Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Arsen (As) adalah salah satu logam toksik yang sering diklasifikasikan sebagai
logam, Tetapi lebih bersifat nonlogam. Tidak seperti logam lain yang
membentuk kation, Arsen (As) dialam berbentuk anion, seperti H 2AsO4
(Ismunandar, 2004). Arsen (As) tidak rusak oleh lingkungan, hanya berpindah
menuju air atau tanah yang dibawa oleh debu, hujan, atau awan. Beberapa
senyawa Arsen (As) tidak bisa larut di perairan dan akhirnya akan mengendap
di sedimen. Senyawa arsen pada awalnya digunakan sebagai pestisida dan
hibrisida, sebelum senyawa organic ditemukan, dan sebagai pengawet kayu
(Copper Chromated Arsenic (CCA)).
Arsen (As) dialam ditemukan berupa mineral, antara lain arsenopirit, nikolit,
orpiment, enargit, dan lain-lain. Demi keperluan industry mineral, Arsen (As)
dipanaskan terlebih dahulu sehingga As berkondensasi menjadi bentuk padat.
Arsen (As) berasal dari kerak bumi yang bila dilepaskan ke udara sebagai hasil
sampingan dari aktivitas peleburuan bijih baruan, Arsen (As) dalam tanah
berupa bijih, yaitu arsenopirit dan orpiment, yang pada akhirnya bisa
mencemari air tanah. Arsen (As) merupakan unsur kerak bumi yang berjumah
besar, yaitu menempati urutan keduapuluh dari unsure kerak bumi, sehingga
sangat besar kemungkinannya mencemari air tanah dan air minum. Jutaan
manusia bisa terpapar Arsen (As), seperti yang pernah terjadi di Bangladesh,
India, Cina. Semua batuan mengandung Arsen (As) 1-5 ppm. Kosentrasi yang
lebih tinggi ditemukan pada batuan beku dan sedimen. Tanah hasil pelapukan
batuan biasanya mengandung Arsen (As) sebesar 0,140 ppm dengan rata-rata
5-6 ppm.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas apada makalah ini adalah:
1. Bagaimana proses ekokinetika suatu xenobiotik (Arsen)?
2. Bagaimana proses farmakokinetika suatu xenobiotik (Arsen)?

3. Apa penyebab dan dampak xenobiotik (Arsen) terhadap manusia dan


lingkungan?
4. Apa solusi dari permasalahan yang ada?
1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses ekokinetika dari suatu xenobiotik (Arsen);
2. Untuk mengetahui proses farmakokinetika dari suatu xenobiotik
(Arsen);
3. Untuk mengetahui penyebab dan dampak xenobiotik terhadap manusia
dan lingkungan;
4. Untuk mendapatkan solusi dari permasalan toksikologi lingkungan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pestisida
2.1.1 Pengertian Pestisida
Pestisida adalah semua bahan racun yang digunakan untuk membunuh
organisme hidup yang mengganggu tumbuhan, ternak dan sebagainya yang
dibudidayakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya. Menurut PP No. 7 tahun
1973, yang dimaksud pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta
jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :
1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang
merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.
2. Memberantas rerumputan atau tanaman pengganggu/gulma.
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman, tidak termasuk pupuk.
5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan
peliharaan dan ternak.
6. Memberantas atau mencegah hama-hama air.
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam
rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan.
8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia dan binatang yang perlu dilindungi dengan
penggunaan pada tanaman, tanah dan air.
Pestisida merupakan bahan yang telah banyak memberikan manfaat untuk
keberlangsungan dunia produksi pertanian. Banyaknya Organisme Pengganggu
Tumbuhan (OPT) yang dapat menurunkan hasil panen, dapat diminimalisir
dengan pestisida. Sehingga kehilangan hasil akibat OPT tidak terlalu besar.

Selain bidang pertanian, pestisida juga memberikan banyak manfaat untuk


membantu masalah yang timbul akibat adanya organisme pengganggu di
tingkat rumah tangga. Seperti pembasmian nyamuk misalnya, dengan adanya
pestisida maka proses pembasmian nyamuk akan menjadi lebih cepat dan
efisien. Bahkan masih banyak lagi peranan pestisida bagi kehidupan manusia
di berbagai bidang.
Dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman,
yang dimaksud dengan Pestisida adalah zat pengatur dan perangsang tumbuh,
bahan lain, serta organisme renik, atau virus yang digunakan untuk melakukan
perlindungan tanaman.
2.1.2 Jenis Pestisida
Pestisida oleh para ahli dikelompokan untuk mempermudah pengenalannya.
Pestisida dapat dikelompokkan berdasarkan jenis sasaran, bentuk fisik, bentuk
formulasi, cara kerjanya, cara masuk, golongan senyawa, dan asal bahan
aktifnya.
Ditinjau dari jenis organisme yang menjadi sasaran penggunaan pestisida
dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain:
1. Akarisida, berasal dari kata akari, yang dalam bahasa Yunani berarti
tungau atau kutu. Fungsinya untuk membunuh tungau atau kutu.
2. Algasida, berasal dari kata alga, bahasa latinnya berarti ganggang laut,
berfungsi untuk membunuh alge.
3. Alvisida, berasal dari kata avis, bahasa latinnya berarti burung, fungsinya
sebagai pembunuh atau penolak burung.
4. Bakterisida, Berasal dari katya latin bacterium, atau kata Yunani bakron,
berfungsi untuk membunuh bakteri.
5. Fungsida, berasal dari kata latin fungus, atau kata Yunani spongos yang
artinya jamur, berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan.

6. Herbisida, berasal dari kata lain herba, artinya tanaman setahun, berfungsi
untuk membunuh gulma.
7. Insektisida, berasal dari kata latin insectum, artinya potongan, keratan
segmen tubuh, berfungsi untuk membunuh serangga.
8. Molluskisida, berasal dari kata Yunani molluscus, artinya berselubung tipis
atau lembek, berfungsi untuk membunuh siput.
9. Nematisida, berasal dari kata latin nematoda, atau bahasa Yunani nema
berarti benang, berfungsi untuk membunuh nematoda.
10. Ovisida, berasal dari kata latin ovum berarti telur, berfungsi untuk merusak
telur. Pedukulisida, berasal dari kata latin pedis, berarti kutu, tuma,
berfungsi untuk membunuh kutu atau tuma.
11. Piscisida, berasal dari kata Yunani Piscis, berarti ikan, berfungsi untuk
membunuh ikan.
12. Rodentisida, berasal dari kata Yunani rodere, berarti pengerat berfungsi
untuk membunuh binatang pengerat.
13. Termisida, berasal dari kata Yunani termes, artinya serangga pelubang
kayu berfungsi untuk membunuh rayap.
Berdasarkan bentuk fisiknya pestis ida dapat berupa:
1. Cair
2. Padat
3. aerosol
Berdasarkan cara kerja pestisida dikelompokkan menjadi:
1. Kelompok IGR, mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
2. Racun syaraf, biasanya mengganggu fungsi syaraf sehingga kematian yang
cepat dapat terjadi. Umumnya insektisida yang beredar di pasaran

sekarang ini pada umumnya adalah insektisida yang bekerja sebagai racun
syaraf seperti golongan organofosfat, karbamat, dan piretroid.
3. Mempengaruhi fungsi enzim
4. Mempengaruhi tingkah laku,dan lain-lain.
Berdasarkan cara masuk, pestisida dikelompokkan:
1. Racun kontak, artinya pestisida dalam hal ini senyawa bahan aktif masuk
melalui kontak atau mas uk ke tubuh serangga melalui dinding tubuh atau
kutikula.
2. Racun perut, artinya senyawafbahan aktif masuk ke dalam tubuh serangga
meialui proses makan dan masuk ke tubuh melalui pencemaan.
3. Racun sistemik, senyawafbahan aktif terserap oleh tanaman lalu
ditransportasikan ke seluruh jaringan tanaman.
4. Fumigan, artinya senyawalbahan aktif masuk ke dalam tubuh sasaran
melalui sistem pemapasan.
2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan Pestisida
Hasil pemeriksaan aktifitas kholinesterase darah dapat digunakan sebagai
penegas (konfirmasi) terjadinya keracuan pestisida pada seseorang. Sehingga
dengan

demikian

dapat

dinyatakan

pula

bahwa

faktor-faktor

yang

mempengaruhi terjadinya keracunan juga merupakan faktor-faktor yang


menyebabkan

rendahnya

aktifitas

kholenisterase

darah.

Faktor

yang

berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida antara lain:


1. Faktor di dalam tubuh (internal) antara lain :
a. Usia, usia merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup
maka usiapun akan bertambah. Seseorang dengan bertambah usia maka
kadar rata-rata cholinesterase dalam darah akan semakin rendah sehingga
akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida.
b. Status gizi, buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya
daya tahan dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi

yang buruk, protein yang ada tubuh sangat terbatas dan enzim
kholinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan enzim
kholinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang memiliki
tingkat gizi baik cenderung miliki kadar rata-rata kholinesterase lebih
besar.
c. Jenis Kelamin, kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal
rata-rata 4,4 g/ml. Analisis dilakukan selama beberapa bulan
menunjukkan bahwa tiap-tiap individu mempertahankan kadarnya dalam
plasma hingga relatif konstan dan kadar ini tidak meningkat setelah
makan atau pemberian oral sejumlah besar kholin. Ini menunjukkan
adanya mekanisme dalam tubuh untuk mempertahankan kholin dalam
plasma pada kadar yang konstan. Jenis kelamin sangat mempengaruhi
akatifitas enzim kholinestrase, jenis kelamin laki-laki lebih rendah
dibandingkan jenis kelamin perempuan karena pada perempuan lebih
banyak kandungan enzim kolinesterase, meskipun demikian tidak
dianjurkan wanita menyemprot dengan menggunakan pestisida, karena
pada saat kehamilan kadar rata-rata kholinesterase cenderung turun.
d. Tingkat Pendidikan, pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan
memberikan tambahan pengetahuan bagi individu tersebut, dengan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan tentang
pestisida dan bahayanya juga lebih baik jika di bandingkan dengan
tingkat pendidikan yang rendah, sehingga dalam pengelolaan pestisida,
tingkat pendidikan tinggi akan lebih baik.
e. Pengetahuan, sikap dan praktek (tindakan), seseorang telah setuju
terhadap objek, maka akan terbentuk pula sikap positif terhadap obyek
yang sama. Apabila sikap positif terhadap suatu program atau obyek telah
terbentuk, maka diharapkan akan terbentuk niat untuk melakukan
program tersebut. Bila niat itu betul-betul dilakukan, hal ini sangat
bergantung dari beberapa aspek seperti tersediannya sarana dan prasarana
serta kemudahan-kemudahan lainnya, serta pandangan orang lain
disekitarnya. Niat untuk melakukan tindakan, misalnya menggunakan
alat pelindung diri secara baik dan benar pada saat melakukan
penyemproan pestisida, seharusnya sudah tersedia dan praktis sehingga

petani mau menggunakannya. Hal ini merupakan dorongan untuk


melakukan tindakan secara tepat sesuai aturan kesehatan sehingga risiko
terjadinya keacunan pestisida dapat dicegah atau dikurangi.
2. Faktor di luar tubuh (eksternal)
a. Dosis, semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakin
mempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida.
Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan
pestisida, hal ini di tentukan dengan lama pemajanan. Untuk dosis
penyempotan di lapangan khususnya golongan organofosfat, dosis yang
dianjurkan 0,5 1,5 kg/ha3,13).
b. Lama kerja sebagai petani, semakin lama bekerja menjadi petani akan
semakin sering kontak dengan pestisida sehingga risiko keracunan
pestisida semakin tinggi. Penurunan aktifitas kholinesterase dalam
plasma darah karena keracunan pestisida akan berlangsung mulai
seseorang terpapar hingga 2 minggu setelah melakukan penyemprotan.
c. Tindakan penyemprotan pada arah angin, arah angin harus diperhatikan
oleh penyemprot saat melakukan penyemprotan. Penyemprotan yang
baik bila searah dengan arah angin dengan kecepatan tidak boleh
melebihi 750 m per menit. Petani pada saat menyemprot yang melawan
arah angin akan mempunyai risiko lebih besar bila dibanding dengan
petani yang saat menyemprot tanaman searah dengan arah angin.
d. Waktu penyemprotan, perlu diperhatikan dalam melakukan
penyemprotan pestisida, hal ini berkaitan dengan suhu lingkungan yang
dapat menyebabkan keluarnya keringat lebih banyak terutama pada
siang hari. Sehingga waktu penyemprotan semakin siang akan mudah
terjadi keracunan pestisida terutama penyerapan melalui kulit.
e. Frekuensi Penyemprotan, semakin sering melakukan penyemprotan,
maka semakan tinggi pula risiko keracunannya. Penyemprotan
sebaiknya dilakukan sesuai dengan ketentuan. Waktu yang dibutuhkan
untuk dapat kontak dapat kontak dengan pestisida maksimal 5 jam
perhari.
f. Jumlah jenis pestisida yang digunakan, jumlah jenis pestisida yang
digunakan dalam waktu penyemprotan akan menimbulkan efek

keracunan lebih besar bila dibanding dengan pengunaan satu jenis


pestisida karena daya racun atau konsentrasi pestisida akan semakin
kuat sehingga memberikan efek samping yang semakin besar.
g. Penggunaan Alat Pelindung Diri, penggunaan alat pelindung diri dalam
melakukan pekerjaan bertujuan untuk melindungi dirinya dari sumber
bahaya tertentu, baik yang berasal dari pekerjaan maupun lingkungan
kerja. Alat pelindung diri berguna dalam mecegah atau mengurangi
sakit atau cidera. Pestisida umumnya adalah racun bersifat kontak, oleh
sebab itu penggunaan alat pelindng diri padapetani waktu menyemprot
sangat penting untuk menghindari kontak langsung dengan pestisida.
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan atau 12
jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perubahan
secara hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari
perubahan/pembentukan ini mempunyai toksisitas rendah dan akan keluar
melalui urine.
Adapun gejala keracunan pestisida golongan organofosfat adalah :
1. Gejala awal
Gejala awal akan timbul : mual/rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas,
sakit kepala dan gangguan penglihatan.
2. Gejala Lanjutan
Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang berlebihan,
pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada keracunan melalui hidung),
kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang berlebihan,
kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.
3. Gejala Sentral
Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah, sukar bicara, kebingungan,
hilangnya reflek, kejang dan koma.
4. Kematian
Apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian dikarenakan
kelumpuhan otot pernafasan.
Gejala-gejala tersebut akan muncul kurang dari 6 jam, bila lebih dari itu maka
dipastikan penyebabnya bukan golongan Organofosfat. Pestisida organofosfat
dapat menimbulkan keracunan yang bersifat akut dengan gejala (keluhan)
sebagai berikut : leher seperti tercekik, pusing-pusing, badan terasa sangat

lemah, sempoyongan, pupil atau celah iris mata menyempit, pandangan kabur,
tremor, terkadang kejang pada otot, gelisah dan menurunnya kesadaran, mual,
muntah, kejang pada perut, mencret, mengeluakan keringat yang berlebihan,
sesak dan rasa penuh di dada, pilek, batuk yang disertai dahak, mengeluarkan
air liur berlebihan. Sebab baru biasanya terjadi 12 jam setelah keracunan,
denyut jantung menjadi lambat dan ketidakmampuan mengendalikan buang air
kecil maupun besar.
2.4.1 Dampak Pestisida Terhadap Kesehatan Manusia
Pada umumnya pestisida, terutama pestisida sintesis adalah biosida yang tidak
saja bersifat racun terhadap jasad pengganggu sasaran. Tetapi juga dapat
bersifat racun terhadap manusia dan jasad bukan target termasuk tanaman,
ternak dan organisme berguna lainnya.Apabila penggunaan pestisida tanpa
diimbangi dengan perlindungan dan perawatan kesehatan, orang yang sering
berhubungan dengan pestisida, secara lambat laun akan mempengaruhi
kesehatannya. Pestisida meracuni manusia tidak hanya pada saat pestisida itu
digunakan, tetapi juga saat mempersiapkan, atau sesudah melakukan
penyemprotan.
Kecelakaan akibat pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami oleh
orang yang langsung melaksanakan penyemprotan. Mereka dapat mengalami
pusing-pusing ketika sedang menyemprot maupun sesudahnya, atau muntahmuntah, mulas, mata berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi luka, kejangkejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian. Kejadian
tersebut umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas keselamatan kerja dan
kurangnya kesadaran bahwa pestisida adalah racun.Kadang-kadang para petani
atau pekerja perkebunan, kurang menyadari daya racun pestisida, sehingga
dalam melakukan penyimpanan dan penggunaannya tidak memperhatikan segisegi keselamatan. Pestisida sering ditempatkan sembarangan, dan saat
menyemprot sering tidak menggunakan pelindung, misalnya tanpa kaos tangan
dari plastik, tanpa baju lengan panjang, dan tidak mengenakan masker penutup
mulut dan hidung. Juga cara penyemprotannya sering tidak memperhatikan
arah angin, sehingga cairan semprot mengenai tubuhnya. Bahkan kadang-

kadang wadah tempat pestisida digunakan sebagai tempat minum, atau dibuang
di sembarang tempat. Kecerobohan yang lain, penggunaan dosis aplikasi
sering tidak sesuai anjuran. Dosis dan konsentrasi yang dipakai kadang-kadang
ditingkatkan hingga melampaui batas yang disarankan, dengan alasan dosis
yang rendah tidak mampu lagi mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Secara tidak sengaja, pestisida dapat meracuni manusia atau hewan ternak
melalui mulut, kulit, dan pernafasan. Sering tanpa disadari bahan kimia
beracun tersebut masuk ke dalam tubuh seseorang tanpa menimbulkan rasa
sakit yang mendadak dan mengakibatkan keracunan kronis. Seseorang yang
menderita keracunan kronis, ketahuan setelah selang waktu yang lama, setelah
berbulan atau bertahun. Keracunan kronis akibat pestisida saat ini paling
ditakuti, karena efek racun dapat bersifat karsiogenic (pembentukan jaringan
kanker pada tubuh), mutagenic (kerusakan genetik untuk generasi yang akan
datang), danteratogenic (kelahiran anak cacad dari ibu yang keracunan).
Pestisida dalam bentuk gas merupakan pestisida yang paling berbahaya bagi
pernafasan, sedangkan yang berbentuk cairan sangat berbahaya bagi kulit,
karena dapat masuk ke dalam jaringan tubuh melalui ruang pori kulit.
Menurut World Health Organization (WHO), paling tidak 20.000 orang per
tahun, mati akibat keracunan pestisida. Diperkirakan 5.000 10.000 orang per
tahun mengalami dampak yang sangat fatal, seperti mengalami penyakit
kanker, cacat tubuh, kemandulan dan penyakit liver.
Selain keracunan langsung, dampak negatif pestisida bisa mempengaruhi
kesehatan orang awam yang bukan petani, atau orang yang sama sekali tidak
berhubungan dengan pestisida. Kemungkinan ini bisa terjadi akibat sisa racun
(residu) pestisida yang ada didalam tanaman atau bagian tanaman yang
dikonsumsi manusia sebagai bahan makanan. Konsumen yang mengkonsumsi
produk tersebut, tanpa sadar telah kemasukan racun pestisida melalui hidangan
makanan yang dikonsumsi setiap hari. Apabila jenis pestisida mempunyai
residu terlalu tinggi pada tanaman, maka akan membahayakan manusia atau
ternak yang mengkonsumsi tanaman tersebut. Makin tinggi residu, makin
berbahaya bagi konsumen.

Pestisida sebagai bahan beracun, termasuk bahan pencemar yang berbahaya


bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pencemaran dapat terjadi karena
pestisida menyebar melalui angin, melalui aliran air dan terbawa melalui tubuh
organisme yang dikenainya. Residu pestisida sintesis sangat sulit terurai secara
alami. Bahkan untuk beberapa jenis pestisida, residunya dapat bertahan hingga
puluhan tahun. Dari beberapa hasil monitoring residu yang dilaksanakan,
diketahui bahwa saat ini residu pestisida hampir ditemukan di setiap tempat
lingkungan sekitar kita. Kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan
pengaruh negatif terhadap organisma bukan sasaran. Oleh karena sifatnya
yang beracun serta relatif persisten di lingkungan, maka residu yang
ditinggalkan pada lingkungan menjadi masalah.
Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air
sungai, air sumur, maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida
kemungkinan terdapat di dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari,
seperti sayuran dan buah-buahan.Aplikasi pestisida dari udara jauh
memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran
pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab
hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida
yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang
bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran.
Bahan kimia dari kandungan pestisida dapat meracuni sel-sel tubuh atau
mempengaruhi organ tertentu yang mungkin berkaitan dengan sifat bahan
kimia atau berhubungan dengan tempat bahan kimia memasuki tubuh atau
disebut juga organ sasaran.
Efek racun bahan kimia atas organ-organ tertentu dan sistem tubuh:
1. Paru-paru dan sistem pernafasan
Efek jangka panjang terutama disebabkan iritasi (menyebabkan bronkhitis
atau pneumonitis). Pada kejadian luka bakar, bahan kimia dalam paru-paru
yang dapat menyebabkan udema pulmoner (paru-paru berisi air), dan dapat
berakibat

fatal.

Sebagian

bahan kimia dapat mensensitisasi atau

menimbulkan reaksi alergik dalam saluran nafas yang selanjutnya dapat


menimbulkan bunyi sewaktu menarik nafas, dan nafas pendek. Kondisi

jangka panjang (kronis) akan terjadi penimbunan debu bahan kimia pada
jaringan paru-paru sehingga akan terjadi fibrosis atau pneumokoniosis.
2. Hati
Bahan kimia yang dapat mempengaruhi hati disebut hipotoksik.
Kebanyakan bahan kimia menggalami metabolisme dalam hati dan
olehkarenanya maka banyak bahan kimia yang berpotensi merusak sel-sel
hati. Efek bahan kimia jangka pendek terhadap hati dapat menyebabkan
inflamasi sel-sel (hepatitis kimia), nekrosis (kematian sel), dan penyakit
kuning. Sedangkan efek jangka panjang berupa sirosis hati dari kankerhati.
3. Ginjal dan saluran kencing
Bahan kimia yang dapat merusak ginjal disebut nefrotoksin. Efek bahan
kimia terhadap ginjal meliputi gagal ginjal sekonyong-konyong (gagal
ginjal akut), gagal ginjal kronik dan kanker ginjal atau kanker kandung
kemih.
4. Sistem syaraf
Bahan kimia yang dapat menyerang syaraf disebut neurotoksin. Pemaparan
terhadap bahan kimia tertentu dapat memperlambat fungsi otak. Gejalagejala yang diperoleh adalah mengantuk dari hilangnyakewaspadaan yang
akhirnya diikuti oleh hilangnya kesadaran
karena bahan kimia tersebut menekan sistem syaraf pusat. Bahan kimia
yang dapat meracuni sistem enzim yang menuju ke syaraf adalah pestisida.
Akibat dari efek toksik pestisida ini dapat menimbulkan kejang otot dan
paralisis (lurnpuh). Di samping itu ada bahan kimia lain yang dapat
secaraperlahan meracuni syaraf yang tangan dan kaki serta mengakibatkan
mati rasa dan kelelahan.
5. Darah dan sumsum tulang
Sejumlah bahan kimia seperti arsin, benzen dapat merusak sel-seld arah
merah yang menyebabkan anemia hemolitik. Bahan kimia lain dapat
merusak sumsum tulang dan organ lain tempat pembuatan sel-sel darah atau
dapat menimbulkan kanker darah.Jantung dan pembuluh darah (sistem
kardiovaskuler).Sejumlah pelarut seperti trikloroetilena dan gas yang dapat
menyebabkan gangguan fatal terhadap ritme jantung. Bahan kimia lain
seperti karbon disulfida dapat menyebabkan peningkatan penyakit
pembuluh darah yang dapat menimbulkan serangan jantung.
6. Kulit

Banyak bahan kimia bersifat iritan yang dapat menyebabkan dermatitis atau
dapat menyebabkan sensitisasi kulit dan alergi. Bahan kimia lain dapat
menimbulkan

jerawat,

hilangnya

pigmen

(vitiligo),

mengakibatkan

kepekaan terhadap sinar matahari atau kanker kulit.


7. Sistem yang lain
Bahan kimia dapat pula menyerang sistem kekebalan, tulang, otot dan
kelenjar tertentu seperti kelenjar tiroid. Petani yang terpapar pestisida akan
mengakibatkan peningkatan fungsi hati sebagai salah satu tanda toksisitas,
terjadinya kelainan hematologik,meningkatkan kadar SGOT dan SGPT
dalam darah juga dapat meningkatkan kadar ureum dalam darah.
2.5.1 Cara Pestisida Meracuni Manusia
1. Melalui kulit
Hal ini dapat terjadi apabila pestisida terkena pada pakaian atau langsung
pada kulit. Ketika petani memegang tanaman yang baru saja disemprot,
ketika pestisida terkena pada kulit atau pakaian, ketika petani mencampur
pestisida tanpa sarung tangan, atau ketika anggota keluarga mencuci
pakaian yang telah terkena pestisida. Untuk petani atau pekerja lapangan,
cara keracunan yang paling sering terjadi adalah melalui kulit.
2. Melalui pernapasan
Hal ini paling sering terjadi pada petani yang menyemprot pestisida atau
pada orang-orang yang ada di dekat tempat penyemprotan. Perlu diingat
bahwa beberapa pestisida yang beracun tidak berbau.
3. Melalui mulut
Hal ini terjadi bila seseorang meminum pestisida secara sengaja ataupun
tidak, ketika seseorang makan atau minum air yang telah tercemar, atau
ketika makan dengan tangan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu setelah
berurusan dengan pestisida.
2.2 Arsen
2.2.1 Pengertian Arsen
Arsen merupakan logam berat dengan valensi 3 atau 5, dan berwarna metal
(steel-grey). Senyawa arsen didalam alam berada dalam 3 bentuk: Arsen
trichlorida (AsCl3) berupa cairan berminyak, Arsen trioksida (As2O3, arsen

putih) berupa kristal putih dan berupa gas arsine (AsH3). Lewisite, yang sering
disebut sebagai gas perang, merupakan salah satu turunan gas arsine. Pada
umumnya arsen tidak berbau, tetapi beberapa senyawanya dapat mengeluarkan
bau bawang putih. Racun arsen pada umumnya mudah larut dalam air,
khususnya dalam air panas.
Arsen merupakan unsur dari komponen obat sejak dahulu kala. Senyawa arsen
trioksida misalnya pernah digunakan sebagai tonikum, yaitu dengan dosis 3 x
1-2 mg. Dalam jangka panjang, penggunaan tonikum ini ternyata telah
menyebabkan timbulnya gejala intoksikasi arsen kronis. Arsen juga pernah
digunakan sebagai obat untuk berbagai infeksi parasit, seperti protozoa, cacing,
amoeba, spirocheta dan tripanosoma, tetapi kemudian tidak lagi digunakan
karena ditemukannya obat lain yang lebih aman. Arsen dalam dosis kecil
sampai saat ini juga masih digunakan sebagai obat pada resep homeopathi.
2.2.2 Fungsi Arsen
Logam arsenik biasanya digunakan sebagai bahan campuran untuk
mengeraskan logam lain misalnya mengeraskan Pb di pabrik aki atau melapisi
kabel. Arsenik trioksid dan arsenik pentoksid biasanya dipakai di pabrik
kalsium, tembaga dan pestisida Pb arsenat. Komponen arsenik seringkali pula
dipakai pula untuk memberi warna (pigmen) dan agen pemurni dalam pabrik
gelas, sebagai bahan pengawet dalam penyamakan atau pengawet kapas,
ataupun sebagai herbisida. Bahan kimia copper acetoarsenit terkenal sebagai
bahan pengawet kayu. Bahan arsenilik digunakan dalam obat-obatan hewan
maupun bahan tambahan makanan hewan. Gas arsen dan komponen arsenik
lainnya seringkali digunakan dalam industri mikroelektronik dan industri bahan
gallium arsenide.
Toksisitas senyawa arsenik, sangat bervariasi. Bentuk organik tampaknya
memiliki toksisitasyang lebih rendah daripada bentuk arsenik anorganik..
Penelitian telah menunjukkan bahwa arsenites (trivalen bentuk) memiliki
toksisitas akut yang lebih tinggi daripada arsenates(pentavalent bentuk).
Minimal

dosis

akut

arsenik

yang

mematikan

pada

orang

dewasa

diperkirakan70-200 mg atau 1 mg/kg/hari. Sebagian besar melaporkan

keracunan arsenik tidak disebabkan oleh unsur arsenik, tapi oleh salah satu
senyawa arsen, terutama arsenik trioksida, yang sekitar500 kali lebih beracun
daripada arsenikum murni.
2.2.3 Paparan Terhadap Tempat Kerja dan Lingkungan
Paparan arsen di tempat kerja terutama dalam bentuk arsenik trioksid dapat
terjadi pada industri pengecoran Pb (timbal), coper (tembaga), emas maupun
logam non besi yang lain.. Beberapa industri yang juga mempunyai potensi
untuk memberi paparan bahan kimia arsen adalah industri pestisida / herbisida,
industri bahan pengawet, industri mikro elketronik dan industri farmasi / obatobatan. Pada industri tersebut, arsenik trioksid dapat bercampuran dengan
debu, sehingga udara dan air di industri pestisida dan kegiatan peleburan
mempunyai risiko untuk terpapar kontaminan arsen. Paparan yang berasal dari
bukan tempat kerja (non occupational exposure) adalah air sumur, susu
bubuk, saus dan minuman keras yang terkontaminasi arsen serta asap rokok.
2.2.4 Absorbsi, Metabolisme dan Eksresi Arsen
Bahan kimia arsen dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan
makanan, saluran pernafasan serta melalui kulit walaupun jumlahnya sangat
terbatas. Arsen yang masuk ke dalam peredaran darah dapat ditimbun dalam
organ seperti hati, ginjal, otot, tulang, kulit dan rambut.
Arsenik trioksid yang dapat disimpan di kuku dan rambut dapat
mempengaruhi enzim yang berperan dalam rantai respirasi, metabolisme
glutation ataupun enzim yang berperan dalam proses perbaikan DNA yang
rusak. Didalam tubuh arsenik bervalensi lima dapat berubah menjadi arsenik
bervalensi tiga. Hasil metabolisme dari arsenik bervalensi 3 adalah asam
dimetil arsenik dan asam mono metil arsenik yang keduanya dapat diekskresi
melalui urine.
Gas arsin terbentuk dari reaksi antara hidrogen dan arsen yang merupakan hasil
samping dari proses refining (pemurnian logam) non besi (non ferrous metal).
Keracunan gas arsin biasanya bersifat akut dengan gejala mual, muntah, nafas

pendek dan sakit kepala. Jika paparan terus berlanjut dapat menimbulkan
gejala hemoglobinuria dan anemia, gagal ginjal dan ikterus (gangguan hati).
2.2.5 Gejala Klinik Keracunan Arsen
Menurut Casarett dan Doulls (1986), menentukan indikator biologi dari
keracunan arsen merupakan hal yang sangat penting. Arsen mempunyai waktu
paruh yang singkat (hanya beberapa hari), sehingga dapat ditemukan dalam
darah hanya pada saat terjadinya paparan akut. Untuk paparan kronis dari arsen
tidak lazim dilakukan penilaian.
1. Paparan akut
Paparan akut dapat terjadi jika tertelan (ingestion) sejumlah 100 mg As.
Gejala yang dapat timbul akibat paparan akut adalah mual, muntah, nyeri
perut, diarrhae, kedinginan, kram otot serta oedeme dibagian muka (facial).
Paparan dengan dosis besar dapat menyebabkan koma dan kolapsnya
peredaran darah. Dosis fatal adalah jika sebanyak 120 mg arsenik trioksid
masuk ke dalam tubuh.
2. Paparan kronis
Gejala klinis yang nampak pada paparan kronis dari arsen adalah peripheral
neuropathy (rasa kesemutan atau mati rasa), lelah, hilangnya refleks,
anemia, gangguan jantung, gangguan hati, gangguan ginjal, keratosis
telapak tangan maupun kaki, hiperpigmentasi kulit dan dermatitis. Gejala
khusus yang dapat terjadi akibat terpapar debu yang mengandung arsen
adalah nyeri tenggorokan serta batuk yang dapat mengeluarkan darah akibat
terjadinya iritasi. Seperti halnya akibat terpapar asap rokok, terpapar arsen
secara menahun dapat menyebabkan terjadinya kanker paru.
Arsenik dalam urine merupakan indikator keracunan arsen yang terbaik bagi
pekerja yang terpapar arsen. Normal kadar arsen dalam urine kurang dari
50ug/L. Kadar As dalam rambut juga merupakan indikator yang cukup baik
untuk menilai terjadinya karacunan arsen. Normal kadar As dalam rambut
kurang dari 1mug/kg.
Walaupun tidak ada pemeriksaan biokimia yang spesifik untuk melihat
terjadinya keracunan arsen, namun gejala klinik akibat keracunan As yang
dihubungkan dengan mempertimbangkan sejarah paparan merupakan hal yang

cukup penting. Perlu diingat bahwa seseorang dengan kelainan laboratorium


seperti di atas tidak selalu disebabkan oleh terpapar atau keracunan arsen.
2.2.6 Mekanisme Terjadinya Toksisitas
Mekanisme Masuknya Arsen dalam tubuh manusia umumnya melalui oral, dari
makanan/minuman. Arsen yang tertelan secara cepat akan diserap lambung dan
usus halus kemudian masuk ke peredaran darah.
Arsen adalah racun yang bekerja dalam sel secara umum.Hal tersebut terjadi
apabila arsen terikat dengan gugus sulfhidril (-SH), terutama yang berada
dalam enzim.Salah satu system enzim tersebut ialah kompleks.piruvat
dehidrogenase yang berfungsi untuk oksidasi dekarboksilasi piruvat menjadi
Co-A dan CO2 sebelummasuk dalam siklus TOA (tricarbocyclic acid). Dimana
enzim tersebut terdiri dari beberapa enzim dan kofaktor.Reaksi tersebut
melibatkan

transasetilasi

yang

mengikat

koenzim A(CoA-SH)

untuk

membentuk asetil CoA dan dihidrolipoil-enzim, yang mengandung dua gugus


sulfhidril.Kelompok sulfhidril sangat berperan mengikat arsen trivial yang
membentuk kelat.kelat dari dihidrofil-arsenat dapat menghambat reoksidasi
dari kelompok akibatnya bila arsen terikat dengan system enzim, akan terjadi
akumulasi asam piruvat dalam darah.
Arsenat juga memisahkan oksigen dan fosfolirasi pada fase kedua
dariglikolosis dengan jalan berkompetisi dengan fosfat dalama reaksi
gliseraldehid

dehidrogenase.Dengan

adanya

pengikatan

arsenat

reaksi

gliseraldehid-3-fosfat, akibatnya tidak terjadi proses enzimatik hidrolisis


menjadi 3-fosfogliserat dan tidak memproduksi ATP.Selama Arsen bergabung
dengan gugus SH,maupun gugus SH yang terdapat dalam enzim,maka akan
banyak ikatan As dalam hati yang terikat sebagai enzim metabolic.Karena
adanya protein yang juga mengandung gugus SH terikat dengan As, maka hal
inilah yang meneyebbkan As juga ditemukan dalam rambut, kuku dan
tulang.Karena eratnya As bergabung dengan gugus SH, maka arsen masih
dapat terdeteksi dalam rambut dan tulang bebrapa tahun kemudian.
2.2.7 Pengobatan Keracunan Arsen

Pada keracuna arsen akibat tertelan arsen, tindakan yang terpenting adalah
merangsang refleks muntah. Jika penderita tidak sadar (shock) perlu diberikan
infus. Antdote untuk keracunan arsen adalah injeksi dimerkaprol atau BAL
(British Anti Lewisite).
Pemeriksaan Yang Perlu dilakukan:
1.
2.
3.
4.

Pemeriksaan darah
Pemeriksaan urine
Pemeriksaan fungsi hati
Pemeriksaan jantung

5.

Pemeriksaan kadar arsen dalam tubuh

2.3 Anemia
2.3.1

Pengertian Anemia

Anemia adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan


komponen Anemia Aplasticselular pada darah tepi yang diakibatkan oleh
kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah
yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu
keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih,
dan trombosit.
2.3.2 Penyebab Anemia Aplastic
Zat-zat kimia yang sering menjadi penyebab anemia aplastik misalnya benzen,
arsen, insektisida, dan lain-lain. Zat-zat kimia tersebut biasanya terhirup
ataupun terkena (secara kontak kulit) pada seseorang. Jadi Kami menyarankan
supaya melakukan pengobatan dengan Obat Herbal Anemia supaya hasil nya
lebih efektip dan aman bagi tubuh.
Radiasi juga dianggap sebagai penyebab anemia aplastik ini karena dapat
mengakibatkan kerusakan pada sel induk ataupun menyebabkan kerusakan
pada lingkungan sel induk. Contoh radiasi yang dimaksud antara lain pajanan
sinar X yang berlebihan ataupun jatuhan radioaktif (misalnya dari ledakan bom
nuklir).

Paparan oleh radiasi berenergi tinggi ataupun sedang yang berlangsung lama
dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang akut dan kronis maupun anemia
aplastik.
Infeksi juga dapat menyebabkan anemia aplastik. Misalnya seperti infeksi virus
Hepatitis C, EBV, CMV, parvovirus, HIV, dengue dan lain-lain.
Kehilangan darah merupakan penyebab utama anemia, perusakan sel darah
merah atau kekurangan produksi sel darah merah yang lebih cepat dari normal.
Kondisi tersebut disebabkan karena konsumsi makan-makanan yang banyak
mengandung zat besi sangat kurang, vitamin B12, asam folat, vitamin C
serta kurangnya unsur-unsur yang diperlukan untuk pembentukan sel darah
merah.
Kekurangan zat besi merupakan faktor penting yang menjadi penyebab
terjadinya anemia. Prosentase kekurangan zat besi yaitu sekitar 20% wanita,
50% wanita hamil dan 3% pria kekurangan zat besi.
Vitamin B12 adalah jenis vitamin yang hanya ditemui pada makanan hewani
(daging, ikan, telur, susu). Penyebab Anda kekurangan vitamin B12
dikarenakan tidak mengkonsumsi daging atau vegetarian. Sebagian besar orang
non vegetarian tidak ada yang kekurangan viatamin B12 ini karena
cadangannya cukup untuk produksi sel darah sampai lima tahun.
Pada banyak makanan banyak tersedia asam folat, tetapi paling banyak ditemui
pada sayuran hijau mentah dan hati.
Darah yang dikeluarkan pada menstruasi berlebihan, sangat rawan sekali
wanita yang sedang mengalami menstruasi terkena anemia karena darah
yang dikeluarkan terlalu banyak sehingga menyebabkan kekurangan zat besi
dan dia tidak memiliki banyak persedian zat besi.
Rawan terkena anemia bagi wanita yang sedang hamil karena janin menyerap
nutrisi dan zat besi untuk pertumbuhannya. disamping itu, saat kehamilan
volume darah akan naik sehingga sel darah juga lebih sedikit jika dibandingkan
dengan volumenya.

Penyakit tertentu seperti maag, radang usus buntu, ambien dll dapat
menyebabkan anemia karena penyakit ini yang menyebabkan perdarahan terusmenerus di saluran pencernaan meskipun jumlahnya sedikit.
Pengambilan sebagian atau seluruh lambung (gastrektomi) pada operasi dapat
menyebabkan anemia karena tubuh kurang menyerap zat besi dan vitamin B12.
Penyakit yang mempengaruhi proses pembentukan sel darah merah seperti
penyakit radang kronis seperti lupus, artritis rematik, penyakit ginjal, masalah
pada kelenjar tiroid, beberapa jenis kanker, dan penyakit lainnya dapat
menyebabkan anemia.
2.3.3 Penanganan Anemia
Segeralah berkonsultasi dengan dokter aabila Anda merasa mempunyai gejalagejala 5L (lelah, letih, lesu, lemah dan lunglai) dan mungkin orang-orang di
sekitar Anda melihat Anda tampak pucat. Untuk mengetahui apakah Anda
terkena anemia dan mengetahui apa penyebabnya, biasanya dokter akan
memberikan pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah dan pemeriksaan penunjang
lainnya untuk menentukan penyebabnya.
Untuk menangani anemia harus diketahui dulu apa penyebabnya. Apabila
kekurangan zat besi adalah penyebabnya maka dokter akan mencari tahu dan
mengatasinya. Suplemen yang mungkin akan diberikan adalah dalam bentuk
tablet atau sirup.
Enam hingga delapan minggu setelah penanganan biasanya berlangsung masa
pemulihan. Setelah anemia tertangani, Anda masih harus mendapatkan asupan
suplemen zat besi hingga beberapa bulan kedepan untuk menjaga kondisi.
Selama perawatan, tinja anda akan berwarna hitam.
Penyakit tertentu bisa menjadi penyebab anemia, apabila penyebab utamanya
dikarenakan penyakit tertentu, salah satu solusi untuk menanganinya adalah
dengan menyembuhkan penyakitnya.

BAB III
PEMBAHASAN
(Studi Kasus: Petani Penyemprot Pestisida di Kabupaten Brebes)
3.1 Gambaran Umum Wilayah Studi
Kecamatan Kersana terletak disebelah selatan ibukota Kabupaten Brebes
(secara geografis terletak diantara 6o-7oLS dan 108o-109oBT) dengan batas
wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tanjung dan sebelah
selatan berbatasan dengan Kecamatan Ketanggungan dan Banjarharjo, sebelah
barat berbatasan dengan Kecamatan Tanjung dan sebelah timur berbatasan
dengan Kecamatan Ketanggungan dan Bulakamba.
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Kersana, dengan desa terpilih adalah
Desa Kemukten. Desa Kemukten memiliki jumlah penduduk 4.619 jiwa dan
1.441 KK. Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah petani (89%),
terdiri dari petani pemilik 1.856 jiwa dan buruh tani 1.796 jiwa, selebihnya
nelayan, buruh bangunan, buruh industri, pedagang, PNS, dan lain-lain.
Tanaman utama adalah bawang merah dengan luas tanaman 74 ha dengan hasil
per ha Rp. 45.000.000.
3.2 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini variabel bebas (faktor resiko) dan variabel terikat (efek)
dinilai secara simultan dengan pengukuran pada satu saat dan akan diperoleh
efek populasi pada suatu saat sehingga dapat menentukan hubungan antara
faktor resiko dan penyakit. Populasi dalam penelitian ini adalah petani
penyemprot pestisida yang berada di desa Kemukten, Kecamatan Kersana
Kabupaten Brebes.
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling dengan
pertimbangan mereka yang mau berpartisipasi pada pemeriksaan Arsen (As)
dalam urin dan pemeriksaan Hemoglobin dalam darah. dengan kriteria:
berjenis kelamin laki-laki dan pada hari-H dilakukan pengambilan data, hanya
petani yang pada hari itu melakukan penyemprotan pestisida, karena pada
H+1-nya akan diambil sampel urin untuk diuji kadar Arsennya.

Pengujian kandungan logam berat berupa total Arsen (As) dalam urin
dilakukan dengan menggunakan metode Spektrofotometri, sedangkan kadar Hb
di ukur dengan Hemocue Hb201+. Analisa data penelitian dilakukan secara
univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan
faktor-faktor yang berperan dalam paparan pestisida, sedangkan analisis
bivariate dilakukan untuk menguji hubungan antara dosis pestisida, jumlah
kombinasi pestisida, lama kerja per hari, masa kerja, dan intensitas
penyemprotan dengan kandungan Arsen (As) dalam urin, serta menguji
hubungan antara kandungan Arsen (As) dalam urin dengan kejadian anemia
pada petani penyemprot bawang yang terpapar pestisida di Kecamatan Kersana
Kabupaten Brebes dengan uji statistik non parametrik.
3.3 Hasil dan Pembahasan
3.3.1 Umum
1. Ekokinetika
Seperti yang telah kita ketahui bahwa ekokinetika merupakan perjalanan
sumber racun atau xenobiotik di dalam ekosistem. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh sumber racun tersebut, media transpornya dan transformasi. Pada studi
kasus ini dapt diketahui bahwa xenobiotik yang dimaksud adalah kandungan
Arsen yang bersumber dari pestisida yang digunakan oleh para petani, air
minum, bahan makanan dan industri peleburan logam yang terdapat di dekat
lokasi penyemprotan. Media penyebarannya yaitu melalui udara, makanan dan
air.
2. Farmakokinetika
Farmakokinetika merupakan kinetika xenobiotik saat telah berada di dalam
tubuh organism. Mulai dari portal of entry, absorpsi, distribusi, metabolism,
eksresi dan efek/ respons terhadap tubuh.
Arsenik yang masuk ke dalam tubuh melalui oral, dermal maupun melalui
pernapasan. Kemudian masuk ke peredaran darah dapat ditimbun dalam organ
seperti hati, ginjal, otot, tulang, kulit dan rambut. Arsenik trioksid yang dapat
disimpan di kuku dan rambut dapat mempengaruhi enzim yang berperan dalam

rantai respirasi, metabolisme glutation ataupun enzim yang berperan dalam


proses perbaikan DNA yang rusak. Di dalam tubuh, arsenik bervalensi lima
dapat berubah menjadi arsenik bervalensi tiga. Hasil metabolisme dari arsenik
bervalensi 3 adalah asam dimetil arsenik (DMA) dan asam mono metil arsenik
(MMA) yang keduanya dapat diekskresi melalui urin.
Apabila logam arsen (As) ini berada dalam jangka waktu yang cukup lama
dalam tubuh (long term exposure) maka akan terakumulasi dalam target organ
tubuh. Sehingga akan menimbulkan efek gangguan kesehatan manusia yang
bersifat karsinogenik, mutagenik dan teratogenik dan toksisitasnya dapat
bersifat akut dan kronik. Paparan kronik pada arsenik meningkatkan risiko
penyakit seperti lesi pada kulit, bronchitis, hepatomegali, neuropathi,
peripheral vascular diseases (seperti : gangrene), penyakit kardiovaskular,
kanker kulit, kanker paru-paru dan kanker empedu.
Sebenarnya tubuh manusia punya mekanisme untuk mengatasi paparan
arsenik dalam jumlah kecil. Hati akan mengubahnya menjadi bentuk yang
tidak merusak dan dalam beberapa hari dibuang lewat urin. Memang masih ada
sedikit sisa yang mungkin menetap dalam tubuh selama beberapa bulan,
bahkan lebih lama. Namun, ini menjadi berbahaya bila tubuh terus-menerus
terpapar arsenik, apalagi dalam jumlah besar. Paling banyak arsenik anorganik
dieliminasi terutama melalui ginjal dan dieliminasi sekitar 75% dalam urin dan
beberapa persen dalam faeces selama hari pertama atau minggu pertama.
3.3.1 Analisis Univariate
Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan metode spectrophotometry (dapat
dilihat pada tabel 1 dan 2) diketahui bahwa responden dalam penelitian ini
telah terdeteksi kadar Arsen dalam urinnya, meskipun menurut American
Conference of Governmental Industrial bahwa kadar Arsen ini masih di bawah
Nilai Ambang Batas (NAB) arsen (As) dalam urin (<35 g/l). Dalam penelitian
ini juga dapat diketahui bahwa kadar Arsen (As) responden paling tinggi
adalah 14,45 g/l dan paling rendah adalah 1,40 g/l. Rata-rata kadar Arsen
(As) responden adalah 5,1137 g/l dengan standar deviasi 3,271.

Berdasarkan perhitungan dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan kadar


hemoglobin responden paling tinggi adalah 16,8 gr% dan paling rendah adalah
11,3 gr% dengan rata-rata kadar Hb adalah 14,159 gr% dan standar deviasi
1,069. Pengkategorian anemia (berdasarkan standar WHO), sebanyak 27
responden (84,4%) kadar hemoglobin responden masih berada dalam kondisi
yang normal.
Tabel 3.1 Karakteristik Responden dan Faktor-faktor yang Berperan dalam
Paparan Pestisida

3.3.2 Analisis Bivariate


Berdasarkan perhitungan dapat diketahui bahwa responden yang lama kerjanya
adalah 3 jam/hari mempunyai kecenderungan rata-rata kandungan arsen (As)
dalam urinnya lebih tinggi (5,6335 g/l) dibandingkan dengan petani yang
lama kerjanya < 3 jam/hari (3,7856 g/l). Berdasarkan perhitungan dapat
diketahui bahwa responden yang masa kerjanya > 3 tahun

mempunyai

kecenderungan rata-rata kandungan arsen (As) dalam urinnya lebih tinggi

(5,2383 g/l) dibandingkan dengan petani yang masa kerjanya < 3 tahun
(3,9100 g/l).
Sumber paparan arsen tidak hanya dari sumber pestisida dalam pertanian saja,
tetapi ada bermacam-macam sumber alternatif lain seperti; air minum, bahan
makanan dan industri peleburan logam.

Sebagai contoh, penelitian yang

dilakukan oleh Armstrong et al (1984) ditemukan kadar arsen (As) sebesar 108
ppm pada sumur petani yang disebabkan karena limbah pestisida.
Rendahnya kadar arsenik dalam urin bisa disebabkan tubuh manusia punya
mekanisme untuk mengatasi paparan arsenik dalam jumlah kecil. Hati akan
mengubahnya menjadi bentuk yang tidak merusak dan dibuang lewat urin
dalam waktu 4-5 hari dengan persentase 62,7% (dari total arsenik pada tubuh).

Tabel 3.2 Hasil AnalisisBivaritate (Uji Kendall-tau)

3.4 Paparan Pestisida dengan Kandungan Arsen dalam Urin


Lama kerja dalam aktivitas pertanian dapat berpengaruh pada banyaknya
pestisida yang terabsorbsi dan terakumulasi dalam tubuh. Semakin lama petani
penyemprot pestisida beraktivitas di lingkungan pertanian maka semakin

banyak pula pestisida yang terabsorbsi dan terakumulasi di dalam tubuh yang
kemudian berimplikasi pada tingginya kandungan kadar arsen (As) dalam urin
responden.
Berdasarkan penelitian rata-rata lama kerja per hari adalah 3,2 jam. Dengan
lama kerja terlama adalah 7 jam per hari dan lama kerja terpendek adalah 1,5
jam per hari. WHO mensyaratkan lama bekerja di tempat kerja yang berisiko
keracunan pestisida, yaitu 5 jam per hari atau 30 jam per minggu.
Berdasarkan hasil uji statistik Kendall-tau pada Tabel 3.2, menunjukkan bahwa
nilai signifikansinya adalah 0,797 (p-value >0,05)

yang artinya tidak ada

hubungan antara lama kerja dengan kandungan Arsen (As) dalam urin pada
petani. Selanjutnya peneliti melihat kecenderungan arsen (As) dengan
mengkategorikan lama kerja responden e 3 jam/hari dan < 3 jam/hari, dan
hasil temuannya adalah dari 9 (sembilan) responden yang lama kerjanya < 3
jam/ hari, rata-rata kandungan arsennnya adalah 3.7856 g/L, sedangkan dari
23 responden yang masa kerjanya e 3 jam/hari rata-rata kandungan arsennnya
adalah 5.6335 g/L. e 3 jam/hari mempunyai kecenderungan rata-rata
kandungan arsen dalam urinnya lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang
masa kerjanya < 3 jam/hari.
Dapat disimpulkan responden yang lama kerjanya mengakibatkan berbedanya
intensitas pajanan dan banyaknya pestisida yang terabsorbsi oleh masingmasing petani bawang, sehingga petani bawang yang cukup lama terlibat
dalam aktivitas pertaniannya, berpotensi mengabsorbsi pestisida lebih banyak
jika dibandingkan dengan petani bawang yang tidak lama terlibat dalam
aktivitas pertaniannya.
Hubungan lama menyemprot dengan kejadian keracunan pestisida dipengaruhi
pula pada saat melakukan penyemprotan, karena pada saat melakukan
penyemprotan pagi/sore hari, dengan siang hari yang panas terik akan
memberikan kontribusi yang berbeda terhadap keracunan. Pada siang hari yang
panas terik akan lebih mudah terjadinya penguapan pada butiran air pestisida
yang disemprotkan, sehingga resiko keracunan menjadi lebih tinggi.

Dilihat dari variabel masa kerja ternyata juga mempunyai kecenderungan yang
positif dengan kandungan arsen (As) dalam urin responden, meskipun memang
berdasarkan hasil uji statistik Kendall-tau pada tabel 4 , menunjukkan tidak ada
hubungan antara masa kerja dengan kandungan arsen (As) dalam urin dengan
nilai signifikansinya adalah 0,515 (p-value >0,05). Masa kerja adalah kurun
waktu atau lamanya tenaga kerja itu bekerja di suatu tempat, masa kerja juga
dapat mempengaruhi kadar toksisitas pada pekerja, semakin lama bekerja maka
paparan toksik yang di dapat akan semakin besar begitu juga sebaliknya.
Menurut Goldstein (2005), jangka waktu terjadinya leukemia yang salah satu
gejalanya ditandai dengan anemia, berkisar antara 5-15 tahun, sedangkan
kerusakan dalam sistem peredaran darah dapat terjadi diantara 4 bulan sampai
dengan 20 tahun masa kerja. Pada pernyataan ini ditarik kesimpulan bahwa
dengan rata-rata masa kerja 3 tahun, tenaga kerja beresiko menderita anemia.
Dalam penelitian ini, masa kerja rata-rata responden adalah 19 tahun, belum
mencapai 20 tahun, sehingga peningkatan kadar Arsen (As) dalam urin belum
mengalami

kenaikan

yang

signifikan.

Selanjutnya

peneliti

mencoba

mengkategorikan masa kerja responden < 3 tahun dan > 3 tahun, dan hasil
temuannya adalah dari 3 (tiga) responden yang masa kerjanya < 3 tahun, ratarata kandungan arsennnya adalah 3.9100 g/L, sedangkan dari 29 responden
yang masa kerjanya >3 tahun rata-rata kandungan arsennnya adalah 5.2383
g/L. Sehingga dapat disimpulkan responden yang masa kerjanya >3 tahun
mempunyai kecenderungan rata-rata kandungan arsen dalam urinnya lebih
tinggi dibandingkan dengan petani yang masa kerjanya <3 tahun. Dengan kata
lain, petani penyemprot pestisida yang mempunyai masa kerja lebih dari 3
tahun (90,6%) dalam menangani pestisida cenderung mendapat risiko terpapar
lebih besar dari petani yang berpengalaman kerja kurang dari 3 tahun (9,4%).
Hal ini disebabkan lamanya kontak dengan pestisida selama bertahun-tahun.
Artinya, semakin lama petani menjadi penyemprot pestisida, kontak dengan
pestisida pun akan semakin lama dan risiko keracunan pestisida pun semakin
tinggi.

3.5 Analisis Hubungan antara Kandungan Arsen (As) dalam Urin denan
Kejadan Anemia
Kadar

arsen (As) dalam urin berperan sebagai variabel perantara untuk

menjembatani variabel bebas (paparan pestisida) dan variabel terikat (status


anemia petani penyemprot pestisida), atau hanya sebagai petanda biologis
untuk menunjukkan adanya pajanan arsen (As), dan tidak berhubungan
langsung dengan kejadian anemia.
Seluruh petani di Desa Kemukten Kecamatan Kersana Kab. Brebes
mempunyai kadar Arsen masih dibawah NAB. Ambang Batas (NAB) (<35
g/l) yaitu mayoritas responden (1,40 g/l - 3,40 g/l) dengan persentase
sebesar (37,5%) yaitu sebanyak 12 responden dan hanya 2 responden saja yang
memiliki kadar arsen cukup tinggi (11,41 g/l - 14,45 g/l) dengan persentase
sebesar (6,3%).
Pada paparan yang singkat arsen (As) akan dieksresikan melalui urin.
Walaupun kadar arsen (As) dalam urin masih berada dibawah nilai indeks
pemantauan biologis, hal ini dapat menyebabkan akumulasi dalam tubuh
manusia apabila terpapar dalam jangka waktu yang lama (long term exposure)
dan akan menimbulkan efek gangguan kesehatan (anemia).
Paparan

Arsen

(As)

dapat

mengacaukan

sistem

hematopoietic

dan

menyebabkan hemolisis pada sel darah merah. Meskipun mekanismenya belum


diketahui secara pasti, arsen (As) dapat mengikat hemoglobin dalam darah atau
terbentuknya radikal bebas oksidatif sebagai respon terhadap paparan arsen
(As). Selain itu, rendahnya hemoglobin darah dapat terjadi karena faktor lain,
dan diperburuk dengan paparan arsen (As).
Dalam penelitian ini ditemukan juga bahwasanya meskipun hasil paparan arsen
dan anemia tidak terbukti signifikan tetapi variabel pengganggu dalam
penelitian ini mempunyai pengaruh terhadap kejadian anemia, yaitu petani
yang merokok mempunyai kecenderungan untuk menderita anemia (dari 5
responden yang menderita anemia, 3 orang diantaranya adalah seorang perokok
dan menderita anemia dengan persentase sebesar 60%). Telah terbukti bahwa
kebiasaan merokok berkaitan dengan kejadian anemia, hal ini karena gas

karbon monoksida (CO) yang dihasilkan dari asap rokok lebih mudah berikatan
dengan hemoglobin (Hb) darah membentuk ikatan Hb-CO, sehingga fungsi
utama hemoglobin untuk mengikat oksigen-oksigen (dalam bentuk Hb-O 2)
juga berkurang. Lebih lanjut terjadi pengurangan kadar hemoglobin dalam
darah menyebabkan anemia.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada makalah ini sebagai berikut:
1. Jenis pestisida yang digunakan oleh petani mayoritas adalah golongan
insekstisida (Rampage) dan fungisida (Antracol), dengan dosis pestisida
rata-rata=74,53 ml/L, menggunakan 4 macam kombinasi pestisida (34,4%),
dan intensitas penyemprotan 3 kali/minggu (62,5%). Rata-rata waktu
menyemprot adalah 3 jam/hari (43,8%), dengan masa kerja 12 tahun-20
tahun (40,6%).
2. Kadar Arsen (As) dalam urin petani masih di bawah NAB (<35 g/l),
dengan kadar arsen (As) paling tinggi adalah 14,45 g/l dan paling rendah
adalah 1,40 g/l, rata-rata=5,1137 g/l dan SD=3,271.
3. Mayoritas responden masih berada dalam kondisi kadar hemoglobin normal
dengan persentase sebesar (84,4%) yaitu sebanyak 27 responden, hanya 5
responden yang menderita anemia (15,6%). Kadar hemoglobin paling tinggi
= 16,8 gr% dan paling rendah = 11,3 gr%, rata-rata = 14,159 dan SD=1,069.
4. Tidak ada hubungan yang bermakna dosis pestisida yang digunakan (pvalue: 0,232), jumlah kombinasi pestisida (p-value: 0,532), lama kerja (pvalue:
0,797), masa kerja (p-value: 0,515) dan intensitas penyemprotan (p-value:
0,834) dengan kandungan Arsen (As) dalam urin pada petani penyemprot
pestisida di Desa Kemukten, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes.
5. Tidak ada hubungan yang bermakna antara kandungan Arsen (As) dalam
urin dengan kejadian anemia (p-value: 0,152) pada petani penyemprot
pestisida di Desa Kemukten, Kecamatan Kersana Kabupaten Brebes.
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan pada studi kasus ini adalah:
1. Sebaiknya dilakukan sosialisasi kepada masyarakat khususnya petani
mengenai ptensi bahaya yang ditimbulkan Arsen di dalam pestisida;

2. Sebaiknya

dilakukan

pencegahan

dini

kepada

petani

dengan

cara

menggunakan Alat Pelindung Diri seperti masker, sarung tangan, alat


pelindung kepala dan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous
A.
Penyebab
dan
Pengobatan
Anemia.
http://tipskesehatan.web.id/apa-penyebab-dan-pengobatan-anemia.
Tanggal Akses: 26 November 2013
Febri. 2011. Pestisida. http://febri-kesling.blogspot.com/2011/11/makalahpestisida-organisme.html. Tanggal Akses: 26 November 2013
Mukono. 2009. Dampak Arsen Terhadap Kesehatan Serta Penanggulangannya.
http://mukono.blog.unair.ac.id/2009/09/09/arsen-as-dampakterhadap-kesehatan-serta-penanggulangannya-profdrdrhjmukonomsmph/. Tanggal Akses: 26 November 2013
Rahmatillah.
2011.
http://www.slideshare.net/annierahmatillah/toksisitas-arsenfarmasiums-2011. Tanggal Akses: 26 November 2013

Arsen.

Ratna.

2013.
http://putridwiratna.blogspot.com/2013/04/vbehaviorurldefaultvmlo_16.html. Tanggal Akses: 26 November 2013

tralala.

2012. Arsen. http://tralalaikrima.blogspot.com/2012/04/makalahtoksikologi-arsen-as.html. Tanggal Akses: 26 November 2013

Anda mungkin juga menyukai