LAPORAN KASUS
2.1 IdentitasPasien
Nama : Ny. M.
Usia : 58 Tahun.
Alamat : Ds. Sinar Jaya Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah.
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
No. MR : 02.61.61
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
Mata kiri pasien juga terasa sering berair, gatal, banyak sekret dan pandangan
semakin menurun.
Pasien datang ke Poliklinik Mata RSPBA dengan keluhan mata kiri merah sejak
7 hari SMRS. Keluhan muncul secara tiba-tiba. Awalnya hanya sebagian kecil akan tetapi
pasien merasakan samakin menyebar ke tempat lainnnya. Selain itu pasien juga mengeluh
mata kiri pasien sering berair, gatal, banyak sekret. Tajam penglihatan mata kirinya juga
semakin menurun. Keluhan seperti pusing, sakit saat melihat cahaya atau melihat pelangi
3
di cahaya, panas, mual muntah, debar- debar disangkal. Pasien sudah pernah memberikan
obat tetes mata yang dibelinya diwarung akan tetapi belum ada perubahan. Pasien
mengaku sebelumnya pernah mengalami hal yang hampir serupa dengan keluhan
sekarang. Riwayat trauma (-). Riwayat kelelahan (-). Keluhan ini dirasakan semakin
memberat dan tidak ada perubahan walaupun sudah diberikan obat tetes mata sehingga
- Hipertensi (+)
- DM (-)
- Alergi (-)
Tidak ada.
Tidak ada.
Status Generalis
4
Pengukuran Tanda vital :
HR : 80 kali/menit
Suhu : 36,6° C
Respirasi : 26 kali/menit
Status Opthalmologi
Pemeriksaan OD OS
Visus 6/15 6/30
Koreksi - -
Kacamata Lama - -
Kedudukan Bola Mata Orthophoria Orthophoria
Gerakan Bola Mata Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Supersillia Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Palpebra Superior
Edema - -
Nyeri tekan - -
Palpebra Inferior
Edema - -
Nyeri tekan - -
Konjungtiva Superior
dan Inferior
Hiperemis - -
Folikel - -
Sikatriks - -
Konjungtiva Bulbi
Sekret - +
Injeksi Konjungtiva - -
Injeksi Siliar - +
Kornea
Kejernihan Jernih Jernih
Edema - -
Sikatriks - -
Infiltrat - -
Kamera Okuli
5
AnteriorKamera Okuli
Anterior
Kedalaman Dalam Dalam
Kejernihan Jernih Jernih
Pupil
Letak Tengah Tengah
Bentuk Bulat Bulat
Ukuran ±2 mm ±2 mm
Refleks Refleks Cahaya + +
Cahaya Langsung
Refleks Refleks Cahaya + +
Cahaya Tidak Tidak
Langsung
Iris
Warna Coklat Coklat
Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
Letak Tengah Tengah
2.4 PemeriksaanPenunjang
Tidak dilakukan.
1. Episkleritis OS.
4. Keratokonjunctivitis.
5. Anterior Uveitis.
2.7 Penatalaksanaan
6
Steroid eye drop (Cendoxytrol 6x1 gtt OS).
2.8 Prognosis
BAB III
7
TINJAUAN PUSTAKA
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan dari
kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan bersifat
transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan
jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan
dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen,
yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak,
Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada kanalis
optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke dalam sklera. Jaringan
8
sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ
tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang
berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya.
Episklera mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah
tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang
Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola mata
posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk menentukan bentuk
bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan kebutuhan bagi penempatan
otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati
foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung
dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk
suatu penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat
optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga
Gambar 2. Sklera
9
Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:6
Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan tempat
Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar nervus
optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah membran
seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis posterior. Serabut
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-berkas
jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16 μm dan lebar 100-
140 μm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur histologis sklera sangat
I.2. FISIOLOGI
Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra okular.
Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola mata tanpa
menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera adalah adanya
aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang
terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera
dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan perbandingan
yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket. Perbandingan ini sering
terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai struktur artikular sampai
1. Definisi Skleritis
10
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh
destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.1
2. Epidemiologi
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi kejadian
diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan, didapatkan 94%
adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada
penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset
perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.2 Peningkatan
insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena
daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun,
3. Etiologi Skleritis7,8
imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III
(kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi
invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya
dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak dan operasi pterigium.1
11
4. Patofisiologi Skleritis
Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50 persen
skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus
dan sifilis.7
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala
utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun
pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya
12
skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma.
Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody
IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus)
dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan
larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena
FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas
aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk reseptor IgE, reaksi
hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara umum memakan waktu
maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi sistemik terjadi dengan adanya
yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan deposisi kompleks yang
pengaktivasian dari sel mast melalui Fc gamma RIII. Kompleks imun yang terdeposisi
menyebabkan netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium
dan membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam
– macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari
hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan
glomerulonefritis.11
disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga
13
hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan
peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian mengalami kontak dengan
sell TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T tersebut, membuatnya
memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya, dan juga kepada
netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel
waktu 48 – 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis.
Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari
pemaparan seorang individu dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.11
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T
dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari
sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan
sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara
umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh
tipe III dan respon kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi
tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan
sklera akibat deposisi kompleks imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang
menyebabkan perforasi kapiler dan venula post kapiler dan respon imun sel perantara.7
14
Adanya autoantibodi dan mediator inflamasi pada serum pasien dengan skleritis
meningkatnya TNF pada serum penderita skleritis pernah dilaporkan. Studi terkini
melaporkan bahwa untuk pertama kalinya muncul antibodi spesifik sklera dalam serum
15
Tabel 2. Sklera spesifik autoantibodi
protein dari segmen posterior seperti antigen-S dan rodopsin pernah dilaporkan,
khususnya pada kejadian uveitis idiopatik. Meskipun tidak ada literatur yang melaorkan
langsung melawan dua polipeptida yang muncul pada ekstraksi jaringan sklera ini
Sama seperti pada infiltrat radang pada rheumatoid artritis, terjadinya skleritis
memperlihatkan adanya proses infiltrat seluleroleh makrofag dan limfosit T CD-4, yang
Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu deposisi
kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan mikroangiopati).
Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau
Faktor lain seperti trauma lokal juga dapat mencetuskan terjadinya skleritis akibat dari
operasi mata. Proses operasi mengawali terjadinya paparan antigen ke dalam mata dibawah
16
proses lingkungan yang meradang yang dapat mencetuskan tersensitisasinya kedua imunitas
5. Klasifikasi Skleritis
1. Skleritis Anterior
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior sebesar 40%
dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi sekitar
14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan
penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari
suatu inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih
1. Difus. Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan
gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh permukaan sklera.
17
2. Nodular. Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus. Ditandai dengan
adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada
Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi dari
nodul.
3. Necrotizing. Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau
komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus. 29% pasien
dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Skleritis nekrotik yang diakibatkan
operasi biasanya dapat terjadi setelah operasi katarak, trabekulektomi, dan operasi retina.
Muncul sebagai akibat dari imflamasi pada fokal area akibat insisi sklera atau
limbus.11(1050pdf)
18
Dengan inflamasi. Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti rheumatoid arthtitis.
Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera terlihat jelas. Apabila disertai
Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans). Biasa terjadi pada pasien yang sudah
2. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis anterior.
Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan melihat. Dari
pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat
di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem
makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior
dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah.
Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan
sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina
19
Gambar 6. Skleritis Posterior
6. Diagnosis
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit, riwayat
penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat pembedahan juga perlu
pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair,
fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah.
Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif..
Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi.
Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis,
rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat
hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis
tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh
perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis,
Gambar 7. Skleritis
20
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit sistemik,
2. Penyakit infeksi. Ciri-cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk dengan terapi
kortikosteroid, dan merespon dengan terapi antibiotik sesuai kultur. Proses kembalinya
ibandronate.
9. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan responnya
terhadap pengobatan.
Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan tajam
penglihatan.11
21
Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat dilakukan apabila
Pemeriksaan Sklera10
o Pemeriksaan Daylight
Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa peradangan,
Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan
aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka area tersebut
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera dengan
beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior dan
posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera dan sklera edema.
episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam episklera.2
o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai jaringan
22
o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau konjungtivitis juga
dapat dilakukan.
o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan proptosis.
C. Pemeriksaan Penunjang
23
Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya akumulasi
cairan pada kapsul tenon.
7. Diagnosa Banding
a. Episkleritis
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara konjungtiva
dan permukaan sklera.4 Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik, alergik, bagian dari
infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik. Episkleritis umumnya
mengenai satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan dengan riwayat penyakit
reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis. Namun, pada episkleritis proses
peradangan dan eritema hanya terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan
konjungtiva. Episkleritis mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan
dibandingkan dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam
penglihatan.
24
Gambar 8. Episkleritis
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa mengganjal.
Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada episkleritis mempunyai gambaran
benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila
benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul
rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan
melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini dapat mengecil
bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera
Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.
25
Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin
2,5% topikal.
26
Tabel 3. Perbandingan episkleritis dengan skleritis
8. Penatalaksanaan
terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik juga.10
Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius,
27
pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai
1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau obat
Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan, efek samping, dan
NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga misoprostol atau
Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi,
Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga digunakan azathioprine,
pilihan utama.
Jika masih gagal, dapat diberikan obat – obatan imunomodulator seperti infliximab
o Necrotizing scleritis
28
Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat memperparah proses
2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau tanpa
boleh digunakan.
3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta, dan
imunosupresif.
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera atau
kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat
akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau poliarteritis
nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada skleritis yang
terdapat galukoma atau terjadi trauma langsung terutama pada usaha mengambil sediaan
biopsi. Pada penipisan kornea atau telah terjadi perforasi dapat dilakukan donor sklera,
fascia lata, periostioum, atau material lainnya dapat digunakan. Lamellar patch graft
skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai
pemberia kemoterapi.11
29
Tabel 4. Penatalaksanaan skleritis
30
Skema Panduan Penatalaksanaan Pasien dengan Skleritis
31
9.Komplikasi
Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina
alur perifer, vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea.
Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering
disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut terbuka
Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti uveitis atau
keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera atau skleromalasia maka
dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea dapat dalam bentuk keratitis
sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis
sklerotikan adalah segitiga yang terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi
akibat gangguan susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan initidak pernah terjadi
neovaskularisasi ke dalam stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi
jernihnya kornea yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian sentral kornea tidak terlihat
10.Prognosis
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana termasuk tipe
skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata Skleritis pada penyakit Wagener
adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta permanen dimana termasuk tipe skleritis
nekrotik dengan komplikasi pada mata. Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah
32
tipe skleritis difus, nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada
penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau autoimun.
Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih respon terhadap tetes
mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling destruktif dan skleritis dengan
penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih
buruk.
33
BAB IV
KESIMPULAN
destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.
Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit
sistemik, infeksi, trauma dan idiopatik. Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi episkleritis,
skleritis anterior dan skleritis posterior. Gejala-gejala pada skleritis dapat meliputi rasa nyeri,
mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Terapi skleritis meliputi
granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Prognosis
34
DAFTAR PUSTAKA
2. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular Diagnosis
and Therapy. Second Edition. United States of America: Library o Congress Catalog.
1988; 111-6
3. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008. 118-20
4. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with rheumatoid arthritis
and with other systemic immune-mediated diseases. Ophthalmology. 1994.
5. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with systemic vasculitic
diseases. Ophthalmology. 1995.
6. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Clinical
Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and Episcleritis.
Ophthalmology 2012;119:43–50
7. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Skleritis
Theraphy. Ophthalmology 2012;119:51–58
8. Lani T. H, Lyndell L.L, Brian V, Dongseok C and James T. R. Antineutrophil
Cytoplasmic Antibody–Associated Active Scleritis. Arch Ophthalmol. 2008;126(5):651-
655
9. Douglas A. J, Abdulbkhi M, J.P. DUNN and Martha J. M. Episcleritis and Scleritis:
Clinical Features and Treatment Results. Ophthalmol 2000;130:469–476
10. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgínia F.M.T, Hellen F and Luís E.C. A. Sclera-Specific
and Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of Patients with Non-Infectious
Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol; 2007;47(3):174-179
35
11. Scott O et all. Haemophilus influenzae associated scleritis. Br J Ophthalmol
1999;83:410–413
12. Zainah A, Donald T H T, and S-P Chee. Necrotising scleritis after bare sclera excision of
pterygium. Br J Ophthalmol 2000;84:1050–1052
13. Srikant K S, Sujata D, Savitri S and Kalyani S. Clinico-Microbiological Profile and
Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a Tertiary Eye Care Center
of India. International Journal of Inflammation:2012:1-8
14. Jacquelin M, et all. Comparative study of ophthalmological and serological
manifestations and the therapeutic response of patients with isolated scleritis and scleritis
associated with systemic diseases. Arq Bras Oftalmol . 2011;74(6):405-9
36