Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Inkontinensia pigmenti (IP Bloch-Sulzberger syndrome) merupakan

genodermatosis yang diturunkan secara dominan terkait-X.1,2.Mutasi gen

nuclear factor- Bessential modulator (NEMO)/inhibitor kappa kinase (IKK)-

gamma yang terletak pada lokus kromosom Xq28 berperan dalam patogenesis

IP.1,3 Kelainan ini secara klinis ditandai oleh displasia ektodermal dan

mesodermal, melibatkan kulit, mata, rambut, gigi, sistem saraf pusat, dan

sistem skeletal. Manifestasi kulit yang tersusun mengikuti garis Blaschko


merupakan gejala awal yang ditemukan pada IP. Diperkirakan 79,9% di antara

pasien IP, memiliki satu atau lebih anomali organ lain selain keterlibatan

kulit, yang dapat menjadi petunjuk prognostik kasus IP.1,5,6.


Inkontinensia pigmenti lebih banyak terjadi pada perempuan karena pada

laki-laki bersifat letal dalam kandungan menyebabkan abortus spontan

sebelum usia kehamilan trimester kedua. Namun demikian IP dapat dijumpai

pada laki-laki dengan somatic mosaicism, sindrom Klinefelter (47, XXY), dan
1,2,4
hypomorphic alleles Carney (1976) melaporkan 653 pasien IP, dan hanya

didapatkan 16 orang laki-laki dan 55,4% terdapat riwayat keluarga dengan

IP.3,4 Insidens IP diperkirakan terjadi 1/10.000 Prevalensi IP tidak diketahu

dengan pasti, namun telah lebih dari 700 kasus IP dilaporkan dalam literatur.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1
2

2.1 Defenisi

Incontinentia pigmenti adalah suatu kondisi yang dapat mempengaruhi

banyak sistem tubuh, khususnya kulit. Kondisi ini terjadi lebih sering pada

wanita dibandingkan pada pria. Incontinentia pigmenti ditandai dengan

kelainan kulit yang berevolusi sepanjang masa dan dewasa muda. Banyak

bayi yang terkena memiliki ruam terik saat lahir dan pada awal masa bayi,

yang menyembuhkan dan diikuti oleh perkembangan seperti kutil

pertumbuhan kulit. Pada anak usia dini, kulit mengembangkan patch abu-abu

atau coklat ( hiperpigmentasi ) yang terjadi dalam pola berputar-putar. Patch

ini memudar dengan waktu, dan orang dewasa dengan incontinentia pigmenti

biasanya memiliki garis biasa berwarna terang kulit ( hipopigmentasi ) pada

lengan dan kaki mereka.

Inkontinensia pigmenti, juga dikenal dengan istilah Bloch-Sulzberger

syndrome, merupakan genodermatosis yang terjadi akibat abnormalitas pada

kromosom X. Istilah inkontinensia pigmenti berasal dari tampilan

mikroskopik lesi pada fase ketiga dari penyakit ini, yang dikarakterisasi oleh

hilangnya pigmen di lapisan basal epidermis, seolah melanosit menunjukkan

adanya inkontinensia melanosit.10

2.2 Epidemiologi

Pertama kali Incontinentia Pigmenti dikemukakan oleh Garrod pada 1906.

Deskripsi penyakit ini secara lengkap dipublikasikan oleh Bloch dan

Sulzberger pada tahun 1928. Lantaran itu, kelainan genetik ini sering disebut

juga Bloch-Sulzberger Syndrome. Dikenal pula dengan sebutan Bloch-

Siemens Incontinentia Pigmenti, Melanoblastosis Cutis Linearis, atau


3

Pigmented Dermatosis. Apa pun nama atau istilahnya, yang pasti semua itu

menggambarkan kondisi penyakit yang sama, yaitu Incontinentia Pigmenti

(IP). Akan tetapi hingga sekarang, Incontinentia pigmenti relatif masih

terbatas.

Inkontinensia pigmenti lebih banyak terjadi pada perempuan karena pada

laki-laki bersifat letal dalam kandungan menyebabkan abortus spontan

sebelum usia kehamilan trimester kedua. Namun demikian IP dapat dijumpai

pada laki-laki dengan somatic mosaicism, sindrom Klinefelter (47, XXY),

dan hypomorphic alleles 1,2,4 Carney (1976) melaporkan 653 pasien IP, dan

hanya didapatkan 16 orang laki-laki dan 55,4% terdapat riwayat keluarga

dengan IP.3,4 Insidens IP diperkirakan terjadi 1/10.000 Prevalensi IP tidak

diketahu dengan pasti, namun telah lebih dari 700 kasus IP dilaporkan dalam

literatur.

2.3 Etiologi

Inkontinensia pigmenti disebabkan mutasi gen NEMO (nuclear factor B

essential modulator) pada kromosom Xq28.2,,8,10 Protein NEMO merupakan

sub-unit kinase yang mengaktivasi jalur NF- kB, yang selanjutnya akan

melindungi sel melawan TNF- k yang menginduksi apoptosis. NF- kB

berfungsi mengatur ekspresi gen yang berperan dalam sistem imun, reaksi

inflamasi, adesi sel dan anti apoptotik. 9,10 Gambaran klinis pada stadium 1

menggambarkan populasi sel yang defisit NEMO. Defisiensi tersebut

mengakibatkan gangguan jalur sinyal sehingga terjad kegagalan aktivasi NF-

kB dan menyebabkan apoptosis (NF- kB melindungi sel melawan faktor

nekrosis yang menginduksi apoptosis). Jumlah sel yang defisit NEMO


4

berkurang akibat apoptosis dan digantikan oleh sel yang mengekspresikan

alel normal. Selanjutnya, stadium vesikular berakhir. Hiperproliferasi yang

terjadi pada stadium 2 disebabkan oleh proliferasi sel keratinosit NEMO yang

normal. Stadium hiperpigmentasi terjadi karen inkontinensia pigmen melanin

dari epidermis hingga ke dermis. Stadium hiperpigmentasi akan bertahan

selama beberapa tahun hingga akhirny memudar menjadi hipopigmentasi,

terjadi atrofi yang ditandai dengan skar, tidak berambut, berbentuk linier

mengikuti garis Blaschko. 10

2.4 Patofisiologi

Inkontinensia pigmenti dapat dideskripsikan sebagai kelainan kulit yang

terdiri dari 4 tahapan, yakni : 10


 Tahap vesicular
Tahap vesikular (vesicobullous) atau dikenal juga dengan istilah tahap

inflamasi, merupakan tahap pertama yang muncul saat lahir.Telah

diungkapkan sebelumnya, bahwa inkontinensia pigmenti muncul sebagai

konsekuensi dari mutasi pada kromosom X, atau lebih spesifik lagi, Xq28.

Pada porsi q28 kromosom ini, terdapat sebuah gen yang disebut NEMO (NF-

kappa B essential modulator). Gen ini bertanggung jawab sebagai regulator

aktivasi transkripsi faktor NF-KannaB (NF-kB), pusat dari berbagai fungsi

imunitas dan pertumbuhan, seperti infamasi, jalur apoptosis serta diferensiasi

dan proliferasi jaringan yang berasal dari ectoderm.


Aktivasi dari NF-kB mencegah apoptosis yang muncul akibat respons

terhadap adanya sitokin family TNF (Tumor Necroting Factor).Normalnya,

aktivitas NF-kB diregulasi melalui protein inhibitor kB.Adanya aktivasi

reseptor TNF menghasilkan fosforilasi dan inaktivasi inhibitor kB oleh IKK

(inhibitor kappa kinase), sehingga lebih jauh mengkatifkan NF-kB.Hilangnya


5

fungsi IKK menyebabkan defisiensi aktivitas NF-kB dan meningkatnya

kepekaan terhadap apoptosis.


Sel-sel yang mempertahankan aktivitas IKK dapat menghasilkan sitokin

tambahan yang memicu apoptosis pada sel disekitarnya yang mengalami

defisiensi IKK, sehingga menciptakan lingkaran amplifikasi yang akhirnya

menyebabkan kematian semua sel-sel tersebut.Mekanisme ini, diyakini

sebagai penyebab munculnya manifestasi dari tahap vesikular inkontinensia

pigmenti, yang dikarakterisasi oleh adanya makula, vesikel dan papula, atau

bahkan pustula dengan dasar eritema di sepanjang garis Blaschko.


Lesi ini dapat ditemukan di berbagai bagian tubuh, namun umumnya

terlihat di daerah lengan, kaki dan tubuh bagian tengah. Lesi tahap pertama

umumnya mengalami involusi dalam beberapa hari dan dapat digantikan oleh

lesi veruka-squamous, sebuah penanda khas yang menjadi karakter

inkontinensia pigmenti tahap ke-2.


 Tahap verrucous-squamous
Tahap ini merupakan tahap kedua dari inkontinensia pigmenti, dimana

penyembuhan dari tahap pertama terjadi.Sejumlah studi menyatakan bahwa

mekanisme yang mendasari terjadinya tahap dua dihubungkan dengan

proliferasi sel normal yang tidak mengalami defisiensi IKK (disebut dengan

istilah IKK-positive cells). IKK-positive cells berproliferasi dan menekan

proses inflamasi sehingga lesi yang muncul di tahap pertama mengalami

penyembuhan. Proses penyembuhan ini kemudian menghasilkan lesi

verukosa dan hyperkeratosis. Lesi dengan porsi linear umumnya dapat

sembuh, dengan lesi hiperkeratosis yang tidak bertahan lama. Namun

demikian, lesi vesikel pada tahap pertama dapat muncul kembali sepanjang
6

usia pertumbuhan bayi, baik akibat paparan sinar matahari atau akibat faktor

lain yang belum sepenuhnya teridentifikasi.


 Tahap hiperpigmentasi
Tahap hiperpigmentasi merupakan tahap ketiga yang dikarakterisasi oleh

lesi berpigmen coklat ataupun keabu-abuan yang mengikuti garis Blaschko,

lebih sering ditemukan di badan dan ekstremitas. Lesi paralel yang berada

pada 1 garis lurus seringkali terhubung satu sama lainnya oleh gambaran

perpendikular berpigmen, membentuk tampilan khas yang disebut dengan

istilah ‘rail-sleepers’ yang tampak seperti retikulat. Lesi berpigmen

menghilang pada kebanyakan pasien selama masa kanak-kanak atau remaja,

namun kadang dapat menetap sepanjang kehidupan.Adapun patogenesis

terbentuknya lesi ini belum sepenuhnya dipahami.


 Tahap atrophic-hypopigmentasi
Sebuah tahap yang dikarakterisasi oleh garis translusen berwarna putih dan

hilangnya folikel rambut.Sama halnya dengan tahap ketiga, patogenesis dari

tahap keempat belum dipahami sepenuhnya. Namun demikian, para peneliti

meyakini bahwa perubahan pasca inflamasi memainkan peranan penting

dalam proses ini.


2.4.1 Pewarisan Incontinentia Pigmenti
Kelainan incontinentia pigmenti juga dapat diturunkan. Gen yang

berkaitan dengan incontinentia pigmenti ialah gen NEMO. gen NEMO

menyediakan instruksi untuk memproduksi satu bagian (subunit) dari

kompleks protein IKK, yang merupakan kelompok protein terkait yang

mengatur aktivitas faktor nuklir kappa-B-. Nuclear factor-kappa-B is a

protein complex that binds to DNA and controls the activity of other

genes. Faktor nuklir kappa-B-adalah kompleks protein yang mengikat

DNA dan mengontrol aktivitas gen lainnya. Mutasi yang berlaku dalam
7

gen NEMO ini menyebabkan penyakit incontinentia pigmenti. Gen gen

NEMO ini berperan dalam memberi arahan untuk penghasilan protein

yang membantu mengawal nuclear factor-kappa-B. Nuclear-kappa-B ialah

sekumpulan protein berkaitan (related protein) yang membantu

melindungi sel- sel agar tidak rusak atau mati (self- destruct) melalui

proses apoptosis sebagai respon terhadap rangsangan tertentu.


Kondisi ini diwariskan dalam pola yang dominan X -linked. Gen terkait

dengan kondisi ini terletak pada kromosom X, yang merupakan salah satu

dari dua kromosom seks. Pada wanita ( yang memiliki dua kromosom X ),

mutasi pada salah satu dari dua salinan dari gen dalam setiap sel cukup

untuk menyebabkan gangguan. Beberapa sel menghasilkan jumlah normal

IKBKG protein dan sel-sel lain menghasilkan tidak ada. Hasil

ketidakseimbangan dalam sel-sel penghasil protein ini menyebabkan

tanda-tanda dan gejala incontinentia pigmenti.


Pada laki-laki ( yang hanya memiliki satu kromosom X ), sebagian

besar mutasi gen NEMO mengakibatkan kerugian total dari protein

NEMO Kurangnya protein ini tampaknya mematikan diawal

perkembangan, begitu sedikit laki-laki yang lahir dengan incontinentia

pigmenti. Laki-laki yang terkena dampak yang selamat mungkin memiliki

mutasi gen NEMO dengan efek yang relatif ringan, mutasi gen NEMO

hanya beberapa sel tubuh ( mosaicism ), atau salinan ekstra kromosom X

pada setiap sel.


Meskipun termasuk penyakit genetik, Incontinentia Pigmenti (IP) tidak

seperti penyakit lain yang otomatis diturunkan pada anak. Misalnya, bila

orangtua menderita penyakit alergi, maka anaknya pun mengalami hal

yang sama.
8

Penyakit IP, dengan kata lain diturunkan secara resesif. Artinya, tidak

harus atau selalu diturunkan pada generasi selanjutnya. Berdasarkan

literatur, IP menurun secara X-linked dominan. Artinya bila orangtua

menderita IP, maka kira-kira 25 persen bayi laki-laki yang dilahirkan

meninggal, 25 % bayi-bayi laki-laki sehat, 25 % bayi perempuan sehat,

dan sisanya 25 % bayi perempuan sakit.


Beberapa orang dengan incontinentia pigmenti mewarisi mutasi gen

NEMO dari satu orangtua yang terkena. Kasus-kasus lain hasil dari mutasi

baru dalam gen dan terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat gangguan

dalam keluarga mereka.

2.5 Manifestasi

Diagnosis Gangguan yang terjadi tampak di bagian kulit, rambut, gigi

dan kuku. Beberapa pasien di antaranya menunjukkan gangguan pada

susunan saraf pusat. Perlu diketahui, gejala atau ciri-ciri setiap penderita

berbeda-beda, bergantung pada tingkat keparahan penyakit.

1. Kulit

Salah satu diagnosis IP ialah adanya bercak progresif yang dibedakan

dalam 4 tahapan. Pertama, erythematous dan vesicular. Tampak

memerah, melepuh dan seperti bisul. Umumnya muncul di kaki, tangan

dan kepala begitu anak lahir. Meski begitu, gejala ini bisa juga terjadi di

bagian tubuh yang lain. Awalnya, bercak atau gangguan kulit ini seperti

herpes, impetigo atau kudis. Mengetahui riwayat kesehatan keluarga,

apakah ada yang mengalami IP, akan memudahkan diagnosis.


9

Tahap kedua adalah tahap verrucous, yaitu seperti kutil. Bisa juga

muncul seperti kerak tebal dimana kulit berubah menjadi gelap.

Gangguan yang menyerang kaki dan tangan ini bisa jadi muncul begitu

si kecil lahir. Bila ini yang terjadi, berarti tahap vesicular terjadi selagi

masih dalam kandungan. Tahap ketiga, yaitu hyperpigmented yang

menimpa sekitar 5-10% pasien, dimana kulit tampak makin gelap

dengan pola seperti melingkar. Muncul ketika anak berusia 6-16 bulan.

Tahap keempat adalah atrophic, seperti bekas luka dan muncul di kulit

kepala.

Gambaran 1 : kulit, kuku,rambut dan gigi 11


10
11

2. Gigi

Lebih dari 80% pasien IP mengalami kelainan gigi. Sering terjadi

keterlambatan tumbuh atau beberapa gigi tanggal. Gigi yang tumbuh

berbentuk kerucut atau meruncing, sementara lapisan emailnya normal.

Beberapa pasien bahkan mengalami masalah gigi yang cukup serius.

Untuk hal ini, pasien dapat menjalani terapi ortodonti ataupun

prostodonti.

3. Kuku

Kuku jari tangan maupun kaki mengalami gangguan. Kuku penderita IP

umumnya jadi lunak, bergelombang, menebal bahkan berlubang. Dari

mayoritas kasus biasanya tak hanya satu atau dua kuku yang mengalami

masalah, melainkan sekaligus kuku jari tangan dan kaki.

4. Rambut
12

Sebagian pasien IP mengalami gangguan/kelainan rambut. Yang umum

terjadi adalah kebotakan alias tak memiliki mahkota kepala. Warna

rambut normal, namun bila diraba tampak kasar, kaku, dan "tak

bercahaya".

5. Mata

Lebih dari 90% pasien IP memiliki daya penglihatan yang normal.

Meski tergolong sedikit, ada juga yang mengalami masalah seperti

rabun dekat atau jauh. Masalah lainnya adalah kelainan pada pembuluh

darah di dalam mata atau retina. Biasanya terjadi sebelum pasien

berusia 5 tahun. Gangguan pembuluh darah di mata yang tak normal ini

dapat menyebabkan kebutaan. Akan tetapi bila dideteksi dan diterapi

lebih dini tentu masih bisa ditangani. Lantaran itu, berkonsultasi secara

intensif dengan dokter mata anak, khususnya yang ahli tentang retina

sangat dianjurkan. Setidaknya 3-4 kali pada tahun pertama, kemudian

lanjutkan terus setiap 6 bulan sampai usia 4 tahun. Kelainan lain yang

mungkin terjadi namun tergolong langka adalah mata kecil

(microphthalmos), katarak, dan degeneratif optik saraf mata (optik mata

mengalami atrophia). Kelainan mata dibagi menjadi kelainan pada

retina dan non-retina. Kelainan retina dapat mengenai retina perifer,

macula akibat vasooklusif dan iskemi; sedangkan kelainan non retina

berupa strabismus atau crossed eyes, atrofi nervus optikus, pigmentasi

konjungtiva, hipoplasia iris, dan uveitis. Kelainan neurologis

didapatkan pada 30% kasus dan sering didapatkan bersamaan dengan

kelainan oftalmologis akibat oklusi vaskular dan iskemi.11


13

6. Susunan saraf

Kelainan susunan saraf di antaranya menimbulkan retardasi mental,

ukuran kepala kecil dan sebagainya. Untungnya, frekuensi kejadian ini

sedikit. Ada laporan yang menyebutkan, kejadian retardasi mental

hanya terjadi pada sekitar 3% dari seluruh pasien IP. Manifestasi

neurologik yang sering didapatkan adalah infantile spasms dan kejang,

paralisis spastik, retardasi motorik dan mikrosefalus. Kejang yang

timbul sejak dini dapat menyebabkan gangguan kognitif berat. 2,11

2.6 Diagnosa

Diagnosis pasti ditegakkan dengan analisis molekula dan didapatkan mutasi

pada gen NEMO. Akan tetapibjika identifikasi gen tidak dapat dilakukan,

diagnosis IP dapatb ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan

histopatologis.11
14

Gambaran 2 : Histopatologi 11

2.7 Penatalaksanaan

Tatalaksana tidak selalu diperlukan untuk lesi kutaneus, meskipun

penggunaan tacrolimus dan kortikosteroid topikal telah dilaporkan mempercepat

resolusi dari tahap inflamasi. Higienitas oral dan perawatan gigi rutin sangat

diperlukan pada kasus inkontinensia pigmenti, dan restorasi gigi juga

disarankan.Kejang harus ditangani dengan antikonvulsan.Sebagai tambahan,

pemeriksaan perkembangan fungsi saraf dapat dilakukan pada pasien dengan

inkontinensia pigmenti, tentunya dengan merujuk pasien ke spesialis yang

bersangkutan.pemeriksaan ophthalmology rutin juga dibutuhkan, khususnya

selama tahun pertama kehidupan, dengan maksud untuk mendiagnosa dan

menangani komplikasi ophthalmology yang mungkin muncul.8,9

Untuk mencegah atau mencari gen yang "bertanggung jawab" atas

terjadinya IP, dilakukan pemeriksaan atau pengujian molekuler. Awalnya memang

dilakukan diagnosis klinis. Misalnya, dari bercak yang muncul saat bayi baru

lahir. Namun, bila bercak tersebut samar mungkin perlu dilakukan biopsi kulit.

Selanjutnya, mungkin yang terpenting adalah pemantauan perkembangan anak.


15

Upaya lainnya adalah melakukan pemeriksaan menyeluruh atau komprehensif

terhadap gigi, apakah abnormal, apakah terjadi kebotakan, kelainan di bagian

mata dan sebagainya.

Dalam hal ini, dokter spsialis kulit kelamin berperan untuk menegakkan

diagnosis. Selain itu, memberikan pengobatan pada tiap kasus karena

dikhawatirkan terjadi infeksi. Umumnya obat yang diberikan berupa krim atau

salep. Lama-kelamaan bercak-bercak hitam itu berangsung pudar seiring dengan

perkembangan usia penderita IP. Uji darah juga membuktikan berlakunya

peningkatan sel darah putih, terutamanya sub-kumpulan eosinofil. 11

BAB 3

KESIMPULAN

1. Inkontinensia Pigmentous, yaitu penyakit kulit yang ditandai dengan bintik


hitam yang menyebar pada tubuh,
2. Sebelumnya didahului oleh urtikaria, vesikula, peradangan verikosa pada
bayi-bayi wanita yang baru lahir.
3. Gejala klinis, lesi dimulai dengan urtikaria/ vesikula yang segera berubah
menjadi bercak-bercak hitam. Bercak-bercak hitam ini tampak aneh
menyerupai laba-laba dengan tepi tak geratur.Sesudah beberapa bulan/ tahun
bercak-bercak hitam ini menghilang, berubah menjadi daerah hipopigmentasi
dan atrofi.

4. Pewarisan Incontinentia pigmenti:


16

a. Pada wanita ( yang memiliki dua kromosom X ), mutasi pada salah satu
dari dua salinan dari gen dalam setiap sel cukup untuk menyebabkan
gangguan. Pada laki-laki ( yang hanya memiliki satu kromosom X ),
sebagian besar mutasi IKBKG mengakibatkan kerugian total dari protein
IKBKG. Kurangnya protein ini tampaknya mematikan di awal
perkembangan, begitu sedikit laki-laki yang lahir dengan incontinentia
pigmenti.
b. Presentase diturunkannya penyakit Incontinentia pigmenti, dengan kata
lain diturunkan secara resesif. Artinya, tidak harus atau selalu diturunkan
pada generasi selanjutnya. Berdasarkan literatur, IP menurun secara X-
linked dominan. Artinya bila orangtua menderita IP, maka kira-kira 25
persen bayi laki-laki yang dilahirkan meninggal, 25 % bayi-bayi laki-laki
sehat, 25 % bayi perempuan sehat, dan sisanya 25 % bayi perempuan
sakit.

5. Prognosis umumnya kurang baik, stadium akhir umumnya berakhir dengan


kematian pada usia 2 tahun/ menjelang remaja.

DAFTAR PUSTAKA
1. Berlin AL, Paller AS, Chan LLS. Incontinentia pigmenti: A review and
update on the molecular basis of pathophysiology. JAm Acad Dermatol.
2002
2. Smahi A, Courtois G, Vabres P, Yamaoka S, Henertz S, Munnich A, dkk.
-Genomic rearrangement in NEMO impairs NF-Bactivation and is a cause
of incontinentia pigmenti.
3. Franco LM, Goldstein J, Prose NS, Selim MA, Tirado CA, Coale MM,
dkk. Incontinentia pigmenti in a boy with XXY mosaicism detected by
fluorescence in situ hybridization. J Am Acad Dermatol. 2006
17

4. Pereira MAC, Budel AR, Feltrim AS, Cabra CS, Mesquita LA. Xlinked
incontinentia pigmenti or Bloch-Sulzberger syndrome: A case report. An
Bras Dermatol. 2010
5. Hadj-Rabia A, Froidevaux D, Bodak, Hammel-Feillac D, Smahi A Touil
Y. dkk. Clinical study of 40 cases of incontinenti pigmenti. Arch Dermatol.
2003
6. Landy SJ, Donnai D. Incontinentia pigmenti (Bloch-Sulzberger
syndrome). J Med Genet. 1993.
7. Pacheco TR, Lewly M, Collyer JC, Parra NP, Parra CA, Garray M, dkk.
Incontinentia pigmenti in male patient. J Am Acad Dermatol. 2006Kim BJ,
Shin HS, Won CH, Lee JH, Kim KH, Kim MN, dkk. ncontinentia
pigmenti: Clinical observation of 40 Korean cases. J Korean Med Sci.
2006
8. Orange JS, Geha RS. Finding NEMO: Genetic disorders of NF- activation.
J Clin Invest. 2003
9. Smahi A, Courtois G, Rabia SH, Doffinger R, Bodemar C, Munnich A.
dkk. The NF B signalling pathway in human diseases: Fro incontinentia
pigmenti to ectodermal dysplasias and immunedeficiency syndromes.
Hum Molec Gen. 2002
10. Escobedo J. Incontinentia Pigmenti without Systemic Malformations: a
case report and description for primary care clinicians. Proceedings of
UCLA Health Care. 2000
11. Epi Panjaitan, Triasari Oktavriana, Retno Danarti Inkontinensia Pigmenti
Gambaran Klinis Pada 4 Pasien : FK Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta. 2013
18

Anda mungkin juga menyukai