Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
General anesthesia atau anestesi umum merupakan suatu tindakan
yang bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar dan
menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan dapat diprediksi,
anestesi umum menyebabkan hilangnya ingatan saat dilakukan pembiusan
dan operasi sehingga saat pasien sadar pasien tidak mengingat peristiwa
pembedahan yang dilakukan (Pramono, 2014). Metode atau teknik anestesi
umum dibagi menjadi 3 yaitu teknik anestesi umum inhalasi, anestesi
umum intravena dan anestesi umum imbang (Mangku dan Senapathi,
2010).
Pemberian anestesi umum dengan teknik inhalasi, intravena maupun
imbang mempunyai risiko komplikasi pada pasien. Kematian merupakan
risiko komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pasca pemberian anestesi.
Kematian yang disebabkan anestesi umum terjadi < 1:100.000 kasus,
selain kematian ada komplikasi lain yaitu serangan jantung, infeksi paru,
stroke, trauma pada gigi atau lidah (Pramono, 2014).
Cholelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus.
Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam
kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa
unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu. Batu empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam
kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran
empedu disebut koledokolitiasis (Nucleus Precise Newsletter, edisi 72,
2011).
Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive
dengan memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk
membuat ruang antara dinding depan perut dan organ viscera, sehingga
memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut.Teknik
1
laparoskopi atau pembedahan minimally invasive diperkirakan menjadi
trend bedah masa depan.
Di Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-
an ketika tim dari RS Cedar Sinai California AS mengadakan live demo di
RS Husada Jakarta. Selang setahun kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari
RS Cipto Mangunkusumo melakukan operasi laparoskopi pengangkatan
batu dan kantung empedu (Laparoscopic Cholecystectomy) yang pertama.
Sejak 1997, Laparoscopic Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk
penyakit-penyakit kantung empedu di beberapa rumah sakit besar di
Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia.
B. Tujuan
a. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam pembuatan laporan kasus ini adalah untuk
memenuhi tugas pelatihan dasar anestesi.
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khususnya adalah sebagai berikut:
1. Peserta pelatihan memahami pengertian anestesi secara umum
2. Peserta pelatihan memahami pengertian general anestesi
3. Peserta pelatihan memahami pengertian metode operasi
Laparascopy
4. Peserta pelatihan memahami tatalaksana pendampingan anestesi
dan pengelolaan pasien pada operasi Laparascopy
C. Manfaat
Manfaat dalam penulisan laporan kasus ini salah satunya adalah
sebagai dokumentasi tertulis dari apa yang sudah dilakukan di lapangan
yaitu Instalasi Kamar Bedah Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus.
Disamping itu, manfaat lainnya sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kemampuan menulis peserta pelatihan.

2
BAB II
A. ANESTESI UMUM (GENERAL ANESTESI)
1. Pengertian
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah
anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846 (Latief, 2009).
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang
sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa
menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Obat anestesi yang
diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang selanjutnya menyebar ke
jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan yang banyak
vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan rasa sakit
hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor respirasi,
sirkulasi, dan sifat fisik obat itu sendiri (Goodman dan Gilman, 2008).
2. Tujuan Anestesi Umum
Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi
otonom (Goodman dan Gilman, 2008).
3. Syarat, Kontraindikasi Dan Komplikasi Anestesi Umum
Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah (Purwanto, 2008) :
1. Memberi induksi yang halus dan cepat.
2. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
3. Timbulkan keadaan amnesia
4. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.
5. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk
tindakan operasi.
6. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO yang
berlangsung lama.
3
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi
kordis derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P).
Kontraindikasi Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110),
DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis dan GNA (Gunawan, 2007).
Sedangkan komplikasi kadang – kadang tidak terduga walaupun
tindakan anestesi telah dilakukan dengan sebaik – baiknya. Komplikasi dapat
dicetuskan oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi
dapat timbul pada waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan.
Komplikasi kardiovaskular berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang
dari 70 mmHg atau turun 25 % dari sebelumnya, hipertensi dimana terjadi
peningkatan tekanan darah pada periode induksi dan pemulihan anestesi.
Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada penyakit jantung
karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan – kebutuhan miokard yang
meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak
tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi,
tidak sadar , hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu tubuh
(Goodman dan Gilman, 2008).
4. Persiapan Untuk Anestesi Umum
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien
sebelum pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan,
dilakukan wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah
mendapat anestesi sebelumnya, adakah penyakit – penyakit sistemik, saluran
napas, dan alergi obat. Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan
pemeriksaan gigi – geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan
pendek. Perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai
dengan penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb,
leukosit, masa pendarahan, masa pembekuan), radiologi dan EKG (Goodman
dan Gilman, 2008).
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan
dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist
(ASA) (Goodman dan Gilman, 2008).
4
ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya: pasien
batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien
appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien
appendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus
obstrukstif dengan iskemia miokardium.
ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehidupannya. Contohnya: Pasien dengan syok atau
dekompensasi kordis.
ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi
atau tidak. Contohnya: pasien tua dengan perdarahan basis kranii
dan syok hemoragik karena ruptur hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE.
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi
lambung karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif,
pengosongan lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam,
bayi 3 – 4 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat
dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu
menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat)
atau antagonis reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam
keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk
dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi
izin pembedahan secara tertulis (informed concent) (Goodman dan Gilman,
2008).
Premedikasi sendiri ialah pemberian obat ½ - 1 jam sebelum induksi
anestesia dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesia, menghilangkan rasa khawatir, membuat amnesia, memberikan
5
analgesia dan mencegah muntah, menekan refleks yang tidak diharapkan,
mengurasi sekresi saliva dan saluran napas (Goodman dan Gilman, 2008).
Obat – obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain (Latief, 2009) :
 Gol. Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah,
antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ – organ dan
menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM bekerja
setelah 10 – 15 menit.
 Gol. Hipnotik – sedatif
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital) diberikan untuk sedasi
dan mengurangi kekhawatiran sebelum operasi.Obat ini dapat diberikan
secara oral atau IM. Dosis dewasa 100 – 200 mg, pada bayi dan anak
3–5mg/kgBB. Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak
diperpanjang dan efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan
dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah.
 Gol. Analgetik narkotik
Morfin. Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan
menjelang operasi. Dosis premedikasi dewasa 10 – 20 mg. Kerugian
penggunaan morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan
bronkus pada pasien asma, mual dan muntah pasca bedah ada.
Pethidin. Dosis premedikasi dewasa 25 – 100 mg IV. Diberikan untuk
menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos.
Pethidin juga berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca bedah.
 Gol. Transquilizer
Diazepam (Valium). Merupakan golongan benzodiazepine. Pemberian
dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis
premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM.
5. Metode Pemberian Anestesi Umum
Obat obat anestesi umum bisa diberikan melalui perenteral (Intravena,
Intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya digunakan pada bayi atau
anak-anak dalam bentuk suppositoria, tablet dan semprotan yang dimasukan
6
ke anus. Perinhalasi melalui isapan, pasien disuruh tarik nafas dalam
kemudian berikan anestesi perinhalasi secara perlahan (Latief, 2009).
6. Stadium Anestesi
Menurut Goodman dan Gilman (2008) tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium
yaitu stadium pertama berupa analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai
respirasi teratur, stadium 3 dan stdium 4 sampai henti napas dan henti jantung.
1. Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian
zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih
dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).
Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar,
dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai
oleh hilangnya rekleks bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa
kita raba bulu mata).
2. Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) mulai dari akhir stadium I dan
ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan rekleks
cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi dan diakhiri dengan hilangnya rekleks menelan dan kelopak
mata.
3. Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya
pernapasan spontan, hilangnya rekleks kelopak mata dan dapat
digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah.
4. Stadium IV
Stadium ini ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian
akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien
meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti
terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.

7
7. Teknik Anestesi Umum
Teknik anestesi umum antara lain (Latief, 2009) :
1. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
 Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
 Keadaan umum baik (ASA I – II)
 Lambung harus kosong
Prosedur :
 Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
 Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
 Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang) efek sedasi/anti-anxiety : Benzodiazepine; analgesia: opioid,
non opioid, dan lain-lain.
 Induksi
 Pemeliharaan
2. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ETT=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi
lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil
dgn durasi singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:
S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope
T = Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed)

8
A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring
(nasofaring) yang digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
T = Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C = Connector. Penyambung pipa dan peralatan anestesia
S = Suction. Penyedot lendir dan ludah
3. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar-benar tidak bisa bernafas dan pasien
dikontrol pernafasannya dengan kita memberikan ventilasi 12-20
kalipermenit, mengatur Tidal Volume dan ventilasi sesuai Berat Badan
pasien pada mesin anestesi. Setelah operasi selesai pasien dirangsang
untuk mencari nafas pasien spondan, kemudian kita akhiri efek
anestesinya.
 Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
 Pemeliharaan dan obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.
8. Obat – Obat Dalam Anestesi Umum
Menurut Goodman dan Gilman (2008) jenis obat anestesi umum diberikan
dalam bentuk suntikan intravena atau inhalasi antara lain :
1. Anestetik intravena
 Penggunaan :
 Untuk induksi
 Obat tunggal pada operasi singkat
 Tambahan pada obat inhalasi lemah
 Tambahan pada regional anestesi
 Sedasi
 Cara pemberian :
 Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat
 Suntikan berulang (intermiten)
 Diteteskan perinfus
9
Obat anestetik intravena meliputi :
 Benzodiazepine
Sifat : hipnotik – sedative, amnesia anterograd, atropine like effect,
pelemas otot ringan, cepat melewati barier plasenta.
Kontraindikasi : porfiria dan hamil.
Dosis : Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi :
0,15 – 0,45 mg/kg IV.
 Propofol
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting. Propofol
dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan pemberian
barbiturat secara intravena, dan waktu pemulihan yang lebih cepat.
Dosis : 2 – 2,5 mg/kg IV.
 Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaesthetic.
Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian jalan
napas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien resiko
tinggi dan asma. Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2 mg/kgBB
dan pada pemberian IM 3 – 10 mg/kgBB.
 Thiopentone Sodium
Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan dalam
air menjadi larutan 2,5% atau 5%. Indikasi pemberian thiopental adalah
induksi anestesi umum, operasi singkat, sedasi anestesi regional, dan
untuk mengatasi kejang. Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak
ada iritasi mukosa jalan napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.
2. Anestetik inhalasi
a) N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya
tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan
penguapan pada suhu kamar ± 50 atmosfir. N2O mempunyai efek
analgesik yang baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen
10
efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk
mendapatkan efek analgesic maksimum ± 35%. Gas ini sering
digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu
kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi
kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi untuk
mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan
secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada saat proses
persalinan dan pencabutan gigi. N2O digunakan secara umum untuk
anestetik umum dalam kombinasi dengan zat lain (Goodman dan
Gilman, 2008).
b) Halotan
Halotan merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak
mudah terbakar dan tidak mudah meledak meskipun dicampur
dengan oksigen. Halotan bereaksi dengan perak, tembaga, baja,
magnesium, aluminium, brom, karet dan plastic. Karet larut dalam
halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga
pemberian obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec.
Efek analgesic halotan lemah tetapi relaksasi otot yang
ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit
untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4
volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume
(Goodman dan Gilman, 2008).
c) Isofluran
Isofluran merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar.
Secara kimiawi mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi
berbeda. Isofluran berbau tajam sehingga membatasi kadar obat
dalam udara yang dihisap oleh penderita karena penderita menahan
nafas dan batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik stadium
induksi dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan
bersama N2O dan O2. Isofluran merelaksasi otot sehingga baik
untuk intubasi. Tendensi timbul aritmia amat kecil sebab isofluran
11
tidak menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin.
Peningkatan frekuensi nadi dan takikardia dihilangkan dengan
pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg
morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia
diatasi terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi dengan
mengatur dosis. Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak
terjadi perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran. Isofluran
meningkatkan aliran darah otak pada kadar lebih dari 1,1 MAC
(minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan tekanan
intracranial (Goodman dan Gilman, 2008).
d) Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang
paling disukai untuk induksi inhalasi (Goodman dan Gilman, 2008).
9. Skor Pemulihan Pasca Anestesi
Menurut Latief (2009) sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah
dilakukan operasi terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu
melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah
dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang
Recovery room (RR).
1. Aldrete Score
Nilai Warna
 Merah muda, 2
 Pucat, 1
 Sianosis, 0
Pernapasan
 Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
 Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
 Apnea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
 Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
 Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
12
 Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
 Sadar, siaga dan orientasi, 2
 Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
 Tidak berespons, 0
Aktivitas
 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
 Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
 Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8 maka penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

B. CHOLELITHIASIS
1. Anatomi dan Fisiologi
Anatomi Empedu

Normal Kolelitiasis
Gambar: 2.1 Anatomi Empedu
Sumber: Syaifuddin (2011)
Fisiologi Empedu
Kandung empedu merupakan sakus (kantong) yang berbentuk buah pir
dan melekat pada permukaan posterior hati oleh jaringan ikat. Kandung empedu
memiliki fundus atau ujung yang memanjang badan atau bagian utama, dan leher
yang bersambung dengan duktus sistikus. Kandung empedu memiliki lapisan
13
jaringan seperti struktur dasar saluran cerna dengan beberapa modifikasi (Elly
Nurachman, 2011)
Empedu dibentuk secara terus menurus oleh hepatosit dan dikumpulkan
dalam kanalikulus serta saluran empedu. Empedu terutama tersususn dari air dan
elektrolit, seperti natrium, kalium, kalsium, klorida serta bikarbonat, dan juga
mengandung dalam jumlah yang berarti beberapa substansi seperti lesitin,
kolesterol, bilirubin serta garam-garam empedu. Empedu dikumpulkan dan
disimpan dalam kandung empedu untuk kemudian dialirkan ke dalam intestinum
bila diperlukan bagi pencernaan (Arif muttaqin, 2011)
Setelah terjadi konyugasi atau pengikatan dengan asam-asam amino
(taurin dan glisilin), garam empedu diekskresikan ke dalam empedu. Bersama
dengan kolesterol dan lesitin, garam empedu diperlukan untuk emulsifikasi lemak
dalam intestinum. Proses ini penting untuk proses penceranaan dan penyerapan
yang efesien. Kemudian garam empedu akan diserap kembali, terutama dalam
ileum distal, ke dalam darah portal untuk kembali ke hati dan sekali lagi
diekresikan ke dalam empedu. Lintasan hepatosit-empedu-intestinum dan
kemblai lagi kepada hepatosit dinamakan sirkulasi enterohepatik (Arif muttaqin,
2011)
Akibat adanya sirkulasi enterohepatik, maka dari seluruh garam empedu
yang masuk kedalam intestinum, hanya sebagian kecil yang akan diekskresikan
ke dalam fases. Keadaan ini menurunkan kebutuhan terhadap sintesis aktif garam
empedu oleh sel-sel hati (Arif muttaqin, 2011)
Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang
panjangnya sekitar 10 cm, terletak sedikit dalam suatu fosa yang menegaskan
batas anatomi antara lobus hati kanan dan kiri. Kandung empedu mempunyai
fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung buntu
dari kandung empedu yang memanjang di atas tepi hati. Korpus merupakan
bagian terbesar dari kandung empedu.
Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu yang terletak
antara korpus dan daerah duktus sistika (Schwartz, 2009)

14
Infundibulum yang juga dikenal sebagai kantong hartman adalalah bulbus
diverticulum kecil yang terletak pada permukaan inferior dari kandung kemih,
yang secara klinis bermakna karena proksimitasnya terhadap duodenum dan
dapat terimpeksi ke dalamnya. Duktus sistikus menghubungkan kandung empedu
ke duktus koledokus. Katup spiral dari heister terletak di dalam duktus empedu.
Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri kristika, secara khas
merupakan cabang dari arteri hepatica kanan, tetapi asal dari arteri kristika
bervariasi. Segitiga calot dibentuk oleh arteri kistika, duktus koledekus, dan
duktus kistikus (Schwartz, 2009)
Drainase vena dari kandung empedu bervariasi, biasanya ke dalam cabang
kanan dan vena porta. Aliran limfe masuk secara langsung ke dalam hati dan juga
ke nodus – nodus di sepanjang permukaan vena porta. Saraf muncul dari aksis
seliak dan terletak disepanjang arterihepatika. Sensasi nyeri diperantarai oleh
serat visceral, simpatis. Rangsangan motoris untuk kontraksi kandung empadu
dibawa melalui cabang vagus dan ganglion seliaka. Saat dinding empedu
berkontraksi, empedu mengalir melalui duktus biliaris menuju duodenum serta
adanya kime asam dan lemak duodenum (Schwartz, 2009).
Kandung empedu terletak dibawah lobus kanan hati. Hati empedu masuk
ke saluran (kanalikuli) empedu yang terdapat di dalam hati. Kanalikuli empedu
tersebut kemudian bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar
dari hati yaitu duktus hepatikus kanan dan kiri dan bersatu menjadi duktus
menjadi duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan
duktus sistikus membentuk duktus koledokus. Sebagian besar, duktus koledokus
bersatu dengann duktus pankreatikus membentuk ampulla vateri sebelum
bermuara ke usus halus. Bagian akhir dari kedua saluran ampula dikelilingi oleh
sfingter (Lusianah 2010)
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan
empedu yang dihasilkan hati. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml
empedu. Pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorbsi air dan garam-
garam anorganik dalam kandung empedu sehingga cairan empedu lebih pekat 10
kali lipat daripada cairan empedu hati. Kandung empedu akan mengosongkan
15
isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi otot dan relaksasi sfingter oddi dan
dirangsang oleh masuknya kimus duodenum (Suratun 2010)
Lemak yang terdapat pada makanan juga merangsang kontraksi sfingter
oddi atas pengaruh hormone CCK (cholecystokinin).
Komposisi empedu terdiri atas bilirubin, garam asam empedu, kolesterol,
fosfolid, garam-garam organic, musin/lender, air dan beberapa metabolic.
Bilirubin diproduksi oleh sel-sel retikuloendotelial (RES) terutama di sumsum
tulang dan limpa. Bahan dasar pembuatan bilirubin adalah hemoglobin (Hb) yang
lebih tua. Metabolisme bilirubin terdiri dari empat tahap (Lusianah, 2010)
2. Definisi
Kolellitasis adalah inflamasi akut dari kandung empedu. Ini biasanya
mengiritasi lapisan kandung empedu. Ini dapat menjadi padat dalam duktus sistik
yang menyebabkan obstruksi dan inflamsi dinding empedu, mencetuskan infeksi.
Kolelitasis disebut juga dengan pembentukan batu (kalkuli atau batu empedu) di
dalam kandung empedu atau sistem saluran empedu (Smeltzer, 2009)
Kolelitasis adalah inflamasi kandung empedu yang bisa menjadi
Kolesistisis akut biasanya terjadi setelah obstruksi saluran sistik oleh batu.
Obstruksi akan meningkatkan tekanan di dalam kandung empedu, menyebabkan
iskemia dinding dan mukosa kandung empedu.
Tertahannya empedu menyebabkan iritasi kimia dan sering kali diikuti
oleh terjadinya inflamasi bakteri. Iskemia dapat menyebabkan nekrosis dan
perforasi dinding kandung empedu (Pricilla, 2015)
Kolelitiasis adalah pembentukan batu (kalkuli) di dalam kandung empedu
atau saluran bilier. Batu terbentuk dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan
empedu. Kolelitiasis pada saluran kandung empedu yang pada umumnya
komposisi utamanya adalah kolesterol (Bare 2009)
Kolelitiasis adalah pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu
kantung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Kolelitiasis
merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu kolesterol, bilirubin,
protein, garam empedu dan asam lemak (Schwartz, 2009)
16
Klasifikasi
Menurut Nian (2015) Kolelitiasis digolongkan atas 3 golongan :
a. Batu Kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol.
b. Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat) Berwarna coklat atau coklat tua,
lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium bilirubinat sebagai
komponen utama.
c. Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi
Menurut Corwin (2008) ada 3 tipe utama kolelitiasis :
a. Batu pigmen, kemungkinan berbentuk pigmen tak terkonjugasi dalam empedu
melakukan pengendapan sehingga terjadi batu
b. Batu kolesterol, terjadi akibat konsumsi makanan berkolesterol seperti fast
food dengan jumlah tinggi. Kolesterol yang merupakan unsur normal
pembentuk empedu tidak dapat larut dalam air. Pada pasien yang cenderung
menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan
peningkatan sintesis kolesterol dalam hati. Keadaan ini mengakibatkan
supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah
empedu, mengendap dan menjadi batu empedu.
c. Batu campuran, batu campuran dapat terjadi akibat kombinasi antara batu
pigmen dan batu kolesterol atau salah satu dari batu dengan beberapa zat lain
seperti kalsium karbonat, fosfat, dan garam empedu
3. Etiologi
Menurut Nian Afrian (2015) penyebab kolelitiasis adalah :
Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dengan pria. Ini
dikarenakan oleh hormone eosterogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan yang meningkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan risiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil dan kontrasepsi dan
17
terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu
dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda.
Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu tinggi, dan juga mengurangi garam empedu
serta mengurangi kontraksi / penggosongan kandung empedu.
Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibtkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah diabetes,
anemia, sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan / nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga risiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung
empedu.
4. Manifestasi klinis
18
Menurut Brunner dan Suddarth (2013) ada beberapa manifestasi klinis yaitu:

Rasa nyeri
Nyeri pada abdomen kanan atas yang dapat menjalar ke punggung dan bahu
kanan disertai dengan mual dan muntah, dan akan merubah posisinya secara
terus-menerus untuk mengurangi intensitas nyeri
Ikterus
Ikterus biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Akibat obstruksi
pengaliran getah empedu ke dalam duodenum maka akan terjadi peningkatan
kadar empedu dalam darah. Hal ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang
mencolok pada kulit.
Perubahan warna urin dan fases
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwana sangat gelap.
Fases yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan
biasanya pekat yang disebut “clay-colored”.
Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorbsi vitamin yang larut dalam
lemak (yaitu vitamin A, D, E dan K).
5. Patofisiologi
Menurut Corwin (2008) patofisiologi kolelitiasis yaitu perubahan
komposisi empedu. Perubahan komposisi ini membentuk inti, lalu lambat laun
menebal dan mengkristal. Proses pengkristalan dapat berlangsung lama, bisa
sampai bertahun-tahun dan akhirnya akan menghasilkan batu empedu, bila
adanya peradangan pada kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan sususan kimia dan pengendapan beberapa unsur konstituen
seperti kolesterol, kalsium, bilirubin. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat
berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel
dan pembentukan mukus. Mukus meningkatan viskositas dan unsur seluler atau
bakteri dapat berperan sebgai pusat presipitasi. Adanya proses infeksi ini terkait
mengubah komposisi empedu dengan meningktkan reabsorpsi garam empedu dan
lesitin.
19
Salah satu faktor genetik yang menyebabkan terjadinya batu empedu
adalah obesitas karena orang dengan dengan obesitas cenderung mempunyai
kadar kolesterol yang tinggi. Kolesterol tersebut dapat mengendap di saluran
pencernaan juga di saluran kantung empedu, yang lama kelamaan akan berubah
menjadi batu empedu.

Pathway Kolelitiasis

20
6. Pemeriksaan penunjang
Menurut Suratun dan Lusianah (2010) pemeriksaan penunjang kolelitasis :
Pemeriksaan sinar X abdomen
a. Ultrasonografi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostic pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat
serta akurat dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan icterus.
b. Pemeriksaan pencitraan radionuklida atau koleskintografi
Dalam prosedur ini preparat radioaktif disuntikkan secara intravena.
Preparat ini kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat disekresikan
ke dalam system bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu
untuk mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan bilier
c. Kolesistografi
Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta
mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang
disekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan
kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan
radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan tampak pada
foto rontgen.
Pemeriksaan laboratorium
a. Darah lengkap : leukositosis sedang (akut)
b. Bilirubin dan amylase serum : meningkat
c. Enzim hati serum : AST (SGOT) ; ALT (SGPT) ; LDH agak meningkat ;
alkalin fosfat dan 5-nukleotidase : ditandai peningkatan obstruksi bilier.
d. Kadar protrombin : menurun bila obstruksi aliran
empedu dalam usus menurunkan absorpsi vitamin K.
e. Kolangiopankreatografi retrograde endoskopik (ERCP) : memeperlihatkan
percabangan bilier dengan kanulasi duktus koledukus melalui duodenum.
21
f. Kolangiografi transhepatik perkutaeus : pembedaan gambaran dengan
fluoroskopi antara penyakit kandung empedu dan kanker pankreas (bila
ikterik ada)
g. Scan CT : dapat menyatakan kista kandung empedu, diatasi duktus empedu,
dan membedakan antara iketrik obstruksi/ non obstruksi.
h. Scan hati (dengan zat radioaktif) : menunjukkan obstruksi per-cabangan
bilier
i. Foto abdomen (multiposisi) : menyatakan gambaran radiologi (klarifikasi)
batu empedu, klarifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu.
j. Foto dada : menunjukkan pernapasan yang menyebabkan penyebaran nyeri
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medik
Menurut Brunner dan Suddarth (2013) penatalaksanaan medis kolelitasis :
a. Terapi Nutrisi
Diet segera setelah operasi biasanya berupa cairan rendah lemak dengan
protein dan karbohidrat tinggi dilanjutkan dengan makanan padat yang
lembut, hindari telur, krim, babi, maknan gorengan, keju, sayuran
pembentukan gas, dan alkohol.
b. Terapi Farmakologi
1. Untuk menghancurkan batu : ursodiol/aktigal.
2. Efek samping : diare, bersifat hepatotoksik, pada fetus sehingga
kontraindikasi pada ibu hamil.
3. Mengurangi konten kolesterol dalam batu empedu : chenodiol/chenix.
4. Untuk mengurangi gatal-gatal: cholestyramine (Questran)
5. Menurunkan rasa nyeri : analgesik.
6. Mengobati infeksi: antibiotik.
Penatalaksanaan Bedah
a. Kolesistektommi laparaskopi : dilakukan melalui insiasi atau tusukan kecil
yang dibuat menembus dinding abdomen di umbilikus. Rongga abdomen
ditiup dengan gas karbon monoksid untuk membantu pemasangan
endoskopi.
22
b. Kolesisitektomi : kantung empedu diangkat setelah asteri dan duktus sistikus
diligasi. Sebuah drain (penrose) ditempatkan dalam kandung empedu dan
dibiarkan menjulur ke luar lewat luka operasi untuk mengalirkan darah,
cairan serosanguinus dan getah empedu ke dalam kasa absorben.
c. Minikolesistektomi : kantung empedu dikeluarkan melalui sebuah insiasi
kecil selebar 4cm.
d. Kolesistostomi (bedah atau perkutan) : kantung empedu dibuka, dan batu,
empedu, atau drainase purulent dikeluarkan
e. Koledokostomi
Inisiasi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu. Setelah
batu dikeluarkan biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam duktus tersebut
untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter ini
dihubungkan dengan selang drainase.
8. Komplikasi
Menurut Suratun dan Lusianah (2010) ada beberapa komplikasi yag dapat
terjadi pada pasien koletiasis :
a. Obstruksi duktus sistikus.
b. Kolik bilier.
c. Kolestisis akut.
d. Perikolestitis.
e. Peradangan pancreas (pankreatitis)
f. Parforasi.
g. Kolesistisis Kronis
h. Hydrops (oedema) kandung empedu.
i. Empiema kandung empedu.
j. Fistel kolesistoenterik
k. Batu empedu sekunder (pada 2-6% klie, saluran menciut kembali dan batu
empedu muncul lagi).
l. Ileus batu empedu (gallstone ileus)

23
9. Proses Keperawatan
Pengkajian
 Identitas atau biodata pasien
Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status
perkawinan, pekerjaan, pendidikan tanggal masuk rumah sakit nomor
registrasi dan diagnosa keperawatan.
 Keluhan utama
Tentang keluhan yang dirasakan pasien pada saat perawat melakukan
pengkajian pada kontak pertama dengan pasien.
 Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti jantung, hipertensi,
DM, TBC, hepatitis.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Diisi tentang perjalanan penyakit pasien, dari pertama kali mengurangi
keluhan (diobati dengan obat apa, dibawa ke puskesmas atau ke pelayanan
kesehatan lain), sampai dibawa kerumah sakit dan menjalani perawatan.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM, HT,
TBC, kelainan kongenita hidrosefalus, yang mungkin penyakit tersebut
diturunkan kepada pasien.
Pemeriksaan Fisik
Menurut Suratun dan Lusianah (2010) pemeriksaan fisik kolelitiasi ialah :
 Aktivitas / istirahat:
Gejala: kelemahan
Tanda: gelisah
 Sirkulasi
Gejala / Tanda: takikardia, berkeringat.
 Eliminasi
Gejala: Perubahan warna urine dan fases

24
Tanda: Distensi abdomen, teraba massa pada kuadran kanan atas, urine
gelap, pekat, fases warna tanah liat, steatorea.
 Makanan / cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah, tidak toleran terhadap lemak dan
makanan pembentukan gas, regurgitasi berulang, nyeri epigastrium, tidak
dapat makan, flatus, dyspepsia. Tanda : kegemukan, adanya penurunan
berat badan
 Nyeri / Kenyamanan
Gejala: Nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu
kanan, kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan, nyeri mulai
tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam 30 menit
Tanda: Nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan,
tanda Murphy positif
 Pernapasan
Tanda: Peningkatan frekuensi pernapasan, pernapasan tertekan ditandai
oleh nafas pendek, dangkal.
 Keamanan
Tanda: Demam, menggigil, ikterik, dan kulit berkeringat dan gatal
(pruritus), kecendrungan perdarahan (kekurangan Vit K).
 Penyuluhan dan Pembelajaran
Gejala: Kecendrungan keluarga untuk terjadi batu empedu, adanya
kehamilan/melahirkan; riwayat DM, penyakit inflamsi usus, diskrasias
darah.
Diagnosa Keperawatan
 Ansietas b.d krisis situasional Operasi
 Kurang Pengetahuan b.d keterbatasan informasi tentang penyakit
dan proses operasi
 Resiko cedera (combustio b.d pemajanan peralatan kesehatan
(pemasangan arde electrocouter)
 Gangguan pertukaran gas b.d efek samping dari anaesthesi.

25
 Kerusakan integritas kulit b.d luka post operasi
 Nyeri akut b.d proses pembedahan

26
Diagnosa, Intervensi

NO. NANDA NOC NIC


1. Pre Operatif Tujuan : cemas dapat terkontrol. Penurunan kecemasan
Ansietas b.d krisis Kriteria hasil : 1.Bina hubungan saling percaya dengan klien /
situasional Operasi 1.Secara verbal dapat mendemonstrasikan keluarga
teknik menurunkan cemas. 2.Kaji tingkat kecemasan klien.
2.Mencari informasi yang dapat menurunkan · 3. Tenangkan klien dan dengarkan keluhan
cemas klien dengan atensi
3.Menggunakan teknik relaksasi untuk · 4.Jelaskan semua prosedur tindakan kepada
menurunkan cemas klien setiap akan melakukan tindakan
4.Menerima status kesehatan. · 5. Dampingi klien dan ajak berkomunikasi
yang terapeutik
· 6. Berikan kesempatan pada klien untuk
mengungkapkan perasaannya.
· 7.Ajarkan teknik relaksasi
· 8. Bantu klien untuk mengungkapkan hal-hal
yang membuat cemas.

27
2. Pre Operatif Tujuan : bertambah-nya pengetahuan pasien Pendidikan kesehatan : proses penyakit
Kurang Pengetahuan b.d tentang penyakitnya. 1.Kaji tingkat pengetahuan klien.
keterbatasan informasi Pengetahuan: Proses Penyakit 2.Jelaskan proses terjadinya penyakit, tanda
tentang penyakit dan Kriteria hasil : gejala serta komplikasi yang mungkin terjadi
proses operasi 1. Pasien mampu men-jelaskan penyebab, · 3. Berikan informasi pada keluarga tentang
komplikasi dan cara pencegahannya perkembangan klien.
2. Klien dan keluarga kooperatif saat dilakukan · 4. Berikan informasi pada klien dan keluarga
tindakan tentang tindakan yang akan dilakukan.
5. Berikan penjelasan tentang pentingnya
ambulasi dini
6. Jelaskan komplikasi kronik yang mungkin
akan muncul
3. Intra Operatif Tujuan : resiko combustio dapat diminimalisir 1.memasang arde electrocoter sesuai prosedur.
Resiko cedera (combustio Ktriteria hasil : 2.memfiksasi arde secara adekuat
b.d pemajanan peralatan tidak terjadi combustio. 3.menggunakan power output sesuai
kesehatan (pemasangan kebutuhan
arde electrocouter) 4.mengawasi selama pemakaian alat
4. Post Operatif Tujuan : kerusakan per-tukaran gas tidak terjadi Pengelolaan jalan napas
Gangguan pertukaran gas Status Pernapasan: ventilasi 1. Kaji bunyi paru, frekuensi nafas, kedalaman
b.d efek samping dari Kriteria hasil : dan usaha nafas.
anaesthesi. · 1.Dispnea tidak ada 2. Auskultasi bunyi napas, tandai area
28
2.PaO2, PaCO2, pH arteri dan SaO2 dalam penurunan atau hilangnya ventilasi dan adanya
batas normal bunyi tambahan
3.Tidak ada gelisah, sianosis, dan keletihan 3.Pantau hasil gas darah dan kadar elektrolit
· 4.Pantau status mental
· Observasi terhadap sianosis, terutama
membran mukosa mulut
5.Pantau status pernapasan dan oksigenasi
· 6Jelaskan penggunaan alat bantu yang
diperlukan (oksigen, pengisap,spirometer)
7.Ajarkan teknik bernapas dan relaksasi
· 8.Laporkan perubahan sehubungan dengan
pengkajian data (misal: bunyi napas, pola
napas, sputum,efek dari pengobatan)
· 9.Berikan oksigen atau sesuai dengan
kebutuhan
5. Post Operatif Tujuan : kerusakan integritas kulit tidak terjadi. Perawatan luka
Kerusakan integritas Penyembuhan Luka: Tahap Pertama · 1.Ganti balutan plester dan debris
kulit b.d luka post operasi Kriteria hasil : · 2. Catat karakteristik luka bekas operasi
1. Kerusakan kulit tidak ada · 3. Catat katakteristik dari beberapa
2. Eritema kulit tidak ada · 4.Bersihkan luka bekas operasi dengan sabun
3. Luka tidak ada pus antibakteri yang cocok
29
4. Suhu tubuh antara 36°C-37°C · 5.Sediakan perawatan luka bekas operasi
sesuai kebutuhan
6. Ajarkan pasien dan anggota keluarga
prosedur perawatan luka
6. Post Operatif Tujuan : Nyeri dapat teratasi. Manajemen Nyeri :
Nyeri akut b.d proses Kontrol Resiko · 1. Kaji nyeri secara komprehensif ( lokasi,
pembedahan Kriteria hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
1. Klien melaporkan nyeri berkurang dg scala faktor presipitasi ).
2-3 2.Observasi reaksi nyeri dari ketidak
2. Ekspresi wajah tenang nyamanan.
3. klien dapat istirahat dan tidur 3.Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
4. v/s dbn mengetahui pengalaman nyeri klien
5.Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologis/non farmakologis).
· 6.Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk mengetasi nyeri.
7. Kolaborasi pemberian analgetik untuk
mengurangi nyeri.
8.Evaluasi tindakan pengurang nyeri

30
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. I
Usia : 59 tahun (12-10-1961)
No. RM : 436081
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Jati Kulon No.RT.002 RW. 002
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 18-05-2021
Diagnosa Medis : Cholelithiasis
Jenis Pembedahan : Laparascopy
Teknik Anestesi : General Anestesi
Dokter Bedah : dr. Ngatman, Sp. B
Dokter Anestesi : dr. Jefry, Sp. An

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 Mei 2021, pukul 12.30 WIB
di Ruang Persiapan
 Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri perut bagian kanan atas. Kualitas nyeri seperti
melilit, nyeri menjalar sampai ke perut tengah dan perut belakang, skala 5.
Nyeri hilang timbul
 Riwayat Penyakit Sekarang
Perut sebelah kanan atas sering nyeri.
 Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat penyakit penyerta: Hipertensi terkontrol
• Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat atau makanan.

31
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : compos mentis= 15 (E:4 M:6 V:5)
Status Gizi : TB : 160 cm
BB : 60 kg
Tekanan Darah : 140 / 80 mmHg
Pernapasan : 20 x/menit
Nadi : 68 x/menit
Suhu : 36,2o C

Kepala :Normocephali, rambut berwarna hitam, distribusi merata, tidak mudah


dicabut, tidak rontok
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor
Telinga :Normotia, liang telinga lapang, hiperemis -/-, sekret +/+
Hidung :Deviasi septum (-), mukosa hiperemis -/-, sekret -/-
Mulut :Sianosis (-), mukosa hiperemis (-)
Gigi geligi : Gigi palsu (-), gigi goyang (-)
Malapati : grade 1
Leher : Pembesaran tiroid (-), deviasi trakea (-)
Thorax :
• Paru : Suara nafas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
• Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
• Inspeksi : datar
• Auskultasi : bising usus (+) 5 x/menit
• Palpasi : supel, nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), hepar lien tidak
teraba
• Perkusi : timpani
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)

32
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Rontgen : Dilakukan Tgl 19-05-2021
Kesan:
 Cardiomegaly (Suspek Gambaran Pembesaran Ventrikel Kiri)
 Elongatio Aorta
 Pulmo : Aspek Tenang

USG Abdomen :Dilakukan Tgl 05-05-2021


Kesan:
 Gambaran koleslitiasis multiple dengan kolesistitis
 Tak tampak gambaran kolestasis
 Gambaran Proses Kronis kedua ginjal (tapi kedua ginjal irregular)
dengan kista multiple disertai rim calcified kedua ginjal
 Gambaran nefrolith multiple kedua ginjal
 Tak tampak gambaran apendisitis akut saat ini

33
Darah Rutin
Tanggal: 18-05-2021 Waktu: 20.41 WIB
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Interprestasi
HEMATOLOGI
Paket Darah Lengkap/FBC
Hemoglobin 10.2 g/dl 11.7-15.5 L
Lekosit 7.66 10^3/ul 3.6-11.0
DIFF COUNT
Eosinofil 4.60 % 1-3 H
Basofil 0.70 % 0-1
Neutrofil 60.60 % 50-70
Limfosit 28.10 % 25-40
Monosit 6.00 % 2-8
NLR 2.16
MCV 90 fL 80-100
MCH 31 pg 26-34
MCHC 34 g/dL 32-36
Hematokrit 29.70 % 41-52 L
Trombosit 335 10^3/uL 150-400
Eritrosit 3.3 10^6/uL 4.40-5.90 L
RDW 13.2 % 11.5-14.5
PDW 10.8 fL 10-18
MPV 10.1 fL 6.8-10 H
LED
LED 1 JAM 116 mm/Jam 0-20 H
LED 2 JAM 151 mm/2jam
HEMOSTATIS
W. Pembekuan/CT 4.00 menit 2-6
W. Pendarahan/BT 1.30 menit 1-3

34
KIMIA
Gula Darah Sewaktu 126 mg/dl 75-110 H
Bilirubin Total 0.12 mg/dl < 1.1
Bilirubin Direc 0.06 mg/dl 0.10-0.30 L
Bilirubin Indirek 0.06 mg/dl 0.0-0.8
IMUNOSEROLOGI
HbaSg Stik Negatif Negatif
Anti HIV Stik Negatif Negati

V. KESAN ANESTESI
Pasien seorang perempuan berusia 59 tahun dengan diagnosis Cholelitiasis,
klasifikasi ASA II.
VI. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien meliputi:
a. Intravena fluid RL SS 400 cc, Asering 500ml jumlah cairan kristaloid yang
masuk 900 ml
b. Informed consent mengenai tindakan operasi
c. Informed consent pembiusan dengan general anestesi.
VII. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka dapat disimpulkan :
Diagnosa perioperative : Cholelitiasis
Status operatif : ASA II
Jenis operasi : Laparascopy
Jenis anestesi : General Anestesi

35
LAPORAN ANESTESI

Tanggal Operasi : 19 Mei 2021


Diagnosa Pre Operasi : Cholelitiasis
Diagnosa Pasca Operasi : Cholelitiasis
Tindakan : Laparascopy

I. Preoperatif
• Informed consent (+)
• Puasa (+) dari jam 24.00 WIB
• Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu
• IV line terpasang dengan infuse Ringer Laktat di tangan sebelah Kanan
• Keadaan umum baik
Berat badan : 60 Kg
ASA : II
• Tanda vital
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 68 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,2o C
SpO2 : 100%

36
a) Analisa Data
No Analisa Data Masalah Etiologi
1. DS: Pasien mengatakan takut akan dilakukan operasi, belum Ansietas Krisis Situasional Operasi
pernah dilakukan operasi sebelumnya

DO: Pasien tampak cemas


KU: Baik
TD: 140/80 mmHg
N: 68 xpm
2. DS: Nyeri Akut Agen Inflamasi
P:Pasien mengatakan nyeri di bagian perut kanan atas
Q: nyeri terasa melilit
R: nyeri menjalar sampai perut depan dan perut belakang
S: Skala 5
T: Nyeri Hilang Timbul

DO: Wajah pasien tampak menahan kesakitan


KU: Baik
TD: 140/80 mmHg
N: 68 xpm

37
b) Perencana Keperawatan dan Evaluasi
Hari/Tanggal Dx Keperawatan Tujuan & Kriteria Intervensi Implementasi Evaluasi
Hasil
Rabu, 19 mei Ansietas b.d Setelah dilakukan 1. Identifikasi 1. Mengidentifikasi S : Pasien
2021 krisis situasional tindakan keperawatan tingkat ansietas tingkat ansietas mengatakan takut
j. 12.30 operasi selama 1x10 menit 2. Monitor tanda 2. Memonitor tanda menjalani operasi
diharapkan ansietas ansietas ansietas O : KU baik, pasien
terasi, kriteria hasil: 3. Ciptakan 3. Menciptakan tampak tenang
1. Secara verbal suasana suasana terapeutik TD :
dapat terapeutik untuk untuk 140/80mmHg
mendemonstrasik menimbulkan menimbulkan N : 67x/menit
an teknik tingkat tingkat S : 99%
menurunkan kepercayaan kepercayaan A : Masalah teratasi
cemas. 4. Gunakan 4. Menggunakan P :
2. Mencari pendekatan yang pendekatan yang Hentikan
informasi yang tenang dan tenang dan intervensi
dapat meyakinkan meyakinkan
menurunkan 5. Jelaskan 5. Menjelaskan
cemas prosedur prosedur termasuk
termasuk sensasi sensasi yang
38
yang mungkin mungkin dialami
dialami

Rabu, 19 Mei Gangguan Setelah dilakukan 3. Kaji frekuensi 1. Mengkaji frekuensi S : -


2021 pertukaran gas tindakan keperawatan nafas nafas O : Pasien tertidur
J. 12.30 b.d efek samping selama 1x10 menit 4. Auskultasi bunyi 2. Mendengarkan Freq : 12
dari anestesia diharapkan tidak nafas bunyi nafas I:E:1:2
terjadi pertukaran gas 5. Monitor TTV 3. Mengobservasi VT : 500
kriteria hasil: 6. Observasi sianosis mesin anestesi MV : 8
1. Dipsnea tidak 4. Mengobservasi KU A : Masalah teratasi
ada pasien P : Lanjutkan
2. Tidak ada Intervensi
gelisah,
sianosis
Rabu, 19 mei Nyeri Akut b.d Setelah dilakukan 1. Identifikasi 1. Mengidentifikasi S : Pasien
2021 Agen Inflamasi tindakan keperawatan skala nyeri skala nyeri pasien mengatakan nyeri
j. 12.30 selama 1x10 menit pasien 2. Memberikan posisi berkurang
diharapkan nyeri 2. Berikan posisi nyaman Skala Nyeri : 3
terasi, kriteria hasil: nyaman 3. Menganjurkan O : Pasien tampak
1. Nyeri 3. Anjurkan pasien tehnik nyaman
berkurang pasien tehnik relaksasi A : Masalah belum
39
dengan skala relaksasi 4. Berkolaborasi teratasi
2-3 4. Kolaborasi medis untuk P : Lanjutkan
2. Ekspresi medis untuk pemberian obat Intervensi
wajah tenang pemberian analgetik
3. Pasien dapat obat analgetik
istirahat dan
tidur

40
II. Intra Anestesi
Premedikasi Anestesi
Tidak dilakukan premedikasi, puasa cukup
Tindakan Anestesi
General Anestesi: Induksi menggunakan Etanyl 200mcg, Sedacum 5mg, Propofol
130mg, Roculax 40mg
Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring terus menerus tentang kedaan pasien yaitu reaksi pasien
terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi pernafasan dan jantung.
 Kardiovaskular
Dilakukan pemantauan terhadap nadi dan tekanan darah setiap 15 menit.
 Respirasi
Pernapasan dikontrol menggunakan Ventilator Mekanik
Monitoring Anestesi
Jam Tindakan Tekanan Darah Nadi Saturasi O2

12.40 Pasien masuk ruang


operasi, ditidurkan
terlentang di atas
meja operasi,
dipasangkan manset
tekanan darah di
tangan kiri, dan pulse
oksimeter di tangan
kanan
12.45 Injeksi Etanyl 192/108 mmHg 63 x/menit 100%
200mcg+Sedacum
5mg, Propofol
130mg, Roculax
40mg
12.47 Dilakukan Intubasi
ETT no.7 kedalaman
20cm kemudian

41
disambungkan
dengan VM mode
Volume Control.
TV: 550ml
Freq: 12 xpm
I:E=1:2
Kemudian dilakukan
pemasangan NGT
no.16
12.52 Operasi dimulai 192/108 mmHg 61 x/menit 100 %
13.00 Inj. Ondansentron 128/80 mmHg 52 x/menit 100 %
4mg
Inj. Ketorolac 30mg
Inj. Tramadol 100mg
13.15 150/93 mmHg 64 x/menit 100 %
13.30 118/70 mmHg 56 x/menit 100 %
13.45 VM Mode Spontan 148/92 mmHg 68 x/menit 100 %
13.55 Operasi Selesai 148/92 mmHg 65 x/menit 100 %
inj. Neostigmin
0.5mg + SA 0.25mg
14.10 Transfer Pasien ke
RR
Penatalaksanaan Anestesi
• Jenis pembedahan : Laparascopy
• Jenis Anestesi : General Anestesi
• Teknik Anestesi : Inhalasi
• Mulai Anestesi : pukul 12.47 WIB
• Mulai Operasi : pukul 12.52 WIB
• Medikasi tambahan : Ondansentron 4mg, Ketorolac 30mg,Tramadol 100 mg
• Respirasi : VM 02 2lpm + N20 2lpm
• Cairan durante operasi : RL sisa 400cc, Asering 500 cc. Total cairan kristaloid
yang masuk 900ml
• Selesai operasi : pukul 13.55 WIB
42

III. Post Operatif
Operasi berakhir pukul 13.55 WIB.
Selesai operasi pasien dipindahkan ke Ruang Pemulihan (Recovery Room), masih
terpasang ETT, segera dipasangJackson Rees oksigenasi 10 lt/menit.
Observasi tanda-tanda vital:
Jam Tindakan Tekanan Darah Nadi Saturasi O2

14.10 Melakukan Suction 150/93 mmHg 82 xpm 100%

14.12 Melakukan Ekstubasi 150/93 mmHg 82 xpm 100%

14.15 160/71 mmHg 72xpm 100%

14.30 162/70 mmHg 76xpm 100%

14.45 159/82 mmHg 80xpm 100%

15.00 Pindah Ruangan 155/84 mmHg 71 xpm 100%

ALDRETE SCORE (General Anestesi pada Pasien Dewasa)


 Tanda &Kriteria Score Masuk Keluar
Aktivitas Mampu menggerakan 4 ekstrimitas 2
Mampu menggerakan 2 ekstrimitas 1 0 2
Tidak mampu menggerakan 4 0
ekstrimitas
Respirasi Mampu bernafas dalam dan batuk 2
Dyspnea, usaha nafas terbatas 1 2 2
Apneu 0
Sirkulasi Adanya Perubahan:
Tekanan darah Systole ±20% preop 2
Tekanan darah Systole ±20% -50% 1 1 2
Tekanan darah Systole ±50% preop 0
Kesadaran Sadar Penuh 2
Bangun jika dipanggil 1 0 2
Tidak ada respon 0

43
Warna Kemerahan 2
Kulit Pucat 1 2 2
Sianosis 0
Total Score 5 10

 Score > 8, Tanpa nilai 0 pada score keluar, pasien boleh pindah ke ruangan.
 Pasien diobservasi di ruangan recovery dengan keadaan stabil, tidak terdapat
syok dan peningkatan tekanan darah terkontrol. Skala pulih anestesia 10 di
ruang recovery.

IV. Intruksi Post OP


• Observasi KU dan Vital Sign
• O2 3 Lpm via nasal canul (K/P)
• Inf RL 20 tetes/ menit
• Terapi lain sesuai DPJP

44
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pre Operasi
Pasien terdiagnosa medis cholelithiasis direncanakan operasi Laparascopy.
Sebelum dilakukan operasi tanda vital pasien; TD : 140/80 mmHg, N: 68 x/menit, S:
36,2oC, RR:20 xpm, SpO2: 100% dan GCS : 15 (E4V5M6). Pasien memiliki riwayat
hipertensi, tidak ada penyakit asma, tidak mempunyai riwayat DM, tidak ada alergi obat,
tidak ada gigi palsu, tidak ada pembesaran kelenjar tyroid.
B. Durante Operasi
Sebelum dilakukan tindakan operatif pada pasien ini diputuskan akan dilakukan
general anestesi dan memakai fasilitas intubasi atas indikasi prosedur yang dikerjakan
adalah laparascopy colelithiasis, sehingga dengan teknik ini diharapkan dapat
mengendalikan jalan napas dengan baik. Pasien ini dilakukan tindakan pemasangan
Endotrakeal tube (ETT).
Induksi anestesi pada pasien ini dimulai dengan pemberian inj. Fentanyl 200 mg
dan inj. Sedacum 5 mg IV yang merupakan obat analgesic narkotik, kemudian
dimasukkan obat hipnotik pada operasi ini menggunakan inj. Nupovel 130 mg IV yang
isinya merupakan Propofol. Roculax 40 mg IV yang isinya Rocuronium bromide sebagai
pelumpuh otot .
Obat Fentanyl adalah opioid yang dapat meredakan rasa sakit yang sangat hebat.
Obat Fentanyl ini hanya tersedia dalam bentuk injeksi saja. Maka dari itu, sebelum
menggunakan obat Fentanyl, konsultasikan terlebih dahulu kepada dokter agar keadaan
tubuh dapat terkontrol dan mempercepat penyembuhan pasca operasi. Untuk premedikasi
bedah 50-100 mcg/IM atau IV secara lambat 30-60 menit sebelum operasi.
Selanjutnya pasien diberikan obat Inj. Nupovel (Propofol) untuk induksi. Dosis
yang dianjurkan 2-2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi. Propofol memiliki
kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya
lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu,
secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi
mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun
mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi. Obat ini juga efektif
dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis.
45
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat.Obat ini didistribusikan cepat dan
dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada otot
jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek
analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit
kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll.
Selanjutnya pada induksi, pasien diberikan obat Roculax (Rocuronium bromide)
sebagai obat pelumpuh otot. Obat ini bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik
nikotinik tanpa menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya,
sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.Waktu paruh eliminasi kira-kira 20 menit.
Untuk pemeliharaan anestesi diberikan secara inhalasi. Zat yang diberikan adalah
N2O (Nitrous Oksida), O2(Oksigen), dan Sevofluren. N2O merupakan gas yang tidak
berwarna, berbau harum manis dan tidak mudah terbakar. N 2O di dalam darah tidak
berikatan dengan hemoglobin tetapi larut dalam plasma dengan kelarutan 15 kali lebih
besar dari kelarutan oksigen. N2O mampu berdifusi di semua rongga tubuh, sehingga dapat
menimbulkan hipoksia apabila tidak diberikan bersamaan dengan oksigen. Oleh karena
itu, oksigen harus diberikan setiap memberikan N2O. Pada pasien ini diberikan N2O : O2
sebanyak 2 : 2 L/menit (50:50).
Selain itu, sebagai anestesi inhalasi juga diberikan Sevofluren. Sevofluren adalah
isopropyl ether mengandung fluor yang tidak mudah terbakar. Zat ini memiliki tekanan
uap sekitar 162 mmHg pada suhu 20oC dan mendidih pada suhu 58,5oC. dalam hal ini,
sevofluren mirip dengan zat anestesi volatile laindan dapat diberikan melalui vaporizer
standar. Dosis untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2 %
bersamasama dengan N2O dan O2.
Selanjutnya pasien juga diberikan ondansetron 1 ampul (4mg) sebagai antiemetik.
Ondansetron merupakan obat selektif pada reseptor antagonis 5 hidroksi triptamin (5HT 3)
di otak dan juga aferen saraf vagal saluran cerna. Obat ini selektif dan kompetitif untuk
mencegah mual dan muntah setelah operasi dan radioterapi. Obat anastesi akan
menyebabkan pelepasan serotonin dari sel-sel mukosa enterochromafin dan dengan
melalui lintasan yang melibatkan 5HT 3 dapat merangsang area post trema menimbulkan
muntah. Ondansetron memblok reseptor di gastrointestinal dan area postrema CNS.
46
Pelepasan serotonin akan diikat reseptor 5HT3 dan memicu aferen vagus untuk
mengaktifkan refleks muntah. Serotonin juga diaktifkan akibat manipulasi pembedahan
atau iriasi usus yang merangsang distensi gastrointestinal. Kerja obat ini adalah dengan
memblokade sentral pada area post trema dan nukleus traktus solitorius melalui kompetitif
selektif di reseptor 5HT3. Ondansetron juga memblokade reseptor perifer pada ujung saraf
vagus yaitu dengan menghambat ikatan serotonin dan reseptor pada ujung saraf vagus.
Dosis ondansetron adalah 0,1mg/kgBB.
Obat tambahan yang diberikan selama operasi adalah Tramadol 100 mg IV dan
Ketorolac 30mg sebagai analgetik.
Untuk mengganti kehilangan cairan tubuh diberikan cairan kristaloid ringer lactat
20-30 tetes per menit untuk menjaga keseimbangan cairan selama operasi. Selama operasi
tanda vital pasien juga dipantau setiap 15 menit.
C. Post Operasi
Tanda vital pasien TD: 148/92 mmHg, N: 65 x/menit, SpO 2: 100%. Masih terpasang
ETT. Pasien langsung dibawa ke ruang pulih sadar dengan posisi supine. Ekstubasi
dilakukan di RR. Setelah ekstubasi, leher diberikan bantal supaya kepala ekstensi dan
diberikan O2 Nasal kanul 4Lpm. Tanda-tanda vital seperti TD, nadi, dan saturasi dipantau
tiap 15 menit selama 1 jam dan dimonitoring kondisinya.

47
BAB V
PENUTUP
Pada kasus ini, pasien terdiagnosa colelithiasis. Dilakukan operasi Laparascopy
menggunakan anestesi umum (General Anestesi) denganintubasi endotracheal tube ukuran
7.0 dengan obat-obatan anestesi intravenamaupun inhalasi yang sesuai. Dalam operasi ini
menggunakan general anestesi dikarenakan general anestesi menghilangkan rasa sakit
seluruh tubuhsecara sentral dan juga memblock nervus vagus (saraf simpatis).
General Anestesipada pasien ini diinduksi dengan Entanyl 200 mg + Sedacum 5mg,
Roculax 40 mg IV (Rocuronium bromide) sebagai pelumpuh otot; Nupovel 130 mg
(propofol) yang merupakan obat derivat fenol bersifat sedatif dengan onset yang cukup cepat.
Kemudian diberi rumatananestesi dengan N2O, O2, dan Sevofluren. Obat-obat yang
diberikan selama anestesiberlangsung adalah ketorolac 30 mg, tramadol 100 mg sebagai
analgesik, ondansetron 4 mg untuk mencegah terjadinya mual dan muntah.
Setelah operasi pasien langsung dibawa ke ruang recovery dan setelahnya langsung
dibawa ke bangsal perawatan.Pasien diperbolehkan makan dan minum setelah operasi jika
sudah tidak mual dan dipantau tensi, nadi, dan nadi tiap 15 menit selama 1 jam dan
dimonitoring kondisinya.
Penatalaksanaan asuhan keperawatan anestesi pada Ny. I dengan cholelithiasis di IKB
RS Mardi Rahayu Kudus di dapatkan 3 diagnosa keperawatan anestesi yaitu:
1) Nyeri b.d proses inflamasi kandung empedu, obstruksi/spasme duktus
2) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan masalah pembiusan dan
teratasi
3) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan post pemberian terapi anestesi

48
DAFTAR PUSTAKA
Latief SA, Suryadi KA. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Goodman & Gilman. 2008. Anastetik Umum Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta : EGC.
Gunawan. 2007. Farmakologi Dan Terapi. Edisi 5.Jakarta : Gaya Gon.
Purwanto. 2008. Data Obat Di Indonesia. Edisi 11. Jakarta : Maliapurna Jaya.

49

Anda mungkin juga menyukai