Anda di halaman 1dari 60

UNIVERSITAS INDONESIA

MATAKULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


MAKALAH
SISTEM KARDIOVASKULAR DAN KASUS
PENYAKIT KARDIOVAKULAR CBL 3
Disusun oleh

FOCUS GROUP 1:

Elisa 1806139960
Elok Dwi Oktaviana 1806139973
Lulu Khairunnisa 1806140092
Nurul Rizkia 1806203332
Rahmahwati 1806203761
Shafa Rizqitha Utami 1806203326
Syifa Fauziah Hidayatul H 1806140376
Zaharo Ramadita Salsabila 1806203282

MATAKULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH KELAS B


PROGRAM S1 2018 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
DEPOK
2020

Kata Pengantar

Puji syukur senantiasa kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena
curahan rahmat serta karunianya lah kami akhirnya sampai pada tahap
menyelesaikan makalah dengan tema “Keperawatan Medikal Bedah”. Kami
sekaligus pula menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-banyaknya untuk
Tuti Herawati, SKp., MN selaku dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah
Kelas B yang telah menyerahkan kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan
makalah ini. Kami sungguh-sungguh berharap sekali makalah ini bisa berguna
pada tujuan untuk meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan terkait
keperawatan medikal bedah.

Kami juga sadar bahwa pada makalah ini tetap ditemukan banyak
kekurangan serta jauh dari kesempurnaan.Dengan demikian, kami benar benar
menantinya adanya kritik dan saran untuk perbaikan makalah yang hendak kami
tulis di masa yang selanjutnya, menyadari tidak ada suatu hal yang sempurna
tanpa disertai saran yang konstruktif.Kami berharap makalah sederhana ini bisa
dimengerti oleh setiap pihak terutama untuk para pembaca.Kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya jika ada perkataan yang tidak berkenan di hati.

Depok, 27 April 2020

Penyusun,

2
Daftar Isi

Kata Pengantar......................................................................................................2
Daftar Isi.................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................4
1.1. Latar Belakang........................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................4
BAB II ISI...............................................................................................................7
2.1 Anatomi Jantung.....................................................................................7
2.2 Perdarahan di Jantung.........................................................................11
2.3 Aktivitas Listrik Jantung......................................................................12
2.4 Mekanisme Siklus Jantung...................................................................14
2.5 Curah Jantung dan Faktor yang Mempengaruhinya........................15
2.6 Faktor yang Mempengaruhi Kerja Jantung.......................................19
2.7 Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah.....................................23
2.8 Kasus atau Penyakit akibat Gangguan Kelistrikan, Gangguan
Mekanisme Jantung, dan Gangguan Tekanan Darah..................................26
2.9 Etiologi Sindrom Koroner Akut..........................................................29
2.10 Lokasi Infark Miokard.........................................................................30
2.11 Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut................................................30
2.12 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut...................................................32
2.13 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut......................................................32
2.14 Manifestasi Klinis Sindrom Koroner Akut.........................................34
2.15 Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut...........................................35
2.16 Pengkajian Sindrom Koroner Akut....................................................42
2.17 Asuhan Keperawatan Sindrom Koroner Akut...................................44
BAB III PENUTUP..............................................................................................55
3.1. Kesimpulan............................................................................................55
3.2. Saran.......................................................................................................56
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................57

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sistem kardiovaskuler (cardiovascular; cardia = jantung, vascular =
pembuluh darah) merupakan suatu sistem dalam tubuh yang secara umum
berperan mengedarkan darah keseluruh tubuh, sekaligus membawa oksigen
dan nutrisi ke semua jaringan tubuh serta mengangkut semua zat buangan
(Chalik, 2016). Sistem kardiovaskuler melibatkan tiga komponen dalam
tubuh, yakni jantung, darah, dan pembuluh darah. Semua komponen ini
saling berkaitan satu sama lain. Jika diibaratkan maka seperti sistem
pengairan di rumah tangga, dimana organ jantung berperan sebagai pompa
dan pembuluh darah berperan sebagai salurannya atau pipanya.
Salah satu masalah yang terjadi pada sistem kardiovaskuler adalah
Sindrom Koroner Akut (SKA). Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2018, penyakit jantung koroner yang termasuk dalam
sindrom koroner akut adalah penyebab kematian paling banyak setelah stroke
dan hipertensi. Sindrom koroner akut merupakan sekumpulan gejala yang
diakibatkan oleh gangguan aliran darah pembuluh darah koroner secara akut.
Umumnya disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah koroner akibat
kerak aterosklerosis yang mengalami robekan dan memicu terjadinya
gumpalan-gumpalan darah (thrombosis) (Erik, 2005)

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana anatomi jantung?
2. Bagaimana pendarahan di jantung?
3. Bagaimana aktivitas listrik pada jantung?
4. Bagaimana mekanisme siklus jantung?

4
5. Bagaimana curah jantung dan faktor yang memengaruhinya?
6. Apa saja faktor yang memengaruhi kerja jantung?
7. Apa saja faktor yang memengaruhi tekanan darah?
8. Apa saja kasus atau penyakit akibat gangguan kelistrikan, gangguan
mekanisme jantung, dan gangguan tekanan darah?
9. Bagaimana etiologi sindrom koroner akut?
10. Dimana lokasi infark miokard pada sindrom koroner akut?
11. Apa saja faktor risiko sindrom koroner akut?
12. Bagaimana patofisiologi sindrom koroner akut?
13. Bagaimana klasifikasi sindrom koroner akut?
14. Bagaimana manifestasi klinik sindrom koroner akut?
15. Bagaimana penatalaksanaan sindrom koroner akut?
16. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan DX : Nyeri akut?
17. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan DX : Ansietas?
18. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan DX : Defisiensi
pengetahuan?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Menjelaskan anatomi jantung
2. Memaparkan pendarahan di jantung
3. Menjelaskan aktivitas listrik pada jantung
4. Menjelaskan mekanisme siklus jantung
5. Menjelaskan curah jantung dan faktor yang memengaruhinya
6. Menjelaskan faktor yang memengaruhi kerja jantung
7. Menjelaskan faktor yang memengaruhi tekanan darah
8. Memaparkan kasus atau penyakit akibat gangguan kelistrikan, gangguan
mekanisme jantung, dan gangguan tekanan darah
9. Menjelaskan etiologi sindrom koroner akut
10. Menjelaskan lokasi infark miokard pada sindrom koroner akut
11. Menjelaskan faktor risiko sindrom koroner akut
12. Menjelaskan patofisiologi sindrom koroner akut
13. Menjelaskan klasifikasi sindrom koroner akut

5
14. Menjelaskan manifestasi klinik sindrom koroner akut
15. Mnejelaskan penatalaksanaan sindrom koroner akut
16. Menjelaskan asuhan keperawatan pasien dengan DX : Nyeri akut
17. Menjelaskan asuhan keperawatan pasien dengan DX : Ansietas
18. Mnejelaskan asuhan keperawatan pasien dengan DX : Defisiensi
pengetahuan

6
BAB II

ISI

2.1 Anatomi Jantung


a. Letak Jantung (Anatomi Eksternal)

(VanPutte et al, 2015)


Jantung terletak di rongga toraks (dada) di sekitar garis tengah antara
sternum (tulang dada) di sebelah anterior dan vertebra (belakang) di
posterior. Jantung memiliki dasar lebar di atas dan meruncing membentuk
titik di ujung bawah yang disebut apeks. Jantung terletak di sudut di bawah
sternum sehingga bagian dasarnya terletak di kanan dan apeks di kiri
sternum (VanPutte et al, 2015).
b. Dinding Jantung

7
a. Pericardium
Membran yang mengelilingi dan melindungi jantung. Berfungsi untuk
menahan posisi jantung di mediastinum, tetapi tetap memberi kebebasan
bagi jantung untuk bergerak dalam kontraksi. Pericardium tersusun atas:

1) Pericardium fibrosa yang berfungsi untuk mencegah peregangan


jantung berlebihan, proteksi, dan menjaga posisi jantung

2) Pericardium serosa membentuk dua lapisan tipis yaitu parietal dan


visceral. Lapisan visceral dari pericardium dinamakan epicardium.
Antara lapisan parietal dan visceral terdapat rongga perikardial, yang
berisikan beberapa mililiter cairan pelumas perikardial untuk
mencegah gesekan (friksi) antar lapisan ketika jantung berkontraksi.

b. Miokardium

Lapisan yang tersusun atas sel-sel otot jantung yang berperan besar dalam
memompa darah. Miokardium merupakan lapisan dimana terjadi
kontraksi. Selain tersusun atas sel otot jantung, di dalam myokardium juga
terdapat saraf dan pembuluh darah

c. Endocardium

Lapisan terdalam yang tersusun atas lapisan tipis endotelium. Berfungsi


untuk menutupi area ruang jantung dan katup jantung. Endotelium pada
endocardium berfungsi untuk mengurangi terjadinya friksi atau gesekan
ketika darah memasuki jantung

c. Ruang Jantung

8
(VanPutte et al, 2015)

a. Atrium Kanan

Atrium kanan memiliki dinding tipis. Atrium kanan berfungsi sebagai


tempat penyimpanan darah dan sebagai penyalur darah dari vena
sirkulasi sistemik yang mengalir ke ventrikel kanan (VanPutte et al,
2015). Menerima darah dari tiga vena:

1) Vena cava superior

2) Vena cava inferior

3) Sinus koronaria
Atrium kanan dan kiri dibatasi oleh septum yang dinamakan interatrial
septum. Darah mengalir dari atrium kanan menuju ventrikel kanan
melalui katup atrioventrikular yaitu katup trikuspidalis (VanPutte et al,
2015).
b. Ventrikel Kanan

Ventrikel kanan berbentuk bulan sabit. Berfungsi untuk menghasilkan


kontraksi bertekanan rendah yang cukup untuk mengalirkan darah ke
dalam arteri pulmonalis (VanPutte et al, 2015). Ventrikel kanan
memiliki chordae tendineae yang berfungsi untuk menghubungkan
katup trikuspidalis dengan papilary muscles. Ventrikel kanan dan kiri
dibatas oleh interventrikular septum. Darah meninggalkan ventrikel
kanan melalui katup pulmonic menuju trunkus pulmonalis yang akan
bercabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri.

9
c. Atrium Kiri

Atrium kiri memiliki ketebalan yang hampir sama dengan atrium


kanan dan membentuk hampir keseluruhan pangkal dari jantung
(VanPutte et al, 2015). Atrium kiri memiliki fungsi untuk menerima
darah teroksigenasi dari paru-paru melalui keempat vena pulmonalis
Darah meninggalkan atrium kiri menuju ventrikel kiri melalui katup
yang dinamakan katup bikuspidalis.

d. Ventrikel Kiri

Ventrikel kiri merupakan ruang jantung yang memiliki lapisan paling


tebal dan membentuk sebagian besar apeks jantung (VanPutte et al,
2015). Berguna untuk memompa darah ke seluruh tubuh serta
mempertahankan aliran darah ke jaringan perifer.

d. Katup Jantung

(Sherwood, 2013)

a. Katup atriventrikular (AV)

Katup ini memisahkan antara atrium dan ventrikel sisi kanan dan kiri.
Katup ini membiarkan darah mengalir dari atrium ke dalam ventrikel
selama masa pengisian ventrikel (ketika tekanan atrium melebihi
tekanan ventrikel) tetapi mencegah aliran balik darah dari ventrikel ke

10
dalam atrium sewaktu pengosongan ventrikel (ketika tekanan ventrikel
jauh melebihi tekanan atrium) (Sherwood, 2013).

Terbagi atas:

1) Katup AV kanan (katup trikuspidalis). Terdiri dari tiga daun katup.

2) Katup AV kiri (katup mitral atau katup bikuspidalis). Terdiri dari


dua daun katup.

b. Katup Semilunaris (SL)

Katup semilunaris terdiri atas:

1) Katup aorta

2) Katup pulmonalis, terletak di pertemuan arteri besar yang


meninggalkan ventrikel.

Katup ini terbuka ketika tekanan ventrikel kiri dan kanan melebihi tekanan
di aorta dan arteri pulmonalis sewaktu kontraksi dan pengosongan
ventrikel. Mencegah aliran balik darah dari ventrikel (Sherwood, 2013).

2.2 Perdarahan di Jantung


Otot Jantung membutuhkan suplai darah yang kaya oksigen untuk
memenuhi kebutuhan metaboliknya. Arteri coroner dekstra dan sinistra
bercabang dari aorta tepat dibawah katup aorta, mengelilingi jantung dan
menembus ke miokardium. Kontraksi otot jantung ventrikel kiri
menghasilkan tekanan ekstravaskuler yang menyumbat pembuluh darah
coroner dan mencegah darah mengalir kek otot jantung saat sistolik.
Dengan demikian sekitar 75% aliran darah arteri coroner terjadi selama
diastolic ketika jantung relaksasi dan mempunyai tahanan/resisteansi yang
rendah. Aliran darah arteri coroner dapat adekuat jika tekanan diastolic
sekurang kurangnya 60mmhg. Peningkatanaliran darah coroner meningkat
seiring dengan peningkatan kerja jantung seperti latihan fisik. Vena
coroner mengembalikkan darah dari sebagian besar miokardium ke sinus
coroner atrium kanan.

11
Adapun pembuluh darah yang memperdarai jantung yakni

• Vena kava superior menerima darah dari bagian atas leher dan
kepala.
• Vena azigos: vena yang mengalir di sisi tulang belakang toraks yang
mengalirkan darah ke arah vena cava superior, bersatu pada
permukaan belakang vena kava superior sebelum masuk ke
pericardium.
• Vena kava inferior menerima darah dari alat-alat tubuh bagian
bawah menembus sentrum tendineum setinggi vertebrae torakal,
masuk ke bagian terbawah atrium dekstra
• Arteri koronaria kanan yang mengurus distribusi nutrisi dan darah
daerah otot jantung kanan depan dan belakang serta otot jantung kiri
bagian belakang bawah berhadapan dengan diafragma.
• Arteri intraventricular anterior memberi darah untuk otot jantung
kiri depan dan septum jantung, mengurus distribusi darah untuk
daerah otot jantung kiri bagian lateral kiri dan otot jantung kiri bagian
posterior.
• Arteri koronaria kanan yang mengurus distribusi nutrisi dan darah
daerah otot jantung kanan depan dan belakang serta otot jantung kiri
bagian belakang bawah berhadapan dengan diafragma.
Arteri intraventricular anterior memberi darah untuk otot jantung
kiri depan dan septum jantung, mengurus distribusi darah untuk
daerah otot jantung kiri bagian lateral kiri dan otot jantung kiri bagian
posterior.
2.3 Aktivitas Listrik Jantung
Kontraksi sel otot jantung terjadi oleh adanya potensial aksi yang
dihantarkan sepanjang membran sel otot jantung. Kontraksi jantung atau
denyut jantung merupakan hasil dari potensial aksi yang disebut dengan
autoritmik. Terdapat dua tipe dari sel otot jantung, yaitu sel kontratil,
dimana 99% merupakan sel otot jantung yang bekerja melakukan pompa
pada jantung, dan sel autoritmik, dimana sel otot ini tidak berkontraksi
namun diinisiasi dan dikonsuksi oleh potensial aksi untuk kontraksi pada

12
kerja sel (Sherwood, 2013). Adapun elemen dari sistem konduksi pada
jantung, yaitu nodus sinoatrial (SA) yang berada di dinding posterior
atrium kanan, tepat dibawah pembukaan vena cava superior dan mengatur
frekuensi kontraksi irama sehingga disebut pemacu jantung. Nodus SA
yang tidak bekerja dengan baik akan menghasilkan detak jantung yang
tidak normal. Ventrikel akan tetap berkontraksi dengan impuls yang
berasal dari nodus AV namun detak jantung yang dihasilkan akan lebih
lemah. Selanjutnya, ada nodus atrioventricular (AV) yang berada di bawah
dinding posterior atrium kanan, bekerja saat ejeksi darah atrium selesai
sebelum terjadi kontraksi ventricular. Selanjutnya, ada serabut purkinje
yang merupakan serat-serat halus terminal yang menjulur ke seluruh
miokardium ventrikel. Adapun berkas his yang merupakan sekelompok
besar serabut Purkinje yang berasal dari simpul AV dan membawa impuls
di sepanjang septum interventrikular menuju ventrikel (Tortora &
Derrickson, 2012).

Kejadian elektrikal pada jantung cukup kuat untuk dideteksi


dengan nodus elektro yang terjadi di dalalm tubuh. Perekaman kejadian
tersebut dilakukan dengan Elektrogram yang juga disebut EKG. Setiap
detak jantung, gelombang depolarisasi menyebar ke atrial, berhenti
sementara pada nodus atrioventricular, selanjutnya menyebar turun pada
sektum interventrikular menuju apex, memutar, dan menyebar ke
ventricular miokardium menuju base (Martini, Nath, & Bartholomew,
2012). Pada praktik klinik, posisi elektrodaberada di lengan, kaki, dan
dada yang berada di enam posisi pada perekaman EKG. Dengan
membandingkan rekaman yang normal dengan yang lain, hal yang

13
mungkin terjadi ialah jika jalannya konduksi tidak normal, jika terjadi
pembesaran jantung, jika daerah tertentu mengalami kerusakan, dan terjadi
nyeri dada (Tortora & Derrickson, 2012).
Pada tipe perekaman, terdapat tiga gelombang yang dibaca secara
jelas pada setiap detak jantung. Pertama, disebut dengan gelobang P yang
merupakan defleksi kecil keatas pada EKG. Gelombang P mewakili
depolarisasi atrium, yang menyebar dari SA node melalui serat kontraktil
di kedua atrium dan juga terjadi kontraksi pada atrium dan pengisian
ventrikel . Gelombang kedua, disebut QRS kompleks, dimulai sebagai
defleksi ke bawah, berlanjut sebagai besar, gelombang tegak, segitiga, dan
berakhir sebagai gelombang ke bawah. Kompleks QRS mewakili
depolarisasi ventrikel cepat, sebagai aksinya potensi penyebaran melalui
serat kontraktil ventrikel dan juga kontraksi isovolumic ventrikel dan
pemompaan ventrikel. Gelombang ketiga adalah defleksi ke atas berbentuk
kubah yang disebut gelombang T.Ini menunjukkan repolarisasi ventrikel
dan terjadi seperti ventrikel mulai rileks dan juga relaksasi isovolumik dan
pengisian ventrikel. Gelombang T lebih kecil dan lebih luas daripada
kompleks QRS karena repolarisasi terjadi lebih lambat dari depolarisasi.
Selama periode plateau depolarisasi stabil, pelacakan EKG datar. Adapun
Segmen PR yang merupakan jeda/penundaan nodus AV dan Segmen ST
yaitu tidak adanya transmisi impuls karena periode refrakter di sel otot
jantung (Tortora & Derrickson, 2012).

Dalam membaca EKG, ukuran gelombang dapat memberikan


petunjuk kelainan. Gelombang P yang lebih besar menunjukkan

14
pembesaran atrium; gelombang Q yang membesar dapat mengindikasikan
infark miokard; dan sebuah gelombang R yang diperbesar umumnya
menunjukkan ventrikel yang membesar. Gelombang T lebih datar dari
biasanya ketika otot jantung menerima kekurangan oksigen seperti pada
penyakit arteri koroner. Gelombang T dapat meningkat pada hiperkalemia
(darah tinggi Level K+) (Tortora & Derrickson, 2012).
2.4 Mekanisme Siklus Jantung
Siklus jantung adalah interval dari akhir satu kontraksi jantung ke
akhir kontraksi berikutnya. Abbas (dalam Puspasari, 2015), menyebutkan
jika siklus jantung terdiri dari dua periode, yaitu sistol dan diastol.
Pengisian darah di dalam ruang-ruang jantung terjadi selama diastol
('diastolic filling') dan pengeluarannya terjadi selama sistol ('sistolic
ejection') (Ronny & Fatimah, 2010).
Selama sistol, ventrikel berkontraksi dan mengeluarkan darah dari
ventrikel kiri ke aorta dan dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis.
Selama diastol ventrikel rileks, dan atrium berkontraksi untuk
memindahkan darah ke ventrikel dan mengisi arteri koroner (Potter, et al.,
2013).
Puspasari (2015), mengemukakan mekanisme siklus jantung
sebagai berikut, dimulai dari penutupan katup mitral dan trikuspid yang
memicu terjadinya sistol ventrikel. Periode sistolik dibagi menjadi dua.
Pada periode sistolik pertama terjadi peningkatan tekanan ventrikel
pertama kali setelah katup mitral dan trikuspid menutup. Hal ini dikenal
sebagai fase kontraksi isovolumik. Selanjutnya, diikuti ejeksi ventrikel
cepat yang terjadi ketika tekanan ventrikel melebihi tekanan dalam aorta
dan arteri pulmonal sehingga katup aorta dan pulmonal membuka dan
menyebabkan darah keluar dengan cepat dari ventrikel. Pada periode
sistolik ventrikel kedua, tekanan ventrikel akan turun dan ejeksi ventrikel
akan berkurang. Periode ini berlangsung sampai ejeksi ventrikel berhenti
dan dimulainya periode diastol ventrikel.
Diastol ventrikel terjadi setelah penutupan katup aorta dan
pulmonal. Periode diastolik dibagi dalam tiga fase. Pada awal fase, tidak

15
ada darah yang memasuki ventrikel, sehingga volumenya tidak bertambah.
Keadaan ini dikenal sebagai fase relaksasi isovolumik. Apabila tekanan
atrium melebihi tekanan ventrikel, maka katup mitral dan trikuspid akan
membuka dan darah akan memasuki ventrikel dengan cepat sehingga
disebut fase pengisian cepat. Pada pertengahan periode diastolik, hampir
tidak ada aliran ke dalam ventrikel atau atrium dan ventrikel dalam
keadaan relaksasi. Kemudian, akhir periode diastolik dilanjutkan dengan
kontraksi atrium dan darah yang tersisa akan keluar dari atrium. Keadaan
ini disebut sebagai fase pengisian lambat.
2.5 Curah Jantung dan Faktor yang Mempengaruhinya
Curah jantung disebut juga cardiac output (CO), yaitu jumlah
darah yang dipompa atau dikeluarkan dari setiap ventrikel dalam satu
menit (Williams & Hopper, 2015). Pengaturan curah jantung bergantung
pada hasil perkalian denyut jantung (heart rate) dengan volume sekuncup
(stroke volume).
Heart rate (HR) adalah jumlah kontraksi ventrikel per menit yang
dapat ditentukan oleh aukultasi jantung atau palpasi denyut nadi (White at
al, 2013). Ventrikel akan memompa darah sekitar 60-80 mL setiap jantung
berdetak. Setiap ventrikel berisi sekitar 140 mL darah pada akhir diastolic
(end-diastolic volume [EDV]) (Black, Joyce, & Hawks, 2014). Sedangkan
volume darah yang dikeluarkan dari ventrikel kiri setiap kontraksi atau
sistol dikenal sebagai stroke volume (SV) (White et al, 2013). Normalnya
saat sistolik jantung mengeluarkan setengah volume saat EDV, yaitu sekitr
70 mL. Ukuran efisiensi ventrikel disebut juga fraction ejection atau
persentase volume darah akhir diastolik yang dikeluarkan dengan setiap
detak jantung (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Fraksi ejeksi
normalnya merupakan 55% - 70% dari jumlah total darah dlm ventrikel
kiri yang dikelurkan/detak jantung

Perhitungan Curah Jantung

16
CO = [EDV-ESV] x HR

Keterangan

CO = Cardiac output/curah jantung

EDV = Akhir diastolik ventrikel

ESV = Akhir sistolik ventrikel

HR = Heart rate/denyut jantung

Faktor yang Memengaruhi Curah Jantung

 Control of Heart Rate (HR)

Curah jantung harus responsive terhadap perubahan kebutuhan


metabolic jaringan. Perubahan ini menyebabkan perubahan baik pada
heart rate dan stroke volume. Perubahan heart rate terjadi karena
adanya kontrol refleks yang dimediasi oleh saraf otonom (simpatik
dan parasimpatik). Impuls parasimpatis yang bergerak ke jantung
melalui vagus nerve akan memperlambat laju jantung. Sebaliknya
impuls simpatis mepercepat laju jantung melalui peningkatan tingkat
sirkulasi katekolamin dan kelebihan hormon tiroid. Stimulasi ini
memiliki efek meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas pada
jantung dan (vasokontriksi) pada pembuluh darah yang kemudian
akan meningkatkan isi sekuncup. Selain itu heart rate juga
dipengaruhi sistem saraf pusat dan aktivitas baroreseptor yang sensitif
terhadap perubahan tekanan darah atau blood pressure (BP)

Contoh saat terjadi significant elevation pada tekanan darah


(hipertensi), baroreseptor akan meningkatkan tingkat dischargenya.
Impuls tersebut akan dikirim ke medulla serebral yang akan
menginisiasi aktvitas parasimpatik dan mengambat respon simpatik
yang akan menghasilkan efek penurunan heart rate dan tekanan darah.
Sebaliknya saat terjadi hipotensi, stimulasi baroreseptor akan
berkurang atau sedikit. Impuls tersebut akan dikirim ke medulla

17
serebral yang akan mendorong penurunan atau penghambatan
parasimpatis di SA Node dan meningkatkan respon simpatis yang
akan mengalami vasokonstriksi yang menghasilkan peningakatan
denyut jantung dan tekanan darah

 Control of Stroke Volume (SV)


1. Preload
Preload adalah derajat regangan serat otot ventrikel pada akhir diastol
(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010) atau panjang serabut
miokardium ventrikel kiri pada akhir diastolik (Black, Joyce, &
Hawks, 2014). Periode akhir diastole merupakan periode pengisian
darah di ventrikel yang paling tinggi dan tingkat regangan serat otot
(miokardium) terbesar. Volume darah di ventikel saat akhir diastol
menentukan preload yang memengaruhi stroke volume (SV). Disebut
juga left ventricular end-diastolic pressure (LVEDP)/ tekanan
diastolik akhir ventrikel kiri (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,
2010). Hal ini berhubungan dengan Hukum Frank-Starling yang
menyatakan jika serabut miokardium semakin teregang, maka
kontraksi ventrikel juga akan semakin besar. Faktor pengurang atau
penghambat preload diantaranya yaitu diuresis, agen venodilatasi
(contoh: nitrat), kehilangan banyak darah, dan dehidrasi (muntah,
diare, diaforesis). Sedangkan faktor peningkat preload yaitu melalui
peningkatan sirkulasi darah ke ventrikel, contohnya kontrol
kehilangan darah atau cairan tubuh (transfusi darah dan pemberian
IV).
2. Afterload
Afterload adalah hambatan ventrikel kiri untuk mengeluarkan darah
(jumlah tekanan yang dibutuhkan ventrikel kiri untuk membuka katup
aorta selama sistolik atau pengeluaran darah) (Black, Joyce, & Hawks,
2014). Afterload adalah resitensi pengeluaran darah dari ventrikel
(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Afterload berhubungan
dengan tekanan darah arteri dan karakteristik katup dan berbanding
terbalik dengan stroke volume (Black, Joyce, & Hawks, 2014).

18
Semakin tinggi tekanan darah arteri, jantung harus bekerja lebih keras
untuk memompa darah ke sirkulasi. Jika afterload meningkat karena
vasokonstriksi perifer (meningkatkan tekanan darah arteri), serabut
miokardium memendek dan ejeksi darah berkurang, ventrikel tidak
dapat memompa stroke volume normal.
3. Kontraktilitas
Kontraktilitas adalah Kekuatan yang dihasilkan oleh kontraksi
miokardium (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Status
kontaktilitas (inotropik) merupakan kekuatan kontraksi tanpa
memperhatikan volume darahnya (preload) (Black, Joyce, & Hawks,
2014). Peningkatan kontraktilitas menghasilkan peningkatan stroke
volume. Jantung akan mencapai peningkatan SV jika preload
meningkat (melalui peningkatan aliran balik vena), kontraktilitas
meningkat (melalui pelepasan sistem simpatis), dan afterload
berkurang (melalui vasodilatasi perifer dengan penurunan tekanan
aorta). Ukuran kontraktilitas umunya dinilai dari fraksi ejeksi. Fraksi
ejeksi ventrikel kiri normal sekitar 55%-65%. Fraksi ejeksi kurang
dari 40% mengindikasikan bahwa pasien mengalami penurunan fungsi
ventrikel kiri dan kemungkinan memerlukan perawatan untuk gagal
jantung (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).

Peningkatan kontraktilitas dipengaruhi sirkulasi katekolamin,


aktivitas saraf simpatik, dan obat-obatan tertentu, misalnya, digoxin
[Lanoxin], dopamin [Intropin], atau dobutamine [Dobutrex].
Sedangkan penurunan kontraktilitas disebabkan oleh adanya faktor
hipoksemia, asidosis, dan obat-obatan tertentu (misalnya agen
penghambat beta-adrenergik seperti atenolol [Tenormin].

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Kerja Jantung


Beberapa faktor disebut sebagai faktor resiko karena ketika faktor
tersebut muncul dapat meningkatkan resiko CVD (Cardiovacular
Desease). Faktor resiko ini dikelompokkan menjadi faktor yang tidak

19
dapat dimodifikasi (tidak dapat dikurangi) dan faktor yang dapat
dimodifikasi (dapat dikurangi).
a. Faktor Risiko Nonmodifikasi
1. Faktor keturunan, jika klien memiliki orang tua dengan penyakit
jantung maka klien tersebut berisiko lebih tinggi terhadap CVD. Selain
itu terdapat anggota ras atau etnik tertentu (Afrika-Amerika) memiliki
risiko lebih tinggi terkena CVD. Sekarang ini, tingkat kesejahteraan
antara orang kulit hitam dengan kulit putih di A.S. sudah banyak yang
setara. Namun, ditemukan bahwa risiko penyakit jantung pada orang
kulit hitam Amerika (Afro-Amerika) lebih tinggi dari kulit putih. Dr.
Lewis mengatakan, hampir setengah orang Afro-Amerika memiliki
penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan sekitar sepertiga
populasi orang dewasa berkulit putih. Perbedaan genetik yang
menyebabkan Afro-Amerika cenderung mendapat tekanan darah tinggi
mungkin memainkan peran. Beberapa peneliti menduga bahwa orang-
orang yang tinggal di kawasan Afrika mengembangkan kecenderungan
genetik sensitif garam, yang berarti tubuh mereka lebih menyimpan
garam. Kondisi ini meningkatkan volume darah yang pada gilirannya
meningkatkan tekanan darah.
2. Faktor usia, pada usia 60 keatas lebih berpengaruh terhadap gangguan
kardiovaskular. Namun, penelitian menunjukkan bahwa perilaku gaya
hidup merupakan faktor utama terkait dengan CVD (misalnya pola
makan, aktivitas fisik, dan penggunaan tembakau). Apabila dari awal
saat masa kanak sudah diterapkan gaya hidup baik hal ini akan
mempengaruhi perkembangan kedepannya.
3. Faktor jenis kelamin, hormon estrogen yang terdapat pada wanita
dapat memperlambat perkembangan aterosklerosis dan mengurangi
risiko CVD. Efek ini hilang saat menopause, dan wanita
pascamenopause memiliki risiko yang sama untuk CVD seperti pria.
Namun, Kuznar (2010) mencatat dua penelitian terbaru mengenai tren
spesifik gender dalam penyakit jantung, ia mengungkapkan bahwa

20
faktor risiko kardiovaskular pada wanita sementara masih lebih rendah
daripada pria.
b. Faktor Risiko Modifikasi Tradisional
1. Peningkatan kadar lipid serum. Ada hubungan yang kuat antara
peningkatan kadar lipid serum dan terhadap CVD. Gangguan lipid,
juga disebut dislipidemia, adalah kelainan metabolisme lipoprotein
dan termasuk peningkatan kolesterol total, kolesterol LDL, atau
trigliserida; atau defisiensi kolesterol HDL. Asupan lemak jenuh pada
diet yang tinggi dapat meningkatkan kadar LDL total, dan asupan
asam lemak tak jenuh ganda menurunkan total LDL pada sebagian
besar individu.
Penelitian menunjukkan bahwa asam trans-lemak (mis. Mentega, stik
margarin, makanan yang digoreng) meningkatkan kadar LDL dan
menurunkan kadar HDL, menghasilkan peningkatan kolesterol total.
The American Heart Association (AHA) (2010) merekomendasikan
bahwa antara 30% dan 35% dari total kalori berasal dari lemak untuk
orang dewasa dan antara 25% dan 35% untuk anak-anak dan remaja.
Lemak harus berasal dari asam lemak tak jenuh ganda dan tak jenuh
tunggal, seperti ikan, kacang-kacangan, dan minyak sayur.
2. Hipertensi. Dapat meningkatkan risiko CVD yaitu:
a. meningkatkan beban kerja jantung, meningkatkan kebutuhan
oksigen dan aliran darah koroner. Peningkatan beban kerja juga
menyebabkan hipertrofi ventrikel. Seiring waktu, ini dapat
berkontribusi pada gagal jantung.
3. hipertensi menyebabkan kerusakan endotel pada pembuluh darah,
yang merangsang perkembangan aterosklerosis. Plak aterosklerotik
pada gilirannya menyebabkan memburuknya hipertensi dengan
mempersempit lumen pembuluh dan mengurangi elastisitas pembuluh
darah. Oleh karena itu, ada hubungan siklus antara kedua kondisi ini
yang memperbesar risiko orang yang terkena CVD.
4. Merokok. Sistem kardiovaskular dipengaruhi oleh merokok. Nikotin
meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, dan resistensi pembuluh

21
darah perifer, meningkatkan beban kerja jantung. Merokok
menyebabkan vasokonstriksi, dan di daerah di mana pembuluh sudah
dipersempit oleh aterosklerosis, oksigenasi jaringan dapat terganggu.
5. Diabetes. Diabetes mellitus meningkatkan risiko CVD dan myocardial
infarction (MI). Hughes dan Dennison (2009) melaporkan bahwa
"orang dengan diabetes 2 sampai 4 kali lebih mungkin untuk
mengalami MI atau stroke daripada orang tanpa diabetes dan,
sayangnya, 2 dari 3 orang dengan diabetes akan meninggal karena
CVD" (p. 426) . Kadar glukosa darah tinggi dikaitkan dengan
percepatan perkembangan aterosklerosis serta kadar lipid dan
trigliserida serum yang tinggi.
6. Obesitas. Merupakan masalah utama, obesitas dapat mengalami
peningkatan karena perkembangannya dengan CVD. Obesitas sering
dikaitkan dengan gumpalan darah yang lebih tinggi karena terlalu
banyak tekanan yang disebabkan oleh tekanan darah tinggi. Selain itu,
obesitas menambah beban kerja pada jantung, yang meningkatkan
kebutuhan oksigen. Penelitian telah menunjukkan bahwa setiap orang
yang gemuk mengalami peningkatan gagal jantung dan kematian.
7. Gaya Hidup Sedenter. Aktivitas fisik rutin dikaitkan dengan
pengurangan risiko kematian akibat CVD, sedangkan gaya hidup yang
tidak bergerak dikaitkan dengan peningkatan risiko. Latihan atau
aktivitas fisik meningkatkan denyut jantung dan pasokan oksigen
dalam tubuh. Dengan olahraga berat yang teratur, otot jantung
menjadi lebih kuat dan efisien. Latihan aerobik memperlambat proses
aterosklerotik, secara langsung mengurangi risiko CVD, dan
mengurangi risiko obesitas dan diabetes mellitus, oleh karena itu
secara tidak langsung mengurangi risiko CVD juga. Gaya hidup sehat
yang meliputi diet jantung sehat dan aktivitas fisik meningkatkan
kesehatan jantung.
c. Faktor Risiko Modifikasi Nontradisional

22
Faktor risiko lain yang dapat dimodifikasi yang muncul yang dapat
mempengaruhi fungsi kardiovaskular termasuk adanya sindrom
metabolik atau protein C-reaktif atau peningkatan level homosistein.
1. Sindrom Metabolik. (Met-S) adalah sekelompok faktor risiko
kardiovaskular yang meningkatkan kejadian CVD. Lima faktor risiko
termasuk dalam sindrom metabolik: obesitas sentral (misalnya,
peningkatan lingkar pinggang), peningkatan trigliserida, kolesterol
HDL rendah, hipertensi, dan peningkatan glukosa. Aperson dianggap
memiliki sindrom metabolik ketika setidaknya tiga dari lima faktor
risiko hadir. Secara keseluruhan, aktivitas dan perilaku gaya hidup,
seperti nutrisi dan aktivitas fisik, adalah pencegahan terbaik untuk
pengembangan faktor risiko Met-S
2. Protein C-Reaktif. Banyak penelitian menunjukkan bahwa infark
miokard akut (AMI) melibatkan proses inflamasi peradangan. Tes
skrining yang berguna untuk proses inflamasi ini adalah uji protein C-
reactive (CRP). Bukti tidak menunjukkan bahwa menurunkan CRP
mengurangi risiko kardiovaskular. Alih-alih, CRPdigunakan lebih
dengan penilaian yangdiperkirakanuntukmenghadapi risiko detak
jantung.Biasanya, CRP screening diselesaikan dengan penyaringan
kolesterol untuk menentukan penilaian risiko kardiovaskular. Jika
hasilnya tinggi, penghentian merokok, diet, dan olahraga
direkomendasikan sebagai pedoman untuk meningkatkan kadar gula
darah dan kolesterol.
3. Tingkat Homosistein yang Terpilih. Homocysteine adalah asam amino
yang telah terbukti meningkat pada banyak orang dengan
aterosklerosis. Klien dengan kadar homocysteine yang meningkat
mungkin memiliki peningkatan risiko Infark Miokard (IM), CVD,
kecelakaan serebrovaskular (stroke), dan penyakit pembuluh darah
perifer. Diperkirakan bahwa individu dapat mengurangi tingkat
homocysteine mereka dengan mengambil multivitamin yang
menyediakan folat, vitamin B6, vitamin B12, dan riboflavin. Namun,

23
uji klinis yang berusaha menurunkan kadar homosistein melalui
pengobatan vitamin B bervariasi dalam hasil mereka.
2.7 Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan atau kekuatan yang diberikan oleh
darah di bawah tekanan dari jantung pada dinding arteri (Potter, Perry,
Stockert, & Hall, 2013). Tekanan darah dapat didefinisikan sebagai ukuran
tekanan yang diberikan oleh darah yang mengalir melalui arteri (Berman,
Snyder, & Frandsen, 2016). Terdapat dua jenis ukuran tekanan darah,
yaitu tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Tekanan sistolik adalah
tekanan darah yang merupakan hasil kontraksi ventrikel atau menekan
darah keluar dari jantung (Berman et al., 2016). Tekanan darah diastolik
adalah tekanan yang terjadi saat ventrikel beristirahat atau saat darah
menuju ventrikel (Berman et al., 2016).
Faktor yang mempengaruhi tekanan darah antara lain:
a. Faktor Internal
1. Resistensi vaskuler
Resistensi vaskuler adalah hambatan atau tahanan terhadap
aliran darah melalui suatu pembuluh, akibat gesekan antara
cairan yang bergerak dan dinding vaskuler yang diam
(Sherwood, 2010). Resistensi dapat dipengaruhi oleh
ukuran lumen pembuluh darah, viskositas sirkulasi darah,
dan total panjang pembuluh darah (Tortora & Derrickson,
2012).
a. Ukuran Lumen Pembuluh Darah
Ukuran lumen yang kecil akan mengakibatkan
resistensi vaskuler meningkat. Jika resistensi meningkat
maka tekanan darah akan meningkat (Tortora &
Derrickson, 2012).
b. Viskositas Sirkulasi Darah
Viskositas sirkulasi darah adalah pengukuran
ketebalan/kekentalan darah, dapat dipengaruhi oleh
perbandingan sel darah merah dengan volume plasma

24
serta protein plasma (Tortora & Derrickson, 2012).
Viskositas darah yang tinggi, maka resistensi tinggi,
tekanan darah meningkat. Viskositas tinggi dapat
disebabkan oleh dehidrasi atau poliktemia sedangakan
viskositas rendah dapat disebabkan oleh anemia atau
hemoragik (Tortora & Derrickson, 2012)
c. Total Panjang Pembuluh Darah
Panjang total pembuluh darah dapat mempengaruhi
resistensi vaskuler. Semakin panjang pembuluh darah,
maka resistensi meningkat. Peningkatan panjang
pembuluh darah dapat dilihat pada individu yang
mengalami obesitas (Tortora & Derrickson, 2012).
Individu dengan obesitas biasanya menderita hipertensi
karena adanya penambahan pembuluh darah di jaringan
adiposa sehingga meningkatkan panjang pembuluh
darah (Tortora & Derrickson, 2012).
2. Volume sirkulasi darah
Peningkatan volume darah dapat disebabkan karena volume
cairan ekstraseluler yang meningkat. Peningkatan volume
darah mengakibatkan peningkatan tekanan pengisian
sirkulasi rata rata sehingga meningkatkan aliran balik darah
vena jantung (Marhaendra, 2016). Hal ini menyebabkan
peningkatan curah jantung. Peningkatan curah jantung akan
meningkatkan tekanan darah (Marhaendra, 2016).
3. Elastisitas dinding pembuluh.
Elastisitas pembuluh darah juga dapat mempengaruhi
tekanan darah. Arteri yang elastis akan memungkinkan
pembuluh mengembang untuk menampung kelebihan
volume darah (Sherwood, 2010). Saat arteri tegang atau
kaku, maka secara pasif mengalami rekoil sehingga
menimbulkan tekanan pada darah selama diastol
(Sherwood, 2010).

25
b. Faktor Eskternal
Terdapat beberapa faktor eksternal yang dapat mempengaruhi
tekanan darah diantaranya adalah umur, latihan, stres, jenis
kelamin, medikasi (pengobatan), temperatur, dan varian harian.
1. Umur
Tekanan darah meningkat seiring berjalannya waktu, dari bayi
hingga individu mengalami pubertas. Tekanan darah normal
pada masi bayi hingga remaja dapat disesuaikan dengan umur
dan ukuran tubuh (Potter et al., 2013). Saat dewasa tua,
elasitisitas arteri menjadi berkurang, hal ini menyebabkan arteri
menjadi kaku sehingga tekanan sistolik meningkat dan tekanan
diastolic mungkin tinggi juga (Berman et al., 2016).
2. Latihan/ Olahraga
Aktivitas fisik akan meningkatkan curah jantung dan
menurunkan tekanan darah pada individu yang menderita
hipertensi. Olahraga secara teratur akan menyerap atau
menghilangkan endapan kolestrol pada pembuluh darah
(Marhaendra, 2016).
3. Stres
Stres dapat menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
tekanan darah. Simulasi dari saraf simpatik akan meningkatkan
curah jantung dan vasokontriksi arteri (Berman et al., 2016).
Hal ini dapat meningkatkan tekanan darah dan resistensi
vaskuler. Stres atau ansietas akan meningkatkan tekanan darah
hingga 30 mmHg (Potter et al., 2013).
4. Jenis Kelamin
Laki laki setelah mengalami pubertas memiliki tekanan darah
yang lebih tinggi dari wanita yang sama umurnya (Potter et al.,
2013). Hal ini dapat disebabkan karena variasi atau perbedaan
hormon. Tekanan darah wanita akan lebih tinggi dari laki laki
saat setelah menopause (Potter et al., 2013).
5. Medikasi (Pengobatan)

26
Beberapa medikasi baik secara langsung ataupun tidak, akan
mempengaruhi tekanan darah. Pasien yang mengkonsumsi anti
hipertensi, obat jantung, atau anelgesik opioid lainnya akan
membuat tekanan darah menurun (Berman et al., 2016).
Medikasi yang dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya
adalah vasokontriktor dan volume cairan IV (Potter et al.,
2013).
6. Temperatur
Tekanan darah berada dalam fase rendah adalah diantara
tengah malam sampai jam tiga pagi (Potter et al., 2013). Hal ini
disebabkan karena frekuensi metabolic yang rendah (Berman et
al., 2016). Jam tiga sampai jam enam pagi, tekanan darah akan
meningkat secara perlahan. Tekanan darah akan berada pada
fase puncak saat jam 10.00 pagi sampai jam 18.00 (Potter et al.,
2013).
7. Variasi Harian
Saat demam akan meningkatkan tekanan darah. Suhu dingin
akan membuat vasokontriksi dan meningkatkan tekanan darah.
Suhu panas akan menyebabkan vasodlatasi dan menurukan
tekanan darah (Berman et al., 2016).
2.8 Kasus atau Penyakit akibat Gangguan Kelistrikan, Gangguan
Mekanisme Jantung, dan Gangguan Tekanan Darah
1. Disritmia
 Disritmia à gangguan irama jantung yang berbahaya karena
mengurangi curah jantung yang dapat menyebabkan gangguan
perfusi serebri.
 Etiologi dan Faktor Risiko:
a. Autosomatisitas
Proses autosomasitas dalam menginisiasi impuls dapat
berubah jika sel pacemaker normal menembak terlalu cepat
atau jika impuls dihasilakn oleh sel yang normalnya tidak
menginisiasi denyut jantung.

27
Faktor risiko à kelainan autosomatisitas biasanya
disebabkan oleh iskemia miokardium, penurunan fungsi
ventrikel kiri, penyakit katup jantung, ketidakseimbangan
elektrolit, hipoksia, gangguan metabolisme seluler,
penggunaan obat antidisritmia, keracunan digitalis, dan
pemberian atropin.
b. Konduksi
Konduksi adalah kecepatan impuls yang berjalan melalui
nodus sinus, nodus AV, dan serabut purkinje.
Faktor risiko à gangguan konduksi dapat merupakan hasil
iskemia miokardium, kompresi, dan perlukaan jalur
konduksi.
c. Re-entri Impuls
Re-entri impuls terjadi ketika jaringan jantung
terdepolarisasi beberapa kali dengan impuls yang sama.
Faktor risiko à Re-entri dapat disebabkan iskemia
miokardium, aksi dari medikasi antidisritmia, fibrosis
miokardium, adanya jalur aksesoris atau penghambatan
berkas percabangan.
 Manifestasi Klinis
 Palpitasi
 Pusing
 Pucat
 Diaforesis
 Nyeri Dada
 Hipotensi
 Dispnea
 Perubahan pola pikir
 Pembengkakan ekstremitas
 Penurunan keluaran urine
 Patofisiologi

28
Dampak disritmia adalah efeknya pada curah jantung dan juga
perfusi vaskular dan serebral. Pada irama sinus normal, atrium
berkontraksi untuk mengisi dan ventrikel meregang dengan
sekitar 30% darah lebih banyak. Ketika impuls terjadi di
bawah nodus SA, atau lebih dari satu area ditembakkan di
atrium melepaskan impuls dan atrial kick akan hilang dan
curah jantung akan berkurang sebanyak 30%.
2. Gagal Jantung
 Gagal Jantung à suatu kondisi ketika jantung tidak dapat
memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh.
 Etiologi dan Faktor Risiko:
 Faktor Intrinsik à Penyakit Arteri Koroner (PAK).
 Faktor eksternal à peningkatan afterload (mis. hipertensi),
peningkatan volume sekuncup jantung dan peningkatan
kebutuhan tubuh.
 Patofisiologi
Apabila curah jantung tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan metabolik tubuh, mekanisme kompensasi
diaktifkan, termasuk respon neurohormonal. Memkanisme ini
membantu meningkatkan kontraksi dan mempertahankan
integritas sirkulasi, tetapi jika terus berlangsung akan
menyebabkan pertumbuhan otot yang abnormal dan
rekonfigurasi jantung.
3. Hipertensi
 Hipertensi à suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik nya
melebihi 140 mmHg dan atau diastoliknya melebihi 90 mmHg.
 Etiologi
Adanya suatu penyakit atau kelainan yang mendasari, seperti
stenosis arteri renalis, penyakit parenkim ginjal,
feokromositoma, hiperaldosteronism, dan sebagainya.
 Faktor Risiko

29
Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antaralain faktor
genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang
dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi.
 Manifestasi Klinis
 Nyeri kepala
 Mual
 Muntah
 Penglihatan kabur
 Nokturia
 Keluar darah dari hidung secara tiba-tiba
 Tengkuk terasa pegal
 Patofisiologi

2.9 Etiologi Sindrom Koroner Akut


Penyakit jantung koroner (Acute Coronary Syndrome) merupakan
sebuah penyakit kompleks yang disebabkan oleh menurunnya atau
terhambatnya aliran darah pada satu atau lebih arteri yang mengelilingi
dan mengsuplai darah ke jantung. Penyebab utama dari Sindrom Koroner
Akut adalah aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan penumpukan
abnormal lipid, substansi lemak, dan jaringan fibrosa pada dinding
pembuluh darah arteri. Aterosklerosis dapat menyumbat aliran pembuluh
darah sehingga mengurangi aliran darah menuju jantung. Terdapat dua
jenis aterosklerosis yaitu fixed atau stable plaque, dan unstable atau
vulnerable plaque. Stable plaque dapat terjadi pada stable angina dan

30
Unstable plaque terjadi pada ACS yaitu unstable angina dan kedua jenis
myocardial infraction (MI).
Proses pembentukan aterosklerosis yaitu:

2.10 Lokasi Infark Miokard


 Lokasi yang paling sering adalah dinding anterior ventikel kiri di dekat
apeks, yang terjadi akibat thrombosis dari cabang desenden arteri
coroner kiri.
 Lokasi umum lainnya yaitu dinding posterior dari ventrikel kiri di dekat
dasar dan belakang daun katup/kuspis posterior dari katup mitral dan
permukaan inferior (diafragmatik) jantung terjadi akibat oklusi arteri
coroner kanan atau cabang sirkumfleksi arteri coroner kiri.
 Infark inferior terjadi saat arteri coroner kanan mengalami oklusi.
2.11 Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut
a. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Usia
Sindrom koroner akut terjadi pada laki-laki ketika usianya lebih
dari 45 tahun dan pada perempuan ketika usianya lebih dari 55
tahun.
2. Jenis Kelamin
Sindrom Koroner Akut lebih banyak menyerang laki-laki
dibanding perempuan. Namun, risiko terkena penyakit yang sama
akan meningkat pada perempuan setelah menopouse.
3. Riwayat Keluarga

31
Sindrom Koroner Akut terkadang bisa merupakan manifestasi
kelainan gen tunggal spesifik yang berhubungan dengan
mekanisme terjadinya aterosklerotik.
b. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
1. Merokok
Peran rokok dalam patogenesis Sindrom Koroner Akut yaitu
timbulnya aterosklerosis, peningkatan tekanan darah dan denyut
jantung, dan penuruna kapasitas pengangkutan oksigen.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah dapat meningkatkan resistensi terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri sehingga meningkatkan beban
kerja kerja jantung yang mengakibatkan angina dan infark
miokard.
3. Diabetes Millitus
Diabetes Militus dapat menyebabkan menyebabkan disfungsi
endhothelia dan gangguan pembuluh darah yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya Sindrom Koroner Akut.
4. Kurang Aktivitas Fisik
Olahraga yang teratur akan akan menurunkan tekanan darah
sistolik, menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan
kadar kolesterol dan lemak darah, meningkatkan kadar HDL
lipoprotein, memperbaiki sirkulasi koroner.
5. Konsumsi Alkohol Berlebih
Mengonsumsi alkohol dengan dosis yang tinggi dapat meningkatan
mortalitas kardivaskuler karena aritmia, hipertensi sistemik, dan
kardiomiopati dilatasi.
6. Stres
Stres dapat merangsang sistem kardiovaskuler dengan dilepasnya
catecholamine yang meningkatkan kecepatan denyut jantung dan
menimbulkan vaso konstriksi.
2.12 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut

32
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan salah satu manifestasi
klinis dari penyakit jantung koroner. Mekanisme terjadinya Sindrom
koroner akut yaitu karena adanya pengurangan pasokan oksigen akut atau
subakut dari miokard, yang dipicu oleh robekan plak aterosklerotik, proses
inflamasi, trombosis, vasokontriksi, dan mikroemboli (Pikri, et. al., 2015).
PERKI (2015), menyebutkan bahwa sebagian besar SKA
merupakan manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner
yang koyak atau pecah. Hal tersebut berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Selanjutnya, akan terjadi proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi dan terbentuk trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara
total maupun parsial atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat
gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama
kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard).
2.13 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut
Coronary Artery Disease (CAD) dibagi ke dalam dua jenis yaitu
Chronic Coronary Artery Disease dan Acute Coronary Syndrom (ACS).
Acute Coronary Syndrom terdiri dari tiga gejala utama antara lain
Unstable Angina (UA), non ST Segment Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI) dan ST Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI).
Ketika plak dalam arteri koroner terbentuk maka dapat mengarah kepada
serangan jantung. Arteri koroner yang tersumbat sebagian dapat
menyebabkan unstable angina dan NSTEMI, sedangkan arteri koroner
yang tersumbat sepenuhnya menyebabkan STEMI.
1. Unstable Angina
Trombus yang menyumbat pembuluh darah koroner secara
sebagian akan menimbulkan iskemia pada miokardium. Hal ini akan

33
menstimulus timbulnya nyeri atau biasa disebut unstable angina (UA).
Angina merupakan rasa nyeri di dada ketika aliran darah dan oksigen
menuju otot jantung terhambat, khususnya saat arteri jantung mengeras
atau menyempit akibat penumpukan lemak. Angina tidak stabil atau
crescendo adalah ketika pola nyeri yang semakin meningkat, sering,
dan berkepanjangan (> 20 menit) (Kumar, Vinay . Abbas, Abdul K.
Aster, 2015).Angina tidak stabil terjadi saat seseorang sedang stres
atau melakukan suatu aktivitas. Nyeri pada angina tidak stabil dapat
bertahan lebih dari 15 menit jika tidak diobati dengan istirahat dan
nitrogliserin. Pada elektrokardiogram, angina ini dapat menimbulkan
perubahan gelombang T (T terbalik) atau penurunan segmen ST. Pada
angina tidak stabil, tidak ditemukan serum biomarkers jantung pada
pemeriksaan karena nekrosis sel jantung belum terjadi. Tidak terdapat
gejala penyerta pada angina tidak stabil.
2. Myocardial Infection (MI)
MI muncul ketika iskemik miokard cukup parah sehingga
menyebabkan nekrosis miosit. UA tidak menyebabkan nekrosis,
namun MI dapat terjadi jika pola angina yang tidak stabil tidak segera
diperbaiki. MI terbagi menjadi dua yaitu STEMI dan NSTEMI
a. non ST Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI).
Ketika trombus parsial yang menyumbat pembuluh darah koroner
menimbulkan iskemia secara terus menerus, maka sel otot jantung
akan mengalami nekrosis atau kematian. Hal ini akan menimbulkan
perubahan pada gelombang T (T terbalik) atau penurunan segmen ST
dan terdapat serum biomarkers jantung karena telah terjadi nekrosis sel
otot jantung. Nyeri dada di NSTEMI berlangsung lebih lama dan lebih
parah daripada angina tidak stabil.
b. ST Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI).
Trombus yang menyumbat secara total akan menyebabkan kerusakan
miokardium dalam area yang luas. Nyeri berdurasi lebih dari 20
menit, menyebar menuju area lain seperti lengan, bahu, leher. Nyeri
muncul secara tiba-tiba dan tidak membaik dengan istirahat atau

34
pemberian nitrogliserin. Pada elektrokardiogram, terlihat adanya
peningkatan atau elevasi segmen ST. Selain adanya elevasi segmen
ST, indikator dari SKEMI juga dilihat dari adanya serum biomarkers.

2.14 Manifestasi Klinis Sindrom Koroner Akut


Tanda dan gejala yang muncul ketika seseorang terkena sindrom koroner
akut yaitu nyeri dada disertai mual dan/atau muntah, dispnea atau ortopnea,
diaforesis, palpitasi, lemah dan pingsan. The National Heart Attack Alert Program
merekomendasikan nyeri dada yang perlu dianggap serius yaitu terasa seperti
tertekan, ditimpa beban, menjalar ke leher, rahang, bahu, hingga punggung, lalu
adanya rasa panas, berkeringat, mual, muntah, sesak napas yang persisten,
kelemahan, pusing, dan adanya perasaan seperti melayang atau penurunan
kesadaran.

35
2.15 Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut
Penatalaksanaan pada pasien Acute Coronary Syndrome memiliki
tujuan yang dapat dilakukan tigak cara yakni melakukan pengendalian
faktor risiko, mengembalikan suplai darah ke miokardium, serta tindakan
bedah jantung. Apabila manajemen pengendalian resiko tidak dapat
dilakukan dengan baik, oklusi coroner dapat terjadi.. untuk mengatasi
oklusi atau trombosis coroner terdapat beberapa tatalaksana yang dapat
dilakukan Terapi reperfusi dan Terapi Farmakologis.
Terapi reperfusi diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala
yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau
Left Bundle Branch Block yang baru. Terapi ini dapat diindikasi apabila
terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang
berlangsung. Tindakan terapi reperfusi yang dapat dilakukan yakni dengan
Fibrinolisis dan Primary PCI (Percutaneous Coronary Intervention).
Terapi dengan fibrinolisis yakni dengan memberikan agen
farmakologis yang bertujuan melisiskan thrombus. Terapi fibrinolitik
(terapi trombolitik) digunakan untuk melisiskan bekuan darah akut dengan
mengaktifkan plasminogen. Fibrinolisis dapat dilakukan dengan

36
pemberian Streptokinase dan Alteplase. Streptokinase, yaitu protein yang
berfungsi untuk memecah gumpalan darah. Protein ini dilarutkan dengan
100 ml dekstrosa 5% dan diberikan selama 30—60 menit. Alteplase, yaitu
obat yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi alat saluran pembuluh
darah utama yang telah menggumpal karena gumpalan darah.
Terapi PCI (Percutaneous Coronary Intervention) yakni
penghancuran plak aterosklerosis menggunakan elemen sejenis balon yang
dimasukan kedalam pembuluh darah. Dengan terapi PCI primer ini maka
risiko perdarahan akibat fibrinolisis sapat dihindarkan. Indikasi
dilakukannya PCI primer yakni diutamakan dilakukan dalam kurang dari
120 menit setelah kontak dengan timkes dan pasien dengan gagal jantung
akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali pada kondisi yang
diakibatkan oleh keterlambatan prosedur PCI. PCI ini direkomendasikan
untuk klien dengan angina ringan, penyakit pembuluh arteri koroner
multiple, angina tidak stabil dan infark miokardium akut dan setelah terapi
trombolitik. Prosedur PCI ini dilakukan di laboratorium kateterisasi dan
dilengkapi dengan flouroskopi resolusi tinggi dan rontgen. Dalam terapi
PCI (Percutaneous Coronary Intervention), terdapat tiga teknik yang dapat
dilakukan yakni dengan stenting, PTCA (Percutaneous Transluminal
Coronary Angioplasty) dan Coronary Artery Bypass Graft (CABG).
Stenting digunakan untuk menghambat proliferasi dari sel dan
pembentukan lesi vaskuler juga mencegah remodeling arteri yang
konstriktif. Teknik Stent dirancang untuk meminimalisir terjadinya
stenosis ulang dan penutupan arteri koroner secara mendadak akibat
komplikasi angioplasty koroner. Teknik ini digunakan untuk
menggantikan PTCA untuk menghilangkan risiko penutupan secara akut
dan memperbaiki kepatenan jangka panjang. Stent pada umumya berupa
balon atau slang yang dapat membesar dan jika dipasang pada arteri
koroner akan dapat membuka kembali arteri yang tersumbat. Alat ini
terbuat dari banyak material mulai dari stainless steel hingga komponen
biologis yang dapat diserap. Prosedur penempatan stent serupa dengan
pemasangan PTCA. Setelah lesi koroner diidentifikasi lewat angiografi,

37
kateter balon yang menahan stent terpasang pada arteri koroner dan stent
ditempatkan pada tempat oklusi. Pada pemasangan stent yang menjadi
perhatian utama adalah pencegahan thrombus akut, terutama pada minggu-
minggu pertama setelah prosedur pemasangan. Penggunaan antagonis
reseptor trombosit GPIIb/IIIa dapat menurunkan risiko pembentukan
thrombus yang menyertai pemasangan stent. Stent dimasukkan ke dalam
pembuluh darah pada kateter balon dan naik ke area arteri yang tersumbat.
Balon kemudian dipompa dan menyebabkan stent mengembang hingga
pas dengan dinding bagian dalam kapal, sesuai dengan kontur sesuai
kebutuhan. Balon kemudian dikempiskan dan ditarik kembali. Stent tetap
di tempatnya secara permanen, memegang pembuluh terbuka dan
meningkatkan aliran darah.
PTCA (Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty)
merupakan suatu teknik pemasangan kateter dengan ujung balon yang
dipasang pada arteri femoralis (bisa juga pada arteri radialis maupun
brachialis) dan ditelusuri melalui bantuan rontgen pada arteri yang
mengalami sumbatan. Hal ini digunakan untuk memperbaiki suplai darah
ke miokardium. Balon dikembangkan beberapa kali tujuannya untuk
membentuk ulang lumen pembuluh darah dengan meregangkan pembuluh
dan menekan plak aterosklerotik kembali kea rah dinding arteri, sehingga
akan membuka kembali jalan arteri. Teknik PTCA ini menjadi alternatif
yang menarik karena kurang invasif dan lebih murah dibandingkan bedah
jantung terbuka. kateter balon dilewatkan melalui kateter pemandu ke
daerah dekat penyempitan. Sebuah kawat penuntun di dalam kateter balon
kemudian dimajukan melalui arteri sampai ujungnya melewati
penyempitan. Kateter angioplasti dipindahkan di atas kawat pemandu
sampai balon berada dalam segmen yang menyempit. balon mengembang,
menekan plak ke dinding arteri setelah plak dikompresi dan arteri telah
cukup dibuka, kateter balon akan dikempiskan dan dikeluarkan.
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan salah satu
penanganan intervensi dari penyakit jantung koroner (PJK) dengan cara
membuat saluran baru melewati arteri koroner yang mengalami

38
penyempitan / penyumbatan. Prosedur bedah Coronary Artery Bypass
Graft (CABG) melibatkan pintas dari sumbatan pada satu atau lebih arteri
koroner dengan menggunakan vena safena, arteri mammaria atau arteri
radialis sebagai pengganti atau saluran pembuluh darah. Pada CABG
tradisional dimulai dengan insisi sternotomi medial sehingga jantung dan
aorta dapat terlihat., selanjutnya klien ditempatkan pada pintas
kardiopulmonal dan jantung dihentikan (kardioplegia) dengan cairan saline
yang mengandung kalium dan dibekukan. Setelah klien dilepaskan dari
mesin jantung dapat berfungsi kembali. Selain CABG pintas lepas
tersebut, ada juga CABG langsung invasif minimal (MIDCABG) yang
dilakukan dengan torakostomi anterior kiri tanpa pintas kardiopulmonal
dan akses CABG dengan pintas femoral dan kardioplegia dengan insisi
terbatas. Komplikasi yang mungkin terjadi pada bedag CABG, yaitu
komplikasi kardiovaskular (disritmia, penurunan curah jantung, hipotensi
persisten), komplikasi hematologis (perdarahan dan pembekuan darah),
komplikasi ginjal (gagal ginjal jika curah jantung rendah), komplikasi
pulmonal (atelectasis), komplikasi neurologi (stroke dan ensefalopati).
Adapun Terapi Farmakologis yang dibutuhkan dalam menangani Acute
Coronary Syndrome:
1. Anti Iskemia
a. Nitrat
 Nitrat memiliki efek terhadap jantung dengan mengurangi
kebutuhan oksigen dan meningkatkan suplai oksigen.
Sehingga aliran darah ke jantung meningkat, dan jantung
tidak memompa darah lebih keras.
 Cara kerja: mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah
perifer dan coroner. Dilatasi pembuluh darah akan
menyebabkan penurunan tekanan darah.
 Indikasi terkait obat golongan nitrat ini adalah meredakan
serangan angina pectoris, diberikan pada semua kasus
kecuali ada kontra indikasi atau efek samping
 Efek samping: sakit kepala, pusing, muka merah

39
 Contoh Obat: Nitrogliserin, Isosorbid Dinitrat, Isosorbid
Mononitrat

b. Beta Blocker
 Penyekat beta mengurangi konsumsi oksigen miokard
melalui pengurangan kontraktilitas miokard, denyut jantung
(laju sinus), konduksi AV dan tekanan darah sistolik.
 Cara kerja: mengurangi konsumsi oksigen miokard,
pengurangan denyut jantung, dan pengurangan kontraktilitas
oksigen
 Efek samping berupa nausea, muntah, diare, konstipasi,
insomnia, rasa lelah, demam, purpura
 Conoh Obat: Metoprolol, Propranolol, dan Atenolol

c. Ca Channel Blocker
 Antagonis Kalsium menghambat kontraksi miokard dan
otot polos pembuluh darah, menghambat konduksi AV dan
depresi nodus SA.
 Efek samping berupa hipotensi. nyeri kepala, dan muka
memerah
 nifedipin 1x 5-10mg

40
 diltiazem 3x 30-60mg
 verapamil 3x 40-80mg
 Dosis untuk antagonis Kalsium adalah Indikasi pemberian
antagonis kalsium diantaranya adalah pada pasien-pasien
dengan agina berulang atau berkelanjutan walaupun telah
mendapatkan nitrat & penghambat beta dengan dosis
adekuat, atau pasien-pasien yang tidak dapat bertoleransi
terhadap nitrat dan penghambat beta dengan dosis yang
adekuat

2. Anti Platelet
 Antiplatelet dapat membantu mencegah pembekuan darah dan
menurunkan risiko angina serta serangan jantung.
 Obat ini secara ireversibel menginhibisi enzim siklooksigenase
(COX), enzim pertama pada urutan reaksi yang menyebabkan
pembentukan tromboksan dan prostasiklin.
 Efek samping berupa sedikit peningkatan perdarahan dengan
pemberian klopidogrel (Bila mungkin, menghentikan klopidogrel
minimal 5 hari sebelum operasi).
 Contoh obat
 Aspirin  Pemberian aspirin lebih baik jika hanya diberikan
sendiri (tidak dikombinasikan) dalam mengurangi kejadian
kematian jantung.
 Clopidogrel  berguna untuk pasien yang tidak dapat
mentoleransi aspirin dan mencegah trombus pada stent arteri
koroner. Pengobatan jangka panjang dengan klopidogrel
ditambah aspirin bermanfaat pada sindrom koroner akut

41
3. Anti Koagulan

4. Penghambat angiotensin converting enzyme (ACE) dan penghambat


reseptor angiotensin
 ACE berguna dalam mengurangi remodeling dan menurunkan
angka kematian penderita pasca infark miokard yang disertai
gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gejala klinis
jantung.

Dalam perannya, perawat juga melakukan intervensi berupa edukasi


dan melakukan rehabilitasi pada klien pasien dengan Acute Coronary
Syndrome. Tujuan dari adanya edukasi dan rehabilitasi pasien yaitu
untuk merencanakan program aktivtas fisik yang progresif,
mengedukasi klien dan keluarga tentang penyebab, pencegahan, dan
terapi, membantu klien menerima keterbatasan yang timbul akibat
penyakitnya, membantu klien menyesuaikan perubahan dalam tujuan

42
pekerjannya;, mengurangi paparan terhadap faktor risiko, dan
mengubah faktor psikologis yang mengganggu pemulihan.

Rehabilitasi Jantung merupakan suatu program multifakoral yang


dimulai dari ketika klien masih dirawat inap dan berlanjut selama
proses pemulihan. Terdiri dari empat fase yakni:

 Fase 1 Rawat Inap


Berikan tirah baring komplet pada hari pertama atau kedua. Klien
membutuhkan aktivitas untuk mengurangi beban berlebih untuk
memompa oksigen. Selama aktivitas awal, denyut jantung tidak
boleh meningkat >25% diatas kadar istirahat dan tekanan darah
tidak boleh meningkat >25 mmHG diatas normal. Selama fase I
edukasi klien tentang anatomi dan fisiologi jantung, faktor risiko
dan penanganan PJK, konsultasi perilaku, serta aktivitas rumahan
 Fase II segera setelah rawat jalan
Sarankan klien berhenti merokok, sering berjalan-jalan 2 mil dalam
waktu kurang dari 60 menit (hindari aktivitas berat). Selama fase
ini (dalam kelompok termonitor) klien melakukan latihan otot
besar selama 20-30 menit 3-4x seminggu serta dilatih pemanasan
dan peregangan. Klien diamati irama jantung, denyut jantung, dan
tekanan darah sebelum latihan, saat puncak latihan, dan selama
pemulihan
 Fase III beberapa saat setelah rawat jalan
Berlangsung 4-6 bulan, dalam fase ini sesi latihan terus diawasi
serta klien diedukasi untuk mengamati intensitas latihannya dengan
mengukur denyut nadi atau jumlah langkah dalam 15 detik.
 Fase IV rawat jalan pemeliharaan
Klien mempertahankan program latihan rutin dan modifikasi gaya
hidup lainya untuk memodifikasi faktor risiko jantung.
2.16 Pengkajian Sindrom Koroner Akut
Pada pengkajian, dilakukan berbagai macam pengkajian untuk
menghasilkan data yang aktual terkait dignostik pada klien. Adapun

43
pengkajian awal yang dilakukan ialah melakukan anamnesis dengan klien.
Adapun yang termasuk ke dalam komponen anamnesis yaitu terkait
keluhan klien seperti adanya nyeri dada pada klien, bagaimana nyeri yang
dirasakan, durasi nyeri sudah berapa lama, keluhan penyerta lainnya
seperti ada atau tidaknya nyeri abdominal, sesak napas, mual atau muntah.
Adapun dilihat dari riwayat keluarga, apakah memiliki riwayat penyakit
lain, seperti diabetes melitus dan hipertensi. Adapun dilihat dari faktor
predisposisi, seperti riwayat merokok, umur, riwayat penyakit pada
keluarga (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).
Adapun pada pengkajian fisik dilakukannya inspeksi, palpasi, dan
auskultasi. Pada inspeksi dan palpasi, dapat dilakukan pada ekstrimitas
atas terhadap warna, rasa hangat, pergerakan, dan sensasi. Adapun
dilakukannya palpasi pada nadi radialis untuk detak, irama, dan kekuatan.
Lalu, lakukan pengukuran tekanan darah secara manual dan observasi vena
leher klien dengan klien diposisikan 45 derajat. Auskultasi bunyi jantung
apik, catat detak, dan irama. Dengarkan adanya perubahan akut seperti
suara tambahan dan murmur (Wilkinson, 2014). Suara jantung tiga
hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi adanya komplikasi
iskemia. Adanya regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,
ronkhi basah halus atau edema paru dapat memungkinkan mengarah pada
sindrom koroner akut. Dalam penentuan diagnosis SKA, perlu
dipertimbangkan juga kekuatan nadi yang tidak seimbang, regurgitasi
katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai
suara napas yang tidak seimbang (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, 2015). Lakukan inspeksi dan palpasi pada
ekstrimitas atas terhadap warna, rasa hangat, pergerakan, dan sensasi.
Palpasi nadi pedis dan periksa pitting edema pada pergelangan kaki.
Inspeksi dan palpasi kemerahan, rasa hangat, dan perlunakan betis untuk
indikator tromboembolisme vena (Wilkinson, 2014).
Pemeriksaan diagnostik dan laboratorium yang perlu dilakukan
ialah pemeriksaan elektrokardiogram, pemeriksaan marka jantung,
pemeriksaan foto polos dada, Tes darah rutin, Gula darah sewaktu, Status

44
elektrolit, Koagulasi darah, Tes fungsi ginjal, dan Panel lipid. Pemeriksaan
elektrokardiogram dilakukan pada pasien yang mengalami nyeri dada atau
keluhan lain yang mengarah pada iskemia. Pada pasien dengan hasil EKG
dengan segmen ST elevasi, maka disimpulkan kemungkinan besar klien
mengalami SKA. Adanya keluhan nyeri dada dan tidak ditemukan elevasi
segmen ST, maka diagnosisnya infark miokard dengan non elevasi segmen
ST (NSTEMI) atau angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP). Adapun
lokasi iskemia yang dilihat dari deviasi segment ST (Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).

Pada pemeriksaa maka jantung, kreatinin kinase-MB (CK-MB)


atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi
marka untuk diagnosis infark miokard. Takiaritmia, trauma kardiak,
gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, dan miokarditis/pericarditis dapat
menunjukkan peningkatan troponin I/T. Peningkatan pada marka jantung
merupakan tanda dan gejala definitif SKA. Pada pemeriksaan foto polos
dada, dilakukan untuk membuat diagnosis banding, identifikasi
komplikasi, dan penyakit penyerta. Pemeriksaan laboratorium seperti tes
darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes
fungsi ginjal, dan panel lipid juga perlu dilakukan untuk menunjang data
terkait penyimpulan diagnosis (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, 2015).

2.17 Asuhan Keperawatan Sindrom Koroner Akut

45
a. Asuhan Keperawatan Nyeri Akut Berhubungan dengan Penurunan
Pasokan Oksigen ke Miokardium
1. Pengkajian
Identitas Pasien Data Subjektif Data Objektif

Nama bapak : - Nyeri dada yang  Pasien tampak


terasa seperti tertekan gelisah, tegang
Usia 56 tahun
benda dan menjalar ke dan sulit tidur
Jenis kelamin : laki- bahu dan lengan kiri.  TD Hipertensi
laki (140/90 mmHg)
 Overweight, TB
Nyeri dirasakan sejak 168 cm BB 82
4 jam sebelum masuk Kg
rumah sakit.  Nadi 106x/menit
 RR takipnea
(26x/menit)
Nyeri dirasakan
 Perubahan ST
berlangsung 20 menit
elevasi pada lead
dan tidak berkurang
I, aVL,V5 dan V
dengan istirahat dan
 Peningkatan
mengkonsumsi nitrat
enzim jantung
CK/CKMB dan
Troponin T dan I

 Keluhan Pasien
Nyeri dada yang terasa seperti tertekan benda dan menjalar ke bahu dan
lengan kiri
 Riwayat Penyakit
 kondisi kesehatan pasien sebelumnya
Hipertensi sejak 10 tahun yang lalu dan DM sejak 5 tahun yang lalu.
Pasien telah beberapa kali berobat, dan mendapat obat anti hipertensi
ACE inhibitor, namun pasien tidak selalu meminumnya dan tidak berobat

46
secara rutin. Pasien juga mendapatkan obat diabetes yang diminumnya
hanya saat badan pasien terasa tidak enak.
 kondisi kesehatan keluarga
 kemungkinan terjadinya penyakit yang berulang
 Faktor Predisposisi
 Usia>45tahun
 Riwayat merokok sejak SMP
2. Diagnosis dan Perencanaan

Diagnosis Batasan Karakteristik Outcomes

Subjektif Objektif

Nyeri akut Melaporkan rasa  Respons otonom (mis, Klien akan


b.d nyeri dengan isyarat diaforesis, perubahan mengalami
penurunan (mis, menggunakan tekanan darah, pernapasan, penurunan
pasokan skala nyeri dari 0 atau denyut jantung, episode
oksigen ke sampai dengan 10) dilatasi pupil) Angina.
miokardium
0 = tidak ada nyeri  Perilaku distraksi (mis,
modar-mandir, mencari
10 = nyeri hebat
orang dan atau aktivitas
lain, aktivitas berulang)

 Perilaku ekspresif (mis,


gelisah, merintih,tegang,
menangis)

 Bukti nyeri yang dapat


diamati

 Posisi untuk menghindari


nyeri

 Gangguan tidur

3. Intervensi dan Rasional

47
Intervensi Rasional
1. Berikan tablet nitrogliserin 1. Nitrogliserin melebarkan pembuluh
secara sublingual. Rasa sakit darah dan meningkatkan suplai darah
harus dihilangkan dalam 1 ke jaringan. Penurunan tekanan darah
hingga 2 menit. Jika rasa yang tiba-tiba dapat menyebabkan
sakit belum berhenti setelah klien menjadi pusing atau pingsan.
tiga dosis terpisah 5 menit, Jika rasa sakit tidak hilang setelah tiga
beri tahu petugas darurat. dosis, tindakan darurat segera
diperlukan.
2. Berikan obat lain seperti
penghambat beta atau
2. Penghambat beta dan penghambat
penghambat saluran kalsium
saluran kalsium memperlambat SDM
sesuai pesanan dan pantau
dan menurunkan kebutuhan oksigen
respons klien.
jantung.

4. Evaluasi
Evaluasi setiap outcomes apakah sudah terpenuhi oleh klien.

S: Klien mengatakan nyeri di dada berkurang

O: TTV membaik, nyeri tidak lagi mengganggu aktivitas klien

A: Masalah sebagian teratasi

P: Intervensi dilanjutkan

Mengkaji tingkat nyeri klien

b. Asuhan Keperawatan Ansietas


1. Pengkajian
Data Klien Data Objektif Data Subjektif

Nama : Tn. X TD : 140/90 mmHg Mengeluh nyeri dada seperti tertekan


benda dan menjalar ke bahu dan lengan
kiri
Jenis kelamin : Laki- Frekuensi nadi : 106 kali/menit Nyeri sejak 4 jam sebelum ke RS,

48
laki selama 20 menit
Umur : 56 tahun Frekuensi napas : 26 kali/menit Nyeri tidak berkurang setelah istirahat
dan konsumsi nitrat
Suhu : 36,8 ̊ Riwayat merokok sejak SMP
TB: 168 cm Klien telah berobat beberapa kali,
mendapat obat hipertensi ACE inhibitor
BB: 88 kg Klien tidak teratur minum obat
Hasil EKG: perubahan ST evelasi
pada lead I, aVL, V5, dan V6.
Pemeriksan diagnostik: peningkatan
enzim jantung CK/CKMB dan
Troponin T dan I
Klien tampak gelisah, tegang, dan sulit
tidur
Hipertensi sejak 10 tahun lalu
Diabetes mellitus sejak 5 tahun lalu
Klien istirahat total
Klien diberikan oksigen via kanul
binasal 4L/menit
I. Anamnesis
a) Keluhan klien
 Nyeri dada (tertekan benda) menjalar ke bahu dan lengan kiri
 Nyeri dada sejak 4 jam sebelum ke RS
 Nyeri selama 20 menit, tidak berkurang setelah istirahat dan konsumsi
nitrat
b) Riwayat Kesehatan
 Merokok sejak SMP
 Hipertensi sejak 10 tahun lalu
 Diabetes mellitus sejak 5 tahun lalu
 Sudah beberapa kali berobat (obat anti hipertensi ACE inhibitor)
 Tidak teratur minum obat
c) Faktor predisposisi

Sosial budaya : faktor ekonomi dan pendidikan dapat memengaruhi


pengendalian ansietas individu

d) Faktor presipitasi

49
 Ancaman integritas diri : ketidakmampuan fisiologis atau gangguan
terhadap kebutuhan dasar (klien merasa nyeri yang tidak hilang setelah
konsumsi nitrat dan istirahat)
 Ancaman sistem diri : ancaman terhadap identitas diri, harga diri,
hubungan interpersonal, dan kehilangan perubahan status atau peran
(klien sebagai kepala keluarga cemas tidak dapat menghidupi atau
memenuhi kebutuhan keluarganya).
II. Pemeriksaan fisik

Inspeksi

 Klien tampak gelisah, tegang, dan sulit tidur


 Klien terpasang oksigen via kanula binasal 4L/menit

Tanda-tanda vital :

 TD : 140/90 mmHg
 Frekuensi nadi : 106x/menit
 Frekuensi napas : 26x/menit
 Suhu : 36,8 ̊
III. Pemeriksaan Diagnostik
 Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)
 Taylor Manifest Anxiety Scale (T-MAS)
 Depression, Anxiety Stress Scale (DASS)
 Zung Self-Rating Anxiety Scale (SAS)
 Anxiety Visual Analog Scale (Anxiety VAS)
2. Diagnosis
Diagnosis Definisi Faktor Terkait Batasan Karakteristik
Ansietas Perasaan tidak nyaman atau Penyebab Perilaku
Kekhawatiran yang samar disertai  Perubahan  Gelisah, resah,
respon otonom (sumber seringkali status kesehatan sulit tidur atau
tidak spesifik atau tidak diketahui  Hospitalisasi insomnia
individu); perasaan takut yang  Ancaman Afektif
disebabkan oleh antisipasi terhadap  Gelisah, nyeri

50
terhadap bahaya. perasaan ini kematian atau
merupakan kan perasaan ini Kondisi klinis terkait ketidakberdayaan
merupakan kan isyarat  Penyakit fisik : yang persisten
kewaspadaan yang Diabetes Fisiologis
memperingatkan bahaya ya yang mellitus dan  Tegang
akan terjadi dan memampukan hipertensi Simpatis
individu melakukan tindakan  Penyakit akut  Peningkatan
untuk menghadapi ancaman (SKA) tekanan darah
(Wilkinson, 2017) (140/90 mmHg)
 Peningkatan nadi
(106 kali/menit)
 Peningkatan
pernapasan (26
kali/menit)

3. Perencanaan dan Implementasi


Intervensi (NIC) Rasional Implementasi Outcome (NOC)

Penurunan Meminimalkan Penurunan ansietas Pengendalian diri


ansietas kekhawatiran, ketakutan,  Beri lingkungan terhadap ansietas
prasangka, atau perasaan yang tenang  Klien
tidak tenang yang  Jelaskan setiap mengatakan
berhubungan dengan bahaya prosedur yang akan cemasnya
yang diantisipasi dan tidak dilakukan berkurang
jelas  Perhatikan  Klien
keberadaan klien tenang,tidak
gelisah
 Klien dapat

Dukungan emosi Memberikan penenangan, Dukungan emosional bersistirahat

penerimaan, dan  Berikan dukungan


bantuan/dukungan selama emosional kepada
masa stress klien
 Menguatkan rasa

51
pengendalian
Terapi relaksasi Menerapkan teknik untuk Terapi relaksasi
meningkatkan dan  Latihan relaksasi
memperoleh relaksasi untuk napas dalam
menurunkan tanda dan gejala  Distraksi
yang tidak diinginkan (nyeri,  Hipnotis 5 jari
ketegangan otot, dan
ansietas)

Peningkatan Membantu pasien untuk Peningkatan koping


koping beradaptasi dengan persepsi  Pendekatan
stressor, perubahan, atau religious-spiritual
ancaman yang menghambat
pemenuhan tuntuan dan
peran hidup

Teknik Meredakan kecemasan pada


menenangkan klien yang mengalami
diri distress akut

Pemberian agen Memberikan efek sedatif


sedatif untuk membantu klien
(jika dibutuhkan) beristirahat tanpa gangguan

4. Evaluasi
 Tingkat ansietas klien berkurang
 Klien dapat mengendalikan ansietas yang dialami
S : klien mengatakan kecemasannya berkurang
O: klien mampu mendemonstrasikan terapi relaksasi; klien tenang, rileks,
dan dapat beristirahat
A : masalah ansietas teratasi sebagian
P : Latih teknik relaksasi napas dalam 3x sehari; evaluasi terapi relaksasi
c. Asuhan Keperawatan Defisit Pengetahuan
Diagnosis Perencanaan Intervensi Rasional Evaluasi
Defisiensi Klien akan .Jelaskan Dengan Evaluasi setiap

52
Pengetahuan menjelaskan penyebab SKA pengetahuan outcome untuk
b.d. kurangnya proses (Sindrom baru, maka menentukan
pengetahuan penyakit Koroner Akut). klien dapat bagaimana hal
terkait untuk Ajari klien untuk mengambil itu telah
proses penyakit, menghindari tindakan dipenuhi oleh
obat-obatan, dan stress situasi untuk klien (White et
rejimen yang dapat mengurangi al, 2013).
pengobatan menghasilkan terjadinya
(White et al, SKA. Cara lain SKA.
2013). untuk mencegah
SKA tidur dalam
keadaan ruangan
hangat, makan
proporsi yang
lebih kecil di
waktu makan,
dan tidak
berolahraga di
luar dalam cuaca
dingin.
Klien akan Informasikan Nitrogliserin
menjelaskan klien untuk menjadi
obat meliputi selalu membawa tidak efektif
cara pemberian nitrogliserin jika terkena
obat, waktu dalam keadaan cahaya.
dosis, dan efek tertutup rapat Menyimpan
samping; dan dalam wadah obat dalam
praktik berwarna gelap. yang
perawatan diri Mengajari klien awalnya
untuk tetap dikeluarkan
minum obat wadah
yang disimpan menghindari

53
di dalam wadah kebingungan
dari RS sehingga untuk
wadah obat memperbaik
tersebut ditandai i obat dan
dengan nama dosis.
dan dosis obat.

Nitrogliserin Nitrogliserin
dapat melebarkan
menyebabkan menyediaka
ortostatik n pembuluh
hipotensi, jadi darah lebih
informasikan banyak
kepada klien oksigen ke
untuk duduk jaringan
setelah mencegah
mengambil dan atau
ubah posisi mengurangi
perlahan setelah efek SKA.
mengambil obat-
obatan.

54
Dorong klien Olahraga
untuk memulai meningkatka
dan n sirkulasi
mempertahanka dan
n program membantu
olahraga teratur menurunkan
seperti yang kolesterol
direkomendasika level.
n oleh dokter.

55
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pada sistem kardiovaskular, jantung memiliki 4 ruang yaitu atrium
kanan, atrium kiri, ventrikel kanan, dan ventrikel kiri. Adapun katup tricuspid
yang merupakan katup antrioventrikular kanan dan katup bicuspid yang
merupakan katurp antrioventrikular kiri. Katup ini mencegah aliran darah
dari ventrikel ke dalam atrium selama pengosongan ventrikel. Katup
semilunar terletak di antara ventrikel dan arteri mayor. Adapun dinding
jantung yang terdiri dari tiga lapis, yaitu endocardium, miokardium, dan
epicardium. Pendarahan di jantung dimulai dari darah tubuh yang masuk ke
jantung melalui vena cava superior dan inferior ke arium kanan dan melewati
katup tricuspid menuju ventrikel kanan. Darah kaya CO2 tersebut menuju
arteri pulmonary menuju paru-paru. Darah dari paru-paru kembali ke jantung
menuju atrium kiri melalui vena pulmonary dengan kaya O 2. Darah dari
atrium kiri menuju ventrikel kiri melalui katup bicuspid dan darah menuju
Aorta untuk mengalir keseluruh tubuh.
Aktifitas listrik pada jantung dipengaruhi oleh sel otoritmik yang
dipengaruhi oleh potensial listik. Sel otot jantung tersebut terdiri dari nodus
sinoatrial, nodus, antrioventrikular, serabut purkinje, dan berkas his. Aktifitas
listrik jantung terekam pada EKG dan menghasilkan grafik dimana terdapat
tiga gelombang yang jelas terbaca, yaitu gelombang P dimana terjadi
depolarisasi atrium, kompleks QRS dimana terjadi depolarisasi ventrikel, dan
gelombang T dimana terjadi repolarisasi ventrikel. Adapun mekanisme siklus
jantung dimana terjadi sistol atrium, lalu terjadi kontraksi ventricular
isovolemik, dan selanjutnya terjadi ejeksi ventricular dilanjutkan dengan
relaksasi ventricular isovolemik lalu terjadi diastole akhir. Curah jantung
dipengaruhi oleh kontol dari detak jantung dan stroke volume. Adapun factor

56
yang mempengaruhi kerja jantung yaitu factor risiko nonmodifikasi,
modifikasi tradisional, dan modifikasi nontradisional. Tekanan darah juga
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Pada kasus ini, klien diduga mengalami sindrom coroner akut dimana
etiologinya ialah terjadi ateroklerosis. Faktor risiko SKA yang tidak dapat
dimodifikasi ialah usia, jenis kelamin , dan riwayat keluarga. Sedangkan,
yang dapat di modifikasi ialah merokok, hipertensi, DM, kurang aktifitas
fisik, konsumsi alcohol berlebih, dan stress. Patofisiologi dari SKA
merupakan manifestasi klinis dari PJK. Adapun klasifikasi dari SKA ialah
stable angina, unstable angina, NSTEMI, dan STEMI. Adapun
penatalaksanaan SKA dari obat-obatan, edukasi, rehabilitasi, dan medis.
Adapun pengkajian yang dilakukan ialah anamnesis, pengkajian fisik,
pengkajian diagnosis, dan pengkajian laboratorium. Adapun asuhan
keperawatan yang diberikan pada kasus ialah nyeri akut, ansietas, dan defisit
pengetahuan.

3.2. Saran
Mahasiswa keperawatan perlu memahami dengan baik sistem kardiovaskuler
dan kelainannya salah satunya Sindrom Koroner Akut (SKA). Hal ini
dilakukan agar kelak dapat menerapkan asuhan keperawatan yang tepat dan
secara holistik kepada penderita Sindrom Koroner Akut (SKA). Perawat atau
mahasiswa keperawatan perlu mengkaji lebih dalam lagi hal hal yang
dibutuhkan oleh penderita Sindrom Koroner Akut (SKA) agar semua
kebutuhannya dapat terpenuhi. Dengan disusunnya makalah ini
mengharapkan kepada semua pembaca agar dapat menelaah dan memahami
apa yang telah terulis dalam makalah ini sehingga sedikit banyak bisa
menambah pengetahuan pembaca. Saran dan kritik juga sangat kami
butuhkan.

57
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (2010). Heart disease & stroke statistics – 2010
Update. Dallar, Texas: American Heart Association

Berman, A., Snyder, S., & Frandsen, G. (2016). Fundamentals of nursing :


concepts, process, and practice. (Tenth Edit). New Jersey: Pearson
Education.

Black, Joyce M., & Hawks, Jane Hokanson . (2014) . Keperawatan Medikal
Bedah:Manajemen Klinis Untuk Hasil Yang Diharapkan Ed 8th .
Singapore : Elsevier

Danial, M., & Nor, B. (2011). Proporsi Indeks Massa Tubuh (IMT) Penderita
Penyakit Jantung Koroner di RSUP H. Adam Malik, Medan. . Jurnal
Sumatera Utara.

Keliat et al. (2019). Asuhan keperawatan jiwa. Jakarta : EGC Buku Kedokteran

Koyama et.al, efficacy of methylcobalamin on lowering total homocystein plasma


concentrations in haemodialysis patients receiving high-dosefolid acid
supplementation, Nephrology Dyalisis Transplantation (2002) 17: 916-
922

Kumar, Vinay . Abbas, Abdul K. Aster, jon C. (2015). Robbins and Cotrans
Basic Pathology of Disease, 9th ed. In Elsevier Saunders.
https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2

Lewis, et al. (2013). Medical-Surgical Nursing: Assessment And Management Of


Clinical Problems. St. Louis, Missouri: Elsevier.
Lilly, L. S. (2013). Pathophysiology of heart disease: A collaborative project of
medical students and faculty: Fifth edition. In Pathophysiology of

58
Heart Disease: A Collaborative Project of Medical Students and
Faculty: Fifth Edition

Marhaendra, Y. A. (2016). Tekanan darah. Retrieved from


http://eprints.undip.ac.id/50884/3/YudhaAdidarmaM_2201

Nasional Geographic Indonesia. (2015, Agustus 13). Perbedaan Etnis Pengaruhi


Risiko Penyakit Jantung. Retrieved from nationalgeographic.grid.id:
https://nationalgeographic.grid.id/read/13300864/perbedaan-etnis-
pengaruhi-risiko-penyakit-jantung

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) . (2018) .


Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut Edisi Keempat . Jakarta :
PERKI

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. (2015). Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Centra Communications

Pikir, et. al. (2015). Hipertensi: Manajemen Komprehensif. Surabaya: Airlangga


University Press

Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2013). Fundamental Of
Nursing(8th Ed.). Canada: Elsevier.

Puspasari, I. (2015). Analisis Frekuensi Waktu pada Sinyal Jantung Koroner


Menggunakan Distribusi Wigner Ville. Jurnal Informatika dan Sistem
Informasi, 1(1), 93-101.

Ronny, Setiawan, Fatimah, S., (2010). Fisiologi Kardiovaskuler: Berbasis


Masalah Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sherwood, L. (2013). Human physiology: from cells to systems. 9th ed. Boston:
Cengage Learning, Inc.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner &
Suddarth’s textbook of medical-surgical nursing, 12th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

59
Supriyono, Mamat. (2008). Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap
Kejadian Penyakit Jantung Koroner Pada Kelompok Usia < 45 Tahun.
Retrieved from https://core.ac.uk/download/pdf/11717772.pdf

Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2012). Principles pf anatomy & physiology (13th
ed.). USA: John Wiley & Sons.

White, L, Duncan, G, & Baumle, W. (2013). Medical surgical nursing: an


integrated approach. USA : Cengage Learning.

Wilkinson, J. M. (2017). Pearson Nursing Diagnosis Handbook with NIC


Interventions and NOC Outcome. Jakarta : EGC

Williams, L. S., & Hopper, P. D. (2015). Understanding medical surgical


nursing. Philadelphia : F.A. Davis Company

60

Anda mungkin juga menyukai