Anda di halaman 1dari 9

JHTM e-ISSN.

2541-5409
p-ISSN. 2541-4178
Journal of Holistic and Traditional Medicine
Vol 03 No 03, Februari 2019
www.jhtm.or.id

Open Acces
SUPLEMENTASI KURKUMIN PADA STATUS GIZI PASIEN SISTEMIK LUPUS
ERITHEMATOSUS

Dwi Septian Wijaya1, Gusti Wangi Permana Putri2

Program Studi Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA


1

Instalasi Farmasi, Rumah Sakit Pertamina Jaya, Jakarta


2

Corresponding Author: Dwi Septian Wijaya, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah
Prof. DR. HAMKA
E-mail: dwiseptianw@gmail.com

Received August 07, 2018; Accepted September 21, 2018; Online Published February 04, 2019

Abstrak

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan terjadinya inflamasi, vaskulitis yang
tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau system imun di dalam tubuh. Pasien SLE memiliki resiko infeksi yang tinggi
sehingga diperlukan tata laksana yang tepat serta pencegahan dengan vaksinasi. Keterkaitan antara status gizi dan penyakit SLE
masih dianggap terlalu sulit dipahami karena sebagian besar jenis penyakit autoimun penyebabnya multifaktorial yang merupakan
interaksi antara faktor genetik, lingkungan, hormonal, virus dan pengaruh psikoneurologikal.

Keywords: Suolementasi Kurkumin, Status Gizi, Sistemik Lupus Erithematous (SLE)

PENDAHULUAN dan penyakit SLE masih dianggap terlalu sulit


Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dipahami karena sebagian besar jenis penyakit
adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan autoimun penyebabnya multifaktorial yang
terjadinya inflamasi, vaskulitis yang tersebar luas, merupakan interaksi antara faktor genetik,
mempengaruhi setiap organ atau system imun di lingkungan, hormonal, virus dan pengaruh
dalam tubuh. Pasien SLE memiliki resiko infeksi psikoneurologikal.
yang tinggi sehingga diperlukan tata laksana yang Pada suatu studi penelitian ditunjukkan
tepat serta pencegahan dengan vaksinasi. bahwa tidak ada diet atau pengaturan makan yang
Sitokin memiliki peranan penting dalam spesifik khusus untuk SLE, namun pada penelitian
patogenesis SLE yang mendasari kemungkinan lain disebutkan bahwa pengaruh status gizi yang
penggunaan sitokin sebagai biomarker aktivitas diteliti pada hewan coba dan manusia ditinjau dari
penyakit SLE sehingga dapat digunakan sebagai asupan zat gizi tertentu yang terdapat dalam
montiroring. Interferon γ merupakan sitokin makanan yang dapat memperburuk atau justru
proinflamasi yang disekresi oleh Th1, meredakan gejala penyakit SLE (Brown, 2000).
mengaktivasi makrofag dan diferensiasi Th1 Indonesia merupakan negara yang kaya akan
(Hasanah, 2012). Keterkaitan antara status gizi
1
bahan alami atau tanaman yang dapat digunakan

2
sebagai obat (herbal). Salah satu jenis bahan alami anti-Sm, antibodi antifosfolipid dan antibodi
yang memiliki potensi yang baik sebagai antinuklear.
imunomodulator untuk terapi pengobatan SLE Pada pasien SLE juga terjadi peningkatan
adalah kurkumin. Kurkumin merupakan suatu produksi sitokin proinflamasi, antara lain IL-2,
senyawa fenol yang banyak terdapat pada tanaman IFN-γ, IFN-α, IL-4, IL-6, IL-10, TNF-α, dan
seperti jahe, kunyit, dan temulawak. TGF-β dimana semua sitokin proinflamasi ini
semua disekresi oleh Th1. Pada pasien SLE juga
SISTEMIK LUPUS ERITHEMATOSUS
terjadi gangguan aktivitas fagositosis, gangguan
(SLE)
fiksasi komplemen, peningkatan apoptosis yang
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi jaringan
adalah penyakit autoimun multisistem kronik
dan kerusakan organ (Khrisnamurthy dan
dengan spektrum manifestasi yang luas dan
Mahadevan, 2011)
mempengaruhi setiap organ atau sistem di dalam
Etiologi SLE
tubuh (Isbagio dkk, 2009; Jakes dkk, 2012).
Faktor Genetik. Faktor genetik diduga
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit
memiliki peran dalam patogenesis SLE, meskipun
reumatik autoimun yang memerlukan perhatian
penyebab spesifik SLE belum diketahui. Dugaan
khusus baik dalam mengenali tampilan klinis
ini diperkuat oleh adanya peningkatan frekuensi
penyakitnya hingga pengelolaannya. Pada
SLE pada keluarga penderita SLE dibandingkan
penyakit ini, organ dan sel mengalami kerusakan
dengan kontrol sehat, peningkatan prevalensi SLE
yang pada awalnya dimediasi oleh antibodi yang
pada kelompok etnik tertentu, dan kejadian SLE
berikatan dengan jaringan dan kompleks imun
yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%)
(Harrison dkk. 2012; Saigal dkk, 2011).
dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%).
Patogenesis SLE bersifat multifaktorial
Banyak gen yang berpengaruh terhadap
yang merupakan interaksi dari faktor genetik,
kepekaan penyakit. Diperkirakan paling sedikit
faktor lingkungan dan faktor hormonal yang
ada empat susceptibility genes yang terlibat dalam
menghasilkan respon imun yang abnormal. Pada
perkembangan penyakit (Isbagio dkk, 2009).
pasien SLE cenderung terjadi gangguan sistem
Faktor genetik yang paling banyak diteliti
imun. Abnormalitas pada sel T meliputi respon
kontribusinya terhadap kejadian SLE pada
abnormal pada autoantigen, gangguan toleransi
manusia adalah gen dari major histocompatibility
sistem imun, dan gangguan transduksi signal pada
complex (MHC).
T cell receptor (Gonzales-Garcia, et al., 2009;
Studi terhadap human leukocyte antigen
Kimura, et al., 2010).
(HLA) menunjukkan bahwa HLA-A1, HLA-B8,
Gangguan pada fungsi sel B berupa
dan HLA-DR3 lebih sering ditemukan pada
terbentuknya autoantibodi dan modulasi sel T
penderita SLE dibandingkan dengan populasi
untuk mensekresi sitokin. Autoantibodi yang
umumnya. HLA kelas II berhubungan dengan
paling penting antara lain anti-dsDNA, anti-Ro,
adanya antibodi tertentu. Gen HLA kelas III,
3
khususnya yang mengkode komponen C2 dan C4, inflamasi; toksin/obat-obatanyang dapat
memberikan risiko SLE pada kelompok etnik memodifikasi respon seluler dan imunogenisitas
tertentu. Selain itu, terdapat gen non-MHC dari self antigen; dan agen fisik atau kimia seperti
polimorfik yang dilaporkan berhubungan dengan sinar ultraviolet (UV) yang dapat menyebabkan
SLE. (Isbagio dkk, 2009). inflamasi, memicu apoptosis sel dan menyebabkan
Faktor Imunologi. Pada penyakit SLE kerusakan jaringan (Isbagio dkk, 2009). Paparan
terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sinar UV merupakan faktor lingkungan yang
sistem imun, yaitu 1) Antigen. Dalam keadaan paling jelas yang dapat mengeksaserbasi SLE
normal, makrofag yang berupa APC (Antigen (Bertsias dkk, 2012).
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen Faktor Hormonal. Adanya peranan faktor
kepada sel T. Pada penderita SLE, beberapa hormonal pada SLE dapat ditunjukkan dengan
reseptor yang berada di permukaan sel T prevalensi penyakit yang lebih banyak pada
mengalami perubahan pada struktur maupun perempuan dan serangan pertama kali SLE jarang
fungsinya sehingga signal informasi normal tidak terjadi pada usia prepubertas dan setelah
dapat dikenali. 2) Kelainan intrinsik sel T dan sel menopause. Estrogen yang berlebihan dengan
B. Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat
B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi pada laki-laki maupun perempuan, mungkin
sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki bertanggungjawab terhadap perubahan respon
reseptor untuk autoantigen dan memberikan imun. Prolaktin (PRL) diketahui menstimulasi
respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit respon imun humoral dan selular, yang diduga
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan berperan dalam patogenesis SLE yaitu sel limfosit
produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi T, sel natural killer (NK), makrofag, neutrofil, sel
tidak normal. 3) Kelainan antibodi . Ada beberapa hemopoietik CD34+ dan sel dendritik presentasi
kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, antigen. Hormon dari sel lemak yang diduga
seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, berperan dalam patogenesis SLE adalah leptin
idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu (Isbagio dkk, 2009).
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, Patogenesis SLE
mempengaruhi terjadinya peningkatan kompleks Respon imun terhadap antigen nuklear
imun yang mengendap di jaringan. endogen merupakan karakteristik dari SLE. Pada
Faktor Lingkungan. Faktor lingkungan SLE terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III yang
yang berperan terhadap terjadinya SLE yaitu agen melibatkan kompleks imun. Peningkatan jumlah
infeksi seperti virus Epstein-Bar yang diduga apoptosis-relatedasam nukleat endogen
dapat menginduksi renspon spesifik melalui menstimulasi produksi TNF-dan memicu
kemiripan molekular (molecular mimicri) dan autoimunitas dengan merusak self-tolerance
gangguan terhadap regulasi imun; faktor nutrisi melalui aktivasi antigen-presenting cells (APC).
atau diet yang mempengaruhi produksi mediator
4
Ketika proses ini diinisiasi, imun reaktan transportasi, penyimpanan, metabolism dan
seperti kompleks imun mengalami amplifikasi dan pembuangan, yang dipergunakan untuk
terjadilah respon inflamasi yang berkelanjutan. memelihara hidup, pertumbuhan fungsi organ
Pembentukan komplek santigen-antibodi di tubuh dan produksi serta menghasilkan energi
sirkulasi diikuti dengan deposisi kompleks imun (Supariasa, 2001). Status gizi merupakan faktor
di berbagai jaringan akan menginisiasi reaksi yang terdapat dalam level individu (level yang
inflamasi pada lokasi deposisi kompleks imun. paling mikro).
(Bertsias dkk, 2012; Kumar dkk, 2010). Faktor yang mempengaruhi secara
Pada orang yang sehat, kompleks imun langsung adalah asupan makanan dan infeksi.
dibersihkan oleh fragmen crystallizable (Fc) dan Pengaruh tidak langsung dari status gzizi yaitu
complement receptor (CR). Kegagalan ketahanan pangan di keluarga, Pola pengasuhan
pembersihan kompleks imun menyebabkan anak, dan lingkungan kesehatan yang tepat,
deposisi. Kerusakan jaringan dimulai dengan termasuk pelayanan kesehatan (Riyadi,2001
adanya sel inflamasi, intermediet oksigen reaktif, dalam Simarmata,2009).
produksi sitokin pro-inflamasi, dan modulasi Status gizi jugadapat diartikan sebagai
kaskade koagulasi (Bertsias dkk, 2012). keadaan kesehatan fisik seseorang atau
Penilaian Aktifitas Penyakit SLE sekelompok orang yang ditentukan dengan salah
Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi
sebagai panduan dalam pemberian terapi. Selain tertentu (Soekirman, 2000). Dari beberapa
itu, perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa status
eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan gizi merupakan suatu ukuran keseimbangan antara
yang ketat akan aktivitas penyakitnya(Lam dan kebutuhan dan masukan nutrisi yang diindikasikan
Petri, 2005). Indeks untuk menilai aktivitas oleh variabel tertentu (Supariasa,2001).
penyakit seperti systemic lupus erythematosus Hubungan Status Gizi Dengan Aktivitas
disease activity index (SLEDAI), Mexican Penyakit SLE
systemic lupus erythematosus disease activity Keterkaitan antara status gizi dan penyakit
index (MEX-SLEDAI), systemiclupus activity SLE yang ditunjukkan pada suatu studi penelitian
measures (SLAM), British isles lupus assessment Alaimo, et al., 2004 bahwa tidak ada diet atau
group (BILAG) Score, dsb (Fernando dan pengaturan makan yang spesifik khusus untuk
Isenberg, 2005; Mosca dan Bombardieri, 2006; SLE, namun pada penelitian lain disebutkan
Romero-Diaz dkk, 2011). bahwa pengaruh status gizi yang diteliti pada
hewan coba dan manusia ditinjau dari asupan zat
STATUS GIZI
gizi tertentu yang terdapat dalam makanan yang
Istilah gizi dapat diartikan sebagai proses
dapat memperburuk atau justru meredakan gejala
dari organisme dalam menggunakan bahan
penyakit SLE, terutama keterkaitannya dengan
makanan melalui proses pencernaan, penyerapan,
5
inflamasi yang terjadi pada penyakit SLE kurkumin sangat rendah dalam air dan eter, namun
(Alaimo, et al., 2004). larut dalam pelarut organik seperti etanol dan
Sebagian besar penelitian menunjukkan asam asetat glasial. Kurkumin stabil pada suasana
bahwa pembatasan konsumsi energi pada penyakit asam, tidak stabil pada kondisibasa dan adanya
autoimun mampu memperpanjang usia hewan cahaya. Pada kondisi basa dengan pH diatas 7,45,
coba, yang ditandai denga/n menurunnya produksi 90% kurkumin terdegradasi membentuk produk
sitokin-sitokin proinflamasi dan juga dapat samping berupa trans-6-(4ˈ-hidroksi-3ˈ-
mengurangi sintesis prostaglandin yang juga dapat metoksifenil)-2,4-diokso-5-heksenal (mayoritas),
menimbulkan reaksi inflamasi. Disisi lain, pasien vanilin, asam ferulat dan feruloil metan.
SLE yang mengalami kehilangan berat badan Sementara denganadanya cahaya, kurkumin
(status gizi buruk) dibandingkan dengan yang terdegradasi menjadi vanilin, asam vanilat,
mengalami kelebihan berat badan (status gizi lebih aldehidferulat, asam ferulat dan 4-vinilguaiakol
atau obesitas). Pada pasien yang mengalami (Brat dkk, 2008).
kehilangan berat badan cenderung terjadi Kurkumin merupakan suatu senyawa
peningkatan produksi sitokin proinflamasi, oleh polifenol hidrofobik turunan dari curcuminoid
karena itu perlu diberikan intervensi diet yang yang banyak terdapat pada tanaman famili
sesuai dengan kebutuhan pasien (Brown AC, Zingiberaceae, seperti kunyit, temulawak dan
2000). jahe. Senyawa ini merupakan senyawa yang
Kualitas diet merupakan salah satu faktor memberikan pigmen kuning pada kunyit.
yang penting pada kondisi pasien SLE karena Kandungan kurkumin pada rimpang kunyit
pasien SLE lebih beresiko mengalami penyakit ditemukan sebanyak 2,46-3,14% dari berat
kardiovaskular, penurunan kepadatan tulang dan keringnya. Jumlah ini ternyata merupakan jumlah
mineral serta anemia. Beberapa studi penelitian terbanyak dibandingkan dengan tanaman lain
melaporkan bahwa zat gizi seperti vitamin A, D, yang mengandung kurkumin seperti temulawak
E, selenium, asam lemak tak jenuh, kalsium dapat dan jahe. Dibandingkan dengan kunyit,
menurunkan gejala dan aktivitas penyakit SLE. kandungan kurkumin pada temulawak hanya
Namun sebaliknya, untuk zat gizi makro seperti sekitar 1-2% sedangkan sangat sedikit ditemukan
kelebihan kalori, protein, lemak jenuh, dan zat pada jahe (Barreto, 2009).
besi dapat memperburuk gejala dan aktivitas Kurkumin telah dibuktikan merupakan
penyakit SLE (Chaiamnuay S, et al., 2007). suatu zat yang bersifat pleiotropik yang memiliki
efek terhadap berbagai macam target molekul
KURKUMIN
meliputi faktor transkripsi, faktor pertumbuhan
Kurkumin merupakan senyawa
dan protein kinase, sitokin proinflamasi, enzim,
kurkuminoid yang merupakan pigmen warna
molekul adhesi, protein yang berhubungan dengan
kuning pada rimpang temulawak dan kunyit.
apoptosis, dan target lainnya. Terkait dengan
Senyawa ini termasuk golongan fenolik. Kelarutan
faktor transkripsi, kurkumin dapat mengaktivasi
6
atau menghambat aktivasi suatu faktor transkripsi tergantung target yang dituju. Kurkumin berpotensi
menghambat aktivasi beberapa faktor transkripsi meliputi NF-kB, activated protein-1 (AP-1), STAT, HIF-1,
dll (Anand, et al, 2007).

DAFTAR PUSTAKA
Brown AC. Lupus erythematosus and nutrition: a review of the literature. J Renal Nutr 2000;10:170–83.
Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, dkk. (2009). Osteoartritis. Dalam: Sudoyo W, Setiyohadi. B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jakes, R.W., Bae, S.C., Louthrenoo, W., Mok, C.C., Navarra, S.V, dan Kwon N., 2012. Systematic Review of
the epidemiologu of systemic prevalence, incidence,clinical features, and mortality. Arthiritis Care and
Research,
Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13,
Jakarta: EGC
Alaimo K, Mcdowell MA, Briefel RR, Bischof AM, Caughman CR, Loria CM, et al. Dietary intake of
vitamins, minerals, and fiber of persons ages 2 months and over in the United States: third national
health and nutrition examination survey, phase I. Adv Data 2004;258:1–28
Chaiamnuay S, Bertoli AM, Fern_andez M, Apte M, Vil_a LM, et al, LUMINA Study Group. The impact of
increased body mass index on systemic lupus erythematosus. J Clin
Chaiamnuay S, Lomaratana V, Sumransurp S, et al. Health-related quality of life and disease

7
Analisa jurnal

Judul Jurnal
SUPLEMENTASI KURKUMIN PADA STATUS GIZI PASIEN SISTEMIKLUPUS
ERITHEMATOSUS

P : Patient, population, Problem


Pasien dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

I : Intervension
Pemberian kurkumin pada penderita SLE untuk meningkatkan status gizi. Kurkumin merupakan senyawa
kurkuminoid yang merupakan pigmen warna kuning pada rimpang temulawak dan kunyit
Faktor yang mempengaruhi secara langsung adalah asupan makanan dan infeksi. Pengaruh tidak langsung
dari status gzizi yaitu ketahanan pangan di keluarga, Pola pengasuhan anak, dan lingkungan kesehatan yang
tepat, termasuk pelayanan kesehatan (Riyadi,2001 dalam Simarmata,2009).

C : Comparation
Hubungan Status Gizi Dengan Aktivitas Penyakit SLE

O : Outcome
Kurkumin telah dibuktikan merupakan suatu zat yang bersifat pleiotropik yang memiliki efek terhadap
berbagai macam target molekul meliputi faktor transkripsi, faktor pertumbuhan dan protein kinase, sitokin
proinflamasi, enzim, molekul adhesi, protein yang berhubungan dengan apoptosis, dan target lainnya

8
severity of SLE patients in Phramongkutklao Hospital. 2009 [ cited 2011 Dec 7]. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21280 525 Rheumatol 2007;13:128–33.

Anda mungkin juga menyukai