Anda di halaman 1dari 34

BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 IdentitasPasien

Nama : Ny. M.

Jenis kelamin : Perempuan.

Usia : 58 Tahun.

Alamat : Ds. Sinar Jaya Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah.

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam

No. MR : 02.61.61

TMRS : 22 Januari 2015

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama

Mata merah kiri sejak 7 hari yang lalu.

Keluhan Tambahan

Mata kiri pasien juga terasa sering berair, gatal, banyak sekret dan pandangan

semakin menurun.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poliklinik Mata RSPBA dengan keluhan mata kiri merah sejak

7 hari SMRS. Keluhan muncul secara tiba-tiba. Awalnya hanya sebagian kecil akan tetapi

pasien merasakan samakin menyebar ke tempat lainnnya. Selain itu pasien juga mengeluh

mata kiri pasien sering berair, gatal, banyak sekret. Tajam penglihatan mata kirinya juga

semakin menurun. Keluhan seperti pusing, sakit saat melihat cahaya atau melihat pelangi

3
di cahaya, panas, mual muntah, debar- debar disangkal. Pasien sudah pernah memberikan

obat tetes mata yang dibelinya diwarung akan tetapi belum ada perubahan. Pasien

mengaku sebelumnya pernah mengalami hal yang hampir serupa dengan keluhan

sekarang. Riwayat trauma (-). Riwayat kelelahan (-). Keluhan ini dirasakan semakin

memberat dan tidak ada perubahan walaupun sudah diberikan obat tetes mata sehingga

pasien membawanya berobat ke Poli Mata RSPBA.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Pasien menggunakan kacamata.

- Hipertensi (+)

- DM (-)

- Nyeri sendi (+)

- Asam Urat (+)

- Alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada.

Riwayat penggunaan obat-obatan

Tidak ada.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

 Keadaan umum : Tampak sakit ringan

 Kesadaran : Compos mentis

4
 Pengukuran Tanda vital :

Tekanan Darah : 140/90 mmHg

HR : 80 kali/menit

Suhu : 36,6° C

Respirasi : 26 kali/menit

Status Opthalmologi

Pemeriksaan OD OS
Visus 6/15 6/30
Koreksi - -
Kacamata Lama - -
Kedudukan Bola Mata Orthophoria Orthophoria
Gerakan Bola Mata Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Supersillia Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Palpebra Superior
Edema - -
Nyeri tekan - -
Palpebra Inferior
Edema - -
Nyeri tekan - -
Konjungtiva Superior
dan Inferior

Hiperemis - -
Folikel - -
Sikatriks - -
Konjungtiva Bulbi
Sekret - +
Injeksi Konjungtiva - -
Injeksi Siliar - +
Kornea
Kejernihan Jernih Jernih
Edema - -
Sikatriks - -
Infiltrat - -
Kamera Okuli

5
AnteriorKamera Okuli
Anterior 
Kedalaman Dalam Dalam
Kejernihan Jernih Jernih
Pupil  
Letak Tengah Tengah
Bentuk Bulat Bulat
Ukuran ±2 mm ±2 mm
Refleks Refleks Cahaya + +
Cahaya Langsung
Refleks Refleks Cahaya + +
Cahaya Tidak Tidak
Langsung
Iris
Warna Coklat Coklat
Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
Letak Tengah Tengah

2.4 PemeriksaanPenunjang

Tidak dilakukan.

2.5 Diagnosa Banding

1. Episkleritis OS.

2. Keratitis ( Virus, Bakteri, Jamur ) OS.

3. Konjungtivitis (Virus, bakteri, alergi) OS.

4. Keratokonjunctivitis.

5. Anterior Uveitis.

2.6 Diagnosa Kerja

Skleritis Anterior Nodusa OS

2.7 Penatalaksanaan

6
 Steroid eye drop (Cendoxytrol 6x1 gtt OS).

 Triaxytrol 2x1 gtt OS.

 Metil Prednisolon 8 mg tab 2x1.

 Natrium Diklofenak tab 3x1.

2.8 Prognosis

 Quo ad Vitam : Dubia ad bonam

 Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

 Quo ad Functionam : Dubia ad malam

BAB III

7
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi dan Fisiologi Sklera

I.1. ANATOMI SKLERA

Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan dari

kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan bersifat

transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan

jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan

dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen,

yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak,

sklera tampak sebagai garis kuning.3

Gambar 1. Anatomi Mata

Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada kanalis

optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke dalam sklera. Jaringan

8
sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ

tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang

berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya.

Episklera mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah

tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang

melekat pada sklera.3

Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola mata

posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk menentukan bentuk

bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan kebutuhan bagi penempatan

otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati

foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung

dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk

suatu penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat

optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga

0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.3,4

Gambar 2. Sklera

9
Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:6

 Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan tempat

meletaknya kornea pada sklera.

 Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar nervus

optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah membran

seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis posterior. Serabut

saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak.

Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-berkas

jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16 μm dan lebar 100-

140 μm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur histologis sklera sangat

mirip dengan struktur kornea.

I.2. FISIOLOGI
Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra okular.

Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola mata tanpa

menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera adalah adanya

aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang

terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera

dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan perbandingan

yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket. Perbandingan ini sering

terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai struktur artikular sampai

pembungkus sklera dan episklera.3

1. Definisi Skleritis

10
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh

destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.1

2. Epidemiologi

Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi kejadian

diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan, didapatkan 94%

adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada

penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset

perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.2 Peningkatan

insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena

daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun,

dengan usia rata-rata 52 tahun.2

3. Etiologi Skleritis7,8

Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses

imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III

(kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi

invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya

dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak dan operasi pterigium.1

11
4. Patofisiologi Skleritis

Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50 persen

kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan

skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus

erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout

dan sifilis.7

Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala

utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun

pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya

12
skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma.

Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan

vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik

(hipersensitivitas tipe IV).9,10

Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody

IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus)

dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan

larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena

FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas

aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk reseptor IgE, reaksi

hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara umum memakan waktu

maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi sistemik terjadi dengan adanya

antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan kompleks antigen – antibodi

yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan deposisi kompleks yang

ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh

pengaktivasian dari sel mast melalui Fc gamma RIII. Kompleks imun yang terdeposisi

menyebabkan netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium

dan membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam

– macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari

hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan

glomerulonefritis.11

Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas yang

disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga

13
hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan

dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan pecahan

peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian mengalami kontak dengan

sell TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T tersebut, membuatnya

memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya, dan juga kepada

netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel

mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan

waktu 48 – 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis.

Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari

pemaparan seorang individu dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.11

Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T

dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari

sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan

pada sklera dan perforasi dari bola mata.12

Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun

sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara

umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh

kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas

tipe III dan respon kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi

tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan

sklera akibat deposisi kompleks imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang

menyebabkan perforasi kapiler dan venula post kapiler dan respon imun sel perantara.7

14
Adanya autoantibodi dan mediator inflamasi pada serum pasien dengan skleritis

membuktikan adanya keterlibatan sistem imun. Antibodi antipospolipid dan

meningkatnya TNF pada serum penderita skleritis pernah dilaporkan. Studi terkini

melaporkan bahwa untuk pertama kalinya muncul antibodi spesifik sklera dalam serum

pasien dengan tipe skleritis non infeksius. 10

Tabel 1. Non sklera spesifik autoantibodi

15
Tabel 2. Sklera spesifik autoantibodi

Kemunculan spesifik autoantibodi pada kornea, iris, kristalin, dan beberapa

protein dari segmen posterior seperti antigen-S dan rodopsin pernah dilaporkan,

khususnya pada kejadian uveitis idiopatik. Meskipun tidak ada literatur yang melaorkan

autoantibodi pada idiopatic skleritis. Akhir-akhir ini diperlihatkan autoantibodi secara

langsung melawan dua polipeptida yang muncul pada ekstraksi jaringan sklera ini

berhubungan dan memunculkan kemungkinan adanya proses autoimun organ spesifik.10

Sama seperti pada infiltrat radang pada rheumatoid artritis, terjadinya skleritis

memperlihatkan adanya proses infiltrat seluleroleh makrofag dan limfosit T CD-4, yang

mana biasanya tidak ditemukan pada sklera normal.10

Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu deposisi

kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan mikroangiopati).

Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau

bagian posterior mata.

Faktor lain seperti trauma lokal juga dapat mencetuskan terjadinya skleritis akibat dari

operasi mata. Proses operasi mengawali terjadinya paparan antigen ke dalam mata dibawah

16
proses lingkungan yang meradang yang dapat mencetuskan tersensitisasinya kedua imunitas

humoral dan seluler.10

5. Klasifikasi Skleritis

Skeleritis dapat di klasifikasikan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior:13,14

1. Skleritis Anterior

95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior sebesar 40%

dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi sekitar

14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan

penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari

suatu inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih

nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.

1. Difus. Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan

gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh permukaan sklera.

Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.

Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis

17
2. Nodular. Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus. Ditandai dengan

adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada

sklera anterior. Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis nekrosis.

Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi dari
nodul.
3. Necrotizing. Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau

komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus. 29% pasien

dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Skleritis nekrotik yang diakibatkan

operasi biasanya dapat terjadi setelah operasi katarak, trabekulektomi, dan operasi retina.

Muncul sebagai akibat dari imflamasi pada fokal area akibat insisi sklera atau

limbus.11(1050pdf)

Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:

18
 Dengan inflamasi. Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti rheumatoid arthtitis.

Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera terlihat jelas. Apabila disertai

dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai sklerokeratitis.

 Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans). Biasa terjadi pada pasien yang sudah

lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan nodul

rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.

2. Skleritis Posterior

Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis anterior.

Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan melihat. Dari

pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat

di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem

makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior

dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah.

Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan

sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina

eksudatif, edema makular, dan papiledema.3

19
Gambar 6. Skleritis Posterior

6. Diagnosis

Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.8


A. Anamnesis

Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit, riwayat

penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat pembedahan juga perlu

pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair,

fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah.

Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif..

Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi.

Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis,

rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat

hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis

tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh

perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis,

uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.2,3,4,8

Gambar 7. Skleritis

20
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit sistemik,

trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan skleritis seperti :2

1. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat

2. Penyakit infeksi. Ciri-cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk dengan terapi

kortikosteroid, dan merespon dengan terapi antibiotik sesuai kultur. Proses kembalinya

ketajaman visus biasanya baik pada beberapa kasus.4,10

3. Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)

4. Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata

5. Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid dan

ibandronate.

6. Post pembedahan pada mata

7. Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,

8. penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.

9. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan responnya

terhadap pengobatan.

b. Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi

 Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan tajam

penglihatan.11

o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.

o Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.

21
 Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat dilakukan apabila

dicurigai adanya penyakit sistemik.

 Pemeriksaan Sklera10

o Pemeriksaan Daylight

Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa peradangan,

akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan uvea gelap.

Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan

aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka area tersebut

akan menjadi avaskular dan menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah,

dan di kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.

o Pemeriksaan slit – lamp10,11

Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau segmental. Injeksi

yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior scleritis.

Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera dengan

beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior dan

posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera dan sklera edema.

Pada skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial

episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam episklera.2

o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai jaringan

episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan episklera.

o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area avaskular pada

sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus.

22
o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau konjungtivitis juga

dapat dilakukan.

 Pemeriksaan skleritis posterior11

o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan proptosis.

o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior. Skleritis

posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.

o Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan koroid, dan

perdarahan atau ablasio retina.17

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis. Beberapa

pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:

1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah

2. Faktor rheumatoid dalam serum

3. Antibodi antinuklear serum (ANA)

4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)

5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks

6. Serum FTA-ABS, VDRL

7. Serum asam urat

8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis posterior.5

23
Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya akumulasi
cairan pada kapsul tenon.

7. Diagnosa Banding

a. Episkleritis

Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara konjungtiva

dan permukaan sklera.4 Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik, alergik, bagian dari

infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik. Episkleritis umumnya

mengenai satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan dengan riwayat penyakit

reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis. Namun, pada episkleritis proses

peradangan dan eritema hanya terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan

konjungtiva. Episkleritis mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan

dibandingkan dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam

penglihatan.

24
Gambar 8. Episkleritis
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa mengganjal.

Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada episkleritis mempunyai gambaran

benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila

benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul

rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan

melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini dapat mengecil

bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera

tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal.

Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.

25
Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin
2,5% topikal.

26
Tabel 3. Perbandingan episkleritis dengan skleritis

8. Penatalaksanaan

Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien yang

terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik juga.10

Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius,

27
pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai

ada penyakit sistemik yang menyertai.

1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau obat

imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak mencukupi.

Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan, efek samping, dan

penyakit penyerta lainnya.

o Diffuse scleritis atau nodular scleritis

 Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat menggunakan 2 jenis

NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga misoprostol atau

omeprazole untuk perlindungan gastrointestinal.

 Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi,

dipertahankan menggunakan NSAIDs.

 Jika oral kortikosteroid gagal, obat – obatan imunosupresif dapat digunakan.

Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga digunakan azathioprine,

mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide, atau cyclosporine. Untuk pasien dengan

Wegener’s granulomatosis atau polyarteritis nodosa, cyclophosphamide adalah

pilihan utama.

 Jika masih gagal, dapat diberikan obat – obatan imunomodulator seperti infliximab

atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.

o Necrotizing scleritis

 Obat – obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada bulan pertama,

kemudian jika mungkin dikurangi perlahan – lahan.

 Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.

28
 Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat memperparah proses

nekrosis yang terjadi.

2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau tanpa

antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan imunosupresif tidak

boleh digunakan.

3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta, dan

konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk pengawasan terapi

imunosupresif.

Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera atau

kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat

akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau poliarteritis

nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada skleritis yang

semata-mata akibat peradangan jarang menimbulkan perforasi kecuali apabila juga

terdapat galukoma atau terjadi trauma langsung terutama pada usaha mengambil sediaan

biopsi. Pada penipisan kornea atau telah terjadi perforasi dapat dilakukan donor sklera,

fascia lata, periostioum, atau material lainnya dapat digunakan. Lamellar patch graft

dapat digunakan pada ulkus kornea yang berat atau keratolisis.7,11,12

Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi

skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai

pemberia kemoterapi.11

29
Tabel 4. Penatalaksanaan skleritis

30
Skema Panduan Penatalaksanaan Pasien dengan Skleritis

31
9.Komplikasi

Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina

eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis bermanifestasi sebagai pembentukan

alur perifer, vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea.

Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering

disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut terbuka

dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid. 1,8

Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti uveitis atau

keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera atau skleromalasia maka

dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea dapat dalam bentuk keratitis

sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis

sklerotikan adalah segitiga yang terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi

akibat gangguan susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan initidak pernah terjadi

neovaskularisasi ke dalam stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi

jernihnya kornea yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian sentral kornea tidak terlihat

pada keratitis sklerotikan. 3,8

10.Prognosis

Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada

spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana termasuk tipe

skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata Skleritis pada penyakit Wagener

adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta permanen dimana termasuk tipe skleritis

nekrotik dengan komplikasi pada mata. Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah

32
tipe skleritis difus, nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada

penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau autoimun.

Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih respon terhadap tetes

mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling destruktif dan skleritis dengan

penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih

buruk.

33
BAB IV

KESIMPULAN

Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh

destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.

Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit

sistemik, infeksi, trauma dan idiopatik. Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi episkleritis,

skleritis anterior dan skleritis posterior. Gejala-gejala pada skleritis dapat meliputi rasa nyeri,

mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Terapi skleritis meliputi

terapi medikamentosa dan pembedahan. Komplikasi berupa keratitis, uveitis, galukoma,

granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Prognosis

skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editor.


Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.169-73

2. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular Diagnosis
and Therapy. Second Edition. United States of America: Library o Congress Catalog.
1988; 111-6

3. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008. 118-20

4. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with rheumatoid arthritis
and with other systemic immune-mediated diseases. Ophthalmology. 1994.
5. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with systemic vasculitic
diseases. Ophthalmology. 1995.
6. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Clinical
Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and Episcleritis.
Ophthalmology 2012;119:43–50
7. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Skleritis
Theraphy. Ophthalmology 2012;119:51–58
8. Lani T. H, Lyndell L.L, Brian V, Dongseok C and James T. R. Antineutrophil
Cytoplasmic Antibody–Associated Active Scleritis. Arch Ophthalmol. 2008;126(5):651-
655
9. Douglas A. J, Abdulbkhi M, J.P. DUNN and Martha J. M. Episcleritis and Scleritis:
Clinical Features and Treatment Results. Ophthalmol 2000;130:469–476
10. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgínia F.M.T, Hellen F and Luís E.C. A. Sclera-Specific
and Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of Patients with Non-Infectious
Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol; 2007;47(3):174-179

35
11. Scott O et all. Haemophilus influenzae associated scleritis. Br J Ophthalmol
1999;83:410–413
12. Zainah A, Donald T H T, and S-P Chee. Necrotising scleritis after bare sclera excision of
pterygium. Br J Ophthalmol 2000;84:1050–1052
13. Srikant K S, Sujata D, Savitri S and Kalyani S. Clinico-Microbiological Profile and
Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a Tertiary Eye Care Center
of India. International Journal of Inflammation:2012:1-8
14. Jacquelin M, et all. Comparative study of ophthalmological and serological
manifestations and the therapeutic response of patients with isolated scleritis and scleritis
associated with systemic diseases. Arq Bras Oftalmol . 2011;74(6):405-9

36

Anda mungkin juga menyukai