Anda di halaman 1dari 12

MYIASIS

Bellinda Dwi Priba, S.Ked


Bagian / Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin
Palembang

PENDAHULUAN
Myiasis merupakan peyakit yang disebabkan infestasi larva lalat dari ordo Diptera pada
manusia atau vertebrae hidup. Larva tersebut memakan jaringan mati atau hidup serta cairan
tubuh atau makanan yang ditelan hospesnya.1 Terminologi myiasis berasal dari bahasa Yunani
yaitu myia () yang berarti lalat. Myiasis pertama kali diperkenalkan Hope pada tahun
1840. Myiasis dapat dikategorikan secara parasitologi maupun klinis. Patton membagi
myiasis secara parasitologi menjadi tiga yaitu obligatory, facultative, dan accidental. Secara
klinis klasifikasi dibagi berdasarkan area tubuh yang terinfestasi. Klasifikasi tersebut meliputi
cutaneous, enteric, ophthalmic, nasopharyngeal, auricular, oral, dan urogenital. Cutaneous
myiasis

merupakan

myiasis

yang

paling

banyak

ditemukan.

Cutaneous

myiasis

dikelompokkan lagi menjadi wound myiasis, furuncular myiasis, dan creeping dermal myiasis
(migratorik myiasis).2
Myiasis endemik di Afrika dan Amerika yang beriklim tropis maupun subtropis. Lalat
yang menyebabkan cutaneous myiasis lebih menyukai lingkungan yang hangat dan lembab
sehingga kehidupan hanya terbatas saat musim panas di daerah beriklim sedang dan hidup
sepanjang tahun di daerah berikim tropis.3 Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang
dapat mendukung terjadinya myiasis. Sulawesi, Sumba Timur, Lombok, Sumbawa, Papua,
dan Jawa telah dilaporkan sebagai daerah endemik myiasis di Indonesia.4 Infeksi pada myiasis
berlangsung singkat dan dapat sembuh dengan sendirinya. Sebagian besar kasus tidak terlalu
berat dan dapat dirawat sendiri di rumah menggunakan metode oklusi tradisional. Kondisi ini
membuat prevalensi maupun insidensi myiasis sulit ditentukan.
Referat ini akan membahas tentang etiologi, klasifikasi, patogenesis, manifestasi klinis,
diagnosis, preventif, dan penatalaksanaan myiasis yang bertujuan untuk menambah khasanah
pengetahuan tentang myiasis.
ETIOLOGI
Ordo Diptera (lalat sejati) memiliki satu pasang sayap fungsional dengan sayap
belakang yang kecil. Ordo ini terbagi menjadi dua subordo, yaitu Nematocera dan
Brachycera. Nematocera terdiri atas famili lalat penghisap darah yang berperan dalam
1

berbagai penyakit virus, protozoa, dan cacing. Subordo Brachycera terdiri atas berberapa
infraordo. Infraordo Muscomorpha mengandung semua spesies lalat penyebab myasis
terutama dari famili Calliphoridae (bowfly) dan Muscidae (housefly).5
Pengetahuan tentang tipe lalat penyebab myasis penting karena patofisiologi infeksi
pada manusia berbeda tergantung tipe lalat. Furuncular myasis paling sering disebabkan oleh
Dermatobia hominis (human botfly) dan Cordylobia anthropophagi (tumbu fly). Dermatobia
hominis dewasa memiliki kepala kuning, dada biru, perut biru metalik, dan berukuran 12-15
mm (Gambar 1). Dermatobia hominis ditemukan di Meksiko, Argentina, dan Chile dimana
kawasan tersebut memiliki kelembaban yang relatif tinggi. Cordylobia anthropophagi (tumbu
fly) merupakan lalat penyebab plaque myiasis. Cordylobia anthropophagi (tumbu fly) dewasa
bewarna kuning kecoklatan, memiliki bintik-bintik coklat kehitaman di perut, dua garis hitam
membujur di dada, dan berukuran sekitar 6-12 mm1,2,5 (Gambar 2).

Gambar 1. Dermatobia hominis2

Gambar 2. Cordylobia anthropophagi2

Migratorik myiasis paling sering disebabkan oleh Hypoderma bovis atau Gasterophilus
intestinalis. Gasterophilus intestinalis sekarang sudah menyebar hampir ke semua bagian di
dunia. Gasterophilus intestinalis dewasa berwarna kuning kecoklatan, berukuran 12-17 mm,
dan menyerupai lebah madu (Gambar 3). Hypoderma bovis dewasa berukuran 11-16 mm
menyerupai lebah, berwarna kuning hingga putih, dan berambut hitam (Gambar 4).
Hypoderma bovis dewasa muncul selama musim panas.1,2
Wound myasis umumnya disebabkan oleh Cochliomyia hominivorax atau Chrysomyia
bezziana. Cochliomyia hominivorax berukuran 8-10 mm, berwarna hijau metalik hingga hijau
kebiruan, dan memiliki tiga garis memanjang yang berwarna gelap di bagian dada (Gambar
5). Kepala lalat Cochliomyia hominivorax berwarna jingga hingga merah dan matanya
berwarna merah tua. Lalat ini endemik di Amerika Tengah dan America Selatan. Cochliomyia
hominivorax merupakan parasit hewan domestik dan juga menginfestasi luka manusia.
2

Chrysomyia bezziana dewasa berukuran 8-12 mm, berkepala hitam, wajah jingga, dan hijau
sampai ungu kebiruan pada dada dan perut2 (Gambar 6).

Gambar 3. Gasterophilus intestinalis2

Gambar 6. Chrysomya bezziana2

Gambar 4. Hypoderma bovis2

Gambar 5. Cochliomyia hominivorax2

KLASIFIKASI
Myiasis dapat dikategorikan menjadi dua yaitu secara anatomi (klinis) dan ekologi
(parasitologi). Klasifikasi anatomi berguna untuk diagnosis praktis dan mengklasifikasikan
infestasi berdasarkan lokasi lesi pada host. Klasifikasi berdasarkan derajat parasitisme juga
digunakan sejak ditemukan bahwa satu spesies dapat menyerang lebih dari satu lokasi
anatomi dan sebaliknya dalam lokasi anatomi yang sama dapat terinfestasi spesies yang
berbeda.6
Klasifikasi anatomi pertama kali diusulkan Bishopp kemudian dimodifikasi James dan
Zumpt. Setiap penemu memiliki istilah yang berbeda namun memiliki arti yang sama dalam
mengklasifikasikan myiasis. Myiasis secara anatomi dapat dibagi menjadi cutaneous, enteric,
ophthalmic, nasopharyngeal, auricular, oral, dan urogenital myiasis. Cuntaneus myiasis
paling banyak ditemukan dan terbagi lagi menjadi furuncular myiasis, migratory myiasis, dan
wound myiasis.2,6
3

Myiasis secara ekologi dibagi menjadi tiga yaitu, obligatory, facultative, dan accidental
myiasis. Obligatory myiasis berarti larva lalat tidak dapat hidup bebas dan hanya dapat hidup
pada jaringan tubuh manusia atau bintang. Telur diletakkan pada kulit, luka, atau rambut
hospes, contohnya lalat Gasterophilidae dan beberapa spesies dari famili Calliphoridae.
Facultative myiasis berarti larva selain hidup pada daging busuk atau sayuran busuk, dapat
hidup juga pada jaringan tubuh manusia, misalnya lalat W. Magnifica. Sedangkan accidental
myiasis terjadi jika telur tidak yang mengkontaminasi makanan dan minuman tidak sengaja
tertelan oleh manusia dan di usus menetas menjadi larva.2,6,7
PATOGENESIS
Setiap spesies penyebab myiasis memiliki siklus hidup yang berbeda-beda. Siklus hidup
inilah yang akan menentukan patogenesis dari setiap bentuk myiasis. Berikut akan dijelaskan
patogenesis dari masing-masing jenis myiasis.
Furuncular myiasis
Siklus hidup Dermatobia hominis kompleks. Dermatobia hominis betina langsung
bertelur di dedaunan atau menempelkan telurnya pada nyamuk. Telur ditempelkan oleh host
melalui kontak langsung dengan dedaunan atau ketika nyamuk menggigit host. Karakteristik
ini disebut hitch-hiking atau phoresis. Dermatobia hominis jarang terlihat manusia karena
waktu hidupnya yang singkat yaitu 4-8 hari.2
Panas dari tubuh host setelah kontak dengan kulit menyebabkan telur menetas. Larva
instar pertama masuk melalui kulit yang sudah mengalami perforasi lalu berkembang menjadi
instar kedua atau ketiga dalam 5-10 minggu (Gambar 7). Instar ketiga berukuran 18-24 cm.
Larva instar ketiga yang sudah siap menjadi kepompong akan menuju ke permukaan kulit dan
jatuh ke tanah untuk menjadi pupa. Pupa akan berkembang menjadi dewasa selama 20-30 hari
dan siklus hidup lalat terulang kembali2 (Gambar 8).

Gambar 7. A. Instar kedua Dermatobia hominis. B. Instar ketiga Dermatobia hominis2

Gambar 8. Siklus hidup Dermatobia hominis3

Creeping dermal myiasis (myiasis migratorik)


Manusia dapat terinfestasi melalui kontak langsung dengan telur Gasterophilus
intestinalis yang menempel di mantel kuda atau langsung meletakkan telurnya di kulit
manusia. Larva instar pertama (Gambar 9) membuat lubang hingga ke lapisan bawah
epidermis dan mencari tempat untuk berubah menjadi instar kedua. Lesi creeping dermal
myiasis dapat bertambah 1-30 cm per hari. Kasus creeping dermal myiasis pada manusia
dapat terjadi sepanjang tahun.2

Gambar 9. Larva instar pertama Gasterophilus intestinalis2

Pada manusia, creeping dermal myiasis yang disebabkan Hypoderma spp. banyak
terjadi pada peternak sapi. Telur Hypoderma spp. akan menempel pada rambut manusia dan
larva masuk melalui kulit atau mukosa bukal. Larva bermigrasi 2-30 cm dalam 24 jam di
jaringan subkutan. Larva berikutnya mengalami periode pertumbahan yang cepat menjadi
instar ketiga (Gambar 10), kemudian keluar melalui kulit ekstremitas proksimal, kulit kepala,
5

wajah, atau leher dan jatuh ke tanah untuk menjadi kepompong. Perlu diketahui bahwa
kebanyakan larva mati dalam jaringan manusia.2

Gambar 10. Larva instar ketiga Hypoderma bovis2

Wound Myiasis
Faktor predisposisi wound myiasis antara lain adanya luka terbuka, kondisi sosial
ekonomi yang rendah, higienitas yang buruk, usia lanjut, anak-anak, retardasi mental,
gangguan jiwa, pecandu alkohol, penderita diabetes, oklusi pembuluh darah, dan korban
bencana alam. Cochliomyia hominivorax betina bertelur di tepi luka atau membran mukosa
dan telur menetas setelah masa inkubasi yang kurang dari 1 hari. Larva instar pertama
mendapat nutrisi dari jaringan tubuh manusia selama 4-8 hari, kemudian menjadi instar kedua
dan ketiga yang menyebabkan kerusakan jaringan besar. Sebuah luka dapat berisi hingga 3000
larva. Larva instar ketiga yang panjangnya 6-17 mm (Gambar 11) jatuh ke tanah untuk
menjadi kepompong. Dalam kondisi optimal, siklus hidup Cochliomyia hominivorax
berlangsung selama 24 hari.2

Gambar 11. Larva Cochliomyia hominivorax2

Gambar 12. Larva Chrysomyia bezziana2

Siklus hidup dan aktivitas biologis Chrysomyia bezziana mirip dengan Cochliomyia
hominivorax. Larva instar ketiga berukuran 14-18 mm (Gambar 12) jatuh ke tanah dan
menjadi kepompong dalam 6-7 hari. Dalam kondisi optimal, seluruh siklus hidup berlangsung
selama 20 hari.2
MANIFESTASI KLINIS MYIASIS
Kebiasaan lalat dan larva yang berbeda-beda menentukan variasi dalam manifestasi
klinis dari myiasis. Wound myiasis (Gambar 13) telah menjadi komplikasi serius dari luka
terutama di daerah endemik. Wound myiasis sering terjadi di sekitar telinga, hidung, dan mata.
Infestasi berat wound myiasis dapat mengakibatkan erosi tulang rawan atau tulang tengkorak
dan kematian. Ukuran lesi wound myiasis dapat mencapai 4-5 cm dan menghasilkan bau yang
khas. Bau khas dari luka yang terinfestasi akan mengundang lalat untuk meletakkan telur
tambahan di luka tersebut. Sebuah luka dapat berisi 3000 larva. Larva Cochliomyia
hominivorax sulit diangkat karena duri yang ada di tubuh larva menancap dalam di jaringan.2
Lesi awal furuncular myiasis berupa papul eritem yang berkembang menjadi furunkular
dalam beberapa hari. Setiap lesi memiliki pori sentral yang memungkinkan udara masuk
untuk respirasi larva. Rasa gatal, sensasi seperti ada yang bergerak, nyeri seperti ditusuk, dan
munculnya sekret serosanguinus dari pori sentral akan timbul selama fase larva. Ujung
posterior larva dilengkapi dengan sekelompok spirakel, biasanya terlihat dalam pori sentral
(Gambar 14). Reaksi inflamasi di sekitar lesi dapat disertai dengan limfangitis dan
limfadenopati regional. Setelah larva dikeluarkan, lesi akan cepat hilang.8

Gambar 13. Wound myiasis5

Gambar 14. Furuncular myiasis8

Lesi pada creeping dermal myiasis menyerupai cutaneous larva migrans. Lesi tersebut
berliku-liku seperti garis merah dengan vesikel terminal yang menandai larva telah bermigrasi
melalui kulit. Lesi awal pada creeping dermal myiasis berbentuk papula seperti furuncular
7

myiasis. Kulit akan menjadi sedikit eritematosa, lembut, berukuran 1-5 cm, dan menonjol
selama terjadi migrasi. Lesi yang berbentuk nodul umumnya tampak di dada dan leher dan
terjadi saat musim dingin. Sensasi seperti berduri, rasa terbakar, dan gatal juga banyak
ditemui pada myiasis jenis ini. Eritema berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari dan
akan berubah menjadi patch kekuningan sebagai tanda bahwa larva telah bermigrasi ke lokasi
lain. Myiasis jenis ini umumnya dapat sembuh sendiri, tetapi meninggalkan komplikasi
seperti asites, pleuroperikardium, hemoperikardium, demam tinggi, mialgia, arthralgia, edema
skrotum, meningitis, invasi intraserebral, kelumpuhan ekstremitas sementara, dan
hipereosinofilia.2,8
DIAGNOSIS
Myiasis seringkali didiagnosis sebagai infeksi bakteri. Kesalahan diagnosis ini
menyebabkan pasien tidak mendapatkan pengobatan yang tepat. Diagnosis yang akurat dari
myiasis dapat ditegakkan dengan menggali riwayat penyakit pasien seperti riwayat perjalanan
ke daerah endemis atau daerah pedesaan, gigitan nyamuk, dan tingkat kecurigaan klinis.9
Ciri utama furuncular myiasis adalah terdapat satu atau lebih lesi berbentuk lepuh yang
belum sembuh pada kulit disertai eritema berukuran 1 mm hingga 2 cm; keluarnya sekret
serosa, serosanguinus, atau seropurulen dari pori sentral; adanya gejala lokal seperti nyeri,
nyeri tekan, pruritus, atau gerakan dalam lesi; dan terdapat organisme seperti cacing kecil,
putih, dan menonjol dari lesi saat ditekan. Lensa pembesar dapat digunakan untuk mendeteksi
pori sentral dan memeriksa larva di dalamnya. Jika lesi direndam dalam air atau air liur,
gelembung udara yang keluar dari pori sentral. Sengatan tajam di lokasi lesi akan terasa
beberapa hari atau pekan sebelum gejala timbul dan ini disebabkan oleh penetrasi larva ke
dalam kulit. Diagnosis definitif dicapai setelah ekstraksi dan identifikasi larva lalat.2,9
Creeping myiasis lebih sulit didiagnosis dibandingkan furuncular myiasis karena larva
lalat tidak terlihat jika belum terbentuk lubang untuk respirasi. Creeping myiasis yang
disebabkan oleh Gasterophilus spp. superfisial, jelas, dan terdapat terowongan serpentine
(creeping eruption). Larva Hypoderma spp. terdapat lebih dalam (subkutan), lebih nyeri
disertai pembengkakan kulit yang sementara. Larva Cuterebra spp. menginvasi hidung atau
mulut untuk mencapai trakea kemudian masuk ke dalam membran mukosa dan melakukan
migrasi ke kulit. Pada beberapa kasus, larva dapat dikelurkan melalui batuk karena menetap
dalam trakea. Pemakaian minyak mesin untuk membuat kulit lebih transparan dapat
mendeteksi larva Gasterophilus spp.9
8

Diagnosis wound myiasis dapat ditegakkan jika terdapat belatung pada luka yang sudah
ada sebelumnya. Kecurigaan adanya infeksi larva harus timbul jika terdapat luka dengan pus
yang berbau busuk disertai sensasi pergerakan dan nyeri, serta adanya faktor risiko dari
wound myiasis.5,9
DIAGNOSIS BANDING
Furuncular myiasis yang disebabkan Dermatobia hominis sering didiagnosis sebagai
gigitan arthropoda, pioderma, atau keduanya. Furuncular myiasis juga sering didiagnosis
banding dengan ruptur kista epidermoid, abses, furunkulosis, reaksi benda asing, selulitis,
onchocerciasis, tungiasis, reaksi arthropoda, leishmaniasis, dan limfadenopati. Tunga
penetrans, kutu yang menyerang kulit, menyebabkan nodul furunkular yang dapat juga
menyerupai furuncular myiasis, tetapi tungiasis umumnya terdapat pada jari-jari kaki dan
telapak kaki. Infestasi Cochliomyia anthropophaga yang menyebabkan furuncular myiasis
terkadang

didiagnosis

sebagai

pioderma,

impetigo,

furunkulosis

staphylococcal,

Leishmaniasis, drakunkuliasis, penyakit faktisial, dan herpes zoster.2,3


Ada tiga gejala klinis yang membedakan myiasis migratorik dan cutaneus larva migran.
Pertama, pemanjangan lesi myiasis lebih lama dan tidak terlalu menyebar. Kedua, larva lalat
dapat bertahan hidup lebih lama dari cacing. Ketiga, larva lalat umumnya lebih besar dari
cacing dan pada Gasterophilus spp. dapat dilihat dengan meneteskan mineral oil dan
menggunakan kaca pembesar.2
PENATALAKSANAAN
Pengeluaran larva furuncular myasis dapat dilakukan dengan menekan tepi luka dengan
jari-jari. Debridement dengan anestesi lokal merupakan tindakan kuratif, meskipun reaksi
benda asing dapat terjadi jika bagian dari larva tetap ada. Oklusi dengan petroleum jelly,
parafin cair, lilin lebah, cat kuku atau minyak ditempatkan di atas pori sentral. Penggunaan
lemak babi atau potongan bacon pada furunkula akan membuat larva keluar dari pori sentral
dalam beberapa jam. Pengobatan tradisional di Belize juga menggunakan teknik oklusi.
Tembakau yang lembab digulung menjadi 3-5 mm kemudian diletakkan pada lesi hingga
menutupi pori sentral pada furuncular myiasis. Oklusi akan menyebabkan larva muncul ke
permukaan untuk mencari udara dan dengan bantuan pinset larva dapat ditangkap dan
dibuang. Alternatif lainnya menggunakan semprotan etil klorida, nitrogen cair, kloroform
dalam minyak sayur atau insektisida yang digunakan tunggal atau kombinasi. Lidocaine dapat

disuntikkan ke dasar rongga tempat larva bermukim sehingga larva akan muncul ke
permukaan. Antiseptik dan antibiotik diberikan jika terdapat infeksi sekunder.3,9,10
Prinsip penatalaksanaan myasis adalah menciptakan kondisi hipoksia lokal untuk
memaksa pengeluaran larva, mengaplikasikan bahan-bahan yang toksik terhadap larva dan
telur, serta mengeluarkan semua larva secara mekanik atau bedah. Tujuan terapi adalah
pembersihan luka dari larva secara total dan mengontrol infeksi sekunder. Semua larva yang
tampak harus segera dikeluarkan, diikuti dengan debridement jaringan nekrotik yang tersisa
dan irigasi luka yang bergaung. Irigasi dapat dilakukan menggunakan cairan saline, hidrogen
peroksida, larutan antimikroba, atau kloroform 515% dalam minyak. Eksisi secara bedah
diperlukan jika larva tidak dapat dikeluarkan secara mekanik atau tertanam pada posisi yang
sulit. Ekstraksi larva harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah ruptur yang dapat
memicu infeksi bakteri sekunder atau reaksi alergi.5
Kondisi hipoksia lokal dapat memicu larva untuk keluar dari luka dengan penggunaan
bahan-bahan oklusif seperti kloroform, minyak zaitun, minyak paraffin, bacon, beeswax atau
petroleum jelly. Petroleum jelly diaplikasikan secara tebal di atas luka dan diganti setiap 3 jam
sampai semua larva keluar dari luka. Bahan toksik yang efektif untuk myasis adalah
ivermectin 1% dalam larutan propylene glycol (maksimal 400 g/kgBB) yang diaplikasikan
pada luka selama 2 jam dan kemudian dibilas dengan salin. Penggunaan obat oral tidak
direkomendasikan untuk myasis pada manusia. Antibiotik dapat diberikan jika terdapat infeksi
bakteri sekunder. Myiasis dapat menjadi tempat masuk Clostridium tetani dan harus
dipertimbangkan pemberian vaksinasi.3,5
PREVENTIF
Mayoritas infestasi larva dapat dihindari apabila dilakukan tindakan pencegahan yang
tepat. Menghindari diri dari faktor predisposisi myiasis merupakan langkah pencegahan paling
awal yang dapat dilakukan. Faktor predisposisi myiasis meliputi antara lain musim panas dan
lembab, kontak langsung dengan host yang terinfestasi, tidur di luar ruangan, higiene yang
buruk, dan melakukan perjalanan ke daerah endemik.
Serangan larva lalat dapat diminimalisir dengan menggunakan pakaian bersih dan dapat
melindungi dari serangga, menjaga anak-anak dengan pengawasan yang ketat di luar ruangan,
dan menggunakan pintu dan jendela yang ventilasinya memadai terutama jika tinggal di
daerah pedesaan atau di tempat populasi lalat sering bersarang. Risiko infestasi larva lalat
yang sering menyerang hewan ternak contohnya Hypoderma spp. dan Gasterophilus spp.,
dapat dikurangi dengan menghindari kontak dengan host yang terinfestasi. Serangan
10

Dermatobia hominis akan terjadi karena gigitan arthropoda (biasanya nyamuk) yang
membawa telur Dermatobia hominis. Pakaian pelindung, anti serangga, dan tirai tidur harus
digunakan oleh wisatawan di daerah Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Lalat
betina Cordylobia anthropophaga bertelur di pasir atau pakaian sehingga menghindar dari
paparan pasir yang lama, memastikan bahwa tidak ada pakaian yang tergantung di luar, dan
selalu menyetrika pakaian agar telur atau larva dapat terbunuh dapat membantu mengurangi
risiko myiasis di daerah endemik Cordylobia anthropophaga.9
Higienitas yang baik, pengobatan yang cepat, dan menutup luka adalah metode terbaik
untuk melawan lalat yang fakultatif ataupun obligat menginvasi luka, jaringan nekrotik, atau
rongga tubuh. Tunawisma, lansia, atau orang dengan keterbatasan adalah kelompok berisiko
dan harus mendapat perhatian khusus dalam perawatan luka, dan hygiene bukal. Habitat lalat
juga harus dikurangi dengan mengelola residu makanan dan kontainer sampah dengan benar.9
KESIMPULAN
Cutaneus myiasis ditemukan sepanjang tahun di daerah tropis dan di musim panas
pada daerah beriklim sedang. Kasus myiasis akan lebih sering dijumpai pada era globalisasi
saat ini karena manusia dapat dengan mudah melakukan perjalanan ke berbagai daerah
terutama daerah endemik myiasis. Anamnesis yang tepat mengenai riwayat perjalan penyakit
pasien dan faktor-faktor pemicu untuk terjadinya myiasis adalah kunci yang tepat dalam
mendiagnosis dan menatalaksana myiasis dengan tepat.

DAFTAR PUSTAKA
1. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of the Skin 11th edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
11

2. McGraw TA, Turiansky GW. Cutaneous myasis.


2008;58(6):90726.

J Am Acad Dermatol

3. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini R. Cutaneous myasis. In: Dermatology. Vol 1. 2 nd ed.
Mosby Elsevier; 2008:130001.
4. Wardhana AH. Chrysomya Bezziana; penyebab myiasis pada hewan dan manusia:
permasalahan dan penanggulangannya. Bogor: Balai Penelitian Veteriner Press. 2006.
5. Yolanda M, Winata SM. Wound Myiasis pada Anak. Cermin dunia kedokteran
2014;41(8):601-04.
6. Francesconi F, Lupi O. Myasis. Clin Microbiol Rev 2012;25(1):79105.
7. Natadisastra D, Agoes R. Parasitologi Kedokteran. FK Unpad: Bagian Parasitologi;
2009.
8. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Diseases caused by arthropods and other
noxious animals. In: Rooks Textbook of Dermatology. Vol 2. 8th ed. Malden, MA:
Blackwell Publishing; 2010:33.810.
9. Caissie R, Beaulieu F, Giroux M, Berthod F, Landry P. Cutaneus myasis: diagnosis,
treatment, and prevention. J Oral Maxillofac Surg 2008;66:50868.
10. Diaz JH. The epidemiology, diagnosis, management, and prevention of ectoparasitic
diseases in travelers. J Travel Med 2006;13(2):100-11.

12

Anda mungkin juga menyukai