Anda di halaman 1dari 14

Imunofluoresensi (IF) untuk mengidentifikasi lokasi suatu reaksi imun, pemeriksaan IF

mengkombinasikan antigen atau antibodi dengan zat warna fluorokrom (antibodi dapat dibuat
berpendar dengan mengikatkannnya pada zat warna). Tes IF pada kulit (Direct IF Test) merupakan
teknik peemriksaan untuk mendeteksi auto antibodi terhadap bagaian –bagian kulit. Indirect IF test
mendeteksi antibodi yang spesifik dalam serum pasien.

Pemeriksaan apus tzanck. Test ini dilakukan untuk memeriksa

Metode Test Tzank (Tzank Smear)


Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk Herpes Zoster, Herpes Simplex, dan Varicella.

1. Pecahkan bulla, lalu dikerok kulit luarnya.


2. Kerokan di fiksasi pada preparat dengan cara dilewatkan di atas api 3x.
3. Rendam di alkohol 96% selama 5 menit, lalu bilas.
4. Tetesi larutan giemsa (1:10) selama 30 menit. Bilas dengan air mengalir, lalu
keringkan.
5. Periksa di mikroskop dengan 100x perbesaran.

Hasil (+) jika ditemukan sel datia berinti banyak.

https://medicomedisch.wordpress.com/2010/12/14/metode-test-tzank/

Penegakan Diagnosis Varicella dan Herpes Zoster (Fitzpatrick)

6/20/2015

0 Comments

DIAGNOSIS KLINIS

Pada stadium preerupsi,nyeri prodromal dari herpes zoster seringkali keliru dengan penyebab lain
pada nyeri lokal. Ketika pertama kali erupsi muncul, karakter dan lokasi dermatom ruamnya,
bersamaan dengan nyeri dermatom atau abnormalitas sensorik lainnya, biasanya membuat diagnosa
jelas.

Satu kelompok vesikel, khususnya dekat mulut atau genital, dapat mewakili herpes zoster, tetapi
juga dapat terjadi pada infeksi HSV berulang.27 Herpes simplek zosteriform sering tidak mungkin di
hilangkan dari herpes zoster pada dasar klinisnya. Satu riwayat rekurensi multipel pada lokasi yang
sama ialah umum pada herpes simplek tetapi tidak terjadi pada herpes zoster yang didalamnya tidak
ada defisiensi imun yang mendalam dan secara klinis jelas.
DIAGNOSIS LABORATORIUM

Lesi – lesi dari varisela dan herpes zoster tak terbedakan secara histopatologi (Gambar 194-9).
Adanya sel raksasa multinukleus (multinucleated giant cells) dan sel – sel epithelial yang terdiri dari
badan inklusi asidofilik intranuklear (Gambar 194-9B) membedakan lesi – lesi kutanes yang
dihasilkan oleh VSZ dari seluruh erupsi vesicular lainnya (contohnya yang diakibatkan karena variola
dan poxvirus lainnya, dan oleh coxsackievirus dan echovirus) kecuali yang dihasilkan oleh HSV. Sel –
sel ini dapat dilihat melalui apusan Tzanck disiapkan di sisi tempat tidur; materi sampel diambil dari
dasar vesikel awal, sebar pada sisi gelas / preparat, fiksasi dalam aseton atau methanol, dan
diwarnai dengan hematoksilin-eosin, Giemsa, Papanicolaou, atau pewarnaan Paragon multipel.

Herpes zoster, histopatologi. A. Vesikel Intraepidermal, akantolisis, degenarasi retikuler; dermis


dasar menunjukkan edema dan vaskulitis. B. Sel raksasa multinukleasi (Multinucleated giant cells)
dengan perubahan karakteristik nucleus

Biopsi punch menyediakan material yang lebih baik pada pemeriksaan histology daripada apusan
Tzanck dan memfasilitasi diagnosis pada stadium prevesikuler dan pada lesi – lesi atipikal seperti lesi
veruka kronik dihasilkan oleh VZV yang resisten asiklovir pada pasien dengan AIDS (Gambar 194-8).

Diagnosis definitif pada infeksi VZV, juga pembeda antara VZV dan HSV, tercapai dengan melakukan
isolasi virus di dalam kultur inokulasi sel dengan cairan vesikel, darah, cairan serebrospinal atau
jaringan terinfeksi, atau dengan identifikasi langsung dari antigen VZV atau asam nucleus dalam
spesimen-spesimen ini. Isolasi virus ialah satu – satu nya teknik yang menghasilkan VZV terinfeksi
untuk analisa lebih jauh, seperti penentuan dari sensitivitasnya hingga obat – obat antiviral;
bagaimanapun juga, VZV ialah sangat labil, dan hanya 30% - 60% kultur dari kasus – kasus yang
terbukti umumnya positif. Untuk memaksimalkan pemulihan virus, spesimen – spesimen seharusnya
diinokulasi ke dalam kultur sel secepatnya. Penting untuk memilih vesikel baru yang terdiri dari
cairan jernih untuk aspirasi, karena probabilitas dari isolasi VZV berkurang secara cepat sehingga lesi
menjadi pustular. VZV hampir tidak pernah diisolasi berasal dari krusta – krusta.

VZV dapat diisolasi dan diperbanyak secara in vitro dalam kultur lapisan tunggal dari bermacam –
macam sel – sel manusia (dan beberapa macam monyet). Pengaruh – pengaruh sitopatik diinduksi
oleh mereplikasi virus dalam kultur sel yang sedemikian rupa ditandai oleh bentuk dari badan inklusi
asidofilik intranuklear dan sel – sel raksasa multinukleasi (multinucleated giant cells) sama dengan
yang terlihat dalam lesi – lesi kutaneus penyakit. Perubahan – perubahan ini tidak dapat dibedakan
dari yang dihasilkan oleh HSV, tetapi dimana HSV secara cepat menyebar menginfeksi sel – sel yang
tersisa di dalam kultur, efek sitopatik dari VZV tetap fokal. Efek sitopatik dari VZV secara umum tidak
tampak hingga beberapa hari setelah inokulasi spesimen.

Modifikasi – modifikasi dari pengujian sel – sel kultur dimana cairan vesikel atau pembungkusan lesi
disentrifugal (diputar) kedalam sel – sel yang tumbuh dalam coverslip pada dasar vial-vial gelas tipis
berdindingkan “shell” diawasi selama 24-72 jam kemudian dengan fiksasi dan pewarnaan dengan
fluorescein- atau enzim- berlabel antibodi monoclonal pada protein – protein VZV, dapat
mengkonfirmasi adanya VZV secara relatif cepat, baik sebelum efek – efek sitopatik terlihat jelas
dalam kultur sel konvensional.52

Immunofluoresen atau pewarnaan immunoperoksidase material – material selular dari vesikel yang
masih baru atau lesi prevesikuler menjadi pilihan metode diagnostik di banyak pusat kesehatan;
metode ini dapat mendeteksi VZV secara signifikan lebih sering dan lebih cepat dari kultur virus,
meskipun secara relatif terlambat pada penyakitnya ketika kultur tidak lagi positif.52 Immunoasai
enzim menyediakan metode yang cepat dan sensitif lainnya untuk mendeteksi antigen.

Deteksi dari DNA VZV dalam spesimen klinis diikuti pengerasan oleh PCR menyediakan sensitifitas
assay terbaik, spesifisitas yang sangat tinggi dan waktu perputaran yang cepat. Hal ini telah
merevolusi diagnosis infeksi VZV, dan dapat melihat dengan jelas antara tipe tidak teratur dan
turunan vaksin Oka dari VZV dan HZV52,53

Uji serologi membenarkan diagnosis retrospektif dari varisela dan herpes zoster akut akut dan sera
konvalesens tersedia untuk perbandingan.52 Metode – metode assay ini dapat juga mengidentifikasi
individu rentan yang mungkin dapat menjadi kandidat untuk isolasi atau profilaksis. Teknik yang
paling umum digunakan ialah penetapan kadar imunosorben taut-enzim (ELISA). Bagaimanapun
juga, penetapan ini sering kurang sensitive dan spesifik, gagal mendeteksi antibodi pada orang yang
imun dan terkadang memberikan laporan positif palsu dalam individu yang rentan.

Beberapa teknik yang lebih sensitif telah dikembangkan untuk mengukur respon humoral pada VZV.
Hal ini termasuk satu penetapan imunofluoresen untuk antibodi terhadap VZV menginduksi
membran antigen [fluoresen antibodi ke membran antigen (FAMA)] yang secara baik membedakan
imun dari individu dewasa yang rentan dan tes aglutinasi lateks yang cocok pada sensitifitas dan
spesifisitas ke penetapan FAMA, tetapi jauh lebih mudah dioperasikan.

http://jasajurnal.weebly.com/blog/penegakan-diagnosis-varicella-dan-herpes-zoster-fitzpatrick

A. HERPES ZOOSTER2

Herpes zooster merupakan penyakit akibat infeksi virus varicella zooster yang menyerang kulit
dan mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer.

Pemeriksaan

Pada pemeriksaan percobaan Tzanck dapat ditemukan sel datia berinti banyak. Virus bisa
diisolasi dari lesi herpes,CNS, basuhan tenggokan selama infeksi akut dan reaktivasi tanpa
gejala. Isolasi di dalam jaringan kultur akan dilanjutkan dengan tes netralisasi atau pewarnaan
immunofluorescence dengan antibodi spesifik. Diagnosis banding untuk penyakit ini adalah
herpes simplex. Selain itu, rasa nyeri yang merupakan gejala prodromal lokal sering salah
diagnosis dengan penyakit rematik maupun angina pectoris.

Herpes
Zooster

Pencegahan

Penularan herpes zooster sukar untuk dicegah karena infeksi menular selama 24-48 jam
sebelum ruam muncul. Penderita bisa diisolasi dalam udara dengan sisten udara tersaring.
Pekerja kesehatan yang rentan yang telah mengalami pajanan yang dekat dengan varisela tidak
boleh merawat penderita resiko tinggi selama masa inkubasi.

Petugas kesehatan harus memakai sarung tangan ketika bekerja dengan cairan tubuh yang
berpotensi terinfeksi, mencuci tangan dengan sabun. Kemudian,pasien dengan riwayat herpes
genital diharuskan menahan diri dari seksual saat memiliki gejala prodromal atau luka. Selain
itu, Ibu hamil dengan herpes genital aktif harus dilahirkan cesar.

Profilaksis globulin imun varicella zooster (GIVZ) dianjurkan untuk anak yang terganggu
sistem imunnya, wanita hamil, dan bayi baru lahir yang terpajan terhadap varisela ibu.

Pengobatan

Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan analgesik. Apabila
terjadi infeksi sekunder, dapat diberikan antibiotik.

Indikasi pemberian antiviral ialah herpes zooster oftalmikus dan pasien dengan defisiensi
imunitas mengingat komplikasinya. Obat yang biasa digunakan adalah asklovir dan
modifikasinya, misalnya valasiklovir.2,4 Selain itu, antivirus yang bisa untuk herpes zooster
adalah Amantidin, Vidarabin, Idoksuridin.1
Asiklovir merupakan derivat guanin dengan spesifitas yang tinggi terhadap herpes simpleks
dan zooster. Obat ini dikonversi menjadi aminofosfat oleh timidin kinase dari virus, yang
ternyata lebih mudah melakukan fosforilasi timidin kinase sel pejamu yang tidak terinfeksi
virus. Jadi obat hanya diaktifkan dalam sel yang terinfeksi oleh virus. Obat itu nantinya akan
menghambat DNA polimerase virus dengan derajat yang lebih besar daripada terhadap enzim
hospes. 1

Obat yang lebih baru ialah famsiklovir dan pensiklovir yang memiliki paruh eliminasi lebih
lama sehingga cukup diberikan 3x250mg sehari. Obat-obatan tersebut diberikan tiga hari sejak
lesi pertama kali muncul.

Dosis asiklovir yang dianjurkan adalah 5×800 mg sehari dan biasanya diberikan 7 hari.
Valasiklovir cukup 3x1000mg sehari karena konsentrasi dalam plasma lebih tinggi. Jika lesi
tetap timbul, obat-obatan masih dapat diteruskan dan dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru
tidak timbul lagi.

Menurut FDA, obat untuk nyeri neuropatik pada neuropati perifer diabetik dan neuroplagia
pasca herpetik adalah pregabalin. Dosis awalnya adalah 2x75mg sehari, setelah 3-7hari dapat
dinaikan jadi 2x150mg sehari jika respon dianggap kurang. Dosis maksimum adalah 600mg
sehari. Efek samping ringan berupa dizziness dan somnolen yang akan menghilang sendiri.2

Obat lain yang dapat digunakan adalah antidepresi trisiklik (misalnya nortriptilin dan
amitriptilin) yang menghilangkan nyeri pada 44-67% kasus. Efek sampingnya antara lain
gangguan jantung, sedasi, dan hipotensi. Dosis awal amitriptilin adalah 75mg sehari kemudian
ditinggikan sampai timbul efek terapeutik, bisa sampai 150-300mg sehari. Dosis notriptilin
ialah 50-150mg sehari.

Indikasi pemberian kortikosteroid adalah pada syndrom Ramsay Hunt. Pemberian sedini
mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Prednison merupakan obat yang sering
diberikan dengan dosis 3x20mg sehari. Setelah seminggu, dosis diturunkan secara bertahap.
Dikatakan bahwa kegunaannya untuk mencegah fibrosis.

Pengobatan topikal diberikan sesuai stadiumnya. Jika masih stadium vesikel, diberikan bedak
untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif, diberikan
kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi, dapat diberikan salap antibiotik.

B. VARISELA

Merupakan infeksi akut primer oleh virus varisela zooster yang menyerang kulit dan mukosa,
klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral
tubuh.

Pemeriksaan

Pemeriksaan laboratorium untuk varisela tidak begitu diperlukan karena secara klinis sudah
nampak5. Sebagian besar anak dengan varicella telah leukopenia dalam 3 hari pertama, diikuti
dengan leukositosis. Leukositosis mungkin menandakan adanya infeksi bakteri sekunder tetapi
bukan merupakan suatu pasti.
Diagnosis dapat juga dilakukan dengan percobaan Tzanck dengan membuat sediaan apus yang
diwarnai dengan Giemsa. Bahan diambil dari kerokan dasar vesikel dan akan didapati sel datia
berinti banyak. Percobaan ini belum bisa membedakan virus varicella zooster dengan herpes
simpleks virus. Untuk membedakan kedua virus itu, biasanya digunakan Direct Fluorescent
Assay (DFA).

Kemudian, jika dilakukan biopsi kulit, tampak vesikel intraepidermal dengan degenerasi sel
epidermal dan acantholysis. Pada dermis atas dijumpai lymphocytic infiltrate6.

Uji serologi bisa digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi masa lalu untuk menilai status
kerentanan pasien. Ini akan membantu menentukan pencegahan yang diperlukan untuk remaja
dewasa atau yang telah terekspos varicella. Secara komersial, tes latex agglutination (LA) dan
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) cukup sensitif. PCR juga dapat digunakan. 5

Varisela harus dibedakan dengan variola, penyakit ini lebih berat, memberi gambaran
monomorf dan penyebarannya dimulai dari bagian akral tubuh, yakni telapak tangan dan
telapak kaki. Selain itu, diagnosis banding untuk penyakit ini adalah dermatitis kontak,
Enteroviral Infections, Herpes Simplex Virus Infection, Impetigo dan Urtikaria. Anak-anak
dengan suhu tinggi dan tanda-tanda pernafasan harus mendapatkan radiografi dada untuk
mengkonfirmasi ada tidaknya pneumonia.

Pencegahan

Vaksin varisela dapat diberikan untuk mencegah penyakit ini. Diberikan pada yang berumur
12 bulan atau lebih. Lama proteksi belum pasti, tapi vaksin ulangan dapat diberikan setelah 4-
6tahun. Pemberian dilakukan secara subkutan, 0.5ml pada anak berusia 12bulan sampai
12tahun. Untuk usia di atas 12 tahun juga diberikan 0.5ml, tapi setelah 4-8minggu diulangi
dengan dosis yang sama.

Bila terpajannya masih kurang dari 3 hari, perlindungan vaksin masih dapat terjadi. Sedangkan
antibodi yang cukup sudah timbul antara 3-6 hari setelah vaksinasi.

Pengobatan

Pengobatan bersifat simptomatik dengan antipiretik dan analgesik, untuk menghilangkan rasa
gatal dapat diberikan sedativa.2 Lokal diberikan bedak ditambah dengan antigatal (mentol,
kamfora) untuk mencegah pecahnya vesikel. Jika terjadi infeksi sekunder dapat diberikan
antibiotik berupa salap atau oral. Hindari menggaruk untuk mencegah luka. Pada anak, kuku
mestinya dipangkas atau bisa juga dengan menggunakan sarung tangan saat tidur untuk
mengurangi garukan.

Antivirus7

Anak-anak yang immunocompromised, orang berisiko penyakit parah, dan memiliki penyakit
parah, memerlukan perawatan khusus.Dapat pula diberikan obat-obatan antivirus seperti pada
herpes zooster. Acyclovir merupakan obat pilihan. Obat lain misalnya famciclovir (tidak
disetujui untuk anak-anak) dan foskarnet.VZIG (varicella zooster immunoglobuline) dapat
mencegah atau meringankan varisela, diberikan intramuskular dalam 4 hari setelah terpajan.
Penelitian pada hewan menunjukan adanya resiko untuk fetus pada pemberian acyklovir
(Zovirax) sehingga sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil. Tidak boleh juga diberikan
pada penderita gagal ginjal atau saat menggunakan obat nefrotoxic. Obat ini juga menyebabkan
malaise, gangguan gastrointestinal, dan ruam. Bioavailabilitas buruk, sehingga pemberian IV
sangat penting pada varisela yang parah dan pasien yang immunocompromised.

Beberapa anak dengan varicella berkurang nafsu makan sehingga harus didorong untuk
mengkonsumsi cairan yang cukup untuk mempertahankan hidrasi.Hidrasi yang memadai
penting jika anak menerima asiklovir karena obat tersebut dapat mengkristal di tubulus ginjal
jika diberikan kepada individu yang dehidrasi.

Antipiretik

Agen ini menghambat pusat sintesis dan pelepasan prostaglandin yang memediasi
endogeneous pirogen di hipotalamus, sehingga menormalkan kembali suhu. Demam biasanya
rendah tetapi mungkin meningkat. Acetaminophen mungkin adalah obat paling aman untuk
digunakan untuk tujuan ini. Selain itu, juga bisa diberikan Ibuprofen (Motrin dan Ibuprin).
Obat ini menghambat sintesis prostaglandin, serta bersikap seperti

Hepatotoksisitas mungkin terjadi pada orang dengan alkoholisme kronis berikut berbagai
tingkat dosis; sakit parah atau berulang atau demam tinggi atau demam lanjutan mungkin
menunjukkan penyakit yang serius. Mungkin juga terdapat dosis acetaminophen kumulatif
melebihi dosis maksimum yang disarankan.

Antihistamin

Agen-agen ini tersebut dapat mengontrol pruritus dengan menghalangi efek pelepasan histamin
endogen. Pruritus mungkin parah pada varicella, mencegah tidur dan mungkin menyebabkan
infeksi jaringan parut atau sekunder.

C. VARIOLA2

Variola atau yang sering disebut cacar atau small pox merupakan penyakit virus yang disertai
keadaan umum yang buruk, dapat menyebabkan kematian. Efloresensinya bersifat monomorf
terutama terdapat di perifer tubuh.

Pemeriksaan

Pembantu diagnosis terdiri atas inokulasi pada korioalantoik, pemeriksaan virus dengan
mikroskop elektron dan deteksi antigen virus pada agar sel. Pemeriksaan histopatologik dan
serologik juga dapat dilakukan.

Pencegahan

Vaksinasi dengan metode multiple puncture merupakan teknik yang dianggap terbaik.NHMRC
menganjurkan satu dosis tunggal vaksin variola diberikan kepada semua anak yang berumur
18 bulan kecuali yang sudah pernah terkena cacar air.8 Pada waktu pemberian vaksin, tempat
tersebut tidak perlu diberikan alkohol, cukup dengan eter atau aseton. Vaksinasi tidak boleh
diberikan jika atopi, penderita sedang mendapatkan kortikosteroid dan defisiensi imunologik.
Pengobatan

Pasien harus dikarantina. Pengobatan secara sistemik bisa dilakukan dengan pemberian obat
antiviral seperti isoprinosin dan interferon, bisa juga dengan globulin gama. Kecuali itu,
diberikan juga obat yang bersifat simptomatik, misalnya analgetik/antipiretik. Harus
diperhatikan juga kemungkinan munculnya infeksi sekunder maupun infeksi nosokomial, serta
cairan tubuh dan elektrolit. Jika masih ada lesi di mulut, diberikan makanan lunak. Pengobatan
topikal bersifat penunjang, misalnya kompres dengan antiseptik atau salap antibiotik.2

Daftar Pustaka
1
Agoes A. Dalam Kumpulan Kuliah Farmakologi: Antivirus. 2nd ed. Jakarta: Penerbit EGC,
2004. P. 272-5.
2
Handoko RP. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Penyakit Virus. 5th ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2001. p. 110-9.
3
Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak: Penyakit Infeksi. 15th ed. Jakarta: Penerbit
EGC, 1996. p. 1100.
4
Graham R, Burns BT. Lecture Notes Dermatology: Infeksi Virus. 8th ed. Jakarta: Erlangga,
2005. p..31.
5
Mehta PN. Varicella: Diferential Diagnoses&Workup. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/969773-diagnosis. Diakses 9 November 2010.
6
Lubis RD. Varisela dan Herpes Zooster. Repository Universitas Sumatra Utara. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3425/1/08E00895.pdf. Diakses 11 November
2010.
7
Mehta PN. Varicella: Treatment & Medication. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/969773-treatment. Diakses 9 November 2010.
8
NSW Goverment. Diunduh dari
http://www.health.nsw.gov.au/resources/publichealth/immunisation/varicella/vari_immunisat
ion_consent_ind.pdf. Diakses 11 November 2010.

https://www.medicinesia.com/kedokteran-klinis/kulit/penatalaksanaan-herpes-zooster-varisela-
dan-variola/

Pemeriksaan untuk Penyakit Alergi


Penyakit alergi sering dijumpai di masyarakat dengan tempat predileksi tersering saluran
napas, kulit, dan saluran pencernaan. Diagnosis cepat dan terarah dibutuhkan agar
komplikasi tidak terjadi.1 Hal yang perlu dilakukan pada pasien dengan kecurigaan alergi
adalah memastikan apakah pasien tersebut benar menderita alergi dengan melakukan:
1.Anamnesis

 · kapan gejala timbul dan apakah munculnya mendadak atau bertahap.


 · karakter, lama, frekuensi, dan beratnya gejala, seperti urtikaria akut lebih mungkin
disebabkan oleh alergen daripada urtikaria kronik.
 · waktu timbulnya gejala seperti pada pagi, siang, atau malam hari.
 · pekerjaan dan hobi. Pastikan apakah gejala muncul akibat pekerjaan seperti halnya 5%
kasus asma. Kemudian, pastikan apakah terdapat faktor lainnya yang mempengaruhi seperti
faktor musim dan cuaca, hawa dingin, hewan piaraan, kelelahan, obat, makanan, emosi,
kehamilan, asap, bau-bauan, kebiasaan merokok, dan lain-lain. Dalam hal mencari alergen,
hubungan antara gejala, waktu, dan tempat menjadi sangat penting.
 · jumlah, warna, dan kekentalan dahak perlu ditanyakan pada pasien asma atau alergi
saluran napas lainnya.
 · pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup.
 · kaitan penyakit dengan riwayat keluarga.

2.Pemeriksaan fisis yang lengkap dengan perhatian lebih tertuju pada manifestasi di kulit,
konjungtiva, nasofaring, dan paru.

 · seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik seperti ekskoriasi, bekas
garukan, dan terdapat lesi urtikaria, angioedema, dermatitis, dan likenifikasi.
 · mata diperiksa untuk melihat hiperemia konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan
dan katarak terkait atopi atau pengobatan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Kemudian, allergic shiners berupa daerah gelap dan bengkak di bawah mata, khas dijumpai
pada penderita rhinitis alergi.
 · pemeriksaan membran timpani untuk melihat otitis media, penyulit pada alergi saluran
napas, perlu dilakukan. Kemudian, pada sinusitis, sinus dapat diperiksa secara palpasi dan
transiluminasi.
 · pada pemeriksaan hidung, terdapat beberapa tanda seperti allergic salute dimana pasien
menggosok hidung ke arah atas dengan telapak tangan, allergic crease berupa garis
melintang akibat lipatan kulit ujung hidung, allergic facies berupa pernapasan mulut, dan
kelainan gigi-geligi.
 · pada pemeriksaan mulut dan orofaring dinilai eritema, edema, hipertrofi tonsil, dan post
nasal drip. Mukosa kemerahan dan edema sering dijumpai pada pasien rhinitis alergi.
 · inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada pemeriksaan dada untuk menilai adanya
penggunaan otot bantu pernapasan dan mengi.
 · pemeriksaan lainnya berupa tekanan darah yang rendah (90-110 mmHg) sering dijumpai
pada pasien penyakit alergi.1

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, dan
bukan untuk menentukan diagnosis.1 Adapun indikasi dari tes alergi adalah rhinitis alergi,
angioedema dan sengatan lebah, alergi makanan, dermatitis kontak, dan lain-lain.2
Pemeriksaan penunjang untuk alergi meliputi:

1.Pemeriksaan laboratorium

 Jumlah leukosit dan hitung jenis sel

Jumlah leukosit normal pada penyakit alergi. Sel eosinofil normal pada orang dewasa adalah
0-450 sel/mm3. Pada penyakit alergi, eosinofilia sering dijumpai tapi tidak spesifik dan
berkisar 5-15% beberapa hari setelah pajanan. Hal ini dapat menjadi penanda dan beratnya
hipersensitivitas tersebut.1

 Sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, dan sputum

Eosinofil banyak dijumpai pada sekret pasien rhinitis alergi. Namun, apabila terdapat infeksi
maka neutrofil lebih dominan.3

 Serum IgE total

Pemeriksaan ini mulai ditinggalkan karena peningkatan serum IgE total dapat dijumpai pula
pada infeksi parasit, sirosis hati, mononukleosis, penyakit autoimun, dan lain-lain.
Pemeriksaan masih dilakukan apabila a)alergi pada anak dengan riwayat orang tua yang juga
menderita alergi, b)alergi pada anak dengan bronkiolitis, c)membedakan asma dan rhinitis
alergi dengan non alergik, d)membedakan dermatitis atopi dengan lainnya, dan e) diagnosis
aspergilosis bronkopulmoner alergik.1 Pada rhinitis alergi, terjadi peningkatan serum IgE.3

 IgE spesifik

Pengukuran ini dilakukan pada pasien dengan penyakit kulit yang luas, tidak dapat
menghentikan pengobatan, dan kasus alergi berat sehingga menghalangi tes kulit. IgE diukur
secara in vitro dengan teknik RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent Assay). Rasio ikatan dan tidak terikat IgE ≥ 2 menggambarkan
respons spesifik terhadap alergen. Namun, tes ini kurang sensitif (tapi lebih
spesifik) dibanding tes kulit dan hasilnya tidak langsung diketahui.1,2

 Pemeriksaan komplemen
Pada kasus angioedema berulang tanpa urtikaria dilakukan pemeriksaan C1 inhibitor dan C4
komplemen. 4

2.Tes kulit

 Tes tusuk (prick test)

Sebelum melakukan tes ini, pasien harus menghentikan penggunaan obat seperti antihistamin
(generasi I minimal 72 jam dan generasi II minimal 1 minggu sebelum tes) dan
kortikosteroid (dosis kecil seperti prednisone <20 mg dihentikan 3 hari sedangkan dosis
tinggi 1 minggu). Sedangkan teofilin, obat simpatomimetik, dan nedocromil tidak perlu
dilarang karena tidak mempengaruhi hasil tes.1 Tes boleh dilakukan pada pasien berusia > 2
tahun. Kontraindikasi absolut dari tes ini adalah lesi luas pada kulit, kooperasi pasien buruk,
dan pasien tidak bisa menghentikan pengobatan yang dapat mengganggu hasil. Sedangkan
kontraindikasi relatif berupa asma yang persisten dan instabil, anafilaksis, kehamilan, dan
penggunaan obat-obatan seperti antihistamin, antidepresan trisiklik, dan beta blocker.5

Bagian volar lengan bawah, lengan atas, atau punggung dibersihkan dengan alkohol. Ketika
kering, dibuat garis dengan jarak 2-3 cm. Lalu, dengan jarum disposibel ukuran 26, dilakukan
tusukan dangkal dengan ujung jarum pada daerah yang sudah diteteskan kontrol negatif
(larutan phosphate buffered saline dengan fenol 0,4%) atau kontrol positif (larutan histamin
fosfat 0,1%). Setiap penusukan, dilakukan dengan jarum yang baru.1 Dengan metode yang
sama, alergen diinjeksikan dengan jarum sehingga disebut intradermal skin test, biasanya
dipakai untuk alergen spesifik seperti bisa lebah atau penisilin. Akan tetapi, tes intradermal
tidak digunakan untuk alergi makanan karena hasil positif palsu yang tinggi dan risiko
terjadinya reaksi alergi yang parah. Sedangkan scratch test sudah jarang dilakukan karena
hasilnya yang inkonsisten.2

Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diameter bentol dan eritema. Positif
apabila rata-rata diameter satu bentol 3 mm lebih besar daripada kontrol negatif.5 Adapun
interpretasi hasil tes:
Hasil negatif: sama dengan kontrol negatif.

Hasil +1 : 25% dari kontrol positif.

Hasil +2 : 50% dari kontrol positif.

Hasil +3 : 100% dari kontrol positif.

Hasil +4 : 200% dari kontrol positif.1

 Tes tempel (patch test)

Biasanya digunakan pada dermatitis kontak dengan menempelkan bahan pada kertas saring
yang diletakkan di atas kertas impermeabel. Selanjutnya, ditempel pada kulit punggung
dengan plester. Bahan yang digunakan adalah benzokain, merkapto benzotiazol, kolofoni,
lanolin alkohol, dan lain-lain. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan diulangi 96 jam
sesudah pemasangan agar hasil lebih jelas terlihat. Adapun interpretasi hasil tes:

0= tidak ada reaksi

+/- = eritema ringan, meragukan

1+ = reaksi ringan (eritema dengan edema ringan)

2+ = reaksi kuat (papular eritema dengan edema)

3+ = reaksi sangat kuat (vesikel atau bula)1

3.Tes provokasi
Hanya dilakukan apabila terdapat kesulitan dalam diagnosis dan ketidakcocokan gambaran
klinis dengan tes lainnya.1 Adapun contoh tes provokasi adalah:

 Tes provokasi nasal dengan menyemprot salah satu alergen melalui satu lubang hidung dan
lubang hidung lainnya ditutup. Tes dianggap positif apabila timbul bersin-bersin, pilek,
hidung tersumbat, batuk, atau mukosa hidung edema.1
 Tes provokasi bronkial biasanya untuk asma dan harus dilakukan di rumah sakit serta
ditangani oleh tenaga medis. Cara yang dipakai adalah tes kegiatan jasmani dimana 42%
pasien memberikan hasil jasmani positif (Sutopo et.al.: 1984). Selain itu, dilakukan tes
inhalasi antigen dan histamine serta metakolin. Tes inhalasi histamin dan metakolin
menimbulkan 90% reaksi pada pasien asma sehingga menjadi kriteria diagnosis asma.1
 Tes eliminasi dan provokasi terhadap makanan. Eliminasi makanan yang dicurigai sebagai
penyebab alergi selama beberapa minggu dan kemudian dikonsumsi kembali pada suatu
waktu secara perlahan kemudian dilihat reaksi alergi.2 Oral food challenge dengan metode
double blind placebo dianggap sebagai gold standard. Prosedur ini tidak dilakukan pada
pasien dengan riwayat hipersensitivitas yang jelas.6 Pasien diminta untuk pantang makanan
selama 2 minggu, antihistamin dihentikan sesuai waktu paruhnya, dan di bawah
pengawasan medis untuk mengantisipasi reaksi berat seperti syok anafilaktik.4,6 Makanan
diberikan dalam bentuk suatu seri kapsul yang diberikan bergantian dengan kapsul plasebo.4
Hasil negatif apabila setelah menelan makanan dalam jumlah besar, tidak ada reaksi alergi.6

4.Punch biopsy dengan ukuran 4 mm dapat digunakan untuk membantu diagnosis urtikaria
karena adanya kelainan histopatologis yang luas dengan infiltrat seperti neutrofil, limfosit,
dan eosinofil.4

5.Pemeriksaan pelengkap lainnya berupa spirometri, pemeriksaan sputum, foto dada, dan
analisis gas darah dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis asma bronkial.7

Referensi:
1.
Tanjung A, Yunihastuti E. Prosedur diagnostik penyakit alergi. Dalam Buku Ajar Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal. 377-81.
2.
MedLine Plus. Allergy testing. Diunduh dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/
article/ 003519 .htm. Diakses pada 28 Maret 2012, pk. 20.00 WIB.
3.
Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J.
Allergies, anaphylaxis, and systemic mastocytosis: introduction. In Harrison’s Principle of
Internal Medicine. 17th ed. USA: The.McGraw-Hill Companies; 2008, chap.311.
4.
Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. Urtikaria dan angioedema. Dalam Buku
Ajar Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal. 400-1.

Douglass JA, O’Hehir RE. Diagnosis, treatment and prevention of allergic disease: the
5.

basics. Med J Aust. 2006; 185 (4): 228-233.


6.
Rengganis I, Yunihastuti E. Alergi makanan. Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal. 385-6.
7.
Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi 5.
Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal. 406-7.

Sumber Gambar:

Gb.1. Diunduh dari


http://www.bmj.com/highwire/filestream/409264/field_highwire_fragment_image
_l/0/F3.medium.gif. Diakses pada 28 Maret 2012, pk.23.00.

Gb.2.Diunduh dari http://2.bp.blogspot.com/_ZWqgYBROGHw/TKFjJfFjqyI/


AAAAAAAABu4/ Tu9DJLr HB nY/s1600/LT2_2.jpg. Diakses pada 28 Maret 2012, pk.
20.45.

3.Diunduh dari http://www.allergyclinic.co.uk/images/skinpricktest2.jpg. Diakses pada 28


Maret 2012, pk. 19.38 WIB.

.Diunduh dari http://oem.bmj.com/content/58/12/823/F2.large.jpg. Diakses pada 28 Maret


2012, pk. 21.00 WIB.

5.Diunduh dari http://www.mitchellzhomes.com/AZAPAA/skintest.bmp. Diakses pada 28


Maret 2012, pk. 21.20 WIB.

Anda mungkin juga menyukai