Anda di halaman 1dari 9

Laporan Praktikum Hari, tanggal : Rabu, 9 September 2020

Toksikologi Veteriner Dosen Pembimbing : Dr. Drh. Andriyanto, MSi.


Kelompok Praktikum : 4

Senyawa Kimia yang Bekerja Lokal

Anggota kelompok:

1. Tigrisia Faathira B04170086


2. Nadira Fadilah B04170087
3. Danny Bagus Wibowo B04170088
4. Lintang Wulandari B04170089
5. Adib Susilo Adi B04170091

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
IPB UNIVERSITY
2020
PENDAHULUAN

Dasar Teori
Toksisitas diartikan sebagai kemampuan racun (molekul) untuk
menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ yang
rentan terhadapnya (Sax 1957). Suatu zat mempunyai kadar toksisitas yang berbeda
sehingga menentukan tingkat toksisitas suatu toksin yang sedang diuji pada
berbagai organisme (Priyanto 2009). Ada beberapa cara kerja racun dalam tubuh
manusia, yakni bekerja setempat (lokal), Racun bekerja sistemik (keseluruh tubuh
melalui aliran darah), dan Racun yang bekerja setempat dan sistemik. Adapun racun
yang memiliki cara kerja setempat atau lokal dapat menimbulkan rasa nyeri yang
hebat dan disertai peradangan, shock, sampai kematian. Contoh racun yang bekerja
setempat atau lokal a. Racun yang bersifat korosif seperti lisol, asam kuat, dan basa
kuat, b. Racun bersifat iritan seperti arsen dan sublimat, dan c. Racun yang bersifat
anestetik seperti kokain dan fenol (Nuryati 2017). Tubuh manusia dan hewan
ditutupi oleh kulit. Fungsi spesifik kulit terutama tergantung sifat epidermis. Epitel
pada epidermis ini merupakan pembungkus utuh seluruh permukaan tubuh dan ada
kekhususan setempat bagi terbentuknya turunan kulit, yaitu rambut, kuku, dan
kelenjar – kelenjar (Sonny 2013). Senyawa kimia yang memiliki sifat lokal dibagi
menjadi dua yaitu yang bersifat iritansia dan protektiva.
Senyawa iritansia atau destruktif merupakan kelompok senyawa kimia yang
bekerja secara tidak selektif pada sel dan jaringan tubuh hewan ataupun manusia
dengan cara merusak sel-sel atau bagian dari sel untuk sementara atau permanen.
Iritansia adalah zat pencemar yang dapat menimbulkan iritasi jaringan tubuh,
seperti SO2, Ozon, dan Nitrogen Oksida. Iritansia biasanya disebabkan oleh polutan
yang bersifat korosif, yang dapat merangsang proses peradangan pada tubuh
(Sandra 2011). Senyawa protektiva adalah zat yang melindungi kulit dan atau
mukosa terhadap daya kerja irritansia, baik yang kimiawi maupun berupa sinar.

Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengetahui reaksi yang ditimbulkan oleh zat
iritansia dan protektiva serta perbedaan dari tiap perlakuan yang diberikan.

METODE

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah pipet tetes, spuid,
stopwatch, kain lap, kapas, dan timbangan. Sedangkan bahan yang digunakan
terdiri dari tikus, katak, ketamine, xylazine, menthol, kloroform, larutan fenol 5%,
alkohol 25%, gliserin 25%, minyak olivarium, asam sulfat pekat, asam klorida
pekat, asam nitrat pekat, fenol likuafatkum, NaOH 75 %, H2SO4 1/10 N, gom Arab
10%, tanin 5%, NaOH, Na2S, dan Ca-tioglikolat (Veet).
Langkah Kerja

Iritansia
Rubefasiensia
Rubefasiensia merupakan perangsang setempat yang lemah dan senyawa
yang menyebabkan rubefasiensia. Sepotong menthol digosokkan pada kulit.
Kemudian dicatat perubahan dan sensasi yang dirasakan. Kapas dicelupkan ke
dalam kloroform dan diletakkan di atas kulit lengan selama 2–3 menit. Sebagai
perbandingan, diteteskan satu tetes kloroform di atas kulit lengan yang lain,
kemudian hasil dicatat dan diberi keterangan.Bahan selanjutnya yang diuji adalah
fenol 5% dalam air, fenol 5% dalam alkohol 25%, Fenol 5% dalam gliserin 25%,
dan Fenol 5% dalam minyak olivarium. Empat jari tangan dicelupkan masing-
masing ke dalam campuran larutan fenol yang berbeda-beda. Kemudian sensasi dan
perubahan yang terjadi pada jari dicatat.

Kausatika
Tikus ditimbang terlebih dahulu untuk menentukan dosis anetesi. Anestesi
dilakukan menggunakan kombinasi ketamine dan xylazine. Setelah tikus teranastesi
rambut-rambut bagian abdomen dicukur. Pada bagian yang telah dicukur dibuat
garis pembatas dan lingkaran-lingkaran sebagai batas penanda larutan yang akan
diteteskan. Setelah dibuat 6 lingkaran penanda, klorofom, NaOH 75%, Asam sulfat,
HNO3 pekat, HCl pekat, dan asam fenil pekat diteteskan pada masing-masing
lingkaran. Setelah dibiarkan selama 30 menit zat tersebut bekerja, catat hasilnya.

Protektiva
Demulsensia
Larutan H2SO4 1/10 N dan H2SO4 1/10 N ditambah gom Arab 10%
disiapkan pada cawan petri. Rangsangan diberikan pada kaki katak dengan terlebih
dahulu melukai atau menusukan selaput renang katak dengan sonde. Kemudian
salah satu kaki katak di celupkan ke dalam larutan H2SO4 1/10 N, waktu pencelupan
kaki katak hingga muncul reaksi berupa penarikan kaki dihitung dan dicatat.
Lakukan hal yang sama pada kaki yang berbeda dengan larutan H2SO4 1/10 N
ditambah gom Arab 10%. Waktu terjadinya respon kemudian dicatat.

Astringensia
Satu tetes larutan tanin 5% diteteskan pada ujung lidah. Rasakan selama dua
menit setelah itu berkumur dengan air. Amati perubahan yang pada permukaan
mukosa lidah dan rasa nyeri yang terjadi.

Daya Kerja Depilator


Seekor tikus dianestesi terlebih dahulu menggunakan kombinasi etamine
dan xylazine. Setelah teranestesi pada punggung tikus digambarkan tiga buah
lingkaran sebagai tempat pemberian tiga bahan uji yang berbeda. NaOH dan Na2S
diteteskan di atas kulit tikus pada tempat yang berbeda. Biarkan 10 menit, kemudian
bekasnya dibersihkan dengan kapas. Amati ada tidaknya rambut yang lepas dan
efeknya terhadap kulit. Pada bagian lain oleskan krim Veet, ikuti petunjuk
penggunaan. Setelah selesai pengamatan,periksa adakah zat devilator dalam bidang
kosmetik manusia dapat menimbulkan kerusakan pada kulit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahan yang digunakan pada praktikum rubefasensisa kali ini yaitu menthol
yang digosokkan pada permukaan kulit, kloroform diletakkan di atas kulit baik
langsung ataupun melalui perantara kapas dan jari tangan yang dimasukkan ke
dalam larutan fenol 5% dengan air, alkohol 25%, gliserin 25% dan minyak .
Reaksi kulit yang digosok menggunakan mentol timbul kemerahan dan
bintik-bintik merah serta adanya sensasi sakit agak panas. Menthol bekerja pada
reseptor dingin, mengakibattkan sensasi rasa dingin pada kulit. Akan tetapi, jika
dilakuakan penggosokkan berulang akan terasa efek panas dan sesnsasi nyeri.
Menthol bekerja dengan cara meningkatkan vasodilatasi kulit, sehingga mampu
mengurangi fungsi kulit. Menthol hanya merangsang daerah setempat dan bersifat
lemah (Sumardjo 2006).

Tabel 1. hasil senyawa rubefasiensia


Senyawa kimia Reaksi
Menthol Merah, awal dingin lama-kelamaan
sensasi hangat
Kloroform (kapas) Merah, perih sedikit panas
Kloroform (langsung) Sedikit hitam, sensasi dingin
Fenol 5% dalam air Dingin, sedikit pucat dan keriput
Fenol 5% dalam alkohol 25% Lebih dingin, lebih pucat dan keriput
Fenol 5% dalam gliserin 25% Tidak terlalu dingin, tidak berubah
Fenol 5% dalam minyak Tidak terlalu dingin, tidak berubah

Kloroform yang diteteskan langsung pada kulit memberikan efek dingin dan
sedikit meninggalkan bekas warna hitam. Kapas yang diberikan kloroform yang
ditempelkan pada kulit lama-kelamaan menimbulkan sensasi perih, panas serta
kemerahan. Kloroform merupakan zat yang sangat mudah menguap. Kloroform
yang diteteskan langsung cepat menguap, sehingga efeknya cepat hilang pada kulit.
Sedangkan pada kapas tidak mudah menguap, sehingga memberikan efek yang
lebih lama pada kulit. Kloroform memiliki efek vasodilatasi dan menyebabkan rasa
nyeri. Hal ini dapat juga terjadi karena penguapan kloroform yang dihambat oleh
kapas sehingga perangsangan dilatasi kapiler berlangsung terus menerus kemudian
akan menimbulkan rasa gatal, terbakar atau nyeri (Tasmin et al. 2014).
Kemudian percobaan terakhir rubefasiensia adalah pencelupan jari tangan di
campuran larutan fenol. Jari tangan yang dicelupkan pada larutan fenol 5% dan air
terasa dingin kemudian membuat jari tangan menjadi sedikit pucat dan sedikit
keriput. Jari tangan yang dicelupkan pada larutan fenol 5% dan alkohol 25% terasa
lebih dingin pada larutan fenol dan air, kemudian membuat jari tangan menjadi
lebih pucat, keriput dan terasa agak perih. Sedangkan jari tangan yang dicelupkan
pada larutan fenol 5% dalam minyak dan gliserin 25% tidak menimbulkan rasa
perih dan tidak berubah (pucat).
Fenol merupakan rubefasiensia yang bersifat vasokonstriktif dan keratolisis
pada kulit, Fenol merupakan senyawa yang bersifat toksik dan korosif terhadap
kulit (iritasi) dan pada konsentrasi tertentu dapat menyebabkan gangguan kesehatan
manusia hingga kematian pada organisme. (Qadeer dan Rehan 1998). Hal ini yang
menyebabkan jari tangan menjadi keriput dan pucat. Air tidak dapat mengurangi
reaksi dari fenol terhadap kulit sehingga jari yang dicelup pada larutan fenol dan air
akan keriput dan pucat. Alkohol merupakan senyawa yang memiliki kelarutan
rendah sehingga efek yang ditimbulkan dari larutan fenol dalam alkohol 25% terasa
lebih kuat. Fenol yang dicampur gliserin 25% dan minyak tidak menimbulkan efek
toksik karena minyak akan berakasi membuat fenol kesulitan dalam menembus
kulit sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama. Jari tangan yang keriput
terjadi karena perbedaan tekanan osmotik sehingga air di dalam sel tertarik keluar.
Penggunaan minyak memperkecil tegangan permukaan sehingga jari dapat
terlindungi (Loomis 1978).

Tabel 2. Kausatika
Senyawa Kimia Reaksi pada kulit
H2SO4 Pekat Iritasi kuat, kulit menebal, warna pucat
HCL Pekat Kulit bengkak menebal
HNO3 pekat Kulit menebal dengan bercak kuning
Fenol Melepuh
NaOH 75% Kulit menebal (Keratolisis)
Kloroform Iritasi ringan, pipih dan hangat

Kaustik merupakan jenis senyawa kimia yang memiliki sifat merusak kulit
sehingga membuat iritasi di daerah kulit. Beberapa golongannya yaitu asam dan
basa kuat. Hasil praktikum menunjukkan diantara senyawa yang menimbulkan
reaksi pada kulit, NaOH 75% memperlihatkan kulit yang sangat menebal berwarna
putih menonjol. Hal ini dikarenakan NaOH 75% tergolong basa kuat berbentuk
Kristal berwarna putih yang bersifat sangat korosif bila terkena kulit dan
menimbulkan keratolisis (Dewi et al. 2010). Kemudian pada senyawa Kloroform
menyebabkan iritasi ringan yang terlihat pipih dan terasa hangat. Kloroform
merupakan senyawa yang cukup efektif sebagai pelarut yang dapat pula membuat
sifat toksik jika terkena kulit dan menimbulkan ruam merah yang terlihat. Senyawa
ini tergolong mudah teroksidasi karna kontak dengan udara dan cahaya sehingga
menjadi fosgen dengan toksisitas yang tinggi (Brady 1999).
Senyawa yang menyebabkan iritasi berat, menebal dan berwarna pucat
berdasarkan hasil praktikum adalah H2SO4 pekat (Asam sulfat). Daya ionisasi asam
sulfat sangat kuat sehingga mudah dan banyak bereaksi dengan zat di dalam kulit.
Reaksi di dalam kulit akan lebih mudah terikat krom dengan kolagen, sehingga
membuat kulit tersamak secara penuh dan menjadi kasar (Gumilar et al. 2010).
Respon yang diberikan setelah penetesan HCl pekat pada kulit terlihat bengkak dan
menebal akibat pelarutan dan terjadinya denaturasi protein jainan, serta respon
imunologi. Sifat asam ini adalah korosif yang tinggi sehingga mampu sebagai
penarik air yang kuat (pendehidrasi) yang dapat menimbulkan luka bakar jika
terkena jaringan kulit (Hasdar dan Rahmawati 2017; Putri et al. 2019).
Hasil penetesan fenol pada kulit abdomen tikus adalah melepuh berwarna
pucat. Hal ini dikarenakan fenol merupakan salah satu senyawa yang bersifat toksik
dan sangat reaktif terhadap jaringan tubuh, serta dapat menyebabkan iritasi pada
bagian mata, kulit, hidung, dan tenggorokan. Efek kronis seperti iritasi saluran
pencernaan dan system saraf pusat, hati, ginjal, dan jaringan vascular pada hewan.
Serta dapat pula menimbulkan penurunan berat badan, retardasi pertumbuhan dan
perkembangan abnormal pada keturunan, menembus jaringan kulit dan mampu
menyebabkan terjadinya keratolisis pada kulit (Asuhadi et al. 2019). Penetesan
Asam nitrat (HNO3) terlihat efek kulit menebal dengan bercak kuning. Senyawa ini
adalah jenis cairan korosif berwarna, tergolong asam beracun dan menimbulkan
luka bakar. Efek warna kuning hasil nitrasi protein yang ada didalam kulit
(Saraswati 2018).

Tabel 3. hasil demulsensia


Senyawa Waktu reaksi
H2SO4 1/10 N Mengangkat kaki setelah 7 detik
H2SO4 1/10 N + gom arab Mengangkat kaki setelah 22 detik

Asam sulfat (H2SO4) merupakan senyawa asam kuat yang dapat mengiritasi
jaringan. Apabila senyawa ini diteteskan pada lapisan mukosa yang terbuka atau
sudah dilukai sebelumnya maka mukosa akan teriritasi, terasa terbakar dan sakit.
Pada pencelupan kaki katak dalam senyawa H2SO4 1/10 N terlihat respon katak
berupa penarikan kaki secara tepat setelah selang waktu 7 detik dari pencelupan.
Reaksi yang sama juga ditunjukan oleh kaki yang lain dengan pencelupan pada
larutan asam sulfat yang sama dengan tambahan gom arab 10%. Namun waktu
terjadinya reaksi membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan reaksi
terhadap larutan H2SO4 1/10 N saja.
Pada percobaan kedua kaki katak lainnya dicelupkan pada lautan yang
berbeda dari percobaan pertama. Kaki katak dicelupkan dalam larutan H 2SO4 yang
telah dicampur dengan gum arab. Gum arab atau gom akasia merupakan eksudat
yang mengeras di udara seperti gom, yang mengalir secara alami atau dengan
penorehan batang dan cabang tanaman Acacia senega L. Gom akasia ini sangat baik
untuk emulgator tipe O/W dan untuk obat minum. Gum arab merupakan agen
pengemulsi yang efektif karena kemampuannya sebagai koloid pelindung (Aziz dan
Tambuna 2009).
Gum arab juga berpotensi sebagai zat pelindung jantung, ginjal, usus, dan
gigi (Patel dan Goyal 2014). Gum arab ini dapat digunakan sebagai antioksida alami
yang dapat melindungi dari bahan-bahan bersifat toksik. Bahan-bahan dengan sifat
toksik seperti asam trikloroasetat, paraquat, dan raksa (II) klorida dapat dimodulasi
dengan gum arab karena potensinya yang dapat memodulasi efek toksik dari bahan
kimia (Elshma 2018). Oleh sebab itu, penambahan gum arab pada larutan H2SO4
dapat mengurangi ataupun memodulasi efek toksik dari H2SO4, gum arab akan
melindungi mukosa kaki katak sehingga reaksi yang ditimbulkan katak akan lebih
lama dibandingan dengan pencelupan dalam larutan pertama berupa H2SO4.

Tabel 4. hasil senyawa astringensia


Senyawa kimia Reaksi
Tanin Rasa pahit dan mengkerut

Senyawa Tanin adalah senyawa astringent yang memiliki rasa pahit dari
gugus polifenolnnya yang dapat mengikat, mengendapka,menyusutkan protein, dan
menyebabkan menghambat penyerapan . (Ismarani 2012). Rasa pahit pada tannin
dapat menyebabkan mekanisme penghambatan makan akibatnya akan terjadi
penurunan pertumbuhan. Zat astringen dari tannin dapat menyembabkan kerutan di
dalam mulut setelah konsumsi zat tersebut. Hal ini karena kandungan tannin dapat
menyebabkan penyusutan jaringan dan penutupan struktur protein pada kulit dan
mukosa (Hidayati et al. 2013)

Tabel 5. hasil senyawa depilator


Bahan Reaksi Krontokan Rambut
NaOH +++
Veet ++
Na2S +
Keterangan : +++ = sangat mudah rontok, ++= mudah rontok, += rontok
biasa

Senyawa depilator (NaOH, Veet, Na2S) merupakan sediaan yang


diaplikasikan untuk memberikan efek depilasi pada rambut yang pada
praktikum diaplikasikan pada kulit tikus. Berdasarkan tabel di atas, secara
berurutan sediaan yang memberikan efek lemah ke tinggi sebagai senyawa
depilator ialah Na2S, Veet, NaOH. Senyawa NaOH yang diteteskan pada kulit
mengakibatkan rambut rontok, serta terlihat kemerahan dan pengelupasan
pada kulitnya. NaOH merupakan alkali kuat sehingga dapat mendegradasi
keratin rambut, serta melunakkan rambut dan memudahkannya lepas dari
permukaan kulit (Ganiswara 2001). Sediaan depilator veet juga memberikan
efek kerontokan rambut. Veet mengandung Akua, urea, potassium thioglikolat,
Paraffinum liquidum, cetearyk alkohol, kalsium hidroksida, talk, ceteareth 20,
gliserin, potassim hidroksida, sorbitol, parfum, magnessium trisilikat, Propilen
glikol, litium magnesium sodium silikat, butirospermumparkii gutter, sodium
glukonat, acrilat kopolimer, hidrat silika. Kandungan tersebut terdapat
beberapa yang bersifat depilator yaitu thioglikat, kalsium, sodium atau
potassium hidroksida (Buffet dan jao 2013) tetapi kandungan-kandungan ini
umumnya tidak bersifat iritan (Prasetyo 2012). Sediaan Na2S menunjukkan
kerontokan rambut yang sedikit. Natrium sulfida (Na 2S) pada pH 12,5 yang
akan melarutkan lapisan epidermis dan rambut (Triatmojo 2012).

SIMPULAN

Senyawa iritansia pada dasarnya ketika diberikan ke jaringan kulit atau


mukosa akan mengakibatkan kerusakan dan iritasi pada kulit atau mukosa tersebut.
Dikarenakan iritansia memiliki sifat seperti memvasodilatasikan kulit, sehingga
fungsi kulit akan berkurang sebagai barrier tubuh, selain itu juga golongan iritansia
merupakan asam basa kuat yang tentunya dapat merusak kulit dan menimbulkan
iritansi pada kulit tersebut. Sedangkan untuk senyawa protektiva pada dasarnya
dapat melindungi kulit ataupun mukosa dari senyawa iritansia. Seperti halnya gom
arab, merupakan agen pengemulsi yang efektif karena kemampuannya sebagai
koloid pelindung, sehingga penambahan gum arab pada larutan H2SO4 dapat
mengurangi ataupun memodulasi efek toksik dari H2SO4. Selain itu ada juga tanin
yang dapat mengikat, mengendapkan, menyusutkan protein, dan menyebabkan
menghambat penyerapan, sehingga kulit akan lebih terlindungi. Kemudian untuk
senyawa depilator, terbukti mampu mengakibatkan rambut rontok, serta terlihat
kemerahan dan pengelupasan pada kulit.
DAFTAR PUSTAKA

[Veet]. https://www.veet.co.id/beragam-produk/krim-penghilang-bulu/veetreg-
krim-penghilang-bulu-untuk-kulit-kering/ [diunduh 2020 September 13].
Asuhadi S, Arafah N, Amir AB. 2019. Kajian terhadap potensi bahaya senyawa
fenol di perairan laut wangi-wangi. Ecogreen. 5(1): 49-55.
Aziz T, Tambunan SN. 2009. Penentuan massa optimal gom akasia sebagai surface
active agent pada pencampuran minyak goreng dengan air dan solar dengan
air. Jurnal Teknik Kimia. 3(16): 59-65.
Braddy JE 1999. Kimia Univesitas Asas dan Struktur. Jakarta(ID): Binarupa
Aksara.
Buffet C, Rao J. 2013. Chemical Depilatories. Skin Therapy Letter. 9(2) :
Fakultas dematologis Universitas Alberta
Dewi TK, Dandy, Akbar W. 2010. Pengaruh konsentrasi NaOH, temperature
pemasakan, dan lama pemasakan pada pembuatan pulp dari batang rami
dengan proses. Jurnal Teknik Kimia. 17(2): 68-74.
Elshama SS. 2018. The preventive role of arabic gum in the treatment of toxicity.
Opn acc Tox & Res. 1(1): 27-19.
Ganiswara Silistia G. 2001. Farmakologi dan Terapi (Basic
TherapyPharmacology). Alih Bahasa: Bagian Farmakologi FK UI.
Jakarta (ID): UI Press.
Gumilar J, Putranto WS, Wulandari E. 2010. Pengaruh penggunaan asam sulfat
(H2SO4) dan Formiat (HCOOH) pada proses pikel terhadap kualitas kulit
jadi (Leather) domba garut. Jurnal Ilmu Ternak. 10(1): 1-6.
Hasdar M, dan Rahmawati Y D.2017. Variasi penggunaan larutan asam kuat dan
lama waktu perendaman terhadap kualitas nilai PH dan protein gelatin
kulit domba. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. 1(2): 88-96.
Hidayati, Nurul N, Yuliani, Kuswanti N. 2013. Pengaruh Ekstrak Daun Suren Dan
Daun Mahoni Terhadap Mortalitas Dan Aktivitas Makan Ulat Daun
(Plutella xylostella) Pada Tanaman Kubis. Lentera Bio. ISSN : 2252-3979.
Ismarani. Potensi senyawa tannin dalam menunjang produksi ramah lingkungan. J
Agribisnis;2012:3(2) : 46-54.
Loomis TA. 1978. Toksikologi Dasar. Edisi ketiga. Semarang (ID): IKIP Semarang
Press.
Nuryati. 2017. Bahan Ajar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (RMIK). Jakarta
(ID) : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Patel S, Goyal A. 2014. Applications of natural polymer gum arabic: a review.
International Journal of Food Properties. 18(5): 986-998.
Prasetyo AE, Widhi A, Widayat. 2012. Potensi Gliserol dalam pembuatan
turunan gliserol melalui proses esterifikasi. JIL. 10(1):26-31.
Priyanto. 2009. Toksikologi Mekanisme, Terapi Antidotum, dan Penilaian resiko.
Depok (ID) : Lembaga studi dan konsultas farmakologi Indonesia
(LESKONFI)
Putri AH, Hasibuan NH, dan Hawari FY. 2019. Preparasi asam sulfat skala
industri di indonesia. https://doi.org/10.31227/osf.io/2fcus
Qadeer, Rehan. 1998. A study of the adsorption of phenol by activated carbon from
aqueous solutions. Turkish journal of chemistry, 26(3).
Sandra YS. 2011. Hubungan tingkat konsentrasi sulfur dioksida (SO 2), total
suspended particle (TSP) dan lingkungan fisik dengan jumlah kejadian
infeksi saluran pernapasan (ISPA) pada penduduk di kotamadya Jakarta
Timur tahun 2008-2009 .[skripsi]. Depok (ID) : Universitas Indonesia
Saraswati I. 2018. Panduan Praktikum Kimia. Yogyakarta(ID): Deepublish.
Sax NI et al. 1957. Dangerous Properties of Indrustrial Materials. NewYork (US):
Reinhold pub. Co
Sonny JRK. 2013. Histologi kulit. Jurnal Biomedik (JBM). 5 (3) S12-20.
Sumardjo D. 2006. Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran. Jakarta(ID): EGC.
Tasmin N, Erwin dan Kusuma IW. 2014. Isolasi, identifikasi dan uji toksisitas
senyawa flavonoid fraksi kloroform dari daun terap (Artocarpus
oforatissimus blanco). Jurnal Kimia Mulawarman. 12(1): 45-54.
Triatmojo S. 2012. Teknologi Pengolahan Kulit Sapi. Yogyakarta (ID): PT Citra
Aji Praman.

Anda mungkin juga menyukai