Anda di halaman 1dari 101

RESPONSI

Acute Coronary Syndrome (ACS) dan Heart Failure (HF)

Oleh :
Rina Aulia Wahda 1900702000110
Fitria 1900702000110
IMN Wiranta Prasetyaji 190070200011025

PERIODE
27 Desember 2021 – 2 Januari 2022

Pembimbing:
dr. Yoga Waranugraha, Sp.JP

LABORATORIUM/SMF JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2021

i
Daftar Isi
Judul ..................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan ...........................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................3
2.1 Sindrom Koroner Akut ....................................................................................3
2.1.1 Definisi .................................................................................................3
2.1.2 Faktor Risiko.........................................................................................3
2.1.3 Patofisiologi...........................................................................................4
2.1.4 Klasifikasi..............................................................................................9
2.1.5 Diagnosis............................................................................................12
2.1.5.1 anamnesis ..............................................................................13
2.1.5.2 pemeriksaan fisik ...................................................................18
2.1.5.1 pemeriksaan penunjang ........................................................20
2.1.6 Tatalaksana ........................................................................................32
2.1.7 Pencegahan........................................................................................47
2.1.8 Komplikasi ..........................................................................................48
2.1.9 Stratifikasi Risiko.................................................................................52
2.2 Gagal Jantung...............................................................................................58
2.2.1 Definisi................................................................................................58
2.2.2 Etiologi dan Faktor Resiko..................................................................58
2.2.3 Patofisiologi.........................................................................................60
2.2.4 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis.........................................................61
2.1.3 Diagnosis............................................................................................64
2.1.3 Tatalaksana........................................................................................67
BAB 3 LAPORAN KASUS.......................................................................................
3.1 Identitas Pasien................................................................................................
3.2 Anamnesis........................................................................................................
3.3 Pemeriksaan Fisik.............................................................................................
3.4 Pemeriksaan Penunjang...................................................................................
3.4.1 Elektrokardiografi......................................................................................
3.4.2 Pemeriksaan Laboratorium.......................................................................
3.4.2 Foto Thorax...............................................................................................

ii
3.5 Problem Oriented Medical Record....................................................................
BAB 4 PEMBAHASAN............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom Koroner Akut merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di negara
maju masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah
sakit dan angka kematian yang tinggi (Perki, 2015). Sindroma koroner akut adalah serangan
jantung, berupa kumpulan gejala yang berhubungan dengan cedera otot jantung akibat
penyumbatan pembuluh darah yang mengalir di jantung (P2PTM, 2018). Berdasarkan
pengkajian, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan
biomarka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi tiga jenis yaitu infark miokard akut
dengan elevasi segmen ST, Infark miokard akut non-elevasi segmen ST, dan Angina
pektoris tidak stabil. Suatu kumpulan gejala klinis yang dapat ditemui pada sindrom koroner
akut berupa nyeri dada, perubahan segmen ST pada elektrokardiogram (EKG), dan
perubahan biomarker jantung. Kondisi sindroma koroner akut umumnya dikaitkan dengan
pecahnya plak aterosklerotik dan trombosis parsial ataupun lengkap dari arteri yang
berhubungan dengan infark (Akbar, Foth, Kahloon, & Mountfort, 2020).

Menurut World Health Organisation (WHO) sejak tahun 2017 penyakit jantung dan
pembuluh adalah penyakit dengan angka kematian tertinggi di dunia, terhitung setiap tahun
kurang lebih terjadi 17,9 juta kasus meninggal dikarenakan penyakit jantung dan pembuluh
diseluruh dunia. Hal tersebut mempersentasikan sebanyak 31% kematian diseluruh dunia
yang di pengaruhi oleh kebiasaan merokok, diet yang tidak sehat, tidak rutinnya aktifitas
fisik, penyakit darah tinggi dan kencing manis yang tidak terdeteksi. Di Indonesia sendiri,
menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka kejadian penyakit jantung
dan pembuluh darah sekitar 2.784.064 individu atau setidaknya 15 dari 1000 orang di
seluruh Indonesia. Hal ini, terjadi dikarenakan masih dipengaruhi oleh tingkat pendidikan,
faktor ekonomi, dan kesulitan akses dalam menggapai fasilitas kesehatan di Indonesia.
Menurut Pencegehan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) tahun 2019,
terdapat 5 masalah utama penyakit jantung yang ada yaitu : Penyakit Jantung Koroner
(PJK), penyakit jantung bawaan, gagal jantung, gangguan irama jantung dan peyakit katup
jantung.

1
Gagal Jantung adalah kumpulan gejala klinis kompleks dimana terganggunya
kemampuan jantung dalam memompa darah dengan jumlah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan perifer dan beberapa organ lainnya. Siklus ini dipicu oleh
meningkatnya regulasi neurohumoral yang awalnya berfungsi sebagai mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan sistem Frank–Starling, tetapi justru menyebabkan
penumpukan cairan yang berlebih dengan gangguan fungsi jantung (Mazurek et al, 2015).
Gagal jantung merupakan penyakit kardiovaskular yang mempunyai morbiditas dan
mortalitas yang tinggi di seluruh dunia.
Menurut data World Health Organization (WHO), penyakit kardiovaskular merupakan
penyebab kematian pertama di dunia. Diperkirakan sekitar 17,7 juta orang meninggal dunia
akibat penyakit kardiovaskular pada tahun 2012, mewakili 31% kematian di seluruh dunia
dan diperkirakan akan meningkat hingga 23,6 juta kematian pada tahun 2030. Berdasarkan
data WHO (2015), kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah ini sekitar 82%
berasal darinegara yang pendapatannya rendah dan menengah. Faktor presipitasi yang
sering memicu terjadinya gangguan fungsi jantung adalah emosi yang berlebihan, infark
miokard, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, hipertensi, miokarditis dan
endokarditis infektif (Yancy et al, 2013).

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Mampu mengetahui gangguan Sindroma Koroner Akut terutama STEMI dan
Gagal Jantung secara paripurna dari definisi, faktor risiko, patofisiologi, klasifikasi,
diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan stratifikasi risiko.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Penulis mampu menjelaskan definisi Sindroma Koroner Akut dan STEMI
2. Penulis mampu menjelaskan faktor risiko Sindrom Koroner Akut
3. Penulis mampu menjelaskan patofisiologi Sindrom Koroner Akut
4. Penulis mampu menjelaskan klasifikasi Sindroma Koroner Akut
5. Penulis mampu menjelaskan diagnosis Sindrom Koroner Akut dan STEMI
6. Penulis mampu menjelaskan tatalaksana Sindrom Koroner Akut
7. Penulis mampu menyebutkan definisi penyakit gagal jantung
8. Penulis mampu menyebutkan etiologi gagal jantung
9. Penulis mampu menjelaskan patofisiologi penyakit gagal jantung

2
10. Penulis mampu menjelaskan klasifikasi dari penyakit gagal jantung
11. Penulis mampu menyebutkan manifestasi klinik penyakit gagal
12. Penulis mampu menyebutkan penegakkan diagnosis penyakit gagal jantung
13. Penulis mampu menyebutkan penatalaksanaan penyakit gagal jantung

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sindrom Koroner Akut
2.1.1 Definisi
Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan suatu kumpulan gejala klinis iskemia
miokard yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri dada,
perubahan segmen ST pada elektrokardiogram (EKG), dan perubahan biomarker jantung (Tiara
Pramadiaz et al., 2016).
Sindroma Koroner Akut (SKA) dapat berupa Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS) dan
Infark Miokard Akut (IMA) yang terbagi menjadi infark miokard dengan elevasi segmen ST
(IMAEST) dan infark miokard non-elevasi segmen ST (IMANEST) (Singh et al, 2020).
2.1.2 Faktor Risiko
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien
dengan karakteristik sebagai berikut (PERKI, 2018) :
a. Tidak dapat dikontrol
 Jenis kelamin (Pria)
 Usia (lansia)
 Riwayat Keluarga
b. Dapat dikontrol
 Hipertensi
 Merokok
 Dislipidemia
 Diabetes mellitus
 Obesitas
 Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (peripheral vascular disease /
karotis)
(Mechanic, Gavin, & Grossman, 2021).

4
Gambar 2.1 Faktor Risiko Aterosklerosis (Badiomon and Vilahur, 2012).

2.1.2 Patofisiologi
Aterogenesis dapat dibagi menjadi lima langkah kunci, yaitu 1) disfungsi endotel, 2)
pembentukan lapisan lipid atau lapisan lemak di dalam intima, 3) migrasi leukosit dan sel otot
polos ke dalam dinding pembuluh darah, 4) pembentukan foam cell dan 5 ) degradasi matriks
ekstraseluler. Melalui langkah-langkah berturut-turut ini, plak aterosklerotik terbentuk (Ronak,
2013). Pembentukan plak juga dapat dibagi menjadi tiga tahap utama yaitu 1) lapisan lemak
yang mewakili inisiasi, 2) perkembangan plak yang mewakili adaptasi dan, 3) gangguan plak
yang merupakan komplikasi klinis dari aterosklerosis (Ronak, 2013).

5
Aterosklerosis adalah proses penyakit yang kadang-kadang dipicu oleh serangan fisik
atau kimiawi secara halus ke lapisan sel endotel arteri. "Response to Injury Theory"
menjelaskan bahwa peristiwa paling awal dalam terjadinya atherogenesis adalah kerusakan
pada endotel, yang dapat dipicu oleh sejumlah faktor, baik tunggal atau dalam kombinasi.
Faktor tersebut antara lain adalah (Wayne, 2016):
 Cedera fisik atau stres sebagai akibat dari trauma langsung atau hipertensi
 Turbulensi aliran darah yang bergejolak, misalnya, di mana cabang arteri
 Sirkulasi spesies oksigen reaktif (radikal bebas), misalnya, dari merokok atau polutan
udara.
 Hiperlipidemia (konsentrasi darah tinggi dari LDL atau VLDL)
 Kadar glukosa darah yang meningkat secara kronis
 Homosisteinemia, yang diakibatkan oleh cacat metabolik bawaan yang menyebabkan
kadar homosistein yang sangat tinggi, suatu metabolit metionin; konsentrasi tinggi beracun
bagi endotelium.
Dalam kondisi normal, leukosit dalam darah tidak melekat pada sel endotel yang
melapisi semua pembuluh darah. Namun, cedera pada sel endotel memicu respons inflamasi.
Sel-sel endotel mulai menghasilkan molekul adhesi permukaan sel seperti VCAM-1 yang
menyebabkan monosit dan limfosit-T menempel pada endotel dan kemudian bermigrasi di
bawahnya dengan menekan di antara sel-sel endotel. Monosit yang bersirkulasi dan limfosit-T
tertarik ke lokasi cedera oleh sitokin kemoatraktan (kemokin) (Wayne, 2016).
Sel-sel endotel juga berubah bentuk, dan persimpangan yang erat antara sel-sel
endotel mengendur, meningkatkan permeabilitas terhadap cairan, lipid, dan leukosit. Partikel
lipoprotein, dan terutama lipoprotein densitas rendah (LDL), memasuki dinding arteri dan
mengalami oksidasi. Oksidasi LDL di dinding arteri terjadi akibat paparannya terhadap oksida
nitrat, makrofag, dan beberapa enzim seperti lipoksigenase. Begitu mereka bermigrasi ke
intima, monosit berdiferensiasi menjadi makrofag dan mulai mengambil LDL teroksidasi yang
telah masuk ke dalam intima. Makrofag mempertahankan lipid yang mereka ambil, dan karena
menjadi lebih sarat lipid, mereka disebut sebagai "foam cell". Akhirnya, foam cell akan
mengalami apoptosis dan mati, tetapi lipid akan menumpuk di intima, dan membentuk fatty
streak (Wayne, 2016).
Fatty Streak adalah tanda pertama aterosklerosis yang terlihat tanpa pembesaran.
Mereka terdiri dari sel busa yang mengandung lipid di dinding arteri tepat di bawah endotelium.
Lesi ini terjadi di aorta dan arteri koroner pada kebanyakan orang pada usia 20 tahun. Seiring

6
waktu, mereka dapat berkembang menjadi plak aterosklerotik atau dapat tetap stabil atau
bahkan menurun (Wayne, 2016).
Cedera pada endotel memicu adhesi monosit, melonggarnya sambungan sel endotel,
dan migrasi monosit di bawah endolthelium tempat berdiferensiasi menjadi makrofag.
Endotelium yang lebih permeabel juga memungkinkan LDL memasuki intima arteri, dan
makrofag mulai menelan LDL melalui fagositosis. Setelah makrofag menjadi sarat dengan lipid
dari menelan LDL, mereka disebut sebagai "foam cell", dan kumpulan ini menciptakan fatty
streak (Wayne, 2016).
Peran limfosit-T mensekresi sitokin yang pada akhirnya menyebabkan sel otot polos
bermigrasi dari media ke intima. Sel otot polos ini juga mulai berkembang biak di bawah
pengaruh growth factor. Seiring waktu terjadi akumulasi progresif dari sel-sel lemak dan otot
polos di intima, dan akhirnya lesi yang tumbuh mulai menaikkan endotelium dan mengganggu
lumen arteri (Wayne, 2016).
Ada dua kemungkinan bentuk evolusi plak aterosklerotik. Plak yang tumbuh lambat
berkembang secara bertahap sehingga akumulasi lipid dalam foam cell relatif lebih sedikit, dan
migrasi serta proliferasi sel otot polos membentuk fibrous cap yang lebih tebal. Plak ini
cenderung stabil dan tidak mudah pecah. Sebaliknya, plak lain tumbuh lebih cepat akibat
deposisi lipid yang lebih cepat. Ini memiliki tutup fibrin tipis yang rentan pecah. Begitu plak
pecah, itu dapat memicu trombosis akut (gumpalan) dengan mengaktifkan trombosit dan
kaskade pembekuan (Wayne, 2016).

7
8
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrous (fibrous cap) yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti
oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya
trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik
secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner
yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi
sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20
menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Infark miokard tidak
selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai
vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot
jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas
miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel) (PERKI 2018).

Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP).

9
Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat
menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis
(PERKI 2018).

2.1.4 Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG),
dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi (PERKI 2018) :

10
1) Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial
infarction)
2) Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation
myocardial infarction)
3) Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian
oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi
untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen

11
ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak
memerlukan menunggu hasil peningkatan biomarka jantung (PERKI 2018).
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan
(Gambar 1). Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan
kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang
lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka
jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST
Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak
stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai
ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal
atas (upper limits of normal, ULN) (PERKI 2018).

Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan
kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang
10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik

12
sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG
diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang (Gambar 1.2) (PERKI 2018).

2.1.5 Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan
keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil,
Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA. (PERKI 2018).
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri dada yang
berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin.
Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan

13
memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan
STEMI. Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi
EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung
penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan tanda dan
gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya tindakan segera.
Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10 menit. (PERKI 2018).
Anamnesis
Jika pasien tidak memerlukan intervensi segera karena kolaps sirkulasi atau
insufisiensi pernapasan, penilaian dokter harus dimulai dengan riwayat klinis yang menangkap
karakteristik nyeri pasien, termasuk kualitas, lokasi, dan radiasi; waktu dan tempo (tiba-tiba atau
bertahap) onset; durasi gejala; aktivitas yang memprovokasi atau meredakan; dan gejala yang
terkait, terutama yang bersifat pulmonal atau gastrointestinal (Braunwald’s, 2019).
Pasien biasanya menggambarkan ketidaknyamanan ACS sebagai (Braunwald’s, 2019):
1. tekanan dada substernal difus yang dimulai secara bertahap, menjalar ke rahang atau
lengan,
2. memburuk dengan pengerahan tenaga, dan
3. berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin.
Karena angina cenderung dimanifestasikan dengan cara yang sama pada pasien
tertentu (setidaknya jika disebabkan oleh iskemia di wilayah yang sama), ada baiknya untuk
membandingkan episode saat ini dengan episode angina yang pernah didokumentasikan
sebelumnya. Respon terhadap nitrogliserin mungkin tidak dapat membedakan nyeri dada
jantung dari nyeri dada yang tidak berhubungan dengan jantung. Berbeda dengan tempo
ketidaknyamanan dada pada ACS, pada pasien dengan PE, diseksi aorta, dan pneumotoraks
biasanya timbul secara tiba-tiba dan parah. Selain itu, nyeri yang bersifat pleuritik atau posisi
menunjukkan PE, perikarditis, pneumonia, atau kondisi muskuloskeletal. Sebuah tinjauan
literatur menghasilkan delapan faktor dari riwayat nyeri dada dengan rasio kemungkinan untuk
ACS secara signifikan lebih besar dari 1 dan enam faktor dengan rasio kemungkinan secara
signifikan lebih rendah dari 1 (Tabel 56.2) (Braunwald’s, 2019).

14
Pasien dikatakan mengalamai ACS mengalami gejala berikut (ESC, 2015):
 Nyeri anginal yang berkepanjangan (0,20 menit) saat istirahat;
 Onset baru (de novo) angina (kelas II atau III dari klasifikasi Canadian Cardiovascular
Society);
 Destabilisasi terbaru dari angina stabil sebelumnya dengan setidaknya karakteristik
angina CCS Kelas III (crescendo angina); atau
 Angina pasca-MI.
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Angina berdasarkan The Canadian Cardiovascular Society (PERKI,
2018)

Kelas Keterangan
Kelas I Aktivitas biasa tidak menyebabkan angina, seperti berjalan atau
naik tangga. Angina muncul dengan mengejan atau aktivitas
cepat dan lama saat bekerja atau olahraga.
Kelas II Sedikit pembatasan pada aktivitas biasa. Angina saat berjalan
cepat atau naik tangga, berjalan atau naik tangga setelah makan

15
atau pada cuaca dingin, angina pada stress emosional, atau
hanya beberapa jam setelah bangun tidur. Berjalan lebih dari dua
blok atau menanjak lebih dari satu tangga pada kecepatan dan
kondisi normal.
Kelas III Pembatasan yang jelas pada aktivitas fisik biasa. Angina muncul
saat berjalan satu atau dua blok, naik satu lantai pada kondisi dan
kecepatan normal.
Kelas IV Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik tanpa rasa tidak
nyaman, angina dapat timbul saat istirahat.

Angina berkepanjangan dan de novo / crescendo diamati masing-masing pada 80%


dan 20% pasien. Nyeri dada tipikal ditandai dengan sensasi tekanan atau berat retrosternal
('angina') yang menjalar ke lengan kiri (lebih jarang ke kedua lengan atau ke lengan kanan),
leher atau rahang, yang mungkin intermiten (biasanya berlangsung beberapa menit) atau
persisten. Gejala tambahan seperti berkeringat, nausea, sakit perut, dispnea dan sinkop
mungkin ada. Presentasi atipikal termasuk nyeri epigastrik, gejala seperti gangguan
pencernaan, dan dispnea terisolasi. Keluhan atipikal lebih sering diamati pada orang tua, pada
wanita dan pada pasien dengan diabetes, penyakit ginjal kronis atau demensia. Eksaserbasi
gejala oleh aktivitas fisik dan kelegaannya saat istirahat meningkatkan kemungkinan iskemia
miokard. Meredakan gejala setelah pemberian nitrat tidak spesifik untuk nyeri anginal seperti
yang dilaporkan juga pada penyebab lain nyeri dada akut. Pada pasien yang datang dengan
dugaan MI ke unit gawat darurat, secara keseluruhan, kinerja diagnostik nyeri dada karakteristik
MI terbatas. Usia tua, jenis kelamin laki-laki, riwayat keluarga CAD, diabetes, hiperlipidemia,
hipertensi, insufisiensi ginjal, manifestasi CAD sebelumnya serta penyakit arteri perifer atau
karotis meningkatkan kemungkinan NSTE-ACS. Kondisi yang dapat memperburuk atau memicu
NSTE-ACS termasuk anemia, infeksi, peradangan, demam, dan gangguan metabolik atau
endokrin (khususnya tiroid) (ESC, 2015).
Selain karakteristik episode akut, adanya faktor risiko aterosklerosis (misalnya, usia
lanjut, jenis kelamin laki-laki, diabetes) meningkatkan kemungkinan nyeri dada akibat iskemia
miokard. Riwayat MI tidak hanya dikaitkan dengan risiko tinggi untuk PJK obstruktif, tetapi juga
dengan kemungkinan peningkatan penyakit multivessel. Pasien yang lebih muda memiliki risiko
lebih rendah untuk ACS tetapi harus diskrining dengan lebih hati-hati untuk riwayat penggunaan
kokain baru-baru ini. Meskipun riwayat menyeluruh sangat penting, penilaian dokter saja tidak

16
cukup untuk menyingkirkan atau menyingkirkan ACS. Menggabungkan penilaian dokter dengan
pemeriksaan fisik dan, yang lebih penting, EKG dan penanda biologis sangat meningkatkan
penilaian diagnostik (Braunwald’s, 2019).

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal)
atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium.
Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop (PERKI 2018).
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran
angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering
dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita
diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat
muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan

17
dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK).
Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA
(PERKI 2018).
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien
dengan karakteristik sebagai berikut (PERKI 2018) :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas
koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat
PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah
menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)
Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri,
leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten atau persisten (>20
menit); sering disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop
(PERKI 2018).

Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada
nonkardiak) (PERKI 2018):
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel kiri atau
pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
18
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan SKA, maka
terminologi angina dalam dokumen ini lebih mengarah pada keluhan nyeri dada tipikal. Selain
untuk tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk menapis indikasi
kontra terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam dan
berat yang menjalar ke punggung disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau
riwayat penyakit serebrovaskular (PERKI 2018).

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik seringkali biasa-biasa saja pada pasien dengan dugaan ACS.
Tanda-tanda gagal jantung atau hemodinamik atau ketidakstabilan listrik mengharuskan
diagnosis dan pengobatan cepat. Auskultasi kardiak dapat menunjukkan murmur sistolik akibat
regurgitasi mikro iskemik, yang berhubungan dengan prognosis buruk, atau stenosis aorta
(menyerupai ACS). Jarang, murmur sistolik dapat mengindikasikan komplikasi mekanis (yaitu
pecahnya otot papiler atau defek septum ventrikel) dari infark miokard subakut dan mungkin
tidak terdeteksi. Pemeriksaan fisik dapat mengidentifikasi tanda-tanda penyebab nyeri dada
non-koroner (misalnya emboli paru, sindrom aorta akut, mioperiartitis, stenosis aorta) atau
patologi ekstrakardiak (misalnya pneumotoraks, pneumonia, atau penyakit muskuloskeletal).
Dalam setting ini, adanya nyeri dada yang dapat direproduksi dengan memberikan tekanan
pada dinding dada memiliki nilai prediksi negatif yang relatif tinggi untuk ACS. Menurut
presentasi, gangguan perut (misalnya kejang esofagus, esofagitis, tukak lambung, kolesistitis,
pankreatitis) juga dapat dipertimbangkan dalam diagnosis banding. Perbedaan tekanan darah
antara tungkai atas dan bawah atau antara lengan, denyut nadi tidak teratur, distensi vena
jugularis, murmur jantung, gesekan gesekan dan nyeri yang direproduksi dengan palpasi dada
atau abdomen merupakan temuan yang menunjukkan diagnosis alternatif. Pucat, berkeringat,
atau tremor dapat mengarah ke kondisi pencetus seperti anemia dan tirotoksikosis (ESC,
2015).

19
Pada pemeriksaan awal pasien dengan nyeri dada akut perlu dilakukan identifikasi
penyebab potensial dari iskemia miokard (misalnya, hipertensi yang tidak terkontrol), kondisi
komorbid yang penting (misalnya, PPOK), dan bukti komplikasi hemodinamik (misalnya, gagal
jantung kongestif, regurgitasi mitral baru, hipotensi). Selain tanda-tanda vital, pemeriksaan
pembuluh darah perifer harus mencakup penilaian adanya bising atau denyut nadi yang tidak
ada, yang menunjukkan adanya penyakit vaskular ekstrakardiak. Untuk pasien yang temuan
klinisnya tidak menunjukkan iskemia miokard, pencarian penyebab nyeri dada non koroner
harus difokuskan terlebih dahulu pada masalah yang berpotensi mengancam nyawa (misalnya,
diseksi aorta, PE) dan kemudian beralih ke kemungkinan diagnosis jantung lainnya (misalnya,
perikarditis) dan diagnosis nonkardiak (misalnya ketidaknyamanan esofagus). Diseksi aorta
dapat menyebabkan tekanan darah atau disparitas denyut nadi atau murmur regurgitasi aorta
baru yang disertai dengan nyeri dada anterior garis tengah atau punggung. Gesekan gesekan
bisa menyertai perikarditis. Perbedaan suara napas dengan adanya dispnea akut dan nyeri
dada pleuritik menunjukkan adanya pneumotoraks. Takikardia, takipnea, dan komponen
pulmonal dari bunyi jantung kedua (P2) mungkin merupakan manifestasi utama PE pada
pemeriksaan fisik (Braunwald’s, 2019).
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi
iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut,

20
suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,
hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap
SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi
katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak
seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA (PERKI 2018).

Pemeriksaan Elektrokardiogram
EKG, sumber data yang menentukan, harus diperoleh dalam waktu 10 menit setelah
kedatangan untuk individu dengan ketidaknyamanan dada yang sedang berlangsung dan
secepat mungkin pada mereka yang memiliki riwayat ketidaknyamanan dada sesuai dengan
ACS, tetapi ketidaknyamanan tersebut telah teratasi pada saat evaluasi, untuk mengidentifikasi
pasien yang mungkin mendapat manfaat dari terapi reperfusi segera (mekanis atau
farmakologis). Mendapatkan EKG pra-rumah sakit mengurangi waktu dari pintu ke diagnosis
dan, untuk elevasi segmen ST MI (STEMI), waktu dari pintu ke balon. EKG pra-rumah sakit
mengurangi waktu kejadian dan transportasi untuk pasien dengan STEMI (Braunwald’s, 2019).
EKG membantu menentukan diagnosis dan prognosis. Kelainan segmen ST persisten atau
transien baru (≥0,05 mV) yang berkembang selama episode simptomatik saat istirahat dan
hilang ketika gejala hilang sangat menunjukkan iskemia akut dan PJK berat. Perubahan
segmen ST yang tidak spesifik atau kelainan gelombang T 0,2 mV atau kurang tidak membantu
untuk stratifikasi risiko. Rasio kemungkinan untuk ACS dengan berbagai temuan pada EKG
ditunjukkan pada Tabel 56.3. EKG yang benar-benar normal tidak mengecualikan ACS: risiko
AMI kira-kira 4% pada pasien dengan riwayat CAD dan 2% pada mereka yang tidak memiliki
riwayat tersebut. Pasien dengan temuan EKG normal atau mendekati normal, bagaimanapun,
memiliki prognosis yang lebih baik daripada mereka dengan EKG abnormal pada evaluasi awal.
Selain itu, EKG normal memiliki nilai prediksi negatif 80% hingga 90%, terlepas dari apakah
pasien mengalami nyeri dada pada saat EKG diperoleh. Elevasi segmen ST yang menyebar
dan depresi segmen PR menunjukkan adanya perikarditis. Takikardia dengan deviasi sumbu
kanan, blok cabang berkas kanan, inversi gelombang T di lead V1 ke V 4, dan gelombang S di
lead I dan gelombang Q dan inversi gelombang T di lead III menyarankan PE (Braunwald’s,
2019).
Ketersediaan EKG sebelumnya meningkatkan akurasi diagnostik dan mengurangi
tingkat masuk untuk pasien dengan penelusuran baseline yang abnormal. Pelacakan
elektrokardiografik serial meningkatkan kemampuan dokter untuk mendiagnosis AMI, terutama

21
pada pasien yang tetap bergejala dan terutama jika dikombinasikan dengan pengukuran serial
biomarker jantung. Pemantauan elektrokardiografik berkelanjutan untuk mendeteksi pergeseran
segmen ST memberikan kontribusi yang tidak pasti untuk manajemen pasien. Sadapan
posterior dapat membantu mengidentifikasi iskemia di wilayah yang disuplai oleh arteri koroner
sirkumfleksa, zona yang relatif sunyi pada EKG (Braunwald’s, 2019).

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di
ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding
inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit
sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap
keluhan angina timbul kembali (PERKI 2018).
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi,
yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi
segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST
dengan atau tanpa inversi gelombang T(PERKI 2018).

22
23
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang
untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi
segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40
tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead
V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi
segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai
ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV.
Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh
segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-
anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama
dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat
terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat
segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia (PERKI
2018).

24
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan
LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan
dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST
seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan
sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada
sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah
(PERKI 2018).
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen
ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST
(NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik
untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya.
Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak
persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T
yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut (PERKI 2018).
Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan
sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik. Rekaman EKG penting untuk membedakan
STEMI dan SKA lainnya (PERKI 2018).

25
26
27
28
Pemeriksaan biomarker jantung.
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit
jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan
marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T
juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma
kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang
dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit
neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada
dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya
nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai
spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T (PERKI 2018).

Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan
kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12
jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka
pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang
meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan
spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh
yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun
infark periprosedural. (PERKI 2018).
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan
di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa
tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care

29
testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di
laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of care testing
menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral (PERKI
2018).
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda (PERKI 2018) :
a. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal
pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
b. EKG normal atau nondiagnostik, dan
c. Marka jantung normal
Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda (PERKI 2018) :
a. Angina tipikal.
b. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau inversi T
yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB baru/persangkaan baru.
c. Peningkatan marka jantung
Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung normal
perlu menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif SKA dan angina tipikal
dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit dalam
ruang intensive cardiovascular care (ICVCU/ICCU) (PERKI 2018).
Pemeriksaan Non-Invasif
 Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan gambaran
fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis banding
seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta.
 Stress test seperti EKG exercise dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding
PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal, dan marka
jantung yang negatif.
 Multislice cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai
penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK rendah sampai menengah, dan
jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan (PERKI, 2018).

Pemeriksaan laboratorium.
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat
darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi
ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA (PERKI
2018).

30
Pemeriksaan foto polos dada.
Semua pasien dengan nyeri dada biasanya memiliki foto rontgen dada. Biasanya tidak
diagnostik pada pasien dengan ACS tetapi dapat menunjukkan edema paru sekunder akibat
disfungsi diastolik atau sistolik yang diinduksi iskemia. Hal ini lebih berguna untuk mendiagnosis
atau menyarankan gangguan lain; misalnya, ini mungkin menunjukkan mediastinum yang
melebar atau katup aorta pada pasien dengan diseksi aorta. Radiografi dada umumnya memiliki
temuan normal pada PE tetapi dapat menunjukkan atelektasis, hemidiafragma yang meningkat,
efusi pleura, atau lebih jarang tanda punuk Hampton atau tanda Westermark. Foto thoraks
dapat menunjukkan pneumonia atau pneumotoraks (Braunwald’s, 2019).
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk
tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat
portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi
dan penyakit penyerta (PERKI 2018).
Diagnosis Banding

31
Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik atau penyakit katup jantung (stenosis dan
regurgitasi katup aorta) dapat mengeluh nyeri dada disertai perubahan EKG dan peningkatan
marka jantung menyerupai yang terjadi pada pasien NSTEMI. Miokarditis dan perikarditis dapat
menimbulkan keluhan nyeri dada, perubahan EKG, peningkatan marka jantung, dan gangguan
gerak dinding jantung menyerupai NSTEMI. Stroke dapat disertai dengan perubahan EKG,
peningkatan marka jantung, dan gangguan gerak dinding jantung. Diagnosis banding non
kardiak yang mengancam jiwa dan selalu harus disingkirkan adalah emboli paru dan diseksi
aorta (PERKI 2018).

32
2.1.6 Tatalaksana
Berdasarkan algoritma diagnosis PERKI tahun 2018, penetapan diagnosis kerja perlu
dilakukan sebelum menentukan strategi penanganan yang akan dilakukan selanjutnya. Dalam
melakukan tatalaksana pasien dengan SKA sendiri, ada 2 macam tatalaksana yang harus
dilakukan, yaitu tatalaksana awal dan tatalaksana spesifik sesuai dengan klinis pasien (PERKI,
2018).

33
2.1.6.1 Penatalaksanaan Awal

Tatalaksana awal adalah terapi yang diberikan kepada pasien dengan diagnosis kerja
kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum
adanya hasil dari pemeriksaan EKG dan/atau biomarka jantung. Terapi awal yang diberikan
adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, dan Aspirin (MONA), yang tidak harus diberikan semuanya atau
secara bersamaan ke pasien. Tatalaksana awal tersebut secara lebih jelasnya terdiri dari:
(PERKI, 2018).
1. Tirah baring.
2. Pada pasien yang mengalami STEMI, direkomendasikan untuk melakukan pengurukan
saturasi oksigen perifer. Apabila pasien disertai dengan hipoksemia (SaO 2<90% / PaO2

34
<60mmHg), maka oksigen harus diberikan segera. Pemberian suplementasi oksigen rutin
tidak direkomendasikan pada pasien dengan Sa02 ≥90%.
3. Aspirin dengan dosis 160-320 mg sublingual diberikan kepada pasien STEMI yang tidak
memiliki kontraindikasi. Pemberian aspirin secara sublingual lebih dipilih karena memiliki
onset kerja lebih cepat.
4. Adenosin Phospate Recepetor Inhibitor.
a. Ticagrelor dosis awal 180mg, dilanjutkan dosis maintenance 2x90mg/hari, tidak
direkomendasikan pada pasien kandidat terapi fibrinolitik.
b. Clopidogrel dosis awal 300mg, dilanjutkan dengan dosis maintenance 75mg/hari.
Clopidogrel adalah ADP yang direkomendasikan pada pasien kandidat terapi
fibrinolitik.
5. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual untuk pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Apabila nyeri dada tidak hilang dengan 1x
pemberian, maka dapat diberikan lagi setiap 5 menit hingga maksimal 3x. Apabila pasien
tidak responsif terhadap terapi 3 dosis NTG sublingual, maka dapat diberikan NTG
intravena. Apabila tidak tersedia NTG, maka dapat diberikan isosorbid dinitrat (ISDN)
sebagai pengganti.Pada pasien STEMI nitrogliserin intravena diberikan pada 48 jam
pertama.
6. Morfin sulfat diberikan 1 -5 mg iv, dapat diulangi setiap 10 -30 menit. Morfin sulfat diberikan
pada pasien yang tidak respon terhadap pemberian 3 dosis nitrogliserin.
2.1.6.2 Penatalaksaan Reperfusi
Terapi reperfusi harus dilakukan segera baik dengan IKP ataupun farmakologis. Terapi
ini diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan ST
elevasi yang persisten atau left bundle branch block (LBBB). Pada right bundle branch block
(RBBB) dengan gejala-gejala iskemia yang persisten harus dipertimbangkan IKP primer.
Terapi reperfusi dilakukan apabila diagnosa kerja sudah ditegakkan menggunakan
bukti klinis maupun EKG yang harus dilakukan dalam waktu kurang dari 10 menit. Pada pasien
dengan kecurigaan mengarah ke infark miokard, maka perlu segera di lakukan pemeriksaan
EKG dan jika pada EKG awal tidak ada gambaran infark miokard, maka pemeriksaan ulang
perlu dilakukan dan kemudian dibandingkan dengan hasil EKG awal (PERKI, 2018). Tujuan
terapi pasien ST elevation myocardial infraction (STEMI):
1. Minimalisir total ischemic time sehingga mengurangi morbidity dan mortality karena STEMI.
2. Mencegah reocclusion arteri koroner, komplikasi, dan kematian.

35
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk diagnosis
dan pengobatan. Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri
dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih, yang tidak membaik dengan pemberian
NTG. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah, atau lengan kanan
memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien tiba untuk
mendukung keberhasilan tatalaksana pada pasien. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien
dengan tanda dan gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya
dilakukan tindakan segera (PERKI, 2018).
Tatalaksana pasien dengan STEMI di rumah sakit didasarkan atas target utama yaitu
memberikan terapi reperfusi sedini mungkin dengan efektif dan jika terdapat fasilitas PCI
primer, maka sebanyak mungkin pasien harus di berikan intervensi PCI primer sesuai dengan
indikasi. Terdapat rekomendasi waktu optimal dalam melakukan tatalaksana STEMI agar
pasien dapat mendapatkan outcome terbaik (PERKI, 2018).

Gambar 2…. Ringkasan Rekomendasi Waktu Optimal pada STEMI (PERKI, 2018).

Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam penanganan
pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang terjadi dan berusaha
untuk mencapai dan mempertahankan target kualiat berikut ini:
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤ 10 menit.
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
 Untuk fibrinolisis ≤30 menit

36
 Untuk IKP primer ≤90 menit di faskes dengan kemampuan fasilitas IKP primer (kurang
dari 120 menit bila pasien perlu ditransfer ke faskes yang melakukan IKP primer).

Gambar Diagram Pemelihan Strategi Reperfusi (PERKI, 2018).

Tatalaksana reperfusi ada 2, IKP primer dan fibrinolitik. Apabila yang dipilih adalah
fibrinolitik maka terapi sebaiknya dimulai dalam waktu 10 menit dari diagnosis STEMI dan
diagnosis STEMI harus ditegakkan dalam 10 menit dari KMP. Waktu absolut dari diagnosis
STEMI ke reperfusi IKP adalah 120 menit. Apabila diperkirakan membutuhkan waktu lebih dari
120 menit, maka terapi menggunakan fibrinolitik menjadi pilihan terapi (maksudnya adalah bila
ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke RS tersebut
apakah kurang atau lebih dari 2 jam. Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan
adalah fibrinolitik). Untuk mempersingkat waktu iskemia, apabila memungkinkan, fibrinolitik
dapat dipertimbangakan untuk diberikan sebelum pasien tiba di RS. Setelah pasien diberikan
fibrinolitik, maka pasien dapat dirujuk ke faskes yang dapat melakukan IKP. Namun, apabila
fibrinolitik gagal (resolusi segmen ST <50% dalam waktu 60-90 menit setelah pemberian atau
terjadi ketidakstabilan hemodinamik dan elektrolit, perburukan iskemia, atau nyeri dada
persisten maka pasien diindikasikan untuk dilakukan IKP rescue (PERKI, 2018).
a) Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKP Primer)

37
IKP primer merupakan IKP emergensi dengan ballon, stent, atau alat lainnya yang
dikerjakan pada arteri yang infark (IRA) tanpa terapi fibrinolitik sebelumnya. IKP sendiri
merupakan terapi pilihan apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam waktu 120
menit dari KMP. IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat
atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan
bila pasien datang dengan onset gejala yang telah lama. Selain itu, IKP primer juga harus
dikerjakan pada pasien dengan gejala yang telah berlangsung > 12 jam disertai dengan:
(PERKI, 2018).
 EKG yang menunjukkan iskemia sedang berlangsung
 Nyeri sedang berlangsung/rekuren dan perubahan EKG dinamis
 Nyeri sedang berlangsung/rekuren, gejala tanda gagal jantung, syok, atau aritmia maligna
Pada pasien yang akan mendapatkan IKP primer, direkomendasikan untuk dilakukan
pemberian terapi antiplatelet ganda (DAPT) aspirin dan ADP reseptor inhibitor secepat mungkin
sebelum angiografi dilakukan, terapi antikoagulan intravena juga diberikan.
1. PO Aspirin 160 – 320mg per oral.
2. Adenosin Phospate Recepetor Inhibitor
a. Clopidogrel dosis awal 600mg, dilanjutkan dosis maintenance 75mg/hari.
b. Ticagrelor dosis awal 180mg, dilanjutkan dosis maintenance 2x90mg/hari.
3. Antikoagulan intravena
a. Enoxaparin intravena, jika dibandingkan dengan UFH, obat ini lebih
direkomendasikan.
b. Unfractioned heparin/UFH harus diberikan pada pasien yang tidak mendapat
terapi enoxaparin atau bivarlirudin.
c. Fondaparinux tidak disarankan pada PCI Primer.
d. Pasien yang akan menjalani PCI primer tidak disarankan untuk diberikan
fibrinolysis

38
Gambar Dosis ko-terapi antiplatelet dan antikoagulan pada pasien IKP primer
(PERKI, 2018).

Gambar Dosis ko-terapi antiplatelet dan antikoagulan pada pasien yang


menjalani IKP primer atau belum menjalani perfusi (PERKI, 2018).

b) Fibrinolitik
Pada pasien yang tidak bisa mendapatkan PCI primer dalam waktu yang
direkomendasikan, maka pasien harus diberikan terapi fibrinolitik direkomendasikan untuk

39
diberikan dalam 12 jam sejak onset. Untuk fibrinolitik, dapat diberikan obat yang spesifik
terhadap fibrin (alteplase/reteplase), obat ini lebih direkomendasikan jika dibandingkan dengan
obat yang tidak spesifik terhadap fibrin seperti streptokinase.

Pemberian Aspirin harus dilakukan pada pasien yang diberi fibrinolitik, Clopidogrel juga
diberikan sebagai tambahan. Antikoagulan juga direkomendasikan untuk diberikan pada pasien
STEMI yang mendapatkan fibrinolitik sampai terjadi revaskularisasi atau selama pasie dirawat
di rumah sakit hingga 5 hari. Clopidogrel lebih direkomendasikan pada pasien yang
mendapatkan terapi fibrinolitik, tetapi jika setelah terapi fibrinolitik pasien mendapatkan PCI
primer, maka dapat diganti dengan ticagrelor (PERKI, 2018).

40
Gambar Kontraindikasi Terapi Fibrinolitik (PERKI, 2018).

Gambar Dosis fibrinolitik dan ko-terapi antitrombotik (PERKI, 2018).

41
Gambar Langkah-langkah pemberian fibrinolitik pada pasien STEMI (PERKI, 2018).

2.1.6.3 Obat-Obatan dalam menangani Sindrom Koroner Akut (SKA)


A. Anti Iskemia
 Penyekat Beta (Beta blocker)
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI,
terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat
indikasi kontra (Kelas I-B). penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam
pertama (Kelas I-B). Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B).

42
Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat
beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk
klasifikasi Kilip ≥III (Kelas I-B) (PERKI, 2018).

Tabel Jenis dan Dosis Beta blocker untuk terapi IMA

 Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri
sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah
dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.
1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari
episode angina (Kelas I-C).
2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal kali
pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena
jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).
3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung,
atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan
menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang
terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin
converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B).
4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit),
takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan (Kelas III-
C).

43
5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang
tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan
(Kelas III-C) (PERKI, 2018).

Tabel Jenis dan Dosis Nitrat untuk terapi IMA

 Calcium Channel Blockers (CCBs)


Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya
memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi
keluhan angina.
1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien
yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B).
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan
indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B).
3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B).
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik (Kelas I-C).
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak
direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta. (Kelas III-
B) (PERKI, 2018).

44
Tabel Jenis dan Dosis CCB untuk terapi IMA

B. Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis loading
150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang,
tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan (Kelas I-A).
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan
berlebih (Kelas I-A).
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT (dual
antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada
pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan
pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta
konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak
kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-C).
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik sedang
hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90
mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal.
Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel
(pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-B).
6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis
loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas I-A).
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis
tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima
strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B).
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko
perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).

45
9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu
menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu dipertimbangkan
penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau
clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik
yang tinggi (Kelas IIa-C).
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau dilanjutkan) setelah
pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas IIa-B).
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-2 selektif dan
NSAID non-selektif) (Kelas III-C) (PERKI, 2018).

Tabel Jenis dan Dosis Antiplatelet untuk terapi IMA

C. Antikoagulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi
antiplatelet (Kelas I-A).
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan
berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas I-C).
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang paling
baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A).
4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85
IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat
reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP (Kelas I-B).
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan
rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).
6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul
rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila
fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-C).

46
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan
hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B) (PERKI, 2018).

Tabel Jenis dan Dosis Antikoagulan untuk terapi IMA

D. ACE-inhibitor
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi remodeling
dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi
sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien
dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang
telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada indikasi
kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes
mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK) (Kelas I-A).
2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di atas
(Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan
penelitian yang ada (Kelas IIa-C).
3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran
terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa
gejala klinis gagal jantung (Kelas I-B) (PERKI, 2018).

47
Tabel Jenis dan Dosis ACE-inhibitor untuk terapi IMA

E. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet,
inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua
penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak
terdapat indikasi kontra (Kelas I-A). Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum
pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100
mg/dL (Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai
(PERKI, 2018).

2.1.7 Pencegahan
Pencegahan sekunder dilakukan dengan terapi farmakologi dan non farmakologi
diberikan pada pasien yang sudah melewati masa akut dari STEMI untuk mengurangi paparan
faktor resiko dan mencegah serangan ulang.
A. Terapi Farmakologi
1) Kontrol Tekanan Darah
Target tekanan darah > 140/90 mmHg, pada pasien dengan DM dan CKD, target
tekanan darah adalah >130/80 mmHg. Pengendalian tekanan darah dapat dilakukan
dengan menggunakan obat seperti bisoprolol dan obat penurun tekan darah lainnya.
2) Antiplatelet
Aspirin dosis 75-162 mg diberikan saat pasien dalam masa pemulihan STEMI dengan
tujuan untuk mencegah serangan ulang, jika pasien memiliki intoleransi terhadap
aspirin, dapat diberikan clopidogrel dosis 75 mg.
3) Manajemen Kadar Lemak
Studi meta-analisis mengatakan bahwa terapi statin dapat menurunkan risiko kematian
kardiovaskuler, infark miokard, stroke, dan iskemia. Pemberian statin dengan intensitas
tinggi sebaiknnya dimulai secepat mungkin dan dalam jangka panjang. Menurunnya
kadar lipid dapat membantu stabilisasi plak dan regresi lesi koroner yang dapat

48
menyebabkan kejadian mortalitas menjadi menurun. LDL yang direkomendasikan
adalah ≤ 70 mg/dL atau reduksi minimal 50% jika kadar awal 79-135 mg/dL (Ibanez et
al., 2018).
B. Terapi Non Farmakologi
1) Berhenti Merokok
Pasien yang memiliki riwayat merokok harus berhenti merokok serta menghindari
paparan asap rokok, pasien juga harus diedukasi bahaya dari melanjutkan kebiasan
merikiknya serta cara menghentikan kebiasan merokok tersebut, jika merasa perlu
pasien dapat diberikan konseling
2) Manajemen Berat Badan
Pada pasien obese / overweight, disarankan untuk menjalai program diet dengan
target BMI 18,6-24,9 kg/m2.
3) Aktifitas Fisik
Penderita STEMI yang sedang masa recovery harus didorong untuk melakukan
aktifitas fisik setidaknya 3-4 kali per minggu selama +- 30 menit, aktifitas yang dapat
dilakukan adalah berjalan, bersepeda dan aktifitas lainnya

2.1.8 Komplikasi
Komplikasi setelah infark miokard akut bisa bersifat serius dan berpotensi mengancam
nyawa, untuk infark miokard akut elevasi ST (STEMI) sendiri, dapat juga menyebabkan
komplikasi seperti berikut (PERKI, 2018) :
a) Gangguan Hemodinamik
 Gagal Jantung
 Hipotensi
 Kongesti paru
 Syok kardiogenik
b) Aritmia
 Aritmia supravantikular
 Aritmia ventrikular
c) Komplikasi Kardiak
 Regurgitasi Katup Mitral
 Perikarditis
 Tromboemboli

49
50
51
Sinus bradikardi sering terjadi dalam beberapa jam awal STEMI, terutama pada infark
inferior. Dalam beberapa kasus, hal ini disebabkan oleh karena opioid. Sinus bradikardi
seringkali tidak memerlukan pengobatan. Bila disertai dengan hipotensi berat, sinus bradikardi
perlu diterapi dengan atropin. Bila gagal dengan atropin, dapat dipertimbangkan penggunaan
pacing sementara. Blok jantung derajat satu tidak memerlukan pengobatan. Untuk derajat dua
tipe I (Mobitz I atau Wenckebach), blokade yang terjadi biasanya dikaitkan dengan infark
inferior dan jarang menyebabkan efek hemodinamik yang buruk. Apabila terjadi perubahan
hemodinamik, berikan atropin dahulu, baru pertimbangkan pacing. Hindari penggunaan agen-
agen yang memperlambat konduksi AV seperti penyekat beta, digitalis, verapamil atau
amiodaron. Blok AV derajat dua tipe II (Mobitz II) dan blok total dapat merupakan indikasi
pemasangan elektroda pacing, apalagi bila bradikardi disertai hipotensi atau gagal jantung. Bila
gangguan hemodinamik yang terjadi berat, hati-hati dalam pemberian pacing AV sekuensial.
Pada pasien yang belum mendapatkan terapi reperfusi, revaskularisasi segera perlu
dipertimbangkan. Blok AV terkait infark dinding inferior biasanya terjadi di atas bundle of HIS,
dan menghasilkan bradikardia transien dengan escape rhythm QRS sempit dengan laju lebih
dari 40 detak per menit, dan memiliki mortalitas yang rendah. Blok ini biasanya berhenti sendiri
tanpa pengobatan. Blok AV terkait infark dinding anterior biasanya terletak di bawah HIS (di
bawah nodus AV) dan menghasilkan QRS lebar dengan low escape rhythm, serta laju
mortalitas yang tinggi (hingga 80%) akibat nekrosis miokardial luas. Terjadinya bundle branch
block baru atau blok sebagian biasanya menunjukkan infark anterior luas, dan kemudian dapat
terjadi blok AV komplit atau kegagalan pompa. Asistol dapat terjadi setelah blok AV, blok bifasik
atau trifasik atau countershock elektrik. Bila elektroda pacing terpasang, perlu dicoba dilakukan

52
pacing. Apabila tidak, lakukan kompresi dada dan napas buatan, serta lakukan pacing
transtorakal. Elektroda pacing transvena perlu dimasukkan bila terdapat blok AV lanjut dengan
low escape rhythm seperti yang telah dijelaskan di atas, dan dipertimbangkan apabila terjadi
blok bifasik atau trifasik. Rute subklavia sebaiknya dihindari setelah fibrinolisis atau bila terdapat
antikoagulasi, dan dipilih rute alternatif. Pacing permanen diindikasikan pada pasien dengan
blok AV derajat tiga persisten, atau derajat dua persisten terkait bundle branch block, dan pada
Mobitz II transien atau blok jantung total terkait bundle branch block awitan baru (PERKI 2018).

2.1.9 Stratifikasi Risiko

Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya


(konservatif atau invasif), ada beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan
divalidasi untuk SKA. Beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In
Myocardial Infarction) dan GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events), sedangkan
CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable angina patients Suppress ADverse
outcomes with Early implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk
menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan. Stratifikasi perdarahan penting untuk menentukan
pilihan penggunaan antitrombotik (PERKI, 2018).
A. TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction)
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang masingmasing
setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah usia ≥65 tahun, ≥3 faktor risiko,
stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST pada EKG, terdapat 2 kali keluhan angina dalam 24
jam yang telah lalu, peningkatan marka jantung, dan penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir.
Dari semua variabel yang ada, stenosis koroner ≥50% merupakan variabel yang sangat
mungkin tidak terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%);
skor 3-4 : risiko menengah (risiko kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi
(risiko kejadian kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk prediksi
kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA termasuk UAP/NSTEMI (PERKI
2018).

53
B. GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events)
Klasifikasi GRACE (Tabel 6) mencantumkan beberapa variabel yaitu usia, kelas Killip,
tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang gawat darurat,
kreatinin serum, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini
ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan
setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit, pasien dengan skor
risiko GRACE ≤108 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <1%). Sementara itu,
pasien dengan skor risiko GRACE 109-140 dan >140 berturutan mempunyai risiko kematian
menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari
rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko
kematian <3%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan
mempunyai risiko kematian menengah (3-8%) dan tinggi (>8%) (PERKI 2018).

54
55
C. Killip
Merupakan klasifikasi risiko berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai
komplikasi infark miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas
(prognostik) dalam 30 hari (PERKI, 2018).

56
D. Skor CRUSADE
Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga segala
upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa mungkin. Variabel-variabel yang
dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor selama perawatan dirangkum dalam
CRUSADE bleeding risk score, antara lain kadar hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut
jantung, jenis kelamin, tanda gagal jantung, penyakit vaskular sebelumnya, adanya diabetes,
dan tekanan darah sistolik. Dalam skor CRUSADE, usia tidak diikutsertakan sebagai prediktor,
namun tetap berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE yang tinggi
dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi (PERKI, 2018).

Gambar Risiko mayor perdarahan berdasarkan skor perdarahan CRUSADE

57
Tabel Skor Risiko Perdarahan CRUSADE

Berdasarkan skor CRUSADE, pasien dapat ditentukan dalam berbagai tingkat risiko
perdarahan, yang dapat dilihat dari table dibawah ini (PERKENI, 2018).
Tabel Stratifikasi Risiko berdasarkan Skor CRUSADE

58
2.2 Gagal Jantung
2.2.1 Definisi
Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai abnormalitas dari struktur jantung atau fungsi
yang menyebabkan kegagalan dari jantung untuk mendistribusikan oksigen ke seluruh tubuh.
Secara klinis, gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks dimana seseorang
memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung; tanda khas gagal jantung dan adanya bukti
obyektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat (Tabel ).(PERKI 2020)

2.2.2
Etiologi HF beragam baik di dalam suatu negara dan di antara wilayah dunia. Belum ada
sistem klasifikasi yang disepakati untuk penyebab gagal jantung, dengan banyak tumpang tindih
antara kategori potensial (Tabel 2.1). Banyak pasien akan memiliki beberapa patologi berbeda —
kardiovaskular dan non-kardiovaskular — yang dapat menyebabkan gagal jantung. Identifikasi
dari beragam patologi ini harus menjadi bagian dari pemeriksaan diagnostik, karena penting
untuk menentukan modalitas terapeutik yang spesifik (Ponikowski, et al., 2016).

59
Kondisi-kondisi diatas tidak serta-merta menimbulkan gagal jantung secara langsung.
Banyak mekanisme yang berperan penting untuk membuat pasien dengan kondisi diatas
berujung pada gangguan struktur dan fungsi jantung.
Berbagai studi telah mencoba mencari dan menjelaskan faktor yang dapat
meningkatkan resiko untuk terjadinya gagal jantung. Studi menunjukkan bahwa penyakit
jantung koroner menjadi faktor resiko utama terjadinya gagal jantung diikuti oleh hipertensi,
diabetes mellitus, usia (>65 tahun), dan obesitas (Komanduri, et al., 2017). Perokok, jenis
kelamin pria, edukasi yang rendah, aktifitas fisik yang sedikit, berat badan berlebih (overweight),
dan penyakit katup jantung juga akan meningkatkan resiko gagal jantung. Faktor resiko yang
dapat diubah (modifiable) antara lain aktivitas fisik dan penyakit kardiovaskular, diabetes,
merokok, diet, profil lipid, hipertensi, obesitas. Sedangkan faktor resiko yang tidak dapat diubah
(nonmodifiable) antara lain riwayat keluarga untuk penyakit kardiovaskular, riwayat keluarga
diabetes, usia, jenis kelamin, etnik, dan status sosioekonomi (Dunlay, et al, 2009). Sedangkan
Lawson, et al., pada tahun 2020 melakukan penelitian dan menemukan bahwa komorbiditas
pasien yang dapat membawa ke kondisi gagal jantung antara lain hipertensi, diikuti penyakit
jantung iskemik, penyakit ginal kronis (CKD), fibrilasi atrial, osteoartritis, infark miokard,
diabetes melitus tipe 2, obesitas, kanker, depresi, asma, anemia, stroke, dan demensia
(Lawson, et al., 2020). Kaler, et al. melakukan studi 1 tahun di fasilitas kesehatan tersier di India
dan menemukan berbagai faktor presipitasi dari gagal jantung akut dekompensata. Faktor
resiko utama untuk terjadinya ADHF yaitu anemia, konsumsi obat yang tidak teratur, dan onset
baru dari iskemi miokardial dan biasanya pasien memiliki faktor resiko lebih dari satu.
Disebutkan bahwa anemia yang dapat mencetuskan kondisi GJAD adalah anemia defisiensi
besi, anemia normokrom normositer, anemia megaloblastic, dan anemia nutrisional. Kondisi

60
ganguan mekanik dari jantung yang dapat mencetuskan GJAD adalah adanya regurgitasi katup
mitral dan regurgitasi katup aorta. Kondisi infeksi yang dapat mencetuskan GJAD adalah infeksi
saluran pernafasan, infeksi saluran kemih, dan diabetic foot pain. (Kaler, et al, 2018).
2.2.3 Patogenesis
Gagal jantung sendiri dapat dibagi berdasarkan patologi dan patogenesisnya, antara lain
gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan, gagal jantung kronik dan gagal jantung akut
dekompensata, serta gagal jantung kongestif. Berikut perjalanan penyakit pada gagal jantung
kiri maupun gagal jantung kanan.

61
2.2.4 Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan kelainan structural jantung.
Salah satu sistem klasifikasi yang sering dipakai adalah New York Heart Association (NYHA)
yang merupakan sistem klasifikasi berdasarkan aspek fungsionalitas pasien. Selain NYHA,
sistem ACC/AHA juga mengklasifikasikan gagal jantung menjadi 4 stadium berdasarkan faktor
resiko, kerusakan struktur, serta gejala (PERKI 2020).

Stage ACC/AHA Kelas Fungsional NYHA


A: Ada resiko gagal jantung, tanpa gejala atau bukti gangguan Tidak ada
struktur
B: Gangguan struktur, tanpa gejala I: Tanpa gejala
C: Gangguan struktur, dengan gejala gagal jantung II: Ada gejala dengan
sebelumnya/sekarang latihan sedang
III: Ada gejala dengan

62
latihan ringan
D: Gagal jantung refrakter IV: Ada gejala saat
istirahat

Selain dengan penggolongan NYHA dan AHA, gagal jantung juga dapat dibagi menjadi
tiga kategori, yaitu gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi (HFrEF), gagal jantung
dengan penurunan fraksi ejeksi ringan (HFmrEF), dan tanpa penurunan fraksi ejeksi (HFpEF).
Penggolongan ini juga dapat dikatakan sebagai gagal jantung sistolik dan diastolik. Menurut
guideline AHA dan European Society of Cardiology (ESC), definisi dari gagal jantung dengan
penurunan fraksi ejeksi, penurunan fraksi ejeksi ringan, dan tanpa penurunan fraksi ejeksi dapat
dilihat pada tabel berikut (ESC, 2021):
Tipe Gagal HFrEF HFmrEF HFpEF
Jantung
Kriteria 1 Tanda ± Tanda ± Gejala Tanda ± Gejala
Gejala
2 LVEF ≤ 40% LVEF 41 – 49% LVEF ≥ 50%
3 - - Bukti objektif dari kelainan struktur
dan/atau fungsi jantung yang
konsisten dengan adanya disfungsi
diastolic ventrikel kiri/peningkatan
tekanan pengisian ventikel kiri,
termasuk peningkatan natriuretik
peptida

Gagal jantung pada sindroma coroner akut diklasifikasikan menurut klasifikasi Killip yang
terbagi menjadi 4 stage, yaitu: Pada stage I tidak ada gagal jantung, tidak ada tanda klinis yang
menunjukkan dekompensasi kardiak. Pada stage II, terdapat gagal jantung, kriteria diagnosis:
ronkhi di basal paru, S3 gallop, dan hipertensi vena pulmonal. 16 Pada stage III, terdapat gagal
jantung berat yang ditandai adanya edema pulmonal dengan ronkhi di seluruh lapang paru.
Pada stage IV, terdapat renjatan kardiogenik yang ditandai dengan hipotensi (TD sistolik < 90
mmHg), vasokontriksi perifer seperti oligouria, sianosis, dan diaphoresis (PERKI, 2015).
Berdasarkan onset terjadinya, maka gagal jantung dibedakan menjadi gagal jantung
akut dan gagal jantung kronik. Pasien dengan gagal jantung akut ditandai gangguan

63
pernapasan dan dekompensasi. Pasien dapat memiliki ukuran jantung normal. Pasien dengan
gagal jantung kronis mungkin stabil atau mungkin dekompensasi. Ukuran jantung membesar
(Ponikowski, 2016). Gagal jantung yang sedang mengalami perburukan dapat dikelompokkan
menurut kondisi klinis dan profil hemodinamiknya dikenal sebagai kriteria Forrester. Klasifikasi
ini didasarkan pada ada atau tidaknya kongesti dan hipoperfusi.
1. Kering – Hangat (warm and dry) terjadi apabila perfusi baik dan tidak ditemukan
adanya kongesti.
2. Basah – Hangat (warn and wet) apabila perfusi baik namun terdapat kongesti.
3. Kering – Dingin (cold and dry) terjadi apabila terdapat hipoperfusi namun tanpa
disertai adanya kongesti.
4. Basah – Dingin (cold and wet) terjadi apabila terdapat kongesti dan hipoperfusi.
Tanda adanya kongesti positif meliputi kongesti paru, orthopnea ataupun paroxysmal
nocturnal dyspnea, edema perifer bilateral, peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali,
asites, serta refluks hepatojugular. Adanya hipoperfusi ditandai dengan ditemukannya keringat
dingin pada ekstremitas, oliguria, penurunan kesadaran (mental confussion), pusing, serta
peningkatan durasi capillary refill time (CRT > 2 detik) (Ponikowski, 2016).
Menurut ESC Guideline for The Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure tahun 2016, gejala (symptoms) gagal jantung dibedakan menjadi gejala tipikal dan dan
kurang tipikal. Sementara itu, tanda gagal jantung juga dikelompokkan menjadi tanda spesifik
dan tanda yang kurang spesifik. Tanda dan gejala gagal jantung ditunjukkan dalam Gambar
berikut.

64
2.2.5 Diagnosis
Penegakkan diagnosis gagal jantung disusun dalam sebuah algoritma
penegakkan diagnosis menurut ESC Guideline for The Diagnosis and Treatment of
Acute and Chronic Heart Failure tahun 2021

65
Selain itu, pada kondisi tidak akut maka proses penegakkan diagnosis pasien dengan
kecurigaan gagal jantung dapat dimulai dari anamnesis lalu diikuti dengan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Pada anamnesis bisa menanyakan beberapa hal terkait dengan faktor risiko,seperti
hipertensi tidak terkontrol, riwayat penyakit pada arteri koroner, riwayat vaskularisasi, sesak
nafas saat beraktivitas atau tanpa aktivitas ringan sampai berat, terbangun di malam hari
karena keluhan sesak yang dirasakan, edema tungkai, penggunaan bantal saat tidur, dan lain
hal sebagainya.
Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya rhonchi, edema tungkai, murmur,
peningkatan vena jugularis, dan pergeseran apeks jantung ke lateral

66
Pemeriksaan Penunjang
Sementara itu, pada pemeriksaan penunjang awal yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan pada hasilnya ditemukan suatu gambaran ekg yang
abnormal. Pemeriksaan penunjang selanjutnya dapat dilakukan foto toraks, pemeriksaan
laboratorium, kadar natriuretic peptides berupa NT-proBNP atau BNP, Troponin I dan T serta
ekokardiografi. Standar baku emas untuk mengkonfirmasi diagnosis gagal jantung adalah
ekokardiografi. Proses penegakkan diagnosis gagal jantung dalam kondisi tidak akut
ditunjukkan pada Gambar 2… (Ponikowski, 2016)(PERKI, 2020)

Gambar 2.. Algoritma Diagnosis Pasien dengan Suspek Gagal Jantung (Non Akut)
(Ponikowski, 2016).
Jika berdasarkan PERKI 2020, diagnosis untuk pasien gagal jantung tertulis pada
algoritma berikut (gambar 2…)

67
Gambar 2.. Algoritma Diagnosis Gagal Jantung (PERKI, 2020)
2.2.6 Tatalaksana
Tujuan tatalaksana pada pasien gagal jantung adalah mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Tatalaksana pasien gagal jantung dibagi menjadi dua, yaitu berupa tatalaksana non
farmakologi dan farmakologi, seperti berikut (PERKI, 2020) :

a. Non farmakologi
1. Manajemen perawatan diri
Merupakan tindakan atau upaya yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik,
menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal
perburukan gagal jantung. Upaya ini memiliki peranan yang penting dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan kualitas hidup pasien.
2. Ketaatan pasien dalam berobat

68
Kepatuhan dalam berobat dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas, dan kualitas
hidup pasien.
3. Pemantauan berat badan secara mandiri
Pasien diminta untuk memantau berat badan secara rutin setiap harinya agar tidak
jatuh pada kondisi obesitas
4. Asupan cairan
Pasien gagal jantung berat dengan disertai kondisi hiponatremia dipertimbangkan
untuk restriksi cairan 900 ml – 1.200 ml/hari (sesuai berat badan)
5. Penurunan berat badan
Pada pasien gagal jantung dengan obesitas dipertimbangkan untuk menurunkan
berat badan untuk mencegah perburukan dari kondisi gagal jantungnya
6. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan pada semua pasien dengan gagal jantung kronik

stabil

Profil hemodinamik perlu diidentifikasi pada saat awal pasien datang ke rumah sakit.
Pada manajemen atau tatalaksana awal gagal jantung akut perlu dipastikan apakah saat
pertama kali pasien datang terdapat syok kardiogenik atau tidak. Selanjutnya perlu dipastikan
apakah pasien mengalami gagal napas atau tidak. Selanjutnya dalam kurun waktu 60-120
menit pertama perlu diidentifikasi kemungkinan adanya etiologi atau penyebab akut dari kondisi
pasien. Etiologi akut yang sering dikaitkan dengan gagal jantung akut meliputi sindroma koroner
akut, hipertensi emergensi, aritmia, penyebab mekanik, dan emboli paru. Algoritma manajemen
pasien dengan kecurigaan gagal jantung akut ditunjukkan pada Gambar 2.16 dan Gambar 2.17
berikut (Ponikowski, 2016)

69
Gambar 2. Algoritma Manajemen Awal Pasien dengan Kecurigaan Gagal Jantung Akut
(Ponikowski, 2016)

70
Gambar 2 Algoritma Tatalaksana Pasien dengan Gagal Jantung Akut pada Fase Awal (Ponikowski,
2016)

71
72
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. Darmun
Usia : 64 tahun
Tanggal Lahir : 1 Februari 1957
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Ngajum, Malang
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : Sekolah Dasar
Status : Menikah
Suku : Jawa
Agama : Islam
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Pasien dirujuk dari RS UNISMA dengan STEMI Anteroseptal dengan riwayat
sinus arrest
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSSA pada hari Sabtu tanggal 25 Desember 2021 dengan keluhan nyeri
dada selama 8 hari sebelum masuk RS UNISMA dengan VAS 5/10 (Rabu 15 Desember 2021).
Hal itu dipicu oleh aktivitas ringan. Nyeri dada digambarkan sebagai sensasi terbakar di bagian
tengah dada, tidak menjalar ke punggung, leher, rahang, atau bahu. Keluhan ini disertai mual
(+) dan lemas (+). Tidak disertai keluhan sesak napas atau palpitasi sebelum kondisi saat ini.
Tidak ada keringat dingin atau sinkop. Pasin istirahat selama 5 hari, dan minum obat herbal. 5
hari kemudian, pasien pergi ke Dokter Umum, dan didiagnosis dengan masalah lambung dan
diberi antacid diminum selama 3 hari, namu keluhan tidak membaik. 1 hari sebelum masuk RS
Unisma dirasakan sensasi terbakar semakin parah, disertai nyeri dada saat istirahat VAS 10/10
dan SOB. Pasien mencoba untuk beristirahat dan minum antasida, tetapi tidak membaik.
Pasien menjadi semakin lemah dan keluarganya memutuskan untuk membawanya ke RS
Hasta Husada dan didiagnosis dengan STEMI Anteroseptal, sehingga mendapat ASA 320 mg
dan CPG 300mg. Pasien disarankan untuk dirujuk ke rumah sakit yang mampu untuk
melakukan PCI namun pasien menolak. Pasien dirawat di UGD selama 1 malam. Keesokan
harinya, keluhannya membaik dengan VAS 5/10, dan setuju untuk dirujuk namun tidak setuju
untuk menerima PCI. Sehingga dirujuk ke RS UNISMA untuk penanganan lebih lanjut.

73
Pasien dirawat di RS UNISMA selama 4 hari. Sensasi terbakar masih berlanjut dengan
VAS 3-4/10. Dilakukan EKG dengan hasil sinus arrest. Pasien diberi inj. Enoxaparin 0.6cc,
aspirin 1x80mg, clopidogrel 1x75mg, atorvastatin 1x20mg, dan ISDN 3x5mg. Namun selama
pengobatan pasien menderita hematuria, dan enoxaparin dihentikan. Pada hari terakhir
pengobatan, pasien mengeluhkan sensasi terbakar di dadanya semakin memburuk, dengan
VAS 5/10. Pasien diberi Morphin 2mg, dan keluhannya membaik. Pasien dirujuk ke RSSA untuk
manajemen lebih lanjut.
Di UGD RSSA, kondisi hemodinamik pasien stabil dengan GCS 456 dan urine output
100cc/6 jam. Sensasi terbakar masih bertahan dengan VAS 3-4/10. Pasien mengaku pusing
apabila tekanan darahnya sudah mencapai lebih dari 170 mmHg, namun pasien biasanya
beristirahat dengan tidur lalu pusing berkurang.

Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat DOE (+) sejak 1 bulan yang lalu saat melakukan aktivitas
berat dan hilang dengan istirahat. Riwayat PND (-), ortopneu (-), pembengkakan kaki (-), sinkop
(-), atau palpitasi (-). Riwayat Hipertensi dan diabetes melitus disangkal. 

Riwayat Alergi: Alergi makanan dan obat disangkal.


Riwayat Keluarga: Merupakan anak ke 3 dari 3 bersaudara. Riwayat Hipertensi, dislipidemia,
DM dan kematian jantung mendadak dalam keluarganya disangkal
Riwayat Sosial: Pasien adalah seorang Petani. Pasien bisa melakukan aktivitas sehari-hari
tanpa Batasan namun saat munculnya gejala pasien tidak bisa bekerja lagi. Pasien suka
mengonsumsi makanan yang asin. Pasien juga seorang perokok aktif berat sejak usia 20 tahun,
10-12 pack / hari. Pasien mengaku terkadang minum alkohol dengan teman-temannya..
Screening Penapisan COVID-19:
• Pasien tinggal di daerah Ngajum Malang. 
• Riwayat bepergian ke area zona merah disangkal dalam 2 minggu terakhir. 
• Riwayat demam, batuk, anosmia dan dysgeusia disangkal. 
• Riwayat kontak dengan pasien COVID-19 disangkal. 
• Riwayat vaksin covid disangkal

3.3 Pemeriksaan Fisik


Kesadaran : 456
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tekanan Darah : 147/92 mmHg
Nadi : 40 x/menit reguler  60 On drip Dopamin 5 mcg/kgbw/min

74
RR : 20 x/menit
SpO2 : 99% 3 lpm NRBM 10 Lpm
BB : 50 kg
TB : 165 cm
BMI : 18.4 kg/m2

Kulit
Inspeksi: pigmentasi, jaundice, keloid, Kulit sawo matang, Tidak didapatkan
petechiae tattoo, inflamasi (-), ekskoriasi (-), jaundice
Palpasi: nodul, atrofi, sclerosis (-), petechiae (-) keloid (-), Nodul (-), atrofi
(-), sklerosis (-).
Kepala dan Leher
Inspeksi: Bentuk kepala, konjungtiva, Normochepal, Konjungtiva anemis (-),
sklera, JVP, pembesaran kelenjar tiroid sklera ikterik (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-)
Toraks
Pulmo
Inspeksi: simetri I : Simetris, Scar (-)
Palpasi: stem/taktil fremitus P : Ekspansi D = S, SF D = S
Perkusi: resonansi P:S S
Auskultasi: suara nafas, rales, ronkhi, S S
wheezing, bronkofoni S S
A : V V Rh - - Wh - -
V V - - - -
V V - - - -
Jantung
Inspeksi: iktus I : Iktus tidak terlihat, Palpable ICS V 1
Palpasi: heaves, thrilsl cm MCL S
Auskultasi: denyut jantung (frekuensi, P: heaves (-), thrills (-)
irama) S1, S2, S3, S4, gallop, murmur, A : S1, S2 tunggal reguler, murmur (-),
efection click, rub gallop (-)
Abdomen
Kontur, bising usus, hepatomegaly, Flat, soefl, BU (+) dalam batas normal,

75
spleenomegaly hepatomegali (-), splenomegaly (-)
Ekstremitas
Akral, CRT, edema Edema ekstremitas tangan/tungkai (-),
akral hangat, CRT < 2 detik

Alat Kelamin
Urine Output 100 cc/6 hours (16 cc/h)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


3.4.1 Elektrokardiografi
EKG Sandapan Kiri di RSI UNISMA Kota Malang, 23 Desember 2021

EKG Sandapan Kiri di RSSA Kota Malang, 25 Desember 2021

76
 Irama sinus rhythm
 Frekuensi 40x/menit
 Regularitas : Regular
 Aksis Frontal : LAD
 Aksis Horizontal : Tidak dapat dievaluasi, Poor R progresion
 Gelombang P : 0 detik
 PR interval : 100 ms
 Kompleks QRS : 100 ms
 ST segment : elevasi V2-V3
 QT Interval : 0
 Terdapat PAC
 Gelombang T : normal
 Kesimpulan: STEMI Anteroseptal late onset with PAC and sinus arrest and ventricular
escaped rythm

3.4.2 Pemeriksaan Laboratorium

77
Pemeriksaan Laboratorium di RSI UNISMA,22 Desember 2021
Parameter Result Normal Value

Hb 14.5 g/dL 13,4 – 17,7 g/dL

Leukocytes 4.470 /µL 4300-10300/µL

Hematocrit 42.7 % 40 – 47 %

Thrombocytes 305.000 /µL 142.000-424.000/µL

MCV 95.5 fL 80 – 93 fL

MCH 32.4 pg 27 – 31 pg

Differential count 0/0/76/17/7 0-4/0-1/51-67/25-33/2-5 %

Random Blood Sugar 109 g/dL <200 mg /dl

Ureum 20 mg/dl 16,6 – 48,5 mg/dL

Creatinine 0.94 mg/dl <1,2mg/dL

eGFR 56 ml/min/1,73
m2

Sodium (Na) 137 mmol/L 136 – 145 mmol/L

Potassium (K) 3.3 mmol/L 3,5 – 5,0 mmol/L

Calcium (Ca) 1.27 mmol/L 98 – 106 mmol/L

SGOT 20 U/L 0-32

SGPT 21 U/L 0-33

78
Troponin I 10 ug/L <1.0

CKMB 15 U/L 7-25

Swab Antigen Non reactive

Pemeriksaan Laboratorium di RSSA,25 Desember 2021


Parameter Result Normal Value

Hb 13.3 g/dL 13,4 – 17,7 g/dL

Leukocytes 11.510 /µL 4300-10300/µL

Hematocrit 40.6 % 40 – 47 %

Thrombocytes 217.000 /µL 142.000-424.000/µL

MCV 100.2 fL 80 – 93 fL

MCH 32.80 pg 27 – 31 pg

Differential count 0.9/0.3/80.2/9.7/8.9 0-4/0-1/51-67/25-33/2-5 %

Random Blood Sugar 105 g/dL <200 mg /dl

Albumin 4.31 g/dL 3,5 – 5,5

Ureum 30.9 mg/dl 16,6 – 48,5 mg/dL

Creatinine 0.89 mg/dl <1,2mg/dL

eGFR 90.3577 ml/min/1,73


m2

Sodium (Na) 135 mmol/L 136 – 145 mmol/L

Potassium (K) 3.30 mmol/L 3,5 – 5,0 mmol/L

Chloride (Cl) 107 mmol/L 98 – 106 mmol/L

79
SGOT 19 U/L 0-32

SGPT 9 U/L 0-33

Troponin I 16 ug/L <1.0

CKMB 507 U/L 7-25

PPT 10.70 msec 9.4-11.3

APTT 22.50 msec 24.6-30.6

INR 1.03 <1.5

D-Dimer 31.26 mg/dl < 0.3

Swab Antigen Non reactive

Date: 25/12/2020 (on NC 5 lpm O2) -> Vein

Parameter Result Normal Value

pH 7.37 7.35 – 7.45

pCO2 46.5 mmHg 35 - 45

pO2 25.4 mmHg 80 - 100

HCO3 26.8 mmol/L 21 - 28

BE 1.2 mmol/L -3 - +3

SaO2 46.6 % >95

80
3.4.3 Foto Thorax
Chest X-ray 22-12-2021 di RS UNISMA
Hasil Foto Interpretasi

81
Tn. Darmun/64 tahun/1150xxxx

1. X-ray view : AP position


2. Inspirasi cukup
3. KV (penetrasi x-ray) cukup
4. Simetris dextra dan sinistra
5. Soft tissue : normal
6. Bone : normal, tidak tampak lesi
litik/blastik/garis fraktur
7. Trachea : ditengah (tidak ada deviasi)
8. Pulmo : corakan vaskuler meningkat.
Hillus D/S normal
9. Costophrenic angles D/S : lancip
10. Hemidiaphragm D/S : dome shaped
11. Cor : posisi normal, CTR 70 %, cardias
waist (+)
12. Aorta : tidak tampak dilatasi, elongasi,
dan kalsifikasi.
Kesimpulan : Emphysematous of lung,
Cardiomegaly dengan kongestif paru

82
3.5 Problem Oriented Medical Record (POMR)

CUE AND CLUE PL Idx PDx PTx PMo & PEd


Tn. Darmun/ 64 tahun / 11525689 1. STEMI EKG tiap Nonfarmakologi: PMo:
Subjektif Anteroseptal 24 jam - Bedrest, semiflower• Subjektif
 Ketidaknyamanan dada dengan sensasi Killip I  IV position • Vital sign

terbakar > 20 menit, VAS 9/10 dengan TIMI 3/14 - O2 NC 4 Ipm • EKG/24 jam

kelemahan umum. GRACE 84 post - Oral intake 1000cc/24• Cardiac enzyme


Primary PCI jam •
 RF: HT (-), DM (-), Perokok (+), sinkop (-) PEd:
Objektif Farmakologi: • Diagnosis, penyebab,
 GCS : 456 - Total fluid 2500cc/24 jam pengobatan, efek
 Tekanan Darah : 100/70 mmHg - IVFD NS 0,9% 1cc/kg/h samping pengobatan,
 HR. : 40  70 bpm on TPM 70- - Drip Dopamine 2-20 serta prognosis
2-2 mcg/kgBB/min penyakit
 RR : 22x/menit - Drip NE 0.05 – 1
 SpO2 : 99% 2 lpm NC mcg/kgBB/min
 UOP 100cc/6 h - Inj. Lansoprazole 1x30mg
- PO ASA 0-0-80 mg
Lab:
- PO Brilinta 2x90 mg
- Troponin I : 16 ug/L
- PO Atorvastatin 0-0-40
- CK-MB : 507 U/L mg
- PO Diazepam 0-0-2 mg
ECG: QS pattern V1-V3, ST elevation V1-V3, T - Laxydn 0-0-1 C
inverted V2-V3. with sinus arrest

83
PPCI: CAD 1 VD post implantation 1 DES at mid
RCA Inferolateral.
Tn. Darmun/ 64 tahun / 11525689 2. Heart Failure Echocardio O2 NC 4-6 lpm PMo
Subjektif stage C fc III graphy full • Subjektif
study Total fluid 1500 cc/day • Vital Sign
• DOE sejak 1 bulan yang lalu dengan
aktivitas berat, berkurang dengan • EKG
- IVFD NS 0.9% fluid
istirahat Ped
challenge 300 cc ->
• Merokok (+) Diagnosis, penyebab,
1000 cc/day
Objektif pengobatan, serta
- Oral intake 500
ictus cordis invisible, palpable at 1 cm lateral MCL prognosis
cc/day
S,
- Equal fluid balance

Lab: PO
CXR
Cardiomegaly with Congestive Pulmonum - Captopril 3 x 12.5
Emphisematous lung
Aorta Sklerosis mg
- Bisoprolol
postponedd

Tn. Darmun/ 64 tahun / 11525689 5. Perokok Smoking cessation PMo


Subjektif Berat Ped
Pasien juga seorang perokok aktif berat sejak usia Diagnosis, penyebab,
20 tahun, 10-12 pack / hari. pengobatan,

84
1 BAB IV
PEMBAHASAN

Kasus Teori
Anamnesis Pasien biasanya menggambarkan ketidaknyamanan ACS sebagai
Identitas (Braunwald’s, 2019):
Nama: Tn. Darmun 1. tekanan dada substernal difus yang dimulai secara bertahap,
Umur: 64 tahun menjalar ke rahang atau lengan,
Jenis Kelamin: Laki-laki 2. memburuk dengan pengerahan tenaga, dan
3. berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin.
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dikatakan mengalamai ACS mengalami gejala berikut (ESC,
Pasien datang ke IGD RSSA pada hari Sabtu tanggal 25 2015):
Desember 2021 dengan keluhan nyeri dada selama 8 1. Nyeri anginal yang berkepanjangan (0,20 menit) saat istirahat;
hari sebelum masuk RS UNISMA dengan VAS 5/10 2. Onset baru (de novo) angina (kelas II atau III dari klasifikasi
(Rabu 15 Desember 2021). Hal itu dipicu oleh aktivitas Canadian Cardiovascular Society);
ringan. Nyeri dada digambarkan sebagai sensasi 3. Destabilisasi terbaru dari angina stabil sebelumnya dengan
terbakar di bagian tengah dada, tidak menjalar ke setidaknya karakteristik angina CCS Kelas III (crescendo angina); atau
punggung, leher, rahang, atau bahu. Keluhan ini disertai 4. Angina pasca-MI.
mual (+) dan lemas (+). Tidak disertai keluhan sesak
napas atau palpitasi sebelum kondisi saat ini. Tidak ada Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut
keringat dingin atau sinkop. Pasin istirahat selama 5 hari, ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut (PERKI,
dan minum obat herbal. 5 hari kemudian, pasien pergi ke 2018) :
Dokter Umum, dan didiagnosis dengan masalah c. Tidak dapat dikontrol
lambung dan diberi antacid diminum selama 3 hari,  Jenis kelamin (Pria)

85
namu keluhan tidak membaik. 1 hari sebelum masuk RS  Usia (lansia)
Unisma dirasakan sensasi terbakar semakin parah,  Riwayat Keluarga
disertai nyeri dada saat istirahat VAS 10/10 dan SOB. d. Dapat dikontrol
Pasien mencoba untuk beristirahat dan minum antasida,  Hipertensi
tetapi tidak membaik. Pasien menjadi semakin lemah  Merokok
dan keluarganya memutuskan untuk membawanya ke
 Dislipidemia
RS Hasta Husada dan didiagnosis dengan STEMI
 Diabetes mellitus
Anteroseptal, sehingga mendapat ASA 320 mg dan
 Obesitas
CPG 300mg. Pasien disarankan untuk dirujuk ke rumah
 Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner
sakit yang mampu untuk melakukan PCI namun pasien
(peripheral vascular disease / karotis)
menolak. Pasien dirawat di UGD selama 1 malam.
(Mechanic, Gavin, & Grossman, 2021).
Keesokan harinya, keluhannya membaik dengan VAS
5/10, dan setuju untuk dirujuk namun tidak setuju untuk Secara klinis, gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang
menerima PCI. Sehingga dirujuk ke RS UNISMA untuk kompleks dimana seseorang memiliki tampilan berupa: gejala gagal
penanganan lebih lanjut. jantung; tanda khas gagal jantung dan adanya buktiobyektif dari
Pasien dirawat di RS UNISMA selama 4 hari. gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat.
Sensasi terbakar masih berlanjut dengan VAS 3-4/10.
Dilakukan EKG dengan hasil sinus arrest. Pasien diberi
inj. Enoxaparin 0.6cc, aspirin 1x80mg, clopidogrel
1x75mg, atorvastatin 1x20mg, dan ISDN 3x5mg. Namun
selama pengobatan pasien menderita hematuria, dan
enoxaparin dihentikan. Pada hari terakhir pengobatan,
pasien mengeluhkan sensasi terbakar di dadanya
semakin memburuk, dengan VAS 5/10. Pasien diberi

86
Morphin 2mg, dan keluhannya membaik. Pasien dirujuk Menurut ESC 2016, gejala yang secara tipikal dapat ditemukan pada
ke RSSA untuk manajemen lebih lanjut. pasien dengan gagal jantung adalah breathlessness, orthopnea,
Di UGD RSSA, kondisi hemodinamik pasien Paroxysmal nocturnal dyspnea, berkurangnya toleransi aktivitas, rasa
stabil dengan GCS 456 dan urine output 100cc/6 jam. lelah, letih dan meningkatnya waktu untuk keluhan berkurang setelah
Sensasi terbakar masih bertahan dengan VAS 3-4/10. beraktivitas, dan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki.
Pasien mengaku pusing apabila tekanan darahnya Sedangkan gejala kurang tipikal yang dapat dialami pasien yaitu batuk
sudah mencapai lebih dari 170 mmHg, namun pasien pada malam hari, wheezing, rasa kembung, hilangnya napsu makan,
biasanya beristirahat dengan tidur lalu pusing berkurang. kebingungan, depresi, palpitasi, pusing, pingsan, dan bendopnea.
Riwayat Penyakit Dahulu
Klasifikasi pada pasien dapat dibagi menjadi kelas fungsional NYHA
: Riwayat DOE (+) sejak 1 bulan yang lalu saat
dan AHA. Pada klasifikasi AHA pasien ditemukan bahwa pasien berada
melakukan aktivitas berat dan hilang dengan istirahat
pada Stage C NYHA karena sudah terdapat gangguan struktur dengan
Riwayat Sosial
gejala. Sedangkan kelas fungsional NYHA pasien berada pada kelas III
Pasien adalah seorang Petani. Pasien bisa melakukan
karena Terdapat batasan aktivitas yang bermakna. Tidak terdapat
aktivitas sehari-hari tanpa Batasan namun saat
keluhan saat istrahat, namun aktivitas ringan menyebabkan kelelahan,
munculnya gejala pasien tidak bisa bekerja lagi. Pasien
berdebar atau sesak nafas.
suka mengonsumsi makanan yang asin. Pasien juga
seorang perokok aktif berat sejak usia 20 tahun, 10-12
pack / hari. Pasien mengaku terkadang minum alkohol
dengan teman-temannya.
Pemeriksaan fisik Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk
Kesadaran : 456 menegakkan diagnosis banding dan mengidentifikasi pencetus. Selain
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan keluhan angina
Tekanan Darah : 147/92 mmHg (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri
Nadi : 40 x/menit reguler  60 On drip dada sebagai representasi SKA. Dari pemeriksaan fisik kemungkinan

87
Dopamin 5 mcg/kgbw/min hasilnya normal, namun pada pasien dengan area iskemia yang luas
RR : 20 x/menit bisa ditemukan irama gallop S3 atau S4, bisa juga terdengar suara
SpO2 : 99% 3 lpm NRBM 10 Lpm napas rales (PERKI, 2015).
BB : 50 kg
TB : 165 cm Tanda yang dapat ditemukan secara spesifik yaitu kenaikan JVP,
BMI : 18.4 kg/m2 hepato-jugular reflux, bunyi jantung ketiga (gallop), apical impulse
Kepala Leher : JVP +2 cmH2O bergeser kearah lateral. Tanda yang tidak spesifik antara lain kenaikan
Pulmo: berat badan >2kg per minggu, penurunan berat badan pada gagal
Auskultasi: jantung yang parah, tissue wasting, murmur pada cardiac, edema
suara nafas v v Rh - |- Wh - | - perifer, krepitasi pulmoner, efusi pleura, takikardi, nadi ireguler,
vv -|- -|- takipnea, respirasi cheyne stokes, hepatomegaly, asites, ekstremitas
vv -|- -|- dingin, oliguria, tekanan nadi yang pendek.
Cor: Iktus tidak terlihat, Palpable ICS V 1 cm lateral MCL
S
Abdomen: flat, soefl, BU (+) dalam batas normal,
epigastric pain (-),hepatomegali (-), splenomegaly (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-), pucat (-),
kemerahan (-), nyeri (-)

88
Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiografi Troponin T dan I
EKG Sandapan Kiri di RSUD Kota Malang, 14 Mei 2021 Troponin merupakan kompleks protein yang mengatur interaksi aktin-
(12.14 pm) myosin sel jantung. Saat terjadi kerusakan atau kematian sel, maka
STEMI Anteroseptal late onset with PAC and sinus arrest troponin akan menyebar ke sirkulasi darah perifer. Kadar troponin pada
and ventricular escaped rythm pasien IMA meningkat di dalam darah perifer 3-4 jam setelah awitan
infark dan menetap sampai 2 minggu (PERKI, 2018).
b. Pemeriksaan Marka Jantung dan Laboratorium Creatinine -MB fraction (CK-MB)
Troponin I = 78,5 μg/L (N : <1.0) akan meningkat dalam waktu 4-6 jam, mencapai puncaknya pada 12
CK-MB = 507 U/L (N : 7 – 25) jam, dan menetap sampai 2 hari (PERKI, 2018).
SGOT = 19 U/L (N : 0 – 40) Transaminase hati, terutama transaminase aspartat (AST), dapat
SGPT = 9 U/L (N : 0 – 41) digunakan pada cedera miokard dan nekrosis dengan terdapat elevasi
Leukosit = 11510 /μL (N : 4300 – 10300) AST dan ALT sering terjadi pada STEMI. Mayoritas pasien dengan
peningkatan nilai AST dan ALT kembali normal setelah keluar dari
C. pemeriksaan X-Ray
rumah sakit. (Lofthus et al, 2012).
Kesimpulan : Emphysematous of lung,
Jumlah sel darah putih (WBC) meningkat pada pasien dengan
Cardiomegaly dengan kongestif paru
sindrom koroner akut. Pasien dengan jumlah sel darah putih (WBC)
yang tinggi berada pada risiko kematian yang lebih tinggi dan AMI
berulang. Sehingga wbc merupakan alat sederhana dan murah untuk
stratifikasi risiko pada sindrom koroner akut.

Tujuan pemeriksaan ini adalah terkait diagnosis banding, identifikasi


komplikasi dan penyakit penyerta. Dari hasil pemeriksaan X-ray
didapatkan ukuran jantung membesar mengindikasikan adanya

89
kardiomegali.

Diagnosis Diagnosis STEMI ditetapkan dan dibedakan dari SKA lainnya


STEMI Anteroseptal Killip I  IV TIMI 3/14 GRACE 84 berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
post Primary PCI elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan biomarka jantung yang
telah dilakukan.

1. TIMI SCORE
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah 7 variabel untuk
memprediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada sindroma koroner
akut. Skor 3/14 resiko menengah, < 19,9 % kematian dalam 30 hari.

90
2. Killip
Klasifikasi risiko berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai
komplikasi infark miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan
tingkat mortalitas dalam 30 hari.

91
3. GRACE
Sistem penilaian risiko untuk mengestimasi mortalitas dalam selama
perawatan di rumah sakit (30 hari), 6 bulan, dan 3 tahun setelah
sindrom koroner akut.
Skor 84 artinya pasien dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap
mempunyai risiko rendah (risiko kematian <3%).

92
Terapi Tatalaksana awal adalah terapi yang diberikan kepada pasien dengan
NON FARMAKO diagnosis kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina
di ruang gawat darurat, sebelum adanya hasil dari pemeriksaan EKG
• Bedrest, semiflower position dan/atau biomarka jantung. Terapi awal yang diberikan adalah Morfin,
• O2 NC 4 Ipm
• Oral intake 1000cc/24 jam Oksigen, Nitrat, dan Aspirin (MONA), yang tidak harus diberikan
semuanya atau secara bersamaan ke pasien. Tatalaksana awal
FARMAKOLOGI
tersebut secara lebih jelasnya terdiri dari:

• Drip ISDN 5mg/jam • Tirah baring (Kelas I-C)

• PO aspirin 4x80 mg • direkomendasikan untuk mengukur saturasi oksigen perifer ,

• PO ticagrelor 180 mg JIKA <90% Beri oksigen

• PO MST 2x10 mg • Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang

• Atorvastatin PO 40 mg tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin

• Captopril 3 x 12.5 mg • Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate) : ticagrelor

93
• Bisoprolol postponedd yang dianjurkan adalah 180 mg
• Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat
reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).
• Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan
nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat
darurat (Kelas I-C). jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali
pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga
kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak
responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas I-C).
dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat
dipakai sebagai pengganti.
• Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit,
bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG
sublingual (kelas IIa-B) (PERKI, 2018).
ATORVASTATIN : merupakan golongan HMG CoA Reduktase
Inhibitor untuk menurunkan kadar lemak kolesterol

94
95
BAB 5
PENUTUP

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien


didagnosis gagal jantung akut dekompensasi wet and warm dengan faktor presipitan
hipertensi disertai dengan management diet yang buruk dan sindrom koroner akut
STEMI.
Pasien telah direncanakan untuk tatalaksana non farmakologis dan
farmakologis. Untuk kondisi gagal jantung, tatalaksana farmakologisnya berupa anti
hipertensi untuk mengontrol tekanan darah pasien. Sementara tatalaksana non
farmakologisnya berupa bedrest dengan semifowler position, memenuhi intake
cairan, O2 4 lpm NC dan IVFD NS 0,9% 500 ml/24 jam. Sedangkan untuk sindrom
koroner akut, tatalaksana farmakologis yang diberikan berupa aspilet, clopidogrel,
dan artovastatin.
Tingginya angka mortalitas akibat penyakit cardiovascular masih sangat
tinggi di dunia, maka sebagai dokter di fasilitas Kesehatan tingkat pertama perlu
pembelajaran mengenai gagal jantung, terutama dalam kondisi akut dekompensasi
Selain untuk mengatasi pasien akut, pemberian pengobatan yang tepat pada pasien
kronis juga penting untuk memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan
kualitas hidup pasien.

96
DAFTAR PUSTAKA

ACCF-AHA. 2013. Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial


Infarction
Amsterdam EA, Wenger NK, Brindis RG, Casey DE, Ganiats TG, Holmes DR, et al.
2014 . AHA/ACC guideline for the management of patients with non-st-
elevation acute coronary syndromes: A report of the American college of
cardiology/American heart association task force on practice guidelines
[Internet]. Vol. 130, Circulation. 2014. 26-8 p. Available from:
http://dx.doi.org/10.1161/CIR.0000000000000134
Bash E. Mayo Clinic Cardiology Concise Text Book. Murphy JG, editor. Mayo Clinic
Scientific Press; 2007. 781-93 p
Braunwald's Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. Tenth edition.
Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders, 2015.
Brian P. Griffin, MD, FACC. Manual of Cardiovascular Medicine.Fourth edittion.
Elsevier/Saunders, 2019.
Departemen Kesehatan RI. 2016. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit
Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta: 2016
ESC. 2017. Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation
ESC. 2012. Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-Segment Elevation
Favot M, Courage C, Ehrman R. Strain Echocardiography in Acute Cardiovascular
Diseases. West J Emerg Med [Internet]. 2016;XVII(January):54–60.
Available from: http://dx.doi.org/10.5811/westjem.2015.12.28521
Gamble JHP, Carlton E, Orr W, Greave K. High-Sensitivity Troponin [Internet].
Medscape. 2013. Available from: Sindroma Koroner Akut v.1.1 rev.docx
Kurz K, Giannitsis E, Becker M, Hess G, Zdunek D, Katus HA. Comparison of the
new high sensitive cardiac troponin T with myoglobin, h-FABP and cTnT for
early identification of myocardial necrosis in the acute coronary syndrome.
Clin Res Cardiol [Internet]. 2011;100(3):209–15. Available from:
http://dx.doi.org/10.1007/s00392-010-0230-y

97
Kones R. Oxygen therapy for acute myocardial infarctionthen and now. A century of
uncertainty. Am J Med [Internet]. 2011;124(11):1000–5. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.amjmed.2011.04.03
Lilly, L. S. (2016). Pathophysiology of heart disease: A collaborative project of
medical students and faculty. Philadelphia: Wolters Kluwer.
Mechanic, O. J., Gavin, M., & Grossman, S. A. (2021). Acute Myocardial Infarction.
https://doi.org/10.1016/B978-0-323-39226-6.00018-7
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.2018. Pedoman
Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Edisi Ke-4
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.2016. Panduan Praktik
Klinis (Ppk) Dan Clinical Pathway (Cp) Penyakit Jantung Dan Pembuluh
Darah Edisi Pertama. ISBN 978-602-7885-43-1
Ponikowski, P., et al. 2016. ESC Guidelines for The Diagnosis and Treatment of
Acute and Chronic Heart Failure, European Heart Journal, 37: 2129-2200
Singh A, Museedi AS, Grossman SA. Acute Coronary Syndrome. [Updated 2020 Jul
17]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2021 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459157/
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
Stub D, Smith K, Bernard S, Nehme Z, Stephenson M, Bray JE, et al. Air versus
oxygen in ST-segment-elevation myocardial infarction. Circulation [Internet].
2015;131(24):2143–50. Available from:
http://dx.doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.114.014494
Tiara Pramadiaz, A., Fadil, M., & Mulyani, H. (2016). Hubungan Faktor Risiko
Terhadap Kejadian Sindroma Koroner Akut pada Pasien Dewasa Muda di
RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(2), 330–337.
https://doi.org/10.25077/jka.v5i2.517

98

Anda mungkin juga menyukai