Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PEMFIGUS
1.1 PENDAHULUAN
Pemfigus adalah penyakit vesikobulosa atau penyakit kulit berlepuh adalah kelainan
kulit yang ditandai dengan timbulnya ruam primer berupa vesikel dan bula. Vesikel atau
bula terjadi akibat gangguan kohesi sel-sel intradermal atau adesi dermo-epidermal
junction yang dapat menyebabkan terjadinya influks cairan. Pada dasarnya pemfigus
dapat dibagi menjadi 4 tipe utama, yaitu : pemfigus vulgaris, pemfigus eritematous,
pemfigus foliaceus dan pemfigus vegetans.(2,3)
1.2 Latar Belakang
Sejarah penemuan pemfigus, dan berbagai bentuknya, tercantum dalam tulisan klasik
Lever tentang Pemfigus dan Pemfigoid. Baik pemfigus vulgaris maupun pemfigus
foliaceus, keduanya merupakan satu spektrum penyakit. Berbagai hal tentang spektrum
penyakit ini telah diberi nama yang unik, namun karena gambaran penyakit ini berupa
cairan, maka penyakit yang diderita oleh pasien biasanya lebih berat dari nama yang
diberikan. Sehinga penderita pemfigus vulgaris bisa menunjukkan penyakit yang lebih
lokal, satu bentuk yang disebut dengan pemfigus vegetans of Hallopeau. Bentuk ini
mungkin meluas dan menyatu menjadi pemfigus of Neumann. Terakhir, pada penyakit
yang lebih berat, bisa muncul pemfigus vulgaris di seluruh tubuh. Serupa dengan hal ini,
penderita pemfigus foliaceus juga bisa menunjukkan kelainan yang lebih lokal, yakni
pemfigus eritematosus. Namun penderita ini seringkali berubah menjadi pemfigus
foliaceus yang menyebar lebih luas.
Temuan Beutner dan Jordon pada tahun 1964 tentang antibodi di dalam sirkulasi
terhadap permukaan sel keratinosit pada sera penderita pemfigus vulgaris merupakan
pelopor pemahaman kita bahwa pemfigus vulgaris adalah penyakit autoimun spesifik
jaringan pada kulit dan mukosa. Pada akhirnya, hasil kerja kedua ahli ini telah membawa
penemuan autoantibodi pada penyakit bullosa autoimun kulit yang lain.(5)

1.3 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi pemfigus pada pria dan wanita kurang lebih sebanding. Usia rata-rata
saat onset penyakit sekitar 50 60 tahun; namun, kisarannya cukup lebar, dan penyakit
ini bisa mulai muncul pada usia lanjut dan anak.(5)
1.4 INSIDENS dan PREVALENSI
Insidens pasti dan prevalensi pemfigus vulgaris dibanding pemfigus foliaceus sangat
tergantung pada populasi yang diteliti. Pemfigus vulgaris lebih sering dijumpai pada ras
Yahudi dan mungkin pada penduduk di dataran Laut Tengah. Predominasi ras yang sama
tidak dijumpai untuk pemfigus foliaceus. Oleh sebab itu, pada wilayah yang banyak
dihuni oleh ras Yahudi, insidens pemfigus vulgaris dan juga rasio pemfigus vulgaris
dibanding pemfigus foliaceus cenderung lebih tinggi. Sebagai contoh, di Yerusalem
insidens pemfigus vulgaris diestimasi sebesar 1,6 per 100.000 populasi, sedangkan di
Finlandia, di mana ras Yahudi dan orang dari Laut Tengah sangat sedikit, insidens jauh
lebih rendah, yakni 0,76 per 1 juta populasi. Di samping itu, di New York dan Los
Angeles, rasio kasus pemfigus vulgaris terhadap pemfigus foliaceus sekitar 5 : 1,
sementara di Finlandia sekitar 0,5 : 1. Di Perancis, insidens pemfigus vulgaris sebesar
1,3 kasus per 1 juta populasi/tahun dan pemfigus foliaceus sebesar 0,5 kasus per 1 juta
populasi/tahun.(5)
1.5 ETIOLOGI dan PATOGENESA
Mikroskop elektron
Pemeriksaan ultrastruktural terhadap bulla pada pemfigus terfokus pada gambaran
desmosome, karena bagian ini merupakan perbatasan perlekatan sel dengan sel yang
paling menonjol pada epitel skuamus kompleks. Penelitian awal terhadap lesi pemfigus
vulgaris menunjukkan hilangnya kontak membran sel dengan sel di antara perbatasan
desmosome yang masih intak, yang kemudian diikuti pemisahan dan hilangnya
desmosome. Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa larutnya desmosome atau tidak
terbentuknya desmosom mengakibatkan timbulnya bulla. Sebagai contoh, biopsi kulit
yang tidak terkena pada penderita pemfigus vulgaris menunjukkan kerusakan
desmosome dan penurunan jumlah desmosome. Di samping itu, pemberian serum
pemfigus vulgaris pada biakan keratinosit ternyata dapat mempengaruhi struktur

desmosome karena menyebabkan penarikan tonofilamen yang normalnya melekat pada


plak desmosome.
Serupa dengan hal ini, pada lesi pemfigus foliaceus, hasil pemeriksaan mikroskop
elektron melaporkan adanya abnormalitas desmosome pada tahap akantholsis awal.
Sebelum terjadi hal ini nampaknya tonofilamen terlebih dulu akan ditarik dari plak padat
desmosome. Kemudian terjadi penurunan atau hilangnya desmosome. Pemeriksaan
mikroksop elektron ini sulit diinterpretasikan menyangkut kapan hal ini terjadi, namun
semua temuan tersebut menunjukkan bahwa, minimal pada beberapa stadium
akantholisis, desmosome akan mengalami kerusakan.
Immunopatologi
Immunofluoresensi. Karakteristik pemfigus vulgaris adalah ditemukan adanya
autoantibodi IgG terhadap permukaan sel keratinosit. Autoantibodi ini pertama kali
ditemukan di dalam sera penderita melalui pemeriksaan immunofluoresensi direk dan
tidak lama setelahnya berhasil ditemukan pada kulit penderita dengan pemeriksaan
immunofluoresensi direk. Pada dasarnya, semua penderita pemfigus vulgaris atau
pemfigus foliaceus aktif menunjukkan hasil positif pemeriksaan immunofluoresensi
direk untuk IgG permukaan sel keratinosit di kulit sekitar lesi (Gbr. 59-1A). Diagnosis
pemfigus masih dipertanyakan jika hasil pemeriksaan immunofluoresensi direk negatif.
Tergantung pada substrat yang dipakai untuk pemeriksaan immunofluoresensi direk,
lebih dari 80% penderita pemfigus memiliki IgG permukaan sel antiepitel yang ada di
dalam sirkulasi (Gbr. 59-1B). Penderita dengan kelainan lokal awal dan mereka yang
telah mengalami remisi kemungkinan besar memperlihatkan hasil negatif pada
pemeriksaan immunofluoresensi direk.
Penderita pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus menunjukkan temuan
pemeriksaan immunofluoresensi direk dan indirek yang sama untuk IgG di permukaan
sel epidermis pada seluruh lapisan epidermis. Oleh sebab itu, kita tidak mungkin
membedakan kedua penyakit ini hanya berdasar pola immunofluoresensi. Namun,
substrat yang dipakai untuk mendeteksi antibodi pemfigus yang melekat pada
immunofluoresensi direk sangat mempengaruhi pemeriksaan ini. Secara umum, esofagus
monyet lebih sensitif untuk mendeteksi antibodi pemfigus vulgaris, dan eosfagus marmut
merupakan substrat yang paling baik untuk mendeteksi antibodi pemfigus foliaceus.
Ada korelasi positif namun kurang kuat antara titer antibodi anti permukaan sel yang
ada di dalam sirkulasi dengan aktivitas penyakit pada pemfigus vulgaris dan pemfigus

foliaceus. Meski korelasi ini dapat dijumpai secara umum, dan meski pasien dalam
kondisi remisi sering menunjukkan remisi serologik dengan hasil immunofluoresensi
direk dan indirek negatif, ternyata aktivitas penyakit pada pasien secara individual tidak
selalu berkorelasi dengan titer antibodi. Oleh sebab itu, dalam menangani pasien ini dari
hari ke hari, pemantauan aktivitas penyakit jauh lebih penting daripada pemantauan titer
antibodi.
Baru-baru ini, antigen-specific enzyme-linked immunosorbent assays terbukti lebih
sensitif dan spesifik (yakni dapat membedakan pemfigus vulgaris dan pemfigus
foliaceus) daripada immunofluoresensi, dan titernya berkorelasi jauh lebih baik daripada
korelasi titer immunofluoresensi direk dengan aktivitas penyakit.
Pemfigus eritematosus adalah bentuk lokal dari pemfigus foliaceus dengan
temuan immunofluoresensi direk yang khas yakni immunoreaktan, biasanya IgG dan C3,
di zona membrana basalis kulit muka yang eritem. Immunoreaktan ini dijumpai selain
IgG permukaan sel epidermis.
Antigen Pemfigus
Fakta immunologik dan kloning molekuler menunjukkan bahwa antigen pemfigus
adalah desmogleins, suatu glikoprotein transmembran desmosome (organela yang
penting untuk perlekatan antar sel). Mikroskop immunoelektron berhasil menentukan
letak antigen pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus di permukaan sel keratinosit,
yakni pada perbatasan desmosom.
Penentuan

karakteristik

antigen

pemfigus

di

tingkat

molekuler

berhasil

mengkonfirmasi kalau antigen ini adalah molekul yang ada di dalam desmosom.
Pemeriksaan immunopresipitasi dan immunobloting dengan ekstraks dari biakan
keratinosit atau epidermis menunjukkan bahwa antigen pemfigus foliaceus (dan juga
antigen fogo selvagem) adalah desmoglein 1, suatu glikoprotein transmembran
desmosom dengan berat molekul 160 kDa.
Kloning molekuler antigen pemfigus vulgaris yang mengkode cDNA berhasil
menemukan desmoglein 3, yakni isoform desmoglein lain yang dikode oleh gen berbeda.
Semua penderita pemfigus vulgaris memiliki antibodi anti-desmoglein 3, dan sebagian
dari penderita ini juga memiliki antibodi anti-desmoglein 1. Penderita pemfigus vulgaris
dengan lesi lebih dominan di membrana mukosa cenderung hanya memiliki antibodi
anti-desmoglein 3, sementara mereka dengan lesi mukokutan biasanya memiliki antibodi
anti desmoglein 3 dan anti-desmoglein 1. Status kedua antibodi ini pada sebagian

penderita pemfigus vulgaris berbeda dengan status antibodi tunggal pada penderita
pemfigus foliaceus, yang hanya memiliki antibodi terhadap desmoglein 1.
Desmoglein 1 dan 3 memiliki kaitan erat dengan anggota golongan supergen
cadherin. Anggota asli dari golongan ini (seperti E-cadherin) adalah molekul adhesi sel
homofilik, transmembran, yang tergantung pada kalsium. Diduga, desmoglein memiliki
fungsi serupa dengan desmosome. Sera pemfigus foliaceus dan pemfigus vulgaris akan
mengikat epitop yang sesuai dan sensitif calsium pada desmoglein 1 dan 3, sehingga
kemungkinan mempengaruhi fungsi perlekatan yang sensitif kalsium. Meski molekul
permukaan sel lain, seperti reseptor asetilkoline, dapat mempengaruhi adhesi, namun
keterlibatannya dalam patofisiologi pemfigus masih kontroversial.
Patofisiologi akantholisis
Autoantibodi pemfigus baik dari penderita pemfigus vulgaris maupun penderita
pemfigus foliaceus, keduanya bersifat patogenik. Munculnya pemfigus vulgaris pada
neonatus menunjukkan bahwa IgG ibu dapat melintasi plasenta dan menimbulkan
penyakit. Namun, pemfigus foliaceus pada neonatus sangat jarang terjadi.
Pada dasarnya, pemfigus vulgaris neoatus terjadi karena perpindahan IgG secara pasif
ke tubuh janin. Penelitian eksperimen transfer pasif serupa membuktikan bahwa IgG
pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus mengakibatkan akantholisis pada lapisan
suprabasal dan granuler dari epidermis, jika ditambahkan ke kulit pada biakan organ.
Akantholisis yang dipicu oleh antibodi pada sistem ini terjadi tanpa peran komplemen
atau sel inflamasi.
Bukti lain yang lebih jelas tentang patologi pemfigus melalui autoantibodi berasal dari
penelitian transfer pasif IgG pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus ke bayi tikud.
Pada tikus timbul bulla dan erosi yang secara klinis dan histologis mirip tipe pemfigus.
Fiksasi komplemen tidak perlu dilakukan untuk menimbulkan penyakit ini, dan berdasar
observasi ini, fragmen immunoglobulin Fab monovalen sekalipun akan bersifat
patogenik pada tikus ini.
Penelitian lain menunjukkan bahwa autoantibodi penyebab patologi pada pemfigus
adalah antibodi yang ditujukan pada desmoglein 1 dan 3. IgG yang afinitasnya telah
dimurnikan dari sera pemfigus vulgaris pada domain ekstrasel desmoglein 3 dapat
menyebabkan akantholisis suprabasal, suatu temuan histologik yang khas untuk lesi
pemfigus vulgaris, jika disuntikkan ke bayi tikus. Di samping itu, domain ekstraseluler
desmoglein 3 dapat menyerap sifat patogenik antibodi di dalam sera pemfigus vulgaris

pada bayi tikus. Serupa hal ini, domain ekstraseluler desmoglein 1 juga dapat menyerap
semua antibodi patogen dari sera pemfigus foliaceus, dan antibodi yang afinitasnya telah
dimurnikan pada pemfigus vulgaris bersifat patogenik. Terakhir, model pemfigus
vulgaris aktif pada hewan eksperimen dapat dibuat dengan memberi imunisasi tikus yang
tidak dapat mentoleransi desmoglein 3 (yakni tikus dengan gen desmoglein 3 telah
mengalami delesi) untuk membentuk respon imun terhadap desmoglein 3. Setelah
pemindahan secara pasif dari tikus yang telah diimunisasi ke tikus normal, maka tikus
normal secara klinis dan histologik menunjukkan lesi pemfigus vulgaris yang khas dan
memiliki antibodi anti-desmoglein 3 pada kulit dan sera.
Data ini dengan kuat menunjukkan bahwa autoantibodi pemfigus vulgaris dan
pemfigus foliaceus terhadap desmoglein 3 dan 1, akan menyebabkan timbulnya bulla
pada penyakit ini. Data terbaru menunjukkan bahwa autoantibodi ini juga mempengaruhi
fungsi adhesi antar sel pada desmoglein atau ikut berperan dalam pembentukan
desmoglein. Jika memang secara patofisiologi pemfigus berasal dari antibodi ini yang
secara langsung menghambat fungsi desmoglein, maka tindakan mempengaruhi fungsi
desmoglein dengan cara lain dapat menimbulkan proses mirip pemfigus. Hipotesis ini
baru-baru ini diuji melalui rekayasa genetik terhadap tikus dengan sasaran delesi pada
gen desmoglein 3. Fenotip tikus ini sangat mirip dengan penderita pemfigus vulgaris,
dengan bulla suprabasal muncul di mukosa oral dan kulit. Data ini sesuai dengan
pendapat bahwa autoantibodi akan secara langsung menyebabkan hilangnya adhesi
keratinosit.
Fakta lain bahwa inaktivasi desmoglein menyebabkan timbulnya bulla pemfigus
berasal dari penelitian impetigo bullosa dan staphylococcal scalded-skin syndrome, yang
disebabkan oleh toksin eksfoliatif yang dilepaskan oleh Stafilokokus aureus. Desmoglein
1 adalah reseptor spesifik untuk toksin eksfoliatif. Enzim secara proteolitik akan
memecah desmoglein 1, sehingga timbul bulla yang identik dengan yang dijumpai pada
pemfigus foliaceus. Sehingga inaktivasi desmoglein 1 dapat menyebabkan timbulnya
bulla yang identik dengan bulla pada pemfigus foliaceus, dan temuan ini menunjukkan
bahwa

antibodi

anti-desmoglein

pada

penderita

pemfigus

foliaceus

juga

menginaktivasi desmoglein 1.
Meski antibodi anti-desmoglein pada pemfigus bisa secara langsung menginaktivasi
desmoglein pada desmosome, antibodi ini kemungkinan juga mempengaruhi perlekatan
desmoglein ke desmosome. Melalui cara ini, pada akhirnya terjadi penurunan
desmosome pada target desmoglein tertentu.

Jika penurunan atau inaktivasi isoform desmoglein menyebabkan timbulnya bulla,


lantas mengapa bulla pada pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus memiliki lokasi
jaringan spesifik yang tidak berkorelasi dengan tempat di mana antibodi tersebut
berikatan seperti ditunjukkan oleh pemeriksaan immunofluoresensi ? Pada pemfigus
foliaceus misalnya, antibodi anti-desmoglein 1 menempel di seluruh bagian epidermis
dan membrana mukosa, namun bulla hanya muncul di epidermis superfisial. Gambaran
yang berlawanan ini dapat dijelaskan melalui kompensasi desmoglein, seperti tampak
pada Gambar 59-2. Konsep kompensasi desmoglein berasal dari asumsi bahwa
autoantibodi terhadap satu isoform desmoglein hanya akan menginaktivasi isoform ini
saja dan akan mengekspresi isoform lain pada area yang sama dan dapat
mengkompensasi adhesi. Kompensasi desmoglein juga menjelaskan mengapa pemfigus
foliaceus neonatal sangat jarang dijumpai, meski antibodi anti-desmoglein 1 dapat
melintasi plasenta; pada kulit neonatus, berbeda dengan kulit dewasa, terjadi ekspresi
desmoglein 3 bersamaan dengan desmoglein 1 di lapisan epidermis superfisial.
Kebenaran kompensasi desmoglein telah terbukti dengan temuan bahwa tikus transgenik
dengan ekspresi desmoglein 3 di lapisan epidermis superfisial yang dipercepat ternyata
dapat terproteksi dari timbulnya bulla akibat perpindahan pasif IgG pemfigus foliaceus.
Respon imun abnormal dan gen respon imun
Dibanding populasi yang sesuai, penderita pemfigus vulgaris memiliki antigen major
histocompatibility complex (MHC) class II dengan frekuensi lebih tinggi. Di antara ras
Yahudi Ashkenazi yang menderita pemfigus vulgaris, didapatkan dominasi haplotype
HLA-DR4 melalui pemeriksaan serologik, sedangkan pada kelompok etnis lain yang
menderita pemfigus vulgaris lebih sering dijumpai allele DQ1. Kendati demikian,
hubungan dengan kerentanan terkena penyakit ini nampak semakin menonjol pada
analisis allele MHC pada tingkat genetik untuk menentukan urutan asam amino molekul
permukaan sel yang dikode oleh allele tersebut. Penderita dengan serotipe DR4 hampir
selalu memiliki allele tak lazim yang disebut DRB1*0402, dan penderita dengan
serotype DQ1 hampir selalu memiliki allele yang jarang dijumpai yakni DQB1*0503.
Allele MHC ini mengkode molekul permukaan sel yang dibutuhkan untuk presentasi
antigen ke sistem imun; sehingga, diduga molekul MHC klas II yang berhubungan
dengan penyakit ini dapat mempresentasikan peptide desmoglein 3 ke sel T. Temuan
yang sejalan dengan hipotesis ini adalah peptida tertentu dari desmoglein 3, yang diduga
cocok untuk kantung ikatan peptida DRB1*0402, mampu merangsang sel T pada tubuh

pasien. Di samping itu, pada kantung ikatan ini, jika satu asam amino bermuatan negatif
yang spesifik untuk subtipe DRB1*0402 dari DR4 berubah menjadi asam amino muatan
positif (yang khas ada pada subtipe DR4 yang lain) melalui proses mutagenesis yang
ditujukan pada tempat tersebut, maka peptida desmoglein 3 tidak lagi efektif untuk
dipresentasikan ke sel T. Penelitian lain mengkonfirmasi bahwa respon imun pada
pemfigus terbatas pada peptide desmoglein tertentu dan gen respon imun yang mengkode
molekul presentasi antigen. Penelitian ini menunjukkan bahwa populasi tertentu lebih
rentan terkena pemfigus vulgaris karena susunan genetik gen respon imun yang mereka
miliki.(5)

BAB II
Pembahasan
A. Pemfigus Vulgaris
Adalah salah satu penyakit berlepuh dengan pembentukan bula diatas kulit normal
dan selaput lendir. Penyebab pastinya belum diketahui, diduga berhubungan dengan
autoimun.
Pemfigus vulgaris merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua kasus).
Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Dapat terjadi
pada dekade kelima dan keenam, dapat juga terjadi pada semua umur. Frekuensi pada pria
dan wanita sama.(4,2)
A. Klasifikasi Pemphigus
Pemphigus terdiri dari beberapa subklas dan varian yaitu pemphigus vulgaris,
pemphigus vegetans, pemphigus foliaceus, fogo selvagam, pemphigus erythematosus,
drug-induced pemphigus dan pemphigus paraneoplastik.6
Klasifikasi ini secara lebih jelas dapat digambarkan sebagai berikut: 7
1. Pemphigus vulgaris
Pemphigus vegetans
Drug-induced
2. Pemphigus foliaceus
Pemphigus erythematosus
Fogo selvagem
Drug-induced
3. Pemphigus paraneoplastik
Pemphigus vegetans merupakan varian dari pemphigus vulgaris. Lepuhan biasanya
berkembang cepat dan memiliki lesi yang besar yang sering berlokalisasi di daerah
pangkal paha dan bawah lengan.6
Pemphigus Foliaceus
Sering terjadi pada muka, kulit kepala, dada bagian atas dan perut namun dapat juga
mengenai seluruh tubuh. Bula jarang terbentuk, lesi mengandung bercak erytematous dan
erosi tertutup oleh keropeng. Penyakit ini terjadi disebabkan serangan autoantibodi
terhadap Desmoglein.8

Fogo Selvagem
Gejala klinik dan pemeriksaan secara histologik sama dengan pemphigus foliaceus
namun terjadi secara endemik di Brasil tengah bagian selatan. Kondisi pasien membaik
apabila keluar dari daerah endemik namun akan mengalami relaps apabila kembali.
Terdapat beberapa andaian yang mengaitkan penyakit ini dengan penularan oleh
serangga. Lebih dari 1000 kasus baru pertahun muncul di daerah endemik.8
Pemphigus Erythematosus
Terdapat lesi yang erytematous, berkeropeng dan erosif yang berbentuk kupu-kupu di
daerah muka, dahi, daerah sternum dan daerah tulang skapula. Secara histologik sama
dengan gambaran pada pemphigus foliaceus. Pemphigus erytematous dikaitkan juga
dengan penyakit thymomas dan myastenia gravis.8
Drug Induced
Sindromanya sama seperti pada pemphigus vulgaris dan juga pemphigus foliaceus
dan dipacu oleh penggunaan obat. Obat yang dilaporkan memacu pemphigus terbagi tiga
kelompok sesuai struktur kimianya: obat yang mengandung radikal sulfhydryl seperti
penisilamin; phenol seperti rifampin, levodopa dan aspirin; dan obat nonthiol nonphenol,
seperti calsium channel bloker, angiotensin converting enzyme inhibitors, NSAIDS,
dipiron dan glibenklamid.8
Pemphigus Paraneoplastik
Limphoma, leukemia dan thymomas sering merangsang pembentukan antibodi
pemphigus dan antibodi yang mirip pemphigus. Neoplasma yang sering menyebabkan
pemphigus adalah lymphoma, leukemia, sarkoma dan tumor thymus. Waldenstroms
makroglobulinemia dan penyakit Castlemans juga dilaporkan sebagai pencetus
terjadinya pemphigus.8
Kebanyakan pasien mempunyai penumpukan antibodi pada kulit dan komponen
antibodi (BP230 antigen) pada membrana basalis kulit. Berbeda dengan pemphigus
vulgaris antibodi sirkulasi juga berikatan pada epitel kantung kemih. Identitas antigen
yang terlibat tidak diketahui namun berat molekulnya adalah 250, 230, 210 dan 190 kd.
Gambaran klinis biasanya ditandai dengan mukositis yang erosif, konjungtivitis dan bula

yang menyeluruh pada kulit. Aktivitas penyakit akan berkurang apabila tumor yang
menyebabkannya diangkat secara operasi atau mendapat perawatan kemoterapi.8

B. Klasifikasi Pemphigus
Pemphigus terdiri dari beberapa subklas dan varian yaitu pemphigus vulgaris,
pemphigus vegetans, pemphigus foliaceus, fogo selvagam, pemphigus erythematosus,
drug-induced pemphigus dan pemphigus paraneoplastik.6
Klasifikasi ini secara lebih jelas dapat digambarkan sebagai berikut: 7
4. Pemphigus vulgaris
Pemphigus vegetans
Drug-induced
5. Pemphigus foliaceus
Pemphigus erythematosus
Fogo selvagem
Drug-induced
6. Pemphigus paraneoplastik
Pemphigus vegetans merupakan varian dari pemphigus vulgaris. Lepuhan biasanya
berkembang cepat dan memiliki lesi yang besar yang sering berlokalisasi di daerah
pangkal paha dan bawah lengan.6
Pemphigus Foliaceus
Sering terjadi pada muka, kulit kepala, dada bagian atas dan perut namun dapat juga
mengenai seluruh tubuh. Bula jarang terbentuk, lesi mengandung bercak erytematous dan
erosi tertutup oleh keropeng. Penyakit ini terjadi disebabkan serangan autoantibodi
terhadap Desmoglein.8
Fogo Selvagem
Gejala klinik dan pemeriksaan secara histologik sama dengan pemphigus foliaceus
namun terjadi secara endemik di Brasil tengah bagian selatan. Kondisi pasien membaik
apabila keluar dari daerah endemik namun akan mengalami relaps apabila kembali.
Terdapat beberapa andaian yang mengaitkan penyakit ini dengan penularan oleh
serangga. Lebih dari 1000 kasus baru pertahun muncul di daerah endemik.8
Pemphigus Erythematosus

Terdapat lesi yang erytematous, berkeropeng dan erosif yang berbentuk kupu-kupu di
daerah muka, dahi, daerah sternum dan daerah tulang skapula. Secara histologik sama
dengan gambaran pada pemphigus foliaceus. Pemphigus erytematous dikaitkan juga
dengan penyakit thymomas dan myastenia gravis.8
Drug Induced
Sindromanya sama seperti pada pemphigus vulgaris dan juga pemphigus foliaceus
dan dipacu oleh penggunaan obat. Obat yang dilaporkan memacu pemphigus terbagi tiga
kelompok sesuai struktur kimianya: obat yang mengandung radikal sulfhydryl seperti
penisilamin; phenol seperti rifampin, levodopa dan aspirin; dan obat nonthiol nonphenol,
seperti calsium channel bloker, angiotensin converting enzyme inhibitors, NSAIDS,
dipiron dan glibenklamid.8
Pemphigus Paraneoplastik
Limphoma, leukemia dan thymomas sering merangsang pembentukan antibodi
pemphigus dan antibodi yang mirip pemphigus. Neoplasma yang sering menyebabkan
pemphigus adalah lymphoma, leukemia, sarkoma dan tumor thymus. Waldenstroms
makroglobulinemia dan penyakit Castlemans juga dilaporkan sebagai pencetus
terjadinya pemphigus.8
Kebanyakan pasien mempunyai penumpukan antibodi pada kulit dan komponen
antibodi (BP230 antigen) pada membrana basalis kulit. Berbeda dengan pemphigus
vulgaris antibodi sirkulasi juga berikatan pada epitel kantung kemih. Identitas antigen
yang terlibat tidak diketahui namun berat molekulnya adalah 250, 230, 210 dan 190 kd.
Gambaran klinis biasanya ditandai dengan mukositis yang erosif, konjungtivitis dan bula
yang menyeluruh pada kulit. Aktivitas penyakit akan berkurang apabila tumor yang
menyebabkannya diangkat secara operasi atau mendapat perawatan kemoterapi.8

C. Patologi
Temuan histopatologik yang khas untuk pemfigus vulgaris adalah bulla suprabasiler
disertai akantholisis (Gbr. 59-7). Tepat di atas lapisan sel basal, sel epidermis akan
kehilangan kontak sel dengan sel yang normal dan timbullah bulla. Seringkali sejumlah
keratinosit (akantholitik) dijumpai di dalam rongga bulla. Sel basal tetap melekat ke

membrana basalis, namun tidak menempel dengan sel di sekitarnya; akibatnya, sel ini
nampak seperti deretan batu nisan. Biasanya, lapisan epidermis bagian atas (1 2 lapis
sel di atas sel basal) tetap intak, karena sel ini masih menjaga kemampuan adhesi sel.
Pemfigus vegetans tidak hanya memperlihatkan akantholisis suprabasal, namun juga
papillomatosis papilla dermis dan berhentinya pertumbuhan epidermis ke dermis, disertai
hiperkeratosis dan pembentukan skuama-krusta. Di samping itu, lesi pemfigus vegetans
mungkin juga memperlihatkan abses intraepidermis yang terdiris atas eosinofil. Lesi
pemfigus vulgaris awal mungkin memperlihatkan spongiosis eosinofilik.(5,1)
D. Gejala klinis
KULIT. Lesi kulit pada pemfigus vulgaris jarang terasa gatal, namun seringkali
terasa sakit. Lesi primer pemfigus vulgaris adalah bula kendur, yang bisa muncul di
permukaan kulit mana saja (Gbr. 59-3A). Biasanya bulla muncul pada kulit yang nampak
normal, namun bisa pula muncul di atas kulit yang eritem. Bulla baru biasanya kendur
atau dalam waktu singkat menjadi kendur. Karena bulla ini rapuh, maka bulla yang masih
intak mungkin jarang dijumpai. Lesi kulit yang paling sering muncul pada pasien ini
adalah erosi, sering terasa nyeri, selanjutnya menjadi bulla yang pecah. Erosi ini seringkali
cukup luas, karena memiliki kecenderungan menyebar ke perifer (Gbr. 59-4A). Dokter
dapat mendapatkan temuan yang khas pada penderita pemfigus dengan bulla aktif dengan
cara memberikan di sebelah lateral kulit yang nampak normal di sebelah perifer lesi aktif.
Hasilnya, epidermis akan terkelupas, yang dikenal juga dengan nama Nikolsky sign (Gbr.
59-4B). Tanda ini tidak spesifik untuk pemfigus vulgaris atau pemfigus foliaceus, namun
merupakan temuan yang khas pada penyakit bullosa aktif yang lain, seperti pemfigoid
bullosa dan eritema multiforme.
Pada pasien tertentu, erosi cenderung menyebabkan timbulnya krusta dan jaringan
granulasi yang banyak (Gbr. 59-5); yakni, pasien menunjukkan lesi vegetating. Tipe lesi
ini cenderung lebih sering muncul di area intertriginosa, di kulit kepala, atau muka (Gbr.
59-5A). Pada pemfigus vegetans of Hallopeau, lesi vegetating dijumpai pada permulaan
lesi (Gbr. 59-5B). Sebelum ditemukannya terapi yang efektif untuk pemfigus, prognosis
pasien ini tidak seburuk seperti penderita tipe pemfigus vulgaris yang lebih sering
dijumpai. Pada pasien lain (seperti mereka yang menderita pemfigus vegetans of
Neumann), erosi pemfigus vulgaris yang biasa cenderung berubah menjadi vegetatif.
Respon tipe vegetatif juga bisa muncul pada lesi tertentu yang cenderung resisten terhadap
terapi dan tetap bertahan untuk jangka waktu lama pada satu tempat. Sehingga lesi

vegetating nampaknya merupakan satu pola reaktif kulit terhadap gangguan autoimun
pada pemfigus vulgaris, dengan area kulit tertentu menunjukkan kecenderungan lebih
besar untuk membentuk vegetating.(5,1)
MEMBRANA MUKOSA. Pada mayoritas pasien, erosi membrana mukosa yang terasa
nyeri merupakan tanda pemfigus vulgaris yang menonjol dan mungkin merupakan satusatunya tanda yang telah muncul selama kurang lebih 5 bulan sebelum muncul lesi kulit.
Membrana mukosa yang paling sering terkena adalah rongga mulut, yang mengenai
hampir semua penderita pemfigus vulgaris dan sering merupakan satu-satunya area yang
terkena (Gbr. 59-3B). Bulla yang masih intak jarang dijumpai, diduga karena bulla bersifat
rapuh dan mudah pecah. Erosi yang tersebar dan seringkali luas bisa muncul di bagian
manapun dari rongga mulut, meski mungkin paling sering di mukosa bukkal. Erosi ini
dapat menyebar sampai mengenai faring dan laring yang akhirnya suara menjadi serak.
Seringkali erosi ini sangat mengganggu sehingga pasien tidak bisa makan atau minum
dengan benar.
Membrana mukosa di bagian tubuh lain juga bisa terkena erosi yang terasa nyeri; di
antaranya konjungtiva, anus, penis, vagina, dan labia. Bahkan esofagus pernah dilaporkan
terkena pada kasus yang jarang.(5)
E. Histopatologi
Didapatkan gambaran bula intraepidermal suprabasal dan sel-sel epitel yang
mengalami akantolisis pada dasar bula menyebabkan tes Tzanck positif. Tes Tzanck
berguna menentukan adanya sel-sel akantolitik, bukan diagnosis pasti penyakit pemfigus.
Dengan pemeriksaan mikroskop electron diketahui permulaan perubahan patologik berupa
perlunakan segmen intraseluler. Juga dapat dilihat kerusakan desmosom dan tonofilamen
sebaagai peristiwa sekunder.
Temuan yang khas berupa akantolisis, bentukan bula dan celah intra epidermis dan
adanya sel akantolitik yang melapisi bula dan didalam rongga bula.(5,1)

F. Imunologi
Pada tes imunofloresensi langsung didapatkan antibody interseluler tipe IgG dan C3.
Pada tes imunofloresensi tidak langsung di dapatkan antibody pemfigus tipe IgG. Tes yang
pertama lebih terpercaya daripada tes ke dua, karena telah menjadi positif pada permulaan

penyakit, sering sebelum tes kedua menjadi positif dan tetap positif dalam waktu yang
lama meskipun penyakitnya telah membaik.
Antabodi pemfigus ini rupanya sangat spesifik untik pemfigus. Kadar titernya umumnya
sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun dan menghilang dengan pengobatan
kortikosteroid.(5)
G. Diagnosis
Banyak penyakit yang merusak perlekatan antara sel yang disebabkan oleh autoimun,
mungkin juga memiliki manifestasi sistemik dan sangat sukar untuk dibedakan secara
klinis. Ciri klinis seperti tanda Nikolsky tidaklah spesifik untuk penyakit ini saja. Karena
itu, selain dari pemeriksaan klinis, mengidentifikasi riwayat penyakit dan anamnese,
pemeriksaan biopsi, histopatologi dan immunologi yang baik merupakan hal yang
diindikasikan.
Pemeriksaan Langsung
Pemeriksaan langsung secara visual dilakukan dengan cara operator memeriksa gejala
klinis yang terdapat pada rongga mulut dan kulit.
Biopsi
Metode biopsi dilakukan dengan cara sampel diambil pada daerah erosi atau bula
setelah kulit atau mukosa dianastesi dengan injeksi anastesi lokal. Sampel kemudiannya
diperiksa secara histologis dibawah mikroskop untuk melihat adakah sel terpisah antara
satu sama lain.
Direct Immunofluorescence
Sampel diperiksa di laboratorium untuk melihat kehadiran autoantibodi yang
berkaitan. Jika terdapat autoantibodi tersebut, direct immunofluorescence pada mukosa di
bagian tepi lesi akan menunjukkan corak yang menyerupai renda atau chicken-wire pattern
dari penumpukan yang mengelilingi setiap epitel sel spinous. Immunoglobulin yang sering
bertumpuk adalah dari golongan IgG. Setengah pihak menyatakan bahwa direct
immunofluorescence dapat dipercayai dan merupakan metode diagnosis yang tidak
invasif.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan mencampurkan spesimen jaringan mukosa yang


dibiopsi dengan beberapa siri immunoglobulin. Immunoglobulin ini telah ditandai dengan
bahan fluoresense (fluorochrome) yang digunakan untuk menunjukkan kehadiran
autoantibodi yang melekat pada sel jaringan pasien.
Indirect Immunofluorescence
Test ini dilakukan dengan mengukur jumlah autoantibodi di dalam darah.Dalam indirect
immunofluorescence ini, serum pasien akan dicampur dengan jaringan kontrol untuk
mengidentifikasi kehadiran dan konsentrasi antibodi sirkulasi
H. Diagnosa Banding
Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa.
Dermatitis herpetiformis dapat mengenai anak dan dewasa, keadaan umumnya baik,
keluhannya sangat gatal, ruam polimorf, dinding vesikel/ bula tegang dan berkelompok
dan mempunyai tempat predileksi. Sebaliknya pemfigus terutama terdapat pada orang
dewasa, keadaan umumnya buruk, tidak gatal, bula berdinding kendur dan biasanya
generalisata. Pada gambaran histopatologik dermatitis herpetiformis, letak vesikel/ bula di
subepidermal.(5)
I. Pengobatan
Pengobatan bertujuan untuk mengontrol penyakit dan mencegah infeksi dari lesi yang
melepuh. Jika dibiarkan tanpa diobati, pemphigus vulgaris dapat menyebabkan kematian.
Pemphigus vulgaris tidak dapat sembuh sempurna, dimana bila telah dirawat pun,
serangkaian remissi dan relaps dapat terjadi.
a) Kortikosteroid
Kortikosteroid Sistemik
Biasanya perawatan dilakukan dengan pemberian steroid dalam bentuk tablet seperti
prednison. Steroid mengurangi inflamasi dengan cara menekan sistem kekebalan tubuh.
Dosis tinggi biasanya diperlukan pada peringkat pertama. Kadang-kadang ini diberikan
dengan suntikan sebagai tindakan pertama. Dosis dikurangi bila lesi melepuh telah
berhenti terbentuk. Tujuannya adalah untuk menemukan dosis terendah yang diperlukan
untuk mengendalikan gejala dimana dosis yang diperlukan bervariasi antara pasien.
Pada sebagian kasus dalam tempoh laten, penghentian pemberian steroid tablet dari
waktu ke waktu dapat dilakukan dan tablet dapat diberikan kembali jika gejala muncul.

Dalam beberapa kasus, dosis steroid yang tinggi diperlukan untuk mengendalikan penyakit
ini dan ini dapat menimbulkan efek samping. Efek samping dari steroids terkadang serius,
terutama jika penggunaan steroids dosis tinggi dilakukan untuk waktu yang lama.
Misalnya, pasien lebih rentan terhadap infeksi tertentu jika menggunakan steroid dosis
tinggi secara berkepanjangan.
Kortikosteroid Topikal
Steroid topikal kadang-kadang digunakan pada kulit yang melepuh di samping
perawatan lainnya. Hal ini bertujuan untuk menjaga dosis steroid tablet agar lebih rendah.
Obat kumur steroid atau sprays kadang-kadang digunakan untuk membantu merawat
mulut yang mengalami lepuhan.
Mekanisme Kerja Kortikosteroid
Mekanisme kerja kortikosteroid dalam menghambat sistem imun ialah dengan cara:
Menghambat profilerasi sel T, imunitas sel T dependen dan pengkodean ekspresi gen
sitokin yaitu IL-1, IL-2, IL-6, interferon dan TNF- .
- Menghambat transkripsi gen IL-2.
- Menimbulkan efek anti inflamasi berupa efek antiadhesi yang menghambat pergerakan
sel inflamasi dari sirkulasi ke jaringan.
Indikasi, Kontraindikasi dan Dosis.
Kortikosteroid diindikasikan sebagai obat pilihan untuk pemphigus vulgaris.
Pada perawatan pemphigus, kortikosteroid bersifat live saving. Perawatan awal sering
dengan kortikosteroid karena ia efektif dan bekerja lebih cepat berbanding perawatan lain
dimana kortikosteroid bekerja dengan menekan sistem imun tubuh. Terapi topikal saja
tidak mampu untuk mengobati penyakit ini karena penyakit ini merupakan penyakit
autoimun sistemis maka pengobatan haruslah diberi secara sistemik.
Dosis prednison 1-2 mg/kg/BB secara oral atau parenteral menimbulkan efek
immunosupresif pada limfoid, neutrofil dan monosit. Dosis lebih besar dari 2 mg/kg/BB
tidak meningkatkan efek terapi, tetapi meningkatkan efek samping obat. Apabila terapi
bertujuan untuk mengatasi keadaan yang dapat mengancam pasien, misalnya pemphigus

maka dosis awal harus cukup besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya maka
dosis dapat dilipatgandakan. Dalam hal ini dokter haruslah dapat mempertimbangkan
antara bahaya pengobatan dan bahaya akibat penyakit itu sendiri. Kebanyakan pasien
dapat dirawat dengan prednison dengan dosis 1-2 mg/kg/BB dan dikurangi bagi
mendapatkan dosis terendah. Pengurangan dilakukan relatif cepat pada awalnya yaitu
dikurangi 5-10 mg perminggu tetapi bila dosis mencapai 40 mg perhari, proses
pengurangan dosis dilakukan dengan lebih lambat yaitu dengan regimen selang hari
(alternate-day regimen). Pengurangan dosis dilakukan sehingga mencapai dosis 40 mg,
dan 0 mg pada hari berikutnya.
Kontraindikasi absolut kortikosteroid tidak ada tetapi kondisi-kondisi seperti diabetes
melitus, tukak peptik, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem vaskular merupakan
kontraindikasi relatif karena efek samping dari kortikosteroid namun hal ini dapat
diabaikan terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien seperti pemphigus
vulgaris. Dalam hal ini dibutuhkan pertimbangan matang antara risiko dan keuntungan
sebelum obat diberikan. Namun harus diberi perhatian pada kondisi ini, pemeriksaan ulang
setelah penggunaan selama beberapa hari atau beberapa minggu perlu dilakukan.
Efek Samping Kortikosteroid
Seperti obat-obat lain, kortikosteriod juga memiliki risiko efek samping dan kadang
kadang dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Pada awal penggunaan, efek
samping yang mungkin dialami ialah pusing, mual, sakit perut, letih atau gangguan tidur.
Ini disebabkan tubuh sedang menyesuaikan diri dengan obat yang diambil. Jika
penggunaan kortikosteroid pada dosis tinggi, efek samping dapat berupa meningkatnya
tekanan pada bola mata atau glaukoma, retensi cairan yang dapat menyebabkan kaki
membengkak, peningkatan tekanan darah, perubahan mood dan pertambahan berat badan
dengan penumpukan lemak pada bagian perut, muka dan belakang leher.
Efek samping yang diakibatkan oleh penggunaan kortikosteroid jangka panjang pula
dapat berupa katarak, gangguan elektrolit, peningkatan gula darah yang dapat mencetus
atau memperparahkan diabetes, meningkatnya risiko infeksi, berkurangnya kalsium dari
tulang yang dapat mengakibatkan patah tulang dan osteoporosis, gangguan menstruasi,
penghasilan hormon dari kelenjar adrenal ditekan, berlaku penipisan kulit, sering terjadi
lebam dan penyembuhan yang lambat. Selain itu dapat juga menyebabkan berkurangnya

massa otot atau myopathy dan kemungkinan mengalami pendarahan dan perforasi pada
pasien yang memiliki tukak peptik.
b) Adjuvan
Terapi adjuvan berguna untuk mengurangi efek samping dari kortikosteroid. Terapi ini
biasanya mempunyai onset yang lambat yaitu antara 4 hingga 6 minggu, karena itu
adjuvan sering digunakan sebagai terapi pemeliharaan. Terapi adjuvan konvensional ini
termasuk berbagai agen immunosupresif seperti azathioprine, mycophenolate mofetil,
methotrexate, cyclophosphamide, chlorambucil, cyclopsorine.
c) Bedah
Dalam beberapa kasus pemphigus paraneoplastik, bedah pengangkatan tumor
mungkin dapat memperbaiki dan menurunkan gejala penyakit ini.
Edukasi
Menjadi tanggung jawab seorang dokter yang merawat untuk memberikan edukasi
yang tepat dalam usaha membantu pasien untuk meningkatkan tahap kesehatan dengan
cara memberikan petunjuk tentang hal yang harus dilakukan dan hal yang perlu dielakkan.
Selain komplikasi penyakit, efek samping perawatan juga harus diberi perhatian serius.
Perawatan yang paling populer dan sering diberikan kepada pasien pemphigus vulgaris
adalah kortikosteroid, sejenis obat yang sangat berguna dan berkesan namun juga
mempunyai efek samping yang sangat besar,24 maka dokter harus memberikan pasien
edukasi yang cukup dalam meminimumkan efek samping dari perawatan serta hal-hal lain
yang membantu pasien menghadapi komplikasi dari penyakit ini sendiri.
Anjuran diet dan gizi yang baik dapat membantu tubuh menyembuhkan dan
memerangi penyakit. Namun, beberapa makanan mungkin akan membuat gejala
bertambah buruk atau memicu timbulnya penyakit pemphigus vulgaris. Berhati-hati
dengan pengambilan makanan yang tampaknya menyebabkan reaksi pada kulit dan
hindarilah makanan tersebut. Label pada semua makanan hendaklah dibaca untuk
memastikan agar tidak mengandung bahan yang dapat menyebabkan suatu reaksi.
Untuk mengurangi risiko osteoporosis akibat perawatan dengan kortikosteroid,
pengambilan gizi yang kaya dengan kalsium seperti susu, keju dan yogurt serta
pengambilan vitamin D dan suplemen kalsium dapat mengurangi efek samping perawatan.

Hal-hal lain yang perlu mendapat perhatian ketika perawatan dengan kortikosteroid
ialah mempertahankan berat badan dengan mengkonsumsi diet tinggi protein dan rendah
karbohidrat dan lemak. Penggunaan garam dikurangi bila timbul udem yang diakibatkan
oleh retensi cairan.
Konsumsi makanan yang mengandungi potassium seperti buah-buahan, bayam,
kentang dan kacang karena kortikosteroid akan menurunkan kadar potassium. Selain buahbuahan, sayuran dan kacang juga dapat mengurangi kadar kolestrol. Jika pasien sadar
bahwa diet yang dikonsumsi kurang bergizi, pasien mungkin perlu mendapatkan suplemen
dibawah pengawasan dokter.
Jika pemphigus vulgaris aktif di dalam mulut, agak sukar untuk mengkonsumsi diet.
Namun, diet yang bergizi tetap penting maka pasien dapat mengkonsumsinya dalam
bentuk cairan dan jika perlu diisap menggunakan pipet. Penggunaan obat kumur anastetik
sebelum makan dapat mengurangkan rasa sakit dan jika tenggorokan atau mulut sakit, es
krim atau menghisap es batu dapat mengurangkan rasa sakit. Walaupun tidak mudah,
namun olahraga rutin dapat membantu untuk otot dan sakit sendi bagi mempertahankan
kekuatan otot dan mengurangi risiko osteoporosis.
Terdapat sebagian anggota masyarakat yang tidak percaya dengan perawatan medis
dan memilih perawatan alternatif. Belum ada bukti bahwa perawatan alternatif mampu
merawat pemphigus vulgaris bahkan dapat menyebabkan dampak yang lebih buruk.
Pasien dinasehatkan supaya tidak menggunakan perawatan herba cina dan herba barat
karena masalah utama dengan perawatan herba ialah obat ini bekerja dengan cara
meningkatkan sistem imun sedangkan dalam mencegah pemphigus vulgaris hal yang perlu
dilakukan ialah menekan sistem imun. Menolak perawatan dari dokter bermaksud
meningkatkan risiko pemphigus vulgaris menjadi semakin aktif dan tidak terkontrol.
Namun ada beberapa nasehat yang dapat dilakukan untuk mengurangi efek samping
perawatan contohnya melakukan masase dan akupuntur. Jika erosi pada kulit sudah hilang,
masase mungkin merupakan cara yang aman untuk membantu masalah sakit pada sendi
dan otot akibat pengobatan dengan kortikosteroid. Akupuntur dikatakan mampu
membantu masalah muntah, kesakitan dan efek samping dari perawatan. Hindari
perawatan dengan jarum jika lesi masih aktif namun elektro-akupuntur mungkin saja dapat
dilakukan namun harus tetap meneruskan perawatan yang telah disarankan oleh dokter

secara rutin. Selain itu jika pasien merasa mual, teh jahe mungkin membantu
menghilangkan rasa mual . Dokter juga dapat memberikan resep pil anti-emetik.4
Kebersihan mulut sangat penting untuk dijaga walaupun lesi yang menyakitkan
mungkin ada di dalam mulut. Penggunaan sikat gigi lembut untuk anak-anak dan pasta
gigi untuk gigi sensitif untuk mengelakkan rasa nyeri akibat pasta gigi yang mempunyai
rasa yang keras. Lima belas menit sebelum menyikat gigi, kumur-kumur dengan obat
kumur yang mengandungi anastesi untuk mengurangi rasa nyeri semasa menyikat gigi.4
Pasien juga perlu diingatkan bahawa pemphigus vulgaris merupakan penyakit kronik
yang dapat terjadinya kekambuhan. Ini bermakna, pasien pemphigus vulgaris mungkin
akan mengalami kekambuhan pada suatu ketika. Sebagian kekambuhan mungkin serius
dan pasien harus segera menemui dokter yang merawatnya agar dosis obat dinaikkan
untuk sementara waktu jika perlu. Apabila kekambuhan sudah terkontrol, dokter akan
menurunkan kembali dosis obat. Kadang-kadang istirahat dan mengelakkan faktor
pencetus dapat meredakan kekambuhan yang ringan.4
Selain itu dukungan dari segi psikologis dari ahli keluarga dan orang-orang terdekat
juga sangat perlu dan mereka tidak seharusnya menjauhkan diri kerana penyakit ini
bukanlah penyakit yang menular.4
Prognosis
Sebelum kortikosteroid digunakan, makakematian terjadi pada 50% penderita dalam
tahun pertama. Sebab kematian ialah sepsis, kakeksia dan ketidak seimbangan elektrolit.
Pengobatan dengan kortiko steroid membuat prognosis sisanya lebih baik.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Arnold, H.L, Odom. R.B, James, W.D, Andrews Diseases of the skin. Clinical
Dermatology, eight edition, 534-559 (W.B Saunders Company, Philadelphia, 1990)
2. Benny E. Wiryadi. Dalam : Djuanda. A, Hamzah M, Aisahs, editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin edisi kelima, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007 :
204-209
3. Karlosentono H. Dalam : Harahap M, editor. Ilmu Penyakit Kulit, Jakarta: Hipokrates,
2000 : 134-138
4. Siregar R : Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit edisi kedua, Jakarta: EGC, 2004 : 186193
5. Stanley R. Dalam : Freedberg. M, Eisen. Z, Wolff. K, Austen. F, Goldsmith. A, Katz. I,
editor.

Fitzpatricks

Dermatology

in

General

Medicine,

vol

1;

sixth

edition
6. Djuanda A. Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam : Djuanda A, Hamzah M,Aisah S. dkk,
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keempat. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
7. B Mohamed. 2010 PEMPHIGUS VULGARIS : http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789 /17394/3/ Chapter%20II.pdf : : Di akses pada tanggal 15 april 2016
8. SKK Ramona. 2010 GAMBARAN HISTOPATOLOGIS PEMPHIGUS VULGARIS :
http:// repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3419/1/08E00888.pdf : : Di akses pada
tanggal 14 april 2016
9. S Rezeki - 2012. PEMPHIGUS VULGARIS : Journal of Dentistry Indonesia
www.jdentistry .ui.ac.id /index. php/JDI/article/.../17 : Di akses pada tanggal 14 april
2016

Anda mungkin juga menyukai