Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang

disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang

berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur

endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam

sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers

patch. Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam

paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun

klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan,

penyakit ini biasanya disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis,

sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam

paratifoid.(1)

Istilah tifhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai

pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu.

Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting

karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan

penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta

standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam

tifoid diseluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian

tiap tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang

1
dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling

rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih

ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam

tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.(2)

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan refrat ini adalah untuk mempelajari dan mengetaui

definisi, etiologi, epidemiologi, manifestasi klinis, tatalaksana, komplikasi dan

prognosis dari demam tifoid.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid

fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada

saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau

lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa

gangguan kesadaran.(1)

2.2 Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit

ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum

klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003

memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia

dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. (4) Di negara

berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis

dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang

sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah

sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi

3
dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di

daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan

1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia

dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.(3)

Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia

sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat

mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam

jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar

tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam

air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S.

Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah

dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63C).(1)

Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui

minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita

atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui

rute oral fekal = jalur oro-fekal).

Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang

berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi

oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya

kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.(1)

2.3 Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S.

4
typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S.

Hirschfeldii).

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri

Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora

fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari

oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope

antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da

dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid

faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik. (1)

Gambar 1. Mikroskopik S.Typhi

2.4 Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang

mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada

Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag

Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal

sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4)

5
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus

dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan

keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam

tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.

Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di

lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam

usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui,

jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal

berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada

lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan

obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di

jejnum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang

baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan

selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry

dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman

berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag.

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan

selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar

getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam

makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia

6
pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ

Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini

kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar

sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik

yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan

gejala infeksi sistemik.

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu,

berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara

intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama

feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.

Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi

dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi

beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan

gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit

kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental

dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini

biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari

berturut- turut.(1,4)

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi

jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe

lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna

dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang

7
mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke

lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin

dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya

komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan

gangguan organ lainnya.

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal

tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi

penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella

typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan

kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain.

Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis

seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi

sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi system

imunologis.(1,4)

8
(1)
Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid

2.5. Diagnosis

2.5.1 Anamnesis

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang

ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun

9
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2)

gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya

gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala

konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan

kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status

mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan

kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada

setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi.

Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,

penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat

dijumpai depresi mental dan delirium.

2.5.2 Gambaran Klinis

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan

gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi

kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis.

Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak

dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm,

dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80%

penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam

2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi

menetap sampai 1-2 bulan.

Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan

10
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi

pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.(4,5)

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok, yaitu :

a. Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai

sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit

normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum

tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga

leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran

darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula

leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya

menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia,

dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali

menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak

memerlukan penanganan khusus.

11
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan

myeloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.(1,4,6)

b. Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen

antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang

diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam

tabung tanpa antikoagulan.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai

nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih

didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada

deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen,

jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen

tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau

monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut

dalam perjalanan penyakit).(6)

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini

meliputi :

1) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibody

terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun

1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi

dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum

12
penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen

dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan

terjadi aglutinasi.

Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi

menunjukkan titer antibodi dalam serum. Maksud uji widal adalah untuk

menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam

tifoid yaitu;

1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2. Aglutinin H (flagel kuman)

3. Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan

untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar

kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi

O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai

beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang

yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,

sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan-2 tahun. Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh

dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen

Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya

dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.

13
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan

memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan

waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil

tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif

tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O

agglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4

kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak

dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi

aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya

sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti

biakan darah positif.

2) Tes TUBEX

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel

yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan

dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya

ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam

diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan

tidak mendeteksi antibody IgG dalam waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini,

beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh

14
Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.

Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas

sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat

digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan


(6)
sederhana, terutama di negara berkembang.

Ada 4 interpretasi hasil :

1. Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam

tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.


2. Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
3. Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:

Immunodominan yang kuat


Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi

dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat

terhadap sel B.
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga

respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.


Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan

cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang

ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme.

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :

Mendeteksi infeksi akut Salmonella


Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
Hasil dapat diperoleh lebih cepat

3) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

15
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi

spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap

IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan

deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase

pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat

transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG

spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen

dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari

metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan

antigen terhadap Ig M spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam

tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar

93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif

sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada

144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%,

spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain

mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis

nontifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila

dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh

karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal

positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila

16
digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam

tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi

silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen

dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus

sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai

fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman.

Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan

nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6

bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3
(6)
jam setelah penerimaan serum pasien.

4) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk

melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG

terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji

ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam

spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah,

73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada

penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel

urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada

pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004)

17
terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji

ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada

deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine

ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup

menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas

timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus
(6)
dengan Brucellosis.

2.5.4 Penatalaksanaan

2.5.4.1. Non Medikamentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu.

Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai
(5)
pemulihan.

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat

adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun

tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat)

untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam

tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi

biasa.

18
c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun

parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada

komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus

mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada

infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan

suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh

akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang.

Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem

efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada

medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian

anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini

menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit

meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh

sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan

teori yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat

pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh

meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu


(7)
juga sebaliknya.

2.5.4.2. Medikamentosa

19
a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi

antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman

dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,

sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna

yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah

mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,

obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu

antrain atau Novalgin.


(1,4,5)
b) Antibiotik : yang sering diberikan adalah :

Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi

tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-

anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian

intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari

atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler

tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau

didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari.

Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau

kambuh, dan carier.


Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika

trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis

Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi

20
dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan

untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu.

Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,

Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara

antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.


Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah

dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun

untuk anakanak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup

efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi

menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih

lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.


Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),

merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan

lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive

terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan

dosis 100 mg/kg/hari IV dibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari)

selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari

dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat

diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.


Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor,

koma sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3

mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6

jam sampai 48 jam. Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan

usus kadang-kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah

21
terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol.

2.6. Diagnosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang

secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza,

gastroenteritis, bronchitis, bronkopneumonia, demam dengue dan malaria.

Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti

tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid

yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai

dignosis banding.(1)

2.7. Komplikasi
(4)
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :

2.7.1. Komplikasi pada usus halus

1. Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja

dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat

disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.


2. Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi

pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis

hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum

yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan

diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan

tegak.

22
3. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi

usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding

abdomen tegang, dan nyeri tekan.

2.7.2. Komplikasi diluar usus halus

1. Bronkitis dan bronkopneumonia


Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan

disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi

sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut.

Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
2. Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu

kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi

kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.


3. Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa

kesadaran menurun, kejang-kejang, muntah, demam tinggi,

pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang kejang

maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti

oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.


4. Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering

didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan

gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat.

Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella

oranemburg.
5. Miokarditis

23
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran

klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun

keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga.

Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi

segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia,

supraventrikular takikardi.
6. Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella

typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis

maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid.

Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis

yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom

nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.


7. Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala

penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella

typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces

selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen.

Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki

bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi

menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada

kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus

urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin

memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.

24
2.8. PROGNOSIS

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,

keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara

maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di

negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena

keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya

komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat,

meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan

mortalitas yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.

Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko

menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier

kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.(1)

25
BAB III

PENUTUP

3. KESIMPULAN

Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa

demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam

yang terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan

turun pada pagi hari. Gejala gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi

konstipasi. Pada cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor

dengan tepi hiperemi yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan

Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur

waktu tidur. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran

seperti delirium, supor sampai koma.

Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang

yang dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji

Widal, atau pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG anti Salmonella.

Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat

dengan tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah

Serat, dan Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap

kuman Salmonella typhi.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan,
edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
3. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15.
Jakarta: EGC ; 2000.
4. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta : 2003. h. 2-20.
5. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid
pada anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
6. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan
demam pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof.
Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. 2012.
7. Harrison's principles of internal medicine. New York, N.Y. [u.a.]: McGraw-Hill; 2012.
8. Antonius H.Pudjiadi, dkk. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Edisi pertama.
Palembang:Ikatan Dokter Anak Indonesia.
9. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis Edisi ke 2. 2008. UUK Infeksi dan Pediatri Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai

  • 01 November 2021
    01 November 2021
    Dokumen11 halaman
    01 November 2021
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • 02 November 2021
    02 November 2021
    Dokumen4 halaman
    02 November 2021
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • 03 November 2021
    03 November 2021
    Dokumen15 halaman
    03 November 2021
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • Shift 1 Bas (08.00-14.00
    Shift 1 Bas (08.00-14.00
    Dokumen12 halaman
    Shift 1 Bas (08.00-14.00
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • 05 November 2021
    05 November 2021
    Dokumen11 halaman
    05 November 2021
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Mata
    Jurnal Mata
    Dokumen21 halaman
    Jurnal Mata
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • NYERI INGUINAL
    NYERI INGUINAL
    Dokumen15 halaman
    NYERI INGUINAL
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Bas 2
    Lapsus Bas 2
    Dokumen26 halaman
    Lapsus Bas 2
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • HEG13-14
    HEG13-14
    Dokumen6 halaman
    HEG13-14
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Tifoid
    Laporan Kasus Tifoid
    Dokumen16 halaman
    Laporan Kasus Tifoid
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan Mata
    Penyuluhan Mata
    Dokumen20 halaman
    Penyuluhan Mata
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen16 halaman
    Bab 1
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen24 halaman
    Presentation 1
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • Tugas Pretest
    Tugas Pretest
    Dokumen33 halaman
    Tugas Pretest
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Tifoid
    Laporan Kasus Tifoid
    Dokumen16 halaman
    Laporan Kasus Tifoid
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus DVT
    Laporan Kasus DVT
    Dokumen23 halaman
    Laporan Kasus DVT
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • DENTURE
    DENTURE
    Dokumen19 halaman
    DENTURE
    Pash Cr
    0% (1)
  • Responsi Tin (RSJ Bangli)
    Responsi Tin (RSJ Bangli)
    Dokumen7 halaman
    Responsi Tin (RSJ Bangli)
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • Dhe & Karies
    Dhe & Karies
    Dokumen25 halaman
    Dhe & Karies
    Anonymous FfZm5kOkYF
    Belum ada peringkat
  • Pemfigus Vulgaris
    Pemfigus Vulgaris
    Dokumen22 halaman
    Pemfigus Vulgaris
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat
  • Kasus kpd-1
    Kasus kpd-1
    Dokumen35 halaman
    Kasus kpd-1
    Gung Zodiac'inside
    Belum ada peringkat