Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

REFERAT : GANGGUAN PERSEPSI

LAPORAN KASUS : GANGGUAN CEMAS MENYELURUH

Oleh :

Reski Ambarwati, S.Ked

1055 054051 18

Pembimbing :

Dr. Hawaidah, Sp.KJ (K)

(Dibawakan Dalam Rangka Memenuhi Tugas

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa)


HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Reski Ambarwati, S.Ked

(1055 054051 18)

Judul Referat : Gangguan Persepsi

Judul Laporan Kasus : Gangguan Cemas Menyeluruh

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Oktober 2019

Pembimbing

dr. Hawaidah, Sp.KJ (K)


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.wb

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan Referat dan Laporan Kasus ini dapat diselesaikan.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW.

Referat dan Laporan Kasus ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya

sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran

Jiwa. Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada dr.

Hawaidah, Sp.KJ (K) selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun

dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas

ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa penyusunan Referat dan Laporan Kasus ini belum sempurna

adanya dan memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik

moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik. Akhir kata, penulis berharap agar

Referat dan Laporan Kasus ini dapat memberi manfaat kepada semua orang.

Makassar, Okotober 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Persepsi berasal dari bahasa latin perceptio yang berarti menerima atau mengambil.
Adapun menurut kamus besar bahasa Indonesia, persepsi itu adalah proses seseorang mengetahui
beberapa hal melalui pancaindranya.1 Persepsi merupakan aktivitas mengindera,
mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada objek-objek fisik maupun objek sosial, dan
penginderaan tersebut tergantung pada stimulus fisik dan stimulus sosial yang ada
dilingkungannya. Sensasi-sensasi dari lingkungan akan diolah bersama-sama dengan hal-hal
yang telah dipelajari sebelumnya baik hal itu berupa harapan-harapan, nilai-nilai, sikap, ingatan,
dan lain-lain. Persepsi terdiri dari adanya objek, stimulus, pancaindera dan proses pengolahan
persepsi dalam otak manusia. Maka, gangguan persepsi adalah ketikdakmampuan manusia dalam
membedakan antara rangsang yang timbul dari sumber internal seperti pikiran, perasaan, sensasi
somatik dengan impuls dan stimulus eksternal.2
Jenis-jenis gangguan persepsi terdiri dari : Depersonalisasi, Derealisasi, Ilusi, dan
Halusinasi. Depersonalisasi merupakan perasaan aneh tentang dirinya atau perasaan bahwa
pribadinya sudah tidak seperti biasa lagi. Derealisasi adalah perasaan aneh tentang
lingkungannya dan tidak menurut kenyataan. Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah
tentang pencerapan yang sungguh terjadi, karena rangsang pada panca-indera. Sedangkan
halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca-indera seorang pasien,
yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik
ataupun histerik.3
Psikopatologi adalah satu cabang ilmu psikiatri yang berkepentingan untuk meneyelidiki
penyakit atau gangguan mental dan gejala-gejala abnormal lainnya (Chaplin, 1999: 405).
Psikopatologi adalah sakit yang tampak dalam bentuk perilaku dan fungsi kejiwaan yang tidak
stabil. Istilah psikopatologi mengacu pada sebuah sindroma yang luas, yang meliputi
ketidaknormalan kondisi indra, kognisi, dan emosi.4
Berikut akan diuraikan mengenai pengertian persepsi, jenis-jenis persepsi, serta
psikopatologinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERSEPSI
Persepsi adalah daya mengenal kualitas, hubungan serta perbedaan suatu benda
melalui proses mengamati, mengetahui dan mengartikan, setelah pancainderanya
mendapat rangsangan.3 Proses persepsi membutuhkan objek luar, rangsangan, dan
pancaindera (reseptor). Menurut Gibson, persepsi adalah proses kognitif yang
dipergunakan oleh individu untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya (terhadap
objek). Gibson juga menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses pemberian arti
terhadap lingkungan oleh individu. Oleh karena itu, setiap individu memberikan arti
kepada stimulus secara berbeda meskipun objeknya sama. Menurut Young, persepsi
merupakan aktivitas mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada
objek-objek fisik maupun objek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada
stimulus fisik dan stimulus sosial yang ada dilingkungannya. Sensasi-sensasi dari
lingkungan akan diolah bersama-sama dengan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya
baik hal itu berupa harapan-harapan, nilai-nilai, sikap, ingatan dan lain-lain. Sedangkan
menurut Wagito, menyatakan bahwa persepsi merupakan proses psikologis dan hasil dari
penginderaan serta proses terakhir dari kesadaran, sehingga membentuk proses berpikir.
Syarat terjadinya persepsi adalah adanya5 :
1. Adanya objek yang dipersepsi
2. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam
mengadakan persepsi
3. Adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus
4. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus keotak, yang kemudian
sebagai alat untuk mengadakan respon
Faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu5 :
1. Faktor fungsional dihasilkan dari kebutuhan, kegembiraan (suasana hati), pelayanan,
dan pengalaman masa lalu seseorang individu.
2. Faktor-faktor struktural berarti bahwa faktor-faktor tersebut timbul atau dihasilkan
dari bentuk stimuli dan efek efek netral yang ditimbulkan dari sistem syaraf individu.
Persepsi melewati tiga proses,yaitu5 :
1. Proses fisik melalui kealaman, yakni objek diberikan stimulus, kemudian diterima
oleh reseptor atau panca indera
2. Proses fisiologis melalui stimulus yang dihantarkan kesaraf sensorik lalu disampaikan
keotak
3. Proses psikologis terjadi pada otak sehingga individu menyadari stimulus yang
diterima
Maka, gangguan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan
antara rangsang yang timbul dari sumber internal seperti pikiran, perasaan, sensasi
somatik dengan impuls dan stimulus eksternal.
B. GANGGUAN PERSEPSI
Gangguan persepsi dibagi menjadi 4 yaitu6 :
1. Depersonalisasi : perasaan bahwa seseorang telah kehilangan perasaannya sendiri;
perasaan ia tidak nyata.
2. Derealisasi : perasaan bahwa objek dan orang tidak lagi tampak nyata; tidak merasa
mengalaminya.
3. Ilusi : objek yang diterima indera dapat diinterpretasikan salah, misalnya batang
pohon dalam gelap dapat menyerupai manusia, bunyi papan lantai yang berderit
terdengar sebagai rintih kesakitan. Bedakan dari salah interpretasi intelektual yang
persepsinya normal.
4. Halusinasi : gangguan persepsi yang muncul tanpa rangsangan luar. Bisa auditorius
(terdengar suara, walau tidak ada yang berbicara), visual (penglihatan), atau somatik
misalnya sensasi gangguan seksual. Harus dibedakan dari pseudohalusinasi yang
biasanya timbul dalam hysteria dan kurang percaya diri misalnya pasien melihat
sesuatu dalam “mata pikiran”nya atau dengan mata tertutup. Halusinasi hipnagogik
atau hipnopompik (sewaktu tidur atau bangun tidur) tidak selalu patologik.
Jenis-jenis halusinasi adalah3 :
 Halusinasi penglihatan (visual, optik)
 Halusinasi pendengaran (auditif, akustik)
 Halusinasi pencium (olfaktorik)
 Halusinasi pengecap (gustatorik)
 Halusinasi peraba (taktil)
 Halusinasi kinestetik
 Halusinasi viseral
 Halusinasi hipnagogik
 Halusinasi hipnopompik
 Halusinasi histerik
Berdasarkan psikopatologinya, gangguan persepsi dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :
1. Distorsi sensorik (sensory distortion), keadaan dimana salah tafsir pascaindera akibat
penyimpangan (distorsi) dalam menangkap rangsangan sensorik. Bentuk distorsi sensorik
adalah berupa :
a. Perubahan intensitas
 Hiperestesia, merasakan suatu rangsangan sensorik secara berlebih
 Hipostesia, rangsangan sensorik dirasakan kurang
b. Perubahan kualitas
c. Kualitas penilaian terhadap rangsangan sensorik berubah
 Klorospia, semua tampak hijau
 Xantopsia, semua tampak kuning
 Eritropsia, semua tampak merah
d. Perubahan bentuk (dismegalopsia)
 Mikropsia, benda-benda yang dilihat menjadi lebih kecil
 Makrospia, benda-benda yang dilihat menjadi lebih besar
2. Desepsi sensorik (sensory deception), munculnya persepsi baru dengan atau tanpa objek
luar. Munculnya persepsi baru dengan objek luar disebut sebagai ilusi, sedang apabila
tanpa objek luar disebut halusinasi.

a. Depersonalisasi7
Depersonalisasi merupakan satu gangguan persepsi yang menimbulkan suatu
perasaan bahwa dirinya tidak hidup dalam kenyataan (unreal) atau berubah sehingga
asing terhadap diri sendiri. Depersonalisasi seperti juga derealisasi, dapat terjadi
dalam waktu singkat pada orang normal dibawah tekanan yang dahsyat (contoh, saat
terjadinya trauma psikologik atau fisk). Gejala ringan dapat terjadi pada orang normal
ketika dihadapkan pada lingkungan yang asing.
1. Gambaran klinis dan gambaran umum
Pasien dengan depersonalisasi dapat mengungkapkan perasaan seolah mereka
dipisahkan dari tubuhnya, dan meninjau kehidupan mereka seperti sebagai penonton.
Mereka juga merasa seperti alat mekanik saja atau serupa dengan robot. Sang pasien
biasanya menyadari bahwa gejalanya itu tidak sesuai dengan kenyataan, dan merasa
bahwa pengalaman itu tidak nyaman.
Depersonalisasi yang cukup hebat dapat menyebabkan hendaya dan bila berulang,
tanpa gejala menonjol lainnya, dapat memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan
depersonalisasi.
Tabel Kriteria Diagnostik Gangguan Depersonalisasi
A Pengalaman depersonalisasi yang menetap dan berulang sebagai ditunjukkan
adanya salah satu dari (1) suatu pengalaman seolah terlepas dari dan seolah
dirinya merupakan satu pengamat tentang proses mental dirinya atau tubuhnya
atau (2) suatu perasaan seperti mesin yang diatur atau seperti dalam mimpi
B Saat mengalami depersonalisasi itu, kemampuan menilai kenyataan tetap utuh
C Depersonalisasi cukup berat dan menetap menyebabkan penderitaan yang
cukup berat
D Depersonalisasi sebagai gangguan utamanya dan tidak merupakan gejala dari
gangguan lain, seperti skizofrenia, gangguan panik, atau agorafobia tanpa
riwayat gangguan panik tetapi dengan serangan yang sedikit dari gejala
depersonalisasi, atau epilepsi lobus temporalis
Depersonalisasi juga satu gejala dari rentangan berbagai gangguan
termasuk gangguan disosiatif, skizofrenia, ansietas (terutama gangguan stress
pasca traumatik), depresi, dan gangguan organik. Depersonalisasi juga dapat
disebabkan oleh intoksikasi kokain, halusinogenika, dan kanabis dan oleh
putusnya alkohol dan hipnotika-sedatif lain. Zat pemblok-beta,
antikolinergika, dan keadaan medik seperti epilepsy dan gangguan endokrin
dapat menyebabkan juga depersonalisasi.
2. Pedoman Wawancara dan Psikoterapi
Gejalanya tidak selalu terjadi ketika wawancara. Tetapi seorang pasien
yang mengalami depersonalisasi saat wawancara dapat berada dalam kondisi
seperti mimpi dan hanya sebagian kesadarannya yang responsive terhadap
lingkungannya. Pemeriksa wajib bersikap tegas, memberi petunjuk yang jelas dan
membantu pasien agar dapat mengikuti dan membantu proses wawancara dan
pemeriksaan. Dengan sedikit bujukan, gejala itu dapat terhenti, terutama bila
depersonalisasinya akibat kecemasan. Tujuan dari wawancara ialah demi
diagnosis pasti. Perlu disingkirkan gangguan organik, depresi, gangguan
kepribadian, skizofrenia, dan ansietas sebelum diagnosis gangguan
depersonalisasi ditegakkan. Sebagai kaidah, pertimbangkan diagnosis yang paling
berat dulu (contoh, gangguan organik) dan singkirkan dahulu, baru
pertimbangkan diagnosis lainnya.
3. Evaluasi dan Pengelolaan
 Pertimbangkan berbagai penyebab yang mungkin berdasarkan atas
riwayat pasien. Pertama pertimbangkan riwayat dari penggunaan atau
pemutusan zat, kemudian sindrom mental organik. Skizofrenia biasanya
menampilkan gejala ini bersama dengan gambaran lainnya yang khas,
termasuk gangguan alam pikiran. Riwayat trauma dahsyat yang baru
terjadi menunjukkan kearah depersonalisasi sebagai reaksi normal.
Riwayat episode depersonalisasi berulang setelah trauma menunjuk
kearah gangguan stress pasca-traumatik. Riwayat dari gejala disosiatif
lainnya menunjuk kearah gangguan disosiatif.
 Obat yang diberikan, terutama steroida, dapat menyebabkan gangguan
organik dengan depersonalisasi sebagai salah satu gejalanya.
 Pada pemeriksaan status mental, carilah gejala gangguan afektif, ansietas,
psikosis, dan disosiatif.
 Lakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan neurologik juga harus
dilakukan. Bila diagnosis tetap tidak jelas, perintahkan untuk melakukan
pemeriksaan lengkap gangguan organik, termasuk skrining toksikologik
urin, elektroensefalogram (EEG), dan tomografi komput (CT) scan dari
kepala.
4. Terapi Obat
Terapi obat bergantung pada diagnosis pastinya. Bila depersonalisasinya
merupakan gejala dari ansietas hebat, satu benzodiazepin yang berdaya kerja
pendek seperti lorazepam (Ativan) 1-2 mg per oral, estazolam (ProSom, Esligan)
0,5-1 mg per oral, atau alprazolam (Xanax) 0,5-1 mg per oral dapat diberikan.
Pada beberapa kasus, suatu benzodiazepin yang berdaya kerja panjang contohnya
klorazepat (Tranxene) 7,5-15 mg per oral, klonazepam (Klonopin, Rivotril) 0,25-
0,5 mg per oral, diazepam (Valium) 5-10 mg per oral, atau kloradiazepoksida
(Librium) 10-25 mg per oral dapat diberikan. Gejala akan menghilang beberapa
saat setelah pemberian obat ini.

b. Derealisasi8
Derealisasi merupakan satu gangguan persepsi yang menyangkut suatu perasaan
bahwa lingkungan seseorang menjadi tidak nyata atau berubah dan aneh tanpa
diterangkan.
1. Gambaran Klinis dan Diagnosis
Pasien menggambarkan perasaannya bahwa seolah mereka menjadi
pemain sandiwara diatas panggung. Derealisasi sering terkait dengan
depersonalisasi. Kedua keadaan depersonalisasi dan derealisasi dapat juga terjadi
pada orang normal yang sedang mengalami stress dahsyat; gangguan ini dianggap
sebagai mekanisme pengelaan yang dapat melindungi pasien dari stress yang amat
dahsyat.
Derealisasi juga merupakan satu gejala dari berbagai gangguan termasuk
skizofrenia, gangguan disosiasi, gangguan ansietas (terutama gangguan stress-
pasca-traumatik), gangguan kepribadian ambang, depresi dan gangguan mental
organik. Derealisasi dapat disebabkan oleh intoksikasi kokain atau
psikostimulansia lain, seperti halusinogenika, atau kanabis atau karena putus
alkohol atau dari hipnotika-sedatif, pemblok-beta, obat antikolinergik, epilepsy,
dan gangguan endokrin.
2. Pedoman Wawancara dan Psikoterapi
Pasien mungkin berada dalam keadaan seperti mimpi dan hanya sebagian
yang responsif terhadap lingkungannya. Sebaiknya pemeriksa lebih tegas
mengatur dan pasien harus menurut dengan wawancara dan pemeriksaan itu.
Dengan sedikit bujukan pada pasien, keadaan derealisasi itu dapat terhenti,
sehingga memberi kesempatan evaluasi. Tujuan wawancara ialah menentukan
diagnosis pasti. Derealisasi merupakan satu gejala yang non-spesifik dan jarang
berada sendiri saja, tanpa gejala lain.
3. Evaluasi dan Pengelolaan
 Pertimbangkan penyebab yang mungkin. Riwayat dari penggunaan dan
pemutusan zat harus didahulukan, baru gangguan mental organik.
Skizofrenia biasanya menampilkan diri dengan gejala kaitan lainnya,
termasuk psikosis dan gangguan alam pikiran. Riwayat dari trauma hebat
yang baru terjadi menunjuk kearah derealisasi yang normal. Riwayat dari
episode yang berulang setelah mengalami trauma menunjuk kearah
gangguan stress-pasca-traumatik. Sedangkan riwayat depersonalisasi atau
gejala disosiatif lain akan menunjuk kearah gangguan disosiatif.
 Berikan obat, terutama steroida, dapat menyebabkan gangguan mental
organik yang mengandung gejala derealisasi.
 Singirkan kondisi organik lain seperti dengan EEG, pemeriksaan skrining
toksikologik urin, pemeriksa medic lengkap, dan pemeriksa endokrin
lengkap seperti tiroid, pankreas, suprarenalis.
 Carilah gejala gangguan afektif, ansietas, psikosis, dan gangguan
disosiatif.
 Perilaku pasien biasanya menarik diri atau cemas dan agitatif.
4. Terapi Obat
Terapi obat bergantung pada diagnosis pasti dulu. Bila derealisasi
merupakan gejala ansietas yang dahsyat, benzodiazepin boleh diberikan untuk
jangka waktu yang pendek. Untuk skizofrenia dan kondisi psikotik lain,
antipsikotika lebih dianjurkan.
c. Ilusi9
Ilusi merupakan salah satu-terjemahan daya tanggap orang terhadap satu rangsang
dari luar yang memang ada. Sebaliknya, halusinasi tidak terkait dengan rangsang
eksternal yang nyata.
1. Gambaran Klinis dan Diagnosis
Ilusi merupakan gejala yang tidak dapat dibandingkan pentingnya dengan
halusinasi. Ilusi sering timbul pada orang normal, terutama bila mereka tertidur,
lelah, atau karena rangsang yang berlebih. Tugas klinisi yang terpenting ialah
menentukan bila ilusi itu memang gejala gangguan psikotik, seperti skizofrenia.
Pada pasien psikotik, upaya membedakan ilusi dari halusinasi sering sulit juga.
Para klinisi harus menentukan bahwa ilusi merupakan akibat sekunder dari
delirium, intoksikasi, atau gejala putus zat.
Pada orang normal, hilangnya perasaan sensorik dapat menimbulkan ilusi,
terutama pada orang tua yang mengalami penurunan ketajaman sensorik. Stress
fisik dan psikologik dapat pula mencetuskan ilusi.
2. Pedoman Wawancara dan Psikoterapi
Bila halusinasi juga ada, wawancara harus termasuk evaluasi lengkap
untuk gangguan psikotik. Bila ilusinya ringan, beritahu pasien bahwa ilusi itu
sering normal dan tidak menunjukkan masalah psikiatrik yang berat, terutama bila
ilusi itu terjadi setelah ada deprivasi sensorik atau bila pasien berada dibawah
stress.
3. Evaluasi dan Pengelolaan
 Pertama pusatkan perhatian adanya gejala psikotik yang khas seperti
halusinasi dan waham.
 Laksanakan pemeriksaan status mental yang lengkap, dan catatlah riwayat
pasien. Pemeriksaan fungsi kognitif harus mengevaluasi juga adanya
berbagai gangguan seperti skizofrenia, depresi, mania, ansietas,
penyalahgunaan zat psikoaktif, dan gangguan mental organik. Periksa
pasien secara fisik-medik, karena ilusi mungkin disebabkan oleh penyakit
sistemik biasa.
 Periksalah perjalanan dari ilusi itu dan gangguan yang diakibatkannya.
Ilusi biasanya hanya sepintas lintas saja. Adanya ilusi yang menetap dan
gangguan yang diakibatkan mengarah pada psikopatologi yang gawat.
 Pada lansia yang mengalami ilusi setelah deprivasi sensorik,
pengembalian pada lingkungan yang cukup memberikan rangsang akan
menghilangkan gejala dan memulihkan kondisi pasien.
4. Terapi Obat
Tidak ada terapi obat yang khas dapat diberikan. Bila pasien sangat
terganggu oleh gejala itu, benzodiazepin seperti diazepam (Valium) 5-10 mg per
oral 1-2x sehari, klonazepam (Klonopin, Rivotril) 0,25-0,5 mg peroral 1-2x
sehari, atau lorazepam (Ativan) 1-2 mg per oral 1-2x sehari mungkin membantu
untuk jangka pendek. Bila ilusi itu merupakan gejala dari gangguan lain, seperti
psikosis, antipsikotika dapat digunakan.

d. Halusinasi10
Halusinasi merupakan penginderaan tanpa sumber rangsang eksternal. Hal ini
dibedakan dari distorsi atau ilusi yang merupakan tanggapan salah dari rangsang yang
nyata ada. Pasien merasakan halusinasi sebagai sesuatu yang amat nyata, paling tidak
untuk suatu saat tertentu.
1. Gambaran Klinis dan Diagnosis
Halusinasi berhubungan dengan salah satu jenis indera yang khas (contoh,
auditorik, visual, taktil, olfaktorik, dan gustatorik), yang dapat dibedakan dengan
jelas. Lamanya, situasi saat terjadinya, dan interpretasi dari arti halusinasi itu amat
penting. Pengalaman halusinasi dan interpretasi waham (anggapan salah yang
kokoh dipertahankan) dari halusinasi itu perlu diperhatikan. Halusinasi sering
terjadi dalam beberapa indera secara multipel dan sering berhubungan dengan
waham dan penilaian yang salah.
Halusinasi merupakan gejala psikotik; keberadaannya memerlukan suatu
diagnosis sebelum pengobatan dapat diberikan. Halusinasi visual, olfaktorik, dan
gustatorik paling sering dijumpai pada gangguan organik (contoh, pada epilepsy
temporalis). Halusinasi taktil berupa kutu yang merayap diatas atau dibawah kulit
(formikasi) sering dijumpai pada keadaan intoksikasi kokain, keadaan putus
alkohol dan hipnotika-sedatifa. Halusinasi yang timbul hanya pada saat pasien
tidur (hipnagogik) atau saat terbangun dari tidur (hipnopompik) biasanya
dianggap tidak patologis.
Intoksikasi dengan halusinogenika, kokain, amfetamiin, atau stimulansia
lain dapat menyebabkan halusinasi, demikian juga peristiwa putus zat alkohol,
dan hipnotika-sedatif. Banyak medikasi lain dapat menyebabkan timbulnya
halusinasi sebagai efek samping. Kondisi gangguan organik seperti epilepsy
sering terkait dengan halusinasi juga. Delirium juga dapat disertai oleh halusinasi
sebagai gambaran klinis. Obat yang digunakan untuk mengobati penyakit
Parkinson (contoh, L-dopa [Larodopa, Dopar]) dapat menyebabkan juga
halusinasi.
Halusinasi juga merupakan gejala dari beberapa gangguan psikiatrik,
seperti skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan skizoafektif, mania,
depresi psikotik, gangguan kepribadian ambang, psiko reaktif sejenak, dan
gangguan psikotik yang disengaja (induced psychotic disorder). Pada beberapa
budaya, dalam keadaan yang tidak biasa, halusinasi tertentu dianggap normal
contoh mendengar suara atau melihat bayangan dari seorang yang telah
meninggal yang amat dicintainya terutama saat dukacita dan berkabung. Tetapi,
biasanya pasien sadar bahwa itu semua merupakan halusinasi yang tidak berdasar
pada kenyataan. Tetapi beberapa orang berpura-pura berhalusinasi dalam keadaan
tertentu demi keuntungan sekunder (contoh untuk menghindar dari hukuman dan
tuntutan tertentu).
2. Pedoman Wawancara dan Psikoterapi
Seperti juga terhadap pasien psikotik, jangan secara langsung menentang
gejalanya walau pasien tidak pasti tentang halusinasi itu dan kenyataannya.
Jangan mengatakan, misalnya “kau tahu bahwa suara-suara itu tidak ada
kenyataannya bukan?” amatilah pasien mungkin dia tampak tertekan oleh
halusinasi itu. Apakah hal itu dihayati oleh pasien sebagai suatu pengalaman yang
asing sama sekali atau pasien merasa bahwa hal itu seperti yang sudah sering
dijumpai? Bila pasien berekasi terhadap rangsang internal selama wawancara,
tanyakan apa yang pasien lihat atau dengar. Perhatikan apakah isi halusinasi
pasien serasi dengan afeknya? Arahkan agar didapatkan riwayat dan informasi
yang mendukung untuk penegakan diagnosis. Tanyakan tentang halusinasi
perintah (command hallucinations), tanyakan halusinasi dengar itu datang dari
dalam kepala atau luar pasien, karena halusinasi auditorik yang sungguh biasanya
dirasakan berasal dari luar diri pasien. Tanyakan bagaimana pasien mengatasi
halusinasinya.
3. Evaluasi dan Pengelolaan
 Dapatkan tanda vital pasien dan pemeriksaan toksikologik urin yang dapat
membuktikan adanya penyebab organic.
 Tinjaulah seluruh medikasi pasien termasuk obat yang diresepkan oleh
dokter, yang dibeli sendiri secara bebas, atau obat terlarang, dan
perhatikan kemungkinan intoksikasi atau gejala putus zat/obat atau
kemungkinan halusinasi itu sebagai efek samping obat.
 Nilai keadaan pasien untuk gangguan kesehatan dan neurologik lain.
Adakah delirium? Apakah pasien hiper atau hipo-tiroid? Adakah pasien
mengidap epilepsy atau infeksi SSP?
 Apakah pasien mempunyai riwayat gangguan psikiatrik primer dengan
halusinasi sebagai gejala utama? Bila demikian, bagaimana perjalanan
penyakit itu? Apakah episode terdahulu juga mengandung ciri halusinasi
yang sama? Apakah pasien datang berobat karena frekuensi dan intensitas
halusinasinya bertambah?
 Apakah pasien berniat melakukan tindakan yang berbahaya untuk
menghadapi halusinasi itu (contoh, melakukan bunuh diri untuk mengikuti
suara perintah khayal itu)?
 Terapi bergantung pada diagnosisnya. Gangguan organik yang diketahui
harus diatasi dahulu atau diobati. Untuk kondisi psikiatrik perlu ditelaah 2
masalah yaitu perlunya dirawat dirumah sakit atau diterapi sambil berobat
jalan.
 Pasien yang berbahaya perlu dirawat dirumah sakit, bila perlu secara
paksa (involuntarily). Pasien yang mengidap gangguan psikotik gawat dan
yang tidak mampu merawat dirinya juga memerlukan perawatan dirumah
sakit, perhatikan apakah pasien dapat patuh mengikuti program terapi
perobatan jalan, juga perlu ditelaah beberapa kemudahan seperti keluarga
atau teman yang mampu menampung, tempat berteduhnya, dan
pertimbangkan juga aspek medik lain (contoh, gejala putus alkohol atau
obat adiktif lain, penyulit medik, dan gangguan neurologik) yang
memerlukan perawatan dirumah sakit.
 Pasien yang tidak berbahaya atau yang amat terganggu alam pikirnya
dapat dirujuk untuk berobat secara ambulan.
4. Terapi Obat
Halusinasi yang diduga dapat diatasi secara mudah dan cepat (misalnya,
halusinosis halusinogenik atau timbul karena dukacita dan berkabung) dapat
diobati dengan benzodizepin. Penenangan pasien agitatif dapat dilaksanakan
dengan benzodiazepin dan antipsikotika, keduanya dapat mengatasi secara cepat
gangguan perilakunya.
Antidepresiva, litium (Eskalith, Priadel, Teralithe) dan antikonvulsiva
biasanya tidak diberikan dalam UGD tetapi harus diberikan bila pasien
sebelumnya memang sudah menggunakan obat itu, karena khasiatnya baru timbul
setelah penggunaan beberapa saat minimal 2-3 minggu dan sesuai dengan
kepatuhannya.
Diantara semua jenis gangguan persepsi, halusinasi yang paling sering
dialami.
Jenis-jenis halusinasi, seperti11:
a. Halusinasi hipnagogik: persepsi sensoris yang keliru yang terjadi saat akan
tertidur; secara umum bukan tergolong fenomena yang patologis.
b. Halusinasi hipnapompik: persepsi sensorik keliru yang terjadi saat terbangun dari
tidur; secara umum bukan tergolong fenomena patologis.
c. Halusinasi dengar (auditorik): persepsi bunyi yang palsu, biasanya berupa suara
orang tetapi dapat juga bunyi-bunyi lain, seperti music; merupakan jenis
halusinasi yang paling sering ditemukan pada gangguan psikiatrik.
d. Halusinasi visual: persepsi penglihatan keliru yang berupa citra yang berbentuk
(sebagai contohnya, orang) dan citra yang tidak berbentuk (sebagai contohnya,
kilatan cahaya); seringkali terjadi pada gangguan medis umum.
e. Halusinasi cium (olfaktoris): persepsi menghidu yang palsu, seringkali terjadi
pada gangguan medis umum.
f. Halusinasi kecap (gustatoris): persepsi tentang rasa kecap yang keliru, seperti rasa
kecap yang tidak menyenangkan, sebagai gejala awal kejang; seringkali terjadi
pada gangguan medis umum.
g. Halusinasi raba (taktil; haptik): persepsi keliru tentang perabaan atau sensasi
permukaan, seperti sensasi dari suatu tungkai yang teramputasi (phantom limb),
sensasi adanya gerakan pada kulit atau dibawah kulit (formication).
h. Halusinasi somatik: sensasi keliru tentang sesuatu hal yang terjadi didalam tubuh
atau terhadap tubuh, paling sering berasal dari organ visceral (juga dikenal
sebagai cenesthesic hallucination).
i. Halusinasi liliput: persepsi yang keliru dimana benda-benda tampak lebih kecil
ukurannya (juga dikenal sebagai mikropsia) atau benda terlihat lebih besar
ukurannya (makropsia).
j. Halusinasi yang sejalan dengan mood (mood congruent hallucination): halusinasi
dimana isi halusinasi adalah konsisten dengan mood yang depresi atau manik
(sebagai contohnya, pasien yang mengalami depresi mendengar suara yang
mengatakan bahwa pasien adalah orang yang jahat; seorang pasien manik
mendengar suara yang mengatakan bahwa pasien memiliki harga diri, kekuatan,
dan pengetahuan yang tinggi).
k. Halusinasi yang tidak sejalan dengan mood (mood-incongruent hallucination):
halusinasi dimana isinya tidak konsisten dengan mood yang depresi atau manik
(sebagai contohnya, pada depresi, halusinasi tidak melibatkan tema-tema tersebut
seperti rasa bersalah, penghukuman yang layak diterima, atau ketidakmampuan;
pada mania, halusinasi tidak mengandung tema-tema tersebut seperti harga diri
atau kekuasaan yang tinggi).
l. Halusinosis: halusinasi, paling sering adalah halusinasi dengar, yang berhubungan
dengan penyalahgunaan alkohol kronis dan terjadi dalam sensorium yang jernih,
berbeda dengan delirium tremens (DTs), yaitu halusinasi yang terjadi dalam
konteks sensorium yang berkabut.
m. Sinestesia: sensasi atau halusinasi yang disebabkan oleh sensasi lain (sebagai
contohnya, suatu sensasi auditoris yang disertai atau dicetuskan oleh suatu sensasi
visual; suatu bunyi dialami sebagai dilihat, atau suatu penglihatan dialami sebagai
didengar).
n. Trailing phenomenon: kelainan persepsi yang berhubungan dengan obat-obat
halusinogen dimana benda yang bergerak dilihat sebagai deretan citra yang
terpisah dan tidak kontinu.
o. Command hallucination: persepsi perintah yang palsu dimana seseorang dapat
merasa patuh terhadap perintah atau tidak mampu menolak/menentang.
Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori
yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik
dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
Persepsi adalah daya mengenal kualitas, hubungan serta perbedaan suatu benda melalui
proses mengamati, mengetahui dan mengartikan, setelah pancainderanya mendapat rangsangan.
Gangguan persepsi adalah ketidakmapuan manusia dalam membedakan antara rangsang yang
timbul dari sumber internal seperti pikiran, perasaan, sensasi somatik dengan impuls dan
stimulus eksternal. Gangguan persepsi dapat berupa depersonalisasi, derealisasi, ilusi, dan
halusinasi.
Penting untuk mengetahui pengertian persepsi dan jenis gangguan persepsi karena
apabila tidak diketahui dan ditangani dapat berdampak pada keseluruhan aspek hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. https://kbbi.web.id/persepsi.html diakses pada tanggal 14 oktober 2019
2. Listyana Rohmaul, Hartono Yudi. Jurnal Agastya Vol 5 No 1. Persepsi dan
Sikap Masyarakat Terhadap Penanggalan Jiwa Dalam Penentuan Waktu
Pernikahan. Madiun. Januari 2015.
3. Maramis W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press.
2009.
4. Wahidah Evita Yuliatul. Psikoterapi Islam terhadap Psikopatologi.
Bojonegoro. Desember 2016.
5. Sudarsono Andi, Suharsono Yudi. Hubungan Persepsi Terhadap Kesehatan
dengan Kesadaran (Mindfulness). Universitas Muhammadiyah Malang.
Januari 2016.
6. Ingram I.M, Timbury G.C, Mowbray R.M. Catatan Kuliah Psikiatri. Edisi 6.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009.
7. Roan Dr. Wicaksana M. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Universitas Airlangga
Surabaya. 2010.
8. Tomb David A. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2010.
9. Hibbert Allison, Godwin Alice, Dear Frances. Rujukan Cepat Psikiatri.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009.
10. Maslim Dr. Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta. 2015.
11. Maramis Willy F, Maramis Albert A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Airlangga University Press. 2010.

Anda mungkin juga menyukai