Anda di halaman 1dari 11

RESUME

PENYAKIT ANTHRAX

Oleh

Raf’atun Fitriani

LABORATORIUM

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN EPIDEMIOOGI

PROGRAM PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2022
BAB I

PENDAHULUAN
BAB II

ISI

2.1 History penyakit Antrhax

Antraks adalah penyakit bacterial zoonosis yang dapat menyerang hewan dan manusia
Hewan yang dapat terserang, baik domestik maupun liar, terutama hewan herbivora, seperti
sapi, domba, kambing. Kuman B. anthracis mampu membentuk endospora yang tahan di dalam
tanah hingga puluhan tahun, sehingga dapat menjadi sumber infeksi sepanjang waktu yang
dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bahkan kematian pada hewan dan manusia.

Laporan adanya wabah yang terjadi di Eropa pada tahun 1613 dan menelan korban
sebanyak 60.000 orang meninggal dunia juga diduga akibat serangan antraks. Pada tahun 1923,
di Afrika Selatan dicatat telah terjadi kematian hewan karena antraks sebanyak 30.000 sampai
60.000 ekor. Penyakit antraks juga telah lama dikenal dan dilaporkan di Lousiana, Amerika
Serikat sejak tahun 1700. Di Amerika Serikat, penyakit ini ditemukan sejak awal terjadinya
perpindahan orang Eropa ke daratan Amerika. Tahun 1850, Roger telah berhasil menemukan
Bacillus anthracis sebagai penyebab penyakit pada darah domba yang terjangkit penyakit
menular tersebut.

Wabah antraks pada ternak di Indonesia muncul secara sporadis di beberapa daerah
endemis terutama sering berkaitan dengan curah hujan tinggi dan banjir. Kebanyakan wabah
antraks terjadi di dataran rendah yang mempunyai perbedaan musim dan secara langsung
berkaitan dengan jumlah curah hujan. Saat ini 13 provinsi di Indonesia merupakan daerah
endemis antraks, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua.

2.2 Etiologi

Antraks disebabkan oleh bakteri patogenik dari famili Bacillaceae yaitu Bacillus
antrachis (Vieira AR et al., 2017 ; Bagenda I et al, 2018 ; Mwakapeje ER et al., 2018). Bacillus
antrachis termasuk bakteri gram positif yang mempunyai karakteristik berbentuk basil (batang),
bersifat nonmotil dan nonhemolitik, dapat hidup secara aerobik atau anaerobik fakultatif, dapat
membentuk kapsul, serta dapat menghasilkan toksin yang menentukan tingkat virulensi bakteri
tersebut (Salsabila DA et al., 2019 ; Doganay M et al., 2015 ; Kutmanova A et al., 2020).
Bakteri antraks dapat dijumpai dalam dua bentuk yaitu sel vegetatif (berukuran sekitar 4x11μm)
dan endospora (berukuran sekitar 2x1μm) (Liu Y et al., 2018 ; Chen WJ et al., 2016). Bacillus
antrachis termasuk bakteri yang relatif homogen (tingkat polimorfisme rendah), hal tersebut
kemungkinan disebabkan oleh siklus hidupnya yang lama sebagai endospora aktif (Yu D et al.,
2014).
2.3 Gejala Klinis
Hewan terinfeksi kuman antraks dapat bersifat per-akut, akut dan kronis. Gejala klinis
pada perjalanan penyakit yang bersifat per-akut kadang-kadang tidak sempat kelihatan karena
kematiannya sangat mendadak. Gejala klinis yang bersifat akut biasanya ditandai dengan
kenaikan suhu badan, gelisah, depresi, sesak nafas, detak jantung lemah tapi frekuen, kejang
kemudian diikuti dengan kematian. Sebelum terjadi kematian dari lubang kumlah penderita
keluar cairan (ekskreta) berdarah bersifat encer berwarna kehitaman. Antraks kronis pada
umumnya ditemukan pada babi, ditandai dengan adanya lesi pada lidah dan tenggorokan. Setelah
dilakukan pengobatan maka penderita biasanya dapat disembuhkan.

2.4 Penularan Penyakit Antrhax


Antraks biasanya ditularkan oleh endospora bakteri, meskipun sel vegetatif dapat
menyebabkan infeksi pada beberapa bentuk antraks (misalnya, bentuk orofaringeal yang
diperoleh oleh makan daging yang terkontaminasi). Hewan terutama dianggap terinfeksi ketika
mereka menelan spora; Namun, inhalasi juga bisa memainkan peran, dan masuk melalui lesi
kulit mungkin. Sedangkan sel vegetatif B. anthracis adalah dihancurkan dalam lingkungan asam
lambung, endospora tahan terhadap pencernaan dan dapat berkecambah ketika mencapai usus.
Hewan, termasuk herbivora, harus memakan cukup besar dosis B. anthracis untuk terinfeksi
melalui rute oral. Herbivora biasanya memperoleh endospora dari tanah atau tanaman di padang
rumput; Namun, pakan yang terkontaminasi (misalnya, hijauan, tepung tulang) telah
bertanggung jawab atas beberapa wabah di luar endemik daerah (OIE, 2017).

Penularan langsung antara hewan hidup tidak dipikirkan signifikan dalam antraks, tetapi
bangkai penting dalam mencemari lingkungan. Sejumlah besar bakteri terdapat dalam cairan
tubuh dan perdarahan yang mungkin keluar dari lubang setelah kematian. Ketika mereka terkena
udara, bakteri ini membentuk endospora dan mencemari tanah, akar tanaman dan vegetasi di
dekatnya. Bakteri dalam jaringan juga bersporulasi jika bangkai dibuka. Suhu optimal untuk
sporulasi adalah antara 21°C dan 37°C. Itu tidak terjadi pada atau di bawah 9°C. Sporulasi
tampaknya tidak terjadi di dalam bangkai tertutup, di mana organisme dianggap dihancurkan
dalam beberapa hari oleh pembusukan. Menggigit dan lalat yang tidak menggigit dapat
menyebarkan B. anthracis secara mekanis ketika mereka memakan bangkai. Dalam banyak
kasus, lalat ini mungkin hanya menyebarkan organisme ke vegetasi terdekat; Namun, lalat
penggigit telah disarankan untuk menularkan B. anthracis ke hewan selama beberapa wabah
yang meluas (OIE, 2017).

2.5 Patogenesa Penyakit Anthrax

Infeksi dimulai dengan masuknya endospora ke dalam tubuh. Endospora dapat masuk
melalui abrasi kulit, tertelan atau terhirup udara pernapasan. Pada antraks kulit dan saluran cerna,
sebagian kecil spora berubah menjadi bentuk vegetatif di jaringan subkutan dan mukosa usus.
Bentuk vegetatif selanjutnya membelah, mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya
edema dan nekrosis setempat. Endospora yang di fagositosis makrofag, akan berubah jadi bentuk
vegetatif dan dibawa ke kelenjar getah bening regional tempat kuman akan membelah,
memproduksi toksin, dan menimbulkan limfadenitis hemorhagik (OIE, 2017).

Kuman selanjutnya menyebar secara hematogen dan limfogen dan menyebabkan


septikemia dan toksemia. Dalam darah, kuman dapat mencapai sepuluh sampai seratus juta per
millimeter darah. Sebagian kecil bisa mencapai selaput otak menyebabkan meningitis. Pada
antraks pulmonal, terjadi edema paru akibat terhalangnya aliran limfe pulmonal karena
terjadinya limfadenitis hemorhagik peribronkhial. Kematian biasanya akibat septikemia,
toksemia, dan komplikasi paru dan umumnya terjadi dalam kurun waktu satu sampai sepuluh
hari pasca paparan. Reaksi peradangan hebat terjadi terutama akibat toksin letal. Toksin letal
kuman menyebabkan pelepasan oksigen antara reaktif (reactive oxygen intermediates) dan
pelepasan tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin-1 (Jawetz, 2010).

2.6 Penanganan dan Pencegahan


Penanganan atas kejadian antraks di suatu wilayah masih memerlukan kajian yang lebih
mendalam terkait dua (2) hal yaitu, dekontaminasi titik lokasi kasus antraks yang harus
dilakukan dengan tepat dan penanganan bangkai yang harus dilakukan dengan tuntas. Untuk
tindakan dekontaminasi lokasi kasus antraks, dalam hal ini terhadap tanah diperlukan formalin
10% sebanyak 50 liter per meter persegi dengan cara disiramkan dan dilakukan secepatnya sejak
kematian ternak karena kuman antraks akan membentuk spora dalam waktu sekitar 16 jam.
Sedangkan untuk penanganan bangkai dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
penguburan dan pembakaran. Penangangan dengan penguburan hewan mati akibat antraks dibuat
dengan kedalaman lubang 2-3 meter di titik lokasi kejadian kematian (jangan dipindahkan).
Pemakaian formalin 10% pada bangkai ternak sebelum dikubur dilakukan dengan cara
disiramkan ke seluruh permukaan tubuh. Penyiraman bangkai dengan formalin 10% juga
dilakukan, apabila diperlukan untuk memindahkan bangkai sebelum dibungkus plastik. Untuk
dapat menangani dengan benar pembakaran terhadap hewan mati berupa seekor sapi dengan
berat 300 kg saja diperlukan sebanyak 2 ton kayu dan 200 liter minyak tanah.
Penanganan bangkai yang terbaik sebenarnya adalah dengan cara pembakaran bangkai di
tempat (onsite incineration) sampai semuanya menjadi abu dengan menggunakan mobile
incinerator sehingga tidak berpotensi menyebarkan penyakit. Oleh karena itu, penggunaan
mobile incinerator untuk penanganan bangkai kasus antraks dapat dipertimbangkan di masa yang
akan datang.

Di daerah endemik, vaksin hidup yang dimodifikasi dapat mencegah antraks pada ternak.
Hewan divaksinasi setiap tahun, sebelum musim ketika wabah umumnya terjadi. Karantina,
teknik pembuangan bangkai yang efektif, dan dekontaminasi dapat membantu mencegah
penyebaran selama wabah. Hewan yang sakit harus diisolasi, dan sisanya kawanan harus
dijauhkan dari daerah yang terkontaminasi. Pakan yang terkontaminasi harus dibuang. Jika
hewan peliharaan telah terkena antraks, bulu harus didekontaminasi oleh mandi berulang kali
untuk menghilangkan organisme secara mekanis (OIE, 2017).

Untuk mencegah sporulasi, karkas tidak boleh dibuka. Insinerasi dianggap yang paling
efektif cara pemusnahan B. anthracis pada bangkai, kotoran yang terkontaminasi, alas tidur dan
bahan lainnya. Dalam penguburan juga digunakan, tetapi ada kemungkinan yang dikubur
bangkai dapat menyebabkan antraks jika kemudian digali (OIE, 2017).

Selama wabah, antibiotik profilaksis dapat melindungi hewan yang terpapar dan berisiko.
Hewan yang diobati dengan antibiotik tidak dapat divaksinasi pada saat yang sama waktu karena
vaksin hewan hidup. Namun, mereka bisa divaksinasi setelahnya. Vaksinasi saja mungkin
digunakan dalam beberapa wabah, tergantung pada situasinya (OIE, 2017).
2.7 Alur Birokrasi

Kegiatan pelaporan untuk kegiatan surveilans antraks dilakukan secara berjenjang


dimulai dari tingkat fasilitas kesehatan sampai ke Pusat. Di setiap tingkat terdapat jejaring antara
instansi yang menangani kasus antraks pada manusia dan kasus antraks pada hewan. Prosedur
Pelaporan Data di setiap tingkat pelaksana adalah sebagai berikut:

1. Alur Pelaporan Rutin (Bulanan)


a. Puskesmas

 Menghubungi unit kesehatan di wilayah kerjauntuk mengirimkan laporan kasus


suspek antraks tepat waktu.
 Siapkan format laporan puskesmas yang berisi rekapan data individu setiap
bulannya.
Jenis data yang dilaporkan antara lain:
- Nama
- Puskesmas
- -Bulan
- Tahun
- Identitas Pasien/Kasus:
•Nama
•Alamat
•Pekerjaan
•Umur
• Jenis Kelamin
- Riwayat Sakit
•Tanggal bersentuhan atau makan dengan hewan sakit dengan gejala antraks
atau produkhewan
• Wilayah kejadian
•Tanggalonset
• Gejala yang timbul
• Lokasi lesi (pada antraks tipe kulit)
• Dokumentasi lesi
- Jenis hewan antraks
• Sapi
• Kuda
• Kerbau
• dan lain-lain
- Status Hewan
• Peliharaan
• Divaksinasi
• Tidak divaksinasi/Tidak tahu
- Spesimen hewan
• Positif
•Negatif
• Tidak diperiksa
- Pengobatan
• Tanggal diberi obat
• Tanggal rujukan (bila dirujuk)
• Jenis pengobatan
- Tanggal meninggal
• Cek kemungkinan adanya kesalahan/error
• Puskesmas mengirim format laporan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setiap tanggal 5 setiap bulannya.
• Simpan format laporan dari semua unit pelapor (bidan/pustu)
Gambar 2.1 Skema Alur Birokrasi Penyakit Antrhax
2.8 Penyakit Antrhax menyakut dalam hal One Health
Penyakit Antrhax menyakut dalam hal One Health sangat berperan penting dan dalam
pendekatan one health masalah antraks harus lebih ditekankan, temasuk kesehatan lingkungan
yang melibatkan masyarakat luas. Kurangnya pengetahuan, dan peran serta masyarakat dalam
pengendalian antraks perlu diantisipasi melalui kegiatan KIE (komunikasi, informasi dan
edukasi) sehingga terjadi langkah yang padu baik pemerintah, lembaga nonpemerintah maupun
masyarakat, mengingat kegiatan KIE pada masyarakat masih kurang.
Adapun yang menyangkut dalam one health mengenai penyakit anthax ini adalah
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

Penyakit antraks yang bersifat zoonosis sudah bersifat endemik di beberapa wilayah di
Indonesia. Penyakit ini masuk dalam daftar Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) yang
harus dikendalikan. Kuman antraks di alam membentuk endospora yang mampu bertahan hidup
dan tetap infeksius hingga puluhan bahkan ratusan tahun, sehingga tanah yang tercemar oleh
spora kuman ini akan menjadi sumber infeksi bagi ternak yang rentan dan juga manusia. Sebagai
konsekuensinya pengendalian antraks di suatu wilayah harus dilakukan secara terpadu lintas
sektor dan terus menerus sesuai dengan petunjuk operasional yang telah ditetapkan

3.2 Saran

Adapun saran yang dilakukan untuk penyakit anthrax antara lain:

1. Pelaksanaan monitoring/surveilans antraks, untuk mengetahui tingkat kekebalan ternak


hasil vaksinasi, kejadian dan tingkat cemaran spora di tanah dan pakan
khususnya di daerah endemis perlu ditingkatkan.
2. Menghindari konsumsi daging asal ternak sakit atau mati akibat antraks, perlu
peningkatan kegiatan /sosialisasi seperti: KIE dan PHBS pada masyarakat, pembakaran
menggunakan portable incinerator, serta sistim kompensasi ganti rugi pada hewan yang
harus dimusnahkan.
3. Perlu disempurnakan SOP penanganan kasus antraks pada ternak yang tepat dan efektif,
antara lain: vaksinasi, penanganan kasus, dan hewan mati karena antraks.
Pemanfaatan GPS untuk menandai titik-titik kasus, kuburan bangkai, dan lokasi tercemar
akan sangat membantu dalam pengendalian antraks.

Anda mungkin juga menyukai