Anda di halaman 1dari 25

BAB I LAPORAN KASUS 1.

1 Identitas Nama Pasien Umur Alamat Ruang poli ASKES/ NON ASKES MRS No. Reg 1.2 Anamnesa Riwayat penyakit sekarang : Pasien kecelakaan lalu lintas saat naik sepeda ontel, waktu kejadian pasien tidak sadarkan diri. Pasien mengeluh nyeri kaki kanan dengan luka pada wajah dan tangan.

: Ny. Siti Fatimah : 52 tahun : Gebeg, Jombang : Mawar : Umum : 3 Mei 2012 : 04.84.61

Riwayat penyakit dahulu : Riwayat penyakit keluarga : (-) Riwayat pribadi, sosial ekonomi dan budaya : (-)

Hipertensi (-), DM (-), sesak nafas (-)

1.3

Pemeriksaan fisik Composmentis Anemia (-), Ikterus (-), Sianosis (-) Tensi (T) Nadi (N) Suhu (t) : 100/70 mmHg : 72 x/menit : 36,5 C

Respirasi rate (RR) Berat badan Tinggi badan Sistem Pernafasan Sesak Tipe pernafasan Retraksi dada Bunyi nafas Warna kulit Edema Sistem intergumen/kulit Warna Lembab Turgor Nyeri Fraktur Sistem penglihatan Conjungtiva Sistem pendengaran Sistem pencernaan Abdomen

: 28 x/menit : 55 kg : 158 cm : (-) : pernafasan dada : (-) : bersih : merah muda : (-) : merah : (+) : normal : kaki kanan (+) : Femur dextra (+) : putih : (+) : supel, nyeri tekan (-) meteorismus (-)

Sistem jantung dan aliran darah

Sistem muskulosletal/otot dan tulang

Kesulitan mengunyah Kesulitan menelan Bising usus Nutrisi Nafsu makan Kemampuan makan Diit

: (-) : (-) : (+) : (+) : baik : nasi

Pola makan Minum NGT Infus Pola eliminasi BAK Drainase BAB Konsistensi Ada darah Colostomi
1.4

: 3x/hari : 3-4x/hari : (-) : (+) : baik : (-) : baik : lembek : (-) : (-)

Pemeriksaan penunjang Lab Hematologi Hb Lekosit Hct Eritrosit Trombosit Kimia klinik SGOT SGPT Kreatinin serum Urea Albumin : 26 u/l : 27 u/l : 0,9 mg/dl : 12 g : 3,8mg/dl : 12,3 g/dl : 14.300 sel/cmm : 37,4 % : 4.700.000 : 273.000 ul

1.5 Diagnosa Diagnosis pada pasien ini adalah Papillary Ductal Carcinoma.

1.6 Rencana operasi Rencana operasi pada pasien ini adalah ORIF (Open Reduction Internal Fixation) dan pasien ini termasuk dalam ASA II. 1.7 Laporan Anestesi Pada kasus ini mengunakan general anestesi (GA), sistem anestesinya semi closed. Cairan masuk : PO DO Jalannya anestesi : Anestesi mulai pada pukul 09.30 WIB Peroksigenasi 10 l/menit selama 5 menit Induksi IV apneu intubasi ETT no. 7,5, cuff (+), mayo (+) Semi close system Control respirasi Maintenance Halotan, N2O, O2. = RL 500 ml = RL 500 ml, HES 500 ml

Cairan keluar : Perdarahan 250 cc

1.8 Laporan Operasi Pasien dioperasi pukul 09.30 WIB dan selesai pukul 12.00 WIB, diagnosa pre op yaitu Close Fraktur Femur 1/3 Distal Obliq extra. 1.9 SOAP

4 Mei 2012 o TD
o

: 130/100 mmHg : 87 x/mnt

Nadi

o Suhu : 37,4 C o RR

: 20 x/mnt : 130/90 mmHg

5 Mei 2012 o TD

o Nadi

: 89 x/mnt

o Suhu : 37,5 C o RR

: 22 x/mnt : 130/90 mmHg : 90 x/mnt

7 Mei 2012
o

TD

o Nadi

o Suhu : 36,7 C o RR : 20 x/mnt

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANESTESI Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun obat anestasi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan kesadaran. Pada operasi-operasi daerah tertentu seperti perut, maka selain hilangnya rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot yang optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar. Tujuannya untuk menghalau rasa sakit di bagian tubuh tertentu, daripada harus melakukan pembiusan total. Tujuan anastesi adalah untuk menyediakan, atau menghilangkan rasa sakit. Memblokir impuls saraf dari bagian bawah segmen tulang belakang yang mengakibatkan penurunan sensasi di bagian bawah tubuh. Tindakan anestesi bertujuan untuk keselamatan pasien dalam menjalani tindakan operasi. Keselamatan pasien akan lebih terjamin bila dapat dicegah atau dihindari hal-hal yang dapat membahayakan pasien baik selama operasi maupu sesudahnya. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi lokal dan anestesi umum. Pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran, sedangkan pada anestesi umum hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran. 2.1.1 Penilaian dan Persiapan Pre Anestesi Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang sebab terjadinya kecelakaan anestesi. Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah untuk mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat anestetik yang sesuai, serta menentukan klasifikasi yang sesuai (Latief, 2009). Persiapan pre anestesi antara lain:

I. Anamnesis a. dll. b. c. Keluhan saat ini dan operasi yang akan dihadapi Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat mejadi penyulit anestesi (alergi, DM, penyakit paru kronis, penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal, penyakit hati, dll. d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat dan obat yang digunakan sekarang dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anastesi. e. f. g. h. Riwayat anastesi / operasi sebelumnya Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tndakan anestesi seperti merokok, alkohol, dll. Riwayat keluarga yang menderita kelainan Makaan yang terakhir dimakan. Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relaif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sitem organ. Sistem organ yang harus diperiksa meliputi:

Identifikasi pasien yang meliputi: nama, umur, alamat, pekerjaan,

2. Pemeriksaan Fisik

Breath (B1): jalan napas, pola napas, suara napas, suara napas tambahan. Blood (B2) : T, N, perfusi, suara jantung, suara tambahan, kelainan anatomis dan fungsi jantung. Brain (B3) : GCS, riwayat stroke, kelainan saraf pusat/perifer lainny. Bladder (B4) : GGA, GGK, produksi urine. Bowel (B5) : makan minum terakhir, bising usus, gangguan peristaltik, gangguan lambung, gangguan metabolik, massa, kehamilan. Bone : Patah tulang, kelainan postur tubuh, kelainan neuromuskuler.

3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Rutin : darah lengkap (Hb, leukosit, hitung jenis, golongan darah, masa perdarahan, masa pembekuan); urin (protein, reduksi, sedimen), foto dada, EKG terutama pasien berumur lebih dari 40 tahun), Fungsi ginjal, fungsi liver, dll. b. Khusus, dilakukan bila terdapat riwayat atau indikasi: o Elektrokardiografi pada anak o Spirometri atau bronkospirometri pada pasien tumor paru o Fungsi hati pada pasien ikterus o Fungi ginjal pada pasien hipertensi 4. Kebugaran untuk anestesi Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa bats waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari (Latief, 2009). Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) membuat klasifikasi pasien menjadi:

Kelas I : pasien normal dan sehat organik, fisiologis, psikiatrik, dan biokimia.

Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan Kelas III : pasien dengan penyakit sistemik sedang Kelas IV : pasien dengan penyakit sistemik berat yang Kelas V : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau Pada bedah cito atau emergncy biasanya dicantumkan

tidak ada keterbatasan fungsional.

sampai berat yang menyebabkan keterbatasan fungsi.

mengancam hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi.

tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. huruf E

II. Perencanaan Anestesi Rencana anestesi meliputi hal-hal : 1. Premedikasi 2. Jenis anestesi : umum / anestesi lokal 3. Perawatan selama anestesi : pemberian oksigen dan sedasi 4. Pengaturan intra / durante operasi meliputi monitoring, keracunan, pengaturan cairan, dan penggunaan teknik khusus 5. Pengaturan pasca operasi meliputi pengendalian nyeri dan perawatan intensif. III. Premedikasi Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anetesi diantaranya: a) Meredakan kecemasan dan ketakutan b) Memperlancar induksi anestesi c) Megurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus d) Meminimalkan jumlah obat anestesi e) Mengurangi mual muntah pasca bedah f) Menciptakan amnesia g) Mengurangi isi cairan lambung h) Mengurangi reflek yang membahayakan Obat obat yang digunakan untuk premedikasi antara lain: Golongan sedativa

Valium : 0,01 mg/kgBB. Luminasi kemasan 1 ampul = 100 mg, dosis : 0,01 mg/kgBB.

Golongan narkotik

Petidin kemasan 1 ampul = 100mg, dosis 1mg/kg BB. Morphin kemasan 1 ampul, dosis : 0,1 g.kg BB.

Golongan Belladona

Sulfas atropin kemasan 1 ampul = 0,25 mg, dosis 0,01 0,04 mg/kg BB.

Golongan antasida

Gelusil dan mylanta diberian 10-20 cc atau 1-3 sendok setelah suction aktif.

2.1.2

Anestesi Umum General anestesi atau anestesi umum adalah hilangnya rasa sakit secara

sentral disertai hilangnya kesadaran (revesibel) (Sumartanto, 2005). Kadar ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Fisiologi terjadinya anestesi Obat anestetika masuk ke pembuluh darah/sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan, yang pertama terpengaruh adalah jaringan yang kaya akan pembuluh darah yaitu otak sehingga kesadaran menurun/hilang, disertai hilangnya rasa nyeri dan lain-lain. Cara pemberian obat Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan cara inhalasi, intravena (IV), intramuskular (IM), atau rektal. Anestesi inhalasi : nitrous oxide / N2O, halothane, enflurane, isoflurane, sevoflurane. Anestesi IV/ IM : thiopental, propofol, ketamin, midazolam, diazepam. Anestesi perektal : thiopental (Latief, 2009). Kontra indikasi 1. Kontra indikasi mutlak payah jantung. dipakai yaitu:
a. 2. Kontra indikasi relatif, tergantung kepada efek farmakologis dari obat yang

Induksi

anestesi

adalah

tindakan

untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar.

Kelainan jantung : hindarkan pemakaian obat yang mendepresi Kelainan hepar : hindarkan obat yang dimetabolisme di hepar. Kelainan ginjal : hindarkan obat yang diekresi di ginjal, misal Kelainan paru : hindarkan obat-obat yang menyebabkan hipersekresi

miokard, misalnya eter, tiopental dan halotan.


b. c.

petidin/gallarmin, morfin
d.

saluran pernafasan yang mengakibatkan pengentalan sekresi dalam paru misal eter.

10

e.

Kelainan endokrin : pada diabetes melitus hindarkan pemakaian obat

yang merangsang simpatis karena menyebabkan peninggian gula darah misal eter. I. Induksi Intravena Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernafasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Tiopental diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi. Propofol intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kg secara intravena. Ketamin intra vena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti midasolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi. Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka. II. Induksi Inhalasi Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan atau sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.

11

Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk walupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran, isofluran atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi lama. III. Induksi Intramuskular Sampai sekarang hanya ketamin yang dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur. IV. Induksi Perrektal Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau midazolam. 2.2 Fraktur femur Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari tulang, sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot dan persarafan. Fraktur femur mempunyai pengaruh sosial ekonomi yang penting. Dengan bertambahnya usia, angka kejadian fraktur femur meningkat secara eksponensial. Meskipun dapat dipulihkan dengan operasi, fraktur femur menyebabkan peningkatan biaya kesehatan. Sampai saat ini, fraktur femur makin sering dilaporkan dan masih tetap menjadi tantangan bagi ahli orthopaedi. Pada orang-orang tua, patah tulang pinggul intrakapsular sering disebabkan oleh trauma yang tidak berat (energi ringan), seperti akibat terpeleset. Akan tetapi, pada orang-orang muda, patah tulang pinggul intrakapsular biasanya disebabkan oleh trauma yang hebat (energi besar), dan seringkali disertai oleh cedera pada daerah yang lainnya serta meningkatkan kemungkinan terjadinya avaskular nekrosis dan nonunion. Walaupun penatalaksanaan di bidang orthopaedi dan geriatri telah berkembang, akan tetapi mortalitas dalam satu tahun pasca trauma masih tetap tinggi, berkisar antara 10 sampai 20 persen. Sehingga keinginan untuk mengembangkan penanganan fraktur ini masih tetap tinggi. Reduksi anatomis dini, kompresi fraktur dan fiksasi internal yang kaku digunakan untuk membantu meningkatkan proses penyembuhan fraktur, akan tetapi jika suplai darah ke kaput

12

femur tidak dikontrol dengan baik, dapat menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya avaskular nekrosis. Etiologi Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita harus mengetahui kondisi fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan tekanan memuntir (shearing). Kebanyakan fraktur terjadi akibat truma yang disebabkan oleh kegagalan tulang menahan tekanan membengkok, memutar dan tarikan. Trauma yang dapat menyebabkan fraktur dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. a. Trauma Langsung Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. b. Trauma Tidak Langsung Apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada clavicula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh. Patofisiologi Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atu tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Fraktur terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang,ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya frakturya itu ekstrinsik (meliputi kecepatan, sedangkan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan kekuatan), intrinsik meliputi kapasitas tulang mengabsorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan adanya densitas tulang tulang yang dapat menyebabkan terjadinya patah pada tulang bermacam-

13

macam, antara lain trauma langsung dan tidak langsung, akibat keadaan patologi serta secara spontan. Anatomi Tulang femur adalah tulang terpanjang yang ada di tubuh kita. Tulang ini memiliki karakteristik yaitu: Artikulasi kaput femoralis dengan acetabulum pada tulang panggul. Dia terpisah dengan collum femoris dan bentuknya bulat,halus dan ditutupi deengan tulang rawan sendi. Konfigurasi ini memungkinkan area pegerakan yang bebas. Bagian caput mengarah ke arah medial, ke atas, dan kedepan acetabulum. Fovea adalah lekukan ditengah caput, dimana ligamentum teres menempel. Collum femur membentuk sudut 1250 dengan corpus femur. Pengurangan dan pelebaran sudut yang patologis masing masing disebut deformitas coxa vara dan coxa valga. Corpus femur menentukan panjang tulang. Pada bagian ujung diatasnya terdapat trochanter major dan pada bagian posteromedialnya terdapat trochanter minor. Bagian anteriornya yang kasar yaitu line trochanteric membatasi pertemuan antara corpus dan collum. Linea aspera adalah tonjolan yang berjalan secara longitudinal sepanjang permukaan posterior femur, yang terbagi, pada bagian bawah menjadi garis- garis suprakondilar. Garis suprakondilar medial berakhir pada adductor tubercle. Ujung bawah femur teridiri dari condilus femoral, medial dan lateral femur epicondilus medial. Bagian tersebut menunjang permukaan persendian dengan tibia pada sendi lutut. Lateral epycondilus lebih menonjol dari medila epycondilus, hal ini untuk mencegah pergeseran lateral dari patella. Kondilus kondilus itu didipisahkan bagian posteriornya dengan sebuah intercondylar notch yang dalam. Femur bawah pada bagian anteriornya halus untuk berartikulasi dengan bagian posterior patella.

Anatomi normal osseus pada femur cukup jelas. Proyeksi normal x ray nya adalah AP dan lateral. Jika terdpat Fraktur femur sebenarnya sangat jelas, seperti
14

yang biasa diperkirakan, mungkin saja frakturnya transversal, spiral, atau comminut fraktur, dengan variasi sudut dan bagian bagian yang tumpang tindih.

Gambar 1 Anatomi Femur Klasifikasi fraktur femur berdasarkan Radiologis a. Lokalisasi Diafisial Metafisial Intra-artikuler Fraktur dengan dislokasi

15

Gambar 2.1. klasifikasi fraktur menurut lokalisasi. (A)Fraktur diafisis, (B)Fraktur metafisis, (C)Dislokasi dan fraktur, (D)Fraktur intra-artikuler. b. Konfigurasi Fraktur transversal Faktur oblik Fraktur spiral Fraktur Z Fraktur segmental Fraktur komunitif, fraktur lebih dari dua fragmen Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendo misalnya fraktur epikondilus humeri, fraktur patela Fraktur depresi, karena trauma langsung misalnya pada tulang Tengkorak Fraktur impaksi Fraktur pecah (burst) dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah pada fraktur vertebra, patela, talus, kalkaneus Fraktur epifisis.

16

Gambar 2.2. klasifikasi fraktur sesuai konfigurasi. (A)Transversal, (B)Oblik, (C)Spiral, (D)Kupu-kupu, (E)Komunitif, (F)Segmental, (G)Depresi. Diagnosa Untuk mendiagnosa Fraktur femur perlu dilakukan beberapa pemeriksaan, antara lain : 1. Pemeriksaan Fisik 2. Pemeriksaan Lokal 3. Pemeriksaan Radiologi 1. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dari kondisi pasien di dapatkan adanya : a. Syok (-) b. Konjungtiva pucat (+) c. Perdarahan (-) d. Kerusakan organ lain (-) 2. Pemeriksaan Lokal Pada pemeriksaan lokal didapatkan gejala dan tanda dari fraktur femur antara lain :

17

a. Inspeksi (Look)

Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan) terlihat jelas, kulit utuh, cidera tertutup.

b. Palpasi (Feel)

Terdapat nyeri tekan setempat, tanpa cedera pembuluh darah. Krepitasi (+), kaki kanan tidak dapat di gerakkan.

c. Pergerakan (Movement)

d. Nurologis GCS 456, Composmentis, sensoris dbn, motorik dbn 2. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi pada fraktur femur ini dapat dilakukan melalui foto polos femur AP. Pada pemeriksan foto polos femur terlihat adanya fraktur pada 1/3 distal femur dengan bentuk fraktur obliq, tidak di temukan fangmen tulang yang hilang, tulang-tulang yang lain masih intak, tidak ditemukan adanya ruptur pembuluh darah serta soft tissue dalam batas normal tanpa ruptur dan perdarahan. Hasil diagnose di nyatakan sebagai close fraktur 1/3 distal femur obliq dextra. Terapi Terapi utama pada kasus ini ialah pembedahan berupa ORIF (open reduction internal fixation). Melalui pemasangan internal fixation pada 1/3 distal femur dextra untuk memfixsasi dan mengembalikan femur pada keadaan semula. Kemudian pantau pasien post operasi dan memberikan advice sebagai terapi rehabilitasi untuk mencegah atropi dan kekakuan dari mucle tersebut. Prognosis Penyembuhan fraktur merupakan suatu proses biologis yang menakjubkan. Tidak seperti jaringan lainnya, tulang yang mengalami fraktur dapat sembuh tanpa jaringan parut. Pengertian tentang reaksi tulang yang hidup dan periosteum pada penyembuhan fraktur mulai terjadi segera setelah tulang mengalami kerusakan apabila lingkungan untuk penyembuhan memadai sampai terjadi konsolidasi. Faktor

18

mekanis yang penting seperti imobilisasi fragmen tulang secara fisik sangat penting dalam penyembuhan, selain faktor biologis yang juga merupakan suatu faktor yang sangat esensial dalam penyembuhan fraktur. Pada kasus ini penting di berikan advice post operasi untuk belajar menggerakkan kaki agar tidak terjadi atropi dan kekakuan dari otot serta dapat berfungsi kembali persarafan secara normal. Post operasi setelah 1-2 kita perintahkan duduk dan menggerakkan pergerakan jari kaki, mefleksi dan ekstensikan kaki pasien. Penting bagi pasien untuk tidak berbaring lebih dari 1 minggu untuk mencegah pneumonie serta dekubitus oleh karna kelembapan. Pasien boleh menapak setelah 2 bulan dengan menapak 10% dari total berat badan. Kita berikan advice untuk penyembuhan pasien mengonsumsi susu, makanan tinggi kasium. Penyembuhan akan berjalan baik, hanya pada pasien ini akan berjalan lambat di karenakan usia. Motivasi dari keluarga penting untuk memberikan semangat dapat pulih dengan sempurna. 2.3 Open Ruduction Internal Fixation (ORIF) Open Reduction Internal Fixation adalah suatu tindakan pembedahan pada fraktur tertutup dengan tujuan mengembalikan posisi tulang pada keadaan fisiologis untuk penyambungan kembali dari tulang tersebut. b. Indikasi operasi Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair necrosis tinggi Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi Excisional Arthroplasty c. Kontra indikasi operasi Perdarahan yang banyak Patah tulang terbuka Patah tulang pada anak-anak kurang dari 6 tahun Patah tulang di sertai dengan bone lose
19

a. Definisi

Tekhnik operasi Secara singkat tekhnik operasi dari Open Reduction Internal Fixation dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penderita dalam general anaesthesia, diposisikan LLD, dengan posisi kaki

lurus kebawah di ganjal dengan bantal pada simpisis pubis dan bawah pada SIAS.
2. Desinfeksi lapangan operasi, bagian atas dari femur sampai umbilicus dan

patella, bagian medial sampai dengan sympisis pubis, bagian lateral sampai dengan SIAS sedikit pada gluteus maximus. Lalu di lapisis dengan doek steril dilanjutkan dengan mempersempit lapang pandang dengan doek steril.
3. Dilakukan insisi posterolateral dimana garis incisi ini berada di atas dari

fraktur femur dengan panjang incisi 3-4 cm.


4. Di buka lapis demi lapis sampai ditemukan garis patahan dari femur, untuk

perdarahan kita hentikan perlahan lalu kita klem untuk kemudian di lakukan pemasangan Plat. Kita perluas lapangan operasi dengan ratraktor buka sampai terlihat patahan tulang femur. Hindarkan dari nervus peroneus communis dan arteri perforantes saat incisi.
5. ORIF dimulai dengan pemasangan Plat dengan sebelumnya memastikan

bahwa tulang tersebut telah benar-benar berada pada posisi fisiologis dan bisa menyambung kembali. Apabila di temukan patahan tulang yang lepas dapat di buang atau di letakkan pada patahan tersebut. Lakukan pengeboran dari tulang femur dengan sebelumnya memastikan plat yang akan di pasang. Lalu gunakan scrue driver untuk mempermudan pemasangan scrub, lalu di pasang scrub pada tempat pengeboran tersebut. Pemasangan plat dan scrub tergantung dati jenis patahan tulang tersebut dan sesuaikan dengan usia serta jenis tulang dari pasien.
6. Setelah selesai di pastikan kembali scrub telah melekat erat pada plat

dengan kencang. Kemudian di lakukan penutupan lapis demi lapis secara perlahan setelah sebelumnya di bersihkan dan di cuci dengan rivanol atau betadin dan Nacl. 7. Lapangan operasi dicuci dengan larutan sublimat dan Nacl 0,9%.

20

8. Semua alat-alat yang dipakai saat operasi diganti dengan set baru, begitu juga dengan handschoen operator, asisten dan instrumen serta doek sterilnya.
9. Evaluasi ulang sumber perdarahan. 10.

Luka operasi ditutup lapais demi lapis.

Komplikasi operasi Dini : - Pendarahan, - Lesi n. Peroneus communis - kompartemen syndrome Lambat : - Infeksi - Nekrosis - Malunon - Delayed union - Non union - Kekakuan sendi paha dan kontraktur Mortalitas Hampir tidak ada Perawatan pasca bedah Pasca bedah penderita dirawat di ruangan dengan mengobservasi dari fungsi nervus dengan mengerakkan jari jempol kaki secara fleksi dan extensi, mememeriksa Hb pasca bedah. Rehabilitasi dilakukan sesegera mungkin dengan melatih pergerakan sendi paha untuk mencegah kontraktur dan atropi otot femur serta mempercepat penyembuhan. Follow up

Pemeriksaan fisik : tiap kali kontrol. Foto femur AP/Lateral 2 minggu, 1bulan dan 3 bulan post op Foto Thorax AP 2 minggu post op

21

BAB III DISKUSI Kasus Ny Siti Fatimah, 52 tahun, mengeluh nyeri kaki kanan, pasien

kecelakaan lalu lintas saat naik sepeda ontel, waktu kejadian pasien tidak sadarkan diri. Pasien mengalami KLL saat naik sepeda ontel. Dari hasil pemeriksaan radiologi di diagnosis dengan Close Fraktur Femur 1/3 Fixation). Open Reduction Internal Fixation (ORIF) merupakan tindakan pembedahan pada fraktur tertutup dengan tujuan mengembalikan posisi tulang pada keadaan fisiologis untuk penyambungan kembali dari tulang tersebut. Sehari sebelum operasi, pasien dilakukan persiapan prabedah yaitu kunjungan pra anestesi yang bertujuan untuk mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat anestetik yang sesuai, serta menentukan klasifikasi yang sesuai. Pasien di anamnesa, dilakukan pemeriksaan fisik, dan dilihat hasil laboratorium untuk memastikan pasien dapat dilakukan operasi pada keesokan harinya. Dari hasil kunjungan pra anestesi didapatkan bahwa pasien ini bukan pasien darurat/emergency sehingga pasien dapat dipuasakan > 6 jam. Tujuan dari puasa adalah mengosongkan lambung agar tidak ada sisa makanan yang bisa dimuntahkan, mengurangi produksi asam lambung, mengurangi risiko aspirasi ke paru. Berdasarkan klasifikasi The American Society of Anesthesiologists (ASA), pasien ini termasuk ASA II yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsional. Dari pemeriksaan kondisi rongga mulut pasien ini termasuk malampatti class I. Sebelum induksi anestesi, pasien dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anetesi. Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah morfin 0,1-0,2 mg/kgBB dan midazolam 0,05 mg/kgBB. Anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah general anestesi. Induksinya intravena dengan menggunakan propofol 1-2,5 mg/kg, fentanyl 100 mg, distal Obliq Dextra. Kemudian di lakukan perencanaan operasi berupa ORIF (Open Reduction Internal

22

dan scolin 60 mg serta induksi inhalasi sebagai maintenance menggunakan halotan 2 lpm. Propofol mempunyai efek yaitu tidak mempunyai efek analgetik, mempunyai efek sedasi, depresi kardiovaskular, menurunkan COP dan tensi, depresi nafas, iritasi vena, menurunkan post operative nausa vomiting. Sedangkan halotan mempunyai efek yaitu pada kardivaskular menyebabkan T, N , pada respirasi menyebabkan volum tidal , frekuensi nafas . Anestesi dilakukan pada pukul 09.30 WIB, tindakan bedah dimulai pukul 09.35 WIB dan selesai pukul 12.00 WIB. Saat operasi, pasien diinduksi IV apneu, di intubasi ET ukuran 7,5 cm dengan cuff (+) dan mayo (+) . System anestesi inhalasinya adalah semi closed (partial rebreathing, CO2 absober (+)), ventilator (+). Pasien diberi infus RL pada pre op 500 ml dan pada durante op diberikan RL 500 ml, ondansentron, 10 mg IV, trmadol 100 mg, ketorolac 30 mg IV sebagai analgetik perifer, transamin 50 mg IV. Pasien diberi infus HES (hidroxyethil starch) 500 ml. Cairan keluar terdiri dari yaitu perdarahan 250 cc. Operasi Modified Radical Mastectomy berakhir pada pukul 12.00 WIB. Setelah operasi selesai tekanan darah pasien 108/70 mmHg, Nadi 108 x/menit, RR : 16 x/menit. Segera setelah selesai operasi, aliran obat anestesi dihentikan dan pasien diberi oksigen 100%. Obat penawar pelumpuh otot diberikan dan jalan nafas dibersihkan dari cairan/sekret. Kemudian pasien diekstubasi setelah pasien nafas spontan dan adekuat serta jalan nafas sudah bersih. Setelah itu pasien dipasang kateter untuk memantau kedaan cairannya. Setelah itu pasien dikirim ke recovery room untuk perawatan yang intensif. Pada saat diruang recovery, usahakan ABCD tetap paten. Posisi pasien dijaga agar tidak muntah dan menyebabkan aspirasi (masuk paru), disiapkan suction yang berfungsi baik, dijaga agar waktu gelisah tidak jatuh, nafas dibantu oksigen, tekanan darah selalu dipantau. Nyeri pasca bedah intensitasnya tinggi pada 6 jam pertama dan bertahan sampai 24 jam sebelum akhirnya menurun. Setelah 24 jam nyeri banyak berkurang. Dicek juga urine (jumlah, warna, kepekatan). Setelah pasien sadar dan memenuhi kriteria pengeluaran dari ruang recovery pasien dipindahkan ke ruang rawat inap. BAB IV

23

KESIMPULAN Kasus Ny Siti Fatimah, 52 tahun, mengeluh nyeri kaki kanan, pasien

kecelakaan lalu lintas saat naik sepeda ontel, waktu kejadian pasien tidak sadarkan diri. Pasien mengalami KLL saat naik sepeda ontel. Dari hasil pemeriksaan radiologi di diagnosis dengan Close Fraktur Femur 1/3 distal Obliq Dextra. Kemudian di lakukan perencanaan operasi berupa ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Kriteria ASA/PS untuk pasien ini adalah termasuk ASA II. Open Reduction Internal Fixation (ORIF) merupakan tindakan pembedahan pada fraktur tertutup dengan tujuan mengembalikan posisi tulang pada keadaan fisiologis untuk penyambungan kembali dari tulang tersebut. Anestesi yang digunakan untuk pasien ini adalah general anestesi dengan intravena-inhalasi, dengan dilakukan premedikasi. Induksi yang dipakai adalah fentanyl 1-4mg/kgBB IV, propofol 2-3 mg/kgBB IV, succinylcholine 1-1,5 mg/kgBB IV. Sedangkan untuk maintenance digunakan halotan. Anestesi mulai pada pukul 09.30 WIB. Pasien titidurkan dan diberi preoksigenasi selama 10 menit, untuk memberi cadangan oksigen saat nanti dilakukan intubasi. Setelah itu dilakukan induksi anestesi, saat pasien sudah apneu dilakukan intubasi dengan ETT no. 7,5, cuff (+), mayo (+). Anestesi ini menggunakan semi close system dengan kontrol respirasi. Cairan yang masuk saat pre-op aalah RL 500cc, saat durante op RL 500 cc dan HES 500 ml.

24

DAFTAR PUSTAKA

Harry J. Griffiths, M.D. Basic Bone Radiology. Associate Proffesor of Radiology and Orthopedics. The University of Rochester Medical Center Roschester, New York. 1997. Page 23 - 29 Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Penerbit PT Yarsif Watampone, Jakarta, 2009. Hal 82-85, 92-94, 355-361, 364 Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses proses penyakit Volume 2. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. Hal 1365 Omar Faiz, David Moffat. Anatomy at Glance. Cardiff University, 2002. Page 93. Putz, R., Pabst. R. Atlas Anotomi Manusia Sobotta Jilid 2. Edisi 21. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran. 2000. Hal. 276,278. Fred A, Mettler, Jr., M.D., M.P.H. Essentials of Radiology. Univercity of New Mexico, 1996. Page 337 Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik, Edisi Kedua, Iwan Ekayuda (editor), FK UI, Jakarta, 2006. Hal 31 Weissleder, R., Wittenberg, J., Harisinghani, Mukesh G., Chen, John W. Musculoskeletal Imaging in Primer of Diagnostic Imaging, 4th Edition. Mosby Elsevier. United States. 2007. Page 408-410 Pradip R. Patel. Lecture Notes Radiologi, Edisi Kedua. Penerbit Erlangga Medical Series, Jakarta, 2005. Hal 232 P.E.S. Palmer., W.P. Cockshott., V. Hegedus., E. Samuel. Manual of Radiographic Interpretation for General Practitioners. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 108-109 Holmes, Erskin J., Misra, Rakesh R. A-Z of Emergency Radiology. Cambridge University, 2004. Page 140-143 James E Keany, MD. Femur Fracture. [Online]. 2009. [Cited August 10]. Available from http://emedicine.medscape.com/article/824856overview#showall

25

Anda mungkin juga menyukai