Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

“TRAUMA SPINAL”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners Departemen Emergency

Oleh :
Yurike Olivia Sella
190070300111028
Kelompok 1A

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
TRAUMA SPINAL

1. ANATOMI FISIOLOGI
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton
dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan
sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf,
menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada
orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12
thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal.(Gbr.1)

Gambar.1 : Tulang Belakang


(Sumber: Atlas of Human Anatomy, Frank H. Netter, 4th Edition, 2006, Saunders
Elsevier, ISBN-13:978-1-4160-3385-1)

Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut : (Gbr.2)


a. Vetebra Cervicalis
Vertebra cervicalis ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak.Veterbrata cervicalis
ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinosus paling panjang.
Atlas (C1) adalah vertebra cervicalis pertama dari tulang belakang. (Gbr.3) Atlas
bersama dengan Axis (C2) membentuk sendi yang menghubungkan tengkorak dan
tulang belakang dan khusus untuk memungkinkan berbagai gerakan yang lebih
besar. C1 dan C2 bertanggung jawab atas gerakan mengangguk dan rotasi kepala.
Atlas tidak memiliki tubuh. Terdiri dari anterior dan posterior sebuah lengkungan dan
dua massa lateral. Tampak seperti dua cincin. Dua massa lateral pada kedua sisi
lateral menyediakan sebagian besar massa tulang atlas. Foramina melintang terletak
pada aspek lateral.
Axis terdiri dari tonjolan tulang besar dan parsatikularis memisahkan unggulan dari
proses artikularis inferior. Prosesus yang mirip gigi (ondontoid) atau sarang adalah
struktur 2 sampai 3 cm cortico cancellous panjang dengan pinggang menyempit dan
ujung menebal. Kortikal berasal dari arah rostral (kearah kepala) dari tubuh vertebra.
b. Vertebra Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas ke bawah. Corpus berbentuk jantung,
berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thoraks.
c. Vertebra Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,berjumlah 5 buah
yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurannya
sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.
d. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5
vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
e. Os. Coccygeal
Terdiri dari tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.
Beberapa segmen ini membentuk 1 pasang saraf cocygeal.

Gambar.2 : Tipe tulang vertebra: cervical-thoracal-lumbar-sacrum


(Sumber: Atlas of Anatomy, Anne M. Gilroy, MA,Brian R. M,,Thieme Medical
Publishers Inc, New York, 2008)
Gambar.3 : Atlas-Axis
(Sumber: The Skeleton: an Ordered Assembly of Bones: physioweb.org,2010)

Lengkung kolumna vertebralis kalau dilihat dari samping maka kolumna


vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior yaitu lengkung
vertikal pada daerah leher melengkung kedepan, daerah torakal melengkung
kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang.
Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis,disebut promer
karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang
belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengan kepala membengkak ke bawah sampai
batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua
lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung servikal
berkembang ketika anak-anak mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya
sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan
berjalan serta mempertahankan tegak.
Fungsi dari kolumna vertebralis yaitu sebagai penunjang badan yang kokoh
dan sekaligus bekerja sebagai penyangga ke depan perantaraan tulang rawan cakram
intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan
membongkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan
yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan
dengan demikian otak dan sumsum belakang terlindung terhadap goncangan.
Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk kartan
otot dan membentuk tapal batas posterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan
memberi kaitan pada iga. (Eveltan.C. Pearah, 1997 dalam Ilham, 2008).
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medulla
oblongata, menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara
vertebra- lumbalis pertama dan kedua. Disini medulla spinalis meruncing sebagai
konus medularis, dan kemudian sebuah sambungan tipis dari piameter yang disebut
filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis.
Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini,pada bagian
depannya dibelah oleh fisura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah
oleh sebuah fisura sempit.
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan cervikal dan lumbal.
Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas
dan bawah dan plexus dari daerah thoraks membentuk saraf-saraf interkostalis.
Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak dfan
semua bagian tubuh dan brgerak refleks.
Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut:
a. Organ sensorik
Menerima impuls, misalnya kulit
b. Serabut saraf sensorik
Mengantarkan impuls-impuls tersebut menujusel-sel dalam ganglion radix
posterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada kornu posterior mendula
spinalis
c. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung
menghantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medula spinalis.
d. Sel saraf motorik
Dalam kornu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls
tersebut melalui serabut motorik.
e. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf
motorik
f. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada
daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis
beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen danotot-otot pada kedua
anggota gerak bawah, serta paralisis spinter pada uretra dan rectum.
Gambar 4 : Fungsi dari setiap segmen tulang belakang
(Sumber: sciencedirect.com, 2008)

2. DEFINISI
Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal, meliputi
spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan lunak,
dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma berupa jatuh
dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya. Trauma
spinalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu
atau lebih tulang vertebra) atau injuri saraf yang aktual maupun potensial (kerusakan
akar-akar saraf yang berada sepanjang medula spinalis sehingga mengakibatkan defisit
neurologi) (Brunner & Suddarth, 2001).

3. ETIOLOGI
Menurut Harsono (2000) trauma tulang belakang dapat disebabkan oleh :
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
c. Kecelakaan sebab olahraga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)
d. Luka jejas, tajam, tembak, pada daerah vertebra
e. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang (seperti spondiliosis servikal
dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera
progresif terhadap medulla spinalis; mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun
noninfeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebrata;
siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vaskuler)
f. Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih, stress lateral,
distraksi (stretching berlebih), penekanan.

Menurut Ducker dan Perrot dalam dr. Iskandar Japardi (2002), melaporkan :
a. 40% spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas
b. 20% disebabkan karena jatuh
c. 40% disebabkan karena luka tembak, olahraga, kecelakaan kerja

4. KLASIFIKASI
KLASIFIKASI BERDASARKAN ETIOLOGI
a. Whiplash Injury
Disebabkan akibat strain atau sprain pada segmen servikal. Disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas
b. Fraktur Kompresi (Wedge)
Disebabkan karena gaya vertical di depan garis tengah vertebra yang menekan tepi
anterior vertebra. Sering terjadi pada torakolumbal. Pada lansia dikarenakan akibat
jatuh terduduk sedangkan pada usia mudah akibat jatuh mendarat pada kaki
c. Burst Fracture
Disebabkan karena kompresi aksial dari bagian anterior vertebra. Bagian-bagian tepi
vertebra terdoromg keluar, materi diskus dapar terdorong ke korpus vertebra atau ke
kanal spinal sehingga sering disertai kerusakan neurologis karena pergeseran
korpus vertebra atau fragmennya ke belakang.
d. Fraktur Distraksi
Deselerasi cepat pada kecelakaan lalu lintas akan melempar korban ke depan
sehingga tubuh akan tertekan pada sabuk pengamanan yang mengakibatkan fraktur
korpus vertebra dan dapat terjadi displacement berat.
e. Fraktur Dislokasi
Kombinasi gaya fleksi, kompresi dan rotasi yang mengakibatkan fraktur korpus
vertebra, fraktur pledikel dan dislokasi sendi faset yang menyebabkan paraplegia
atau tetraplegia.

KLASIFIKASI BERDASARKAN LOKASI CEDERA


a. Cedera Cervikal
 Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma
masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada
gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi spinal
tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan
beberapa daerah wajah.
Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh
karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga tergantung
semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga
membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya
secara intermitten saja.
 Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma
rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan
dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernafasan. Quadriplegia pada C5
biasanya mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi,
menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai koordinasi tangan dan
mulut yang lebih baik.
 Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis
intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi
gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada
perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas
higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju.
 Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris
untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya
berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup
mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti
berpakaian dan melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan,
mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan memasak.
 Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk
karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan
dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari
tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia C8 harus mampu hidup
mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil,
merawat rumah, dan perawatan diri.
b. Cedera Torakal
 Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan
diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada
toraks. Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot
adductor pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori
sentuhan, nyeri, dan suhu.
 Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat
T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua
refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien
dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri.
Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:
 T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
 T3 Aksilla
 T5 Putting susu
 T6 Prosesus xifoid
 T7, T8 Margin kostal bawah
 T10 Umbilikus
 T12 Lipat paha
c. Cedera Lumbal
 Lesi L1-L5
- L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian belakang
dari bokong.
- L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
- L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.
- L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.
- L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area
sadel.
d. Cedera Sakral
 Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan
posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki.
Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum, area
anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

KLASIFIKASI BERDASARKAN KEPARAHAN


a. Klasifikasi Frankel :
- Grade A : motoris (-), sensoris (-)
- Grade B : motoris (-), sensoris (+)
- Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
- Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
- Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)
b. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
- Grade A (Cedera Saraf Lengkap)
Terjadi kehilangan fungsi motorik dan sensori lengkap (Complet Loss) khususnya
di segmen S4-S5.
- Grade B (Cedera Saraf Tidak Lengkap)
Fungsi motorik hilang, fungsi sensori utuh, kadang terjadi pada segmen S4-S5.
- Grade C (Cedera Saraf Tidak Lengkap)
Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna (dapat menggerakan tungkai
tetapi tidak bisa berjalan) dan tingkat kekuatan otot dibawah 3.
- Grade D (Cidera Saraf Tidak Lengkap)
Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak dengan normal) tingkat
kekuatan otot sama atau diatas 3.
- Grade E (Normal)
Fungsi sensorik dan motorik normal.

KLASIFIKASI BERDASARKAN BERATNYA DEFISIT NEUROLOGIS


a. Paraplegia inkomplit (torakal inkomplit)
b. Paraplegia komplit (torakal komplit)
c. Tetraplegia inkomplit (servikal komplit)
d. Tetraplegia komplit (cedera servikal komplit)
Sangat penting untuk mencari tanda-tanda
adanya preservasi fungsi dari semua jaras medulla
spinalis. Adanya fungsi motorik dan sensorik dibawah
level trauma menunjukkan adanya cedera inkomplit.
Tanda-tanda cedera inkomplit meliputi adanya sensasi
atau gerakan volunter di ekstremitas bawah, sacral
sparing (contoh : sensasi perianal), kontraksi sfinghter
ani volunter, dan fleksi ibu jari kaki volunter. Reflek
sakral, seperti refleks bulbokavernosus atau kerutan
anus, tidak termasuk dalam sacral sparing.
5. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala umum dari trauma pada tulang belakang adalah (National
Institutes of Health US):
a. Mati rasa atau sensasi geli di sepanjang kaki maupun lengan
b. Kelemahan
c. Ketidakmampuan berjalan
d. Paralisis (kehilangan control pergelangan ekstremitas, yakni lengan dan kaki)
e. Tidak ada control pada GIT dan system perkemihan, pasien cenderung tidak bisa
mengontrol BAB maupun BAK
f. Syok (pucat, kulit basah dan hangat, jari dan tangan kebiru-biruan, pusing, sakit
kepala, dan setengah tidak sadar)
g. Kurang perhatian terhadap stimuli/lingkungan sekitar
h. Nyeri pada area spinal atau paraspinal
i. Nyeri kepala bagian belakang, pundak, tangan, kaki
j. Penurunan kesadaran
k. Tanda spinal shock, meliputi: Flaccid paralisis di bawah batas luka, hilangnya
sensasi di bawah batas luka, hilangnya reflek-reflek spinal di bawah batas luka,
hilangnya tonus vasomotor (hipotensi), Tidak ada keringat dibawah batas luka,
inkontinensia urine dan retensi fese. Jika berlangsung lama akan menyebabkan
hiperreflek/paralisis spastic

Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan lokasi trauma :


a. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal.
b. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah;
kehilangan refleks brachioradialis.
c. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi sikumasih
bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
d. Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
e. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki.
f. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.
g. T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut.
h. Cauda equine
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya nyeri dan
sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel dan bladder.
i. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total
Bila terjadi trauma spinal total atau complete cord injury, manifestasi yang mungkin
muncul antara lain total paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas refleks (Merck,
2010)

Gambar 6. Manifestasi klinis dari lokasi spinal injuri yang terjadi


(Sumber: www.jasper-sci.com)

6. PATOFISIOLOGI
(Terlampir)

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan fisik seperti pasien trauma, evaluasi klinis awal dimulai dengan
survey - ABCDE. SCI (Spinal Cord Injury) harus dilakukan secara bersamaan. Masing-
masing pemeriksaannya adalah:
a. Fungsi paru
Respiration rate, sianosis, distress pernapasan, kesimetrisan dada, suara tambahan,
ekspansi dada, gerakan dinding perut, batuk, dan cedera paru. Analisis gas darah
arteri dan oksimetri.
b. Disfungsi respirasi pada akhirnya akan tergantung pada keadaan paru yang sudah
ada, tingkat SCI, cedera paru-paru. Hal-hal yang mungkin terganggu dalam
pengaturan SCI:
1) Hilangnya fungsi otot ventilasi akibat adanya cedera dada.
2) Cedera paru, seperti pneumothoraks, hemotoraks, atau contusio paru.
3) Penurunan pengaturan ventilasi berhubungan dengan cedera kepala atau efek
eksogen alkohol dan obat-obatan.
a) CVS – nadi dan volume, tekanan darah (hemoragik atau shock neurogenik).
b) Suhu – hipotermia – shock spinal.
c) Pemeriksaan neurologis
Menentukan tingkat cedera yang dialami, complete atau incomplete.
c. Tes motorik
Dilakukan bersamaan, tes tonus otot, kekuatan otor, refleks otot, koordinasi,
pemeriksaan refleks tendon dalam dan evaluasi perineal sangat penting. Ada atau
tidaknya prognosis sparingis sakral, indikator evaluasi sakral. Hal-hal yang dievaluasi
dapat didokumentasikan sebagai berikut:
1) Sensasi perineum terhadap sentuhan ringan dan cocokan peniti
2) Refleks bulbocavernous (S3 atau S4)
3) Kedipan mata (S5)
4) Retensi urine atau inkontinensia
5) Priapisme

 Pemeriksaan Motorik Tulang Belakang


 C5 – Fleksor siku (bisep, brakialis) dan bahu
 C6 – Ekstensor pergelangan tangan (ekstensor karpi radialis longus dan brevis)
 C7 – Ekstensor siku (trisep)
 C8 – Fleksor jari (fleksor digitorum profunda) untuk jari tengah
 T1 – Jari kelingking (digiti mini)
 L2 – Hip fleksor (iliopsoas)
 L3 – Ekstensor lutut (quadrisep)
 L4 – Ankle dorsifleksor (tibialis anterior)
 L5 – Ekstensor kaki (ekstensor halusis longus)
 S1 – Fleksor ankle plantar (gastrocnemius, soleus)
 Pemeriksaan Sensori Tulang Belakang
 C2 – Tonjolan oksipital
 C3 – Fossa supraklavikula
 C4 – Atas sendi akromioklavikularis
 C5 – Sisi lateral lengan
 C7 – Jari tengah
 C8 – Jari kelingking
 T1 – Sisi medial lengan
 T2 – apex dari aksila atau ICS 2
 T3 – ICS 3
 T4 – ICS 4 lurus puting susu
 T5 – ICS 5 (tengah antara T4 dan T6)
 T6 – ICS 6 setinggi xiphisternum
 T7 – ICS 7 (tengah antara T6 dan T8)
 T8 – ICS 8 (tengah antara T6 dan T10)
 T9 – ICS 9 (tengah antara T8 dan T10)
 T10 – ICS 10 atau umbilikus
 T11 – ICS 11 (tengah antara T10 dan T12)
 T12 – Midpoint ligamentum inguinalis
 L1 – Setengah jarak antara T12 dan L2
 L2 – Paha mid-anterior
 L3 –Kondilus femoralis medial atau kondilus femoralis lateralis
 L4 – Maleolus medial
 L5 – lateral kaki atau maleolus lateral atau dorsum kaki pada sendi
metatarsophalangeal ketiga
 S1 – Tumit lateral
 S2 – Fossa popliteal di garis tengah
 S3 – tuberositas iskia
 S4-S5 – Perianal
 C6 – ibu jari dan lengan lateral

 Imaging
a. Sinar X Spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
b. CT-Scan
CT-scan untuk untuk menentukan tempat luka/jejas
c. X-Ray
3 standar untuk mendapatkan gambaran X-ray:
1) Antero-posterior
2) Gambaran lateral
3) Gambaran odontoid-membuka mulut
Gambaran oblique termasuk gambaran penekanan bahu
 Direkomendasikan gambaran antero-posterior dan lateral dada serta lumbal
 Radiografi leher harus menyertakan C7-T1
d. MRI
MRI baik untuk kecurigaan adanya lesi sumsum tulang belakang, ligamentum
atau kondisi lainnya. MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi hematoma tulang
belakang seperti ekstra dural, abses atau tumor, dan hemoragi tulang belakang,
memar, dan/atau edema.
e. Foto Rongent Thorak
Untuk mengetahui keadaan paru
f. AGD
Untuk menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
g. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya
tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla
spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).

8. PENATALAKSANAAN MEDIS
Berdasarkan ATLS (Advance Trauma Life Support), manajemen umum pada
pasien dengan trauma spinal dan medulla spinalis meliptui immonilisasi, cairan
intravena, obat-obatan, dan rujukan dilkukan saat kondisi pasien sudah stabil.
a. Immobilisasi
Semua pasien dengan kecurigaan trauma spinal harus diimobilisasi sampai di
atas dan dibawah daerah yang dicurigai sampai adanya fraktur dapat disingkirkan
dengan pemeriksaan radiologi. Harus diingat bahwa proteksi spinal harus
dipertahankan sampai cedera cervical dapat disingkirkan. Imobilisasi yang baik
dicapai dengan meletakkan pasien dalam posisi netral-supine tanpa memutar atau
menekuk kolumna vetebralis. Jangan dilakukan usaha/tindakan untuk mengurangi
deformitas. Anak-anak mungkin mengalami tortikolis, sedangkan orang yang lebih
tua mungkin menderita penyakit degenerasi spinal berat yang mengakibatkan
mereka mengalami kifosis nontraumatik atau deformitas angulasi spinal. Pasien
seperti ini diimobilisasi pada backboard pada posisi yang tepat. Padding tambahan
juga diperlukan. Usaha untuk meluruskan spinal guna immobilisasi di atas backboard
tidak dianjurkan bila menimbulkan nyeri.
Immbolisasi leher dengan semirigid collar tidak menjamin stabilisasi komplit
tulang cervical. Imobilisasi dengan menggunakan spine board dengan bantal
ganjalan yang tepat lebih efektif dalam membatasi pergerakan leher. Cedera tulang
cervical memerlukan immobilisasi yang terus menerus dengan menggunakan
cervical collar, immoblisasi kepala, backboard, dan pengikt sebelum dan selama
pasien dirujuk ke tempat perawatan definitif. Ekstensi atau fleksi leher harus dihindari
karena geraka seperti ini berbahaya bagi medulla spinalis. Jalan nafas adalah hal
yang penting pada pasien dengan cedera medulla spinalis dan intubasi segera harus
dilakukan bila terjadi gangguan respirasi. Selama melakukan intubasi, leher harus
dipertahankan dalam posisi netral,
Perhatian khusus dalam mempertahankan imbolisasi yang adekuat diberikan
pada pasien yang gelisah, agitatif, atau memberontak. Hal ini dapat disebabkan oleh
nyeri, kesadaran menurun akibat hipoksia atau hipotensi, penggunaan alkohol atau
obat-obatan, atau gangguan kepribadian. Dokter harus mencari dan memperbaiki
penyebab bila mungkin. Jika diperlukan dapat diberikan sedatif atau obat paralitik,
dengan tetap diingat mengenai proteksi jalan nafas yang kuat, kontrol, dan ventilasi.
Pneggunaan sedasi atau obat paraitik dalam keadaan ini memerlukan ketepatan
dalam keputusan klinis, keahlian dan pengalaman.
Saat pasien tiba di ruang gawat daruratm harus diusahakan agar pasien bisa
dilepaskan dari spine board yang keras untuk mengurangi risiko terjadinya ulkus
dekubitus. Pelepasan alas keras sering dilakukan sebagai bagian dari secondary
survey saat dilakukan log roll untuk inspeksi dan palpasi tubuh bagian belakang.
Jangan sampai hal ini ditunda hanya untuk pemeriksaan radiologis, apalagi bila
pemeriksaan radiologis tidak bisa dilakukan dalam beberapa jam.
Gerakan yang aman atau log roll, pad apasien dengan tulang belakang yang
tidak stabil memerlukan perencana dan bantuan 4 orang atau lebih, tergantung
ukuran pasien. Kesegarisan anatomis netral dari seluruh tulang belakang harus
dijaga pada saat memutar atau mengangkat pasien. Satu orang ditugaskan untuk
menjaga kesegarisan leher dan kepala. Yang lain berada di sisi yang sama dari
pasien, secara manual mencegahh rotasi, fleksi, ekstensi, tekukan lateral, atau
tertekuknya thorax atau abdomen secara manual selama transfer pasien. Otang
keempat bertanggung jawab menggerakkan tungkai dan memindahkan spine board
dan memeriksa punggung pasien.
b. Cairan Intravena
Pada penderita dengan kecurigaan trauma spinal, cairan intravena diberikan
seperti pada resusitasi pasien trauma. Jika tidak ada atau tidak dicurigai adanya
perdarahan aktif, adanya hipotensi setelah pemberian cairan 2 liter atau lebih
menimbulkan kecurigaan adanya syok neurogenik. Pasien dengan syok hipovolemik
biasanya mengalami takikardia sementara pasien dengan syok neurogenik secara
klasik akan mengalami bardikardia. Jika tekanan darah tidak meningkat setelah
pemberian cairan, maka pemberian vasopressor secara hati-hati diindikasikan.
Fenielfrin HCL, dopaminm atau norepinefrin direkomendasikan. Pemberian cairan
yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru pada pasien dengan syok
neurogenik. Bila status cairan tidak jelas maka pemasangan monitor invasif bisa
menolong. Kateter urine dipasang untuk memonitor pengeluaran urine dan
mencegah distensi kandung kemih.
c. Medikasi
Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan
dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula
spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medulla
spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama,
cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis tidak komplet
cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawah lesi
masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%.
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk
cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of
Health di Amerika Serikat. Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama
cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan
sebagai standar terapi. Kajian oleh Braken dalam Cochrane Library menunjukkan
bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi farmakologik
yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan
sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan
pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training pada
pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk
mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan
memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome / CSS
biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik
sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. Terapi okupasional terutama
ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas atas,
mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/ activities of daily living
(ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat
bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien.
Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa suatu program
rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi,elektroterapi, psikoterapi, penatalaksanaan
gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai
status fungsional pada penderita cedera medula spinalis.

PRINSIP PRINSIP UTAMA PENATALAKSANAAN TRAUMA SPINAL :


a. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan
sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher
dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak
terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada
tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ”4 men lift” atau
menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’.
b. Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia:
1) Periksa vital signs
2) Pasang ’nasogastric tube’
3) Pasang kateter urin
4) Segera normalkan ’vital signs’.
Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik.
Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa gas darah),
dan periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone
Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki
konntusio medula spinalis.
c. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi
diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai
terjadi reduksi.
d. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’
dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi
dengan ’approach’anterior atau posterior.
e. Rehabilitasi
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program
ini adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan, pencapaian
optimal fungsi – fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita
paraparesis/paraplegia.

9. KOMPLIKASI
Menurut Mansjoer, Arif, et al. 2000, trauma tulang belakang bisa mengakibatkan
berbagai macam komplikasi, diantaranya :
a. Syok hipovolemik
Akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak
sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
b. Pendarahan Mikroskopik
Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi perdarahan-
perdarahan kecil. Yang disertaireaksi peradangan,sehingga menyebabkan
pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
didalam dan disekitar korda.Peningkatan tekanan menekan saraf dan menghambat
aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis meningkatkan luas cidera
korda.Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau
terjerat.
c. Hilangnya Sesasi, Kontrol Motorik, Dan Refleks
Pada cidera spinal yang parah, sensasi,kontrol motorik, dan refleks setingg
dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks disebut syok spinal.
Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda dapat meluas kedua segmen
diatas kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta
syok spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spinal biasanya
menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik dan motorik akan tetap
permanen apabila korda terputus akan terjadi pembengkakan dan hipoksia yang
parah.
d. Syok Spinal
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua
segme diatas dan dibawah tempat cidera. Repleks-refleks yang hilang adalah
refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan darah,
dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya secara akut
semua muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens dari otak, yang
bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks.Syok spinl biasanya berlangsung
antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat
tmbul hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot serta refleks, pengosongan
kandung kemih dan rektum.
e. Hiperrefleksia Otonom
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar
refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia otonom
dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu rangsangan sensorik
nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan suatu refleks yang melibatkan
pengaktifan sistem saraf simpatis.Dengan diaktifkannya sistem simpatis,maka
terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah
system. Pada orang yang korda spinalisnya utuh,tekanan darahnya akan segera
diketahui oleh baroreseptor.Sebagai respon terhadap pengaktifan
baroreseptor,pusat kardiovaskuler diotak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis
kejantung sehingga kecepatan denyut jantunhg melambat,demikian respon saraf
simpatis akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh darah.Respon parasimpatis
dan simpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan tekanan darah
kenormal.Pada individu yang mengalami lesi korda,pengaktifan parasimpatis akan
memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas tempat
cedera,namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi korda sehngga
vasokontriksi akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus
berlangsung.Pada hiperrefleksia otonom,tekanan darah dapat meningkat melebihi
200 mmHg sistolik,sehingga terjadi stroke atau infark  miokardium.Rangsangan
biasanya menyebabkan hiperrefleksia otonom adalah distensi kandung kemih atau
rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor permukaan untuk nyeri.
f. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter. Pada
transeksi korda spinal, paralisis bersifat permanen. Paralisis ekstremitas atas dan
bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut
kuadriplegia. Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada transeksi korda dibawah
C6 dan disebut paraplegia. Apabila hanya separuh korda yang mengalami transeksi
maka dapat terjadi hemiparalisis.
g. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil
dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau
torakal atas
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kelamin (kebanyakan
laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa pengaman helm),
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit
(MRS), nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah nyeri,
kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan inkontinensia alvi,
nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan deformitas pada daerah
trauma.
c. Riwayat penyakit sekarang
Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak,
trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan kejatuhan benda keras.Pengkajian
yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu
disertai hilangnya sensibilitas secara total dan melemah/menghilangnya refleks alat
dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya refleks-refleks.
d. Riwayat kesehatan dahulu.
Merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui kondisi kesehatan klien sebelum
menderita penyakit sekarang , berupa riwayat trauma medula spinalis. Biasanya ada
trauma/ kecelakaan.
e. Riwayat kesehatan keluarga.
Untuk mengetahui ada penyebab herediter atau tidak
f. Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol
g. Riwayat penyakit dahulu.
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit degeneratif pada
tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoartritis.
h. Pengkajian psikososiospiritual.
i. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan
B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien.
1) Pernapasan
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis
(klien mengalami kelumpuhan otototot pernapasan) dan perubahan karena
adanya kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma pada tulang belakang
sehingga jaringan saraf di medula spinalis terputus. Dalam beberapa keadaan
trauma sumsum tulang belakang pada daerah servikal dan toraks diperoleh hasil
pemeriksaan fisik sebagai berikut.
Inspeksi : Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan, retraksi
interkostal, dan pengembangan paru tidak simetris. Respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak
mampu mcnggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf parasimpatis.
Palpasi : Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila trauma terjadi pada rongga toraks.
Perkusi : Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi
pada toraks/hematoraks.
Auskultasi : Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronchi
pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk menurun
sering didapatkan pada klien cedera tulang belakang yang mengalami penurunan
tingkat kesadaran (koma).
2) Kardiovaskular
Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang didapatkan
renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas sedang dan berat. Hasil
pemeriksaan kardiovaskular klien cedera tulang belakang pada beberapa
keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-debar, pusing
saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau pucat.
3) Persyarafan
Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pemeriksaan fungsi
serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi penampilan, tingkah
laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Klien yang telah
lama mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami perubahan status
mental.
Pemeriksaan Saraf Kranial:
- Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang belakang dan
tidak ada kelainan fungsi penciuman.
- Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
- Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata
dan pupil isokor.
- Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami paralisis pada
otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
- Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
- Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Ada
usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi, Indra pengecapan normal.
4) Pemeriksaan Refleks
- Pemeriksaan refleks dalam
Refleks Achilles menghilang dan refleks patela biasanya melemah karena
kelemahan pada otot hamstring.
- Pemeriksaan refleks patologis
Pada fase akut refleks fisiologis akan menghilang. Setelah beberapa hari
refleks fisiologis akan muncul kembali yang didahului dengan refleks
patologis.
- Refleks Bullbo Cavemosus positif
- Pemeriksaan sensorik.
Apabila klien mengalami trauma pada kaudaekuina, mengalami hilangnya
sensibilitas secara me-netap pada kedua bokong, perineum, dan anus.
Pemeriksaan sensorik superfisial dapat memberikan petunjuk mengenai
lokasi cedera akibat trauma di daerah tulang belakang
5) Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk
berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
6) Pencernaan
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan adanya ileus
paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta kembung dan
defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok spinal yang akan
berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi
berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.
7) Muskuloskletal
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada ketinggian
terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental
dari saraf yang terkena

2. PENGKAJIAN A – I
PENGKAJIAN PRIMER
DATA SUBYEKTIF
a. Riwayat Penyakit Sekarang
- Mekanisme Cedera
- Kemampuan Neurologi
- Status Neurologi
- Kestabilan Bergerak
b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
- Keadaan Jantung dan pernapasan
- Penyakit Kronis
DATA OBYEKTIF
a. Airway
Adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal sehingga
mengganggu jalan napas
b. Breathing
Pernapasan dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada
c. Circulation
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi, Kulit teraba hangat
dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu
tubuh bergantung pada suhu lingkungan)
d. Disability
Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan
sensasi, kelemahan otot

PENGKAJIAN SEKUNDER
a. Exposure
Adanya deformitas tulang belakang
b. Five Intervensi
-   Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
-   CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas
-   MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
-   Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru
-   Sinar X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
iiiii(Fraktur/Dislokasi)
c. Give Comfort
-   Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
d. Head to Toe
- Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
- Dada :  Pernapasan dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan
dinding dada,bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat
cedera
- Pelvis dan Perineum : Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses,
terjadinyagangguan pada ereksi penis (priapism)
- Ekstrimitas : Terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis /
quadriplegia
e. Inspeksi Back / Posterior Surface
-   Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang

3. ANALISA DATA
No Data Etiologi Dx Keperawatan
1 DS: Etiologi (jatuh dari Ketidakefektifan pola
 Klien mengatakan ketinggian, kecelakaan, nafas b.d kelemahan otot
sulit bernafas jatuh saat olahraga, diafragma
 Klien mengatakan osteoporosis)
otot dadanya lemas
DO: Fraktur tulang belakang
 Tampak pernafasan
dangkal dan cepat Blok saraf parasimpatis

 Tampak pernafasan
cuping hidung Kelumpuhan otot

 Klien mengalami pernafasan

dispnue, takipnue
 RR meningkat Otot diafragma lemah

 Hasil laboratorium
Ketidakefektifan pola nafas
saturasi oksigen
menurun (kurang dari
normal)
2 Etiologi (jatuh dari Nyeri akut b.d agen
DS: ketinggian, kecelakaan, cedera fisik
 Klien mengeluh nyeri jatuh saat olahraga,
di bagian leher dan osteoporosis)
punggung.
 Klien mengatakan Fraktur tulang belakang
nyerinya sangat
hebat dan terus terjadi gencetan antar
menerus dengan kolumna vertebre
skala 9 sekaligus terlepasnya
 Klien mengatakan mediator kimia
tidak bisa menahan
nyeri yang ia rasakan Nyeri akut
DO:
 Hasil pemeriksaan
TTV:
TD meningkat
RR meningkat
Nadi meningkat
Suhu meningkat
 Klien mengalami sulit
tidur
 Dilatasi pupil
 Klien tampak
3 Jatuh dari ketinggian, Hambatan mobilitas fisik
berkeringat
kecelakaan lalu lintas, b.d
DS :
kecelakaan olahraga, dll kerusakanmusculoskeletal
 Klien mengatakan
↓ dan neuromuskuler
aktivitasnya dibantu
Frkatur servicalis
perawat dan keluarga

 Klien merasa sulit
Fraktur dapat berupa patah
untuk menggerakkan
tulang
angoota badannya
sederhana,kompresi,
 pasien mengatakan
kominutif, dislokasi
sulit melakukan

perubahan posisi
Gangguan neurologis dan
DO :
Gangguan musculoskeletal
 Klien terlihat lemah

 Kebutuhan klien di Kemampuan dalam
bantu oleh keluarga menggerakan anggota
dan perawat badan menurun (lemah)
 Klien hanya ↓
beraktifitas di tempat Hambatan mobilitas fisik
tidur dan itu pun
hanya berbaring
 Kekuatan otot lemah
4 DS : Jatuh dari ketinggian, Gangguan eliminasi urin
 Klien mengatakan kecelakaan lalu lintas, b.d Gangguan sensorik
sering ngompol kecelakaan olahraga, dll motorik
DO : ↓
 Baju, sprei dan Cedera cervikalis
selimut yang ↓
digunakan pasien Kompresi medulla spinalis
tampak basah ↓
 Pasien berbau pesing Gangguan sensorik
motorik

Kelumpuhan saraf
perkemihan

Inkontinensia urine

Gangguan pola eliminasi
urine
5 DS : Jatuh dari ketinggian, Resiko kerusakan
 Pasien mengatakan kecelakaan lalu lintas, integritas kulit b.d
badan terasa panas/ kecelakaan olahraga, dll imobilisasi fisik
gerah dan sumpek ↓
karena selalu Fraktur servicalis
berbaring di tempat ↓
tidur Fraktur dapat berupa patah
DO : tulang
 Pasien tirah baring sederhana,kompresi,
 Kulit pasien lembab kominutif, dislokasi

Gangguan neurologis dan
Gangguan musculoskeletal

Kemampuan dalam
menggerakan anggota
badan menurun (lemah)

Hambatan mobilitas fisik

Berbaring di tempat tidur
lama

Resiko kerusakanintegritas
kulit

INTERVENSI
Tujuan dan Kriteria
No Dx Keperawatan Intervensi
Hasil
1 Ketidakefektifan pola nafas b.d Tujuan : NIC:
kelemahan otot diafragma Setelah dilakukan Mechanical Ventilation
intervensi selama 1x24 Management:
jam pola nafas klien Noninvasive
efektif  Monitor kondisi
Kriteria Hasil: pasien yang
NOC: Mechanical mengindikasikan
Ventilation Response: untuk pemasangan
Adult ventilator mekanik
 RR klien dalam noninvasive (pada
rentang normal (16- pasien trauma
20x/menit) tulang belakang
 Ritme respirasi yang menyebabkan
klien teratur kelemahan otot
 Tidal volum sesuai pernafasan (otot
kebutuhan (500cc) diafragma))
Saturasi oksigen klien  Monitor
dalam rentang normal kontraindikasi
pemasangan
ventilator mekanik
noninvasive
 Observasi
kesadaran pasien
terlebih dahulu
sebelum
meutuskan
memasang alat
ventilator mekanik
 Secara rutin cek
kepatenan alat
ventilator mekanik
 Secara teratur
evaluasi efek
pemasangan
ventilator mekanik
(apakah ada
perbaikan
pernafasan jika iya
segera lakukan
penyapihan alat
ventilator mekanik)

2 Nyeri akut b.d agen cedera fisik Tujuan : NIC: Management


Setelah dilakukan nyeri
intervensi keperawatan  Kaji secara
selama 2x24 jam nyeri komprehensif
yang dirasakan klien tentang nyeri
berkurang meliputi lokasi,
Kriteria Hasil: karakteristik serta
NOC: Tingkat onset, durasi,
kenyamanan frekuensi, kualitas,
 Melaporkan intensitas /
kenyamanan fisik beratnya, nyeri dan
 NOC: Control nyeri faktor-faktor
 Mengenali serangan presipitasi
nyeri
 NOC:Tingkat nyeri  Observasi isyarat-
 Melaporkan nyeri isyarat non verbal
berkurang dan
 Frekuensi nyeri ketidaknyamanan,
berkurang khususnya dalam
 Panjangnya episode ketidakmampuan
nyeri berkurang untuk komunikasi
 Perubahan pada secara efektif.
jumlah pernafasan  Anjurkan
 Perubahan pada penggunaan teknik
denyut nadi non farmakologis

 Perubahan pada (relaksasi, guided

tekanan darah imagery, terapi


musik, distraksi,
aplikasi panas-
dingin, massase,
TENS, hipnotis,
terapi bermain,
terapi aktivitas,
akupresure)
 Berikan analgetik
sesuai anjuran
 Evaluasi
ketidakefektifan
dari tindakan
mengontrol nyeri
 Modifikasi
tindakan nyeri
berdasarkan
respon pasien
 Tingkatkan tidur /
istirahat yang
cukup
 Beritahu dokter jika
tindakan tidak
berhasil atau
terjadi keluhan
 Monitor perubahan
nyeri dan bantu
pasien
mengidentifikasi
faktor presipitasi
nyeri baik aktual
dan potensial
 Lakukan tekhnik
variasi untuk
mengontrol nyeri
(farmakologi, non
frmakologi dan
interpersonal)
 Libatkan keluarga
untuk mengurangi
nyeri
NIC: Analgetik
administration
 Tentukan lokasi,
karakteristik,
kualitas dan derajat
nyeri sebelum
pemberian obat
 Cek instruksi
dokter tentang
pemberian 
bat, dosisi dan
frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik
yang diperlukan
atau kombinasi dari
analgesik ketika
pemberian lebih
dari satu
 Tentukan pilihan
analgetik
tergantung tipe dan
beratnya nyeri
 tentukan analgetik
pilihan, rute
pemberian dan
dosis optimal
 Pilih rute
pemberian secra
IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
 Monitor vital sign
sebelum dan
sesudah
pemberian
analgesik pertama
kali
 Berikan analgesik
tepat waktu
terutama saat nyeri
hebat
 Evaluasi efektifitas
analgesik, tanda
dan gejala (efek
samping)

3 Hambatan mobilitas fisik b.d Tujuan : NIC : Exercise


kerusakan musculoskeletal dan Setelah dilakukan therapy : ambulation
neuromuskuler tindakan keperawatan
 Kaji kemampuan
3 x 24 jam mobilitas
aktivitas motorik
pasien meningkat
pasien
Kriteria hasil :
 Konsultasikan
NOC : Mobility
dengan terapi fiisk
 Kekuatan otot
tentang rencana
meningkat,
 Pasien mampu ambulasi sesuai
menggerakkan dengan
anggota badan kemampuan dan
dan melakukan kebutuhan pasien
perpindahan  Bantu klien
secara bertahap mengubah
posisinya setiap 2
jam sekali
 Ajarkan pasien
cara merubah
posisi dan berikan
bantuan dan
dampingi klien saat
melakukan
mobilisasi
 Latih pasien rom
aktif untuk
meningkatkan
kekuatan otot
 Monitoring ttv
sebelum dan
sesudah
melakukan latihan
dan lihat respon
klien saat latihan

4 Gangguan eliminasi urin b.d Tujuan : NIC : Urinary


Gangguan sensorik motorik Setelah dilakukan incontinence care
tindakan keperawatan  Monitor eliminasi
2 x 24 jam urin meliputi
polaeliminasi pasien frekuensi,
mengalami perbaikan konsistensi, bau,
Kriteria hasil : volume,
NOC : Urinary kejernihan, dan
elimination warna urin
 Inkontinensia urine  Bersihkan area
menurun genitalia secara
 Pola eliminasi regular
membaik  Anjurkan pasien
 Masukan cairan untuk minum
adekuat minimal 1500
cc/hari.
 Kolaborasi
pemberian diuretic
5 Resiko kerusakan integritas kulit Tujuan : NIC : Pressure
b.d imobilisasi fisik Setelah dilakukan management
tindakan keperawatan  Anjurkan dan
2 x 24 jam tidak terjadi bantu pasien
gangguan integritas menggunakan
kulit pakaian yang
Kriteria hasil : longgar
NOC : Tissue integrity :  Hindari kerutan
skin mucous pada tempat tidur
membranes  Jaga kulit agar
 Tidak ada luka/ lesi tetap bersih dan
 Perfusi jaringan kering
baik  Lakukan
 Integritas kulit yang perubahan posisi
baik dapat pasien setiap 2
dipertahankan jam sekali
(sensasi, elastisitas,  Monitor kulit
temperature, adanya
hidrasi, pigmentasi) kemerahan
 Oleskan lotion
atau baby oil pada
daerah yang
tertekan
 Monitor aktivitas
dan mobilisasi

PATOFISIOLOGI
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin. 2008. pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan sitem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Bastian, Yefta. D. Cedera Tulang Belakang.
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/95168862?
extension=pdf&ft=1399050654&lt=1399054264&user_id=101651355&uahk=BUni/yqU
aAFhJg9yLbxTA5ohti
Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 . Jakarta :
EGC.
Haryani dan Siswandi, 2004, Nursing Diagnosis: A Guide To Planning Care, available
on:www.Us.Elsevierhealth.com
Japardi, Iskandar dr.Cervical Injury. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas
Sumatera Utara http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1957/1/bedah-
iskandar%20japardi7.pdf
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUI

Anda mungkin juga menyukai