“TRAUMA SPINAL”
Oleh :
Yurike Olivia Sella
190070300111028
Kelompok 1A
1. ANATOMI FISIOLOGI
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton
dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan
sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf,
menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada
orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12
thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal.(Gbr.1)
2. DEFINISI
Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal, meliputi
spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan lunak,
dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma berupa jatuh
dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya. Trauma
spinalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu
atau lebih tulang vertebra) atau injuri saraf yang aktual maupun potensial (kerusakan
akar-akar saraf yang berada sepanjang medula spinalis sehingga mengakibatkan defisit
neurologi) (Brunner & Suddarth, 2001).
3. ETIOLOGI
Menurut Harsono (2000) trauma tulang belakang dapat disebabkan oleh :
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
c. Kecelakaan sebab olahraga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)
d. Luka jejas, tajam, tembak, pada daerah vertebra
e. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang (seperti spondiliosis servikal
dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera
progresif terhadap medulla spinalis; mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun
noninfeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebrata;
siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vaskuler)
f. Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih, stress lateral,
distraksi (stretching berlebih), penekanan.
Menurut Ducker dan Perrot dalam dr. Iskandar Japardi (2002), melaporkan :
a. 40% spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas
b. 20% disebabkan karena jatuh
c. 40% disebabkan karena luka tembak, olahraga, kecelakaan kerja
4. KLASIFIKASI
KLASIFIKASI BERDASARKAN ETIOLOGI
a. Whiplash Injury
Disebabkan akibat strain atau sprain pada segmen servikal. Disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas
b. Fraktur Kompresi (Wedge)
Disebabkan karena gaya vertical di depan garis tengah vertebra yang menekan tepi
anterior vertebra. Sering terjadi pada torakolumbal. Pada lansia dikarenakan akibat
jatuh terduduk sedangkan pada usia mudah akibat jatuh mendarat pada kaki
c. Burst Fracture
Disebabkan karena kompresi aksial dari bagian anterior vertebra. Bagian-bagian tepi
vertebra terdoromg keluar, materi diskus dapar terdorong ke korpus vertebra atau ke
kanal spinal sehingga sering disertai kerusakan neurologis karena pergeseran
korpus vertebra atau fragmennya ke belakang.
d. Fraktur Distraksi
Deselerasi cepat pada kecelakaan lalu lintas akan melempar korban ke depan
sehingga tubuh akan tertekan pada sabuk pengamanan yang mengakibatkan fraktur
korpus vertebra dan dapat terjadi displacement berat.
e. Fraktur Dislokasi
Kombinasi gaya fleksi, kompresi dan rotasi yang mengakibatkan fraktur korpus
vertebra, fraktur pledikel dan dislokasi sendi faset yang menyebabkan paraplegia
atau tetraplegia.
6. PATOFISIOLOGI
(Terlampir)
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan fisik seperti pasien trauma, evaluasi klinis awal dimulai dengan
survey - ABCDE. SCI (Spinal Cord Injury) harus dilakukan secara bersamaan. Masing-
masing pemeriksaannya adalah:
a. Fungsi paru
Respiration rate, sianosis, distress pernapasan, kesimetrisan dada, suara tambahan,
ekspansi dada, gerakan dinding perut, batuk, dan cedera paru. Analisis gas darah
arteri dan oksimetri.
b. Disfungsi respirasi pada akhirnya akan tergantung pada keadaan paru yang sudah
ada, tingkat SCI, cedera paru-paru. Hal-hal yang mungkin terganggu dalam
pengaturan SCI:
1) Hilangnya fungsi otot ventilasi akibat adanya cedera dada.
2) Cedera paru, seperti pneumothoraks, hemotoraks, atau contusio paru.
3) Penurunan pengaturan ventilasi berhubungan dengan cedera kepala atau efek
eksogen alkohol dan obat-obatan.
a) CVS – nadi dan volume, tekanan darah (hemoragik atau shock neurogenik).
b) Suhu – hipotermia – shock spinal.
c) Pemeriksaan neurologis
Menentukan tingkat cedera yang dialami, complete atau incomplete.
c. Tes motorik
Dilakukan bersamaan, tes tonus otot, kekuatan otor, refleks otot, koordinasi,
pemeriksaan refleks tendon dalam dan evaluasi perineal sangat penting. Ada atau
tidaknya prognosis sparingis sakral, indikator evaluasi sakral. Hal-hal yang dievaluasi
dapat didokumentasikan sebagai berikut:
1) Sensasi perineum terhadap sentuhan ringan dan cocokan peniti
2) Refleks bulbocavernous (S3 atau S4)
3) Kedipan mata (S5)
4) Retensi urine atau inkontinensia
5) Priapisme
Imaging
a. Sinar X Spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
b. CT-Scan
CT-scan untuk untuk menentukan tempat luka/jejas
c. X-Ray
3 standar untuk mendapatkan gambaran X-ray:
1) Antero-posterior
2) Gambaran lateral
3) Gambaran odontoid-membuka mulut
Gambaran oblique termasuk gambaran penekanan bahu
Direkomendasikan gambaran antero-posterior dan lateral dada serta lumbal
Radiografi leher harus menyertakan C7-T1
d. MRI
MRI baik untuk kecurigaan adanya lesi sumsum tulang belakang, ligamentum
atau kondisi lainnya. MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi hematoma tulang
belakang seperti ekstra dural, abses atau tumor, dan hemoragi tulang belakang,
memar, dan/atau edema.
e. Foto Rongent Thorak
Untuk mengetahui keadaan paru
f. AGD
Untuk menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
g. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya
tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla
spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
8. PENATALAKSANAAN MEDIS
Berdasarkan ATLS (Advance Trauma Life Support), manajemen umum pada
pasien dengan trauma spinal dan medulla spinalis meliptui immonilisasi, cairan
intravena, obat-obatan, dan rujukan dilkukan saat kondisi pasien sudah stabil.
a. Immobilisasi
Semua pasien dengan kecurigaan trauma spinal harus diimobilisasi sampai di
atas dan dibawah daerah yang dicurigai sampai adanya fraktur dapat disingkirkan
dengan pemeriksaan radiologi. Harus diingat bahwa proteksi spinal harus
dipertahankan sampai cedera cervical dapat disingkirkan. Imobilisasi yang baik
dicapai dengan meletakkan pasien dalam posisi netral-supine tanpa memutar atau
menekuk kolumna vetebralis. Jangan dilakukan usaha/tindakan untuk mengurangi
deformitas. Anak-anak mungkin mengalami tortikolis, sedangkan orang yang lebih
tua mungkin menderita penyakit degenerasi spinal berat yang mengakibatkan
mereka mengalami kifosis nontraumatik atau deformitas angulasi spinal. Pasien
seperti ini diimobilisasi pada backboard pada posisi yang tepat. Padding tambahan
juga diperlukan. Usaha untuk meluruskan spinal guna immobilisasi di atas backboard
tidak dianjurkan bila menimbulkan nyeri.
Immbolisasi leher dengan semirigid collar tidak menjamin stabilisasi komplit
tulang cervical. Imobilisasi dengan menggunakan spine board dengan bantal
ganjalan yang tepat lebih efektif dalam membatasi pergerakan leher. Cedera tulang
cervical memerlukan immobilisasi yang terus menerus dengan menggunakan
cervical collar, immoblisasi kepala, backboard, dan pengikt sebelum dan selama
pasien dirujuk ke tempat perawatan definitif. Ekstensi atau fleksi leher harus dihindari
karena geraka seperti ini berbahaya bagi medulla spinalis. Jalan nafas adalah hal
yang penting pada pasien dengan cedera medulla spinalis dan intubasi segera harus
dilakukan bila terjadi gangguan respirasi. Selama melakukan intubasi, leher harus
dipertahankan dalam posisi netral,
Perhatian khusus dalam mempertahankan imbolisasi yang adekuat diberikan
pada pasien yang gelisah, agitatif, atau memberontak. Hal ini dapat disebabkan oleh
nyeri, kesadaran menurun akibat hipoksia atau hipotensi, penggunaan alkohol atau
obat-obatan, atau gangguan kepribadian. Dokter harus mencari dan memperbaiki
penyebab bila mungkin. Jika diperlukan dapat diberikan sedatif atau obat paralitik,
dengan tetap diingat mengenai proteksi jalan nafas yang kuat, kontrol, dan ventilasi.
Pneggunaan sedasi atau obat paraitik dalam keadaan ini memerlukan ketepatan
dalam keputusan klinis, keahlian dan pengalaman.
Saat pasien tiba di ruang gawat daruratm harus diusahakan agar pasien bisa
dilepaskan dari spine board yang keras untuk mengurangi risiko terjadinya ulkus
dekubitus. Pelepasan alas keras sering dilakukan sebagai bagian dari secondary
survey saat dilakukan log roll untuk inspeksi dan palpasi tubuh bagian belakang.
Jangan sampai hal ini ditunda hanya untuk pemeriksaan radiologis, apalagi bila
pemeriksaan radiologis tidak bisa dilakukan dalam beberapa jam.
Gerakan yang aman atau log roll, pad apasien dengan tulang belakang yang
tidak stabil memerlukan perencana dan bantuan 4 orang atau lebih, tergantung
ukuran pasien. Kesegarisan anatomis netral dari seluruh tulang belakang harus
dijaga pada saat memutar atau mengangkat pasien. Satu orang ditugaskan untuk
menjaga kesegarisan leher dan kepala. Yang lain berada di sisi yang sama dari
pasien, secara manual mencegahh rotasi, fleksi, ekstensi, tekukan lateral, atau
tertekuknya thorax atau abdomen secara manual selama transfer pasien. Otang
keempat bertanggung jawab menggerakkan tungkai dan memindahkan spine board
dan memeriksa punggung pasien.
b. Cairan Intravena
Pada penderita dengan kecurigaan trauma spinal, cairan intravena diberikan
seperti pada resusitasi pasien trauma. Jika tidak ada atau tidak dicurigai adanya
perdarahan aktif, adanya hipotensi setelah pemberian cairan 2 liter atau lebih
menimbulkan kecurigaan adanya syok neurogenik. Pasien dengan syok hipovolemik
biasanya mengalami takikardia sementara pasien dengan syok neurogenik secara
klasik akan mengalami bardikardia. Jika tekanan darah tidak meningkat setelah
pemberian cairan, maka pemberian vasopressor secara hati-hati diindikasikan.
Fenielfrin HCL, dopaminm atau norepinefrin direkomendasikan. Pemberian cairan
yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru pada pasien dengan syok
neurogenik. Bila status cairan tidak jelas maka pemasangan monitor invasif bisa
menolong. Kateter urine dipasang untuk memonitor pengeluaran urine dan
mencegah distensi kandung kemih.
c. Medikasi
Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan
dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula
spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medulla
spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama,
cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis tidak komplet
cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawah lesi
masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%.
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk
cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of
Health di Amerika Serikat. Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama
cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan
sebagai standar terapi. Kajian oleh Braken dalam Cochrane Library menunjukkan
bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi farmakologik
yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan
sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan
pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training pada
pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk
mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan
memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome / CSS
biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik
sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. Terapi okupasional terutama
ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas atas,
mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/ activities of daily living
(ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat
bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien.
Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa suatu program
rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi,elektroterapi, psikoterapi, penatalaksanaan
gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai
status fungsional pada penderita cedera medula spinalis.
9. KOMPLIKASI
Menurut Mansjoer, Arif, et al. 2000, trauma tulang belakang bisa mengakibatkan
berbagai macam komplikasi, diantaranya :
a. Syok hipovolemik
Akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak
sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
b. Pendarahan Mikroskopik
Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi perdarahan-
perdarahan kecil. Yang disertaireaksi peradangan,sehingga menyebabkan
pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
didalam dan disekitar korda.Peningkatan tekanan menekan saraf dan menghambat
aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis meningkatkan luas cidera
korda.Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau
terjerat.
c. Hilangnya Sesasi, Kontrol Motorik, Dan Refleks
Pada cidera spinal yang parah, sensasi,kontrol motorik, dan refleks setingg
dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks disebut syok spinal.
Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda dapat meluas kedua segmen
diatas kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta
syok spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spinal biasanya
menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik dan motorik akan tetap
permanen apabila korda terputus akan terjadi pembengkakan dan hipoksia yang
parah.
d. Syok Spinal
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua
segme diatas dan dibawah tempat cidera. Repleks-refleks yang hilang adalah
refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan darah,
dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya secara akut
semua muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens dari otak, yang
bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks.Syok spinl biasanya berlangsung
antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat
tmbul hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot serta refleks, pengosongan
kandung kemih dan rektum.
e. Hiperrefleksia Otonom
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar
refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia otonom
dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu rangsangan sensorik
nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan suatu refleks yang melibatkan
pengaktifan sistem saraf simpatis.Dengan diaktifkannya sistem simpatis,maka
terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah
system. Pada orang yang korda spinalisnya utuh,tekanan darahnya akan segera
diketahui oleh baroreseptor.Sebagai respon terhadap pengaktifan
baroreseptor,pusat kardiovaskuler diotak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis
kejantung sehingga kecepatan denyut jantunhg melambat,demikian respon saraf
simpatis akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh darah.Respon parasimpatis
dan simpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan tekanan darah
kenormal.Pada individu yang mengalami lesi korda,pengaktifan parasimpatis akan
memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas tempat
cedera,namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi korda sehngga
vasokontriksi akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus
berlangsung.Pada hiperrefleksia otonom,tekanan darah dapat meningkat melebihi
200 mmHg sistolik,sehingga terjadi stroke atau infark miokardium.Rangsangan
biasanya menyebabkan hiperrefleksia otonom adalah distensi kandung kemih atau
rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor permukaan untuk nyeri.
f. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter. Pada
transeksi korda spinal, paralisis bersifat permanen. Paralisis ekstremitas atas dan
bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut
kuadriplegia. Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada transeksi korda dibawah
C6 dan disebut paraplegia. Apabila hanya separuh korda yang mengalami transeksi
maka dapat terjadi hemiparalisis.
g. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil
dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau
torakal atas
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kelamin (kebanyakan
laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa pengaman helm),
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit
(MRS), nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah nyeri,
kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan inkontinensia alvi,
nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan deformitas pada daerah
trauma.
c. Riwayat penyakit sekarang
Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak,
trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan kejatuhan benda keras.Pengkajian
yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu
disertai hilangnya sensibilitas secara total dan melemah/menghilangnya refleks alat
dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya refleks-refleks.
d. Riwayat kesehatan dahulu.
Merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui kondisi kesehatan klien sebelum
menderita penyakit sekarang , berupa riwayat trauma medula spinalis. Biasanya ada
trauma/ kecelakaan.
e. Riwayat kesehatan keluarga.
Untuk mengetahui ada penyebab herediter atau tidak
f. Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol
g. Riwayat penyakit dahulu.
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit degeneratif pada
tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoartritis.
h. Pengkajian psikososiospiritual.
i. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan
B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien.
1) Pernapasan
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis
(klien mengalami kelumpuhan otototot pernapasan) dan perubahan karena
adanya kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma pada tulang belakang
sehingga jaringan saraf di medula spinalis terputus. Dalam beberapa keadaan
trauma sumsum tulang belakang pada daerah servikal dan toraks diperoleh hasil
pemeriksaan fisik sebagai berikut.
Inspeksi : Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan, retraksi
interkostal, dan pengembangan paru tidak simetris. Respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak
mampu mcnggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf parasimpatis.
Palpasi : Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila trauma terjadi pada rongga toraks.
Perkusi : Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi
pada toraks/hematoraks.
Auskultasi : Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronchi
pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk menurun
sering didapatkan pada klien cedera tulang belakang yang mengalami penurunan
tingkat kesadaran (koma).
2) Kardiovaskular
Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang didapatkan
renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas sedang dan berat. Hasil
pemeriksaan kardiovaskular klien cedera tulang belakang pada beberapa
keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-debar, pusing
saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau pucat.
3) Persyarafan
Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pemeriksaan fungsi
serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi penampilan, tingkah
laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Klien yang telah
lama mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami perubahan status
mental.
Pemeriksaan Saraf Kranial:
- Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang belakang dan
tidak ada kelainan fungsi penciuman.
- Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
- Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata
dan pupil isokor.
- Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami paralisis pada
otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
- Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
- Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Ada
usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi, Indra pengecapan normal.
4) Pemeriksaan Refleks
- Pemeriksaan refleks dalam
Refleks Achilles menghilang dan refleks patela biasanya melemah karena
kelemahan pada otot hamstring.
- Pemeriksaan refleks patologis
Pada fase akut refleks fisiologis akan menghilang. Setelah beberapa hari
refleks fisiologis akan muncul kembali yang didahului dengan refleks
patologis.
- Refleks Bullbo Cavemosus positif
- Pemeriksaan sensorik.
Apabila klien mengalami trauma pada kaudaekuina, mengalami hilangnya
sensibilitas secara me-netap pada kedua bokong, perineum, dan anus.
Pemeriksaan sensorik superfisial dapat memberikan petunjuk mengenai
lokasi cedera akibat trauma di daerah tulang belakang
5) Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk
berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
6) Pencernaan
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan adanya ileus
paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta kembung dan
defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok spinal yang akan
berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi
berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.
7) Muskuloskletal
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada ketinggian
terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental
dari saraf yang terkena
2. PENGKAJIAN A – I
PENGKAJIAN PRIMER
DATA SUBYEKTIF
a. Riwayat Penyakit Sekarang
- Mekanisme Cedera
- Kemampuan Neurologi
- Status Neurologi
- Kestabilan Bergerak
b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
- Keadaan Jantung dan pernapasan
- Penyakit Kronis
DATA OBYEKTIF
a. Airway
Adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal sehingga
mengganggu jalan napas
b. Breathing
Pernapasan dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada
c. Circulation
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi, Kulit teraba hangat
dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu
tubuh bergantung pada suhu lingkungan)
d. Disability
Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan
sensasi, kelemahan otot
PENGKAJIAN SEKUNDER
a. Exposure
Adanya deformitas tulang belakang
b. Five Intervensi
- Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
- CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas
- MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
- Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru
- Sinar X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
iiiii(Fraktur/Dislokasi)
c. Give Comfort
- Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
d. Head to Toe
- Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
- Dada : Pernapasan dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan
dinding dada,bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat
cedera
- Pelvis dan Perineum : Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses,
terjadinyagangguan pada ereksi penis (priapism)
- Ekstrimitas : Terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis /
quadriplegia
e. Inspeksi Back / Posterior Surface
- Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang
3. ANALISA DATA
No Data Etiologi Dx Keperawatan
1 DS: Etiologi (jatuh dari Ketidakefektifan pola
Klien mengatakan ketinggian, kecelakaan, nafas b.d kelemahan otot
sulit bernafas jatuh saat olahraga, diafragma
Klien mengatakan osteoporosis)
otot dadanya lemas
DO: Fraktur tulang belakang
Tampak pernafasan
dangkal dan cepat Blok saraf parasimpatis
Tampak pernafasan
cuping hidung Kelumpuhan otot
dispnue, takipnue
RR meningkat Otot diafragma lemah
Hasil laboratorium
Ketidakefektifan pola nafas
saturasi oksigen
menurun (kurang dari
normal)
2 Etiologi (jatuh dari Nyeri akut b.d agen
DS: ketinggian, kecelakaan, cedera fisik
Klien mengeluh nyeri jatuh saat olahraga,
di bagian leher dan osteoporosis)
punggung.
Klien mengatakan Fraktur tulang belakang
nyerinya sangat
hebat dan terus terjadi gencetan antar
menerus dengan kolumna vertebre
skala 9 sekaligus terlepasnya
Klien mengatakan mediator kimia
tidak bisa menahan
nyeri yang ia rasakan Nyeri akut
DO:
Hasil pemeriksaan
TTV:
TD meningkat
RR meningkat
Nadi meningkat
Suhu meningkat
Klien mengalami sulit
tidur
Dilatasi pupil
Klien tampak
3 Jatuh dari ketinggian, Hambatan mobilitas fisik
berkeringat
kecelakaan lalu lintas, b.d
DS :
kecelakaan olahraga, dll kerusakanmusculoskeletal
Klien mengatakan
↓ dan neuromuskuler
aktivitasnya dibantu
Frkatur servicalis
perawat dan keluarga
↓
Klien merasa sulit
Fraktur dapat berupa patah
untuk menggerakkan
tulang
angoota badannya
sederhana,kompresi,
pasien mengatakan
kominutif, dislokasi
sulit melakukan
↓
perubahan posisi
Gangguan neurologis dan
DO :
Gangguan musculoskeletal
Klien terlihat lemah
↓
Kebutuhan klien di Kemampuan dalam
bantu oleh keluarga menggerakan anggota
dan perawat badan menurun (lemah)
Klien hanya ↓
beraktifitas di tempat Hambatan mobilitas fisik
tidur dan itu pun
hanya berbaring
Kekuatan otot lemah
4 DS : Jatuh dari ketinggian, Gangguan eliminasi urin
Klien mengatakan kecelakaan lalu lintas, b.d Gangguan sensorik
sering ngompol kecelakaan olahraga, dll motorik
DO : ↓
Baju, sprei dan Cedera cervikalis
selimut yang ↓
digunakan pasien Kompresi medulla spinalis
tampak basah ↓
Pasien berbau pesing Gangguan sensorik
motorik
↓
Kelumpuhan saraf
perkemihan
↓
Inkontinensia urine
↓
Gangguan pola eliminasi
urine
5 DS : Jatuh dari ketinggian, Resiko kerusakan
Pasien mengatakan kecelakaan lalu lintas, integritas kulit b.d
badan terasa panas/ kecelakaan olahraga, dll imobilisasi fisik
gerah dan sumpek ↓
karena selalu Fraktur servicalis
berbaring di tempat ↓
tidur Fraktur dapat berupa patah
DO : tulang
Pasien tirah baring sederhana,kompresi,
Kulit pasien lembab kominutif, dislokasi
↓
Gangguan neurologis dan
Gangguan musculoskeletal
↓
Kemampuan dalam
menggerakan anggota
badan menurun (lemah)
↓
Hambatan mobilitas fisik
↓
Berbaring di tempat tidur
lama
↓
Resiko kerusakanintegritas
kulit
INTERVENSI
Tujuan dan Kriteria
No Dx Keperawatan Intervensi
Hasil
1 Ketidakefektifan pola nafas b.d Tujuan : NIC:
kelemahan otot diafragma Setelah dilakukan Mechanical Ventilation
intervensi selama 1x24 Management:
jam pola nafas klien Noninvasive
efektif Monitor kondisi
Kriteria Hasil: pasien yang
NOC: Mechanical mengindikasikan
Ventilation Response: untuk pemasangan
Adult ventilator mekanik
RR klien dalam noninvasive (pada
rentang normal (16- pasien trauma
20x/menit) tulang belakang
Ritme respirasi yang menyebabkan
klien teratur kelemahan otot
Tidal volum sesuai pernafasan (otot
kebutuhan (500cc) diafragma))
Saturasi oksigen klien Monitor
dalam rentang normal kontraindikasi
pemasangan
ventilator mekanik
noninvasive
Observasi
kesadaran pasien
terlebih dahulu
sebelum
meutuskan
memasang alat
ventilator mekanik
Secara rutin cek
kepatenan alat
ventilator mekanik
Secara teratur
evaluasi efek
pemasangan
ventilator mekanik
(apakah ada
perbaikan
pernafasan jika iya
segera lakukan
penyapihan alat
ventilator mekanik)
PATOFISIOLOGI
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin. 2008. pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan sitem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Bastian, Yefta. D. Cedera Tulang Belakang.
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/95168862?
extension=pdf&ft=1399050654<=1399054264&user_id=101651355&uahk=BUni/yqU
aAFhJg9yLbxTA5ohti
Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 . Jakarta :
EGC.
Haryani dan Siswandi, 2004, Nursing Diagnosis: A Guide To Planning Care, available
on:www.Us.Elsevierhealth.com
Japardi, Iskandar dr.Cervical Injury. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas
Sumatera Utara http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1957/1/bedah-
iskandar%20japardi7.pdf
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUI