Anda di halaman 1dari 13

Hari/tanggal : Rabu/ 25 Agustus 2021

Kelompok / Paralel : Sore / 5

Dosen : Dr. Drh. Aulia Andi Mustika, M.Si

LAPORAN PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI VETERINER

SENYAWA KIMIA YANG BEKERJA LOKAL

Oleh

Kelompok 3

Hana Marisi Martalina B04180039

Rika Destini B04180043

Fanggy Malindo Juara B04180046

Umi Afifah Syafawani B04180050

Haula Fadya Andini B04180054

Tama Berliana Adiputri B04180070

DIVISI FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2021
SENYAWA KIMIA YANG BEKERJA LOKAL

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang racun. Toksikologi


pada hewan dikenal dengan istilah toksikologi veteriner. Ilmu ini mencakup
penanganan racun seperti diagnosa dan pengobatan hewan yang terkena racun
baik itu ternak, peliharaan, maupun transmisi racun terhadap manusia yang
disebabkan oleh hewan (Keman 2018). Selain dalam bidang diagnosa penyakit,
toksikologi juga berperan dalam mempelajari keamanan suatu senyawa maupun
penggunaan dosis untuk sediaan obat. Obat-obatan dapat menjadi racun bila
dikonsumsi lebih dari dosis yang seharusnya karena ketepatan dosis merupakan
pembeda racun dari obat (Rahayu dan Mochammad 2018).

Senyawa kimia atau obat-obatan dapat bekerja secara lokal maupun


sistemik. Senyawa yang bekerja lokal bekerja pada daerah sekitar aplikasi
sehingga efeknya terbatas. Sediaan yang bekerja secara lokal dapat memberikan
efek toksisitas lokal. Toksisitas lokal memungkinkan terjadinya reaksi di tempat
senyawa diberikan secara sempit (Ling et al. 2000). Senyawa kimia lokal terbagi
menjadi dua jenis, yaitu iritansia atau destruktifan dan protektiva. Senyawa
irritansia bekerja secara tidak selektif pada sel serta jaringan tubuh. Sediaan ini
bekerja dengan cara merusak sel baik dalam jangka waktu sementara atau
permanen. Daya kerja dari iritansia mencakup rubeferensia dan kausatika.
Sementara itu, senyawa protektiva adalah zat yang melindungi kulit ataupun
mukosa terhadap daya kerja iritansia. Daya kerja dari senyawa protektiva meliputi
demulsansia dan astringensia.

Tujuan

Praktikum ini bertujuan mengetahui reaksi yang ditimbulkan oleh zat


iritansia, protektiva, dan depilator serta perbedaan dari tiap perlakuan yang
diberikan.

TINJAUAN PUSTAKA

Senyawa iritansia merupakan kelompok senyawa yang bekerja tidak


selektif pada sel dan jaringan tubuh dengan cara merusak sel-sel atau bagian dari
sel untuk sementara atau permanen. Reaksi yang bersifat ringan hanya akan
merangsang fungsi sel, namun bila parah atau berlangsung lama akan merusak
fungsi sel dan dapat menimbulkan kematian jaringan. Bergantung dari kekuatan
kerja senyawa kimia tersebut, daya kerja irritansia dapat berupa rubefekasi
(perangsangan setempat yang lemah), vesikasi (terjadi pembentukan vesikel),
pustulasi (terbentuk pus), dan korosi (sel-sel jaringan rusak). Rubefasensia
merupakan senyawa yang dapat mengakibatkan inflamasi dan mengiritasi kulit.
Senyawa ini akan menyebabkan terjadinya hiperemia arteriol dan dermatitis
eritematosa. Senyawa ini juga dapat menyebabkan pelebaran kapiler dan
peningkatan sirkulasi pada darah. Hal ini yang menyebabkan terjadinya
kemerahan pada kulit (Lorgue et al. 1996). Rubefasensia biasanya digunakan
untuk menghilangkan rasa sakit di otot, persendian, tendon.

Senyawa protektiva adalah jenis sediaan yang memiliki sifat utama


sebagai pelindung. Perlindungan yang diberikan oleh senyawa protektiva dapat
terjadi pada kulit atau mukosa dan memiliki cara kerja yang berlawanan dengan
senyawa iritansia. Beberapa jenis sediaan protektiva adalah demulsensia,
astringensia, dan adsorbensia (Lorgue et al. 1996). Demulsensia adalah senyawa
dengan berat molekul tinggi dalam larutan berair yang melapisi permukaan kulit,
sehingga melindungi sel-sel di bawahnya dan mengurangi iritasi (Muller 2008).
Sediaan demulsensia mampu menstabilkan dan melindungi jaringan yang teriritasi
atau meradang. Demulsansia topikal sering dikenal dengan emolien. Sediaan
demulsansia umumnya berbentuk seperti getah atau cairan perekat dengan
kandungan karbohidrat yang terdiri dari molekul polisakarida kompleks (Romm et
al. 2010). Astringensia adalah suatu sifat senyawa yang mampu mengendapkan
protein selaput lendir seperti pada usus dan melapisinya sehingga asupan glukosa
serta laju peningkatan glukosa darah tidak terlalu tinggi (Pramukanto et al. 2013).
Daya kerja dari sediaan astringensia adalah kemampuan presipitasinya dan contoh
dari sediaan astrigensia adalah tanin (Ganiswarna 2005).

Senyawa depilator termasuk ke dalam kelompok senyawa irritansia, yang


dapat digunakan untuk merontokkan rambut atau bulu bila diaplikasikan pada
kulit. Daya kerja tersebut dilaksanakan dengan memutus ikatan sulfur pada bagian
akar bulu atau rambut. Zat demikian dapat digunakan sebagai depilator untuk
menghilangkan bulu/rambut yang tidak diinginkan. Sediaan yang digunakan
biasanya berbentuk krem dan pemakaiannya adalah di bidang kosmetik (Lorgue et
al. 1996). Namun sediaan ini telah dilarang di beberapa negara karena diketahui
sebagai agen yang bersifat karsinogenik contohnya adalah Ca-tioglikolat (Veet).
METODOLOGI

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah pipet tetes, spuid,
stopwatch, tikus, katak, dan kapas. Bahan yang digunakan antara lain menthol,
kloroform, larutan fenol 5%, alkohol 25%, gliserin 25%, dan minyak olivarium,
asam sulfat pekat, asam klorida pekat, asam nitrat pekat, fenol likuafatkum,
NaOH 75 %, H2SO4 1/50 N, H2SO4 1/10 N, H2SO4 1/25 N, H2SO4 1/75 N, gom
Arab 10%, tanin 5%, strikhnin nitrat, NaOH, Na2S, dan Ca-tioglikolat (Veet).

Prosedur Kerja

Iritansia

1. Rubefasiensia

Sepotong menthol digosokkan pada kulit dan perubahan serta


sensasi yang dirasakan dicatat. Kapas dicelupkan ke dalam kloroform dan
diletakkan di atas kulit selama 2-3 menit. Sebagai perbandingan,
diteteskan satu tetes kloroform diatas kulit yang lain, kemudian hasil
dicatat dan diberi keterangan. Empat jari tangan dicelupkan
masing-masing ke dalam larutan fenol 5%, alkohol 25%, gliserin 25%, dan
minyak olivarium.

2. Kausatika

Tikus dianastesi dan rambut-rambut bagian abdomen dicukur.


Asam sulfat pekat, asam klorida pekat, asam nitrat pekat, fenol
likuafatkum, NaOH 75%, dan kloroform diteteskan pada 6 kotak yang
telah dibuat sebagai penanda. Setelah dibiarkan selama 30 menit zat
tersebut akan bekerja, kemudian hasil dicatat.

Protektiva

1. Demulsensia

Rangsangan diberikan pada salah satu kaki katak yang telah dilukai
dengan larutan H2SO4 1/10 N. kemudian kaki lainnya dicelupkan ke
dalam larutan H2SO4 1/10 N ditambahkan gom Arab 10% dan respon dari
katak diamati.
2. Astringensia

Satu tetes larutan tannin 5% diteteskan pada ujung lidah. Dirasakan


selama 2 menit setelah itu berkumur dengan air. Perubahan pada mukosa
lidah dan rasa nyeri diamati.

Daya Kerja Depilator

NaOH, Na2S, dan Veet diteteskan di atas kulit tikus pada tempat yang
berbeda. Biarkan 10 menit, kemudian bekasnya dibersihkan dengan kapas.
Diamati ada tidaknya rambut yang lepas dan efeknya terhadap kulit. Setelah
selesai pengamatan, tempat bekas tetesan dicuci dengan sabun. Zat devilator
dalam bidang kosmetik manusia diperiksa apakah dapat menimbulkan kerusakan
pada kulit atau tidak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Senyawa Iritansia

Tabel 1 Respon Kulit terhadap Berbagai Senyawa Iritansia

Senyawa Kimia Warna Bentuk Sensasi Kulit

Menthol Merah + Dingin, agak panas

Kloroform Merah + Dingin, perih,


panas

Fenol Putih +++ Dingin

Fenol + Alcohol Putih ++ Sangat dingin


25%

Fenol + Gliserin Tidak ada perubahan - Dingin


25%
Fenol + Olvarium Tidak ada perubahan - Tidak ada sensasi

Menthol yang digosokkan pada kulit lama kelamaan akan berubah warna
seperti kemerahan dan adanya sensasi agak panas. Menthol bekerja pada reseptor
dingin, sehingga sensasi yang dirasakan ketika menggunakan menthol adalah rasa
dingin. Namun jika penggosokan dilakukan secara berulang dan terus menerus
maka akan timbul efek panas dan sedikit nyeri. Menthol bekerja dengan cara
meningkatkan vasodilatasi kulit, sehingga mampu mengurangi fungsi kulit.
Menthol hanya merangsang daerah setempat dan bersifat lemah (Sumardjo 2006).
Kloroform yang ditumpahkan pada kapas dan didiamkan pada kulit memberikan
rasa panas, perih dan membuat kulit menjadi kemerahan, sedangkan kloroform
yang langsung ditetesi pada kulit memberikan rasa dingin dan tidak meninggalkan
bekas pada kulit. Kloroform merupakan zat yang mudah menguap. Kloroform
akan menimbulkan iritansia ringan jika terpapar dalam waktu yang lama di kulit.
Kloroform memiliki efek vasodilatasi dan menyebabkan rasa nyeri. Hal ini dapat
terjadi karena penguapan kloroform dihambat oleh kapas sehingga perangsangan
dilatasi kapiler berlangsung terus menerus kemudian akan menimbulkan rasa
gatal, terbakar atau nyeri (Tasmin et al. 2014).

Fenol merupakan zat kristal yang tidak berwarna dan memiliki bau khas.
Fenol dapat mengiritasi dan korosif terhadap kulit dan membran mukosa (Erlyta
et al. 2019). Praktikum ini menggunakan fenol 5% yang ditambahkan berbagai
senyawa lainnya yaitu alkohol 25%, gliserin 25%, dan olvarium. Fenol 5% yang
ditambahkan alkohol 25% menghasilkan reaksi yaitu jari yang memutih dan
menunjukkan perubahan bentuk pada kulit (keriput) hal ini terjadi karena fenol
dapat melarutkan senyawa polar dalam hal ini alkohol. Fenol 5% yang di
tambahkankan gliserin 25% tidak menimbulkan reaksi signifikan hal ini karena
gliserin yang melembabkan kulit dan mencegah fenol untuk menarik cairan dari
kulit. Fenol 5% yang ditambahkan olvarium tidak menimbulkan reaksi apapun
karena olvarium merupakan minyak yang diperoleh dari buah dan senyawa
olvarium tidak mudah larut oleh fenol sehingga senyawa ini menjadi senyawa
protektiva untuk kulit (Cyntiani 2012).

Sebelum dilakukan uji kausatika, hewan coba yaitu tikus harus ditimbang
terlebih dahulu. Bobot badan tikus setelah ditimbang maka didapatkan hasil 168
gram. Tikus kemudian diberikan sediaan anestesi campuran ketamin dan xylazin
dengan dosis anestesi berdasarkan bobot badan tikus. Area ventral tikus yang
telah dicukur kemudian diberi tanda lingkaran kecil sebanyak 6 buah pada kulit.
Setiap lingkaran diberikan sediaan yang akan diujikan dan kemudian ditunggu
selama 30 menit.
Tabel 2 Hasil uji kausatika
Senyawa Kimia Reaksi Pada Kulit

Kloroform Kulit kemerahan, menghasilkan minyak

NaOH 75% Kulit mengelupas

H2SO4 pekat Kulit menebal dan memutih

HNO3 pekat Kulit menebal dan memutih

HCl pekat Kulit menebal dan memutih

Fenol Tidak ada perubahan yang terlihat

Percobaan dengan sediaan kloroform pada kulit tikus mengakibatkan kulit


menjadi kemerahan dan menghasilkan minyak. Kloroform bersifat karsinogenik.
Jika berkontak dengan kulit kloroform menyebabkan iritasi kulit yang
menyebabkan kemerahan dan rasa sakit, menghilangkan minyak alami serta dapat
diserap melalui kulit. Menurut Subamia et al. (2019), bahan toksik seperti
trichloroethane atau kloroform jika tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit
dapat menyebabkan penyakit akut atau kronik, bahkan kematian. Percobaan ini
sesuai dengan literatur bahwa kloroform merupakan salah satu zat
karsinogenik.Asam sulfat (H2SO4) termasuk kedalam bahan kimia reaktif dan
korosif yang dapat bereaksi secara langsung ketika berkontak dengan sel maupun
jaringan. Efek yang timbul apabila kulit berkontak dengan senyawa ini sangat
beragam mulai dari iritasi kulit, luka bakar (melepuh), hingga nekrosis. Luka atau
kerusakan pada jaringan dengan cepat dapat terjadi setelah pemajanan dan
berlanjut hingga hitungan jam hingga hari jika tidak ditangani dengan baik.
Kerusakan pada kulit mulai dari dermatitis, iritasi, nekrosis, hingga luka (Robles
2005).

Pemberian NaOH 75% di kulit abdomen tikus mengakibatkan kulit


mengalami pengelupasan. Hal ini sesuai dengan sifat larutan NaOH 75% yang
bersifat basa kuat. NaOH jika dilarutkan dalam air akan membentuk larutan alkali
yang kuat. Alkali yang terlalu pekat atau berlebih akan menyebabkan iritasi pada
kulit, seperti kulit luka dan mengelupas (Zebua et al. 2019). Zat basa akan
menyatu dengan jaringan lemak di kulit sehingga kerusakan jaringan akan lebih
progresif sedangkan zat asam akan menyebabkan koagulasi protein. Percobaan ini
sesuai dengan literatur bahwa NaOH merupakan salah satu zat yang bersifat
kaustik atau dapat merusak kulit. Menurut Daulay (2016), asam dan basa kuat
menyebabkan peradangan yang cepat pada kulit akibat cedera langsung pada
lapisan superfisial kulit. Peradangan yang dapat terjadi adalah kemerahan atau
eritema, edema, panas dan nyeri.

Asam nitrat merupakan asam inorganik yang bersifat korosif dan asam
oksidatif kuat. Asam nitrat yang berkontak dengan kulit dapat menyebabkan
coagulation burns, kerusakan pada epithelium, lepuh, ulser, dan bekas luka
permanen tergantung dari jumlah paparan senyawa. Asam nitrat pekat dapat
menyebabkan luka bakar pada kulit (National Research Council 2010). Asam
klorida pekat merupakan salah satu zat kimia berbahaya karena sifatnya yang
mudah menguap mudah terbakar dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit (Arifin
et al. 2012). Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh
bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisik. Bahan iritan dapat merusak lapisan
tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah
daya ikat air kulit. Kebanyakan bahan iritan merusak membran lemak (lipid
membran) keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membrane sel dan
merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti (Sularsito et al. 2007).

Berdasarkan hasil uji, area kulit yang ditetesi dengan H2SO4 pekat, HNO3
pekat, dan HCl pekat menunjukkan perubahan pada kulit berupa penebalan
(seperti menggelembung) dan memutih. Hasil ini sesuai dengan literatur bahwa
asam kuat dan pekat akan menyebabkan iritasi pada kulit dan menyebabkan kulit
menjadi lepuh. Pemberian zat fenol liquafaktum pada kulit tikus tidak
menunjukkan perubahan. Phenol liquefactum atau liquefied carbolic acid sering
digunakan untuk mengatasi rasa nyeri (Margono 1970). Fenol liquafaktum
merupakan bahan yang bersifat karsinogenik yang dapat menyebabkan iritasi pada
kulit. Percobaan yang dilakukan tidak sesuai dengan literatur. Hal ini dapat
disebabkan karena kemungkinan bahan yang digunakan sudah tercampur oleh
bahan lainnya yang berdampak pada efek karsinogenik yang ditimbulkan tidak
muncul.

Senyawa Protektiva

Praktikum demulsansia dilakukan dengan mencelupkan kaki katak dalam


2 larutan berbeda. Larutan 1 adalah asam sulfat atau H2SO4 dengan konsentrasi
1/10 N. Larutan 2 merupakan campuran dari H2SO4 1/10N dan gum arab. Hasil
yang didapatkan adalah sebagai berikut:

Tabel 3 Respon Katak terhadap H2SO4 dan Senyawa Demulsansia

Larutan Waktu katak mengangkat kaki

Larutan 1 (H2SO4 1/10N) 5 detik


Larutan 2 (H2SO4 1/10N 22 detik
dan gum arab)

Respon katak menaikkan kaki pada larutan pertama berlangsung lebih


cepat, yaitu 5 detik sementara pada larutan kedua berlangsung 22 detik. Katak
melakukan respon menaikkan kaki karena adanya respon terhadap sensasi rasa
sakit dari luka di kaki yang dikenai dengan larutan asam sulfat dengan melibatkan
sejumlah otot yang bekerja secara terpadu dan merupakan suatu refleks murni
(Ville et al. 1988) . Asam Sulfat atau H2SO4 merupakan senyawa asam kuat
dengan sifat tidak berwarna dan berbau keras, mudah menguap dan merupakan
bahan iritan sehingga dapat menyebabkan pelarutan atau denaturasi protein
sehingga berbahaya apabila mengalami kontak langsung dengan tubuh
(Sukandarrumidi 2018).

Penambahan gum arab pada larutan H2SO4 menyebabkan kaki katak lebih
lama mengangkat ketimbang larutan satu yang hanya mengandung H2SO4. Hal ini
dapat terjadi karena gum merupakan sediaan demulsensia. Demulsen merupakan
zat dengan berat molekul yang tinggi dan bersifat larut air serta berfungsi
mengurangi iritasi. Demulsen masuk ke dalam grup protektif dan bekerja dengan
melapisi permukaan kulit yang rusak serta menjaga lapis stratum corneum dan sel
di bawahnya pada bagian epidermis sehingga membentuk barrier pelindung dari
stimulus eksternal (Riviere dan Papich 2009). Gum arab merupakan hidrokoloid
dari eksudasi alami pohon akasia dengan sifat berkelarutan baik di air, memiliki
viskositas rendah dalam larutan berair, dapat membentuk film, dan merupakan
pengemulsi yang baik (Shiyan 2021). Sifat dari gum arab tersebutlah yang mampu
melindungi permukaan kaki katak lebih baik terhadap rangsangan atau stimulus
H2SO4.

Percobaan astringensia dilakukan menggunakan tanin 5% diteteskan pada


ujung lidah dan ditunggu sekitar 1 sampai 2 menit. Hasil yang didapatkan adalah
sebagai berikut:

Tabel 4 Respon Lidah terhadap Pemberian Tanin

Senyawa Adstringens Hasil

Tanin 5% Lidah menjadi kering dan terasa pahit

Hasil yang didapatkan melalui penetesan tanin pada lidah adalah lidah
menjadi kering dan terdapat rasa pahit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Idroes et
al. (2019) yang menyebutkan bahwa tanin merupakan senyawa astringen yang
berasal dari bahan alam dengan kandungan polifenol larut air, memiliki bobot
molekul tinggi, serta memberikan rasa pahit dan juga kesat. Menurut Siamtuty et
al. (2017) gugus polifenol tanin dapat mengikat dan mengendapkan atau
menyusutkan protein dan menyebabkan rasa kering dan puckery (kerutan) di
dalam mulut . Pemberian tanin secara oral dapat mengalami adsorpsi pada mukosa
gastrointestinal dan melindungi mukosa dari iritasi. Tanin berikatan dengan sel
kelenjar sehingga mampu mengurangi eksudasi dan sekresi. Sifat tanin yang
mampu mengkoagulasi protein dalam kelenjar pencernaan selain menyebabkan
sekresi berkurang juga menimbulkan efek berupa mukosa menjadi kering
(Japaries 2010).

Senyawa Depilator

Tabel 5 Hasil Uji Depilator

Senyawa Kimia Reaksi

NaOH ++

Na2S +

Veet +++

Keterangan: + rontok biasa, ++ mudah rontok, +++ sangat mudah rontok

Pada percobaan depilator yang dilakukan terhadap tikus menggunakan


bahan NaOH, Na2S, dan Veet yang diteteskan pada kulit tikus. Hasil pengamatan
pada tabel menunjukkan bahwa rambut tikus sangat mudah rontok apabila
dioleskan dengan senyawa kimia krim Veet karena produk tersebut mengandung
bahan aktif yaitu tioglikolat yang dapat merontokkan rambut dengan mudah.

Penggunaan senyawa kimia NaOH juga dapat merontokkan rambut tikus


dengan mudah tetapi tidak sebanyak saat menggunakan krim Veet karena NaOH
merupakan asam kuat yang dapat mengiritasi lapisan kulit sehingga rambut tikus
dapat mengalami kerontokkan. Penggunaan senyawa kimia Na2S juga dapat
merontokkan rambut tikus tetapi tidak mengalami banyak kerontokkan. Selain itu,
kandungan zat aktif yang terdapat pada senyawa kimia Na2S dapat mengikis kulit
sehingga mengiritasi. Penambahan zat humectant dapat mengurangi iritasi yang
ditimbulkan oleh Na2S. Komponen yang terkandung dalam agen depilator dapat
merusak ikatan disulfida dan melemahkan keratin rambut sehingga dengan
mudahnya rambut dapat dirontokkan dengan cara digosok. Apabila penggunaan
senyawa kimia depilator dengan dosis berlebih dapat menimbulkan iritasi dan
kulit akan mudah terkikis (Atkin et al. 2018).

SIMPULAN

Senyawa iritansia yang berupa rubefasiensia seperti menthol dan


kloroform menyebabkan kemerahan pada kulit, pada fenol + alkohol
menyebabkan kulit menjadi putih, dan pada fenol + gliserin dan fenol + minyak
olvarium tidak adanya perubahan pada kulit. Senyawa kaustika seperti asam sulfat
pekat, asam klorida pekat, asam nitrat pekat, fenol likuafaktum, dan natrium
hidroksida 75% menyebabkan timbulnya reaksi pada kulit. Senyawa protektiva
berupa demulsensia dalam penggunaan asam sulfat (H2SO4) yang ditambahkan
gum arab dan tidak menunjukan adanya perbedaan ketahanan dalam respon
terhadap sensasi rasa sakit pada luka kaki. Astringensia seperti tanin yang
diberikan oral mengalami adsorpsi pada mukosa gastrointestinal dan melindungi
mukosa dari iritasi. Senyawa depilator berupa NaOH, Na2S, dan Veet berfungsi
sebagai perontok rambut dan dapat menimbulkan iritasi jika dosis berlebihan.

SARAN

Selama percobaan dengan bahan yang berbahaya bagi praktikan,


sebaiknya memakai alat pelindung diri yang baik dan sebelum melakukan
percobaan wajib mengetahui tindakan pertama apabila berkontak dengan bahan
yang berbahaya sehingga akan tetap aman selama kegiatan percobaan.
DAFTAR PUSTAKA

Atkin N, Dawson S, Evison J, Kennedy F, Tindal A, Ward H, Warwick J. 2018.


Depilatory compositions. U.S. Patent. 9: 974-735.

Arifin M, Wijaya AE, Kusumawardani AS, Lutfatin RI, Astuti ED. 2012. Laporan
Akhir PKM-P Curcumax Reagen Praktis Penguji Kandungan Boraks pada
Bakso. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Daulay RA. 2016. Faktor-faktor yang berhubungan terjadinya dermatitis kontak


pada pekerja di pabrik tahu desa suka maju binjai tahun 2016 [tesis].
Medan : Universitas Sumatra Utara.

Erlytasari DN, Wibisono G, Hapsari R.2019. Efektivitas asap cair berbagai


konsentrasi sebagai desinfektan alat klinik gigi.Jurnal Kedokteran
Diponegoro.8(4):1114-1123.

Ganiswarna SG. 2005. Farmakologi dan Terapi. Jakarta (ID): FK-UI Press

Idroes R, Khairan, Nurisma NW, Maawaddah N, Pradysta RG, Rofina. 2019.


Skrining Aktivitas Tumbuhan yang Berpotensi sebagai Bahan Anti Mikroba
di Kawasan Ie Brôk (Upflow Geothermal Zone). Aceh Besar (ID): Syiah
Kuala University Press.

Japaries W. 2010. Farmakologi Herbal. Jakarta (ID): Balai Penerbit FKUI.

Keman S. 2018. Pengantar Toksikologi Lingkungan. Surabaya (ID): Airlangga


University Press.

Ling LJ, Hanley, Belfus. 2000. Toxikology Secrets. Philadelphia (US): Elsevier.

Lorgue G, Lechenet J, Riviere A. 1996. Clinical Veterinary Toxicology. London


(UK): Blackwell Science Ltd.

Margono P. 1970. Masalah penulisan resep oleh dokter gigi [skripsi]. Surabaya :
Universitas Airlangga

Muller RS. 2008. Small Animal Clinical Pharmacology (Second Edition). USA:
W.B. Saunders.

National Research Council (US) Committee on Acute Exposure Guideline Levels.


2010. Acute Exposure Guideline Levels for Selected Airborne Chemicals:
Volume 8. Washington (DC): National Academies Pr.

Pramukanto Q, Purwakusumah E, Sa’diah S, Batubara I, Darusman LK,


Rahminiwati M. 2013. Taman Terapi Mandiri: Diabetes Melitus Jenis,
Fungsi, Pengolahan Tanaman Obat, dan Rancangan Taman. Bogor (ID):
IPB Press.
Riviere JE, Papich MG. 2009. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Lowa
(USA): Wiley-Blackwell.

Robles H. 2005. Encyclopedia of Toxicology. 2nd ed. Amsterdam (UK) : Elsevier.

Romm A, Ganora L, Hoffmann D, Yarnell E, Abascal K, Coven M. 2010.


Fundamental Principles of Herbal Medicine Chapter 3. USA: Elsevier .

Shiyan S. 2021. Teknologi Fitofarmasetika: Sistem Pembawa katekin dan EGCG


pada Terapi Diabetes. Yogyakarta (ID): Deepublish.

Subamia UDP, Wahyuni GI, Widiasih NN. 2019. Analisis resiko bahan kimia
berbahaya di laboratorium kimia organik. Jurnal Matematika, Sains, dan
Pembelajarannya. 13(1) : 49-70.

Sukadirman, Agil M, Prajogo B, Rahman A. 2020. Buku Ajar Farmakologi Jilid


1. Surabaya (ID): Airlangga University Press.

Sularsito, Sri Adi dan Djuanda Suria.2007. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Sumardjo D. 2006. Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa


Kedokteran. Jakarta (ID): EGC.

Tasmin N, Erwin, dan Kusuma IW. 2014. Isolasi, identifikasi dan uji toksisitas
senyawa flavonoid fraksi kloroform dari daun terap (Artocarpus
oforatissimus blanco). Jurnal Kimia Mulawarman. 12(1): 45-54.

Villee CA, Walker WF, Barnes RD. 1988. General Zoology. Philadelphia (US):
W.B. Saunders Company.

Zebua NF, Sudewi, Prihatini M. 2019. Formulasi dan evaluasi sabun transparan
dari kolagen tulang sapi (Bos sp.) sebagai pelembab. Journal of
Pharmaceutical and Sciences. 2(1) : 1-9.

Anda mungkin juga menyukai