Pembimbing:
dr. Hj. Fitrianti, M.Kes
dr. Giszka Putri, M.KS
Bahrun Indawan Kasim, S.KM, M.Si
Disusun oleh:
Telah diterima sebagai salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Palembang, Maret 2023
Mengetahui,
Kepala Bagian IKM-IKK FK Unsri
dr. Emma Novita, M.Kes ………………………………………..
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan akhir dengan
judul “Evaluasi Pengelolaan Penyakit Hipertensi dan Diabetes Mellitus dengan
Pendekatan Kedokteran Keluarga”. Laporan akhir ini merupakan salah satu
syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
dan Ilmu Kesehatan Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Kepala
Bagian IKM-IKK FK Unsri, dr. Emma Novita, M.Kes, Kepala Puskesmas Talang
Ratu Palembang, dr. Hj. Fitrianti, M.Kes, dokter pembimbing Puskesmas Talang
Ratu dr. Giszka Putri, M.KS, dosen pembimbing lapangan, Bahrun Indawan Kasim,
S.KM, M.Si, beserta staff - staff Puskesmas Talang Ratu Palembang, teman- teman
dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan laporan
akhir ini.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
2.3.2 Fungsi Keluarga .................................................................................... 41
2.3.3 Siklus Fase Kehidupan Keluarga ......................................................... 43
2.3.4 Genogram .............................................................................................. 44
2.3.5 Family Assessment (APGAR, SCREEM).............................................. 45
2.3.6 Pelayanan Kedokteran Keluarga ......................................................... 47
2.3.7 Prinsip Pelayanan Dokter Keluarga ..................................................... 47
2.3.8 Faktor yang mempengaruhi kesehatan individu dan keluarga ........... 48
BAB III TINJAUAN KASUS .................................................................................................... 49
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................................................... 60
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................. 66
5
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Prevalensi Hipertensi Berdasarkan Pengukuran pada Laporan 10
Riskesdas Tahun 2018……………………………..............
7 Mandala of Health………………………………………………. 48
6
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Konsensus Penatalaksanaan 14
Hipertensi 2019………………………………….........................
7
BAB I
PENDAHULUAN
8
dengan pendekatan kedokteran keluarga dapat meningkatkan derajat kesehatan. 2
Pada Puskesmas Merdeka penyakit hipertensi dan diabetes mellitus
menempati 3 besar dari sepuluh penyakit terbanyak di wilayah kerja puskesmas
tersebut. Hipertensi menduduki urutan pertama dan diabetes mellitus menempati
urutan ketiga dari sepuluh penyakit terbanyak pada tahun 2021. Maka dari itu, untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut dari penyakit hipertensi dan diabetes mellitus
dilakukan pendekatan kedokteran keluarga.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengevaluasi penatalaksanaan pasien hipertensi dan diabetes mellitus
dengan pendekatan kedokteran keluarga.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Menentukan evaluasi pada pengelolaan tatalaksana pasien
hipertensi dan diabetes mellitus dengan pendekatan keluarga.
1.2.2.2 Menentukan keberhasilan penatalaksanaan pasien hipertensi
dan diabetes mellitus yang ditangani secara komprehensif.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah merupakan manifestasi gangguan keseimbangan
hemodinamik sistem kardiovaskular yang ditandai dengan peningkatan persisten
dari tekanan darah sistolik istirahat (≥ 140 mm Hg), tekanan darah diastolik (≥ 90
mm Hg), atau keduanya. Persistensi peningkatan tekanan darah ini harus terbukti,
sebab bisa saja peningkatan tekanan darah bersifat transien atau hanya merupakan
peningkatan diurnal dari tekanan darah normal yang sesuai siklus sirkardian (pagi
sampai siang tekanan darah meningkat namun pada malah hari tekanan darah
menurun dalam batas variasi normal).3,4
Gambar 1. Prevalensi Hipertensi di Indonesia pada Riskesdas Tahun 2013 dan 2018
10
Gambar 2. Prevalensi Hipertensi Berdasarkan Pengukuran pada Laporan
Riskesdas Tahun 2018.
Hasil Riskesdas 2018 menunjukan bahwa Provinsi Kalimantan Selatan
memiliki prevalensi tertinggi sebesar 44,13% diikuti oleh Jawa Barat sebesar
39,6%, Kalimantan Timur sebesar 39,3%. Provinsi Papua memiliki prevensi
hipertensi terendah sebesar 22,2% diikuti oleh Maluku Utara sebesar 24,65% dan
Sumatera Barat sebesar 25,16%. Sementara untuk Sumatera Selatan, prevalensi
hipertensi berdasarkan diagnosis dokter sebesar 7,34% dan berdasarkan hasil
pengukuran pada penduduk umur >18 tahun sebesar 30,44%.1,5
11
2.1.4 Patofisiologi3,6
Curah Jantung Dan Resistensi Perifer
12
Disfungsi Endotel
Zat Vasoaktif
Faktor Genetik
Meskipun gen dan faktor genetik yang terpisah telah dikaitkan dengan
perkembangan hipertensi esensial, beberapa gen kemungkinan besar berkontribusi
pada perkembangan gangguan pada individu tertentu. Hipertensi sekitar dua kali
lebih umum pada subjek yang memiliki satu atau dua orang tua hipertensi, dan
banyak studi epidemiologi menunjukkan bahwa faktor genetik menyumbang sekitar
30% dari variasi tekanan darah di berbagai populasi.
2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah sistolik dan
diastolik digolongkan berdasarkan tabel berikut :
13
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Konsensus Penatalaksanaan
Hipertensi 2019
- Hipertensi sekunder adalah bentuk penyakit yang kurang umum yang terjadi
karena kondisi tertentu. Gangguan termasuk sleep apnea, tumor dan gagal
ginjal semua dapat menyebabkan hipertensi terjadi sebagai efek samping.
Jenis Hipertensi Yang Kurang Umum.7
- Hipertensi maligna adalah tekanan darah tinggi yang terjadi secara tiba-tiba dan
drastis. Seseorang mungkin mengalami mati rasa di tubuh serta masalah
penglihatan, kelelahan ekstrim, kebingungan, kecemasan dan kejang. Ada
berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kondisi ini, termasuk skleroderma,
penyakit ginjal, cedera tulang belakang, tumor kelenjar adrenal, penggunaan
obat-obatan terlarang seperti kokain, dan penggunaan obat-obatan tertentu
seperti pil KB. Ketika kondisi yang mendasarinya sembuh, tekanan darah
kembali normal
14
Jenis hipertensi ini adalah akibat dari usia tua dan pola makan yang buruk.
Arteri menjadi kaku, menghasilkan angka sistolik yang tinggi dengan angka
diastolik yang normal.
- Hipertensi resisten disebut demikian ketika tiga obat gagal untuk berhasil
mengobati kondisi tersebut.
2.1.6 Diagnosis3
Anamnesis
15
Pemeriksaan Fisik
2.1.7 Tatalaksana4
Intervensi Pola Hidup
Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat awitan hipertensi
dan dapat mengurangi risiko kardiovaskular. Pola hidup sehat telah terbukti
menurunkan tekanan darah yaitu dengan :
16
1. Pembatasan Konsumsi Garam
Konsumsi garam berlebih terbukti meningkatkan tekanan darah dan
meningkatkan prevalensi hipertensi. Rekomendasi penggunaan natrium (Na)
sebaiknya tidak lebih dari 2 gram/hari (setara dengan 5-6 gram NaCl perhari
atau 1 sendok teh garam dapur). Sebaiknya menghindari makanan dengan
kandungan tinggi garam.
2. Perubahan Pola Makan
Pasien hipertensi disarankan untuk konsumsi makanan seimbang yang
mengandung sayuran, kacangkacangan, buah-buahan segar, produk susu
rendah lemak, gandum, ikan, dan asam lemak tak jenuh (terutama minyak
zaitun), serta membatasi asupan daging merah dan asam lemak jenuh.
3. Penurunan Berat Badan dan Menjaga Berat Badan Ideal
Tujuan pengendalian berat badan adalah mencegah obesitas (IMT >25 kg/m2),
dan menargetkan berat badan ideal (IMT 18,5 – 22,9 kg/m2) dengan lingkar
pinggang <90 cm pada laki-laki dan <80 cm pada perempuan.
4. Olahraga Teratur
Olahraga teratur dengan intensitas dan durasi ringan memiliki efek penurunan
TD lebih kecil dibandingkan dengan latihan intensitas sedang atau tinggi,
sehingga pasien hipertensi disarankan untuk berolahraga setidaknya 30 menit
latihan aerobik dinamik berintensitas sedang (seperti: berjalan, joging,
bersepeda, atau berenang) 5-7 hari per minggu.
5. Berhenti Merokok
Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker, sehingga status
merokok harus ditanyakan pada setiap kunjungan pasien dan penderita
hipertensi yang merokok harus diedukasi untuk berhenti merokok.
17
Gambar 1. Alur Panduan Inisiasi Terapi Obat
Pengobatan Hipertensi – Terapi Obat.
18
Lercanidipin 10-20 1
CCB – Diltiazem SR 180 – 360 2
nondihidropiridin
Diltiazem CD 100-200 1
Verapamil SR 120 – 480 1 atau 2
Lini Ke-dua
Loop diuretics Furosemid 20-80 2
Torsemid 5-10 1
K-sparing diuretics Amilorid 5 – 10 1 atau 2
Triamteren 50-100 1 atau 2
Diuretik antagonis Eplerenon 50-100 1 atau 2
Aldosterone
Spironolakton 25 – 100 1
Beta bloker - Atenolol 25 – 100 1 atau 2
kardioselektif
Bisoprolol 2,5 – 10 1
Metoprolol tartrate 100 - 400 2
Beta bloker – Nebivolol 50-40 1
kardioselektif dan
Vasodilator
Beta bloker – non Propanolol IR 160 – 480 2
kardioselektif
Propanolol LA 80 – 320 1
Beta bloker – Carvedilo 12,5 – 50 2
kombinasi
reseptor alfa dan beta
Alfa-1 bloker Doxazosin 1–8
Prazosin 2 – 20 2 atau 3
Terazosin 1-20 1 atau 2
Sentral alfa-1 agonis Metildopa 250 – 1000 2
dan obat sentral
lainnya
Klonidin 0,1 – 0,8 2
Direct vasodilator Hidralazin 25-200 2 atau 3
Minoxidil 5 – 100 1–3
Berikut beberapa rekomendasi utama dalam praktis pengobatan hipertensi, yaitu:
1. Inisiasi pengobatan pada sebagian besar pasien dengan kombinasi dua obat.
Bila memungkinkan dalam bentuk SPC, untuk meningkatkan kepatuhan
pasien.
2. Kombinasi dua obat yang sering digunakan adalah RAS blocker (Renin-
angiotensin system blocker), yakni ACEi atau ARB, dengan CCB atau diuretik.
3. Kombinasi beta bloker dengan diuretik ataupun obat golongan lain dianjurkan
bila ada indikasi spesifik, misalnya angina, pasca IMA, gagal jantung dan untuk
kontrol denyut jantung.
19
rendah (TDS <150mmHg), pasien dengan tekanan darah normal-tinggi dan
berisiko sangat tinggi, pasien usia sangat lanjut (≥80 tahun) atau ringkih.
5. Penggunaan kombinasi tiga obat yang terdiri dari RAS blocker (ACEi atau
ARB), CCB, dan diuretik jika TD tidak terkontrol oleh kombinasi dua obat.
7. Penambahan obat golongan lain pada kasus tertentu bila TD belum terkendali
dengan kombinasi obat golongan di atas.
2.1.8 Prognosis
Hipertensi tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol. Modifikasi
gaya hidup dan obat antihipertensi dapat mengontrol tekanan darah dan mencegah
terjadinya kerusakan organ target. Tekanan darah yang terkontrol dapat
menurunkan insidensi stroke sebesar 35-44%. Tanpa pengobatan, kelangsungan
hidup 1 tahun adalah 10% pada pasien dengan sklerosis retina, eksudat kapas,
penyempitan arteriolar, dan perdarahan (retinopati derajat 3), dan 5% pada pasien
dengan perubahan yang sama ditambah papiledema (retinopati derajat 4). 4,8
20
2.2 Diabetes Mellitus
2.2.1 Definisi
Diabetes mellitus menurut American Diabetes Association (ADA) adalah
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Meskipun
penyakit ini tergolong tidak menular, namun penyakit ini merupakan penyakit
menahun (kronis) yang serius.9
2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi DM di dunia telah meningkat secara drastis dalam dua dekade
terakhir, dari sekitar 30 juta kasus pada tahun 1985 hingga tercatat 415 juta kasus
pada tahun 2017. Organisasi International Diabetes Federation (IDF)
memperkirakan bahwa terdapat sekitar 463 juta orang pada usia 20−79 tahun di
dunia menderita diabetes pada tahun 2019. Jumlah ini setara dengan angka
prevalensi sebesar 9,3% dari total penduduk dunia pada usia yang sama. IDF
menyebutkan bahwa prevalensi diabetes di dunia pada kelompok perempuan adalah
9% dan 9,65% pada kelompok laki−laki. Prevalensi ini diperkirakan akan terus
meningkat seiring dengan penambahan umur penduduk menjadi 19,9% atau 111,2
juta orang pada umur 65−79 tahun. IDF juga memprediksi bahwa angka ini akan
terus meningkat pada tahun 2030 menjadi 578 juta orang dan 700 juta orang pada
tahun 2045.10
Berdasarkan proyeksi jumlah penderita DM pada kelompok umur 20−79
tahun di beberapa Negara di dunia, Cina menempati urutan pertama dari 10 Negara
dengan jumlah penderita DM tertinggi pada tahun 2019, sedangkan Indonesia
berada pada peringkat ketujuh dengan jumlah penderita 10,7 juta orang. Indonesia
merupakan satu−satunya Negara di Asia Tenggara yang termasuk dalam peringkat
10 besar tersebut dan berkontribusi besar dalam angka prevalensi DM di Asia
Tenggara, yaitu sebesar 11,3%. Hal ini menempatkan Asia Tenggara pada peringkat
ketiga setelah Arab−Afrika Utara dan Pasifik dengan prevalensi DM pada
penduduk umur 20−79 tahun adalah 12,2% dan 11,4%.10
21
Meskipun prevalensi DM secara keseluruhan meningkat di seluruh dunia,
prevalensi DM tipe 2 lebih meningkat jauh dan lebih cepat. Hal ini kemungkinan
sejalan dengan semakin banyaknya orang yang mengalami obesitas, usia yang
bertambah tua dan menurunnya tingkat aktivitas penduduk dunia, terutama pada
orang-orang di Negara maju.11
2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko9
Pada diabetes Melitus tipe 2/NIDDM (non−insulin−dependent diabetes
melitus) terjadi resistensi insulin yang menyebabkan peningkatan glukosa pada
darah. Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas.
Namun, peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2,
berkaitan dengan beberapa faktor risiko, baik yang dapat dimodifikasi, maupun
yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi:
a. Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
b. Kurangnya aktivitas fisik.
c. Hipertensi (> 140/90 mmHg).
d. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
e. Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes/ intoleransi glukosa dan DM tipe 2.
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi:
a. Ras dan etnik
b. Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
c. Umur. Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.
d. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000gram atau riwayat pernah
menderita DM gestasional (DMG).
e. Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir
dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi
lahir dengan BB normal.
22
Faktor lain yang terkait dengan risiko Diabetes Melitus:
a. Penyandang sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya
b. Penyandang yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke,
PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diaseases).
23
Akhirnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas akan menurun dan terjadi
hiperglikemia berat.12
Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pankreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi
insulin) ikut berperan dalam gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2. Kedelapan
organ ini kemudian disebut sebagai the ominous octet. Saat ini ditemukan tiga jalur
patogenesis baru dari the ominous octet yang mendasari terjadinya hiperglikemia
pada DM tipe-2, sehingga total menjadi sebelas organ yang disebut sebagai
egregious eleven.9
24
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP−1 agonis, DPP4 inhibitor dan
amylin.
c. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty
Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini
disebut sebagai lipotoksisitas. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidinedion.
d. Otot
Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan
tiazolidinedion.
e. Hepar
Pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur
ini adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.
f. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non−DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan
makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di
otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP−1 agonis, amilin dan
bromokriptin.
g. Kolon/Mikrobiota
Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 2, dan
obesitas sehingga pada sebagian individu dengan berat badan berlebih memiliki
25
risiko mengalami DM. Probiotik dan prebiotik diperkirakan sebagai mediator
untuk menangani keadaan hiperglikemia.
h. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibandingkan
dengan pemberian secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP−1 (glucagon−like polypeptide−1) dan GIP
(glucose−dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP−1
dan resisten terhadap GIP. Incretin segera dipecah oleh keberadaan enzim
DPP−4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP−4 adalah kelompok DPP−4 inhibitor. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui
kinerja ensim alfa−glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan
glukosa darah setelah makan. Obat untuk menghambat kinerja ensim
alfa−glukosidase adalah akarbosa.
i. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe 2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT−2 (Sodium
Glucose coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang
10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT−1 pada tubulus desenden
dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penderita
DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT−2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT−2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal
sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah SGLT−2 inhibitor, seperti dapaglifozin, empaglifozin, dan canaglifozin.
26
j. Lambung
Penurunan kadar amylin menyebabkan percepatan pengosongan lambung dan
peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan
peningkatan kadar glukosa postprandial.
k. Sistem imun
Sitokin saat ini sudah terbukti menginduksi respons fase akut (disebut sebagai
inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi sistem imun
bawaan/innate) yang berhubungan kuat dengan patogenesis DM tipe 2 dan
berkaitan dengan komplikasi seperti dyslipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi
sistemik derajat rendah berperan dalam induksi stress pada endoplasma akibat
peningkatan kebutuhan metabolisme untuk insulin. DM tipe 2 ditandai dengan
resistensi insulin perifer dan penurunan produksi insulin, disertai dengan
inflamasi kronik derajat rendah pada jaringan perifer seperti adipose, hepar dan
otot.
27
2.2.6 Diagnosis9,13
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan
dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria diagnosis diabetes mellitus meliputi 4 hal, yaitu:
a. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.
b. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
c. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan
klasik.
d. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Diagnosa Glukosa
Darah Puasa Terganggu (GDPT) ditegakkan dengan hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100−125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam
<140 mg/dl. Diagnosa Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) ditegakkan dengan
hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140−199 mg/dl dan
glukosa plasma puasa <100 mg/dl. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7−6,4%.
28
Tabel 3. Nilai laboratorium untuk diabetes dan prediabetes
Kategori HbA1c (%) GDP (mg/dl) Glukosa 2 jam
setelah TTGO (mg/dl)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Prediabetes 5,7−6,4 100−125 140−199
Normal < 5,7 < 100 < 140
2.2.7 Skrining DM
Pemeriksaan skrining dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes
Melitus Tipe−2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM, yaitu:9
a. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥ 23 kg/m 2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
1) Aktivitas fisik yang kurang.
2) First−degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
3) Kelompok ras/etnis tertentu.
4) Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg
ataumempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
5) Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
6) HDL 250 mg/dL.
7) Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
8) Riwayat prediabetes.
9) Obesitas berat, akantosis nigrikans.
10) Riwayat penyakit kardiovaskular.
29
2) Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas
pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan sebagai patokan diagnosis
DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanyaperbedaan hasil pemeriksaan
glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler.
Tabel 4. Nilai laboratorium DM sebagai patokan skrining dan diagnosis DM
2.2.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Dalam jangka pendek bertujuan menghilangkan keluhan dan
tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian
glukosa darah. Untuk tujuan jangka panjang mencegah dan menghambat
progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir
pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. 11
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan
obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral
dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi
dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke
pelayanan kesehatan sekunder atau tersier. Pengetahuan tentang pemantauan
30
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan
kepada pasien. Oleh karena itu, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dilakukan
berdasarkan empat pilar, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan
intervensi farmakologis.9
2.2.9 Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat
awal dan materi edukasi tingkat lanjutan. Materi edukasi pada tingkat awal
dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Primer yang meliputi :9,14
a. Materi tentang perjalanan penyakit DM.
b. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
c. Penyulit DM dan risikonya.
d. Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.
e. Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia
oral atau insulin serta obat-obatan lain.
f. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia).
g. Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
h. Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
i. Pentingnya perawatan kaki, seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut.
31
Tabel 5. Edukasi Perawatan Kaki
33
Berikut beberapa cara yang dapat digunkan untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang DM.
a. Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi:Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg. Bagi pria
dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi: Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal: BB ideal ± 10 % Kurus: kurang dari BBI - 10 % gemuk: lebih dari
BBI + 10 %
b. Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks
massatubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB (kg)/TB(m2 )
Tabel 6. Klasifikasi IMT
Interpretasi IMT
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5−22,9
Dengan risiko 23,0−24,9
Obes I 25,0−29,9
Obes II ≥ 30
34
sementara pada penyandang DM dengan komplikasi, aktivitas dapat dikurangi.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.9,10,14
Dianjurkan sebelum melakukan latihan fisik, dilakukan pemeriksaan
glukosa darah. Apabila kadar glukosa darah 250 mg/dL dianjurkan untuk menunda
latihan jasmani. Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis,
hipertensi yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan
resistance training (latihan beban) 2−3 kali/perminggu sesuai dengan petunjuk
dokter.9,10,14
35
Pasien DM tipe 2 dengan penyakit kardiovaskular aterosklerotik (stroke,
infark miokard, atau penyakit arteri koroner) disarankan menggunakan obat
golongan penghambat SGLT-2 atau agonis GLP-1 setelah metformin. Pada pasien
penyakit kardiovaskuler aterosklerotik dengan klinis predominan gagal jantung dan
gagal ginjal disarankan menggunakan obat golongan penghambat SGLT-2 atau
agonis GLP-1 setelah metformin. Kejadian hipoglikemia dapat diminimalkan
dengan menggunakan obat golongan DPP-4, penghambat SGLT-2, agonis GLP-1,
atau TZD. Pilihan pengobatan untuk mendapatkan penurunan berat badan atau
meminimalkan peningkatan berat badan adalah obat dalam golongan agonis GLP-
1 atau penghambat SGLT-2. Sedangkan, pilihan pengobatan yang relatif ekonomis
adalah obat golongan SU atau TZD.
b. Obat antihiperglikemia suntik
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan
i. HbA1c saat diperiksa ≥7,5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
ii. HbA1c saat diperiksa > 9%
iii. Penurunan berat badan yang cepat
iv. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
v. Krisis Hiperglikemia
vi. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
vii. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
viii. Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
ix. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
x. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
xi. Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah
basal (puasa, sebelum makan). Insulin yang digunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).
Penyesuaian dosisinsulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
36
menambah 2−4 unit setiap 3−4 hari bila sasaran terapi belum tercapai. Apabila
sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan HbA1c belum
mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-
related). Insulin yang dipergunakan untukmencapai sasaran glukosa darah prandial
adalah insulin kerja cepat yang disuntikan 5−10 menit sebelum makan atau insulin
kerja pendek yang disuntikkan 30 menit sebelum makan. Insulin basal juga dapat
dikombinasikan dengan obat antihiperglikemia oral untuk menurunkan glukosa
darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek
(golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus
(acarbose), atau metformin (golongan biguanid). Terapi insulin tunggal atau
kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai
dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
2.2.13 Pemantauan10
Pengobatan DMT2 harus diikuti dengan pemantauan secara berkala dan
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
a. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
1) Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
2) Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
37
Waktu pelaksanaan pemeriksaan glukosa darah pada saat puasa, 1 atau 2 jam setelah
makan, atau secara acak berkala sesuai dengan kebutuhan. Frekuensi pemeriksaan
dilakukan setidaknya satu bulan sekali
b. Pemeriksaan HbA1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,
atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai HbA1C), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8−12 minggu sebelumnya. Untuk
melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi, HbA1c diperiksa setiap 3 bulan,
atau tiap bulan pada keadaan HbA1c yang sangat tinggi (> 10%). Pada pasien yang
telah mencapai sasran terapi disertai kendali glikemik yang stabil HbA1C diperiksa
paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun.
c. Pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM)
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan
darah kapiler. PGDM terutama dianjurkan pada penyandang DM yang
direncanakan mendapat terapi insulin dan penyandang DM dengan terapi insulin
dengan keadaan sebagai berikut:
• Pasien dengan A1C yang tidak mencapai target setelah terapi
• Wanita yang merencanakan hamil
• Wanita hamil dengan hiperglikemia
• Kejadian hipoglikemia berulang
38
perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu
kebudayaan.15,16
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2016) mendefinisikan
keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah satu atap
dalam keadaan saling ketergantungan. Kesimpulan definisi keluarga secara garis
besar adalah terbentuknya suatu hubungan interaksi dari dua atau lebih individu
didalam satu rumah dengan peran masing- masing sehingga membentuk serta
mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional
dan sosial untuk mencapai tujuan bersama.17
40
4. Pola Penyakit dan Kematian
- Hidup membujang/bercerai mempengaruhi angka kesakitan dan
kematian
5. Proses Penyembuhan Penyakit
- Penyembuhan penyakit kronis pada anak-anak pada keluarga dengan
fungsi keluarga yang “sehat” lebih baik dibandingkan pada keluarga
dengan fungsi keluarga yang “sakit”
1. Bentuk Keluarga
Infertilitas membentuk: keluarga inti tanpa anak
Penyakit jiwa (kelainan seksual: homoseksual) jika membentuk
keluarga: keluarga non-tradisional
2. Fungsi Keluarga
Jika kesehatan kepala keluarga (pencari nafkah) terganggu mengganggu
fungsi ekonomi dan / fungsi pemenuhan kebutuhan fisik keluarga
Jika kesehatan ibu rumah tangga terganggu mengganggu fungsi afektif
dan fungsi sosialisasi
3. Siklus Kehidupan Keluarga
Infertilitas: tidak mengalami siklus kehidupan keluarga yang lengkap
Jika kesehatan suami istri memburuk kematian cepat masuk ke dalam
“tahap lenyapnya keluarga”
41
a. Fungsi keagamaan, sebagai wahana persemaian nilai−nilai agama dan
nilai−nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan−insan agamis yang penuh
iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Fungsi budaya, memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh
anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka
ragam dalam satu kesatuan.
c. Fungsi cinta kasih, memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak
dengan anak, suami dengan isteri, orang tua dengan anak−anaknya, serta
hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga menjadi wahana utama
bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin.
d. Fungsi melindungi, menumbuhkan rasa aman dan kehangatan bagi segenap
anggota keluarga.
e. Fungsi reproduksi, mekanisme untuk melanjutkan keturunannya yang
direncanakan sehingga dapat menunjang terciptanya kesejahteraan umat
manusia di dunia yang penuh iman dan taqwa.
f. Fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi keluarga yang memberikan peran
kepada keluarga untuk mendidik keturunannya agar bisa melakukan
penyesuaian dengan alam kehidupannya dimasa depan.
g. Fungsi ekonomi, yaitu fungsi keluarga sebagai unsur pendukung kemandirian
dan ketahanan keluarga.
h. Fungsi pembinaan lingkungan, yaitu fungsi keluarga yang memberikan
kemampuan kepada setiap keluarga dapat menempatkan diri secara serasi,
selaras dan seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang
berubah secara dinamis.
Sedangkan Friedman (1998), membagi fungsi keluarga menjadi lima
macam : 19
a. Fungsi Afektif (affective function) adalah fungsi keluarga yang utama untuk
mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga
berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan
individu dan psikososial anggota keluarga.
42
b. Fungsi Sosialisasi (Socialization and social placement function) yaitu proses
perkembangan dan perubahan yang dilalui individu yang menghasilkan
interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan sosialnya. Sosialisasi
dimulai sejak lahir. Fungsi ini berguna untuk membina sosialisasi pada anak,
membentuk normanorma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan
anak dan dan meneruskan nilai−nilai budaya keluarga.
c. Fungsi Reproduksi (reproduction function) adalah fungsi untuk
mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
d. Fungsi ekonomi (economic function) yaitu keluarga berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan
kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga.
e. Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (The Health Care Function)
adalah untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap
memiliki produktivitas yang tinggi.
43
Pada tahap ini keluarga tersebut telah memiliki anak dengan usia sekolah dan
biasanya tahap ini berlangsung rata−rata selama 7 tahun.
e. Keluarga dengan anak usia remaja (family with teenagers)
Pada tahap ini keluarga tersebut telah memiliki anak usia remaja dan tahap ini
biasanya berlangsung rata−rata 7 tahun.
f. Keluarga dengan anak−anak yang meninggalkan keluarga (family as launching
centre)
Pada tahap ini satu per satu anak meninggalkan keluarga. Dimulai oleh anak
tertua dandiakhiri oleh anak terkecil. Tahap ini biasanya berlangsung rata−rata 8
tahun.
g. Orang tua usia menengah (parent alone in midle years)
Pada tahap ini semua anak telah meninggalkan keluarga, yang tinggal hanyalah
suami istri dengan usia menengah. Tahap ini biasanya berlangsung rata−rata
selama 15 tahun.
h. Keluarga usia jompo (aging family members)
Pada tahap ini suami isteri telah berusia lanjut sampai meninggal dunia.Tahap
ini biasanya berlangsung rata−rata selama 10 tahun sampai dengan 15 tahun.
2.3.4 Genogram
Genogram adalah suatu alat bantu berupa peta skema (visual map) dari
silsilah keluarga pasien yang berguna bagi pemberi layanan kesehatan untuk segera
mendapatkan informasi tentang nama anggota keluarga pasien, kualitas hubungan
antar anggota keluarga. Genogram merupakan gambaran biopsikososial pohon
keluarga, yang mencatat tentang siklus kehidupan keluarga, riwayat sakit di dalam
keluarga serta hubungan antar anggota keluarga.20
44
digunakan juga untuk menyaring kemungkinan adanya kekerasan (abuse) di dalam
keluarga.20
45
Disini dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta
interaksi emosional yang berlangsung dalam keluarga.
5. Kebersamaan (Resolve)
Disini dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan
dalam membagi waktu, kekayaan dan ruang antar anggota keluarga.
46
2.3.6 Pelayanan Kedokteran Keluarga
Pelayanan Dokter Keluarga merupakan pelayanan yang melibatkan dokter
keluarga sebagai penapis (gate keeper) di tingkat pelayanan primer. Tujuan yang
ingin dicapai dalam pelayanan kedokteran keluarga adalah suatu bentuk pelayanan
kesehatan bagi individu dan keluarga serta masyarakat yang bermutu namun
terkendali biayanya, yang tercermin dalam tatalaksana pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh dokter keluarga.21
47
2.3.8 Faktor yang mempengaruhi kesehatan individu dan keluarga
Pada pelayanan kedokteran keluarga dilakukan pendekatan pelayanan yaitu
pendekatan secara holistik. Pendekatan secara holistik memandang manusia sebagai
makhluk biopsikososio-kultural-spiritual yaitu manusia seutuhnya terdiri dari fisik,
mental, sosial dan spiritual, serta berkehidupan ditengah lingkungan fisik dan
sosialnya. Untuk melaksanakan pendekatan secara holistik, maka perlu memahami
ekosistem manusia seperti pada konsep Mandala of health yang menggambarkan
ekosistem manusia sebagai suatu keterkaitan yang sangat kompleks, dimana setiap
komponen memiliki potensi yang dapat mempengaruhi kesehatan. 18
48
BAB III
TINJAUAN KASUS
49
mengalami diabetes mellitus. Pasien diberikan pengobatan berupa Insulin. Pasien
kemudian dikembalikan ke fasilitas kesehatan primer untuk pengobatan rutin.
Riwayat Pengobatan
Rutin minum obat :
o Candesartan 1 x 16 mg PO
o Amlodipin Besilate 1 x 5 mg PO
o Insulin 2 x 10 IU SC
o
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien tinggal dengan suami yang
berusia 78 tahun yang berkerja sebagai pensiunan PNS bersama 3 orang anak, dan
1 menantu. Biaya hidup pasien ditanggung oleh suami dan anak pasien. Pasien
tinggal di dekat Puskesmas Talang Ratu. Rumah yang ditinggali berukuran 10 x 15
m. Pasien tergolong ekonomi menengah. Rumah yang ditinggalinya merupakan
rumah sendiri. Lingkungan rumah pasien bersih, tidak ada serangga (lalat) yang
beterbangan, dan bau busuk dari sampah.
50
Keadaan Rumah Keluarga
Jenis Bangunan : Permanen
Lantai Rumah : Semen
Luas Rumah : 150 m2 (10 m x 15 m)
Penerangan : Baik
Kebersihan Rumah : Baik
Kebersihan Lingkungan : Baik
Ventilasi : Baik
Dapur : Ada
Jamban Keluarga : Ada
Riwayat Kebiasaan
Pasien makan 2-3 kali per hari, keluarga pasien sudah mengurangi pemakaian
garam, gula, dan penyedap rasa dalam masakan sehari-hari. Pasien juga sudah tidak
mengkonsumsi makanan berlemak, bersantan, asin, dan makanan dengan kadar
gula tinggi. Pasien mengaku lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah di setiap
harinya ketimbang lauk-pauk maupun nasi. Pasien dahulu memiliki kebiasaan
meminum soda 2x/ hari dan jarang minum air putih serta sering memakan makanan
manis. Pasien tidur teratur selama 6 jam/hari dan jarang berolahraga.
52
Auskultasi : bunyi jantung I & II (+) reguler, murmur (-), gallop (-)
i. Abdomen
Inspeksi : datar, spider nevi (-), caput medusae (-), umbilicus menonjol
Auskultasi : bising usus (+) normal, 6x/menit
Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen, shifting dullness (-), nyeri
ketok CVA (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak ada pembesaran,
ballottement (-)
j. Ekstremitas
Akral hangat (+), edema pretibial (-) minimal, palmar pucat (-)
Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
3. 4. Family assestment
Masalah Kemungkinan
Anggota
No. Kesehata Penyebab Masalah Keterangan
Keluarga
n Kesehatan
● Berat badan berlebih
Hipertensi (overweight)
Saat kunjungan ke
Pasien (Ny. dan ● Jarang olahraga
1. rumah memiliki
R) Diabetes ● Sering makanan
masalah kesehatan
Mellitus makakan manis dan
asin
● Kebiasaan makan Saat kunjungan ke
Suami pasien makanan asin dan rumah tidak
2. Hipertensi
(Tn. A) bersantan memiliki masalah
● Jarang olahraga kesehatan
● Kebiasaan makan
Hipertensi Saat kunjungan ke
makanan asin dan
Anak pasien dan rumah tidak
3. goreng-gorengan
(Ny. R) Diabetes memiliki masalah
● Jarang olahraga
Mellitus kesehatan
● Riwayat ayah dan ibu
Saat kunjungan ke
● Jarang olahraga
Anak pasien Tidak ada rumah tidak
3. ● Terpapar asap rokok
(Tn. B) keluhan memiliki masalah
dari lingkungan kerja
kesehatan
53
Saat kunjungan ke
● Kebiasaan makan
Anak pasien Tidak ada rumah tidak
4. makanan asin dan
(Tn. I) keluhan memiliki masalah
goreng-gorengan
kesehatan
● Kebiasaan makan
Saat kunjungan ke
Menantu makanan asin dan
Tidak ada rumah tidak
5. pasien (Ny. goreng-gorengan,
keluhan memiliki masalah
Y) kadang makanan
kesehatan
bersantan.
54
b. Fungsi Fisiologis
Fungsi fisiologis keluarga dinilai dengan skor APGAR sebagai
berikut:
1. Adaptation: Keluarga ini secara umum mampu beradaptasi antar
anggota keluarganya. Mereka saling mendukung, memberikan
semangat, dan memberikan saran sehari-harinya.
2. Partnership: Kerjasama dan komunikasi keluarga ini cukup baik.
Keluarga saling berbagi informasi dan umumnya dapat membagi
tugas satu sama lain di antara anggota keluarga.
3. Growth: Keluarga Ny. R saling mendukung satu sama lain.
4. Affection: Anggota keluarga saling menyayangi dengan cukup baik
5. Resolve: Nilai kebersamaan cukup terasa di keluarga Ny. R.
c. Fungsi Patologis
Fungsi patologis keluarga dinilai dengan skor SCREEM, sebagai berikut :
1. Social: Interaksi keluarga ini dengan tetangga sangat baik.
2. Culture: Keluarga Ny. R merespon dengan baik budaya, tatakrama, adat
istiadat, dan sopan santun. Bahasa di rumah yang digunakan sehari-hari
adalah Bahasa Palembang.
3. Religious: Keluarga ini beribadah sesuai agama yang mereka anut
(Islam).
4. Economic: Status ekonomi keluarga Ny. R menengah
5. Educational: Tingkat pendidikan Ny. R adalah SMA
6. Medical: Keluarga ini sudah mendapatkan akses pelayanan kesehatan
yang memadai dan kesadaran untuk berobat ke fasilitas kesehatan
cukup baik.
55
berpartisipasi dengan kegiatan lingkungan RT maupun RW. Terkadang masih
juga membantu jika tetangga memiliki kesibukan (hajatan, yasinan, dll).
e. Fungsi Keturunan
Fungsi genogram pasien baik, karena tidak ada penyakit yang diturunkan
dalam keluarga.
f. Fungsi Perilaku
h. Fungsi Indoor
56
i. Fungsi Outdoor
57
3.6 Penatalaksanaan Komprehensif
3.6.1. Patient Centered (Individu yang Sakit)
Farmakologis:
o Candesartan 1 x 16 mg PO
o Amlodipin Besilate 1 x 5 mg PO
o Insulin 2 x 10 IU SC
Hasil yang diharapkan:
Pasien sadar akan pentingnya menjaga kestabilan kondisi kesehatan diri
sendiri sehingga pasien bersedia minum obat secara teratur walaupun sedang
tidak mengalami keluhan dan gejala apapun, dan rutin untuk kontrol
penyakitnya di posyandu, puskesmas, dan rumah sakit.
Edukasi:
Menerangkan tentang penyakit dan pengobatannya serta pemeriksaan yang
dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis penyakit.
Menerangkan bahwa penyakit hipertensi dan diabetes mellitus adalah
penyakit kronis yang tidak dapat sembuh, tetapi dapat terkontrol dengan
rutin minum obat dan rutin ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.
Menerangkan komplikasi yang mungkin terjadi jika kondisi penyakit tidak
terkontrol.
Menghindari stress, ciptakan suasana yang menenangkan bagi pasien
penderita hipertensi dan diabetes yang telah lanjut usia.
Memperbaiki gaya hidup yang kurang sehat. Anjurkan kepada pasien
penderita hipertensi untuk melakukan olahraga senam aerobik atau jalan
cepat selama 30-45 menit sebanyak 3-4 kali seminggu. Serta disarankan
untuk tidur teratur dan cukup.
58
dapat diturunkan pada anggota keluarga lainnya namun dapat dicegah
dengan pola hidup yang sehat.
Memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam
mengingatkan pasien untuk minum obat rutin.
Edukasi dan motivasi mengenai perlunya perhatian dukungan dari
semua anggota keluarga terhadap perbaikan penyakit pasien.
Deteksi dini pada keluarga yang tinggal serumah dengan pasien dengan
cara mengukur tekanan darah dan kadar gula darah di layanan primer
terdekat seperti posyandu atau puskesmas terdekat.
3.7 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
59
BAB IV
PEMBAHASAN
Ny. R (68 tahun) adalah seorang ibu rumah tangga yang didiagnosis
mengalami diabetes mellitus dalam 3 tahun lalu dan hipertensi sejak 48 tahun lalu.
Ny. R rutin mengonsumsi obat antihipertensi berupa amlodipin 5 mg dan
candesartan 16 mg dengan dosis satu kali satu tablet sehari dan suntik insulin 10 IU
dengan dosis dua kali sehari. Ny. R kontrol ke Puskesmas dan minum obat secara
rutin.
Sebelumnya Ny. R memiliki kebiasaan pola makan yang tidak baik, sering
mengkonsumsi minuman soda (fanta, sprite, cola), makanan yang tinggi guladan
yang tinggi garam seperti ikan asin. Ny. R mengatakan jarang berolahraga dan
memiliki kebiasaan tidur +/- 8 jam per hari. Namun, pada kunjungan rumah
terakhir, Ny. R sudah mengubah pola kebiasaan makannya dengan mengurangi
pemakaian garam, gula, dan penyedap rasa dalam masakan sehari-hari. Pasien juga
sudah tidak mengkonsumsi makanan berlemak, bersantan, dan makanan dengan
kadar garam tinggi (seperti dulu). Pasien mengaku lebih banyak mengkonsumsi
sayur dan buah di setiap harinya ketimbang lauk-pauk maupun nasi. Untuk pola
tidur Ny. R sudah cukup dan teratur yaitu selama 7 jam/hari. Dengan mengubah
pola hidup dan rutin minum obat tersebut didapatkan perubahan tekanan darah Ny.
R yang terkontrol yaitu 140/80 mmHg. Kebiasaan olahraga masih belum dilakukan
karena Ny. R mengaku sering mengalami sesak saat beraktivitas dan nyeri pada
sendi lututnya sehingga sulit untuk berolahraga.
Prinsip penatalaksanaan pada penderita hipertensi adalah untuk
menurunkan tekanan darah secara efektif dan efisien. Intervensi pertama yang
dilakukan pada pasien hipertensi dimulai dari perubahan gaya hidup seperti
membatasi konsumsi garam (tidak lebih dari 2 gram/ hari), membatasi asupan
daging merah dan asam lemak jenuh, melakukan olahraga setidaknya 30 menit
latihan aerobik dinamik berintensitas sedang (seperti: berjalan, joging, bersepeda,
60
atau berenang) 5-7 hari per minggu.
Bila pasien tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan
menjalani gaya hidup sehat, maka diberikan satu golongan obat untuk hipertensi
derajat 1 pilihan awal berupa golongan ACEi atau ARB, dengan CCB atau diuretik.
Penggunaan kombinasi tiga obat yang terdiri dari RAS blocker (ACEi atau ARB),
CCB, dan diuretik jika TD tidak terkontrol oleh kombinasi dua obat.
Prinsip penatalaksanaan diabetes mellitus adalah meningkatkan kualitas
hidup penyandang diabetes dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan
obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Terapi nutrisi medis meliputi
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori setiap harinya yang
disesuaikan dengan anjuran komposisi makan (45-65% karbohidrat berserat tinggi,
20-25% lemak tidak jenuh, 10-20% protein, natrium tidak lebih dari 1500 mg/hari,
dan serat disarankan 14 gram/ hari) dan kebutuhan kalori basal hariannya sebesar
25 – 30 kal/kgBB ideal.
Selain itu diperlukan latihan jasmani secara teratur (3-5 kali seminggu
selama kurang lebih 30−45 menit dengan total 150 menit per minggu dan jeda antar
latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut). Latihan jasmani yang dianjurkan
bersifat aerobik dengan intensitas sedang seperti jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Sebelum melakukan latihan fisik dilakukan pemeriksaan
glukosa darah, apabila kadar glukosa darah 250 mg/dL dianjurkan untuk menunda
latihan jasmani.
Pilihan terapi farmakologis diabetes ditetapkan berdasarkan perhitungan
rerata kadar gula darah dalam 3 bulan (HbA1C). Apabila HbA1C < 7,5% diberikan
monoterapi dengan jenis OHO seperti metformin, SGLT-2 inhibitor, agonis GLP-
1, sulfonylurea, thiazolidinedione. Apabila HbA1C ≥ 7,5% maka diberikan
kombinasi 2 OHO dengan mekanisme berbeda. Namun jika HbA1C > 9% dan
pasien memiliki penurunan berat badan yang signifikan maka diberikan kombinasi
1 OHO dan 1 jenis suntikan insulin.
61
Pola hidup sehat dapat mengurangi risiko kardiovaskular, memperlambat
ataupun mencegah kebutuhan terapi obat pada hipertensi derajat 1 dan diabetes
awitan awal. Namun sebaiknya tidak menunda inisiasi terapi obat pada pasien
dengan HMOD (Hypertension-mediated organ damaged) atau risiko tinggi
kardiovaskular.
Pelaksanaan pembinaan pada pasien ini dilakukan dengan mengintervensi
pasien beserta keluarga dengan melakukan kunjungan rumah langsung. Pertama
kali, dilakukan pendekatan dan perkenalan terhadap pasien serta menerangkan
tujuan kedatangan, diikuti dengan anamnesis terkait penyakit yang diderita pasien
serta anamnesis keluarganya. Berdasarkan konsep Mandala of Health, dari segi
perilaku kesehatan, pasien masih mengutamakan kuratif daripada preventif dan
memiliki pengetahuan yang kurang tentang penyakit-penyakit yang diderita. Konsep
Mandala of Health mencakup beberapa komponen penting yaitu human biology,
lingkungan psikososial, ekonomi dan lingkungan rumah serta lingkungan tempat
tinggal.
Pertama, aspek human biology, gejala badan lemas sepanjang hari dan
kesemutan menggangu aktivitas sehari-hari pasien juga membuat pasien kesulitan
tidur. Pada awalnya, pasien hanya menganggap lemas dan kesemutan tersebut
adalah hal biasa sehingga pasien membiarkannya dengan istirahat dan hanya minum
vitamin untuk membugarkan badannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kurangnya pemahaman dan pengetahuan keluarga tentang penyakit DM tipe II serta
komplikasinya, pasien juga tidak mengetahui bahwa keaadan tersebut harus
diperiksa di fasilitas kesehatan, dan pasien juga tidak mengetahui bahwa keadaan
ini adalah keaadan serius sehingga harus tatalaksana cepat serta melakukan kontrol
ke pelayanan kesehatan.
62
dan perbanyak makanan yang mengandung serat tinggi, hindari makanan dan
minuman manis lalu kurangi makanan yang banyak mengandung karbohidrat.
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur merupakan salah 1
pilar dalam pengelolaan DM tipe II. Latihan jasmani berfungsi untuk memperbaiki
sensitivitas insulin sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah latihan
jasmani seperti: berjalan kaki, bersepeda, lari santai dan berenang lakukan selama
30 hingga 45 menit sehari sebanyak 3 kali seminggu.
Kedua, pada aspek lingkungan psikososial Ny. R, saat ini pasien tinggal
dengan keluarga kandungnya, yaitu suami, ketiga anaknya dan satu menantu. Pasien
merasa bahagia dengan keadaan keluarganya saat ini, hubungan antar anggota
keluarga juga terbilang dekat dan jarang mengalami suatu masalah. Hal ini dapat
mendukung pasien dalam menjalani pengobatan yang dapat dilihat dari seluruh
anggota keluarga memberikan dukungan serta bersedia menjadi pengawas minum
obat.
Ketiga, pada aspek ekonomi, kebutuhan pasien ditanggung oleh uang dari
suami dan anak-anaknya untukkebutuhan sehari-hari, seperti makan, uang listrik,
uang air, dan segala kebutuhan rumah. Pasien mengatakan pemberian tersebut
sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mengenai jaminan
kesehatan, pasien sudah memiliki asuransi BPJS dan sudah menggunakannya
sejak lama untuk pengobatan diabetes melitus.
Dari aspek lingkungan rumah, hubungan pasien dengan tetangga sekitar
rumah terjalin akrab, pasien sering bersosialisasi dengan warga sekitar. Dalam hal
ini pasien memiliki hubungan antar tetangga yang baik sehingga dapat terhindar
dari stress psikososial yang dapat memperberat penyakit pasien. Rumah yang
ditinggalinya merupakan rumah sendiri. Lingkungan rumah pasien bersih, banyak
tanaman, tidak ada serangga (lalat) yang beterbangan, dan bau busuk dari sampah.
Sehingga dapat disimpulkan keaadan rumah Ny. R baik
Ada beberapa langkah atau proses sebelum orang mengadopsi perilaku
baru. Pertama adalah kesadaran (awareness), dimana orang tersebut menyadari
stimulus tersebut. Kemudian dia mulai tertarik (interest). Selanjutnya, orang
tersebut akan menimbang baik atau tidaknya stimulus tersebut (evaluation).
63
Setelah itu, dia akan mencoba melakukan apa yang dikehendaki oleh stimulus
(trial). Pada tahap akhir adalah adoption, berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya. Ketika intervensi dilakukan, keluarga
juga turut serta mendampingi dan mendengarkan apa yang disampaikan pada
pasien.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
1.1 Simpulan
1. Umum
a. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan, secara aspek klinis kondisi
Ny. R belum menerapkan dengan konsisten edukasi yang diberikan.
Pada kunjungan terakhir, gaya hidup pasien masih buruk walaupun
rutin berobat dan kontrol ke fasilitas kesehatan. Hal ini sesuai dengan
edukasi yang diberikan pada saat kunjungan pertama setelah
dilakukan proses pendekatan kedokteran keluarga.
2. Khusus
64
a. Pada kasus ini, penanganan yang holistik, komprehensif dan
berkesinambunngan telah dilakukan dengan pemberian intervensi
berupa edukasi terkait perubahan pola hidup, pola makan, aktivitas
fisik yang teratur, dan konsumsi obat-obatan yang teratur. Pasien
belum melakukan perubahan pola hidup tersebut dengan konsisten.
1.2 Saran
1. Terapi yang diberikan pada Ny. R dapat diteruskan.
2. Pemantauan rutin diharapkan terus dilakukan agar kondisi pasien tetap
dalam keadaan terkontrol.
3. Edukasi pada pasien dan keluarga untuk mulai melakukan perubahan pada
pola makan guna mengurangi berat badan pasien.
65
DAFTAR PUSTAKA
66
Implications of the β-Cell-Centric Classification Schema. Diabetes Care.
2016;39(2):179–86.
13. Zheng Y, Ley SH, Hu FB. Global Aetiology and Epidemiology of Type 2
Diabetes Mellitus and its Complication. Nat Rev Endocrinol. 2018;14(2):88–
98.
14. Infodantin. Tetap Produktif, Cegah, dan Atasi Diabetes Mellitus. Jakarta;
2020.
15. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Program Indonesia Sehat
dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta: Kementrian Kesehatan Nasional
Republik Indonesia; 2016. 19–45 p.
16. Effendy N. Dasar - Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC; 1998. 32–73 p.
17. Friedman MM, Bowden VR, Jones EG. Buku Ajar Keperawatan Keluarga :
Riset, Teori, dan Praktik. 5th ed. Jakarta: Sagung Seto; 2022. 21–64 p.
18. Azwar A. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Jakarta: Ikatan Dokter
Indonesia; 1999. 2–217 p.
19. Kementerian Sosial Republik Indonesia. Penyelenggaraan Pembangunan
Keluarga Sejahtera. Jakarta; 1994. Report No.: 21.
20. Takenaka H, Ban N. The Most Important Question in Family Approach : The
Potential of The Resolve Item of The Family APGAR in Family Medicine.
Asia Pac Fam Med. 2016;15(3):1–17.
21. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UNS. Modul Kedokteran Keluarga.
Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret;
2002. 2–43 p.
67
LAMPIRAN