Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Fraktur
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab
terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga
dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Setyarini, 2013). Fraktur adalah suatu
patahan pada kontinuitas struktur tulang berupa retakan, pengisutan ataupun patahan
yang lengkap dengan fragmen tulang bergeser (Apley,1995).
B. Epidermiologi fraktur (Novelandi, 2010)
1. Frekuensi
Fraktur lebih sering terjadi pada laki laki daripada perempuan dengan umur
dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau luka
yang disebabkan oleh kendaraan bermotor. Mobilisasi yang lebih banyak dilakukan
oleh laki laki menjadi penyebab tingginya risiko fraktur. Sedangkan pada orang tua,
perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan
dengan meningkatnya insidens osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon
pada menopause.
Tahun 2001, di Amerika Serikat terdapat lebih dari 135.000 kasus cedera yang
disebabkan olahraga papan selancar dan skuter. Dimana kasus cedera terbanyak
adalah fraktur 39% yang sebagian besar penderitanya laki laki dengan umur di
bawah 15 tahun.27 Di Indonesia, jumlah kasus fraktur yang disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas 4 kali lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan.
2. Waktu dan tempat
Di negara maju, masalah patah tulang pangkal paha atau tulang panggul
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mendapat perhatian serius karena
dampak yang ditimbulkan bisa mengakibatkan ketidakmampuan penderita dalam
beraktivitas. Menurut penelitian Institut Kedokteran Garvan tahun 2000 di Australia

setiap tahun diperkirakan 20.000 wanita mengalami keretakan tulang panggul dan
dalam setahun satu diantaranya akan meninggal karena komplikasi.
Di negara negara Afrika kasus fraktur lebih banyak terjadi pada wanita
karena peristiwa terjatuh berhubungan dengan penyakit Osteoporosis. Di Kamerun
pada tahun 2003, perbandingan insidens fraktur pada kelompok umur 50 64 tahun
yaitu, pria 4,2 per 100.000 penduduk, wanita 5,4 per 100.000 penduduk. Angka yang
lebih tinggi di Maroko pada tahun 2005 insidens fraktur pada pria 43,7 per 100.000
penduduk dan wanita 52 per 100.000 penduduk. Di Indonesia jumlah kasus fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas meningkat seiring pesatnya peningkatan jumlah pemakai
kendaraan bermotor. Berdasarkan laporan penelitian dari Depkes RI tahun 2000, di
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung terdapat penderita fraktur akibat kecelakaan
lalu lintas sebanyak 444 orang.
C. Kelainan Penyembuhan Fraktur (Rasjad, 2007)
Tulang memperlihatkan kemudahan penyembuhan yang besar tetapi dapat
terjadi sejumlah penyulit atau terdapat kelainan dalam proses penyembuhan.
1. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas,
angulasi atau pergeseran.
2. Delayed Union
Keadaan ini umum terjadi dan disebabkan oleh banyak faktor, pada umumnya banyak
diantaranya mempunyai gambaran hiperemia dan dekalsifikasi yang terus menerus.
Faktor yang menyebabkan penyatuan tulang tertunda antara lain karena infeksi,
terdapat benda asing, fragmen tulang mati, imobilisasi yang tidak adekuat, distraksi,
avaskularitas, fraktur patologik, gangguan gizi dan metabolik.
3. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang kadang
dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor faktor yang dapat menyebabkan

non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan
lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
D. Penatalaksanaan Fraktur (Rasjad, 2007)
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi fraktur (setting tulang) berarti
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi
terbuka, traksi, atau reduksi tertutup dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode
tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap
sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan pendarahan.
Sebelum reduksi dan imobilasasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk
menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika
diberikan sesuai ketentuan. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang di reduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat di gunakan untuk mempertahankan
fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini
dapat diletakkan di sisi tulang atau di pasang melalui fragmen tulang langsung ke rongga
sumsum tulang. Alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen
tulang.
Imobilisasi fraktur setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,
atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna
untuk mengimobilisasi fraktur.
E. Pengertian Implan (Iskandar, 2008)
Pengertian secara umum suatu implan adalah merupakan wahana yang
ditempatkan secara tepat dalam jaringan tubuh untuk tujuan tertentu. Penanaman implan
dimaksudkan untuk mengganti fungsi jaringan/organ tubuh yang sudah tidak berfungsi
lagi. pada implan biokeramik aktif yang diberikan pada kasus patah tulang, implan akan
bereaksi atau teresorbsi dan terjadi jaringan penyembuhan serta pembentukan tulang

Baru. Material yang kontak dengan jaringan terutama yang kontak langsung dengan
jaringan lunak dan cairan jaringan harus mempunyai sifat biokompatibilitas
tinggi.Biokompatibel tidak mesti harus "inert' tetapi terjadi reaksi respon positip sesuai
dengan tujuan pemberian implan. Pada implantasi bahan bioaktif keramik ada bahan yang
membentuk jaringan apatit atau ada yang teresorbsi oleh darah dan diganti dengan
jaringan penyembuhan. Uji yang diperlukan untuk mencoba keamanan dan efektivitas
bahan implan telah mengfhabiskan banyak waktu, biaya dan material, namun material
yang benar-benar telah teruji keaamanan dan efektivitasnya masih dalam jumlah relatif
kecil. Penggunaan dan pemilihan jenis bahan implan sangat tergantung pada tujuan
perawatan.
Pada waktu yang lalu, patah tulang ditangani dengan teknik konservatif berupa
pemasangan gips. Hasil konservatif tersebut banyak menimbulkan masalah, berupa
ketidaknyamanan penderita, kekakuan sendi, dan disuse atrophy otot. Selain itu pada
awal operasi orthopaedi dengan fiksasi interna menimbulkan beberapa masalah berupa
nonunion, delayed union, metal fatique.
Pada tahun 1958, group Arbeitsgemeinschaft fr Osteosynthesefragen (AO) atau
The Association for the Study of Internal Fixation (ASIF) mempelajari secara mendalam
teknik pemasangan fiksasi internal yang rigid. Hasil pengkajian group AO tersebut
merupakan acuan para orthopaedist di dunia. Ada dua pokok dasar AO yaitu:
1. Tulang yang patah harus dikembalikan bentuknya seperti semula (anatomic
reduction)
2. Untuk mencapai penyembuhan tulang mutlak diperlukan stabilisasi yang rigid berupa
kompresi
Sistem kompresi diutamakan guna mendapatkan penyembuhan tulang secara
primer (primary bone healing). Primary bone healing adalah penyembuhan tulang dari
dalam medula tulang (endosteal) dan pembentukan osteon akibat kompresi antara dua
permukaan fragmen tulang. Pada sistem kompresi, pembentukan bayangan kallus di
daerah patah tidak akan terlihat pada x-ray.
Teknik AO berupa sayatan kutis-subkutis sepanjang plate yang akan dipasang dan
melakukan pembedahan pada otot yang menutupi tulang. Cara tersebut diperlukan untuk

mendapatkan lapangan operasi yang cukup luas dengan tujuan untuk melakukan reposisi
tulang secara anatomis.
Pada kasus dengan fragmen tulang berkeping-keping (comminutive) diperlukan
teknik lag screw guna mendapatkan bentuk anatomi fragmen yang patah dan
mendapatkan stabilisasi yang rigid dengan system kompresi.
Teknik konvensional itu menyebabkan banyak kerusakan pada jaringan sekitar
fragmen tulang yang patah baik kutissubkutis, otot dan pembuluh darah sekitar
periosteum yang semua itu akan menyebabkan komplikasi berupa delayed Upaya
Mandiri di Bidang Orthopaedi union atau non union. Untuk mencegah terjadinya
komplikasi tersebut pada kasus fraktur comminutive setelah dipasang lag screw, perlu
ditambah dengan cancellous bone graft (primary bone graft). Pada tahun 1997 Christian
Krettek et al menerbitkan hasil penelitiannya yang sudah dirintis sejak tahun 1990.
Krettek et al menciptakan teknik baru pemasangan fiksasi interna yang disebut teknik
Minimal Invasive Plate Osteosynthesis (MIPO). Teknik tersebut bertujuan untuk
memperbaiki kelemahan teknik konvensional. Prinsip dasar MIPO ialah:
1. Reposisi tulang yang patah tidak perlu mencapai bentuk se-anatomis mungkin
2. Fiksasi fragmen tidak perlu dengan lag screw, karena pada teknik MIPO tidak
memerlukan teknik stabilisasi yang rigid dengan cara kompresi.
Pemasangan plate pada tulang yang patah berfungsi sebagai biologic plate
(bridging plate). Tujuan teknik MIPO adalah memberikan kesempatan fragmen tulang
yang patah untuk sembuh secara sekunder (secondary bone healing). Proses
penyembuhan tersebut tidak berbeda dengan proses klasik pada pengobatan konservatif
(reposisi dan pemasangan immobilisasi dengan gips) yaitu proses penyembuhan harus
melewati tahapan berupa hematoma, proliterasi, osteoblast, pembentukan kallus,
konsolidasi, dan remodeling.
Pada teknik MIPO potensi untuk sembuh secara sekunder sangat besar, karena
dapat menghindari kerusakan jaringan kutis, subkutis, otot dan sistem vaskularisasi
sekitar periosteum di daerah patah. Hal tersebut dimungkinkan karena pada teknik MIPO
sayatan kutis-subkutis dan otot-otot dibuat seminimal mungkin dan pemasangan plate
dipasang menyusup melalui terowongan yang dibuat di bawah fasia otot dan di atas

periosteum tulang. Dengan teknik tersebut, mudah dimengerti kalau sistem vaskular di
daerah patah tulang terhindar dari kerusakan.
Kerusakan sistem vaskuler di daerah tulang yang patah setelah dilakukan operasi
dengan sistem konvensional atau sistem MIPO telah dibuktikan oleh Krettek et al pada
eksperimennya pada tulang femur dari kadaver yang semasa hidupnya telah dilakukan
operasi pemasangan plate dan screw secara konvensional dan secara MIPO. Dari hasil
eksperimen tersebut didapatkan dari 10 kadaver yang dioperasi dengan teknik MIPO
tidak satupun didapatkan kerusakan pada arteri perforantes. Pada 10 kadaver yang
dioperasi dengan teknik konvensional pada femurnya didapatkan 80% kerusakan pada
arteri perforantes sedangkan pada irisan longitudinal tulang femur didapat vaskularisasi
di daerah medula tulang pada sistem MIPO semuanya terlihat baik. Vaskularisasi pada
periosteum pada teknik MIPO 100% masih baik sedangkan pada teknik konvensional
hanya 40% vaskularisasi periosteum yang dapat dinyatakan baik. Dewasa ini teknik
MIPO telah berkembang di seluruh dunia, implant yang digunakan masih implant
konvensional dari AO seperti:
1. Dynamic Hip Screw (DHS) digunakan untuk fiksasi interna pada fraktur
subtrokhanter femur

Gambar 2.1. Dynamic Hip Screw

2. Condylar Buttress plate dan Dynamic Condylar Screw (DCS) untuk fiksasi interna
pada fraktur suprakondiler atau interkondiler femur

Gambar 2.2 Dynamic Condylar Screw


3. Broad plate dan narrow plate digunakan pada fiksasi interna pada tulang femur atau
tulang tibia

Gambar 2.3 Broad and Narrow Plate


Sejalan dengan perkembangan teknik MIPO dalam beberapa tahun terakhir telah
dikembangkan implant yang mudah digunakan untuk menyusup di bawah fasia otot serta
tidak merusak periosteum tulang. Implant yang disyaratkan tersebut dapat dipenuhi
dengan menggunakan sistem interlock, yang dinamakan Less Invasive Stabilization
System (LISS). Sistemnya berupa plate dengan screw yang digabung menjadi satu
kesatuan dengan teknik interlock antara plate dengan screw.
Melihat fungsinya, LISS dapat digolongkan sebagai periartikular plate yang
sangat bermanfaat sebagai implant pilihan utama dalam mengatasi fraktur comminutive
di daerah persendian besar seperti fraktur suprakondiler femur, interkondiler femur,
fraktur comminutive, tibia plateau, apalagi bila garis frakturnya berada 3 cm di atas
permukaan sendi. Untuk tulang panjang seperti femur dan tibia, implant konvensional

berupa broad plate dan narrow plate dikembangkan menjadi interlock plate. RS Dr. Cipto
Mangunkusumo/FKUI sejak tahun 1999 telah melakukan operasi secara rutin dengan
teknik MIPO. Untuk mengatasi fraktur di daerah sendi digunakan implant lokal yang
disebut clover plate (plate daun waru) yang termasuk golongan periarticular plate.
Implant lokal dengan teknik pemasangan MIPO banyak memberikan keuntungan
diantaranya dapat mengurangi biaya operasi dan sangat membantu untuk mengikuti
perkembangan kemajuan operasi orthopaedi di dunia dewasa ini.
Beberapa contoh implant karena perkembangan tekhnik MIPO :
1. Plate and Screw

Gambar 2.4 Plate and Screw


2. Interlock Plate

Gambar 2.5 Interlock Plate


3. Clover Plate

Gambar 2.6 Clover Plate


F. Implant Failure (Col AK Sharma dkk, 2006)
Implant failure atau kegagalan pada implant, merupakan hal yang mungkin terjadi
pada setiap pasien yang telah menjalani operasi pemasangan implant. Terjadinya implant
failure bisa disebabkan oleh faktor teknis dan non teknis, bisa disebabkan oleh implant itu
sendiri dan pasien itu sendiri. Cacat pabrik pada implant serta kesalahan dalam memilih
implant pada saat prosedur operasi dilakukan merupakan penyebab terjadinya implant
failure yang dikarenakan oleh implant itu sendiri Selain itu aktifitas berlebih dan
menyebabkan fatigue tulang juga berkontribusi terhadap terjadinya implant failure.
Delayed union atau penyambungan tulang yang mengalami penundaan merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan terjadinya implant failure. Keadaan ini umum terjadi dan
disebabkan oleh banyak faktor, pada umumnya banyak diantaranya mempunyai
gambaran hiperemia dan dekalsifikasi yang terus menerus. Faktor yang menyebabkan
penyatuan tulang tertunda antara lain karena infeksi, terdapat benda asing, fragmen
tulang mati, imobilisasi yang tidak adekuat, distraksi, avaskularitas, fraktur patologik,
gangguan gizi dan metabolic.

Daftar Pustaka
1. Setyarini, lia.2013. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
(KKMP) Pada Pasien Fraktur Multipel di RSUD Fatmawati. Fakultas Ilmu Keperawatan Depok.
Depok : Karya Ilmiah
2. Apley, A , Graham, Solomon Luis. 1995.Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley.
Ahli Bahasa Edi Nugroho.Edisi ke-7 Jakarta : EGC.
3. Iskandar, Djoko Simbardjo. 2008.Upaya Mandiri di Bidang Orthopaedi Khusus
Seksi Traumatologi dan Rekonstruksi di Era Globalisasi. Departemen Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: halaman 64-65
4. Novelandi, Roby. 2010. Karakteristik Penderita Fraktur Rawat Inap Di RSUD
Dr. PIRNGADI Medan Tahun 2009. Medan : Skripsi
5. Col AK Sharma, Maj Gen Ashok Kumar, Lt Col GR Josh, Dr John T John. 2006.
Retrospective Study of Implant Failure in Orthopaedic Surgery. MJAFI ; 62 :
70-72

6. Rasjad, C. 2007. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif
Watampone. Makassar: pp. 352-489

Anda mungkin juga menyukai