Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS

SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 4 TAHUN DENGAN


OD KISTA DERMOID

DISUSUN OLEH:

Akhlis Mufid Auliya G99172028


Akmalia Fatimah G99172029
Fauziah Nur Sabrina G99181030
Gerry G99171018
Rahma Luthfa Annisa G99172137

PEMBIMBING :
dr. Retno Widiati, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Kista dermoid merupakan tumor jinak, umumnya solid berwarna putih


kekuningan atau merah jambu dan terletak pada limbus kuardan temporal (terutama
limbus inferotemporal) serta berada di sklera dan kornea. Kista ini apat berukuran
beberapa millimeter hingga melebihi satu sentimeter. Sering ditemukan hanya pada
salah satu mata, namun dapat juga terjadi pada kedua mata secara bersamaan (Finger
PT, 2018).
Dermoid merupakan choristoma kongenital (suatu pertumbuhan jaringan
normal yang berada di tempat yang tidak semestinya). Tersusun dari jaringan kutan
dan subkutan, dan sangat jarang untuk sebuah dermoid memiliki rambut dan struktur
kulit lainnya (Harley et al., 2005).
Epidemiologi secara global, tercatat angka insidensi kista dermoid limbal
bervariai dari 1 kasus per 10.000 populasi hinga 3 kasus per 10.000 populasi.
Berdasarkan letaknya, didapatkan 52% terletak di konjungtiva bulbar, 29% di limbus,
6% di kornea, 4% di karunkula, dan 2.5% berada di konjungtiva forniks dan
konjungtiva palpebra. Angka prevalensi berdasarkan jenis kelamin menunjukkan
bahwa laki-laki sama dengan perempuan (Sherman, 2018).
BAB II
STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS
Nama : An. DAM
Umur : 4 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Pulutan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah
Tanggal pemeriksaan : 9 Januari 2019
No. RM : 0144xx xx
Nama Ibu : Ny. S
Usia Ibu : 36 tahun

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Benjolan pada bola mata kanan

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan
ibu pasien. Pasien datang ke Rumah Sakit Dr. Moewardi dengan keluhan
terdapat benjolan pada bola mata kanan. Keluhan sudah dirasakan sejak lahir,
namun ibu pasien mengaku benjolan semakin membesar. Awalnya benjolan
hanya terdapat pada bagian putih mata, sekarang benjolan sudah menyentuh
bagian hitam mata. Benjolan berisi cairan berwarna putih agak kekuningan dan
tidak nyeri. Keluhan seperti mata mengganjal diakui. Keluhan lain seperti mata
merah, gatal, nrocos, blobok, pandangan kabur, silau, dan demam disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat rawat inap : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat operasi mata : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal

5. Riwayat Kehamilan Ibu


Pasien merupakan anak tunggal. Pasien lahir prematur 32 minggu dengan berat
badan lahir 2400 gram. Usia ibu saat hamil yaitu 32 tahun. Selama kehamilan
ibu pasien mengaku tidak ada riwayat sakit saat hamil dan melaksanakan
vaksin.

6. Riwayat Anak
Riwayat ASI : sampai 3 bulan
Riwayat susu formula : sampai sekarang
Riwayat perkembangan : Ibu pasien mengaku pasien terlambat berjalan
dan berbicara. Namun sekarang tumbuh
kembang sesuai dengan usia.
Riwayat Imunisasi : lengkap, sesuai usia
7. Simpulan Anamnesis

OD OS
Proses Pertumbuhan kista -
Lokasi Konjungtiva bulbi dan -
limbus kornea
Sebab Kelainan perkembangan -
struktur mata
Perjalanan Kronis -
Komplikasi Gangguan penglihatan -

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesan umum
Keadaan umum baik, compos mentis, gizi kesan cukup
2. Vital Sign
BB : 17 kg HR : 80 x/menit
TB : 100 cm Suhu : 37,0oC
TD : tidak dilakukan
RR : 22 x/menit

3. Pemeriksaan subyektif
OD OS
A. Visus Sentralis
1. Visus sentralis jauh Sulit dievaluasi Sulit dievaluasi
a. pinhole Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
c. refraksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Visus sentralis dekat Fiksasi cahaya (+) Fiksasi cahaya (+)
Fiksasi objek (+) Fiksasi objek (+)
B. Visus Perifer
1. Konfrontasi tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Proyeksi Cahaya Tidak dilakukan Tidak dilakukan
3. Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

4. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata OD OS
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. luka Tidak ada Tidak ada
c. parut Tidak ada Tidak ada
d. kelainan warna Tidak ada Tidak ada
e. kelainan bentuk Tidak ada Tidak ada
2. Supercilia
a. warna Hitam Hitam
b. tumbuhnya Normal Normal
c. kulit Sawo matang Sawo matang
d. gerakan Dalam batas normal Dalam batas normal
3. Pasangan bola mata
dalam orbita
a. heteroforia Tidak ada Tidak ada
b. strabismus Tidak ada Tidakada
c. pseudostrabismus Tidak ada Tidak ada
d. exophtalmus Tidak ada Tidak ada
e. enophtalmus Tidak ada Tidak ada
4. Ukuran bola mata
a. mikroftalmus Tidak ada Tidak ada
b. makroftalmus Tidak ada Tidak ada
c. ptisis bulbi Tidak ada Tidak ada
d. atrofi bulbi Tidak ada Tidak ada
5. Gerakan bola mata
a. temporal Tidak terhambat Tidak terhambat
b. temporal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
c. temporal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
d. nasal Tidak terhambat Tidak terhambat
e. nasal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
f. nasal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
g. nystagmus Tidak ada Tidak ada
6. Kelopakmata
a. pasangannya
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) blefaroptosis Tidak ada Tidak ada
4.) blefarospasme Tidak ada Tidak ada
b. gerakannya
1.) membuka Tidak tertinggal Tidak tertinggal
2.) menutup Tidak tertinggal Tidak tertinggal
c. rima
1.) lebar 10 mm 10 mm
2.) ankiloblefaron Tidak ada Tidak ada
3.) blefarofimosis Tidak ada Tidak ada
d. kulit
1.) tandaradang Tidak ada Tidak ada
2.) warna Sawo matang Sawo matang
3.) epiblepharon Tidak ada Tidak ada
4.) blepharochalasis Tidak ada Tidak ada
e. tepi kelopak mata
1.) enteropion Tidak ada Tidak ada
2.) ekteropion Tidak ada Tidak ada
3.) koloboma Tidak ada Tidak ada
4.) bulumata Dalam batas normal Dalam batas normal
7.sekitar glandula
lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
c. tulang margo tarsalis Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
8.Sekitar saccus
lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
9. Tekanan intraocular
a. palpasi Normal per palpasi Normal per palpasi
b. tonometri schiotz Tidak dilakukan Tidak di lakukan
c. Noncontact tonometer Sulit dievaluasi Sulit dievaluasi
10. Konjungtiva
a. konjungtiva
palpebra superior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) secret Tidak ada Tidak ada
4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
b. konjungtiva
palpebra inferior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) secret Tidak ada Tidak ada
4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
c. konjungtiva fornix
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) secret Tidak ada Tidak ada
4.) benjolan Tidak ada Tidak ada
d. konjungtiva bulbi
1.) massa Terdapat massa ukuran Tidak ada
0,5x0,3x0,1, putih
kekuningan, batas tegas,
lunak, tidak nyeri
2.) edema Tidak ada Tidak ada
3.) hiperemis Tidak ada Tidak ada
4.) secret Tidak ada Tidak ada
5.) injeksi Tidak ada Tidak ada
konjungtiva
6.) injeksi siliar Tidak ada Tidak ada
e. caruncula dan plika
semilunaris
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada
3.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
11. Sclera
a. warna Putih Putih
b. tanda radang Tidak ada Tidak ada
c. penonjolan Tidak ada Tidak ada
12. Kornea
a. ukuran 10 mm 10 mm
b. limbus Terdapat massa ukuran Jernih
0,5x0,3x0,1, putih
kekuningan, batas tegas,
lunak, tidak nyeri
c. permukaan Rata, mengkilap Rata, mengkilap
d. sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
e. keratoskop (placido) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
f. fluorecsintes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
g. arcus senilis Tidak ada Tidak ada
13. Kamera okuli
anterior
a. kejernihan Jernih Jernih
b. kedalaman Dalam Dalam
14. Iris
a. warna Cokelat Cokelat
b. bentuk Tampak lempengan Tampak lempengan
c. sinekia anterior Tidak tampak Tidak tampak
d. sinekia posterior Tidak tampak Tidak tampak
15. Pupil
a. ukuran 3 mm 3 mm
b. bentuk Bulat Bulat
c. letak Sentral Sentral
d. reaksi cahaya Positif Positif
langsung
e. tepi pupil Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
16. Lensa
a. ada/tidak Ada Ada
b. kejernihan Jernih Sulit dievaluasi
c. letak Sentral Sulit dievaluasi
e. shadow test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
17. Corpus vitreum
5. Kejernihan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
6. Reflek fundus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

D. KESIMPULAN PEMERIKSAAN
OD OS
A. Visus sentralis jauh Sulit dievaluasi Sulit dievaluasi
B. Visus sentralis Fiksasi cahaya (+) Fiksasi cahaya (+)
dekat Fiksasi objek (+) Fiksasi objek (+)
C. Visus Perifer
Konfrontasi tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
D. Sekitar mata Dalam batas normal Dalam batas normal
E. Supercilium Dalam batas normal Dalam batas normal
F. Pasangan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
dalam orbita
G. Ukuran bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
H. Gerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
I. Kelopak mata Dalam batas normal Dalam batas normal
J. Sekitar saccus Dalam batas normal Dalam batas normal
lakrimalis
K. Sekitar glandula Dalam batas normal Dalam batas normal
lakrimalis
L. Tekanan Dalam batas normal Dalam batas normal
intraokular
M. Konjungtiva Dalam batas normal Dalam batas normal
palpebra
N. Konjungtiva bulbi Terdapat massa ukuran Dalam batas normal
0,5x0,3x0,1, putih
kekuningan, batas tegas,
lunak, tidak nyeri
O. Konjungtiva fornix Dalam batas normal Dalam batas normal
P. Sklera Dalam batas normal Dalam batas normal
Q. Kornea Terdapat massa ukuran Dalam batas normal
0,5x0,3x0,1, putih
kekuningan, batas tegas,
lunak, tidak nyeri
R. Camera okuli Dalam batas normal Dalam batas normal
anterior
S. Iris Bulat, warna coklat Bulat, warna coklat
T. Pupil Diameter 3 mm, bulat, Diameter 3 mm, bulat,
sentral sentral
U. Lensa Jernih Jernih

V. Corpus vitreum Tidak dilakukan Tidak dilakukan


E. GAMBAR KLINIS

Foto tanpa senter

Foto dengan senter


F. DIAGNOSIS BANDING
 OD Kista Dermoid
 OD Kista Epidermoid
 OD Granuloma
 OD Staphyloma

G. DIAGNOSIS
 OD Kista Dermoid

H. TERAPI
Non Medikamentosa
 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, rencana pengobatan,
serta komplikasi yang dapat terjadi
 Menjelaskan pentingnya kontrol untuk evaluasi pertumbuhan kista
Medikamentosa
 Cendo lyteers 15 ml 4xsehari OD

I. PLANNING
 Kontrol tiap satu bulan

J. PROGNOSIS
OD OS
1. Ad vitam Bonam Bonam
2. Ad fungsionam Bonam Bonam
3. Ad sanam Bonam Bonam
4. Ad kosmetikum Dubia ad bonam Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Histologi


1. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan lapisan tipis translusen mukosa dengan
pembuluh darah, menutupi bagian bola mata yang membentuk permukaan
mata, dan bagian samping kelopak mata yang berhubungan dengan
permukaan mata (Paulsen F dan Waschke J, 2012). Konjungtiva tersusun dari
epitel skuamus kompleks non kornifikasi, bercampur dengan sel goblet
(mukus), sel Langerhans, dan kadang melanosit dendritik (Yanoff M dan
Sassani JW, 2015).
Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian yaitu konjungtiva bulbi,
konjungtiva palpebra, dan konjungtiva forniks. Konjungtiva bulbi menutupi
bagian anterior putih mata (sklera). Konjungtiva bulbi berhenti di perbatasan
antara sklera dan kornea. Konjungtiva bulbi tidak menutupi kornea.
Konjungtiva palpebra atau disebut juga konjungtiva tarsal menutupi
permukaan bagian dalam masing-masing kelopak mata atas dan bawah
(Heiting G, 2017). Kedua bagian konjungtival menyatu pada konjungtiva
forniks atas dan bawah. Konjungtiva fornix bawah akan menjadi kantong
konjungtiva (Paulsen F dan Waschke J, 2012).
Konjungtiva memiliki fungsi melubrikasi dan menjaga kelembaban
mata bagian depan, melubrikasi dan menjaga kelembaban permukaan kelopak
mata sehingga kelopak mata dapat membuka dan menutup tanpa gesekan atau
menyebabkan iritasi, serta melindungi mata dari debu, kotoran dan
mikroorganisme penyebab infeksi (Heiting G, 2017). Konjungtiva juga
memiliki banyak pembuluh darah kecil yang menyediakan nutrisi untuk mata
dan kelopak mata (Heiting G, 2017).
Gambar 1. Konjungtiva (Heiting G, 2017)

2. Kornea
Kornea merupakan jaringan yang transparan dan avaskuler yang
membentuk permukaan anterior bola mata dengan ukuran diameter horizontal
11-12 mm dan diameter vertikal 10-11 mm. Bagian sentral kornea memiliki
ketebalan 0,5 mm, sedangkan bagian perifer memiliki ketebalan 1 mm. Sifat
kornea yang avaskuler membuat kornea mendapatkan nutrisinya dari jaringan
di sekitarnya yaitu aquous humor melalui proses difusi, lapisan air mata, dan
pembuluh darah limbus. Sumber nutrisi utama kornea adalah glukosa dan
oksigen. Kornea juga merupakan jaringan yang memiliki serabut saraf
sensorik terbanyak (300 - 400 serabut saraf), yang berasal dari nervus
trigeminus (AAO, 2011).
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan media yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgenses. Deturgenses, atau keadaan
dehidrasi relative jaringan kornea, dipertahankan oleh suatu pompa
bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel (Ilyas,
2012).
Secara histologi, struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel,
membran Bowman, stroma, membran Descemet dan endotel (Kanski, 2007).
Epitel kornea memiliki ketebalan 50-60 µm atau 5% dari total ketebalan
kornea, dan terdiri dari tiga lapisan yang berbeda yaitu lapisan sel superfisial,
lapisan sel sayap,dan lapisan sel basal. Membran Bowman merupakan lapisan
aseluler yang dibentuk oleh serat kolagen dan merupakan modifikasi dari
bagian anterior stroma dengan ketebalan 8-14 µm. Lapisan ini tidak dapat
mengalami regenerasi dan akan digantikan oleh jaringan parut bila terjadi
trauma.
Stroma kornea menyusun 90% dari seluruh ketebalan kornea.Stroma
kornea tersusun atas fibrilkolagen dengan ukuran yang seragam, meluas di
seluruh permukaan kornea dan membentuk kelompok yang disebut lamella,
serta tersusun atas sel-sel kornea (keratosit) dan matriksekstraseluler yang
terdiri dari glikoprotein dan glikosaminoglikan. Membran Descemet
merupakan lamina basalis sel-sel endotel kornea. Membran ini terutama
tersusun dari kolagen tipe IV dan memiliki ketebalan 10-12 µm. Endotel
kornea merupakan lapisan paling dalam dari kornea. Lapisan ini terdiri atas
satu lapis sel berbentuk heksagonal yang sel-selnya tidak dapat membelah.
Endotel kornea mempunyai pengaruh yang besar dalam mempertahankan
transparansi kornea (AAO, 2011).
Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan
cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada
epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya
sifat transparan. Sebaliknya, cedera pada epitel hanya menyebabkan edema
lokal sesaat stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel epitel telah
beregenerasi. (Ilyas, 2012).
Gambar 2. Histologi Kornea (Kanski, 2007)

B. Kista Dermoid
1. Definisi
Kista dermoid adalah suatu choriostoma konginental dalam orbita.
Choriostoma adalah tumor jinak yang secara histologi merupakan kumpulan
sel normal, namun letaknya abnormal. Kista dermoid tersusun atas epitel
keratinisasi dan jaringan adneksa seperti folikel rambut, kelenjar keringat, dan
kelenjar sebasea. Pertumbuhannya kista dermoid perlahan. Kista dermoid
termasuk dalam salah satu tumor orbital yang paling sering terjadi pada anak
(46% dari seluruh neoplasma orbita) (Sherman, 2018).
Ketika dua garis sutura menutup pada tulang tengkorak selama
perkembangan embrional, elemen dermal dan epidermal terjepit dan
membentuk kista. Kista ini ditemukan berdekatan dengan garis sutura.
Kurang lebih 50% dermoid yang terjadi di area kepala ditemukan berdekatan
pada orbita, baik di medial ataupun lateral (AAO, 2018).
Kista dermoid orbital dapat mengacaukan struktur dari orbita,
mengakibatkan proptosis, abnormalitas gerakan, dan penekanan pada nervus
optikus. Penekanan pada saraf mata dapat menyebabkan neuropati optikum,
atau penekanan otot ekstraokular, menyebabkan defek pada gerak bola mata ,
menyebabkan diplopia. Apabila kista tersebut ruptur, dapat menyebabkan
reaksi inflamasi yang masif dan dapat terjadi selulitis orbita. Biasanya pasien
datang ke fasilitas kesehatan dengan keluhan berkurangnya ketajaman
penglihatan, perasaan mengganjal, adanya kelaianan kosmetik, dan
pembesaran massa dalam mata (Harley, 2005).
2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, angka kejadian tumor dermoid adalah 2% dari
seluruh pasien tumor orbita yang datang ke Ocular Oncology Center.
Sementara dalam penelitiannya, Shields et al pada tahun 2004 melaporkan
bahwa kista dermoid ditemukan dalam 24% dari 645 orbital biopsi pada
semua kelompok umur dan 46% dari 250 biopsi pada pasien usia di bawah 18
tahun.
Kista dermoid paling sering ditemukan pada anak-anak, meskipun tidak
menutup kemungkinan dapat terjadi pada seluruh kelompok usia. Angka
insidensi antara laki-laki dan perempuan relatif sama. Kasus kista dermoid
dapat mengakibatkan kelainan kosmetik, menyebabkan hilangnya
penglihatan, diplopia, hingga inflamasi orbita. Walau demikian, kista dermoid
hampir tidak pernah menyebabkan kematian (AAO, 2018).
3. Etiologi
Kebanyakan kasus kista dermoid terjadi secara sporadik dan tidak
terkait dengan paparan zat-zat toksik maupun bahan iritan. Beberapa instansi
melaporkan bahwa epibulbar dermoid berhubungan dengan agen teratogenik
yang dikonsumsi ibu pada trimester pertama kehamilan (Sherman, 2018).
Beberapa teori yang menjelaskan perkembangan epibulbar demoid:
a. Kesalahan pada perkembangan awal menyebabkan transformasi
metaplastik dari mesoblast antara rim of optic nerve dan ektoderm
permukaan
b. Sekuestrasi dari sel pluripotent selama perkembangan embrional dari
struktur okuler.
Secara umum, epibulbar dermoid tidak diturunkan kecuali beberapa
keadaan. Misalnya pada Goldenhar syndrome, terdapat pola multifaktorial
dari penurunan secara genetik limbal dermoid yang menyertai beberapa
kelaianan sistemik (AIMU, 2017).
4. Patofisiologi
Kista dermoid adalah choristoma kongenital (suatu pertumbuhan
jaringan normal pada daerah yang tidak sesuai pada tempatnya) hasil dari
migrasi jaringan normal atau sisa jaringan normal pada lokasi abnormal
selama embriogenesis. Terjadi sekuestrasi sel pluripoten selama
perkembangan embrio pada struktur mata. Teori lain mengatakan bahwa kista
dermoid pada mata terjadi karena adanya kegagalan perkembangan awal yang
menyebabkan terjadinya transformasi metaplasia pada mesoblast diantara
nervus optik dan lapisan ektoderm. Patogenesis pasti dari kista dermaoid pada
mata dapat bervariasi dari kasus satu dengan yang lainnya. Secara umum, kista
dermoid ini tidak diturunkan (Sherman MD, 2018).
5. Gejala Klinis
Gejala yang dikeluhkan adalah adanya benjolan di dalam mata yang
mengganjal. Benjolan ini biasanya ada sejak lahir namun baru dapat dikenali
saat dekade pertama atau kedua kehidupan. Benjolan berwarna putih
kekuningan, terasa lunak, dan sering terletak di bagian inferior temporal dari
limbus kornea. Dapat terlihat 1-2 rambut yang keluar dari benjolan. Benjolan
ini membesar seiring dengan bertambah dewasanya penderita. Benjolan
membesar perlahan terutama pada masa pubertas atau karena adanya iritan
atau trauma (AIMU, 2017).
Benjolan ini dapat menyebabkan ambliopia jika menghalangi aksis
penglihatan atau menyebabkan astigmatisme. Gejala lain yang dapat
ditemukan adalah terjadi penonjolan bola mata (proptosis), penglihatan kabur
dan keterbatasan gerak bola mata (AIMU, 2017).
6. Klasifikasi
Klasifikasi dermoid paling umum adalah dengan melihat lokasi dari
kista tersebut. Terdapat 3 kategori dari dermoid yaitu pertama, dermoid
limbus, adalah bentuk yang paling umum, dimana kista melekat pada limbus
kornea. Biasanya lesinya superfisial namun dapat juga melibatkan struktur
mata yang lebih dalam. Bentuk kedua adalah kista dermoid yang hanya
melibatkan lapisan superfisial kornea tanpa mengenai limbus, membran
Descement dan lapisan endotel. Bentuk ketiga adalah kista dermoid yang
mengenai seluruh segment anterior, merubah kornea menjadi dermolipoma
yang dapat melibatkan iris, badan siliaris dan lensa (Sherman MD, 2018).
7. Diagnosis
Diagnosis kista dermoid pada mata dapat dilihat dari gejala klinis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan massa pada limbus kornea (seringnya di inferior temporal limbus)
berbentuk kubah (dome shaped), kenyal, serta dapat terlihat pembuluh darah
superfisial yang halus. Satu atau lebih rambut biasanya dapat dilihat keluardari
benjolan. Benjolan dapat mengandung elemen dari sel ektodermal atau
mesodermal seperti folikel rambut, silia, kelenjar minyak, kelenjar keringat,
dan kartilago (AIMU, 2017).
Kista dermoid umunya soliter, unilateral, berwarna putih, merah muda,
atau abu-abu, dan berukuran 1-5 mm. Namun kista dermoid juga dapat
multipel, bilateral, kecil ataupun besar hingga menghalangi kornea (Sherman
MD, 2018).
Kista dermoid juga dapat berhubungan dengan abnormalitas mata yang
lain seperti koloboma palpebra, koloboma iris dan koroid, aniridia (tidak ada
iris), mikroftalmia, stenosis duktus lakrimalis, stafiloma (protrusi) sklera atau
kornea, duane retraction syndrome atau abnormalitas gerakan bola mata
lainnya (AIMU, 2017).
Penyakit sistemik yang berhubungan dengan kista dermoid antara lain
sindroma Goldenhar dan sindroma SCALP. Pada sindroma Goldenhar,
dermoid limbus berhubungan dengan fistula aurikuler atau struktur abnormal
preaurikuler. Abnormalitas lain antara lain hemifasial mikrosomia (setengah
salah satu sisi wajah bagian bawah yang tidak berkembang), mikrotia, dan
abnormalitas vertebral (misalnya spina bifida), malformasi wajah,
abnormalitas gigi dan lain-lain. Dapat juga ditemukan kelainan pada jantung,
ginjal, dan pencernaan. Sedangkan sindroma SCALP sering disebut juga
naevus sebaceous, central nervus malformation, aplasia cutis, limbal dermoid
dan pigmented naevus (AIMU, 2017).
Pemeriksaan pencitraan dengan MRI dapat digunakan untuk
membedakan antara lesi yang berkembang hingga ke forniks atau ke kantus
lateralis dan untuk melihat apakah terdapt keterlibatan lemak orbita dan otot
ekstraokuler. Sedangkan pada hasil pemeriksaan histologi dapat ditemukan
jaringan choristomatosa yang terdiri dari epidemis, jaringan lemak, jaringan
glandula lakrimalis, otot polos dan lurik, jaringan saraf, gigi, tulang dan
kartilago. Dapat juga ditemukan nodul limfoid atau elemen vaskuler.
Permukaan kista epidermoid terdiri dari epitel konjungtiva dan kornea
(AIMU, 2017).
Di bawah ini adalah sistem skoring visual yang dapat digunakan untuk
menentukan derajat dermoid limbus.
Tabel 1. Sistem Skoring Visual untuk Dermoid Limbus (Zhong J et al, 2017)

Skor
Kategori
0 poin 1 poin 2 poin 3 poin

Keterlibatan Tidak Diameter ≤ ¼ Diameter ¼ Diameter ≥ ½


kornea terlibat kornea, tidak hingga ½ kornea dan
melibatkan kornea, tidak melibatkan
aksis melibatkan aksis
penglihatan aksis penglihatan
penglihatan

Bentuk Tidak Sedikit Menonjol Sangat


permukaan berubah menonjol, sedang, dapat menonjol,
tidak dapat diobservasi mengganggu
diobservasi ketika mata penutupan
ketika mata ditutup mata
ditutup.

Keterlibatan Tidak Keterlibatan Keterlibatan Sklera dan


konjungtiva terlibat konjungtiva konjungtiva jaringan orbital
≤50% ≥50% juga terlibat
Keterlibatan
kornea

Bentuk
permukaan

Keterlibatan
konjungtiva

1 poin 2 poin 3 poin

Gambar 3. Sistem Skoring Visual untuk Dermoid Limbus (Zhong J et al, 2017)

Total skor 0-3 dikategorikan sebagai grade I. Total skor 4-6


dikategorikan sebagai grade II. Sedangkan total skor lebih dari 6
dikategorikan sebagai grade III. Semakin tinggi derajat keparahan kista
dermoid, semakin buruk prognosis ketajaman visus pasien post operasi
(Zhong J et al, 2017).

8. Diagnosis Banding
Kista dermoid perlu dibedakan dari beberapa penyakit lain yang
menyerupai, seperti granuloma piogenik, staphyloma, hemangioma, dan
sklerokornea.
a. Granuloma Piogenik
Granuloma piogenik adalah tumor jinak pada konjungtiva yang
terjadi keika hemangioma tidak aktif, tidak ada pus, tidak ada sel raksasa.
Bisa terjadi karena trauma minor, kalazion yang parah, post operasi
jaringan granulasi (Biswell, 2010). Gambaran klinis dari granuloma
piogenik berupa papul atau nodul vaskuler, luna, warna kemerahan,,
terlihat terang seperti daging mentah, mudah berdarah jika terkena trauma
ringan. Permukaan lesi awalnya tipis/halus dengan epidermis yang utuh,
tidak ada pulsasi dan tidak sakit (Jacob dan Arun, 2013).

Gambar 4. Granuloma Piogenik


b. Staphyloma
Staphyloma merupakan penipisan dari sklera yang yang melapisi
bagian jaringan terpigmentai dari mata sehingga sclera yang menipis
menjadi berwarna kebiruan hingga nyaris kehitaman. Biasanya terjadi
pada bagian depan mata dan disebabkan karena respon dari trauma dan
infeksi dimana struktur sklera menjadi terganggu. Pada area penipisan ini
terjadi protrusi karena adanya tekanan bola mata sehingga
memperlihatkan gambaran tipikal berupa warna biru (AAO, 2012).
Gambar 5. Staphyloma
c. Hemangioma
Hemangioma merupakan tumor jinak disebabkan oleh pertumbuhan
abnormal dari pembuluh darah. Terdapat 2 tipe hemangioma, yaitu tipe
kapiler dan kavernosus. Hemangioma dapat terjadi dibagian tubuh mana
saja, pada organ mata dapat timbul di kelopak mata, permukaan bola
mata, atau di rongga orbita. Hemangioma dapat menggangu
perkembangan normal mata, juga dapat menyebabkan gangguan
penglihatanseperti amblipia dan glaucoma (AAO, 2018).

Gambar 6. Hemangioma
d. Sklerokornea
Sklerokornea merupakan malformasi kongenital yang menyebabkan
proses skleralisasi pada bagian perifer kornea atau seluruh jaringan
kornea. Pada tipe yang perifer, terjadi vaskularisasi pembuluh darah
normal sklera pada area yang terpengaruh. Pada sklerokornea total,
seluruh kornea menjadi opaque dan tervaskularisasi (Elliot et al., 1985)
Gambar 7. Sklerokornea
9. Tatalaksana
Tatalaksana harus dilakukan dibawah supervisi spesialis mata, dimana
tatalaksana terdiri dari terapi medikamentosa, non-medikamentosa, dan terapi
operatif.
a. Tatalaksana Medikamentosa
Pada pasien kista dermoid diberikan tetes mata dan salep mata yang
berfungsi sebagai lubrikasi, hal ini akan membantu untuk menghindarkan
pasien dari sensasi benda asing atau rasa mengganjal pada mata. Artificial
tears dapat digunakan sebagai lubrikan mata. Artificial tear adalah larutan
yang memilki kandungan yang mirip dengan air mata asli manusia.
Bahan-bahannya biasanya berupa:
1) Carboxymethylcellulosa
Contohnya: Cendo Cenfresh®: Carboxymethylcellulosa 5 mg
2) Dextran 70
Contohnya: Sanbe Tears®: Dextran 70 1 mg, Hypromellose 3 mg
3) Sodium hyaluronat
Contohnya: Kalbe Navitae®: Na Hyaluronat 0.15%, Vitamin A,
Vitamun E, Cendo Hyalub® minidose: Na Hyaluronat 1 mg, Santen
Hialid®: Na Hyaluronat 0.1%
4) Hypromellose
Contohnya: Combiphar Insto® Dry Eyes: Hypromellose 3 mg,
Benzalkonium klorida 0.1 mg
5) Polyethylene glycol 400
6) Glycerin
Contohnya: Visine Tears®: Polyethylene glycol 400 1%, Glycerin
0.2%, Hydroxypropyl Methylcellulose 0.2%, Benzalkonium klorida
0.01 %
7) Polyvinylpyrrolidone
Contohnya: Cendo ProtagentA®: Polyvinylpyrrolidone 20 mg
8) Garam isotonis seperti Sodium klorida (NaCl) dan potassium klorida
(KCl)
Contohnya: Cendo Lyteers®: NaCL 4.4 mg dan KCl 0.8 mg.
9) Polysorbate
b. Tatalaksana Non-Medikamentosa
Tatalaksasna non-medikamentosa yang perlu dilakukan adalah
melepaskan silia yang tumbuh dari kista dermoid secara berkala sehingga
tidak menyebabkan iritasi pada mata pasien.
c. Tatalaksana Operatif
Tatalaksana operatif merupakan terapi definitif dan diindikasikan
bila kista dermoid menyebabkan gangguan pada fungsi penglihatan, dan
kecacatan kosmetik yang signifikan. Operasi dilakukan ketika manfaat
perbaikan fungsi penglihatan dan tampilan kosmetik yang diperoleh lebih
besar daripada kemungkinan jaringan parut yang timbul pasca operasi dan
komplikasi lainnya.
Usaha untuk pembuangan total pada dermoid epibulbar tidaklah
penting. Hal ini disebabkan karena usaha untuk itu akan menyebabkan
lesi melebar ke struktur yang lebih dalam pada mata dan meningkatnya
resiko perforasi.
Tindakan operatif pilihan untuk pembuangan dermoid epibulbar
adalah sklero-keratektomi superfisial dimana dermoid epibulbar
dilepaskan bersama dengan permukaan bola mata (konjungtiva). Setelah
dilakukan sklero-keratektomi, area yang terekspos dapat ditutup dengan
menggunakan flap konjungtival, keratoplasti, dan grafting menggunakan
membran amnion (AIMU, 2017).
10. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul dari dermoid epibulbar adalah:
a. Astigmatisme sekunder yang disebabkan tumor kornea
b. Kehilangan ketajaman penglihatan
c. Penipisan sklera pasca operasi (Finger PT, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophtalmology (2011). Fundamentals and Principles of


Ophtalmology. San Francisco: American Academy of Ophtalmology.
American Academy of Ophtalmology (2018). Dermoid Cyst. San Francisco: American
Academy of Ophtalmology.
American International Medical University (2017). Epibulbar dermoid: symptoms,
diagnosis, causes and management. Available at:
https://www.aimu.us/2017/06/05/epibulbar-dermoids-symptoms-diagnosis-
causes-and-management/- (diakses pada 8 Januari 2019).
Biswell R (2010). Tumor Konjungtiva dalam Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta:
EGC.
Elliot JH, Feman SS, O’Day DM, dan Garber M (1985). Heredetary sclerocornea. Arch.
Ophthal. 103: 676-670.
Finger PT (2018). Epibulbar dermoid. Available at: https://eyecenter.com/eye-
cancer/conditions/conjungtival-tumrs/epibulbar-dermoid/ (diakses pada 8
Januari 2019).
Harley RD, Nelson LB, dan Olitsky SE (2005). Harley’s paediatric ophthalmology.
Edisi ke-5. AS: Lippincott Williams & Wilkins.
Heiting, G (2017). Conjunctiva of the Eye. Available at:
https://www.allaboutvision.com/resources/conjunctiva.html (diakses pada 8
Januari 2019).
Ilyas HS dan Yulianti SR (2012). Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-4. Jakarta: FKUI.
Jacob P dan Arun DS (2013). Stroal tumors. In: Clinical ophthalmic oncology: eyelid
conjungtival tumors. Springer science and business media. Pg 8.86.
Kanski, JJ (2007). Clinical Ophthalmology. Sixth Edition. New York: Elsevier.
Paulsen F dan Waschke J (2012). Sobotta Atlas Anatomi Manusia Kepala, Leher dan
Neuroanatomi. Jilid 3. Jakarta: EGC.
Sherman MD (2018). Limbal dermoid. Medscape. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/1195334-overview#a5- (diakses pada 8
Januari 2019).
Shields, J dan Shields, C (2004). Orbital cysts of childhood: classification, clinical
features, and management. Survey of Ophthalmology, 49(3), pp.281-299.
Yanoff M dan Duker JS (2009). Ophthalmology. 3rd Edition. Philadelphia: Elsevier.
Yanoff M dan Sassani JW (2015). Ocular Pathology. Philadelphia: Elsevier.
Zong J, Deng Y, Zhang P, Li S, Huang H, Wang B, Zhang H, et al (2017). New grading
system for limbal dermoid : a retrospective analysis of 261 cases over a 10-year
period. Pubmed, 37 (1): 66-71.

Anda mungkin juga menyukai