. Sekitar 30% beban total penyakit tidak menular

karena gangguan ini (World Health Organization, 2008). Penderita gangguan

1
2

jiwa berat (serious mental illness=SMI) diestimasi 9.6 juta dewasa usia lebih dari

18 tahun mewakili 4.1% semua dewasa di US (U.S. Department of Health and

Human Services, 2013). Prevalensi gangguan jiwa berat (psikosis dan

skizofrenia) nasional sebesar 1,7 per mil. Prevalensi tertinggi di DI Yogyakarta

dan Aceh (masing-masing 2,7‰), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat

(0,7‰). DKI Jakarta sendiri, prevalensi gangguan jiwa berat (psikosis dan

skizofrenia) sebesar 1,1‰ (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

2013). Tingginya gangguan ini sudah memerlukan program yang tepat bagi

pemerintah untuk upaya-upaya penanganan gangguan jiwa secara komprehensif

dan paripurna dari komunitas sampai dengan rujukan spesialistik.

Undang-undang No. 3 tentang Kesehatan Jiwa Tahun 1966 menyebutkan bahwa

Penyakit jiwa adalah sesuatu perubahan pada fungsi jiwa, yang menyebabkan

adanya gangguan pada kesehatan jiwa (Republik Indonesia, 1966). Dalam UU

No. 18 Tahun 2014, tidak mendefinisikan gangguan jiwa, namun mencantumkan

istilah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang selanjutnya disingkat ODGJ

adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan

yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan

perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan

dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia (Republik Indonesia, 2014).

Istilah yang digunakan dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa

(PPDGJ) III adalah gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder), tidak

mengenal istilah penyakit jiwa (mental illness/mental desease). PPDGJIII


3

mengelompokkan diagnosis gangguan jiwa ke dalam 100 katagori diagnosis,

mulai dari F 00 sampai dengan F 98. F 99 adalah Gangguan Jiwa YTT (Yang

Tidak Tergolongkan), yaitu untuk mengelompokkan Gangguan Jiwa yang tidak

khas. Salah satu gangguan jiwa berat adalah skizofrenia (F.20).

Skizofrenia adalah gangguan jiwa serius yang mempengaruhi bagaimana

seseorang berpikir, berperasaan dan bertindak. Penderita sering sulit

membedakan antara pengalaman nyata dan khayalan, sulit berpikir secara logis,

sulit mengekspresikan perasaan atau bertindak sesuai (World Federation for

Mental Health, 2014). Skizofrenia mengganggu kemampuan seseorang berpikir

jernih, mengatur emosi, membuat keputusan dan berhubungan dengan orang lain

(Duckworth, 2013). Individu dengan skizofrenia memiliki dua atau lebih gejala

yang terjadi secara persisten, akan tetapi waham atau halusinasi sendiri seringkali

cukup untuk menegakkan diagnosis skizofrenia. Gejala skizofrenia mencakup

gejala positif, negatif dan kognitif. Gejala positif sering disebut gejala psikotik

karena kehilangan hubungan dengan realitas baik halusinasi dan waham, dan

disorganisasi bicara. Gejala negatif menunjukkan penurunan kapasitas seperti

penurunan motivasi, emosi datar, tidak ada ekspresif, ketidakmampuan memulai

dan menyelesaikan aktivitas, kurang menikmati atau minat dalam hidup. Gejala

kognitif mencakup kerusakan dalam proses berpikir termasuk kesulitan

memprioritaskan tugas, kerusakan memori dan mengorganisasi pikiran,

anosognosia (daya tilik buruk terhadap gangguan) (Duckworth, 2013).


4

Skizofrenia adalah bentuk gangguan jiwa berat yang diderita sekitar 7 per 1000

populasi dewasa. Paling banyak pada kelompok usia 15-35 tahun. Meskipun

insidennya rendah (3 per 10,000), prevalensinya tinggi karena kroniksitasnya.

Jadi skizofrenia diderita oleh sekitar 24 juta orang di seluruh dunia. Skizofrenia

adalah gangguan yang dapat ditangani, dan lebih efektif jika diberikan tindakan

pada tahap awal. Lebih dari 50% penderita skizofrenia tidak mendapatkan

perawatan yang tepat dan tidak tertangani, terutama di negara-negara

berkembang (World Health Organization=WHO, 2014).

Penanganan pasien skizofrenia pada fase akut bertujuan untuk mencegah bahaya,

mengendalikan gangguan perilaku, menurunkan beratnya gejala psikosis dan

yang menyertai (agitasi, agresi, gejala negatif dan afektif), mengatasi faktor yang

menyebabkan serta mengembalikan tingkat fungsi terbaik, mengembangkan

hubungan dengan pasien dan keluarga, merumuskan rencana terapi jangka

pendek dan jangka panjang (American Psychiatric Association, 2004).

Hospitalisasi diperlukan pada fase ini karena memerlukan medikasi dan

psikoterapi dalam kondisi terkontrol dan konstan. Lebih lanjut adalah

penanganan aftercare di komunitas (American Psychiatric Association,

2004).Upaya penanganan pasien skizofrenia bersifat rehabilitatif di komunitas.

Penanganan penderita skizofrenia dapat diberikan di tingkat komunitas dengan

keterlibatan aktif keluarga dan komunitas dalam perawatannya (WHO, 2014).

Penanganan skizofrenia diberikan sepanjang hidup. Keberhasilannya tergantung

pada kontinuitas dan konsistensi pengobatan dan terapi psikososial serta sistem
5

pendukungnya yaitu keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat

yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal

di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan

(Departemen Kesehatan RI, 1988 dalam Ali, Zaidin, 2006). Keluarga merupakan

garis depan perawatan penderita skizofrenia. Anggota keluarga merupakan

pemberi perawatan utama jangka panjang bagi penderita skizofrenia. Fungsi

keluarga salahsatunya adalah fungsi kesehatan keluarga yaitu mengenali penyakit

yang dialami anggota keluarga, memberikan perawatan, memberikan lingkungan

dan gaya hidup yang sehat dan menyediakan pelayanan kesehatan medis (James,

Nelson, Ashwill, 2013). Tugas kesehatan keluarga dalam perannya merawat

adalah menjaga kesehatan jiwa dalam keluarganya sendiri, mendorong dan

mendukung terapi, mengamati gejala kekambuhan, mempersiapkan situasi krisis,

serta memodifikasi lingkungan (Smith & Segal, 2014).

Penanganan pada penderita skizofrenia memunculkan tantangan bagi keluarga.

Keluarga harus merawat pasien untuk periode waktu yang lama. Anggota

keluarga perlu memberikan dukungan untuk membantu penderita dan mengatasi

stress tersendiri yang dialami (World Federation for Mental Health, 2014). Pada

titik tertentu, keluarga dapat mengalami frustasi jika tidak ada kemajuan dalam

terapi atau harus terus-menerus mengikuti terapi. Dukungan emosi keluarga

dapat menurun dan beberapa keluarga memutuskan semua kontaknya dengan

anggota keluarga penderita skizofrenia termasuk anak atau saudaranya sendiri


6

(Brian Smith, MS, 2006). Hal ini dapat menyebabkan program terapi putus di

tengah jalan dan menyebabkan risiko kekambuhan yang lebih tinggi.

RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta merupakan Rumah Sakit Khusus Tipe A

yang menangani masalah-masalah kesehatan jiwa meliputi gangguan neurosis

sampai dengan gangguan jiwa berat (psikosis dan skizofrenia). Berdasarkan

statistik terdapat 526 penderita skizofrenia, di Instalasi Rawat Jalan periode

Januari–Desember 2014. Peneliti telah melakukan wawancara singkat dengan

beberapa keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami skizofrenia di

Ruang Rawat Jalan RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta, ditemukan 86,6%

keluarga dari 35 pasien skizofrenia mengungkapkan bahwa penanganan pasien

dengan skizofrenia menguras perhatian yang lebih untuk pasien karena kroniknya

penyakit. Keluarga harus mengontrol obat pasien, mengatur emosi saat

berhadapan dengan pasien di rumah, belum lagi pandangan negatif dari

lingkungan di sekitarnya, ditambah lagi pasien sering sukar diatur dan membawa

kemauannya sendiri. Stigma di dalam keluarga dan masyarakat bahwa pasien

skizofrenia sebagai penyakit memalukan dan membawa aib bagi keluarga, serta

perilaku pasien yang tidak dapat diterima oleh keluarga dan lingkungan,

merupakan alasan sehingga klien kembali dirawat di rumah sakit jiwa. Keluarga

yang mengalami disfungsi karena situasi stress, masalah akan cenderung menjadi

kronik. Akibatnya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa akan secara

tidak konsisten memenuhi kebutuhannya sehingga menyebabkan adopsi perilaku

keluarga yang negatif.


7

Perilaku sehat dan perilaku berisiko tidak hanya merujuk pada kesehatan fisik,

tetapi pada setiap perilaku yang bermanfaat atau berbahaya pada individu

dan/atau komunitas, dan cenderung memiliki efek signifikan pada kualitas

hidupnya (Green, 1980, dalamWork Group for Community Health and

Develompment Kansas University, 2014). Faktor yang berpengaruh pada

munculnya perilaku adalah faktor predisposisi mencakup pengetahuan, sikap,

keyakinan, nilai-nilai, kepercayaan diri, faktor pemungkin mencakup

ketersediaan sumberdaya, keterjangkauan sumber daya, keterampilan yang

berkaitan dengan kesehatan, prioritas dan komitmen masyarakat/pemerintah

terhadap kesehatan dan faktor penguat antara lain dukungan keluarga, sebaya,

guru, tenaga kesehatan atau pemberi layanan, media, tokoh masyarakat dan

politisi serta pembuat keputusan lain.

Studi yang dilakukan oleh Berzins &Addington dengan judul Development of an

early psychosis public education program using the PRECEDE–PROCEED

model, dalam studi ini menjelaskan bahwa diagnosis dan penanganan dini

merupakan strategi untuk menurunkan efek fungsional jangka panjang penyakit

kronis, termasuk gangguan psikotik seperti skizofrenia. Penanganan dapat

terlambat jika remaja, dewasa dan orang tua tidak menyadari tanda dan gejala

awal psikosis, ke mana serta bagaimana untuk mendapatkan pertolongan. Studi

ini menggunakan komponen PRECEDE berdasarkan model PRECEDE–

PROCEED yaitu kerangka kerja konseptual dalam pengembangan program

edukasi publik untuk psikosis untuk memenuhi kebutuhan belajar pada populasi
8

target (remaja dan dewasa awal usia 15-30 tahun dan orangtuanya). Pada studi

ini, kerangka kerja PRECEDE merupakan model konsep yang kuat untuk

perencanaan program.

Uraian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga terbebani dalam

merawat pasien dengan skizofrenia dengan berbagai variabel faktor yang

mempengaruhinya. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku,

melalui penelitian ini, dengan menggunakan model PRECEDE di atas, peneliti

ingin mengetahui apakah faktor-faktor tersebut mempengaruhi perilaku keluarga

dalam merawat pasien skizofrenia.

1.2 Rumusan Masalah

Skizofrenia adalah bentuk gangguan jiwa berat. Tingginya gangguan ini sudah

memerlukan program yang tepat bagi pemerintah untuk upaya-upaya penanganan

gangguan jiwa secara komprehensif dan paripurna dari komunitas sampai dengan

rujukan spesialistik. Penanganan penderita skizofrenia dapat diberikan di tingkat

komunitas dengan keterlibatan aktif keluarga dan komunitas dalam

perawatannya. Penanganan skizofrenia diberikan sepanjang hidup.

Keberhasilannya tergantung pada kontinuitas dan konsistensi pengobatan dan

terapi psikososial serta sistem pendukungnya, sehingga dapat secara signifikan

menurunkan tingkat kekambuhan. Karena lama perawatannya bisa sepanjang

hidup, keluarga dapat mengalami frustasi jika tidak ada kemajuan dalam terapi

atau harus terus-menerus mengikuti terapi. Hal ini dapat menyebabkan program

terapi putus di tengah jalan dan menyebabkan risiko kekambuhan yang lebih
9

tinggi. Fungsi kesehatan keluarga dalam perannya merawat pasien menjadi

sangat penting dalam penanganan pasien skizofrenia.

Fungsi kesehatan keluarga dalam peran merawat pasien skizofrenia yaitu

mengenali penyakit yang dialami anggota keluarga, memberikan perawatan,

memberikan lingkungan dan gaya hidup yang sehat dan menyediakan pelayanan

kesehatan. Peneliti telah melakukan wawancara singkat dengan beberapa

keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami skizofrenia di Ruang Rawat

Jalan RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta, bahwa keluarga sangat berperan

dalam perawatan pasien. Belum diamati lebih lanjut faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku peran kesehatan keluarga tersebut. Dengan

menggunakan model PRECEDE, peneliti mengajukan pertanyaan penelitian

“Faktor-faktor apa yang Mempengaruhi Perilaku Keluarga dalam Merawat

Anggota Keluarga dengan Skizofrenia?’

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keluarga dalam

merawat anggota keluarga dengan Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto

Heerdjan Jakarta

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengaruh faktor predisposisi (umur, pendidikan,

pekerjaan, pengetahuan, sikap) terhadap perilaku keluarga dalam


10

merawat anggota keluarga dengan Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto

Heerdjan Jakarta.

2. Mengetahui pengaruh faktor pemungkin (jarak ke fasilitas pelayanan

kesehatan jiwa dan biaya yang dikeluarkan) terhadap perilaku keluarga

dalam merawat anggota keluarga dengan Skizofrenia di RS Jiwa

dr. Soeharto Heerdjan Jakarta.

3. Mengetahui pengaruh faktor penguat (pendidikan kesehatan oleh

petugas kesehatan, dukungan lingkungan) terhadap perilaku keluarga

dalam merawat anggota keluarga dengan Skizofrenia di RS Jiwa

dr. Soeharto Heerdjan Jakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Aplikatif

1. Perawat

Memberikan terapi edukasi pada keluarga untuk mengatasi masalah

sehingga dapat merubah perilaku keluarga dalam merawat anggota

keluarga dengan skizofrenia.

2. Manajemen

Bahan pertimbangan dalam membuat dan menetapkan kebijakan

dalam pemberian asuhan keperawatan kepada keluarga, tidak hanya

pada pasien dengan skizofrenia tetapi semua gangguan jiwa.


11

3. Keluarga

Pengembangan program bagi keluarga sehingga keluarga dapat

menerima manfaat langsung dari program edukasi dan pengembangan

keterampilan dalam penanganan pasien skizofrenia di rumah sakit dan

di rumah.

4. Peneliti

Tindak lanjut penelitian dalam memberikan asuhan keperawatan

khususnya penelitian terhadap penanganan pasien skizofrenia.

1.4.2 Manfaat Teoritik

Hasil penelitian dapat digunakan untuk informasi dan masukan dalam

pengembangan teori khususnya penanganan komprehensif pasien dengan

skizofrenia atau gangguan jiwa berat.


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Skizofrenia

2.1.1 Pengertian

Skizofrenia adalah penyakit otak, suatu sindrom klinis mencakup pikiran,

persepsi, emosi, pergerakan dan perilaku seseorang. Skizofrenia merupakan

penyakit kronis yang memerlukan strategi manajemen jangka panjang dan

keterampilan koping (Boyd, 2004). Karakteristik diagnostik mencakup dua

(atau lebih) dari gejala berikut, setiap gejala muncul selama beberapa

waktu signifikan dalam periode 1 (satu) bulan (atau kurang jika berhasil

ditangani) yaitu waham, halusinasi, disorganisasi bicara (mis., bicara

menyimpang atau inkoheren), perilaku sangat tidak teratur atau perilaku

katatonik dan gejala negatif yaitu afektif datar, alogia atau tidak ada minat

(American Psychiatric Association, 2000).

Skizofrenia biasanya didiagnosis pada masa remaja atau dewasa awal.

Jarang muncul pada masa kanak-kanak. Insiden awitan puncak pada usia

15-25 tahun untuk laki-laki dan 25-35 tahun untuk perempuan (American

Psychiatric Association, 2000 dalam (Videbeck, 2011). Prevalensi

skizofrenia diperkirakan sekitar 1% dari populasi total. Di United States,

berarti sekitar 3 juta orang yang menderita, pernah, atau akan menderita

12
13

gangguan ini. Insiden dan prevalensi sepanjang hidup secara kasar merata

di seluruh dunia (Buchanan & Carpenter, 2005 dalam (Videbeck, 2011).

2.1.2 Gejala

Gejala skizofrenia dibagi menjadi dua kategori mayor: tanda/gejala positif

atau kuat, mencakup waham, halusinasi dan disorganisasi pikiran, bicara

dan perilaku yang berat, serta tanda/gejala negatif, mencakup afek datar,

kurang minat, dan menarik diri dari sosial atau ketidaknyamanan sosial

(Videbeck, 2011).

2.1.3 Tipe Skizofrenia

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala predominan. Berikut tipe

skizofrenia menurut DSM-IV-TR (APA, 2000).

1. Skizofrenia Paranoid

Dikarakteristikkan dengan waham curiga (merasa menjadi korban atau

dimata-matai) atau kebesaran, halusinasi dan kadang waham agama

atau perilaku bermusuhan dan agresif.

2. Skizofrenia tipe disorganisasi

Dikarakteristikkan dengan afek sangat tidak sesuai atau datar,

inkoherensi, asosiasi longgar, perilaku sangat tidak terorganisasi

3. Skizofrenia tipe katatonik

Dikarakteristikkan dengan gangguan psikomotorik nyata, aktivitas

motorik lambat atau berlebihan. Imobilitas motorik dapat

dimanifestasikan dengan katalepsi (fleksibilitas waxy) atau


14

stupor.Aktivitas motorik berlebihan nyata-nyata tidak bertujuan dan

tidak dipengaruhi stimuli eksternal. Ciri lain termasuk negativisme

ekstrim, mutisme, kesalahan pergerakan volunteer, ekolalia dan

ekopraksia.

4. Skizofrenia tidak terinci

Dikarakteristikkan dengan gejala skizofrenik campuran (atau tipe lain)

bersamaan dengan gangguan proses pikir, afek, dan perilaku.

5. Skizofrenia tipe residual

Dikarakteristikan dengan sedikitnya satu dari episode sebelumnya;

menarik diri secara sosial, afek datar, dan asosiasi longgar.

2.1.4 Etiologi

1. Faktor genetik

Temuan genetik bahwa kembar identik berisiko 50% skizofrenia, jika

salah satu kembarannya menderita skizofrenia, kemungkinan 50%

akan terjadi pada kembaran yang lain. Kembar fraternal hanya berisiko

15% (Kirkpatrick & Tek, 2005 dalam Videbeck, 2011). Anak dengan

salah satu orang tua penderita skizofrenia berisiko 15%, meningkat

sampai 35% jika kedua orangtua menderita skizofrenia. Semua studi

mengindikasi risiko genetik atau kecenderungan terjadi skizofrenia,

tetapi tidak dapat dijadikan satu-satunya faktor (Riley & Kendler, 2005

dalam Videbeck, 2011).


15

2. Faktor Neuroanatomik dan Neurokimia

Orang dengan skizofrenia relatif memiliki sedikit jaringan otak dan

cairan serebrospinal (Schneider-Axmann et al., 2006) menunjukkan

kegagalan perkembangan atau kehilangan jaringan bertahap. Terdapat

pembesaran ventrikel di otak dan atrofi kortikal. Metabolisme glukosa

dan oksigen hilang pada struktur kortikal frontal otak. Terjadi

penurunan volume otak dan fungsi abnormal pada daerah frontal dan

temporal. Patologis ini berhubungan dengan tanda positif skizofrenia

(lobus temporal) seperti psikosis, dan tanda negatif (lobus frontal)

seperti kurang minat atau motivasi dan anhedonia. Perubahan ini tidak

diketahui penyebabnya, kemungkinan karena kegagalan perkembangan

otak, infeksi virus, trauma otak, atau respons imun. Pengaruh gizi

buruk, rokok, alkohol dan obat lain serta stress pada masa intrauterin

mungkin menjadi penyebab lain patologi ini.

Studi neurokimia menemukan perubahan sistem neurotransmitter

dopamin dan serotonin. Teori pertama menunjukkan bahwa kelebihan

dopamin menunjukkan reaksi psikotik paranoid. Kedua, tidak ada

blokade reseptor dopamin pascasinaptik sehingga meningkatkan gejala

psikotik (Buchanan & Carpenter, 2005 dalam Videbeck, 2011).

Kelebihan serotonin berperan terhadap perkembangan skizofrenia

(Kane & Marder, 2005 dalam Videbeck, 2011).


16

3. Faktor Immunovirologik

Pemajanan virus atau respons imun tubuh terhadap virus mengganggu

fisiologi otak. Sitokinin adalah pembawa pesan antar sel imun,

memediasi inflamasi dan respons imun. Sitokinin berperan

menghasilkan perubahan perilaku dan neurokimia yang diperlukan

untuk mengatasi stress fisik dan psikologis untuk mempertahankan

homeostasis termasuk berkembangnya gejala gangguan psikiatrik

seperti skizofrenia (Brown, Bresnahan, & Susser, 2005 dalam

Videbeck, 2011).

2.1.5 Penatalaksanaan

1. Psikofarmakologi

a. Antipsikotik/Neuroleptik

Antipsikotik tidak mengobati skizofrenia, tetapi lebih pada

mengatur gejala penyakit. Antipsikotik terbagi dua yaitu

antipsikotik tipikal atau konvensional, merupakan antagonis

dopamin. Target obat adalah menurunkan gejala positif

skizofrenia yaitu waham, halusinasi, disorganisasi pikir dan gejala

psikotik lain. Sedangkan antipsikotik atipikal, merupakan

antagonis dopamin dan serotonin, tidak hanya menghilangkan

gejala positif tetapi juga tanda negatif seperti kurang minat dan

motivasi, menarik diri secara sosial dan anhedonia.


17

b. Terapi Maintenan (pemeliharaan)

Terapi ini tersedia dalam bentuk injeksi yaitu flufenazin (Prolixin)

dalam dekanoat dan enantat serta haloperidol (Haldol) dalam

dekanoat. Obat diserap perlahan dalam system pasien. Efek obat

berakhir 2 -4 minggu, menghilangkan kebutuhan obat antipsikotik

oral. Tidak cocok untuk penggunaan pasien dengan psikosis akut.

2. Terapi Psikososial

Terapi individual dan kelompok bersifat suportif, memberi kesempatan

pasien untuk kontak sosial dan memiliki hubungan bermakna dengan

orang lain. Kelompok berfokus pada manajemen pengobatan,

menggunakan dukungan komunitas dan masalah keluarga

(Pfammatter, Junghan, & Brenner, 2006 dalam Videbeck, 2011).

a. Latihan Keterampilan Sosial (Social Skill Training)

Melalui kegiatan ini, pasien dapat meningkatkan kompetensi

sosialnya sehingga fungsi di masyarakat menjadi lebih efektif.

Keterampilan sosial dasar meliputi langkah-langkah sederhana

perilaku sosial, melatih dalam bermain peran dan menerapkan

konsepnya dalam komunitas atau situasi nyata.

b. Latihan adaptasi kognitif

Latihan menggunakan dukungan lingkungan yang dirancang untuk

meningkatkan fungsi adaptif di rumah. Dukungan lingkungan

yang disesuaikan secara individual seperti tanda-tanda, kalender,

alat kebersihan dan tempat obat memberikan petunjuk bagi klien


18

untuk melakukan tugas-tugas (Velligan et al., 2006 dalam

Videbeck, 2011).

c. Latihan keterampilan psikososial

Moriana, Alarcon, dan Herruzo (2006) latihan keterampilan

psikososial lebih efektif dilakukan selama kunjungan rumah di

lingkungannya sendiri dari pada di rawat jalan. Salah satu latihan

keterampilan ini adalah cognitive enhancement therapy (CET)

yaitu mengkombinasikan latihan kognitif berbasis komputer

dengan kelompok sehingga pasien dapat melatih dan

mengembangkan keterampilan psikososial. Tujuannya untuk

remediasi atau meningkatkan defisit sosial dan neurokognitif

seperti perhatian, memori, dan proses informasi sekaligus melihat

perspektif orang lain dibanding berfokus pada diri sendiri.

2.2 Konsep Keluarga

2.2.1 Pengertian

Keluarga adalah sekelompok orang yang berhubungan secara emosional,

dengan darah, atau keduanya sehingga memiliki pola interaksi dan

hubungan. Anggota keluarga memiliki riwayat keluarga dan masa depan

bersama (Carter & McGoldrick, 1999 dalam Boyd, 2004).

Keluarga nuklir (inti) adalah dua atau lebih orang yang tinggal bersama dan

dihubungkan dengan darah, pernikahan atau adopsi. Keluarga ekstensi

adalah beberapa keluarga inti yang anggotanya atau sebagian anggotanya


19

tinggal atau tidak tinggal bersama dan berfungsi sebagai satu kelompok

(Boyd, 2004). Keluarga dibentuk hanya dengan kelahiran, adopsi atau

pernikahan dan anggota keluarga dapat meninggalkan hanya karena

perceraian atau kematian.

2.2.2 Siklus Hidup Keluarga

Siklus hidup keluarga merupakan proses ekspansi, kontraksi dan menyusun

kembali sistem hubungan untuk menyokong masuknya, keluarnya dan

perkembangan anggota keluarga dalam cara fungsional (Carter B. &

McGoldrick, 1999 dalam Boyd, 2014). Sistem keluarga terus berubah dari

setiap tahapan. Siklus hidup keluarga sebagai berikut (Carter B. &

McGoldrick, M., 1999 dalam Boyd, 2004).

1. Meninggalkan rumah: dewasa muda

Transisi emosi: Menerima tanggung jawab emosional dan finansial

untuk diri sendiri

Perubahan keluarga yang diperlukan:

a. Diferensiasi diri sendiri dari hubungannya dengan keluarga asal

b. Pengembangan hubungan intim sebaya

c. Pembentukan jati diri terutama kemandirian dalam pekerjaan dan

finansial

2. Membuat keluarga melalui pernikahan: pasangan

Transisi emosi: Komitmen dengan sistem baru

Perubahan keluarga yang diperlukan:


20

a. Formasi sistem pernikahan

b. Menyusun kembali hubungan dengan keluarga besar dan teman

termasuk pasangannya.

3. Keluarga dengan anak kecil

Transisi emosi: Menerima anggota baru dalam sistem.

Perubahan keluarga yang diperlukan:

a. Menyesuaikan sistem pernikahan untuk memberi ruang bagi anak-

anaknya.

b. Terlibat dalam tugas membesarkan anak, finansial dan rumah

tangga.

c. Menyusun kembali hubungan dengan keluarga besar termasuk

peran orangtua dan cucu.

4. Keluarga dengan remaja

Transisi emosi: meningkatan fleksibilitas batasan keluarga termasuk

kemandirian anak dan kelemahan kakek/nenek.

Perubahan keluarga yang diperlukan:

a. Melonggarkan hubungan orangtua-anak untuk mengizinkan

remaja masuk dan keluar dari sistem keluarga.

b. Memfokuskan kembali masalah pernikahan dan karir.

c. Mulai terlibat dalam merawat generasi tua.

5. Melepaskan anak dan melanjutkan hidup

Transisi emosi: menerima banyaknya hal yang masuk dan keluar dari

sistem keluarga.
21

Perubahan keluarga yang diperlukan:

a. Negosiasi kembali sistem pernikahan.

b. Pengembangan hubungan antar dewasa antara anak yang sudah

besar dan orang tuanya.

c. Menyusun kembali hubungan termasuk dengan menantu dan cucu.

d. Menghadapi disabilitas dan kematian orangtua (kakek/nenek).

6. Keluarga di kehidupan selanjutnya

Transisi emosi: menerima perubahan peran generasi.

Perubahan keluarga yang diperlukan:

a. Mempertahankan fungsi diri dan pasangan untuk menghadapi

penurunan fisiologis, eksplorasi pilihan keluarga dan peran sosial

baru.

b. Mendukung pemusatan peran pada generasi tengah.

c. Memberi ruang dalam sistem untuk pengalaman dan

kebijaksanaan orang yang lebih tua, mendukung generasi tua

tanpa mengabaikan fungsi yang ada.

d. Menghadapi kematian pasangan, saudara dan teman-teman serta

persiapan untuk kematiannya sendiri.

2.3 Perilaku

2.3.1 Pengertian

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup)

yang bersangkutan, oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua
22

makhluk hidup mulai tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia

itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktifitas masing-masing

(Notoatmodjo, 2007).

Skiner (1938) merumuskan perilaku sebagai suatu respon atau reaksi

seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku ini terjadi

melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian

organisme tersebut merespons. Teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau

Stimulus Organisme Respons. Skinner membedakan adanya dua respon.

Dalam teori Skiner dibedakan adanya dua respon:

1. Respondent response atau flexi, yakni respon yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam

inidisebut eleciting stimulation karena menimbulkan respon-respon

yang relatif tetap.

2. Operant response atau instrumental response, yakni respon yang

timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau

perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena

mencakup respon.

Menurut Notoatmodjo (2007) dilihat dari bentuk respon stimulus ini maka

perilaku dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,

persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang


23

yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas

oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam atau praktik

(practice) yang dengan mudah diamati atau dilihat orang lain.

2.3.2 Domain perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon

sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang

bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus

yang berbeda yang disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini

dapat dibedakan menjadi dua, yakni:

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang

bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat

kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan

fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor

lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai

perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007).

Benyamin Bloom (1908) yang dikutip Notoatmodjo (2007), membagi

perilaku manusia ke dalam 3 domain ranah atau kawasan yakni: kognitif

(cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Dalam


24

perkembangannya, teori ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil

pendidikan kesehatan yakni: pengetahuan, sikap, dan praktik atau tindakan

(Notoatmodjo, 2007).

2.3.3 Pengukuran Perilaku

Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui dua

cara; secara langsung, yakni dengan pengamatan (observasi) yaitu

mengamati tindakan dari subyek dalam rangka memelihara kesehatannya,

sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode mengingat kembali

(recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap

subyek tentang apa yang telah dilakukan berhubungan dengan obyek

tertentu (Notoatmodjo, 2005).

Teknik skala yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku adalah

dengan menggunakan teknik skala Guttman. Skala ini merupakan skala

yang bersifat tegas dan konsisten dengan memberikan jawaban yang tegas

seperti jawaban dari pertanyaan/pernyataan: ya dan tidak, positif dan

negatif, setuju dan tidak setuju, benar dan salah. Skala Guttman ini pada

umumnya dibuat seperti cheklist dengan interpretasi penilaian, apabila

benar nilainya 1 dan apabila salah nilainya 0, dan analisanya dapat

dilakukan seperti skala Likert (Alimul Hidayat, Aziz. 2007).


25

2.3.4 Perilaku Keluarga dalam Merawat Anggota Keluarga dengan

Skizofrenia

Anggota keluarga berperan penting dalam membantu memanajemen

perawatan individu dengan satu atau lebih penyakit kronik. Banyak studi

yang menyebutkan bahwa keterlibatan keluarga bermanfaat besar terhadap

dukungan dalam penanganan penyakit kronis (Rosland, 2009).

Friedman (1981, dalam Ali, Zaidin, 2006) membagi lima tugas kesehatan

yang harus dilakukan oleh keluarga yaitu :

1. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota

keluarganya.

2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.

3. Memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit dan

tidak sakit.

4. Memodifikasi suasana rumah yang mendukung kesehatan keluarga

serta perkembangan kepribadian anggota keluarga.

5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara anggota keluarga dan

lembaga-lembaga kesehatan, yang menunjukkan kemanfaatan dengan

baik fasilitas kesehatan yang ada.

Pada keluarga sehat jiwa, anggota keluarga hidup secara harmonis di dalam

keluarga dan masyarakat. Keluarga akan mendukung dan mengasuh

anggota keluarga sepanjang hidup. Akan tetapi jika disfungsi dan gangguan

jiwa terjadi dapat mempengaruhi kesehatan jiwa keluarga. Keluarga yang


26

mengalami disfungsi adalah setelah situasi krisis atau stressfull, keluarga

tidak mampu menangani karena kurangnya keterampilan koping sehingga

menyebabkan terganggunya interaksi dan perilaku dalam keluarga.

Perilaku merawat anggota keluarga dengan skizofrenia meliputi:

1. Tetap berkomunikasi/bicara dan menjadi advokat bagi anggota

keluarganya yang mengalami skizofrenia

Kadang-kadang hanya keluarga atau orang terdekat dengan pasien

skizofrenia yang mengenali perilaku atau ungkapan aneh. Pasien

mungkin tidak dapat memberikan informasi yang tepat saat

pemeriksaan, sehingga anggota keluarga atau teman-teman yang harus

memberikan informasi pada petugas kesehatan sehingga diperoleh

semua informasi yang relevan.

2. Pastikan patuh pada terapi, khususnya setelah keluar dari rawat inap

Pastikan pasien skizofrenia melanjutkan terapi setelah hospitalisasi.

Pasien yang putus obat atau berhenti mengikuti terapi seringkali

kembali mengalami gejala psikotik.

3. Berikan dukungan untuk melanjutkan terapi

Mendukung pasien untuk melanjutkan terapi dan membantu dalam

prosesnya akan memberikan pengaruh positif pada pemulihan. Tanpa

terapi, beberapa pasien skizofrenia menjadi sangat psikotik dan

berperilaku kacau sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya

seperti makan, berpakaian dan berlindung. Seringnya, pasien dengan


27

gangguan jiwa berat tersebut dapat berakhir menjadi gelandangan atau

di penjara, dimana akan semakin jarang mendapatkan terapi yang

diperlukan.

4. Ketahui bagaimana merespons pernyataan atau keyakinan yang bizar

Orang terdekat dengan pasien skizofrenia sering tidak yakin

bagaimana harus merespons pasien jika membuat pernyataan yang

aneh atau jelas-jelas salah. Bagi individu skizofrenia, keyakinan aneh

atau halusinasi tampak sangat nyata—bukan sekedar fantasi.

Dibanding mengikutinya, anggota keluarga atau temannya dapat

mengatakan pada pasien bahwa mereka tidak melihat hal yang sama

atau tidak setuju dengan pendapatnya, namun tetap mengakui bahwa

hal-hal tersebut mungkin nampak nyata bagi pasien. Sangat penting

untuk tidak menantang keyakinan salah atau delusi yang dialami

pasien. Delusi sangat “nyata” bagi pasien yang mengalaminya, tak ada

gunanya berdebat dengan mereka tentang delusi atau keyakinan palsu.

Selain itu, bergeraklah dari pembicaraan ke area atau topik yang

disepakati bersama.

5. Buat pencatatan

Penting bagi keluarga yang tahu tentang pasien skizofrenia membuat

catatan dengan baik mengenai tipe gejala yang biasanya muncul, obat-

obatan yang digunakan (termasuk dosisnya), dan efek terapi yang

dialami. Dengan mengenali gejala yang muncul sebelumnya, anggota

keluarga dapat mengetahui apa yang harus dilakukan nantinya.


28

Keluarga bahkan mampu mengidentifikasi beberapa “gejala peringatan

awal” terhadap potensi kekambuhan, seperti mulai menarik diri atau

perubahan pola tidur, bahkan lebih baik dan lebih awal daripada

pasiennya sendiri. Jadi, kekambuhan psikosis dapat dideteksi sejak

awal dan terapi dapat segera diberikan untuk mencegah kekambuhan

secara penuh. Juga dengan mengetahui obat apa yang membantu atau

yang menimbulkan efek samping sebelumnya, keluarga dapat

membantu menangani pasien untuk menemukan terapi yang sesuai

lebih cepat.

6. Bantu pasien menentukan tujuan hidup yang sederhana dan dapat

dicapai

Selain keterlibatan dalam mencari bantuan, keluarga, teman dan

kelompok sebaya dapat memberikan dukungan dan dorongan bagi

pasien skizofrenia untuk memperoleh kembali kemampuannya.

Penting sekali bahwa tujuan harus dapat dicapai, karena pasien yang

merasa tertekan atau dikritik berulang kali oleh orang lain mungkin

akan mengalami stress yang dapat menyebabkan perburukan gejala.

Seperti orang pada umumnya, pasien skizofrenia perlu mengetahui

kapan mereka melakukan sesuatu dengan benar. Pendekatan yang

positif dapat sangat membantu dan mungkin lebih efektif daripada

kritikan.
29

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Keluarga

Perilaku keluarga dalam merawat pasien skizofrenia dapat diamati dari perilaku

kesehatan yang dilaksanakan oleh keluarga. Perilaku kesehatan adalah respons

seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan kesehatan

(Notoatmodjo, 2003).

Perilaku sehat dan perilaku berisiko tidak hanya merujuk pada kesehatan fisik,

tetapi pada setiap perilaku yang bermanfaat atau berbahaya pada individu

dan/atau komunitas, dan cenderung memiliki efek signifikan pada kualitas

hidupnya (Green, 1980). Dalam bidang kesehatan, analisis perilaku kesehatan

digambarkan dalam Model PRECEDE-PROCEED. Model ini merupakan

kerangka kerja yang membantu perencanaan program kesehatan yang membantu

menganalisis situasi dan mendesain program kesehatan secara efisien (Work

Group for Community and Development Kansas University, 2014). Model ini

merupakan struktur komprehensif untuk mendesain, mengimplementasikan, dan

mengevaluasi program promosi kesehatan. Perilaku kesehatan dipengaruhi baik

oleh faktor individu dan faktor lingkungan, dan terdapat dua bagian yaitu

diagnosis edukasional dan diagnosis ekologis. Lebih mudahnya Green membuat

istilah model tersebut dengan PRECEDE-PROCEED.

PRECEDE : Predisposing, Reinforcing and Enabling Constructs in

Educational Diagnosis and Evaluation yaitu Konstruksi

Predisposisi, Penguat dan Pemungkin dalam menegakkan

diagnosis edukasional untuk mengkaji dasar pengukuran


30

perilaku di masyarakat dan menentukan tujuan yang akan

ditetapkan untuk pengembangan program promosi kesehatan.

PROCEED : Policy, Regulatory, and Organizational Constructs in

Educational and Environtment Development) yaitu

Konstruksi Kebijakan, aturan dan organisasi dalam

pengembangan edukasi dan lingkungan yang digunakan untuk

pemantauan dan perbaikan kualitas program secara kontinu.

Fase-fase dalam model PROCEDE-PROCEED digambarkan dalam gambar 2.1

Evaluasi PRECEDE: menspesifikasi tujuan dan


dasar pengukuran

FASE 4 FASE 3
Pengkajian administratif Pengkajian FASE 1
dan kebijakan serta Edukasional dan FASE 2 Pengkajia
menyelaraskan intervensi ekologis Pengkajian Epidemiologis n Sosial

Predisposis Genetik
PROGRAM i
KESEHATAN

Strategi Edukasi Penguat Perilaku

Kualitas
Kesehatan Hidup

Organisasi Pemungkin Lingkungan


Undang-
undang
Kebijakan

FASE 5 FASE 6 FASE 7 FASE 8


Implementas Proses Evaluasi Dampak Evaluasi Hasil
i Evaluasi

Evaluasi PROCEED: pemantauan dan perbaikan


kualitas kontinu

Gambar 2.1 Model PRECEDE-PROCEED


31

Berdasarkan model tersebut, dikaitkan dengan penelitian yang akan

dilaksanakan, maka pengukuran perilaku keluarga dalam merawat pasien dengan

skizofrenia didasarkan pada model PRECEDE. Perilaku dikaji dengan

menggunakan konstruksi predisposisi, penguat dan pemungkin terjadi perilaku

merawat anggota keluarga dengan skizofrenia sebagai berikut:

2.4.1 Predisposing Constructs, Predisposisi

Faktor predisposisi adalah faktor intelektual dan emosional yang cenderung

menyebabkan individu lebih atau kurang mengadopsi perilaku sehat atau

berisiko atau gaya hidup atau untuk menyetujui atau menerima kondisi

lingkungan tertentu. Beberapa faktor ini sering dapat dipengaruhi oleh

intervensi pendidikan.

Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap

kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang

berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat

pendidikan, tingkat sosial ekonomi, pekerjaan, dan sebagainya

(Notoatmodjo, 2003).

2.4.2 Reinforcing Constructs, Penguat

Sikap seseorang dan komunitas yang mendukung atau mempersulit

mengadopsi perilaku kesehatan atau membina kondisi lingkungan yang

sehat. Orang-orang yang sangat mempengaruhi sikap adalah: keluarga,

sebaya, guru, tenaga kesehatan atau pemberi layanan, media, tokoh

masyarakat dan politisi serta pembuat keputusan lain. Intervensi dapat


32

ditujukan pada orang tersebut dan kelompok karena pengaruh mereka dapat

sangat efektif mencapai target kelompok (Notoatmodjo, 2003).

2.4.3 Enabling Contructs, Pemungkin

Faktor pemungkin adalah kondisi internal dan eksternal yang secara

langsung berhubungan dengan masalah perilaku yang membuat seseorang

mengadopsi dan mempertahankan perilaku sehat atau tidak sehat dan gaya

hidup, atau untuk meyakini atau menolak kondisi lingkungan tertentu.

Faktor pemungkin meliputi ketersediaan sumberdaya, keterjangkauan

sumber daya, keterampilan yang berkaitan dengan kesehatan, prioritas dan

komitmen masyarakat/pemerintah terhadap kesehatan termasuk undang-

undang, kebijakan pemerintah (Notoatmodjo, 2003).

2.5 Penelitian Terkait

Studi yang dilakukan oleh Berzins & Addington (2007) dengan judul

Development of an early psychosis public education program using the

PRECEDE–PROCEED model, dalam studi ini menjelaskan bahwa diagnosis dan

penanganan dini merupakan strategi untuk menurunkan efek fungsional jangka

panjang penyakit kronis, termasuk gangguan psikotik seperti skizofrenia.

Penanganan dapat terlambat jika remaja, dewasa dan orang tua tidak menyadari

tanda dan gejala awal psikosis, ke mana serta bagaimana untuk mendapatkan

pertolongan. Studi ini menggunakan komponen PRECEDE berdasarkan model

PRECEDE–PROCEED yaitu kerangka kerja konseptual dalam pengembangan

program edukasi publik untuk psikosis untuk memenuhi kebutuhan belajar pada
33

populasi target (remaja dan dewasa awal usia 15-30 tahun dan orangtuanya).

Pada studi ini, kerangka kerja PRECEDE merupakan model konsep yang kuat

untuk merancang program di bidang kesehatan, terutama kesehatan jiwa yang

pada akhirnya dapat merubah perilaku masyarakat, meningkatkan derajat

kesehatan dan kualitas hidup. Model ini mengembangkan tahapan yang secara

sistematik digunakan dalam perencanaan (identifikasi, menetapkan prioritas,

menimbang faktor yang mempengaruhi, dan administrasi/kebijakan),

pengembangan (implementasi) dan evaluasi (evaluasi proses, dampak dan

evaluasi hasil). Tujuan program untuk menurunkan lama psikosis tidak tertangani

sedikitnya 50% dengan meningkatkan kesadaran publik terhadap psikosis

mencakup kondisi medis, gejala serta pentingnya diagnosis dan penanganan dini.
BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN

DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Fungsi kesehatan keluarga dalam merawat pasien skizofrenia yaitu mengenali

penyakit yang dialami anggota keluarga, memberikan perawatan, memberikan

lingkungan dan gaya hidup yang sehat dan menyediakan pelayanan kesehatan.

Secara teori analisis perilaku dengan menggunakan Model PRECEDE (Green,

1980 dalam Work Group for Community and Development Kansas University,

2014). Faktor yang berpengaruh pada munculnya perilaku adalah faktor

predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat. Faktor yang mempengaruhi

perilaku keluarga dalam penelitian ini berdasarkan model PRECEDE dari Green,

(1980) antara lain faktor predisposisi (umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan,

dan sikap), faktor pemungkin (jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dan

biaya yang dikeluarkan) dan faktor penguat (penyuluhan petugas kesehatan,

paparan informasi tentang perawatan skizofrenia, dukungan keluarga dan

dukungan lingkungan).

Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka pada penelitian ini, akan diketahui

apakah faktor-faktor tersebut mempengaruhi perilaku keluarga dalam merawat

pasien skizofrenia. Dengan menggunakan model PRECEDE (Green, 1980 dalam

34
35

Work Group for Community and Development Kansas University, 2014) maka

disusun kerangka konsep sebagai berikut:

Variabel independen Variabel dependen

Faktor Predisposisi
- Sosio demografi
(umur, pendidikan
pekerjaan)
- Pengetahuan
- Sikap Keluarga

Faktor Pemungkin
- Jarak fasilitas pelayanan Perilaku Keluarga
kesehatan jiwa dalam Merawat
- Biaya, Jaminan Kesehatan Anggota Keluarga
dengan Skizofrenia
Faktor Penguat
- Pendidikan kesehatan oleh
petugas kesehatan
- Dukungan keluarga
- Dukungan lingkungan

Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.2.1 Ada hubungan antara faktor predisposisi (umur, pendidikan, pekerjaan,

pengetahuan, sikap) dengan perilaku keluarga dalam merawat anggota

keluarga dengan skizofrenia.

3.2.2 Ada hubungan antara faktor pemungkin (jarak ke fasilitas pelayanan

kesehatan jiwa dan biaya yang dikeluarkan) dengan perilaku keluarga

dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia.


36

3.2.3 Apakah ada hubungan antara faktor penguat (pendidikan kesehatan oleh

petugas kesehatan, paparan informasi tentang perawatan pasien skizofrenia,

dukungan keluarga, dukungan lingkungan) dengan perilaku keluarga dalam

merawat anggota keluarga dengan skizofrenia.

3.3 Definisi Operasional


Tabel 3.1
Definisi Operasional
Definisi Alat Hasil
No Variabel Skala
Operasional Ukur Pengukuran
Variabel Dependen
1. Perilaku Perilaku adalah Kuesioner 0. Perilaku Nominal
keluarga suatu kegiatan kurang baik
dalam atau aktifitas jika skor
merawat organisme jawaban <
pasien (makhluk hidup) mean
skizofre- yang 1. Perilaku baik
nia bersangkutan jika skor
(Notoatmodjo, jawaban ≥
2007). mean
Variabel Independen
2. Umur Umur adalah Kuesioner 1. 17-25 Tahun Interval
perhitungan usia 2. 26-35 Tahun
dimulai dari saat 3. 36-45 Tahun
kelahiran 4. 46-55 Tahun
seseorang sampai 5. 56-65 Tahun
dengan waktu (Kemkes RI, 2009)
penghitungan
usia.
3. Pendidik- Pendidikan Kuesioner 0. Pendidikan Ordinal
an adalah rendah (tidak
pembelajaran sekolah, SD
pengetahuan, dan SLTP)
keterampilan, dan 1. Pendidikan
kebiasaan tinggi (SLTA
sekelompok orang dan Perguruan
Tinggi/PT)
(Depdiknas, 2007)
37

Definisi Alat Hasil


No Variabel Skala
Operasional Ukur Pengukuran
yang diturunkan
dari satu generasi
ke generasi
berikutnya
melalui
pengajaran,
pelatihan,
atau penelitian
4. Pekerjaan Pekerjaan adalah Kuesioner 0. Tidak bekerja Ordinal
suatu tugas atau 1. Bekerja
kerja yang
menghasilkan
sebuah karya
bernilai imbalan
dalam bentuk
uang bagi
seseorang.
5. Pengeta- Pengetahuan Kuesioner 0. Pengetahuan Ordinal
huan adalah merupakan keluarga
hasil dari tahu, rendah jika
dan ini terjadi skor jawaban
setelah < mean
orang melakukan 1. Pengetahuan
penginderaan keluarga
terhadap suatu tinggi jika
objek tertentu skor jawaban
benar ≥ mean
6. Sikap Sikap adalah Kuesioner 0. Sikap negatif Ordinal
pernyataan (tidak mendu-
evaluatif terhadap kung), jika
objek, orang atau skor jawaban
peristiwa. Hal ini <mean
mencerminkan 1. Sikap positif,
perasaan (mendu-
seseorang kung), jika
terhadap sesuatu skor jawaban
≥ mean
38

Definisi Alat Hasil


No Variabel Skala
Operasional Ukur Pengukuran
7. Jarak Jarak adalah Kuesioner 0. Jauh Nominal
Fasilitas angka yang 1. Dekat
Pelayanan menunjukkan
Kesehatan seberapa jauh
Jiwa suatu benda
berubah posisi.
Jarak tempuh dari
tempat tinggal ke
fasilitas
pelayanan
kesehatan jiwa
8. Biaya, Biaya adalah cost; Kuesioner 0. BPJS Non Nominal
Jaminan expense yaitu pe- PBI/Umum
Kesehatan ngeluaran/pe- 1. BPJS PBI
ngorbanan yang
tak terhindarkan
untuk mendapat-
kan barang atau
jasa dengan tu-
juan memperoleh
maslahat; penge-
luaran untuk ke-
giatan, tujuan/
waktu tertentu
9. Pendidik- Pendidikan ke- Kuesioner 0. Tidak pernah Ordinal
an sehatan adalah mendapat
kesehatan suatu upaya atau pendidikan
oleh kegiatan mencip- kesehatan
petugas takan perilaku 1. Pernah
kesehatan masyarakat yang mendapat
kondusif untuk pendidikan
kesehatan kesehatan
10. Dukungan Dukungan ling- Kuesioner 0. Tidak ada Nominal
lingkung- kungan adalah dukungan
an sikap, tindakan 1. Ada
dan penerimaan dukungan
oleh orang-orang
di sekitar pasien,
tetangga, kelom-
pok sebaya, dll
39
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian menggunakan desain non eksperimental dengan pendekatan

pengumpulan data cross sectional. Pengumpulan variabel independen dan

variabel dependen dilakukan dalam waktu yang bersamaan pada saat penelitian

berlangsung dan dilakukan satu kali untuk mengetahui faktor determinan

perilaku keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian di Instalasi Rawat Jalan RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan

Jakarta, waktu penelitian dilakukan selama 2 minggu dari tanggal 4 sampai

dengan 18 Februari 2015.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian adalah pasien dengan diagnosis medis

skizofrenia pada tahun 2014. Jumlah pasien skizofrenia yang merupakan

pengunjung lama rata-rata per bulan dari bulan Agustus-Desember 2014

adalah 526 pasien, dengan prevalensi 50% yang tidak tertangani ataupun

tidak mendapatkan perawatan yang tepat (WHO, 2014) sehingga jumlah

populasi dalam penelitian ini adalah 263 orang.

39
40

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah anggota keluarga pasien yang mendampingi

pasien ke Instalasi Rawat Jalan RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta.

Dalam menentukan besar sampel, jika besar populasi <10.000

menggunakan rumus sebagai berikut (Nursalam, 2008):

= 2)
1+ (

Keterangan:
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
d = tingkat signifikansi (d=0,05)

Berdasarkan rumus tersebut, maka sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

63
=
1 + 63(0,052 )

= 158.67

= 159

Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling yaitu suatu

teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi

sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian

(Nursalam, 2008). Pengumpulan data dilakukan dengan memilih

responden di Instalasi Rawat Inap RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta

yang sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti.
41

Adapun kriteria inklusi sampel penelitian adalah:

1. Anggota keluarga pasien skizofrenia (Her Opname/ pasien lama)

yang mendampingi ke Instalasi Rawat Jalan RS Jiwa dr. Soeharto

Heerdjan Jakarta.

2. Tinggal satu rumah dengan pasien.

3. Dapat membaca dan menulis.

4. Dalam kategori dewasa.

5. Bersedia menjadi responden dan menandatangani Lembar

Persetujuan.

4.4 Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian ini, masalah etika yang ditekankan adalah sebagai

berikut :

4.4.1 Perizinan dari Instansi

Peneliti menyampaikan surat permohonan izin penelitian yang dikeluarkan

institusi pendidikan kepada Direktur Utama RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan

Jakarta.

4.4.2 Memperkenalkan Diri dan Penelitian

Peneliti memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan dan manfaat serta

prosedur penelitian yang dilakukan. Proses ini dilakukan sebelum

kuesioner diberikan pada responden, di Instalasi Rawat Jalan RS Jiwa

dr. Soeharto Heerdjan Jakarta.


42

4.4.3 Lembar Persetujuan menjadi Responden (Informed Consent)

Lembar persetujuan diberikan pada responden setelah peneliti menjelaskan

maksud dan tujuan serta prosedur penelitian. Jika bersedia diteliti maka

responden menandatangani lembar persetujuan tersebut, jika menolak maka

peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-haknya.

4.4.4 Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama

pada pengumpulan data, cukup memberi nomor kode pada kode masing-

masing lembar tersebut.

4.4.5 Confidentiality (Kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya kelompok

data tertentu saja yang disajikan atau dilaporkan sebagai hasil penelitian

dan hasil penelitian disimpan oleh peneliti sampai dengan lima tahun.

4.5 Pengumpulan Data

4.5.1 Jenis Data

Data yang diambil terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer

diambil secara langsung dari sumber aslinya, melalui narasumber yang

tepat dan yang dijadikan responden dalam penelitian ini. Data primer yang

diambil adalah variabel independen dan dependen yaitu faktor yang

mempengaruhi dan perilaku keluarga dalam merawat anggota keluarga

dengan skizofrenia. Data sekunder merupakan dokumen data dari RS Jiwa


43

dr. Soeharto Heerdjan berkaitan dengan profil Rumah Sakit, dan populasi

penderita skizofrenia di Instalasi Rawat Inap.

4.5.2 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data dibuat dalam bentuk lembar observasi berupa

kuesioner berdasarkan kerangka konsep dan definisi operasional.

Kuesioner terdiri dari pernyataan tentang faktor-faktor predisposisi (umur,

pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap), faktor pemungkin (jarak ke

fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dan biaya, jaminan kesehatan) dan faktor

penguat (pendidikan kesehatan oleh petugas kesehatan, dukungan

lingkungan) serta perilaku keluarga dalam merawat anggota keluarga

dengan skizofrenia. Semua faktor-faktor tersebut dituang dalam kuesioner

yang terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu:

Bagian A Karakteristik Sosiodemografi, meliputi: Usia, Pendidikan,

Pekerjaan, Jarak dari tempat tinggal ke sarana pelayanan

kesehatan jiwa, dan lain-lain.

Bagian B Pengetahuan, Variabel pengetahuan dan perilaku keluarga

dalam merawat anggota keluarga bersifat pasti. Jawaban pasien

bisa benar atau salah, atau dalam bentuk ya atau tidak. Dengan

demikian, variabel-variabel tersebut diukur menggunakan skala

Guttman. Jawaban setiap item pada variabel diberi skor (nilai

0-1), sebagai berikut:

Nilai 0 : untuk jawaban salah/tidak

Nilai 1 : untuk jawaban ya/benar


44

Bagian C Sikap, Variabel sikap dalam bentuk rentang, responden

mungkin memiliki jawaban yang tidak pasti, sehingga

diberikan opsi selain setuju dan tidak setuju. Dengan demikian,

variabel sikap menggunakan pengukuran skala Likert. Jawaban

setiap item pada variabel sebagai berikut:

STS : Responden Sangat Tidak Setuju dengan pernyataan

sikap

TS : Responden Tidak Setuju dengan pernyataan sikap

S : Responden Setuju dengan pernyataan sikap

SS : Responden Sangat Setuju dengan pernyataan sikap

Bagian D Perilaku Keluarga. Variabel pengetahuan dan perilaku keluarga

dalam merawat anggota keluarga bersifat pasti. Jawaban pasien

bisa benar atau salah, atau dalam bentuk ya atau tidak. Dengan

demikian, variabel-variabel tersebut diukur menggunakan skala

Guttman. Jawaban setiap item pada variabel diberi skor (nilai

0-1), sebagai berikut:

Nilai 0 : Untuk jawaban salah/tidak

Nilai 1 : untuk jawaban ya/benar\

Instrumen yang sudah disusun, kemudian dilakukan uji validitas dan uji

reliabilitas.
45

1. Uji Validitas

Validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip

kehandalan instrumen dalam pengumpulan data (Nursalam, 2012).

Menurut Sugiyono (2006), jika instrumen dikatakan valid berarti

menunjukan alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data itu

valid, sehingga valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk

mengukur apa yang seharusnya diukur, dengan rumus Korelasi

Pearson Product Moment.

N  XY -  X  Y
rxy 
N  X 2

-  X2 N  X 2

-  X2 
Distribusi (t tabel) untuk α = 0,05 dan derajat kebebasan 95%

(df = n-2), maka kaidah keputusannya, yaitu :

Valid : jika rhitung > rtabel

Tidak valid : jika rhitung < rtabel

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila

fakta atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam

waktu yang berlainan (Nursalam, 2012). Untuk menghitung reliabilitas

instrumen ini, peneliti menggunakan metode Cronbach’s Alpha.

Perhitungan uji reliabilitas ini dilakukan dengan bantuan komputer

dengan menggunakan teknik Cronbach’s Alpha. Menurut Riyanto


46

(2009) suatu variabel dikatakan reliabel jika memberi nilai Cronbach’s

Alpha >0,6 (konstanta). Adapun rumusnya sebagai berikut :

 k

 k 
 S i
2

   1  i1

 k  1  
2
stotal 
 

Keterangan :
α = Reliabilitas instrumen
n = Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
k

S
i 1
i
2

= Jumlah varian butir


2
S total = Variasi total

Analisis uji reabilitas dapat dilihat nilai r hasil (Cronbach’s alpha)

yang dibandingkan dengan nilai r tabel. Ketentuannya adalah bila r

hasil > r tabel , maka pertanyaan tersebut reliabel.

Pada penelitian ini, karena keterbatasan penelitian dalam hal ini waktu

dan tempat maka uji validitas dan reliabilitas dilakukan di Instalasi

Rawat Jalan RS Jiwa Soeharto Heerdjan Jakarta terhadap 30

responden. Hasil uji validitas terhadap 10 pertanyaan pengetahuan

seluruhnya valid (r hitung > r tabel). Dari 10 pertanyaan sikap

seluruhnya valid (r hitung > r tabel) dan 14 pertanyaan perilaku

seluruhnya valid (r hitung > r tabel). Hasil uji reliabilitas dengan

Cronbach alpha diperoleh r hitung untuk instrumen

pengetahuan=0,931, sikap=0,954, dan perilaku=0,919, nilai tersebut >


47

r tabel/konstanta =0,6, sehingga instrumen pengetahuan, sikap dan

perilaku reliabel untuk digunakan.

4.6 Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian penelitian setelah

kegiatan pengumpulan data. Agar analisis penelitian menghasilkan informasi

yang benar, ada empat tahap dalam pengolahan data yang akan dilalui yaitu:

4.6.1 Editing adalah kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau

kuesioner apakah sudah lengkap, jelas dan relevan.

4.6.2 Coding adalah pemberian kode pada setiap jawaban yang terkumpul dalam

kuesioner untuk memudahkan proses pengumpulan data.

4.6.3 Processing adalah melakukan pemindahan atau memasukan data dari

kuesioner ke dalam komputer untuk diproses. Memasukkan data ke dalam

komputer dilakukan dengan program paket statistik komputer.

4.6.4 Cleaningadalah proses yang dilakukan setelah data masuk ke komputer,

data akan diperiksa apakah ada kesalahan atau tidak, jika terdapat data

yang salah diperiksa oleh proses cleaning ini.

4.7 Analisis Data

4.7.1 Analisis Univariat

Analisis univariat adalah cara menganalisis data yang menghasilkan

distribusi dan persentase dari tiap variabel (Notoadmodjo, 2012).


48

4.7.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk menguji hubungan

antara dua variabel yang diduga mempunyai hubungan atau kolerasi.

Analisis bivariat yang digunakan adalah uji Chi Kuadrat (X2). Uji Chi

Kuadrat digunakan untuk menguji hubungan dua variabel dimana masing-

masing terdiri dari beberapa golongan atau kategori. Rumus yang

digunakan (Djarwanto, 2004) sebagai berikut:

(Fo - Fe) 2
X2  
Fe

Keterangan :
∑ = Jumlah baris dan kolom
Fo = Frekuensi yang diobsevasi (frekuensi empiris)
Fe = Frekuensi yang diharapkan (frekuensi teoritis)

Uji signifikan dilakukan dengan menggunakan batas kemaknaan alpha

(0,05) dan Confidence Interval (tingkat kepercayaan) 95% dengan

ketentuan bila:

1. Bila p value ≤ (0,05) berarti Ho ditolak dan Ha diterima artinya ada

hubungan yang signifikan.

2. Bila p value> (0,05) berarti Ho diterima dan Ha ditolak artinya tidak

ada hubungan yang signifikan.

Untuk mengetahui derajat hubungan, maka digunakan Prevalence Odds

Ratio/POR karena dalam penelitian ini desain yang digunakan adalah cross

sectional (Notoadmodjo, 2012). POR membandingkan odds pada

kelompok terekspos dengan odds kelompok yang tidak terekspos.


49

Interpretasi Prevalence Odds Ratio (POR) pada penelitian adalah sebagai

berikut:

POR = 1 : tidak ada asosiasi antara faktor dengan perilaku keluarga

dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia (tidak

ada hubungan)

POR > 1 : ada asosiatif positif antara faktor dengan perilaku keluarga

dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia (ada

hubungan/mempertinggi)

POR < 1 : ada asosiasi negatif antara faktor dengan perilaku keluarga

dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia (tidak

ada hubungan/mengurangi)
BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada 4-18 Februari 2015 terhadap 159 keluarga pasien

dalam merawat anggota keluarga dengan Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto

Heerdjan Jakarta. Pada bab ini, hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan

Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta baik analisis univariat dan

bivariat yang disajikan dalam bentuk tabel meliputi variabel independen: faktor

predisposisi, pemungkin, penguat dan variabel dependen yaitu perilaku keluarga.

5.1 Analisis Univariat

5.1.1 Gambaran Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi respoden terdiri dari umur, pendidikan, pekerjaan,

pengetahuan dan sikap. Berikut disajikan pada tabel di bawah ini :

50
51

Tabel 5.1
Distribusi Responden berdasarkan Faktor Predisposisi pada Keluarga
Pasien Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
Tahun 2015
Variabel Kategori Frekuensi %
Umur 17-25 Tahun 11 6.9
26-35 Tahun 66 41.5
36-45 Tahun 51 32.1
46-55 Tahun 23 14.5
56-65 Tahun 8 5.0
Pendidikan Rendah 130 81.8
Tinggi 29 18.2
Pekerjaan Tidak bekerja 42 26.4
Bekerja 117 73.6
Pengetahuan Kurang 89 56.0
Baik 70 44.0
Sikap Tidak mendukung 87 54.7
Mendukung 72 45.3
Sumber : Data Primer 2015

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa dari 159 keluarga pasien dengan

Skizofrenia sebagian besar berusia dewasa awal (26-35 Tahun) yaitu

sebanyak 66 orang (41,5%), sebagian besar berpendidikan tinggi (≥ SMA)

yaitu sebanyak 130 (81,8%), sebagian besar bekerja yaitu 117 (73,6%),

sebagian besar berpengetahuan kurang yaitu 89 (56%), dan sebagian besar

bersikap tidak mendukung yaitu 87 (54,7%).

5.1.2 Gambaran Faktor Pemungkin

Gambaran faktor pemungkin terdiri dari 2 (dua) variabel yaitu jarak

fasilitas pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan. Distribusi variabel

faktor pemungkin disajikan pada tabel di bawah ini:


52

Tabel 5.2
Distribusi Responden menurut Faktor Pemungkin pada Keluarga
Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta Tahun 2015

Variabel Kategori Frekuensi %


Jarak fasilitas Jauh 66 41.5
kesehatan Dekat 93 58.5
Biaya, jaminan BPJS Non PBI/Umum 76 47.8
kesehatan BPJS PBI 83 52.2
Sumber : Data Primer 2015

Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa dari 159 keluarga pasien dengan

Skizofrenia sebagian besar memiliki jarak rumah dengan fasilitas

pelayanan kesehatan jiwa dalam kategori dekat yaitu sebanyak 92 (57,9%),

dan sebagian besar dengan biaya jaminan kesehatan BPJS PBI yaitu

sebanyak 83 (52,2%).

5.1.3 Gambaran Faktor Penguat

Faktor penguat terdiri dari variabel pendidikan kesehatan oleh petugas

kesehatan, dan dukungan lingkungan. Distribusi faktor penguat disajikan

pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.3
Distribusi Responden menurut Faktor Penguat pada Keluarga Pasien
dengan Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
Tahun 2015
Variabel Kategori Frekuensi %
Pendidikan kesehatan Tidak Pernah 77 48.4
oleh petugas kesehatan Pernah 82 51.6
Dukungan Lingkungan Tidak ada 92 57.9
Ada 67 42.1
Sumber : Data Primer 2015
53

Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa dari 159 keluarga pasien dengan

Skizofrenia sebagian menyatakan pernah mendapatkan penyuluhan tenaga

kesehatan yaitu 82 (51,6%), dan sebagian besar menyatakan tidak ada

dukungan dari lingkungan yaitu sebanyak 92 (57,9%).

5.1.4 Gambaran Perilaku Keluarga dalam Merawat Pasien Skizofrenia

Gambaran perilaku keluarga dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu kurang

baik (jika skor < 50%) dan baik (jika skor > 50%). Distribusi frekuensi

variabel perilaku keluarga disajikan pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.4
Distribusi Perilaku Keluarga Pasien dengan Skizofrenia di RS Jiwa
dr. Soeharto Heerdjan Jakarta Tahun 2015

Perilaku Keluarga Frekuensi %


Kurang Baik 92 57.9
Baik 67 42.1
Jumlah 159 100.0
Sumber : Data Primer 2015

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa dari 159 keluarga pasien dengan

Skizofrenia sebagian besar berperilaku dalam merawat pasien dalam

kategori kurang baik yaitu 92 (57,9%).


54

5.2 Analisis Bivariat

5.2.1 FaktorPredisposisi (Pendorong)

1. Hubungan Umur dengan Perilaku Keluarga


Tabel 5.5
Hubungan Umur dengan Perilaku Keluarga Pasien Skizofrenia di
RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta Tahun 2015

Perilaku Keluarga
p POR
Umur Kurang Baik Baik Total
value 95% CI
n % n % n %
17-25 Tahun 8 72,0 3 27,3 11 100
26-35 Tahun 41 62,1 25 37,9 66 100
36-45 Tahun 27 52,9 24 47,1 51 100
46-55 Tahun 11 47,8 12 52,2 23 100 0.555 -
56-65 Tahun 5 62,5 3 37,5 8 100
Jumlah 92 57,9 67 42,1 159 100
Sumber : Data Primer 2015

Dari 66 responden usia 26-35 tahun sebagian besar yaitu 41 (62,1%)

berperilaku kurang baik dalam merawat keluarga dengan skrizofenia.

Hasil analisis dengan chi square diperoleh p value=0.555 ( p value <

alpha 5%), artinya tidak ada hubungan antara umur dengan perilaku

keluarga dalam merawat pasien skizofrenia.

2. Hubungan Pendidikan dengan Perilaku Keluarga

Tabel 5.6
Hubungan Pendidikan dengan Perilaku Keluarga Pasien
Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
Tahun 2015
Perilaku Keluarga
Pendidikan Kurang Baik Total p POR
Baik value 95% CI
n % n % n %
Rendah 82 63,1 48 36,9 130 100
3,246
Tinggi 10 34,5 19 65,5 29 100
0,009 (1,395-7,553)
Jumlah 92 57,9 67 42,1 159 100
Sumber : Data Primer 2015
55

Dari 130 responden dengan pendidikan rendah sebagian besar yaitu 82

(63,1%) berperilaku kurang baik sedangkan dari 25 responden dengan

pendidikan tinggi sebagian besar yaitu 19 (65,5%) berperilaku baik.

Hasil analisis dengan chi square diperoleh p value=0.009 (p value <

alpha 5%), artinya terdapat hubungan antara pedidikan dengan

perilaku keluarga dalam merawat pasien dengan skizofrenia dengan

nilai peluang POR= 3,246 (CI 95%: 1,395-7,553) artinya responden

yang dengan pendidikan rendah berpeluang 3,2 kali lebih besar untuk

berperilaku kurang baik dibandingkan dengan responden dengan

pendidikan baik.

3. Hubungan Pekerjaan dengan Perilaku Keluarga

Tabel 5.7
Hubungan Pekerjaan dengan Perilaku Keluarga Pasien
Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
Tahun 2015

PerilakuKeluarga
Kurang p POR
Pekerjaan Baik Total
Baik value 95% CI
n % n % n %
Tidak
34 81,0 8 19,0 42 100
bekerja 4,323
0,002
Bekerja 58 49,6 59 50,4 117 100 (1,846-10,127)
Jumlah 92 57,9 67 42,1 159 100
Sumber : Data Primer 2015

Dari 42 responden yang tidak bekerja sebagian besar berperilaku

kurang baik yaitu 34 (81,0%) sedangkan dari 117 responden yang

bekeja sebagian besar yaitu 59 (50,4%) berperilaku baik.


56

Hasil analisis dengan chi square diperoleh p value=0.002 ( p value <

alpha 5%), artinya terdapat hubungan antara pekerjaan dengan

perilaku keluarga dengan nilai peluang POR=4,323 (95% CI: 1,846-

10,127) artinya responden yang tidak bekerja berpeluang 4,3 kali lebih

besar untuk berperilaku kurang baik dibandingkan dengan yang

bekerja.

4. Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Keluarga

Tabel 5.8
Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Keluarga Pasien
Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
Tahun 2015

Perilaku Keluarga
Kurang p POR
Pengetahuan Baik Total
Baik value 95% CI
n % n % n %
Kurang 68 76,4 21 23,6 89 100
6,206
Baik 24 34,3 46 65,7 70 100 0,000
(3,098-12,435)
Jumlah 92 57,9 67 42,1 159 100
Sumber : Data Primer 2015

Dari 89 responden dengan pengetahuan kurang sebagian besar yaitu 68

(76,4%) berperilaku kurang baik sedangkan dari 70 responden dengan

pengetahuan baik sebagian besar yaitu 46 (65,7%) berpengetahuan

baik.

Hasil analisis dengan chi square diperoleh p value =0.000 (p value <

alpha 5%), artinya terdapat hubungan antara pengetahuan dengan

perilaku keluarga dengan nilai peluang POR=6,206 (95% CI: 3,098-

12,435) artinya responden yang berpengetahuan kurang berpeluang 6,2


57

kali lebih besar untuk berperilaku kurang baik dibandingkan dengan

responden yang berpengetahuan baik.

5. Hubungan Sikap dengan Perilaku Keluarga

Tabel 5.9
Hubungan Sikap dengan Perilaku Keluarga Pasien Skizofrenia di
RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta Tahun 2015

Perilaku Keluarga
Kurang p POR
Sikap Baik Total
Baik value 95% CI
n % n % n %
Tidak
58 66,7 29 33,3 87 100
mendukung 2,235
0,021
Mendukung 34 47,2 38 52,8 72 100 (1,176-4,250)
Jumlah 92 57,9 67 42,1 159 100
Sumber : Data Primer 2015

Dari 87 responden dengan sikap tidak mendukung sebagian besar yaitu

58 (66,7%) berperilaku kurang baik sedangkan dari 72 responden

dengan sikap mendukung sebagian besar yaitu 38 (52,8%) berperilaku

baik.

Hasil analisis dengan chi square diperoleh p value =0.021 (p value <

alpha 5%), maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan

antara sikap dengan perilaku keluarga dengan nilai peluang POR=

2,235(95% CI: 1,176-4,250) artinya responden dengan sikap tidak

mendukung berpeluang 4,2 kali lebih besar untuk berperilaku kurang

baik dibandingkan dengan yang bersikap mendukung.


58

5.2.2 Faktor Pemungkin

1. Hubungan Jarak Fasilitas Pelayanan Kesehatan Jiwa dengan Perilaku

Keluarga

Tabel 5.10
Hubungan Jarak Fasilitas Kesehatan dengan Perilaku Keluarga
Pasien Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
Tahun 2015

Perilaku Keluarga
Kurang p POR
Baik Total
Jarak Baik value 95% CI
n % n % n %
Jauh 48 72,7 18 27,3 66 100
2,970 (1,508-
Dekat 44 47,3 49 52,7 93 100 0,002
5,848)
Jumlah 92 57,9 67 42,1 159 100
Sumber : Data Primer 2015

Dari 66 responden dengan jarak rumah dengan fasilitas pelayanan

kesehatan jiwa dalam kategori jauh sebagian besar yaitu 48 (72,7%)

berperilaku kurang baik sedangkan dari 93 responden dengan jarak

rumah dekat sebagian besar yaitu 49 (52,7) berperilaku baik.

Hasil analisis dengan chi square diperoleh p value =0.002 (p value <

alpha 5%), artinya bahwa terdapat hubungan antara jarak fasilitas

pelayanan kesehatan dengan perilaku keluarga dengan nilai peluang

POR= 2,970 (95% CI: 1,508-5,848) artinya responden dengan jarak

rumah dengan fasilitas kesehatan dalam kategori jauh berpeluang 2,9

kali lebih besar untuk berperilaku kurang baik dibandingkan dengan

responden dengan jarak rumah dekat.


59

2. Hubungan Biaya, Jaminan Kesehatan dengan Perilaku Keluarga

Tabel 5.11
Hubungan Biaya Jaminan Kesehatan dengan Perilaku Keluarga
Pasien dengan Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan
Jakarta Tahun 2015

Perilaku Keluarga
Biaya, Kurang p POR
Baik Total
Jaminan Baik value 95% CI
Kesehatan n % n % n %
BPJS Non
53 69,7 23 30,3 76 100
PBI/Umum 2,600
0,006
BPJS PBI 39 47,0 44 53,0 83 100 (1,354-4,991)
Jumlah 92 57,9 67 42,1 159 100
Sumber : Data Primer 2015

Dari 76 responden dengan biaya, jaminan kesehatan BPJS PBI/umum

sebagian besar yaitu 53 (69,7%) berperilaku kurang baik sedangkan

dari 83 responden dengan biaya, jaminan kesehatan BPJS PBI

sebagian besar yaitu 44 (53,0%) berperilaku baik.

Hasil analisis dengan chi square diperoleh p value = 0.006 (p value <

alpha 5%), artinya bahwa terdapat hubungan antara biaya jaminan

kesehatan dengan perilaku keluarga, nilai peluang POR= 2,600 (95%

CI : 1,354-4,991) artinya responden dengan biaya jaminan kesehatan

dalam kategori BPJS Non PBI/umum berpeluang 2,6 kali lebih besar

untuk berperilaku kurang baik dibandingkan dengan responden dengan

biaya jaminan kesehatan BPJS PBI.


60

5.2.3 FaktorPenguat

1. Hubungan Pendidikan Kesehatan oleh Petugas Kesehatan Jiwa dengan

Perilaku Keluarga

Tabel 5.12
Hubungan Penyuluhan Petugas Kesehatan dengan Perilaku
Keluarga Pasien Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan
Jakarta Tahun 2015

Pendidikan Perilaku Keluarga


Kesehatan Kurang p POR
Baik Total
oleh Baik value 95% CI
Petugas n % n % n %
Tidak
55 71,4 22 28,6 77 100
pernah 3,041
0,001
Pernah 37 45,1 45 54,9 82 100 (1,574-5,874)
Jumlah 92 57,9 67 42,1 159 100
Sumber : Data Primer 2015

Dari 77 responden yang menyatakan tidak pernah mendapatkan

pendidikan kesehatan dari petugas kesehatan sebagian besar yaitu 55

(71,4%) berperilaku kurang baik sedangkan dari 82 responden yang

pernah sebagian besar yaitu 45 (54,9%) berperilaku baik.

Hasil analisis dengan chi square diperoleh p value =0.001 (p value <

alpha 5%), artinya bahwa terdapat hubungan antara pendidikan

kesehatan oleh petugas dengan perilaku keluarga, nilai peluang POR=

3,041 (95% CI: 1,574-5,874) artinya responden yang tidak pernah

mendapatkan pendidikan kesehatan oleh petugas kesehatan

berpeluang 3 kali lebih besar untuk berperilaku kurang baik

dibandingkan dengan responden yang pernah mendapatkan pendidikan

kesehatan oleh tenaga kesehatan.


61

2. Hubungan Dukungan Lingkungan dengan Perilaku Keluarga

Tabel 5.13
Dukungan Lingkungan dengan Perilaku Keluarga Pasien
Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
Tahun 2015

Perilaku Keluarga
Kurang p POR
Dukungan Baik Total
Baik value 95% CI
Lingkungan
n % n % n %
Tidak ada 63 68,5 29 31,5 92 100
2,847
Ada 29 43,3 38 56,7 67 100 0,003
(1,481-5,472)
Jumlah 92 57,9 67 42,1 159 100
Sumber : Data Primer 2015

Dari 92 responden yang tidak ada dukungan dari lingkungan sebagian

besar yaitu 63 (68,5%) berperilaku kurang baik sedangkan dari 67

responden yang ada dukungan dari lingkungan sebagian besar yaitu 38

(56,7%) berperilaku baik.

Hasil analisis dengan chi square diperoleh p value =0.003 (p value<

alpha 5%), artinya bahwa terdapat hubungan antara dukungan

lingkungan dengan perilaku keluarga dengan nilai peluang POR=

2,847 (95% CI: 1,481-5,472) artinya responden yang tidak ada

dukungan dari lingkungan berpeluang 2,8 kali lebih besar untuk

berperilaku kurang baik dibandingkan dengan yang ada dukungan dari

lingkungan.
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Faktor Predisposisi (Pendorong)

6.1.1 Hubungan Umur dengan Perilaku Keluarga Pasien Skizofrenia

Hasil penelitian menunjukkan dari 66 responden usia 26-35 tahun sebagian

besar yaitu 41 (62,1%) berperilaku kurang baik dalam merawat keluarga

dengan skizofrenia. Hasil analisis dengan chi square diperoleh p value

=0.555 (p value< alpha 5%), maka dapat diambil kesimpulan bahwa

terdapat tidak ada hubungan antara umur dengan perilaku keluarga dalam

merawat pasien skrizofrenia.

Menurut penelitian Gierveld dan Dykstra (2008) bahwa orang dewasa tidak

hanya menjadi penerima tetapi juga memberikan pengaruh pada perilaku

keluarga. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku keluarga adalah

faktor usia, usia yang dianggap optimal dalam mengambil keputusan

adalah usia diatas umur 20 tahun keatas, usia tersebut akan memberikan

dukungan kepada keluarganya untuk berperilaku (Notoadmodjo, 2003).

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan

pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin

membaik. Usia seseorang mempengaruhi bagaimana mengambil keputusan

dalam pemeliharaan kesehatannya (Notoadmodjo, 2007). Siagian (1995)

62
63

mengemukakan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang, maka

semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa, semakin bijaksana dalam

mengambil keputusan, mampu berpikir rasional dan mampu

mengendalikan emosi dan makin toleran terhadap orang lain. Usia 25

sampai 52 tahun merupakan usia dewasa menengah, dimana usia ini

dianggap cukup matang dalam pengalaman hidup dan kematangan jiwanya

untuk merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa.

Pengalaman merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

pengetahuan yang berkaitan dengan umur dan pendidikan individu. Hal ini

mengandung maksud bahwa semakin bertambahnya umur dan pendidikan

yang tinggi, maka pengalaman seseorang akan lebih jauh lebih luas

(Notoatmodjo, 2003). Pengalaman keluarga dalam merawat pasien

skizofrenia memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional akan

dapat mengembangkan kemampuan dalam mengambil keputusan yang

merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah.

Umur tidak berhubungan dalam penelitian ini, diasumsikan faktor umur

bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi perilaku keluarga dalam

merawat pasien skizofrenia. Anggota keluarga yang lebih muda mungkin

lebih dapat menerima suatu informasi lebih cepat sehingga lebih tahu

tentang cara merawat pasien. Karena sudah lama merawat pasien di rumah,

anggota keluarga yang lebih tua menjadi lebih banyak pengalaman dalam

merawat pasien. Faktor lama merawat juga dapat mempengaruhi perilaku,


64

anggota keluarga mungkin menjadikan merawat dalam jangka panjang

menjadi beban tersendiri baik secara fisik, psikologis dan finansial.

6.1.2 Hubungan Pendidikan dengan Perilaku Keluarga Pasien Skizofrenia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil tabel silang antara pendidikan

dengan perilaku diketahui bahwa dari 130 responden dengan pendidikan

rendah sebagian besar yaitu 82 (63,1%) berperilaku kurang baik sedangkan

dari 25 responden dengan pendidikan tinggi sebagian besar yaitu 19

(65,5%) berperilaku baik. Hasil analisis dengan chi square diperoleh p

value =0.009 (p value< alpha 5%), maka dapat diambil kesimpulan bahwa

terdapat hubungan antara pedidikan dengan perilaku keluarga dalam

merawat pasien dengan skizofenia dengan nilai peluang POR = 3,246

(95% CI : 1,395-7,553) artinya responden yang dengan pendidikan rendah

berpeluang 3,2 kali lebih besar untuk berperilaku kurang baik dibandingkan

dengan responden dengan pendidikan baik.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Purwana (2014) yang

menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi perilaku keluarga

(caregiver) dalam mengasuh anggota keluarga yang mengalami skizofrenia

paranoid pasca perawatan di rumah sakit jiwa propinsi NTB

(p value=0,028).

Tingkat pendidikan seseorang dapat mendukung atau mempengaruhi

tingkat pengetahuan seseorang berpengaruh terhadap perilaku seseorang


65

dan taraf pendidikan yang rendah selalu bergandengan dengan informasi

dan pengetahuan yang terbatas, semakin tinggi pendidikan seseorang

terhadap informasi yang didapat maka pengetahuannya pun akan semakin

tinggi. Hal tersebut mengandung arti bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang maka makin tinggi pula motivasi untuk

mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan keluarganya,

serta makin tinggi pula kemampuan untuk menganalisis dan memilih

sesuatu, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan

keluarganya (Notoatmodjo, 2007).

Keliat (2003) dalam penelitiannya tentang pemberdayaan klien dan

keluarga dalam klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan di RSJ Pusat

Bogor, menyimpulkan peran dan fungsi keluarga salah satunya adalah

memberikan perawatan kesehatan melalui pendididikan, keluarga yang

mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan dukungan keluarga baik

dukungan informasi cara merawat anggota keluarga dengan riwayat

skizofrenia.

Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan mempengaruhi seseorang

dalam berperilaku, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mampu

seseorang menyerap pengetahuan tentang skizofrenia baik dari petugas

kesehatan, dan media informasi lain.


66

6.1.3 Hubungan Pekerjaan dengan Perilaku Keluarga Pasien Skizofrenia

Hasil tabel silang antara pekerjaan dengan perilaku diketahui dari 42

responden yang tidak bekerja sebagian besar berperilaku tidak baik yaitu

34 (81,0%) sedangkan dari 117 responden yang bekeja sebagian besar yaitu

59 (50,4%) berperilaku baik.Hasil analisis dengan chi square diperoleh p

value =0.002 (p value< alpha 5%), maka dapat diambil kesimpulan bahwa

terdapat hubungan antara pekerjaan dengan perilaku keluarga, nilai peluang

OR = 4,323 (95% CI: 1,846-10,127) artinya responden yang tidak bekerja

berpeluang 4,3 kali lebih besar untuk berperilaku kurang baik dibandingkan

dengan yang bekerja.

Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa pekerjaan juga

diperkirakan dapat mempengaruhi pengetahuan. Pengetahuan responden

yang bekerja lebih baik bila dibandingkan dengan pengetahuan responden

yang tidak bekerja. Semua ini disebabkan karena bekerja di luar rumah

(sektor formal) memiliki akses yang lebih baik terhadap berbagai

informasi, termasuk mendapatkan informasi (Depkes RI, 2010).

Orang yang bekerja cenderung akan berperilaku baik karena seseorang

yang bekerja akan lebih banyak mengetahui informasi yang berhubungan

dengan pengetahuan. Pengetahuan baik maka akan cenderung berperilaku

baik pula.
67

Pada penelitian, ditemukan bahwa anggota keluarga yang bekerja

berperilaku lebih baik daripada yang tidak bekerja, kebiasaan bekerja akan

meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah khususnya dalam

merawat anggota keluarganya dengan skizofrenia. Hal ini berkaitan juga

dengan tanggung jawab moral dan finansialnya pada anggota keluarganya.

6.1.4 Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Keluarga Pasien Skizofrenia

Hasil tabel silang antara pengetahuan dengan perilaku diketahui dari 89

responden dengan pengetahuan kurang sebagian besar yaitu 68 (76,4%)

berperilaku kurang baik sedangkan dari 70 responden dengan pengetahuan

baik sebagian besar yaitu 46 (65,7%) berpengetahuan baik. Hasil analisis

dengan chi square diperoleh P value =0.000 (P value< alpha 5%), maka

dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan

dengan perilaku keluargadengan nilai peluang OR = 6,206 (95% CI: 3,098-

12,435) artinya responden yang berpengetahuan kurang berpeluang 6,2 kali

lebih besar untuk berperilaku kurang baik dibandingkan dengan responden

yang berpengetahuan baik.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini setelah orang mengadakan

pengindraan terhadap suatu objek. Pengindraan terjadi melalui panca indra,

yakni indra penglihatan, penciuman, dan rasa sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan kesehatan juga

akan berpengaruh kepada perilaku sebagian hasil jangka menengah dari

pendidikan kesehatan. (Notoatmodjo, 2003).


68

Dalam pernyataan ini, pengetahuan mempunyai hubungan positif dengan

perilaku yang berarti semakin baik pengetahuannya maka cenderung untuk

berperilaku yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rogers (dalam

Notoatmodjo, 2008) yang menyatakan bahwa pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku dan

perilaku yang didasari pengetahuan akan bertahan lebih langgeng daripada

perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Oleh sebab itu, diperlukan suatu upaya untuk memberikan stimulus lebih

kepada responden berupa pemberian informasi-informasi yang akan

meningkatkan pengetahuan keluarga pasien skizofrenia.

6.1.5 Hubungan Sikap dengan Perilaku Keluarga Pasien Skizofrenia

Hasil tabel silang antara sikap dengan perilaku keluarga diketahui bahwa

dari 87 responden dengan sikap tidak mendukung sebagian besar yaitu 58

(66,7%) berperilaku kurang baik sedangkan dari 72 responden dengan

sikap mendukung sebagian besar yaitu 38 (52,8%) berperilaku baik.Hasil

analisis dengan chi square diperoleh p value =0.021 (p value< alpha 5%),

maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara sikap

dengan perilaku keluargadengan nilai peluang POR = 2,235 (95% CI:

1,176-4,250) artinya responden dengan sikap tidak mendukung berpeluang

2,2 kali lebih besar untuk berperilaku kurang baik dibandingkan dengan

yang bersikap mendukung.


69

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Purwana (2014) yang

menyatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku keluarga (caregiver)

dalam mengasuh anggota keluarga yang mengalami skizofrenia paranoid

pasca perawatan di rumah sakit jiwa propinsi NTB

(p value=0,000).

Menurut teori WHO sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang

terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang

lain. Sikap dapat membuat seseorang mendekati atau menjauhi objek atau

orang lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud

dalam suatu tindakan nyata (Notoatmodjo, 2010).

Ahmadi (2007) menyatakan bahwa sikap sebagai tingkatan kecenderungan

yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan obyek

psikologi. Orang yang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu

obyek psikologi apabila ia suka atau memiliki sikap yang favorable,

sebaliknya orang yang dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap

obyek psikologi bila ia tidak suka atau sikapnya unfavorable terhadap

obyek psikologi (Ahmadi, 2007).

Sikap tidak dapat dilihat langsung tapi hanya dapat ditaksirkan terlebih

dahulu dari beberapa perilaku. Sikap keluarga yang positif pasti akan

mempengaruhi dalam perilaku keluarga. Hal ini sesuai dengan teori bahwa

sikap dibentuk oleh 3 komponen yaitu komponen kognitif, afektif dan


70

konatif. Komponen kognitif merupakan presentase apa yang akan

dipercayai oleh individu pemiliknya. Komponen afektif merupakan

presentase yang mempengaruhi aspek emosional dan komponen konatif

merupakan aspek kecenderungan perilaku tertentu sesuai sikap yang

dimiliki (Azwar, 2010).

Pada penelitian ini, ada hubungan positif dengan sikap dan perilaku

merawat keluarga. Semakin negatif sikapnya maka semakin tidak bnaik

perilaku keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia Hal

ini dapat disebabkan karena komponen kognitif yaitu kurangnya

pengetahuan keluarga tentang cara merawat dan tanda-tanda kekambuhan

pasien skizofrenia, komponen afektif mencakup kemampuan keluarga

penataan emosi dalam keluarga, dan komponen konatif bagaimana

keluarga menyesuaikan dan memodifikasi sikapnya dalam merawat pasien

skizofrenia.

6.2 Faktor Pemungkin

6.2.1 Hubungan Jarak Fasilitas Kesehatan Jiwa dengan Perilaku Keluarga

Pasien Skizofrenia

Hasil tabel silang antara jarak fasilitas kesehatan jiwa dengan perilaku

dikatehui bahwa dari 66 responden dengan jarak rumah dengan fasilitas

pelayanan kesehatan jiwa dalam kategori jauh sebagian besar yaitu 48

(72,7%) berperilaku kurang baik sedangkan dari 93 responden dengan jarak

rumah dekat sebagian besar yaitu 49 (52,7%) berperilaku baik. Hasil


71

analisis dengan chi square diperoleh p value =0,002 (p value< alpha 5%),

maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara jarak

fasilitas pelayanan kesehatan dengan perilaku keluarga, nilai peluang POR

= 2,970 (95% CI: 1,508-5,848) artinya responden dengan jarak rumah

dengan fasilitas kesehatan dalam kategori jauh berpeluang 2,9 kali lebih

besar untuk berperilaku kurang baik dibandingkan dengan responden

dengan jarak rumah dekat.

Sesuai dengan Penelitian Putra (2013), 95 persen masyarakat dapat

menjangkau sarana kesehatan dalam jarak dan waktu tempuh yang pendek.

Demikian pula, utilisasi fasilitas kesehatan meningkat pesat namun akses

penduduk terhadap fasilitas belum optimal sehingga masih terdapat sekitar

33,7 persen penduduk mengalami kendala jarak dan biaya. Di pulau Jawa

dengan jumlah penduduk yang lebih padat, akses terhadap pelayanan

kesehatan relatif mudah karena permukiman penduduk lebih dekat dengan

Puskemas dan jaringannya.

Menurut Green (1990), menyatakan bahwa jarak tempuh ke fasilitas

kesehatan merupakan faktor pendukung untuk terjadinya perubahan

perilaku masyarakat Kemudahan akses ke sarana pelayanan

kesehatanberhubungan dengan beberapa faktor penentu, antara lain jarak

tipe daerah dan waktu tempuh ke sarana kesehatan serta status sosial

ekonomi dan budaya (Riskesdas, 2007). Faktor aksesbilitas pelayanan

kesehatan berpengaruh terhadap perilaku penggunaan atau pemanfaatan


72

pelayanan kesehatan (Kresno, Skripsi FKM UI, 2005). Banyaknya masalah

jarak yang harus dihadapi masyarakat untuk mencapai tempat pelayanan

kesehatan, sering menyebabkan keterlambatan pengiriman dan penanganan

penderita ke tempat pelayanan yang lebih lengkap (Kartajin, Tesis FKM

UI, 2002). Jarak sangat mempengaruhi keluarga untuk datang ke tempat

pelayanan kesehatan jiwa, apalagi didukung dengan geografi tempat

tinggal yang tidak mudah untuk dilewati kendaraan, mengakibatkan

keluarga enggan datang mengantarkan pasien skizofrenia untuk kontrol

ulang ataupun berobat ke tempat pelayanan kesehatan jiwa.

Jarak dengan fasilitas kesehatan dalam penelitian ini tidak diukur

sebenarnya hanya berdasarkan persepsi responden. Jarak rumah dengan

fasilitas kesehatan sangat menentukan akses terhadap pelayanan kesehatan,

tempat pelayanan yang lokasinya tidak strategis/sulit dicapai oleh keluarga,

menyebabkan berkurangnya akses keluarga yang akan mengantarkan

pasien ke pelayanan kesehatan jiwa. Akses ke sarana pelayanan kesehatan

berhubungan dengan beberapa hal diantaranya jarak tempat tinggal dan

waktu tempuh ke sarana kesehatan, serta status sosio-ekonomi dan budaya

(Riskedas, 2007).
73

6.2.2 Hubungan Biaya Jaminan Kesehatan Fasilitas Kesehatan Jiwa dengan

Perilaku Keluarga Pasien Skizofrenia

Hasil tabel silang antara biaya jaminan kesehatan dengan perilaku,

diketahui bahwa dari 76 responden yang menyatakan biaya jaminan

kesehatan dengan kategori BPJS non PBI/umum sebagian besar yaitu 53

(69,7%) berperilaku kurang baik sedangkan dari 83 responden yang

menyatakan biaya jaminan kesehatan BPJS PBI sebagian besar yaitu 44

(53,0%) berperilaku baik.

Hasil analisis dengan chi square diperoleh p value =0.006 (p value < alpha

5%), maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara

biaya jamianan kesehatan dengan perilaku keluarga, nilai peluang POR =

2,600 (95% CI : 1,354-4,991) artinya responden dengan biaya jaminan

kesehatan dalam kategori BPJS Non PBI/umum berpeluang 2,6 kali lebih

besar untuk berperilaku kurang baik dibandingkan dengan responden

dengan biaya jaminan kesehatan BPJS PBI.

Biaya kesehatan pasien skizofrenia yang terus menerus dan mahal menjadi

pertimbangan sendiri bagi keluarga dalam perawatan pasien dengan

skizofrenia. Tidak semua responden mempunyai BPJS dan tidak semua

pengobatan skizofrenia dapat diklaim dari BPJS. Hal ini berpengaruh

terhadap perilaku keluarga dalam perawatan pasien dengan skizofrenia.


74

6.3 Faktor Penguat

6.3.1 Hubungan Pendidikan Kesehatan oleh Petugas Kesehatan Jiwa

dengan Perilaku Keluarga Pasien Skizofrenia

Hasil tabel silang antara pendidikan kesehatan oleh petugas kesehatan jiwa

dengan perilaku diketahui bahwa dari 77 responden yang menyatakan tidak

pernah mendapatkan pendidikan kesehatan dari petugas kesehatan sebagian

besar berperilaku kurang baik yaitu 55 (71,4%) sedangkan dari 82

responden yang pernah sebagian besar berperilaku baik yaitu 45 (54,9%).

Hasil analisis dengan chi square diperoleh p value =0.001 (p value< alpha

5%), maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara

pendidikan kesehatan oleh petugas kesehatan dengan perilaku keluarga,

nilai peluang POR = 3,041 (95% CI: 1,574-5,874) artinya responden yang

tidak pernah mendapatkan pendidikan kesehatan oleh petugas kesehatan

berpeluang 3 kali lebih besar untuk berperilaku kurang baik dibandingkan

dengan responden yang pernah mendapatkan pendidikan kesehatan oleh

petugas kesehatan.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Purwana (2014) yang

menyatakan bahwa pendidikan kesehatan dan kunjungan rumah oleh

petugas kesehatan mempengaruhi perilaku keluarga (caregiver) dalam

mengasuh anggota keluarga yang mengalami skizofrenia paranoid pasca

perawatan di rumah sakit jiwa propinsi NTB (p value=0,003).


75

Menurut Suliha (2002), pendidikan kesehatan ialah usaha membantu

individu atau kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuan,

pengetahuan, sikap maupun keterampilan untuk mencapai hidup sehat.

Pemberian pendidikan kesehatan yang efektif indikasinya adalah

pemberian pendidikan kesehatannya menjelaskan materi pendidikan

kesehatan dengan jelas dan mudah dimengerti oleh penderita sehingga pada

saat diimplementasikan oleh penderita dapat dengan mudah dilakukan,

sedangkan untuk pendidikan kesehatan yang kurang efektif hal ini

disebabkan karena perbedaan bahasa pengantar yang diberikan oleh

petugas kesehatan dengan bahasa yang digunakan sehari-hari oleh

penderita.

Dari penelitian ini, dapat diasumsikan bahwa keluarga telah mendapatkan

informasi yang tepat dalam merawat pasien skizofrenia di rumah dan

sebagian besar telah melaksanakan dengan baik. Penyebab sebagian tidak

mendapatkan pendidikan kesehatan antara lain bahwa keluarga jarang

membesuk pasien jika pasien dirawat sehingga pendidikan kesehatan di

ruang rawat tidak diterima, sedangkan di rawat jalan tidak ada pendidikan

kesehatan tentang perawatan pasien dengan skizofrenia, pendidikan

kesehatan dalam bentuk penyuluhan dilakukan oleh instalasi keswamas

pada pasien rawat jalan dan rawat inap yang memenuhi undangan

penyuluhan.
76

6.3.2 Hubungan Dukungan Lingkungan Dengan Perilaku Keluarga Pasien

Skizofrenia

Hasil tabel silang antara dukungan lingkungan dengan perilaku diketahui

dari 92 responden yang tidak ada dukungan dari lingkungan sebagian

besar yaitu 63 (68,5%) berperilaku kurang baik sedangkan dari 67

responden yang ada dukungan dari lingkungan sebagian besar yaitu 38

(56,7%) berperilaku baik.

Hasil analisis dengan chi square diperoleh p value =0,003(p value< alpha

5%), maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara

dukungan lingkungan dengan perilaku keluarga dengan nilai peluang POR

= 2,847 (95% CI: 1,481-5,472) artinya responden yang tidak ada dukungan

dari lingkungan berpeluang 2,8 kali lebih besar untuk berperilaku kurang

baik dibandingkan dengan yang ada dukungan dari lingkungan.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Purwana (2014) yang

menyatakan bahwa dukungan masyarakat mempengaruhi perilaku keluarga

(caregiver) dalam mengasuh anggota keluarga yang mengalami skizofrenia

paranoid pasca perawatan di rumah sakit jiwa propinsi NTB

(p value=0,029). Perbedaan yang signifikan juga ditunjukkan dalam

penelitian Sathwan & Jathwani, (2010) bahwa pasien skizofrenia menerima

dukungan sosial lebih banyak dari teman dan dibandingkan dengan

kerabatnya (p = 0.034) (Sathwan & Jathwani, 2010).


77

Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam

individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena

adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspons sebagai

pengetahuan oleh setiap individu. Lingkungan memberikan pengaruh

terhadap perilaku seseorang.

Stigma di dalam keluarga dan masyarakat bahwa pasien skizofrenia

sebagai penyakit memalukan dan membawa aib bagi keluarga, serta

perilaku pasien yang tidak dapat diterima oleh keluarga dan lingkungan,

merupakan alasan sehingga klien kembali dirawat di rumah sakit jiwa.

Keluarga yang mengalami disfungsi karena situasi stress, masalah akan

cenderung menjadi kronik. Akibatnya anggota keluarga yang mengalami

gangguan jiwa akan secara tidak konsisten memenuhi kebutuhannya

sehingga menyebabkan adopsi perilaku keluarga yang negatif. Sehingga

lingkungan yang mendukung diperlukan oleh keluarga untuk tetap

melakukan perawatan terhadap pasien skizofrenia sesuai dengan anjuran

tenaga kesehatan.
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan

Skizofrenia di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta, maka dapat disimpulkan

bahwa :

7.1.1 Tidak ada hubungan antara faktor umur dengan perilaku keluarga dalam

merawat anggota keluarga dengan skizofrenia dengan nilai p value= 0,555

(p < alpha 5%).

7.1.2 Terdapat hubungan antara faktor pendidikan dengan perilaku keluarga

dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia dengan nilai p value

0,009 (p < alpha 5%).

7.1.3 Terdapat hubungan antara faktor pekerjaan dengan perilaku keluarga dalam

merawat anggota keluarga dengan skizofrenia dengan nilai p value 0,002 (p

< alpha 5%).

7.1.4 Terdapat hubungan antara faktor pengetahuan dengan perilaku keluarga

dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia dengan nilai p value

0,000 (p < alpha 5%).

7.1.5 Terdapat hubungan antara faktor sikap dengan perilaku keluarga dalam

merawat anggota keluarga dengan skizofrenia dengan nilai p value 0,021 (p

< alpha 5%).

78
79

7.1.6 Terdapat hubungan antara faktor jarak dengan fasilitas layanan kesehatan

jiwa dengan perilaku keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan

skizofrenia dengan nilai p value 0,002 (p < alpha 5%).

7.1.7 Terdapat hubungan antara faktor biaya jaminan kesehatan dengan perilaku

keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia dengan nilai

p value 0,006 (p < alpha 5%).

7.1.8 Terdapat hubungan antara faktor pendidikan kesehatan oleh petugas

kesehatan dengan perilaku keluarga dalam merawat anggota keluarga

dengan skizofrenia dengan nilai p value 0,001 (p < alpha 5%).

7.1.9 Terdapat hubungan antara dukungan lingkungan dengan perilaku keluarga

dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia dengan nilai p value

0,003 (p < alpha 5%).

7.2 Saran

7.2.1 RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membuat

dan menetapkan kebijakan dalam pemberian asuhan keperawatan

kepada keluarga, tidak hanya pada pasien dengan skizofrenia tetapi

semua gangguan jiwa.

2. Perlu ditingkatkan kemampuan petugas dalam penyuluhan (pendidikan

kesehatan) tentang perawatan skizofrenia.

3. Dalam meningkatkan kebutuhan ukungan keluarga dalam bentuk

perilaku perawatan pasien dengan skizofrenia, perlu dilaksanakan dan


80

diprogramkan jadwal kegiatan pendidikan kesehatan jiwa pada

keluarga yang selama ini belum ada, difokuskan pada kegiatan

promotif dan preventif. Kegiatan promosi kesehatan dtujukan pada

keluarga yang terjun langsung merawat anggota keluarga dengan

skizofrenia, bentuk kegiatan pada saat keluarga pasien kunjungan ke

poliklinik diberikan pendidikan kesehatan dan dibagikan leflet.

7.2.2 Bagi Fakultas Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi

Universitas Muhammadiyah Jakarta khususnya prodi Keperawatan sebagai

referensi atau tambahan informasi dalam kegiatan pembelajaran

keperawatan jiwa dan keperawatan komunitas tentang perawatan pasien

skizofrenia.

7.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk

melakukan penelitian berikutnya dan dalam penelitian selanjutnya

diharapkan melakukan penambahan variabel lain seperti faktor dukungan

tenaga kesehatan maupun dukungan tokoh masyarakat ataupun mengganti

rancangan penelitiannya. Selain itu diharapkan penelitian ini selanjutnya

tidak hanya melakukan analisa bivariat tetapi sampai multivariat untuk

mengetahui faktor yang dominan yang berhubungan dengan perilaku

keluarga dalam merawat pasien dengan skizofrenia.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zaidin, (2009). Pengantar Keperawatan Keluarga, Jakarta: EGC.

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic Criteria From DSM-IV-TR.


Arlington: American Psychiatric Publishing.

American Psychiatric Association. (2004). Treating Schizophrenia A Quick Reference


Guide. Arlington: American Psychiatric Publishing.

Arikunto, S, (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka


Cipta.

Azwar, S. (2010). Sikap Manusia : Teori dan Pengukuran. Yogyakarta : Liberty

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar.


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Bengston, M. (2014, Februari 4). Overview of Treatment for Schizophrenia. Dipetik


December 12, 2014, dari Psych Central: http://psychcentral.com/lib/helpful-
hints-about-schizophrenia-for-family-members-and-others/000706

Berzins, M. Y., & Addington, D. (2007). Development of an Early Psychosis Public


Education Program Using the PRECEDE–PROCEED Model. Health
Education Research Vol.22 no.5 2007, 639–647.

Boyd, M. A. (2004). Psychiatric Nursing: Contemporary Practice. Philadelphia:


Lippincott Williams &Wilkins.

Dharma, Kusuma Kelana (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan : Panduan


Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta: Trans Infomedia.

Depkes, RI. (2010). Riskesdas Tahun 2010. http://www.litbang.depkes.go.id.

Djarwanto. 2003. Statistik Nonparametik. BPFE. Yogyakarta.

Duckworth, K. (2013, April). What is Schizophrenia? Diambil kembali dari National


Alliance on Mental Illness Schizophrenia Fact Sheet:
http://www.nami.org/factsheets/schizophrenia_factsheet.pdf

81
82

Eka, R.P (2014). Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Keluarga (Caregiver)


Dalam Mengasuh Anggota Keluarga Yang Mengalami Skizofrenia Paranoid
Pasca Perawatan Di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Thesis. Magister Promosi Kesehatan. Semarang : UNDIP.

Hariyadi, (2003), Psikologi Perkembangan. Semarang : UPT UNNES Press

Hastono, S. P. (2006). Analisis Data. Depok: Universitas Indonesia.

Hidayat, Alimul Aziz, (2007). Metode Penelitian Kebidanan Dan Tehnik Analisis
Data. Surabaya: Salemba

Hilton, P. R. (2004). SPSS Explained. Routledg: East Sussex.

James, S. R., Nelson, K. A., & Ashwill, J. W. (2013). Nursing Care of Children
Principles & Practice, 4th edition. St. Louis, Missouri: Elsevier.

Keliat, B.A., Akemat, (2010). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.


Jakarta: EGC.

Keliat, B.A., Helena, N., Nurhaeni, (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas
(CMHN Basic Course). Jakarta: EGC.

Kementerian Kesehatan RI . (2009). Undang-Undang No. 36 tentang Kesehatan.


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Notoatmodjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rhineka Cipta.


Salemba Medika

Notoatmodjo, S,(2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta: Rineka


Cipta.

Notoatmodjo, S, (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan


Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan Edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika.

Rainsch, S. (2004). Dynamic Strategic Analysis: Demystifying Simple Success


Strategies. Wiesbaden: Deutscher Universitasts-Verlag.

Republik Indonesia. (1966). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun


1966 tentang Kesehatan Jiwa. Jakarta: Republik Indonesia.
83

Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun


2014 tentang Kesehatan Jiwa. Jakarta: Republik Indonesia.

Riyanto, (2009). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha


Medika.

Rosland, Ann Marie, (2009). Sharing The Care: The Role of Family in Chronic
Illness. Oakland: California Healthcare Foundation.

Schneider-Axmann, T, K., M, M., N, M., R, T., I, D., et al. (2006). Relation between
Cerebrospinal Fluid, Gray Matter and White Matter Changes in Families with
Schizophrenia. J Psychiatr Res, 646-655.

Smith, M. B. (2006). Helpful Hints about Schizophrenia for Family Members and
Others. Dipetik September 29, 2014, dari Psych Central:
http://psychcentral.com/lib/helpful-hints-about-schizophrenia-for-family-
members-and-others/000706

Smith, M., & Segal, J. (2014, December). Schizophrenia Treatment and Recovery
Getting the Help and Support You Need. Dipetik December 2014, dari
Helpguide.org:
http://www.helpguide.org/articles/schizophrenia/schizophrenia-treatment-and-
recovery.htm

Sugiono, (2006). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.


Bandung:Alfabeta.

U.S. Department of Health and Human Services. (2013). Results from the 2012
National Survey on Drug Use and Health: Mental Health Findings. Rockville,
MD: Substance Abuse and Mental Health Services Administration.

Videbeck, S. L. (2011). Psychiatric Mental Health Nursing 5th Ed. Philadelphia:


Wolters Kluwer Health|Lippincott Williams & Wilkins.

Work Group for Community Health and Development. (2014). An Overview of the
Community Tool Box and Frameworks for Guiding, Supporting and
Evaluating the Work of Community and System Change. Dipetik September
2014, dari Community Tool Box: http://ctb.ku.edu/en/table-
contents/overview/other-models-promoting-community-health-and-
development/preceder-proceder/main

World Federation for Mental Health. (2014). World Mental Health Day 2014: Living
with Schizophrenia. Occoquan: World Federation for Mental Health.
84

World Health Organization. (2008). mhGAP : Mental Health Gap Action Programme
: Scaling up Care for Mental, Neurological and Substance Use Disorders.
France: WHO Press.

World Health Organization. (2014, November). Schizophrenia: What is


Schizophrenia? Dipetik November 2014, dari Mental Health:
http://www.who.int/mental_health/management/schizophrenia/en
Lampiran 1

PERMOHONAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth,
Calon Responden
Di Tempat

Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Moliddia Prihatinnia Suska


NPM : 2013727027

Adalah Mahawiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan dan
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta. Yang akan melakukan penelitian
dengan judul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Keluarga Dalam
Merawat Anggota Keluarga Dengan Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr.
Soeharto Heerdjan Jakarta Tahun 2015”. Bersama ini saya mohon Bapak/Ibu
untuk kesediaannya menjadi responden dan menandatangani lembar persetujuan,
serta menjawab seluruh pertanyaan dalam lembar kuesioner sesuai dengan petunjuk
yang ada. Saya selaku peneliti akan merahasiakan identitas dan jawaban Bapak/Ibu
untuk menjadi responden dalam penelitian yang saya lakukan. Bersama ini saya akan
melampirkan surat persetujuan menjadi responden.
Atas partisipasi dan bantuan saudara saya ucapkan terima kasih.

Jakarta, Februari 2015

Hormat saya,

Moliddia Prihatinnia Suska


Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

Saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama :

Hubungan Keluarga :

Alamat :

Menyatakan setuju menjadi responden alam penelitian Mahasiswa Universitas


Muhammadiyah Jakarta dalam meningkatkan dan mengembangkan Ilmu
Pengetahuan, tanpa ada paksaan atau tekanan dalam mengisi questioner (pertanyaan)
yang diajukan, dan menjawabnya dengan jujur dan benar.

Saya menyatakan bahwa saya telah diberikan penjelasan dan kesempatan untuk
bertanya tentang penelitian, sebelum saya menyetujui untuk menjadi responden
dalam penelitian ini.

Yang menyatakan,

_______________
tanda tangan di sini
Lampiran 3

Kode

KUESIONER
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERILAKU KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN SKIZOFRENIA

BAGIAN A: KARAKTERISTIK SOSIODEMOGRAFI


Petunjuk Pengisian:
1. Isilah dalam kolom sesuai pertanyaan
2. Beri tanda () pada pilihan
1. Usia ………..th
2. Pendidikan Formal  SD
 SMP
 SMA
 PT
 Tidak sekolah
3. Pekerjaan  Pegawai Negeri
 Pegawai Swasta
 Wiraswasta
 Buruh
 Ibu Rumah Tangga
 Tidak bekerja
4. Jarak dari tempat tinggal ke pelayanan kesehatan jiwa
Menurut bapak/ibu jarak tersebut termasuk:
 Jauh
 Dekat
5. Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan pasien di rumah sakit
 Umum/Pribadi/BPJS Non PBI
 BPJS PBI
6. Apakah pernah diberikan pendidikan kesehatan jiwa oleh petugas
kesehatan?
 Pernah
 Tidak pernah
9. Apakah lingkungan memberikan dukungan untuk perawatan pasien?
 Mendukung

 Tidak mendukung
BAGIAN B: PENGETAHUAN
Petunjuk Pengisian:
Beri tanda () pada kolom ya atau tidak, sesuai dengan pilihan anda

No Pernyataan Benar Salah


1. Skizofrenia adalah penyakit otak yang mengganggu
pikiran, emosi dan perilaku seseorang

2. Gejala skizofrenia antara lain waham dan halusinasi

3. Gejala lain skizofrenia yang diamati kurang minat,


menarik diri dari lingkungan sosial

4. Salah-satu faktor yang menyebabkan Skizofrenia


adalah keturunan

5. Obat ditujukan untuk menurunkan gejala skizofrenia


yaitu waham dan halusinasi

6. Terapi pada pasien skizofrenia bersifat mendukung


dan memberi kesempatan pasien untuk melakukan
hubungan sosial

7. Terapi pemeliharaan biasanya pasien diberikan injeksi


setiap bulan, efeknya hilang 2-4 minggu.

8. Terapi pada kelompok berfokus pada bagaimana


menggunakan obat

9. Meskipun pasien diberikan injeksi setiap bulan, tetap


harus mengawasi terjadinya gejala halusinasi dan
waham. Tidak bisa terlalu tergantung pada pemberian
injeksi obat.

10. Terapi kelompok dimaksudkan supaya pasien dapat


memiliki hubungan bermakna dengan orang lain
BAGIAN C: SIKAP
Petunjuk Pengisian:
Pilihlah Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) atau Sangat Tidak
Setuju (STS) untuk setiap pernyataan berikut ini yang sesuai dengan sikap anda
saat ini terhadap anggota keluarga anda yang mengalami skizofrenia. Berilah
tanda silang () pada kolom yang sesuai dengan jawaban.

No Pernyataan Sikap SS S TS STS


1. Saya memahami perilakunya

2. Saya mengajak bicara meskipun sering tidak


nyambung

3. Saya senang jika ia mengajak saya bicara

4. Saya menanggapi jika ia bercerita

5. Saya mengawasi perilakunya

6. Saya tidak merasa terbebani dengan


kekambuhannya

7. Saya merasa kasihan dengan apa yang


dialaminya

8. Saya tahu harus berbuat apa jika ia kambuh

9. Saya bersemangat dalam merawatnya

10. Saya mendampinginya saat ada masalah


pribadi
BAGIAN D: PERILAKU KELUARGA DALAM MERAWAT
Petunjuk Pengisian:
Beri tanda () pada kolom ya atau tidak, sesuai dengan peran anda dalam merawat
anggota keluarga dengan skizofrenia

No Pernyataan Ya Tidak
1. Keluarga mengenali perilaku atau ungkapan aneh, atau
gejala-gejala dini yang muncul saat pasien mulai
kambuh.

2. Keluarga memastikan pasien skizofrenia melanjutkan


terapi setelah hospitalisasi/dirawat.

3. Mendukung pasien untuk melanjutkan terapi dan


membantu dalam prosesnya akan memberikan
pengaruh positif pada pemulihan.

4. Dalam menghadapi anggota keluarga dengan


halusinasi: keluarga dapat mengatakan pada pasien
bahwa mereka tidak melihat hal yang sama atau tidak
setuju dengan pendapatnya, namun tetap mengakui
bahwa hal-hal tersebut nampak nyata bagi pasien.

5. Dalam menghadapi anggota keluarga dengan waham,


lakukan pembicaraan pada topik yang disepakati
bersama.

6. Keluarga membuat catatan dengan baik mengenai tipe


gejala yang biasanya muncul, obat-obatan yang
digunakan (termasuk dosisnya), dan efek terapi yang
dialami.

7. Dengan mengenali gejala yang muncul sebelumnya,


anggota keluarga dapat mengetahui apa yang harus
dilakukan jika kambuh.

8. Keluarga mendeteksi “gejala awal” terhadap


kekambuhan, seperti mulai menarik diri atau gangguan
tidur untuk mencegah kekambuhan.

9. Keluarga mengetahui obat apa yang membantu atau


yang menimbulkan efek samping sebelumnya.
No Pernyataan Ya Tidak
10. Keluarga memberikan dukungan dan dorongan bagi
pasien skizofrenia untuk memperoleh kembali
kemampuannya

11. Keluarga tidak terus-menerus mengkrtitik perilaku


anggota keluarga dengan skizofrenia karena dapat
mengalami stress yang dapat menyebabkan
perburukan kondisi.

12. Keluarga melibatkan dan terus memotivasi anggota


keluarga dengan skizofrenia dalam kegiatan sehari-
hari di rumah dan mayarakat.

13. Keluarga melakukan pendekatan yang positif untuk


membantu anggota keluarga dengan skizofrenia,
contohnya memberikan pujian jika mereka melakukan
sesuatu dengan baik atau benar.

14. Keluarga memberikan dukungan lingkungan yang


disesuaikan seperti kalender, alat kebersihan dan
tempat obat, dll.

Anda mungkin juga menyukai