Anda di halaman 1dari 4

Iritansia merupakan kelompok zat kimia lokal yang menyebabkan terjadinya

kerusakan jaringan tubuh. Zat - zat ini mempunyai kemampuan yang tinggi dalam bereaksi
dengan jaringan tubuh. Secara umum, paparannya tidak langsung mencapai pembuluh
darah tetapi bereaksi secara lokal pada tempat terjadinya paparan. Jaringan tubuh yang
umumnya teriritasi akibat paparan zat - zat tersebut adalah kulit dan mukosa. Kedua
jaringan ini mudah ditembus oleh zat iritan, baik yang bersifat hidrofil maupun lipofil.
Berdasarkan daya kerjanya, iritansia terbagi atas rubefaksi, vesikasi, pustulasi dan korosi.

A. Rubefasiensia

Rubefasiensia merupakan zat untuk aplikasi topical yang menyebabkan iritasi kemerahan
kulit misalnya dengan menyebabkan pelebaran kapiler dan peningkatan sirkulasi darah. Zat ini
dipercaya meredakan nyeri dalam berbagai kondisi musculoskeletal. Pada tabel I dapat dilihat
bahwa efek dari senyawa kimia yang bersifat rubefasiensia akan menyebabkan warna merah
pada kulit dan rasa nyeri atau panas.
Kulit yang digosokkan dengan menthol lama kelamaan berubah timbul kemerahan dan
bintik-bintik merah serta adanya sensasi sakit agak panas. Menthol bekerja pada reseptor dingin,
sehingga sensasi yang dirasakan Ketika menggunakan menthol adalah rasa dingin. Namun
apabila penggosokan dilakukan secara berulang dan terus menerus maka akan timbul efek panas
dab nyeri. Menthol bekerja dengan cara meningkatkan vasodilatasi kulit, sehingga mampu
mengurangi fungsi kulit. Menthol hanya merangsang daerah setempat dan bersifat lemah
(Sumardjo, 2006).
Kloroform yang diteteskan pada kulit memberikan efek dingin dan tidak meninggalkan
bekas, sedangkan kapas berkloroform yang ditempelkan pada kulit lama-kelamaan menimbulkan
sensasi perih, panas serta kemerahan yang tidak berbatas jelas. Kloroform merupakan zat yang
mudah menguap. Kloroform yang diteteskan. Pada kapas tidak mudah menguap, sehingga
memberikan efek yang lebih lama pada kulit. Kloroform memiliki efek vasodilatasi dan
menyebabkan rasa nyeri. Hal ini dapat juga terjadi karena penguapan kloroform yang dihambat
oleh kapas sehingga perangsangan dilatasi kapiler berlangsung terus menerus kemudian akan
menimbulkan rasa gatal, terbakar, atau nyeri (Tasmin et al, 2014).
Jari tangan yang dicelupkan pada larutan fenol 5% dan air lama kelamaan terasa dingin
kemudian membuat jari tangan menjadi pucat dan keriput. Jari tangan yang dicelupkan pada
larutan fenol 5% dan alkohol 25% terasa lebih dingin pada larutan fenol dan air, kemudian
membuat jari tangan menjadi pucat, keriput dan terasa sedikit perih serta mati rasa. Sedangkan
jari tangan yang dicelupkan pada larutan fenol 5% dalam minyak olivarum dan gliserin 25%
tidak menimbulkan rasa perih dan tidak menimbulkan bekas.
Fenol merupakan rubefasiensia yang bersifat vasokonstriktif dan keratolisis pada kulit,
hal ini yang menyebabkan jari tangan menjadi keriput dan pucat. Air tidak dapat mengurangi
reaksi dari fenol sehingga jari yang dicelup pada larutan fenol dan air keriput dan pucat. Alkohol
merupakan senyawa yang memiliki kelarutan rendah sehingga efek dari larutan fenol dan alkohol
terasa lebih kuat. Fenol yang dicampur gliserin dan minyak olivarium tidak menimbulkan efek
toksik karena minyak membuat fenol kesulitan dalam menembus kulit sehingga membutuhkan
waktu yang lebih lama. Jari tangan yang keriput terjadi karena perbedaan tekanan osmotik
sehingga air di dalam sel tertarik keluar. Penggunaan minyak memperkecil tegangan
permukaan sehingga jari dapat terlindungi (Loomis 1978).
B. Kaustika

Penetesan H2SO4 pada permukaan kulit memberikan reaksi berupa terbentuknya vesikula


dan lepuh, sedangkan pada mukosa usus terjadi perubahan warna mukosa usus menjadi berwarna
putih dan melepuh. H2SO4 pekat bersifat higrokospik, yaitu dapat menyerap air dari zat-zat yang
basah, termasuk jaringan tubuh sehingga efek yang ditimbulkan pun akan menyebabkan
pengerasan pada bagian kulit yang terkena. H2SO4 pekat dapat membakar jaringan kulit hingga
epidermis dan dapat menyebabkan syok (Ansel 1989).
Pemberian HCl pekat pada bagian kulit tikus mengakibatkan terjadinya  perubahan yaitu
kulit jadi lepuh dan terkelupas. Sedangkan ketika HCl pekat diberikan  pada mukosa usus terjadi
perubahan yaitu mukosa usus melepuh dan memutih. Pada kulit abdomen tikus terjadi
kebengkakan karena adanya respon imunologi sebagai tanda munculnya bahan asing berupa
senyawa kimia HCl pekat (Loomis 1978).
Asam nitrat (HNO3) adalah adalah bahan kimia korosif yang merupakan oksidator kuat.
Asam nitrat merupakan cairan korosif yang tak berwarna dan jika bereaksi dengan jaringan
tubuh dapat menimbulkan kerusakan berupa luka, peradangan, iritaso, dan sensitasi (Fessenden,
1984).
Pemberian NaOH 75% di kulit abdomen tikus mengakibatkan terjadinya perubahan
berupa timbulnya luka. Sedangkan dengan pemberian NaOH 75% pada mukosa usus terjadi
perubahan yaitu mukosa usus menjadi warna putih. NaOH 75% merupakan salah satu contoh
basa kuat. Kulit dan mukosa usus melepuh karena apabila senyawa kimia bereaksi dengan basa
maka akan terjadi pelisisan jaringan tubuh tikus (Loomis 1978).
Pada percobaan kloroform, bagian kulit yang ditetesi kloroform tidak mengalami
perubahan bila dan saat ditetesi pada mukosa usus, dan hasilnya berupa munculnya warna
kemerahan pada mukosa usus. Bila terkena udara dan cahaya, kloroform akan mengalami
oksidasi secara lambat membentuk fosgen dengan toksisitas yang tinggi. Kloroform juga
merupakan pelarut organik yang efektif sehingga mampu menimbulkan ruam merah pada
mukosa usus.  
Natrium hidroksida (NaOH) merupakan contoh senyawa kimia yang bekerja secara lokal
dan bersifat irritansia. Reaksi antara irritansia dengan sel biasanya  berlangsung terhadap protein
protoplasma sel, sehingga dapat menyebabkan terjadinya koagulasi protein bila senyawa kimia
bereaksi dengan asam dan lisis bila senyawa kimia bereaksi dengan basa (Lorgue, Lechenet, dan
Riviere 1996).

Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta (ID): UI Press
Fessenden, Fessenden. 1984.  Kimia Organik II . Jakarta (ID): Erlangga.
Loomis TA. 1978. Toksikologi Dasar. Edisi ketiga. Semarang (ID): IKIP Semarang Press. 
Lorgue G, Lechenet J, dan Riviere A. 1996. Clinical Veterinary Toxicology. London (UK):
Blackwell Science Ltd
Sumardjo D. 2006.  Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah  Mahasiswa Kedokteran. Jakarta
(ID): EGC
Tasmin N, Erwin dan Kusuma IW. 2014. Isolasi, identifikasi dan uji toksisitas
senyawa flavonoid fraksi kloroform dari daun terap
(Artocarpus oforatissimus blanco). Jurnal Kimia Mulawarman. 12(1): 45-54

Anda mungkin juga menyukai