Anda di halaman 1dari 47

PROPOSAL SKRIPSI

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN IBU DENGAN PERILAKU


SWAMEDIKASI DIARE PADA ANAK BALITA DI DESA
BURANGKENG

Diajukan Untuk Menyusun Skripsi


Dalam Program Studi Farmasi
Universitas Bani Saleh

Disusun oleh:

CANDRA DWI ARSANDI (0432950720023)


DIANA AJENG FAUZIA (0432950720001)
DIMAS MUHAMAD HAFIDZ (0432950720026)
NURMA RIPAH (0432950720030)
RADEN NADIA RAHMANIAH (0432950720008)
WIRNA SELFIA (0432950720033)

PROGRAM STUDI FARMASI


UNIVERSITAS BANI SALEH
KOTA BEKASI
2023
LEMBAR PERSETUJUAN

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN IBU DENGAN PERILAKU


SWAMEDIKASI DIARE PADA ANAK BALITA DI DESA
BURANGKENG

Disusun oleh :

CANDRA DWI ARSANDI (0432950720023)


DIANA AJENG FAUZIA (0432950720001)
DIMAS MUHAMAD HAFIDZ (0432950720026)
NURMA RIPAH (0432950720030)
RADEN NADIA RAHMANIAH (0432950720008)
WIRNA SELFIA (0432950720033)

Proposal Skripsi telah disetujui untuk disusun dan ditindaklanjuti


Pada tanggal 1 Mei 2023

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

apt. Delviza Syarii, M.Farm apt. Delviza Syarii, M.Farm

Mengetahui,
Ketua Program Studi

Dra. Etty Kusraeti, MKM

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga penulis dapat
menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul “HUBUNGAN TINGKAT
PENDIDIKAN IBU DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI DIARE PADA
ANAK BALITA DI DESA BURANGKENG”.
Selain itu, proposal skripsi ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang perilaku swamedikasi diare pada anak balita bagi para pembaca dan juga
bagi penulis. Dalam penyusunan proposal skripsi ini, penulis sadar
keberhasilan ini atas pertolongan Yang Maha Kuasa, orang tua dan orang-orang
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu dan bapak dosen yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti
perkuliahan di Unversitas Bani saleh Kota Bekasi.

2. Para Dosen, staff dan karyawan di Fakultas Farmasi dan Kesehatan Universitas
Bani Saleh kota Bekasi.
3. Teman-teman yang telah mendukung dalam penulisan proposal skripsi.
4. Diri sendiri karena tak pernah memutuskan untuk menyerah sesulit apapun proses
penyusunan proposal skripsi ini.

Dalam penyusunan proposal skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya


bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena pengalaman dan
pengetahuan penulis yang terbatas. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua
pihak sangat penulis harapkan demi terciptanya proposal skripsi yang lebih baik
lagi untuk masa mendatang.

Bekasi, 1 Mei 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ............................................................................................... iii

DAFTAR ISI ............................................................................................................. ...v

DAFTAR TABEL ..................................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR............................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. ix

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 3


1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitan ................................................................................ 3
1.4.1 Manfaat Bagi Masyarakat ................................................... 3

1.4.2 Manfaat Bagi Institusi.......................................................... 3

1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti .......................................................... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare ................................................................................................... 5


2.1.1 Pengertian Diare ................................................................ 5

2.1.2 Klasifikasi Diare ................................................................ 5


2.1.3 Etiologi Diare ..................................................................... 7

2.1.4 Penularan Diare ................................................................. 9

iv
2.1.5 Tanda dan Gejala Diare .................................................. 10

2.1.6 Cara Mengatasi Diare ..................................................... 11

2.2 Swamedikasi .................................................................................... 14


2.2.1 Definisi Swamedikasi...................................................... 14

2.2.2 Penggolongan Obat untuk Swamedikasi ..................... 15

2.2.3 Kelebihan dan kerugian Swamedikasi ......................... 16

2.2.4 Faktor Penyebab Swamedikasi ..................................... 17

2.2.5 Penggunaan Obat yang Rasional……………… ......... .18

2.3 Pendidikan ....................................................................................... 23


2.3.1 Pengertian Pendidikan .................................................... 23

2.3.2 Cara Mengukur Tingkat Pendidikan ............................ 23


2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendidikan ......... 23

2.4 Landasan Teori ............................................................................... 24


2.5 Kerangka Konsep ........................................................................... 24
2.6 Hipotesis........................................................................................... 25
BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian ..................................................................... 25


3.2 Populasi dan sampel ....................................................................... 25
3.2.1 Populasi ............................................................................. 25

3.2.2 Sampel ............................................................................... 25


3.3 Instrumen Penelitian ...................................................................... 26
3.4 Variabel Penelitian ......................................................................... 27
3.5 Definisi Operasional....................................................................... 28
3.6 Jalannya Penelitian ......................................................................... 29

v
3.6.1 Tahap Persiapan ............................................................... 29

3.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian ....................................... 29

3.6.3 Teknik Pengolahan Data ................................................ 30

3.7 Analisa Data .................................................................................... 31

3.8 Jadwal Penelitian ............................................................................ 33


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34
LAMPIRAN ........................................................................................................... 35

vi
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 3.1 Pengelolaan tangkat Pendidikan………………………………. …………… 31
Tabel 3.2 Skor Instrumen Penelitian……………………………………....................... 32
Table 3.3 Interprestasi Koefisien Korelasi…………………………………………….. 32
Table 3.4 Jadwal dan penelitian……………………………………………………….. 34

vii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Konsep……………………………………………..................... 24

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Kuesioner…………………………………………………….. 36

ix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Swamedikasi merupakan usaha seseorang untuk mengobati dirinya sendiri.


Swamedikasi boleh dilakukan dengan menggunakan obat yang diperoleh/dibeli tanpa resep
dokter baik di apotek maupun toko obat berizin, yaitu obat bebas dan obat bebas terbatas.
Menurut kementrian kesehatan, sebelum menggunakan obat bebas untuk swamedikasi,
masyarakat harus memperhatikan lima hal yaitu : nama obat dan kandungannya, khasiat
obat, dosis yang diberikan, cara penggunaan, dan apa efek sampingnya (Kefarmasian,
2019).

Menurut Fuaddah (2015), swamedikasi merupakan pilihan pertama yang dilakukan


masyarakat dalam upaya pemeliharaan kesehatan. Meskipun merupakan pilihan pertama
dalan upaya pemeliharaan kesehatan, kesalahan dalam melakukan swamedikasi dapat
menyebabkan risiko yang dapat merugikan tubuh. Kesalahan swamedikasi seperti salah
mendiagnosis penyakit, penggunaan pemakaian obat yang salah, dosis yang tidak tepat dan
lama pengobatan, serta tidak mengetahui efek samping dari obat tersebut Mamo, Ayele, &
Dechasa (2018).

Berdasarkan data survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, sebesar 71,46%
masyarakat Indonesia melakukan swamedikasi. Angka ini terus naik selama tiga tahun
terakhir. Swamedikasi biasanya dilakukan masyarakat untuk mengatasi keluhan-keluhan
dan penyakit ringan.

Diare merupakan salah satu penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat yang
bisa diobati sendiri atau di swamedikasi. Meskipun merupakan penyakit ringan, diare dapat
menyebabkan kematian bagi penderita karena dehidrasi (kekurangan cairan). Dengan
demikian, swamedikasi hanya bisa dilakukan untuk keluhan penyakit ringan salah satunya
yaitu diare akut (diare ringan), dan untuk diare yang kronis (bukan keluhan penyakit

1
ringan) swamedikasi tidak bisa dilakukan. Hal tersebut terjadi karena swamedikasi hanya
bisa menyebuhkan keluhan penyakit ringan penyakit Sarwan & Fachry(2016).

Diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan frekuensi buang air
besar sampai lebih dari tiga kali sehari disertai dengan penurunan konsistensi tinja sampai
ke bentuk cair Djunarko & Dian (2011). Di Indonesia, penyakit diare dikategorikan sebagai
penyakit endemis potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering menyebabkan
kematian.

Berdasarkan Riskesdas 2018, kelompok umur dengan prevalansi diare


(berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan) tertinggi yaitu pada kelompok 1-4 tahun sebesar
11,5% dan pada bayi 9%. Kelompok umur 75 tahun ke atas juga merupakan kelompok
dengan nilai prevalansi tinggi yaitu 7,2%. Berdasarkan catatan cakupan pelayanan diare,
pelayanan diare hanya mampu berkontribusi 40% dari sasaran yang ditetapkan sehingga
diare merupakan salah satu penyakit yang paling banyak menyerang balita. Penyebab
tingkat prevalensi tinggi berdasarkan riskesdas yaitu tingkat pendidikan yang rendah
(Kemkes, 2019).

Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa pendidikan yang rendah dapat


menyebabkan timbulnya pola pemikiran yang irasional dan adanya kepercayaan-
kepercayaan kepada takhayul. Ibu yang seperti ini akan sulit menerima hal-hal baru.
Dengan demikian, tingkat pengetahuan yang dimiliki ibu dalam terapi diare pada anak juga
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap
penggunaan obat- obatan dalam penanganan diare pada anak Anshari, M., (2011).

Pada penelitian mengenai hubungan tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi


dengan perilaku swamedikasi sakit kepala oleh ibu-ibu yang dilakukan di Provinsi Daerah
Istimewa Yog dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan
dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi sakit kepala. Serta pada penelitian
mengenai hubungan tingkat pendidikan terhadap tingkat pengetahuan orang tua dalam
swamedikasi demam pada anak di Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep

2
menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan
orang tua dalam swamedikasi demam pada anak.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui


hubungan tingkat pendidikan ibu dengan perilaku swamedikasi diare pada anak balita di
Desa burangkeng.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah pada penelitian ini sebagai
berikut “Bagaimanakah hubungan antara tingkat pendidikan ibu terhadap perilaku
swamedikasi diare pada anak balita di Desa burangkeng tahun 2023”.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan ibu
terhadap perilaku swamedikasi diare pada anak balita di Desa burangkeng tahun 2023.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian yang dilakukan ini, dapat memberikan beberapa manfaat sebagai
berikut.
1.4.1 Manfaat bagi masyarakat
Sebagai tambahan pengetahuan dan informasi dalam pengetahuan obat yang baik dan
benar dalam upaya swamedikasi diare.
1.4.2 Manfaat bagi institusi
a. Sebagai tambahan referensi khususnya dibidang kesehatan dalam swamedikasi
diare.
b. Untuk menambah pustaka di perpustakaan Universitas Bani Saleh Kota Bekasi

3
1.4.3 Manfaat bagi peneliti
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan serta memperluas
wawasan tentang swamedikasi diare

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare

2.1.1 Pengertian Diare

Menurut Sarwan & Fachry (2016) Diare merupakan salah satu penyakit ringan yang banyak
dialami oleh masyarakat. Penyakit diare dapat diobati secara swamedikasi atau pengobatan
sendiri. Meskipun penyakit diare merupakan penyakit yang ringan, namun diare dapat
menyebabkan kematian bagi penderita. Hal tersebut bisa terjadi karena pasien mengalami
dehidrasi (kekurangan cairan).

2.1.2 Klasifikasi Diare

Menurut Simadibrata & Daldiyono (2009). Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan :

a. Lama waktu diare


Klasifikasi penyakit diare berdasarkan lama atau durasi waktu diare. Penyakit diare
dapat digolongkan menjadi dua yaitu diare akut dan diare kronik.

1) Diare akut merupakan diare yang berlangsung kurang dari 15 hari. Menurut World
Gastroenterology Organization Global Guidelines (2005) diare akut merupakan
pasase tinja yang berwujud cair atau lembek dengan jumlah lebih banyak dari
keadaaan sewaktu normal. Diare akut biasanya berlangsung kurang dari 14 hari.
Diare akut dapat sembuh sendiri, lamanya sakit kurang dari 14 hari, dan akan
mereda tanpa terapi yang spesifik jika dehidrasi tidak terjadi (Wong, 2009).
2) Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.

b. Mekanisme patofisiologik

Berdasarkan mekanisme patofisiologik yang mendasari terjadinya diare. Diare dapat


diklasifikasikan menjadi beberapa, antara lain :
1) Osmolalitas intraluminal yang meninggi disebut sebagai diare sekretorik. diare

5
sekretonik disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan elektrolit dari usus
serta menurunnya absorbsi. Secara klinis, diare tipe ini ditemukan dengan volume
tinja banyak sekali. Diare tipe ini akan tetap berlangsung walaupun dilakukan
puasa makan dan minum. Penyebab diare tipe ini antara lain karena enterotoksin
pada infeksi Vibrio cholerae atau Escherichia coli, penyakit yang mengahasilkan
hormon (VIPoma), reseksi ileum (gangguan absorbsi garam empedu) dan efek obat
laksatif.
2) Sekresi cairan dan elektrolit meninggi disebut sebagai diare osmotik. Diare
osmotik disebabkan oleh meningkatnya tekanan osmotik intralumen dari
usus halus yang disebabkan obat-obat atau zat kimia yang hiperosmotik,
malabsorbsi umum, dan defek dalam absorbsi mukosa usus. Contohnya
pada defisiensi disakaridase, malabsorbsi glukosa atau galaktosa.
3) Malabsorbsi asam empedu. Diare tipe ini didapatkan pada gangguan pembentukan atau
produksi micelle empedu dan penyakit penyakit saluran bilier hati.
4) Efek sistem pertukaran anion atau juga bisa disebut transport
elektrolit aktif di enterosit. Diare tipe ini disebabkan adanya hambatan
mekanisme transpor aktif Na+K+ATPase dienterosit dan absorbsi Na+
dan air yang abnormal.
5) Motilitas dan waktu transport usus abnormal. Diare tipe ini terjadi karena adanya
hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus sehingga menyebabkan absorbsi yang
abnormal. Penyebabnya antara lain pasca νagotomi dan hipertiroid.
6) Gangguan permeabilitas usus. Diare tipe ini terjadi karena permeabilitas usus
yang abnormal disebabkan adanya kelainan morfologi membran epitel
spesifik pada usus halus.
7) Inflamasi dinding usus atau juga bisa disebut diare inflamatorik. Diare inflamatorik
terjadi karena adanya kerusakan mukosa usus karena proses inflamasi
sehingga, menyebabkan produksi mukus yang berlebihan dan eksudasi air
serta elektrolit ke dalam lumen sehingga terjadi gangguan absorbsi air dan
elektrolit.
8) Infeksi dinding usus, disebut juga sebagai diare infeksi. Diare ini terjadi karena

6
adanya infeksi oleh bakteri yang merupakan penyebab tersering dari diare. Dari
sudut kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi menjadi invasif (merusak mukosa)
dan bakteri non invasif.
c. Penyakit infektif atau non-infektif.
Diare infektif adalah diare yang disebabkan oleh infeksi. Diare infeksi dalam hal ini
bisa diakibatkan oleh bakteri, virus, parasit, jamur, maupun infeksi oleh organ lain
seperti radang tonsil, bronchitis, dan radang tenggorokan. Diare non-infektif adalah
diare yang tidak ditemukan agen infeksi sebagai penyebabnya. Dalam hal ini diare
tersebut kemungkinan disebabkan oleh faktor malabsorbsi, faktor makanan, maupun
faktor psikologis.
d. Penyakit organik atau fungsional
Berdasarkan penyakit organik dan fungsional. Diare dapat diklasifikasikan
menjadi dua yaitu diare organik dan diare fungsional. Diare organik,
adalah diare yang ditemukan penyebab anatomik, bakteriologik, hormonal
ataupun toksikologi. Diare fungsional adalah diare yang tidak dapat ditemukan
penyebab organik.

2.1.3 Etiologi Diare


Etiologi diare merupakan penyebab terjadinya diare. Menurut (Amin, 2015) penyebab
diare ada empat hal yaitu :
a. Virus Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70- 80%). Beberapa jenis virus
penyebab diare akut antara lain Rotaνirus serotype 1, 2, 8, dan 9 pada manusia, Norwalk νirus,
Astroνirus, Adenoνirus (tipe 40, 41), Small bowel structured νirus, Cytomegaloνirus.
b. Bakteri Enterotoxigenic E. coli (ETEC), Enteropatho-genic E. coli (EPEC),
Enteroaggregatiνe E. coli (EAggEC), Enteroinνasiνe E. coli (EIEC), Enterohemorrhagic E.
coli (EHEC), Shigella spp., Campylobacter jejuni (Helicobacter jejuni), Vibrio cholerae Ol,
dan V. choleare Ol39, Salmonella (non-thypoid).
c. Protozoa Giardia lamblia, Entamoeba histolytica, Cryptosporidium,
Microsporidium spp., Isospora belli, Cyclospora cayatanensis.
d. Helminths Strongyloides stercoralis, Schistosoma spp., Capilaria
philippinensis, Trichuris trichuria.

7
Menurut Kementrian RI (2011), Organisme penyebab diare biasanya
berbentuk renik dan mampu menimbulkan diare yang dapat dibedakan menjadi 3
jenis berdasarkan gejala klinisnya. Jenis diare yang pertama yaitu diare cair akut.
Diare cair akut akan menyebabkan balita kehilangan cairan tubuh dalam
jumlah yang besar, sehingga mampu menyebabkan dehidrasi dalam waktu yang
cepat. Jenis diare yang kedua yaitu diare akut berdarah yang sering disebut
dengan disentri. Diare ini ditandai dengan adanya darah dalam tinja yang
disebabkan akibat kerusakan usus. Balita yang menderita diare berdarah akan
menyebabkan kehilangan zat gizi yang berdampak pada penurunan status gizi.
Jenis yang ketiga adalah diare persisten dimana kejadian diare dapat berlangsung
≥14 hari. Diare jenis ini sering terjadi pada anak dengan status gizi rendah,
AIDS, dan anak dalam kondisi infeksi (WHO, 2010).
Beberapa jenis diare tersebut sering disebabkan oleh organisme renik
seperti bakteri dan virus. Beberapa contoh bakteri patogen yang menyebabkan
epidemi diare pada anak yaitu E.coli, Shigella, Campylobacter, Salmonella
dan Vibrio cholera. Kolera merupakan salah satu contoh kasus epidemik dan
sering diidentikkan dengan penyebab kematian utama pada anak. Namun
sebagian besar kejadian diare yang disebabkan oleh kolera terjadi pada dewasa
dan anak dengan usia yang lebih besar. Diare cair pada anak sebagian besar
disebabkan oleh infeksi rotaνirus , V. cholera dan E.coli. Diare berdarah paling
sering disebabkan oleh Shigela (UNICEF dan WHO, 2009). Sedangkan diare
cair akut pada anak di bawah lima tahun paling banyak disebabkan oleh infeksi
rotaνirus.

8
2.1.4 Penularan Diare

Menurut Mulyana & Eli (2015) Diare dapat ditularkan dengan berbagai cara yang dapat
mengakibatkan timbulnya infeksi antara lain:

a. Makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi. Makanan dan minuman


tersebut baik yang sudah dicemari oleh serangga atau kontaminasi oleh tangan
yang kotor.

b. Bermain dengan mainan yang terkontaminasi. Anak-anak atau bayi sering


memasukan tangan/mainan/apapun kedalam mulut, jika mainan tersebut
terkontaminasi maka anak-anak atau bayi akan terkena penyakit diare. Hal
tersebut bisa terjadi karena virus yang menyebabkan diare ini dapat bertahan
dipermukaan udara sampai beberapa hari.

c. Pengunaan sumber mata air yang sudah tercemar dan tidak memasak air
dengan benar.

d. Pencucian dan pemakaian botol susu yang tidak bersih.


e. Tidak mencuci tangan dengan bersih setelah selesai buang air besar. Tidak
membersihkan tinja anak yang terinfeksi, sehingga mengkontaminasi
perabotan dan alat-alat yang dipegang. Sejalan dengan pernyataan menurut
Mulyana & Eli (2015).

Menurut Meryta, Lisnawati, & Kamalia (2016) Kuman penyebab diare


berkembang biak di lingkungan yang lembab dan kebersihan yang kurang,
serta pada air minum yang tidak terjaga kebersihannya. Faktor lingkungan
yang meliputi air bersih dan sanitasi ini memiliki peranan sangat penting
sebagai media penularan dan dominan dalam siklus penularan penyakit diare.
Biasanya anak-anak mudah dan sering terkena diare. Hal tersebut terjadi
karena anak-anak senang sekali jajan sembarangan yang tentunya makanan
tersebut tidak terjamin kebersihan serta keamanan makanannya sehingga anak
tersebut mengalami diare. Anak usia sekolah pada umumnya juga belum
paham betul akan arti kesehatan bagi tubuhnya.

9
2.1.5 Tanda dan Gejala Diare

Menurut Widjaja (2000), gejala-gejala diare adalah sebagai berikut :

a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun meninggi
b. Tinja bayi encer, berlendir atau berdarah
c. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu
d. Lecet pada anus
e. Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang
f. Muntah sebelum dan sesudah diare
g. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah), dan Dehidrasi (kekurangan
cairan).

Dehidrasi dibagi menjadi tiga macam, yaitu dehidrasi ringan, dehidrasi


sedang dan dehidarsi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang
hilang 5%. Jika cairan yang hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat.
Pada dehidrasi berat, volume darah berkurang, denyut nadi dan jantung
bertambah cepat tetapi melemah, tekanan darah merendah, penderita lemah,
kesadaran menurun dan penderita sangat pucat (Widjaja, 2000).
2.1.6 Cara Mengatasi Diare
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2011), ada lima langkah tuntaskan diare.
Lima langkah tersebut adalah :
a. Pemberian Oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah
tangga. Cara pencegahannya yaitu dengan memberikan oralit osmolaritas
rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan rumah tangga seperti air tajin,
kuah sayur, air matang.
Oralit saat ini yang sudah beredar di pasaran yaitu oralit dengan jenis
yang baru dengan osmolaritas yang rendah. Oralit tersebut dapat
mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang

10
terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila
penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk
mendapat pertolongan cairan melalui infus. Derajat dehidrasi dibagi dalam
3 klasifikasi :
1) Diare tanpa dehidrasi
Tanda diare tanpa dehidrasi, dapat diindikasikan apabila terdapat 2
tanda di bawah ini atau lebih :
- Keadaan Umum : Baik
- Mata : Normal
- Rasa Haus : Normal, Minum Biasa
- Turgor Kulit : Kembali Cepat

Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sbb :


- Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret
- Umur 1 — 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret
- Umur diatas 8 Tahun: 1 — 1½ gelas setiap kali anak mencret
2) Diare dehidrasi Ringan/Sedang
Diare dengan dehidrasi Ringan/Sedang, bila terdapat 2 tanda dibawah ini atau
lebih :
- Keadaan Umum : Gelisah
- Mata : Cekung
- Rasa Haus : Haus, Ingin Minum Banyak
- Turgor Kulit : Kembali Lambat
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/kgbb dan selanjutnya
diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi
3) Diare dehidrasi berat
Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih :
- Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak Sadar
- Mata : Cekung

11
- Rasa Haus : Tidak bisa minum atau malas minum
- Turgor Kulit : Kembali lambat ( lebih dari 2 detik)
- Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas
untuk di infus.
a) Berikan obat Zinc
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc
dapat menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana
ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi
epitel usus. Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding usus yang
mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian diare.
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat
keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi
volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan
berikutnya. (Black, 2003). Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Zinc
mempunyai efek protektif terhadap diare sebanyak 11% dan menurut
hasil pilot study menunjukkan bahwa Zinc mempunyai tingkat hasil guna
sebesar 67% Hidayat 1998 & Soenarto (2007). Berdasarkan bukti ini
semua anak diare harus diberi Zinc segera saat anak mengalami diare. Dosis
pemberian Zinc pada balita:
- Umur < 6 bulan: ½ tablet ( 10 mg ) per hari selama 10 hari
- Umur > 6 bulan: 1 tablet ( 20 mg) per hari selama 10 hari. Zinc
tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti.
Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok
makan air matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak
diare.
b) Pemberian ASI/Makanan :
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi
pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta
mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum Asi
harus lebih sering diberi ASI. Anak yang minum susu formula juga
diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih

12
termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus
diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih
sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian
makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu
pemulihan berat badan.
c) Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya
kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika
hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar
karena shigellosis), suspek kolera.Obat-obatan Anti diare juga tidak
boleh diberikan pada anak yang menderita diare karena terbukti tidak
bermanfaat. Obat anti muntah tidak di anjurkan kecuali muntah
berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun
meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar
menimbulkan efek samping yang bebahaya dan bisa berakibat
fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan
oleh parasit (amuba, giardia).
d) Pemberian Nasehat
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi
nasehat tentang cara memberikan cairan dan obat di rumah kapan
harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :
- Diare lebih sering
- Muntah berulang
- Sangat haus
- Makan/minum sedikit
- Timbul demam
- Tinja berdarah
- Tidak membaik dalam 3 hari.

13
2.2 Swamedikasi

2.2.1 Definisi
Menurut Sarwan & Fachry, (2016) menyatakan bahwa pengobatan sendiri (self
medication) merupakan upaya yang paling banyak dilakukan masyarakat untuk
mengatasi keluhan atau gejala penyakit, sebelum mereka memutuskan mencari
pertolongan ke pusat pelayanan kesehatan/petugas kesehatan. Menurut Robiyanto et al.,
(2018) Perilaku Swamedikasi merupakan tindakan pengobatan sendiri yang umumnya
dilakukan oleh masyarakat untuk mengatasi penyakit-penyakit yang tidak tergolong
parah, seperti sakit kepala, demam, batuk, pilek, diare, dan lain-lain. Dengan demikian,
swamedikasi diare yaitu tindakan pengobatan sendiri yang umumnya dilakukan oleh
masyarakat untuk mengatasi penyakit diare ringan (akut).

2.2.2 Penggolongan Obat untuk Swamedikasi


Permenkes RI Nomor 917/Menkes/X/1993 yang kini telah diperbaharui
oleh Permenkes RI Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000. Penggolongan obat
bertujuan untuk meningkatkan keamanan dan ketepatan penggunaan serta
keamanan distribusi.
Penggolongan obat ini terdiri atas :
a. Obat bebas, yaitu obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep
dokter. Obat ini tergolong obat yang paling aman, dapat dibeli tanpa resep di
apotik dan bahkan juga dijual di warung-warung. Obat bebas biasanya
digunakan untuk mengobati dan meringankan gejala penyakit. Tanda khusus untuk
obat bebas adalah berupa lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh: riνanol, tablet paracetamol, bedak salicyl, multivitamin, dan lain-lain.
b. Obat bebas terbatas, adalah segolongan obat yang dalam jumlah tertentu aman
dikonsumsi namun jika terlalu banyak akan menimbulkan efek yang berbahaya.
Obat ini dulunya digolongkan kedalam daftar obat W. Tidak diperlukan resep dokter
untuk membeli obat bebas terbatas. Disimbolkan dengan lingkaran biru tepi hitam.
Biasanya obat bebas terbatas memiliki peringatan pada kemasannya sebagai berikut:
P No. 1: Awas! Obat Keras. Bacalah aturan, memakainya ditelan.
P No. 2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dikumur, jangan ditelan.

14
P No. 3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.
P No. 4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar.
P No. 5: Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan.
P No. 6: Awas! Obat Keras. Obat Wasir, jangan ditelan.
Contoh : obat antimabuk seperti antimo, obat anti flu seperti noza, decolgen, dan
lain lain.
c. Obat wajib apotek, adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker pengelola
apotek tanpa resep dokter. Obat wajib apotek dibuat bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sehingga tercipta budaya
pengobatan sendiri yang tepat, aman, dan rasional.
d. Obat keras, adalah obat yang berbahaya sehingga pemakaiannya harus di bawah
pengawasan dokter dan obat hanya dapat diperoleh dari apotek, puskesmas dan
fasilitas pelayanan kesehatan lain seperti balai pengobatan dan klinik dengan
menggunakan resep dokter. Obat ini memiliki efek yang keras sehingga jika
digunakan sembarangan dapat memperparah penyakit hingga menyebabkan
kematian. Obat keras dulunya disebut sebagai obat daftar G. Obat keras ditandai
dengan lingkaran merah tepi hitam yang ditengahnya terdapat huruf “K” berwarna
hitam. Contoh: antibiotik seperti amoxicylin, obat jantung, obat hipertensi dan lain-
lain.
e. Psikotropika dan narkotika. Psikotropika merupakan zat atau obat yang secara
alamiah ataupun buatan yang berkhasiat untuk memberikan pengaruh secara selektif
pada sistem syaraf pusat dan menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan
perilaku.
Obat golongan psikotropika masih digolongkan obat keras sehingga disimbolkan
dengan lingkaran merah bertuliskan huruf “K” ditengahnya. Sedangkan narkotika
merupakan obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun
semi sintesis yang dapat menyebabkan perubahan kesadaran dari mulai penurunan
sampai hilangnya kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika disimbolkan dengan lingkaran
merah yang ditengahnya terdapat simbol palang (+).

15
2.2.3 Kelebihan dan Kerugian Swamedikasi
Menurut Holt (1986) dalam Aini, Puspitasari, & Erwinayanti (2019),
swamedikasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari swamedikasi
adalah aman jika digunakan sesuai petunjuk, efektif untuk keluhan ringan, biaya
obat lebih murah, hemat waktu, merasakan kepuasan tersendiri karena berperan
dalam keputusan terapi, menghindari rasa malu jika harus menampakkan bagian
tubuh tertentu di hadapan tenaga kesehatan, dan mengurangi beban pelayanan
kesehatan pada kondisi terbatasnya sumber daya. Sedangkan kekurangan dari
swamedikasi adalah adanya bahaya jika obat tidak digunakan sesuai aturan, hal
ini tentunya akan menyebabkan pemborosan biaya dan waktu untuk mengatasi
bahaya yang ditimbulkan tadi. Selain itu, ada kemungkinan timbulnya reaksi
yang tidak diinginkan, seperti efek samping, resistensi dan sensitivitas. Unsur
subjektivitas juga menjadi dominan karena kecenderungan pemilihan obat
berdasarkan pengamalan, iklan, dan lingkungan sosial
2.2.4 Faktor Penyebab Swamedikasi
Ada beberapa faktor penyebab swamedikasi. Beberapa faktor
penyebab perilaku swamedikasi berdasarkan hasil penelitian (WHO, 2012)
antara lain sebagai berikut :
a. Faktor sosial ekonomi
Seiring dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat yang berdampak
pada semakin meningkatnya tingkat pendidikan, sekaligus semakin mudahnya
akses untuk memperoleh informasi, maka semakin tinggi pula tingkat
ketertarikan masyarakat terhadap kesehatan. Sehingga hal itu kemudian
mengakibatkan terjadinya peningkatan dalam upaya untuk
berpartisrpasi langsrmg terhadap pengambilan keputusan kesehatan oleh
masing-masing individu tersebut.
b. Gaya hidup
Kesadaran tentang adanya dampak beberapa gaya hidup yang bisa
berpengaruh terhadap kesehatan, mengakibatkan banyak orang memiliki

16
kepedulian lebih untuk senantiasa menjaga kesehatannya daripada harus
mengobati ketika sedang mengalami sakit pada waktu-waktu mendatang.
c. Kemudahan memperoleh produk obat Saat ini, tidak sedikit dari pasien atau
pengguna obat lebih memilih kenyarnanan untuk membeli obat dimana saja
bisa diperoleh dibandingkan dengan harus mengantri lama di Rumah Sakit
maupun klinik.
d. Faktor kesehatan lingkungan
Dengan adanya praktik sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang benar
sekaligus lingkungan perumahan yaug sehat, berdampak pada semakin
meningkatnya kernampuan masyarakat untuk senantiasa menjaga dan
mempertahankan kesehatannya sekaligus mencegah terkena penyakit.
e. Ketersediaan produk baru
Semakin meningkatnya produk baru yang sesuai dengan pengobatan
sendiri dan terdapat pula produk lama yang keberadaannya juga sudah cukup
populer dan semenjak lama sudah memiliki indeks keamanan yang baik. Hal
tersebut langsung membuat pilihan produk obat untuk pengobatan sendiri
semakin banyak tersedia (Zeenot, 2013).

2.2.5 Penggunaan Obat yang Rasional


Menurut Kementrian Kesehatan RI (2011a), penggunaan obat dikatakan
rasional jika memenuhi kriteria :
a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika
diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa
mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga
tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
b. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat hanya

17
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
c. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan
dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek
terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang
dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek
samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya
kadar terapi yang diharapkan.
e. Tepat Cara Pemberian
Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivitasnya.
f. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar
mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat
yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus
diminum dengan interval setiap 8 jam.
g. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing masing. Untuk
Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan.
Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10 - 14 hari.
Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya
akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.

h. Waspada terhadap efek samping


Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak

18
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu
muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping
sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin
tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan
kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.
i. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat
pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita
dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan,
karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat
secara bermakna.
j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin,
serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.Untuk efektif dan aman
serta terjangkau, digunakan obat- obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan
obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan
efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan
klinis.Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang
menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui
jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan
CPOB.
k. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapik. Tepat tindak lanjut (follow-up). Pada saat
memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak
lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami
efek samping.
l. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat
dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek
atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker

19
menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian
diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan
secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam
menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat
kepada pasien.
m. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan. Dra. Engko
Sosialine M., Apt., M. Bio Med, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat
Kesehatan menyatakan bahwa untuk penyakit ringan seperti sakit kepala dan
batuk pilek dan sebagainnya, tidak jarang masyarakat melakukan
swamedikasi. Kementerian kesehatan telah mempromosikan tagline “Tanya
Lima O”. Melalui tagline ini masyarakat diharapkan dapat lebih aktrif lagi
mencari tentang informasi dalam sebuah obat, baik kepada tenaga farmasi
khususnya maupun dari informasi lainnya yang valid. Tagline “Tanya Lima
O” merupakan pertanyaan minimal yang harus terjawab sebelum melakukan
swamedikasi. Tagline tersebut yaitu : (Kefarmasian,2019)
a. Obat ini apa nama dan kandungan?
Tagline pertama yaitu apa nama dan kandungan obat. Tagline tersebut
sama halnya dengan penggunaan obat secara rasional pada bagian tepat
diagnosis dan tepat pemilihan obat menurut Kementrian Kesehatan RI (
2011a). Seorang ibu harus mengetahui nama obat dan kandungan obat
sebelum memberikan obat tersebut pada anaknya. Jika nama obat dan
kandungan salah terhadap penyakit anak tersebut, maka obat yang
diberikan tidak akan mengobati karena tidak sesuai dengan indikasi yang
seharusnya. Bukan hanya harus pemilihan obat yang harus diperhatikan,
tetapi juga seorang ibu harus mampu mendiagnosis penyakit.
b. Obat ini apa khasiatnya?
Tagline kedua yaitu obat ini apa khasiatnya. Tagline tersebut sama halnya
dengan penggunaan obat secara rasional bagian tepat indikasi penyakit
menurut Kementrian Kesehatan RI ( 2011a). Setiap obat memiliki
spektrum terapi dan khasiat yang spesifik. Antibiotik, misalnya

20
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Sama halnya dengan diare pada anak.
Diare pada anak hanya dapat disembuhkan dengan obat diare (oralit atau
semacamnya).
c. Obat ini berapa dosisnya?
Tagline ketiga yaitu obat ini berapa dosisnya. Tagline tersebut sama
halnya dengan penggunaan obat secara rasional bagian tepat dosis
menurut Kementrian Kesehatan RI ( 2011a). Dosis, cara dan lama
pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi atau penyembuhan
dengan obat. Pemberian dosis yang berlebihan akan menyebabkan efek
samping dan penggunaan dibawah dosis menyebabkan obat tidak bekerja
secara maksimal.
d. Obat ini bagaimana cara menggunakannya?
Tagline keempat yaitu obat ini bagaimana cara menggunakannya.
Tagline tersebut sama halnya dengan penggunaan obat secara
rasional bagian tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, dan
tepat lama pemberian menurut Kementrian Kesehatan RI ( 2011a). Jika
seorang ibu memberikan obat oralit bersamaan dengan susu maka akan
menyebabkan terjadinya interaksi obat. Sehingga pemberian oralit
bersamaan dengan susu tidak dianjurkan.
e. Obat ini apa efek sampingnya?
Tagline kelima yaitu obat ini obat ini apa efek sampingnya. Tagline
tersebut sama halnya dengan penggunaan obat secara rasional bagian
waspada efek samping menurut Kementrian Kesehatan RI ( 2011a).
Pemberian obat secara swamedikasi maupun bukan dapat berpotensial
menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada
pemberian obat dengan dosis terapi. Penggunaan oralit tidak boleh
diberikan kepada penderita diare yang mempunyai masalah ginjal karena
dapat menyebabkan oliguira. Begitupun kepada anak yang menderita
penyakit masalah penyerapan gula karena oralit mengandung gula yang
berisiko membuat kondisi yang dimiliki jadi lebih parah.

21
2.3 Pendidikan
2.3.1 Pengertian

Pendidikan merupakan suatu sistem yang terbangun dari beberapa komponen


pendidikan yang satu dengan yang lain saling berhubungan (Saat, 2015). Tingkat
pendidikan merupakan tahapan atau jenjang pendidikan yang sudah ditempuh Robiyanto
et al., (2018).

2.3.2 Cara Mengukur Tingkat Pendidikan


Menurut Robiyanto et al. (2018) tingkat pendidikan terbagi menjadi dua tingkat.
Tingkatan pertama yaitu pendidikan dasar. Tingkat pendidikan dasar yaitu SD,
SMP, dan SMA. Tingkatan yang kedua yaitu pendidikan tinggi (PT)
2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan
Menurut (Saat, 2015) faktor-faktor determinan dalam pelaksanaan
pendidikan, yang meliputi pendidik, peserta didik, tujuan pendidikan, alat
pendidikan, dan lingkungan pendidikan.
2.3.4 Pendidik
Pendidik adalah orang yang diserahi tugas atau amanah untuk mendidik.
Pendidikan itu sendiri dapat berarti memelihara, membina, membimbing,
mengarahkan, menumbuhkan. Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab XI pasal 39 tentang Pendidik
dan Tenaga Kependidikan dinyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga
professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
terutama bagi pendidik di perguruan tinggi.

2.3.5 Peserta didik


Anak didik atau peserta didik konotasinya adalah pada orang-orang yang
sedang belajar. Anak didik lebih dititik beratkan kepada anak-anak yang
masih dalam tahap perkembangan, baik fisik maupun psikis, belum dewasa, dan

22
masih membutuhkan bantuan dan pertolongan dari orang-orang dewasa di
sekitarnya. Istilah peserta didik mengandung makna yang lebih luas, mencakup
anak yang belum dewasa, dan juga orang yang sudah dewasa, tetapi masih
dalam tarap mencari atau menuntut ilmu dan keterampilan.
2.3.6 Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah perubahan yang dikehendaki atau ingin
diwujudkan melalui aktivitas pendidikan.Tujuan pendidikan merupakan
puncak dari segala usaha yang berhubungan dengan aktivitas pendidikan,
karena semua komponen pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
2.3.7Alat pendidikan
Alat pendidikan adalah segala sesuatu atau apa saja yang dipergunakan
dalam usaha mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan sebagi usaha, juga
merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Jadi alat pendidikan dapat
alat dari suatu alat, yaitu alat pendidikan. Segala perlengkapan yang dipakai
dalam usaha pendidikan disebut dengan alat pendidikan.
2.3.8 Lingkungan pendidikan
Lingkungan merupakan salah satu faktor pendidikan yang ikut serta
menentukan corak pendidikan yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap peserta
didik. Lingkungan dapat berupa lingkungan sosial, lingkungan nonsosial.
Lingkungan sosial berupa lingkungan yang terdiri atas manusia yang ada di
sekitar anak yang dapat memberi pengaruh terhadap anak, baik sikap, perasaan,
atau bahkan keyakinan agamanya, misalnya lingkungan pergaulan.
Lingkungan nonsosial adalah lingkungan alam sekitar berupa benda atau
situasi, misalnya keadaan ruangan, peralatan belajar, cuaca, dan sebagainya,
yang dapat memberikan pengaruh pada peserta didik.

2.4 Landasan Teori


Menurut Sarwan & Fachry (2016) Diare merupakan salah satu penyakit
ringan yang banyak dialami oleh masyarakat. Penyakit diare dapat diobati secara

23
swamedikasi atau pengobatan sendiri. Meskipun penyakit diare merupakan
penyakit yang ringan, namun diare dapat menyebabkan kematian bagi penderita.
Hal tersebut bisa terjadi karena pasien mengalami dehidrasi (kekurangan
cairan).
Menurut Sarwan & Fachry (2016) Pengobatan sendiri (self medication)
merupakan upaya yang paling banyak dilakukan masyarakat untuk mengatasi
keluhan atau gejala penyakit, sebelum mereka memutuskan
mencari pertolongan ke pusat pelayanan kesehatan/ petugas kesehatan.
Swamedikasi dapat diukur dengan indikator Tindakan yang dilakukan jika
menderita penyakit, kesesuaian obat terhadap penyakit, dan informasi dan
perlakuan terhadap obat Robiyanto et al., (2018).
Pendidikan merupakan suatu sistem yang terbangun dari beberapa
komponen pendidikan yang satu dengan yang lain saling berhubungan (Saat,
2015). Tingkat pendidikan merupakan tahapan atau jenjang pendidikan yang
sudah ditempuh. Menurut Robiyanto et al. (2018) tingkat pendidikan terbagi
menjadi dua tingkat. Tingkatan pertama yaitu pendidikan
dasar. Tingkat pendidikan dasar yaitu SD, SMP, dan SMA. Tingkatan yang
kedua yaitu pendidikan tinggi (PT) Robiyanto et al., (2018).

2.8 Kerangka Konsep

gambar 2.1 Kerangka Konsep

2.6 Hipotesis
Dari penelitian ini diharapkan terdapat hubungan antara
tingkat pendidikan ibu dengan perilaku swamedikasi diare pada
anak balita di Desa Burangkeng Kecamatan Setu Kabupaten Bekasi.

24
BAB III
METODE PENELITIAN

2.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian non-eksperimental yaitu


penelitian dengan pengambilan data tanpa perlakuan terhadap subyek uji. Jenis
penelitian ini yaitu penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan desain
penelitian cross sectional yaitu penelitian yang mempelajari teknik korelasi
antara faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau
pengumpulan data sekaligus pada waktu yang sama (point time approach).
Penelitian ini mengacu pada hubungan tingkat pendidikan ibu dengan perilaku
swamedikasi diare pada anak balita di desa Burangkeng.

2.2 Populasi dan Sampel


2.2.1 Populasi
Menurut Notoatnodjo, (2013) populasi yaitu keseluruhan objek
penelitian atau objek yang diteliti. Populasi pada penelitian ini yaitu
seluruh responden ibu yang memiliki anak balita dengan umur 1-4 tahun
di Desa Burangkeng. Berdasarkan data penduduk yang diperoleh pada
tanggal 5 November 2020, jumlah populasi dalam penelitian ini yaitu
313.
2.2.2 Sampel
Sampel penelitian yaitu sebagian dari jumlah yang diambil dari
keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
(Notoatmodjo, 2013).Metode pengambilan sampel pada penelitian ini
yaitu dengan metode non random (non probability) sampling—Purposiνe
Sampling. Pengambilan sampel secara purposiνe sampling didasarkan
pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri
(Notoatmodjo, 2013).

25
Sampel yang dipilih harus memenuhi hiteria inklusi dan
tidak memenuhi kriteria eksklusi sebagai berikut :

1. Kriteria lnklusi
a. Seorang Ibu usia antara 20—60 tahun
b. Memiliki anak balita umur 1-4 tahun
c. Pernah menempuh pendidikan formal
d. Pernah atau sedang melakukan swamedikasi diare
e. Bersedia mengisi kuesioner
f. Ibu yang bisa membaca dan menulis

2. Kriteria Eksklusi
a. Ibu dalam keadaaan sakit
b. Pada saat penelitian ibu tidak ditempat
c. Tidak bisa membaca dan menulis

2.3 Instrumen Penelitian


Instrumen dalam penelitian ini yaitu kuisioner. Kuisioner merupakan
salah satu instrumen penelitian yang digunakan untuk menggali informasi
secara langsung. Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini dibuat sendiri
oleh peneliti. Peneliti melakukan uji validitas dan uji realibilitas kepada 30
responden dengan kriteria inklusi yang sama dengan responden.
Menurut Sugiyono (2017), Uji validitas digunakan untuk menunjukkan

26
tingkat keandalan atau ketepatan suatu alat ukur. Validitas menunjukkan derajat
ketepatan antara data yang sesungguhnya terjadi pada obyek dengan data yang
dikumpulkan oleh peneliti. Valid berarti instrument tersebut dapat digunakan
untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Uji realibilitas adalah sejauh
mana hasil pengukuran dengan menggunakan obyek yang sama, akan
menghasilkan data yang sama. Uji realibilitas dilakukan secara bersama-sama
terhadap seluruh pertanyaan. Menurut Sugiyono (2013:179) item pernyataan
atau pertanyaan dalam instrumen dikatakan valid apabila harga korelasi diatas
0,30. Adapun untuk pengujian reliabilitas dikatakan lolos apabila nilai
Cronbach Alpha (a) semakin tinggi.

2.4 Variabel Penelitian


Penelitian ini menggunakan 2 jenis variabel, yaitu variabel dependen
(terikat) dan variabel independen (bebas).
a. Variabel dependen (terikat) dalam penelitian ini ialah tindakan
swamedikasi diare pada anak usia 1—4 tahun.
b. Sedangkan, variabel independen (bebas) dalam penelitian ini yaitu
tingkat pendidikan ibu.

2.5 Definisi Operasional


Menurut (Sugiyono, 2017), definisi operasional menjelaskan cara tertentu
yang digunakan oleh peneliti dalam mengoperasian gagasan dalam penelitian ini,
sehingga memungkinkan bagi peneliti-peneliti lain untuk melakukan replikasi
pengukuran dengan cara yang sama maupun mengembangkan cara pengukuran
dengan lebih baik.

Definisi operasional untuk masing-masing variabel dalam penelitian ini ialah


sebagai berikut.

27
2.6 Jalannya Penelitian
2.6.1 Tahap Persiapan
a. Peneliti melakukan pengajuan judul kepada pembimbing yang kemudian
melakukan pengurusan surat ijin penelitian dan melakukan survei pendahuluan
ke Desa Burangkeng untuk mendapatkan data awal yang dibutuhkan dalam
penelitian.
b. Peneliti mengumpulkan studi literatur terkait penyusunan penelitian.

2.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian


Peneliti melakukan penelitian pada bulan Januari 2021 di Desa
Burangkeng. Sebelum pengambilan data terlebih dahulu peneliti
memperkenalkan diri kepada responden tentang maksud dan tujuan yang

28
akan dilakukan. Setelah itu responden mengisi informed concenr yang berupa
data karakteristik responden dan kuisioner.
2.6.3 Teknik Penaolahan Data
Teknik pengolahan data dalam penelitian ini yaitu :
a. Editing Data (Pengeditan Data)
Dalam proses ini dilakukan pengeditan data yang meliputi
pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan makna jawaban sehingga
didapatkan data yang lengkap, jelas, relevan dan konsisten.
b. Coding Data (Pemberian Kode Data)
Data yang sudah diedit kemudian dicoding. Coding merupakan
kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk
angka/bilangan (Santoso, 2013). Coding sangat berguna dalam
pemasukan data pada tahap berikutnya. Kode pada penelitian ini yaitu
sebagai berikut :
1) Perilaku swamedikasi pada anak menggunakan skala likert :
1 = Buruk
2 = Baik
2) Hubungan tingkat pendidikan ibu juga menggunakan skala likert:
1 = Tingkat Pendidikan Rendah
2= Tingkat Pendidikan Tinggi
c. Entry Data (Memasukkan Data)
Data yang telah diedit dan diberi kode kemudian dimasukkan (entry) ke
dalam program komputer, dalam hal ini IBM SPSS (Statistic Package
for the Social Sciencess) for Windows Ver. 22.
d. Cleaning Data (Pembersihan Data)
Setelah dimasukkan ke dalam program, kemudian diralatkan Cleaning
Data. Cleaning Data merupakan kegiatan pengecekan kembali data
yang sudah dimasukkan (entry), apakah ada kesalahan atau
tidak. Jika terdapat kesalahan maka dilakukan perbaikan terhadap

29
kesalahan tersebut.
e. Penarikan Hasil Kesimpulan
Penarikan hasil kesimpulan dilakukan dengan menghitung skor
kuisioner menggunakan rumus :
Penarikan hasil kesimpulan dilakukan dengan menghitung skor
kuisioner menggunakan rumus :

Hasil disediakan dalam distribusi frekuensi setiap variable.


Kriteria Penelitian menurut Ali Khomsan (2000 : 15)
Tabel 3.1 Tingkat Perilaku Swamedikasi

30
31
2.7 Analisis Data
Data yang telah diolah kemudian dianalisis. Analisis data yang dilakukan antara lain :
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distibusi dan frekuensi dari tiap-
tiap variabel bebas (tingkat pendidikan ibu) dan variabel terikat (
swamedikasi). Data disajikan dalam bentuk tabel.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan
terikat, dimana uji hubungan kedua variabel tersebut dengan uji statistik Chi-
Square. Dengan sistem komputerisasi dan tingkat kemaknaan pada a 0,05
dengan ketentuan bila p value < nilai o (0,05) maka ada hubungan antara
variabel bebas dengan variabel terikat bila p value > nilai a (0,05) maka tidak
ada antara variabel bebas dengan variabel terikat.

32
3.8 Jadwal Penelitian

33
DAFTAR PUSTAKA
Aini, S.R., Puspitasari, C.E., & Erwinayanti, G.A.P.S, 2019, Alih
Pengetahuan
tentang Obat dan Obat Tradisional dalam Upaya Swamedikasi di Desa
Batu Layar Lombok Barat, 2(4), 407— 410.

Amin, L.Z., 2015, Tatalaksana Diare Akut, CDK-230, 42(7), 504—508.

Fuaddah, A. T., 2015, Description of Self-Medication Behavior in Community


of Subdistrict Purbalingga, Dictrict Purbalingga, Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 3, 610—619.

Kefarmasian, D.P., 2019, Cerdas Menggunakan Obat.

Kementrian Kesehatan RI, 2011a, Modul Penggunaan Obat Rasional, Jakarta:


Kementrian Kesehatan RI.
Kementrian Kesehatan RI, 2011b, Situasi Diare di Indonesia Triwulan II,
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Mamo, S., Ayele, Y., & Dechasa, M., 2018, Self-Medication Practices among
Community of Harar City and Its Surroundings, Eastern Ethiopia,
Journal of Pharmaceutics.

Meryta, A., Lisnawati, N., & Kamalia, G., 2016, Gambaran Pengetahuan Ibu
Tentang Swamedikasi Diare pada Anak di Bulan Juni 2015, Social
Clinical Pharmancy Indonesia Journal, l(1), 107—116.
Notoatmodjo, S., 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Notoatnodjo, S., 2013, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka
Cipta.
Robiyanto, Rosmimi, M., & Untari, E. K., 2018, Analisis pengaruh tingkat
pengetahuan masyarakat terhadap tindakan swamedikasi diare akut di
kecamatan pontianak timur, Jurnal Pendidikan, l6(1), 135—145.

Saat, S., 2015, Faktor-faktor Determinan dalam Pendidikan, Jurnal Al-


Ta'dib, 8(2), 1—17.

34
35
36
37
38

Anda mungkin juga menyukai