Oleh :
Sekar Sedyaningtyas
12/328829/KG/09127
YOGYAKARTA
2016
PENDAHULUAN
Autoimun terjadi ketika sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk mengenali
mana antigen diri sendiri dan mana antigen asing, hal ini menyebabkan sistem imun
menyerang antigen diri. Beberapa penyakit autoimun dapat dijumpai berbagai manifestasinya
pada rongga mulut. Gambaran klinis lesi infeksi imunologi pada rongga mulut sangat
bervariasi secara signifikan dan biasanya bersifat kambuhan. Lesi-lesi tersebut dapat
bermanifestai pada mukosa oral sebagai ulkus, bulla, depapilasi lidah, lesi reticular,
granuloma, dan lain-lain. Efek dan kausa terjadinya lesi dapat diperoleh dari pemeriksaan
subjektif berupa anamnesis, serta pemeriksaan objektif berupa gambaran klinis disertai
dengan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgent dan pemeriksaan laboratorium.
PEMBAHASAN
1. PENYAKIT IMUNOLOGI
A. Recurrent Aphthous Stomatitis
Recurrent aphthous stomatitis merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan
munculnya ulkus yang bersifat kambuhan pada mukosa rongga mulut pasien tanpa
adanya tanda penyakit lain. Tidak lama ini para praktisi, menyatakan bahwa RAS bukan
merupakan suatu penyakit yang bersifat tunggal, tetapi berkaitan dengan beberapa
kondisi seperti kelainan imunologi, defisiensi hematologi, dan alergi atau abnormalitas
psikologi. Berdasarkan tampakan klinis, RAS diklasifikasikan menjadi 3, yaitu ulser
minor, ulser mayor (Suttons disease, periadenitis mucosa necrotica recurrens), dan ulser
herpetiform. Ulser minor ukuran diameternya kurang dari 1 cm dan sembuh tanpa
adanya jaringan parut. Ulser mayor ukuran diameternya lebih dari 1 cm, proses
penyembuhannya lebih lama dan biasanya disertai adanya jaringan parut. Ulser
herpetiform memiliki gambaran klinis yang berbeda, manifestasinya berupa puluhan
ulser yang berukuran kecil di sepanjang mukosa oral. RAS ini sering ditemukan pada
wanita dibanding pria dan dapat muncul pada semua umur meskipun yang terbanyak
ditemukan selama dekade kedua.
RAS merupakan suatu sindrom klinis dengan kemungkinan beberapa penyebab,
seperti faktor herediter, alergi, defisiensi hematologi (serum besi, folat atau vitmin b12),
abnormalitas imunologi (kelainan autoimun atau hipersensitif terhadap organisme rongga
mulut seperti Streptococcus sanguis). Faktor lain yang diduga sebagai etiologi RAS yaitu
trauma, stress psikologi, anxietas, dan alergi makanan. RAS biasanya terjadi pada pasien
yang terkena trauma kecil, menstruasi, infeksi saluran napas atas, atau kontak dengan
makanan tertentu. Sebelum lesi muncul, terdapat gejala prodromal berupa sensai terbakar
selama 2-48 jam sebelum ulserasi muncul, selama tahap tersebut muncul area eritematus
lokal, kemudian menjadi papul kecil berwarna putih, unserasi, dan secara bertahap
ukuran lesi bertambah besar pada 48-72 jam berikutnya. Ulkus tunggal berbentuk bulat,
simetris, dan dangkal tanpa disertai tag jaringan., sedangkan pada lesi multiple jumlah,
ukuran dan frekuensinya bervariasi. Mukosa bukal dan labial seringkali terlibat,
sedangkan pada mukosa yang berkeratin tebal seperti palatum dan gingiva jarang terjadi.
Sembuh total dalam waktu 10-14 hari.
Manajemen dari RAS tergantung dari penyebabnya, jika penyebabnya karena
defisiensi folat, vitamin b12, dan ferritin maka pasien dirujuk ke ahli penyakit dalam.
Jika penyebabnya karena alergi makanan, maka pasien harus menghindari alergen.
Pemberian obat didasarkan pada keparahan RAS, pada kasus ringan dengan jumlah 2-3
ulkus cukup diaplikasikan topikal emollient pelindung seperti Orabase. Pada kasus yang
lebih parah dapat diberikan kortikosteroid topikal, seperti triamcinolone atau
fluoconolone yang dioleskan sebanyak 3-4 kali sehari setelah makan dan pada saat tidur
malam. Pada RAS yang parah, penggunaan steroid topikal potensi tinggi seperti
fluocinonide gel, clobetasol cream,atau beclomethasone spray disarankan. Injeksi
intralesional steroid juga bisa membantu pada aphthous mayor yang lebar dan lamban.
Chlortetracycline bisa juga dijadikan sebagai obatkumur atau diletakkan pada lesi beserta
dengan kassa untuk mengurangi nyeri dan jumlah ulser. Pada kasus RAS mayor berat
yang tidak berepon terhadap pemberian steroid atau tetrasiklin, disarankan untuk
menggunakan dapsone, jika gagal gunakan thalidomide. Akan tetapi thalidomide
memiliki efek teratogenik. Terapi lain yang memberikan keuntungan tapi masih
membutuhkan investigasi lebih lanjut yaitu recombinant interferon alpha, tablet nikotin,
dan colchicine.
B. Pemphigus Vulgaris
Pemfigus Vulgaris merupakan suatu kelainan muko-kutaneus yang berkaitan
dengan adanya antibodi terhadap substansi interseluler dari sel epitel. Penyakit ini
mengenai kulit, akan tetapi manifestasi mulutnya ditemukan pada banyak penderita.
Vesikel dengan rasa sakit atau bulla mungkin timbul dan pecah hanya dalam waktu
beberapa jam, mengakibatkan tukak yang dangkal. Keadaan tersebut menetap beberapa
minggu atau beberapa bulan tetapi lesi baru dapat timbul kembali selama proses
penyakit. Apabila penyakit ini tidak diobati dengan obat-obatan penekan imun, maka
penderita akan meninggal. Pemeriksaan biopsy bersifat penting, karena pemeriksaan ini
akan menunjukkan adanya bulla epitel yang disebabkan oleh lepasnya perlekatan antara
sel-sel epitel. Sel-sel menjadi bulat dengan inti membesar dan disebut sebagai selsel
akantolitik yang juga didiagnosis melalui pemeriksaan sitologik dari kerokan lesi.
Penyakit ini biasanya berkaitan dengan kelainan autoimun yang lain seperti myasthenia
gravis, juga thymoma, lymphoma. Penyakit ini bisa juga dipicu oleh obat-obatan seperti
penicillamine.
Manifestasi klinis dari penyakit ini berupa bula yang menonjol dibanding kulit di
sekitar dan mudah pecah, meluas kearah perifer dan meninggalkan area kulit yang
mengalami denudasi, nikolsy sign positif. Sedangkan untuk manifestasi oralnya, menurut
penelitian Hashimoto dan Lever lesi awal dari pemphigus vulgaris muncul di rongga
mulut karena epitelnya memiliki substansi dan pertautan interseluler yang sedikit,
sehingga mudah terjadi akantolisis. Obat utama dari penyakit ini adalah kortikosteroid
karena bersifat imunosupresif, yang sering digunakan ialah prednisone deksametason.
Obat-obat imunosupresi seperti azatiopron, klorambusil, siklofosfamid, atau metotreksat
dapat diberikan sebagai tambahan untuk mendampingi obat-obat steroid.
Pemphigus vulgaris mukosa bukal Ulser ireguler pada lidah pasien pemphigus vulgaris
E. Lupus
Eritemateus
Penyakit ini dikenali secara klinik berupa atropik yang lokal ataupun lesi-lesi
erosif yang dikelilingi papula hiperkeratotik atau striata dan dapat melibatkan bibir,
pipi, langit-langit, ataupun lidah. Pemeriksaan biopsy menunjukkan hyperkeratosis,
atrofi epitel, degenerasi mencair dari lapisan sel basal dan infiltrasi sel mononuclear
yang menonjol sekitar pembuluh-pembuluh darah, seperti juga pada lamina propria.
Degenerasi fibrinoid mungkin mengenai jaringan ikat dan dinding-dinding pembuluh
darah. Sekitar 75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti
rasa kering, rasa sakit, dan rasa terbakar terutama saat makan panas dan pedas. Lesi
spesifiknya dapat berupa aphtae yang berukuran kecil (kurang dari 1 cm), terasa sakit,
dapat ditemukan pada mukosa bukal. Lesinya cenderung lebih lama, lebih besar, dan
terlihat pada palatum. Lesi oral pada penderita lupus discoid menyerupai plak
berwarna merah dikelilingi daerah putih, lesinya mirip dengan lichen planus.
Penatalaksanaan lesi spesifik dapat digunakan kombinasi terapi kortikosteroid
sistemik dengan antimetabolite seperti azathioprine atau mycophenolate mofetil
dengan cyclophosphamide. Penatalaksanaan untuk keluhan rasa sakit dan rasa
terbakar pada penderita lupus yaitu dengan pemberian terapi untuk faktor organik
yang menyebabkan ketidaknyamanan seperti terapi untuk kandidiasis atau lichen
planus baik secara sistemik atau topikal, kemudian dapat diberikan vitamin B1 300
mg dan vitamin B6 50 mg sebanyak 3xsehari selama 4 minggu sebagai placebo.
Discoid lupus erythematosus Lesi lupus pada mukosa palatum pasien
F. pada mukosa bukal kiri Sjgren systemic lupus erythematosus
Syndrome
Kekeringan mulut merupakan gejala menonjol dari penyakit ini. Keluhan yang
mungkin dirasakan pasien dapat berupa rasa terbakar dari lidah, bibir, dan pipi, serta
gangguan luar biasa saat makan dan berbicara. Lapisan mukosa mengalami atrofi dan
kekeringan saliva yang mengakibatkan gerakan-gerakan antara permukaan mukosa
menjadi agak sulit. Infeksi candida dari variasi atropik kronik biasanya mengenai
mukosa mulut dan dapat meningkat menjadi angular cheilitis. Sindrom ini terdiri dari
mata yang kering dan penyakit jaringan ikat, selain mulut yang kering. Paling sering
dikaitkan dengan penyakit arthritis rheumatoid, tapi lupus eritematosus dan penyakit
autoimun lain juga sering dihubungkan.
Untuk mendiagnosis penyakit ini, ditegakkan dengan adanya peningkatan
ESR, kadar immunoglobulin, uji faktor rheumatoid dan Rose Waaler yang positif,
adanya faktor antinuclear, autoantibodi organ spesifik dan antibody saluran kelenjar
saliva. Gambaran sialogram yang abnormal dan bukti histologik sialadenitis pada
biopsy bibir mungkin lebih bermakna dalam menegakkan diagnosis penyakit ini.
G. Behet Syndrome
Merupakan suatu penyakit multi-sistem yang jarang dengan gambaran paling
konsisten berupa ulserasi mulut berulang, berhubungan dengan ulserasi genital,
penyakit mata (kebanyakan berupa uveitis), juga terdapat manifestasi pada kulit,
pembuluh darah, persendian, dan neurologik. Etiologi dari penyakit ini yaitu
kompleks imun yang menyebabkan vasculitis pada pembuluh darah yang berukuran
kecil hingga sedang serta inflamasi pada epitelium karena immunokompeten dari sel
limfosit T dan sel plasma.
Manifestasi klinisnya mirip dengan RAS akan tetapi lesinya mungkin muncul
pada mukosa oral dan pharyngeal, sedangkan area genital seperti scrotum dan penis
pada laki-laki, serta labia pada wanita merupakan merupakan area kedua yang
umumnya terlibat. Lesi yang muncul di mata berupa uveitis, infiltasi retinal, edema,
dan oklusi vaskular, atropi optic, konjungtivitis, dan keratitis. Selain itu, penyakit ini
juga memiliki manifestasi di kulit berupa lesi pustular yang luas, dan manifestasi di
sendi (arthritis) yang berupa kemerahan dan bengkak. Penyakit ini juga dapat
melibatkan system syaraf pusat seperti brain stem syndrome, nervus cranialis, atau
degenerasi neurologi yang menyerupasi sclerosis multiple yang dapat dilihat dengan
MRI. Tanda lain dari penyakit ini yaitu thrombophlebitis, ulserasi intestinal,
thrombosis vena, dan penyakit ginjal serta pulmoner. Seringkali hanya beberapa
gambaran tersebut yang ditemukan, dan diagnosis umumnya dibuat apabila tiga atau
lebih dari tanda tersebut yang terlibat.
Penegakan diagnosis kasus ini meliputi beberapa hal, seperti ulserasi oral
kambuhan terjadi paling tidak 3 kali dalam periode satu 12 bulan ditambah 2 dari 4
manifestasi berikut yaitu ulserasi genital kambuhan, lesi mata termasuk uveitis atau
vasculitis retinal, lesi kulit termasuk erythema nodosum, pseudofolliculitis, lesi
papulo pustular, atau acneform nodule pada pasien postadolescent yang tidak
menerima obat kortikosteroid, serta tes pathergy positif. Manajemen penyakit ini
tergantung pada manifestasi kliniknya.
2. PENYAKIT INFEKSI
A. Infeksi Bakteri
1. Gonorrhea
Gonorrhea adalah infeksi yang biadsanya ditularkan melalui transmisi seksual
akibat adanya infeksi Nisseria gonorrhoeae. Lesi ini biasanya terdapat pada area
genital, di anus,dan di rongga mulut, umumnya di faring. Faktor resiko utama dari
gonococal pharyngitis adalah kegiatan orogenital seks (Myers dan Curran, 2014).
Penyakit ini muncul akibat perlekatan dari N. Gonorroeae ke jaringan mukosa
dari ronga mulut atau alat genital yang kemudian berpenetrasi ke dalan jaringan
diantara permukaan sel epithelial. Secara Pada laki-laki, penyakit ini mempunyai
karakteristik berupa sensasi gatal dan terpakan diuretra yang disertai dengan rasa
nyeri yang ringan sampai sedang (Greenberg, 2008)
Manifestasi oral dari infeksigonococcal terbagi dua yaitu fenomena septic
embolic dan reaksi hipersensitivitas. Gambaran klinis dari infeksi septic pada
mukosaoral bermacam-macam, yaitu erythematous, purpuric, vesikopustular,
hemorrhagic dan lesi ulseratif. Sedangkanreaksi hipersensitivitas berupa lesi
erythematous pada palatum,mukosa bukal dan gingival. (Greenberg,2008). Lesi
terlihat banyak pada semua bagian oral mukosa dan terlihat beagai macam tanda
klinis yaitu edema, vesikel, ulserasi dan pseudomembran. Pseudomembran dapat
berwarna putih, kuning, atau abu-abu dan mudah dikerok dan meninggalkan
permukaan yang berdarah. Pada beberapa paasien, stomatitis yang sangat
menyakitkan juga nampak, disertai dengan memerahnya mukosa oral dan edema.
Daerah oral yang paling sering terinfeksi adalah gingival, lidah, mukosa bukal,
palatum dan orofaring (Langlais, dkk., 2015).
Chancre sifilis pada awalnya tampak sebagai papula soliter kecil yang
menonjol, membesar, menimbulkan erosi dan ulserasi. Lesi ini biasanya menonjol,
ada indurasidan berdiameter 2-3 cm, namun kurang mempunyai tepi merah yang
meradang. Permukaannya ditutupi cairan serosa kekuningan yang sangat menular
(Brunch dan Teister, 2010). Eritema palatal atau ulser kemerahan yang tidak
bergejala dapat merupakan lesi awal bersama dengan nodus limfatik
servikalbagian anterior yang membengkak, keras dan tidak nyeri. Chancre
umumnya muncul selama 2-4 minggu dan sembuh spontan, menyebabkan pasien
menganggap bahwa hal tersebut dapat sembuh tanpa diobati. Setelah laten selama
4 minggu 6 bulan, akan muncul tahap sifilis sekunder. Pada tahap ini,pasien
mengalami sakit kepala, sobeknya selaput mata, rembesa cairan hidung, nyeri
tenggorok, sakit sendi menyeluruh, pembesaran nodus limfatik, kenaikan suhu
badan dan penurunan berat badan. Ruam makulopapular yang simetris dan tidak
sakit akan muncul pada telapak tangan dan segera diikuti dengan lesi pada bagian
bawah kaki (Ghom dan Mhaske, 2008). Kelompok lesi oral dari lesi sekunder
akan tampak sebagai makula berbentuk oval, merah, faringitis atau bercak mukosa
multipel atau terisolir (ulkus dangkal, tidak sakit, sangat menular, dikelilngi halo
eritema) yang disebut mucous patch. Bagian tepi sering tidak teratur dan mirip
jalur keong / snail track ulcer (Langlais, dkk., 2015).
Sifilis tersier muncul pada orang yang terinfeksi, beberapa tahun setelah
tahap sifilis sekunder yang tidak diobati. Lesi terutama ditandai dengan perforasi
palatu dan gejala neurologis, Penisilin G secara parenteral masih tetap merupakan
obat pilihan untuk merawat sifilis pada semua tahapan (Langlais, dkk., 2015).
3. Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang ditandai dengan
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Mycobacterium
tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru dan
berbagai organ tubuh lainnya. Penyakit TB ini biasanya menyerang paru
tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk meningens,
ginjal, tulang dan nodus limfe (Langlais, dkk., 2015). Infeksi awal biasanya
terjadi 2-10 minggu setelah terpajan. Individu kemudian dapat mengalami
penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun. Transmisi
dari infeksi ini dapat melalui udara, biasanya kontak pertama terjadi karena
tidak sengaja menghirup udara, debu atau dahak yang mengandung basil-basil
Mycobacterium tuberculosis (Brunch dan Teister, 2010).
Manifestasi oral terjadi pada sekitar 3% kasus yang melibatkan infeksi
sistemik atau pulmonar berkepanjangan. Bakteri dapat menginfeksi jaringan
mulut dan nodus limfa (scrofula). Di ronga mulut, lesi dapat terjadi di
jaringan lunak dan tulang pendukung serta di lokasi bekas pencabutan, bisa
juga pada lidah dan dasr mulut. Lesi ulseratif di mukosa pada penderita TB
berupa ulkus yang irregular, tepi yang tidak teratur, dengan sedikit indurasi,
dan sering disertai dasar lesi berwarna kuning, disekeliling ulkus juga
dijumpai satu atau beberapa nodul kecil (Brunch dan Teister, 2010). Lesi pada
TB primer sangat jarang ditemukan, terlihat pada penderita TB usia muda dan
berupa ulser tunggal yang sakit dengan pembesaran kelenjar limfa. Lesi pada
TB sekunder lebih sering ditemui terutama pada penderita TB paru lesi
biasanya berupa ulser tunggal kronis, irregular di kelilingi oleh eksudat dan
sangat menyakitkan. Lesi lebih sering dijumpai pada pasien usia menengah ke
atas. Tempat yang paling sering terjadi ulser adalah lidah selanjutnya bibir.
Tuberkulosis pada tulang adalah salah satu bentuk dari osteomyelitis kronis,
dimana lebih sering ditemukan pada pasien muda dan pasien stadium akhir
(Ghom dan Mhaske, 2008).
Manifestasi oral : lesi dengan indurasi
B. Infeksi Virus
1. Herpangina
Herpangina (lepuh mulut) merupakan infeksi mulut yang disebabkan oleh virus
coxsackie. Biasanya, herpangina dihasilkan oleh satu strain tertentu virus coxsackie
tipe A, tetapi juga dapat disebabkan oleh virus coxsackie tipe B atau echoviruses dan
paling sering terjadi pada anak-anak (Brunch dan Teister, 2010). Herpangina
merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri tanpa pengobatan, penyakit virus yang
ditandai dengan serangan tiba-tiba, berupa demam, sakit tenggorokan disertai
munculnya lesi pada faring. Herpangina adalah salah satu contoh yang jelas adanya
lesi vesikuler yang sakit sekali pada palatum, uvula atau farynx, disertai panas tinggi,
nyeri telan dan malaise. Panas akan turun dalam waktu sekitar 3 hari namun lesi akan
bertahan sampai seminggu (Myers dan Curran, 2014).
Lesi pada faring berukuran 1 2 mm berbentuk papulovesikuler berwarna abu-
abu dengan dasar eritematus dan berkembang secara perlahan menjadi lesi yang
sedikit lebih besar. Lesi ini yang biasanya muncul pada dinding anterior faucium dari
tonsil, palatum molle, uvula dan tonsilnya sendiri, muncul sekitar 4 6 hari sesudah
mulai sakit. Penyakit ini tidak fatal (Langlais, dkk., 2015).
Ulkus yang berkelompok di lateral lidah kiri. Pasien juga memiliki lesi pada palatum
dan dinding faring bagian posterior
Lesi pada telapak kaki, sekitar mulut dan tangan anak dengan HFMD
Lesi kulit terdapat pada dua pertiga penderita dan muncul beberapa saat setelah
lesi oral. Lesi ini paling banyak didapatkan pada telapak tangan dan telapak kaki.
Selain itu dapat juga pada bagian dorsal tangan, sisi tepi tangan dan kaki, bokong dan
terkadang pada genitalia eksternal serta wajah dan tungkai Lesi kulit dimulai sebagai
makula eritematus berukuran 28 mm yang menjadi vesikel berbentuk oval, elips atau
segitiga berisi cairan jernih dengan dikelilingi halo eritematus. umlahnya bervariasi
dari beberapa saja hingga banyak. Setelah menjadi krusta, lesi sembuh dalam waktu 7
hingga 10 hari tanpa meninggalkan jaringan parut (Myers dan Curran, 2014).
Tujuan pemberian farmakoterapi adalah mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi. Pengobatan HFMD bersifat suportif dan ditujukan untuk meredakan
gejala. Sampai saat ini belum ada pengobatan dengan antivirus yang efektif (Ghom
dan Mhaske, 2008).
3. Herpes
Virus kelompok ini, yang terdiri atas Herpes simpleks tipe I, Herpes simpleks tipe
II, Varicella Zooster, virus Epstein-Barr dan sitomegalovirus, bertanggung jawab atas
sebagian besar lesi mukosa mulut yang disebabkan oleh virus.
a. Gingivotomatitis Herpetik Primer
Penyakit ini merupakan infeksi HSV primer yang simtomatik. Penyebabnya dapat
berupa HSV tipe I dan II. Respon peradangan akut terhadap infeksi HSV primer
biasanya mengikuti periode inkubasi 2-10 hari (Langlais, dkk., 2015).
Pasien yang terinfeksi merasakan daemam, lemas dan gelisah. Daerah fokal
peradangan pada gingiva tepi pada awalnya akan tampak merah dan edematus. Papilla
interdental sering mengalami perdarahan jika terkena trauma ringan karena kerapuhan
dari kapiler dan peningkatan permeabilitas. Peradangan dapat menyebar ke gingiva
tepi dan cekat serta muncul vesikel di seluruh mulut. Vesikel akan pecah, membentuk
ulkus kekuningan yang dikelilingi halo eritematus. Lesi-lesi yang berdekatanakan
bergabung membentuk ulkus yang besar pada mukosa bukal, labial, gingiva, palatum,
lidah dan bibir. Erosi dangkal pad kulit perioral dan krusta perdarahan pada bibir
menjadi tanda khasnya (Jaya dan Harijanti, 2009). Sakit kepala, limfadenopati dan
faringitis umumnya akan ditemukan khususnya pada individu dewas yang terinfeksi
HSV-2. Komplikasi yang dpat munculberuba otoinokulasi dari daerah epidermal yan
menimbulkan keratokonjungtivitis, herpetic Whitlow dan erupsi varisela kaposi
(Brunch dan Teister, 2010).
Ulkus pada lidah dan gingiva pada pasien dengan diagnosis PHGS
Keluhan utama dari pasien dengan penyakit ini biasanya berupa rasa nyeri.
Pengunyahn dan penelanan dapat tergangu, menimbulkan dehidrasi dan kenaikan
temperatur. Penegakkan diagnosis dapat dibantu melaui biakan virus, kadar antibodi
serum dan uji serologi (Greenber, 2008). Perawatan suportif berupa pemberian obat
antijamur dapat diberikan beberapa hari setelah munculnya penyakit. Pasie dengan
temperatur tinggi (>101 F) harus dieri obat antipiretik nonaspirin dan antibiotik (Jaya
dan Harijanti, 2009).
Vesikel pada (a) vermillion border bibir bawah dan (b) mukosa labial atas
Lesi dari herpes labialis rekuren tampak sebagai kelompok vesikel keci yang
erupsi, bergabung, mengalami ulserasi, mengalami keropeng dan sembuh tanpa
menimbulkan jaringan parut. Pada orang yang relatif sehat, stomatitis herpetik
rekuren menimbukan ukus kecil dengan halo eritematus oada mukosa periosteal dan
berkeratin (misalnya, gingiva cekat dan palatum keras). Kekambuhan pada mukosa
bukal dan lidah jarang terjadi (Brunch dan Teister, 2010).
b. Herpes Zoster
Herpes Zoster (HZ) atau shingles merupakan hasil reaktivasi dari virus Varicella
zooster yang memasuki akhiran nervus kutaneus yang diawali dengan terjadinya
chicken pox, melwati ganglion dorsalis dan bertahan dalam bentuk laten (Langlais,
dkk., 2015). Syaraf yang biasanya terlibat adalah C3, T5, L1, L2 dan divisi pertama
nervus trigeminus. Transmisi pada infeksi HZ terjadi karena penyebaran partikel
infeksius dari sekresi oral, lesi kulit maupun melalui kontak langsung dengan pasien
(Hiremutt dkk., 2016).
Lesi fasial dan intraoral (palatum) pada Herpes Zoster yang melibatkan cabang
kedua dari nervus trigeminus
Gambaran klinis HZ dapat dikategorikan dalam 3 fase, yaitu prodromal, akut dan
kronis. Pada fase prodromal, inflamasi ganglion terjadi karena replikasi virus yang
menyebabkan nekrosis pada syaraf sensoris yang diserang sehingga menimbulkan
nyeri berat dengan sensasi terbakar, kesemutan, gatal, geli dan seperti tertusuk pada
kulit dan/atau mukosa oral yang diinervasi oleh syaraf tersebut. Fase prodromal
diikuti dengan bercak eritema, kadang-kadang disertai indurasi yang muncul pada
area dermatom yang terlibat. Ruam biasanya disertai dengan lesu, sakit kepala, mual,
demam tingkat rendah, dan bisa berkembang menjadi lepuhan dengan dasar
eritematus pada area kulit yang terinfeksi yang kemudian dapat menimbulkan ulkus.
Kemudian lesi mengering dan terbentuk krusta di sepanjang jalur syaraf sensoris yang
terkena dan berhenti di midline. Krustasi berkurang setelah 14-21 hari, meninggalkan
lesi makular eritematus yang lebih jauh lagi dapat menyebabkan hipo/hiperpigmentasi
pada area kulit yang terserang. Gejala jika dihubungkan dengan karakteristik lesi yang
terbatas pada area yang diinervasi oleh syaraf yang terlibat akan membuat diagnosis
lebih mudah ditegakkan. Terlebih lagi pada HZ unilateral, lesi memiliki ciri berhenti
pada midline. Hal itu merupakan tanda patognomonik (Hiremutt dkk., 2016).
Intervensi terapetik untuk penatalaksanaan infeksi HZ sebaiknya dilakukan untuk
kontrol nyeri, perawatan kulit dan lesi oral, terapi antivirus dan sebaiknya ditujukkan
untuk pencegahan komplikasi. Lesi kulit dapat dirawat dengan aplikasi kompres
kain/handuk yang direndam di air dingin, sedangkan penatalaksanaan nyeri dapat
berupa peresepan analgesik ringan sampai menengah kuat dibarengi dengan agen
inflamatori (Brunch dan Teister, 2010). Terapi obat antivirus mampu mengurangi
durasi dan keparahan pada fase akurt dari infeksi HZ. Acyclovir adalah pilihan obat
dengan dosis yang direkomendasikan sebesar 800 mg 4-5 kali per hari selama 5 hari.
Agen terbaru lainnya seperti Famciclovir 50 mg dan Valacyclovir 1g dapat diresepkan
3 kali sehari selama 7 hari (Hiremutt dkk., 2016).
4. Infeksi Mononukleosis
Infeksi mononukleosis merupakan infeksi virus akut yang ditandai dengan lelah,
demam, nyeri tenggorokan, pembengkakan nodus limfatik, stomatitis dan kadang-
kadang hepatosplenomegali. Lesi paling sering disebabkan oleh virus Eipstein-Barr
dan terjadi terutama pada remaja dan dewasa muda. Penyakit ini tingkat penularannya
rendah serta penyebarannya dapat melalui pertuakran saliva yang terkontaminasi virus
selama ciuman dalam atau pemakaian sedotan bersama-sama (Brunch dan Teister,
2010).
Manifestasi oral yang muncul dapat berupa lesi yang sering kali merupakan
manifestasi palng dini dari infeksi mononukleosis. Lesi berupa petekiae berwarna
merah yang terletak di pertemuan palatum keras dan lunak terjadi selama beberapa
minggu pertama infeksi. Lesi ini akan berubah menjadi coklat dan menghilang setelah
beberapa hari. Sewaktu kondisi ini berkembang, lelah, tonsilitis dan limfadenopati
servikal posterior yang sakit dan bilateral merupakan temuan yang mencolok.
Kadang-kadang pasien mengalami ruam, batuk, gingivitis ulseratif nekrotika (NUG)
atau ulser faring (Langlais, dkk., 2015).
c. Infeksi Jamur
1. Oral Candidiasis
Kandidiasis oral merupakan salah satu infeksi oportunistik pada rongga mulut
berupa lesi merah dan lesi putih yang disebabkan oleh jamur jenis Candida sp, dimana
Candida albicans merupakan jenis jamur yang menjadi penyebab utama. Kandidiasis
oral dapat menyerang semua umur, baik pria maupun wanita. Meningkatnya
prevalensi infeksi Candida albicans ini dihubungkan dengan kelompok penderita
HIV/AIDS, penderita yang menjalani transplantasi dan kemoterapi maligna (Ghom
dan Mhaske, 2008).
Gambaran klinis kandidiasis oral tergantung pada keterlibatan lingkungan dan
interaksi organisme dengan jaringan pada host. Adapun kandidiasis oral
dikelompokkan atas tiga, yaitu :
1. Akut
a. Acute Pseudomembrane Candidiasis (Kandidiasis Pseudomembranosus Akut)
Kandidiasis ini tampak sebagai plak mukosa yang putih, difus, bergumpal
atau seperti beludru, terdiri dari sel epitel deskuamasi, fibrin, dan hifa jamur,
dapat diusap meninggalkan permukaan merah dan kasar. Pada umumnya
dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum lunak.Penderita kandidiasis ini
dapat mengeluhkan rasa terbakar pada mulut. Diagnosa dapat ditentukan
dengan pemeriksaan klinis, kultur jamur, atau pemeriksaan mikroskopis
secara langsung dari kerokan jaringan (Brunch dan Teister, 2010).
Lesi putih pada gingiva dan mukosa labial bagian dalam yang hilang saat
diusap
2. Kronis
a. Chronic Athroic Candidiasis / Kandidiasis Atropik Kronik / Denture
Stomatitis
Mukosa palatum maupun mandibula yang tertutup basis gigi tiruan akan
menjadi merah, kondisi ini dikategorikan sebagai bentuk dari infeksi Candida.
Kandidiasis ini hampir 60% diderita oleh pemakai gigi tiruan terutama pada
wanita tua yang sering memakai gigi tiruan selagi tidur(Brunch dan Teister,
2010).
3. Angular cheilitis
Keilitis angularis merupakan infeksi Candida albicans pada sudut mulut,
dapat bilateral maupun unilateral. Sudut mulut yang terkena infeksi tampak
merah dan pecah-pecah, dan terasa sakit ketika membuka mulut. Keilitis
angularis ini dapat terjadi pada penderita defisiensi vitamin B12 dan anemia
defisiensi besi (Brunch dan Teister, 2010).
Gambar 13. Angular cheilitis. Terdapat ulkus dikomisura bibir disertai eritema
dan cracking pada kulit dan vermillion
Infeksi merupakan proses mikroorganisme patogen (bakteri, virus, parasit atau jamur)
ke dalam host yang dapat menimbulkan penyakit yang disertai gejala klinis baik lokal maupn
sistemik. Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi
tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh pathogen dan
melindungi tubuh dari infeksi. Akan tetapi jika kegagalan pertahanan muncul dan jatuh pada
3 kategori yaitu defisiensi imun, autoimunitas, dan hipersensitivitas dapat memunculkan
manifestasi pada rongga mulut dan dapat menimbulkan gejala nyeri pada penderitanya.
Berbagai macam karakteristik lesi infeksi imunologi pada rongga mulut sehingga diperlukan
pemeriksaan subjektif yang komprehensif, yang mencakup riwayat perjalanan penyakit
hingga riwayat sosial pasien. Keterampilan operator dalam mengidentifikasi lesi secara
objektif serta dilakukannya pemeriksaan subjektif yang lengkap, sangat membantu dalam
penegakan diagnosis yang tepat, yang nantinya akan berguna dalam menentukan rencana
perawatan yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Bruch, J.M., Treister, N.S., 2010, Clinical Oral Medicine and Pathology, Springer, London.
Chandra, S., Chandra, S., Chandra, G., Kamala, R., 2007, Oral Medicine, Ed. 1, Jaypee
Brothers Medical Publishers (P) Ltd, New Delhi
Dayal, P.K., 2005, Textbook of Oral Medicine, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd,
New Delhi.
Eberle, J., Price, C., Pulse, C., Stern, M., 2001, Clinical Manifestations and Treatment of
Pemphigus Vulgaris, Columbia Dental Review, 5:3-5.
Edwards, P.C., Kelsch, R., 2002, Oral Lichen Planus : Clinical Presentations and
Management, Journal of the Canadian Dental Association 68(8) : 494-499.
Eversole, L.R., 2011, Clinical Outline of Oral Pathology : Diagnosis and Treatment, Ed. 4,
Peoples Medical Publishing House, USA
Ghom, A., Mhaske, S., 2008, Textbook of Oral Pathology, Jaypee, New Delhi.
Greenberg, M.S., Glick, M., Ship, J.A., 2008, Burkets Oral Medicine, Ed. 11, BC Decker
Inc, India
Greenberg, M.S., Glick, M., Ship, J.A., 2008, Burkets Oral Medicine, Ed. 11, BC Decker
Inc, India
Hiremutt, D., Mhapuskar, A., Kalyanpur, K., Jadhav, S., Jadhav, A., Mangat, S.S., 2016,
Herpes Zoster Involving Maxillary and Mandibular Branch of Trigeminal Nerve in
HIV Patient : A Case Report, Journal of International Oral Health 8(4): 1-4.
Jaya, P., Harijanti, K., 2009, Gingivostomatitis herpetika Primer (Laporan Kasus), Oral
Medicine Dental Journal 1(2):6-9.
John, P., 2014 , Textbook of Oral Medicine, ed. 3. Jaypee, New Delhi.
Langlais, R.P., Miller, C.S., Nield-Gehrig, J.S., 2015, Atlas Berwarna Lesi Mulut yang Sering
Ditemukan (terj.), ed.4., EGC, Jakarta.
Lehner, T., 1995, Immunology of Oral Diseases, Ed. 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Myers, S., Curran, A., 2014, General and Oral Pathology for Dental Hygiene Practice, Davis
Company, Philadelphia.
Radji, M., 2010, Imunologi dan Virologi, PT. ISFI, Jakarta
Rajendran, A., Sivapathasundharam, B.,2009, Shafers Textbook of Oral Pathology, ed 7.,
Elsevier, New Delhi.
Scully, c., Gorsky, M., Lozada-Nur, 2003, The Diagnosis and Management of Recurrent
Aphtous Stomatitis : a Consensus Approach, JADA 132(1).
Subowo, 2010, Imunologi Klinik, Ed. 2, Sagung Setoy, Bandung