Anda di halaman 1dari 74

MAKALAH ACS

(Accute Coronary Syndrome)

Mata Kuliah : Keperawatan Medikal Bedah I

Dosen : Ns. Ani Widiastuti, SKep, SKM, M.Kep, Sp.Kep. MB

Disusun oleh :

1. Khorotun Nisa’I 2010711059


2. Sifa Azka Isyamiyah 2010711073
3. Anggit Fajar Liani 2010711080
4. Alvira Ayu Puspita 2010711081

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

2020-2021
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur terhadap Tuhan yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat membuat dan
menyelesaikan makalah ACS (Accute Coronary Syndrome) ini.

Makalah yang berjudul “ACS (Accute Coronary Syndrome)” ini ditulis untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1. Pada kesempatan yang baik ini,
kami menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan kepada kami dalam pembuatan makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu semua, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun
demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Jakarta, 29 Agustus 2021

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................2

1.3 Tujuan.............................................................................................................................3

BAB II.......................................................................................................................................4

PEMBAHASAN.......................................................................................................................4

Kasus.........................................................................................................................................4

2.1 Prevalensi ACS...............................................................................................................4

2.2 Definisi dan Klasifikasi ACS.......................................................................................14

1) Definisi ACS.............................................................................................................14

2) Klasifikasi ACS.........................................................................................................15

2.3 Tanda dan Gejala ACS.................................................................................................18

Proses Terjadinya Nyeri dada sebelah kiri menjalar ke lengan kiri dan punggung.............19

Proses terjadinya Mual dan Muntah pada pasien ACS........................................................20

2.5 Etiologi dan Faktor Resiko ACS..................................................................................21

2.6 Patofisiologi ACS.........................................................................................................30

2.7 Pemeriksaan Penunjang................................................................................................31

2.8 Penatalaksanaan Medis.................................................................................................35

2.9 Asuhan Keperawatan ACS...........................................................................................44

2.10 Komplikasi ACS...........................................................................................................56

2.11 Telaah Jurnal................................................................................................................58

2.12 Edukasi.........................................................................................................................62

BAB III....................................................................................................................................65

PENUTUP...............................................................................................................................65
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................65

3.2 Saran.............................................................................................................................65

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................66
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard yang
terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri dada, perubahan
segmen ST pada Electrocardiogram (EKG), dan perubahan biomarker jantung (Kumar &
Cannon, 2009). Keadaan iskemia yang akut dapat menyebabkan nekrosis miokardial
yang dapat berlanjut menjadi Infark Miokard Akut. Nekrosis atau kematian sel otot
jantung disebabkan karena adanya gangguan aliran darah ke jantung. Daerah otot yang
tidak mendapat aliran darah dan tidak dapat mempertahankan fungsinya, dikatakan
mengalami infark (Guyton, 2007).
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasarkan hasil EKG menjadi Infark Miokard
Akut ST-elevasi (STEMI) dan Infark Miokard non ST-elevasi (NSTEMI). Pada Infark
Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) terjadi oklusi total arteri koroner sehingga
menyebabkan daerah infark yang lebih luas meliputi seluruh miokardium, yang pada
pemeriksaan EKG ditemukan adanya elevasi segmen ST, sedangkan pada Infark
Miokard non ST-elevasi (NSTEMI) terjadi oklusi yang tidak menyeluruh dan tidak
melibatkan seluruh miokardium, sehingga pada pemeriksaaan EKG tidak ditemukan
adanya elevasi segmen ST (Alwi, 2009).
Menurut WHO 80% kematian global akibat penyakit jantung terjadi pada masyarakat
miskin dan menengah. Infark Miokard Akut (IMA) adalah salah satu diagnosis yang
paling sering di negara maju. Laju mortalitas awal dalam 30 hari pada IMA adalah 30%
dengan separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Infark Miokard
Akut terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa ST elevasi dan IMA dengan ST
elevasi (Fox, 2004).
Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia pada
tahun 2013 diperkirakan sekitar 883.447 atau sebesar 0,5%, sementara berdasarkan
diagnosis dokter ditemukan gejala sebesar 1,5% atau sekitar 2.650.340 orang.
Berdasarkan diagnosis dokter estimasi jumlah penderita di Provinsi Jawa Barat Sebanyak
0,5% atau sekitar 160.812 orang, sedangkan di Provinsi Maluku Utara paling sedikit,
yaitu 1.436 orang(0,2%). Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita
terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 375.1227 orang atau sekitar (1,3%),

1
sedangkan jumlah penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Papua Barat, yaitu
sebanyak 6.690 orang (1,2%). Prevalensi jantung koroner yang terdiagnosis di Jawa
Tengah sebesar 0,5 persen, dan berdasar terdiagnosis dan gejala sebesar 1,4 persen,
sedangkan di Kota Surakarta angka prevalensi PJK yang terdiagnosis adalah 0,7 %
(Santoso, 2013).
Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase (SGOT) atau disebut juga enzim
Aspartat Aminotransferase (AST) dapat ditemukan di jantung, hati, otot rangka, otak,
ginjal, dan sel darah merah. Kadar SGOT dapat meningkat pada infark miokard, penyakit
hati, pankreatitis akut, anemia hemolitik, penyakit ginjal akut, penyakit otot, dan cedera.
Kadar normal SGOT: 4-35 unit/L (Pagana, 2015).
Cedera yang terjadi pada sel-sel hati dan otot jantung, menyebabkan enzim ini
dilepaskan ke dalam darah. Biomarker/penanda adanya gangguan pada sel hati dan otot
jantung adalah salah fungsi enzim ini. Pada infark miokard kadar SGOT akan meningkat
setelah 10 jam dan akan mencapai puncak pada 24-48jam. Kadar SGOT akan kembali
normal setelah 4-6 hari apabila tidak ada infark tambahan (Pagana, 2015).
Peningkatan kadar SGOT pada awal infark miokard menggambarkan luasnya daerah
infark meskipun SGOT tidak spesifik pada organ jantung (Chernecky & Berger, 2008 cit
Boy, et al.,2012). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Srikrishna, et al.,(2015) di India,
terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar SGOT pada penderita STEMI dan
NSTEMI. Ditemukan kadar SGOT pada STEMI lebih tinggi dibandingkan NSTEMI
(147.50 ± 38.97 vs 81.33 ± 26.13). Sedangkan pada penelitian Prabodh, et al.,(2012)
kadar SGOT pada infark miokard ditemukan peningkatan yang signifikan (296.02 ±
135.69) dengan nilai p= 0.0007.

1.2 Rumusan Masalah


1. Berapa prevalensi ACS di Indonesia?
2. Apa pengertian ACS?
3. Apa saja klasifikasi ACS?
4. Bagaimana etiologi dan faktor resiko ACS?
5. Bagaimana patofisiologi dari ACS?
6. Apa saja tanda dan gejala ACS?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada ACS?
8. Bagaimana penatalaksanaan medis pada ACS?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada ACS?
10. Apakah terdapat komplikasi pada ACS?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui prevalensi ACS di Indonesia
2. Mengetahui pengertian ACS
3. Mengetahui klasifikasi ACS
4. Mengetahui etiologi dan faktor resiko ACS
5. Mengetahui patofisiologi ACS
6. Mengetahui tanda dan gejala ACS
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada ACS
8. Mengetahui penatalaksanaan medis pada ACS
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada ACS
10. Mengetahui komplikasi pada ACS
BAB II

PEMBAHASAN

Kasus
Seorang klien datang ke EMG Rumah Sakit Swasta dengan keluhan nyeri dada
sebelah kiri, menjalar ke lengan kiri, leher, dan punggung disertai dengan keringat dingin.
Nyeri dada dirasakan sejak 4 jam SMRS, klien mengeluh mual dan muntah, serta terlihat
meringis kesakitan. Seorang perawat melakukan anamnesa, didapatkan hasil sebagai berikut:
klien memiliki riwayat merokok sejak 15 tahun lalu dengan 1 bungkus per hari. Klien
mempunyai riwayat keturunan terkena penyakit jantung. Hasil TTV menunjukan: TD: 130/90
mmHg, HR: 108 x/menit, RR: 24 x/menit. Hasil pemeriksaan lab menunjukan CKMB 100
gr/dl, troponin T positif, leukosit 15.000 gr/dl. Hasil perekaman EKG menunjukan ST elevasi
di lead II, III, aVF. Klien diberikan therapy ISDN 5 mg SL, dan klien direncanakan untuk
dilakukan tindakan Primary PCI, dan pemberian obat pengencer darah. Klien bertanya
bagaimana bisa terkena penyakit ini. Diagnosa medis klien Akut Inferior MCI, perawat dan
dokter serta paramedik lainnya yang terkait, melakukan perawatan secara integrasi untuk
menghindari / mengurangi resiko komplikasi lebih lanjut.

2.1 Prevalensi ACS


Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung
kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis,
ditandai dengan nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat
ketika sedang mendaki/kerja berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di
jalan datar atau berjalan jauh. Penyakit jantung koroner terdiri dari penyakit jantung
koroner stabil tanpa gejala, angina pektoris stabil, dan Sindrom Koroner Akut (SKA).
Penyakit jantung koroner stabil tanpa gejala biasanya diketahui dari skrining, sedangkan
angina pektoris stabil didapatkan gejala nyeri dada bila melakukan aktivitas yang
melebihi aktivitas sehari-hari.
Data WHO tahun 2015 menunjukkan bahwa 70% kematian di dunia disebabkan oleh
Penyakit Tidak Menular (39,5 juta dari 56,4 kematian). Dari seluruh kematian akibat
Penyakit Tidak Menular (PTM) tersebut, 45% nya disebabkan oleh Penyakit jantung dan
pembuluh darah, yaitu 17.7 juta dari 39,5 juta kematian.

5
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi Penyakit Jantung
berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 1,5%, dengan peringkat prevalensi
tertinggi, antara lain :
1. Provinsi Kalimantan Utara 2,2%,
2. DIY 2%,
3. Gorontalo 2%.
Selain ketiga provinsi tersebut, terdapat pula 8 provinsi lainnya dengan prevalensi
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi nasional. Delapan provinsi
tersebut adalah:
1. Aceh (1,6%),
2. Sumatera Barat (1,6%),
3. DKI Jakarta (1,9%),
4. Jawa Barat (1,6%),
5. Jawa Tengah (1,6%),
6. Kalimantan Timur (1,9%),
7. Sulawesi Utara (1,8%) dan
8. Sulawesi Tengah (1,9%).
Penyakit kardiovaskular terdiri dari PJK, gagal jantung, aritmia ventrikular dan
kematian jantung mendadak, penyakit jantung rematik, aneurisma arteri abdominal,
penyakit arteri perifer, dan penyakit jantung bawaan. Dari antara semua penyakit
kardiovaskular, PJK merupakan manifestasi dominan.WHO memperkirakan PJK adalah
penyebab utama dari kematian di dunia.
Sindrom koroner akut (SKA) seperti angina pektoris tidak stabil (UAP,
Unstableangina pectoris), infark miokard dengannon elevasi segmen ST (NSTEMI, non
STsegment elevation myocardial infarction), infark miokard dengan elevasi segmen ST
(STEMI, ST segment elevation myocardialinfarction) merupakan bagian dari PJK. Pada
SKA, suplai darah ke jantung tiba-tiba berkurang bahkan terhenti akibat penumpukan
kolesterol dan formasi dari gumpalan darah di dalam arteri jantung. Menyebabkan
berkurangnya suplai oksigen ke jantung sehingga memicu angina pektoris serta infark
miokard, dimana terjadi kerusakan pada jantung.
Sekitar 30% dari pasien serangan jantung di United Kingdom mengalami UAP dalam
kurun waktu dibawah tiga bulan. SKA juga mempengaruhi ribuan warga Australia.
Diperkirakan 69.900 orang berusia >25 tahun mengalami serangan jantung pada tahun
2011. Selanjutnya, PJK berkontribusi 15% dari semua kematian di Australia pada tahun
2011. Masyarakat Aborigin dan Torres Strait Islander yang dirawat di rumah sakit
dengan SKA mengalami angka kematian dua kali lebih banyak. Jika SKA tidak ditangani
secara cepat dan adekuat, maka kondisi tersebut dapat menyebabkan kematian. Pada
kenyataannya, SKA merupakan salah satu dari lima penyakit tersering yang
menyebabkan kematian di United Kingdom setelah berbagai macam kanker dan stroke.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, selama periode Januari 2010 sampai Desember
2010 di Irina F Jantung RSUP Prof. Dr. R. D Kandou Manado tercatat 230 kasus PJK.
Berdasarkan kelompok umur 61-70 tahun sebanyak 69 kasus (30%), jenis kelamin laki-
laki sebanyak 159 kasus (69,13%), 86 kasus disertai penyakit penyerta yang terbanyak
diantaranya hipertensi 52 kasus (55,32%), dan manifestasi klinis yang didapat adalah
OldMyocardial Infarction (OMI) sebanyak 71kasus (30,87%).
Dari penelitian-penelitian epidemio-logis prospektif seperti penelitian Framingham,
Multiple Risk FactorsIntervention dan Prospective Cardio vascular Munster
(PROCAM), diketahuibahwa faktor risiko seseorang untuk terkena SKA ditentukan
melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko.Pada 85% orang yang menderita spasme
arteri koroner ditemukan juga atero-sklerosis. Sekitar 10-15% dari penderita nyeri dada
yang khas, spasme arteri koroner dapat menjadi penyebab utama dari kekurangan
oksigen (iskemik) dan dapat menyebabkan rasa nyeri. Beberapa orang yang menderita
angina dapat juga ditemukan arteri koroner yang normal. Angina yang dirasakan tersebut
disebabkan karena konstriksi atau penyempitan dari katub aorta.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui
prevalensi penderita SKA yang dirawat di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode
1 Januari 2014 sampai 31 Desember 2014.
Dari 126 kasus, terdapat 72 kasus (57,1%) UAP, 35 kasus (27,8%) NSTEMI, dan 19
kasus (15,1%) STEMI. UAP merupakan kasus dengan prevalensi tertinggi dan STEMI
merupakan kasus dengan prevalensi terendah (Gambar 1).
Gambar 1. Distribusi kasus berdasarkan klasifikasi diagnosis dalam bentuk diagram

Distribusi Kasus Berdasarkan Faktor Risiko

Jenis Kelamin

Prevalensi kasus SKA berdasarkan jenis kelamin didapatkan laki-laki sebanyak 90


kasus (71,4%) dan perempuan sebanyak 36 kasus (28,6%) dari total jumlah kasus
(Gambar 2).

Distribusi jenis kelamin berdasarkan klasifikasi diagnosis didapatkan prevalensi


kasus UAP pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 44 kasus (61,1%) dan
perempuan sebanyak 28 kasus (38,9%) dari total jumlah pasien terdiagnosis UAP.
Prevalensi kasus NSTEMI pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 30
kasus (85,7%) dan perempuan sebanyak 5 kasus (14,3%) dari total jumlah pasien
terdiagnosis NSTEMI. Prevalensi kasus STEMI pada pasien dengan jenis kelamin laki-
laki sebanyak 16 kasus (84,2%) dan perempuan sebanyak 3 kasus (15,8%) dari total
jumlah pasien terdiagnosis STEMI (Gambar 3).
Gambar 3. Distribusi jenis kelamin berdasarkan klasifikasi diagnosis dalam
bentuk diagram

Umur

Dari 126 data kasus SKA, tidak didapatkan pasien SKA berumur ≤30 tahun
(0%) . Sedangkan prevalensi kasus SKA pada kelompok umur 31-40 tahun
sebanyak 2 kasus (1,6%), 41-50 tahun sebanyak 15 kasus (11,9%), 51-60 tahun
sebanyak 42 kasus (33,3%), 61-70 tahun sebanyak 48 kasus (38,1%), 71- 80 tahun
sebanyak 16 kasus (12,7%) dan pada umur >80 tahun sebanyak 3 kasus (2,4%).
Prevalensi tertinggi adalah pada kelompok umur 61-70 tahun, diikuti dengan
kelompok umur 51-60 tahun (Gambar 4). Didapatkan pasien dengan umur terendah
ialah 38 tahun dan umur tertinggi ialah 92 tahun.

Gambar 4. Distribusi kasus berdasarkan umurdalam bentuk diagram

Distribusi umur berdasarkan klasisfi-kasi diagnosis, didapatkan prevalensi kasus


UAP pada kelompok umur 31-40 tahun sebanyak 1 kasus (1,4%), 41-50 tahun
sebanyak 6 kasus (8,3%), 51-60 tahun sebanyak 25 kasus (34,7%), 61-70 tahun
sebanyak 31 kasus (43,1%), 71-80 tahun sebanyak 7 kasus (9,7%), dan >80 tahun
sebanyak 2 kasus (2,8%) dari total jumlah pasien terdiagnosis UAP (Gambar 5).
Prevalensi kasus NSTEMI pada kelompok umur 31-40 tahun sebanyak 1 kasus
(2,9%), 41-50 tahun 8 kasus (22,9%), 51-60 tahun 11 kasus (31,4%), 61-70 tahun 8
kasus (22,9%), 71-80 tahun 6 kasus (17,1%), dan >80 tahun 1 kasus (2,9%) dari total
jumlah pasien terdiagnosis NSTEMI (Gambar 6).
Gambar 6. Distribusi kasus NSTEMI berdasarkan umur dalam bentuk diagram

Prevalensi kasus STEMI pada kelompok umur 41-50 tahun sebanyak 1 kasus
(5,3%), 51-60 tahun sebanyak 6 kasus (31,6%), 61-70 tahun sebanyak 9 kasus
(47,4%), 71-80 tahun sebanyak 3 kasus (15,8%), tidak ditemukan pasien STEMI
pada kelompok umur 31-40 tahun dan >80 tahun dari total jumlah pasien
terdiagnosis STEMI (Gambar 7).

Gambar 7. Distribusi kasus STEMIberdasarkan umur dalam bentuk diagram

Faktor Risiko Lainnya

Prevalensi kasus SKA dengan riwayat hipertensi sebanyak 87 kasus (69,0%),


riwayat diabetes melitus (DM) 32 kasus (25,4%), riwayat dislipidemia 37 kasus
(29,4%), riwayat obesitas 7 kasus (5,6%), dan riwayat merokok 19 kasus (15,1%).
Dalam hal ini pasien yang memiliki lebih dari satu faktor risiko termasuk umur >40
tahun dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 122 kasus (96,8%), dan tidak ada pasien
yang tidak memiliki faktor risiko (Gambar 8).

Distribusi faktor risiko lainya berdasarkan diagnosis pasien, didapatkan data


sebagai berikut:

Prevalensi kasus SKA dengan riwayat hipertensi tergolong tinggi, karena


sebagian besar pasien memiliki riwayat hipertensi dan dalam penelitian ini
didapatkan riwayat obesitas dan merokok masih tergolong rendah. Hal ini dilihat
juga dari tingkat riwayat faktor risiko dari setiap klasifikasi diagnosis (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi faktor risiko lainnyaberdasarkan klasifikasi diagnosis

Prevalensi kasus UAP dengan riwayat hipertensi sebanyak 52 kasus (72,2%),


DM 17 kasus (23,6%), dislipidemia 18 kasus (25,0%), obesitas 4 kasus (5,6%), dan
merokok 6 kasus (8,3%) dari total jumlah pasien terdiagnosis UAP (Gambar 9).
Gambar 9. Distribusi kasus UAP berdasarkanfaktor risiko dalam bentuk diagram

Prevalensi kasus NSTEMI dengan riwayat hipertensi sebanyak 25 kasus


(71,4%), DM 10 kasus (28,6%), dislipidemia 14 kasus (40,0%), obesitas 3 kasus
(8,6%), dan merokok 9 kasus (25,7%) dari total jumlah pasien terdiagnosis NSTEMI
(Gambar 10).

Gambar10. Distribusi kasus NSTEMI berdasarkan faktor risiko dalam bentuk


diagram
Prevalensi kasus STEMI dengan riwayat hipertensi sebanyak 10 kasus (52,6%),
DM 5 kasus (26,3%), dislipidemia 5 kasus (26,3%), dan merokok 4 kasus (21,1%)
dari total jumlah pasien terdiagnosis STEMI (Gambar 11).

Gambar 11. Distribusi kasus STEMI berdasarkan faktor risiko dalam bentuk
diagram

Data World Health Organization (WHO) pada tahun 2016 menunjukkan


bahwa penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian nomor satu secara
global dengan persentase sebesar 31%, pada tahun 2015 angka kematian akibat
penyakit jantung koroner adalah 20 juta jiwa dan di tahun 2030 mendatang
diprediksi akan meningkat kembali dengan pencapaian angka 23,6 juta jiwa
penduduk.
Di Indonesia salah satu penyebab kematian penduduk adalah penyakit
jantung koroner. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018
menunjukkan prevalensi PJK di Indonesia sebesar 1,5%. Di Sumatera Barat
prevalensi PJK terjadi peningkatan dari 1.2% di tahun 2013 menjadi 1.9% di tahun
2018. Data dari Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2017 menyebutkan 144
penduduk kota Padang meninggal akibat penyakit jantung koroner.
2.2 Definisi dan Klasifikasi ACS

1) Definisi ACS
Arteri koroner adalah pembuluh darah yang menyuplai otot jantung, yang
mempunyai kebutuhan metabolisme tinggi terhadap oksigen dan nutrisi. Jantung
mempunyai 70 sampai 80 % oksigen yang dihantarkan melalui arteri koroner,
sebagai pembandingan, bahwa organ lain hanya menggunakan rata-rata seperempat
oksigen yang dihantarkan.
Arteri ini melingkari jantung dalam dua lekuk anatomis eksterna, yaitu: sulkus
atrioventrikuler yang melingkari jantung di antara atrium dan ventrikel, dan sulkus
interventrikuler yang memisahkan kedua ventrikel. Pertemuan kedua lekuk ini
disebut kruks jantung, dan merupakan salah satu bagian terpenting dari jantung.
Nodus Atrio Ventrikuler (AV Node) berlokasi pada titik pertemuan, dan pembuluh
darah yang melewati pembuluh darah yang melewati kruks ini merupakan pembuluh
yang memasok nutrisi untuk AV Node.
Arteri koroner kanan memberi nutrisi untuk jantung bagian kanan (atrium
kanan, ventrikel kanan dan dinding sebelah dalam ventrikel kiri), yang berjalan
disisi kanan, pada sulkus atrio ventrikuler kanan. (Juliawan. 2012).
Penyakit pembuluh darah arteri koroner adalah gangguan fungsi sistem
kardiovaskuler yang disebabkan karena otot jantung kekurangan darah akibat adanya
oklusi pembuluh darah arteri koroner dan tersumbatnya pembuluh darah jantung
(AHA, 2017). Penyempitan lumen arteri terjadi karena adanya penumpukkan lemak,
kalsifikasi lemak, dan proliferasi sel-sel otot polos. Penyumbatan pada pembuluh
darah koroner disebabkan oleh adanya penumpukkan lemak dan kolesterol yang
mengeras di sepanjang dinding arteri. Kolestrol yang menumpuk ini akan
menyumbat aliran darah sehingga akan mengganggu kerja jantung untuk memompa
darah keseluruh tubuh, sehingga akan menyebabkan penyumbatan pembuluh darah
koroner, bersifat parsial maupun total (Lee, Kang, Song, Rho, & Kim, 2015).
Sindrom Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah
kejadian kegawatan yang diakibatkan oleh gangguan pada pembuluh darah Koroner
yang bersifat progresif, terjadi perubahan secara tiba-tiba dari stabil menjadi tidak
stabil. (Susilo., 2013; Oktavianus & Sari., 2014) Sindrom Koroner Akut adalah suatu
kadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinik brupa perasaan tidak enak
didada atau gejala- gejala lain sehingga akibat dari iskemia miokard.
2) Klasifikasi ACS
ACS merupakan penyakit jantung koroner yang menjadi penyebab utama
kematian di dunia, dimana terdapat lebih dari 4,5 juta penduduk meninggal karena
ACS ,yang termasuk kedalam ACS adalah : ST Elevasi Miocard Infark (STEMI),
Non ST Elevasi Miocard Infark (NSTEMI) dan Unstable Angina Pektoris (UAP).
a. ST Elevasi Miokard Infark (STEMI)
ST-Elevation Myocardial Infraction (STEMI) adalah kerusakan jaringan
miokard akibat iskemia hebat yang terjadi secara tiba-tiba. STEMI adalah cermin
dari pembuluh darah koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran
darahnya benar-benar terhenti, otot jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-
oksigen dan mati. (Putra. 2012).
Kejadian ini erat hubungannya dengan adanya penyempitan arteri koronaria
oleh plak atheroma dan thrombus yang terbentuk akibat rupturnya plak atheroma.
Secara anatomi, arteri koronaria dibagi menjadi cabang epikardial yang
memperdarahi epikard dan bagian luar dari miokard dan cabang profunda yang
memperdarahi endokard dan miokard bagian dalam (Oktavianus & Sari., 2014).
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak.
Infark mokard akut dengan elevasi ST (ST elevation myiocardinal infrarction =
STEMI) merupakan bagian dari spektrum koroner akut (SKA) yang terdiri dari
angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST
(Masturah.2012).
Elevasi segmen ST, Kondisi ini disebut ACS elevasi ST dan umumnya refleksi
Oklusi koroner total akut. Sebagian besar pasien pada akhirnya Kembangkan ST-
Elevation myocardial infarction (STEMI). Pengobatan utama pada pasien ini
adalah reperfusi segera Dengan angioplasti primer atau terapi brinolitik. (Roffi.
2016)
b. NON-ST Elevasi Miokard Infark (NONSTEMI)
Non ST-Elevation Myocardial Infraction (NSTEMI) yang sering disebut
dengan istilah non Q-wave MI atau sub-endocardial MI. Pada beberapa pasien
dengan NSTEMI, mereka memiliki resiko tinggi untuk terjadinya kemacetan
pembuluh darah koroner, yang dapat menyebabkan kerusakan miokardium yang
lebih luas dan aritmia yang dapat menyebabkan kematian. Resiko untuk
terjadinya sumbatan dapat terjadi pada beberapa jam pertama dan menghilang
dalam seiring dengan waktu. (Juliawan, 2012).
ST-Elevation Myocardial Infraction (STEMI) didefinisikan sebagai NSTEMI
adalah cermin dari pembuluh darah koroner tertentu yang tersumbat tidak total,
nekrosis miokardium yang disebabkan oleh tidak adekuatnya pasokan darah
akibat sumbatan akut arteri koroner yang ditandai dengan adanya segmen ST
elevasi pada EKG. Sumbatan yang tidak total cedera atau iskemia yg terjadi
bersifat iskemia subendokardial jenis iskemia ini memberi gambaran yang
berbeda kepada stemi meilputi berupa: St segemen, St depresi, St elevasi
Sumbatan nontotal yang kemudian apabila terdapt infark (kematian oto jantung)
menjadi NSTEMI apabila belum terjadi infark menjadi UAP.
Sumbatan ini sebagian besar disebabkan oleh repture plak, atheroma pada
arteri koroner yang kemudian diikuti oleh terjadinya thrombosis, vasokonstriksi,
reaksi inflamasi, dan mikroembolisasi distal.Kadang-kadang sumbatan akut ini
dapat pula disebebkan oleh spame arteri koroner, emboli atau vaskulitis.
(Oktavianus & Sari., 2014)
c. Unstable Angina Pectoris
Unstable angina pectoris (UAP) adalah suatu sindromaklini yang ditandai
dengan episode atau paroksisma nyeri atau perasaan tertekan di dada depan.
Penyebabnya diperkirakan berkurangnya aliran darah coroner, menyebabkan
suplai oksigen ke jantung tidak adekuat, atau dengan kata lain suplai kebutuhan
oksigen jantung meningkat.
Angina pectoris didefinisikan sebagai perasaan tidak enak di dada (chest
discomfort) akibat iskemia miokard. Perasaan tidak enak di dada ini berupa nyeri,
rasa terbakar, atau rasa tertekan. Kadang-kadang tidak dirasakan di dada
melainkan di leher, rahang bawah, bahu, atau di ulu hati. (Oktavianus & Sari.,
2014)
Angina pektoris adalah hasil dari iskemia miokard yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara suplai darah miokard dan kebutuhan oksigen. Ini
adalah menyajikan gejala umum (biasanya, nyeri dada) di antara pasien dengan
penyakit arteri koroner (CAD). Sekitar 9,8 juta orang Amerika diperkirakan
mengalami angina per tahun, dengan 500.000 kasus baru angina terjadi setiap
tahun. (Alaeddini., 2016)
Yang tegolong dalam unstable angina pectoris (UAP) adalah nyeri dada yang
munculnya tidak tentu, dapat terjadi pada saat penderita sedang melakukan
kegiatan fisik atau dalam keadaan istirahat dan gejalanya bervariasi tergantung
bentuk, besar kecil dan keadaan thrombus.
Perbedaan:
1. ST(IMA-EST): pada pemeriksaan biokimia-biomarka adanya peningkatan
troponin, adanya ST elevasi pada EKG, dan terjadi angina pectorisa tidak
stabil.
2. ST (IMA-NEST): pada pemeriksaan biokimia-biomarka adanya peningkatan
troponin, namun tidak adanya ST elevasi pada EKG (bahkan bisa terjadi ST
depresi), dan terjadi angina pectorisa tidak stabil.
3. Angina Pectorisa Tidak Stabil (APTS): enzim jantung seperti troponin tidak
ada peningkatan, terjadi ST-depresi.

2.3 Tanda dan Gejala ACS

1) Sesak Napas (Dispneu)


Pada pasien penderita ACS, dapat terjadi Infark Miokard (serangan jantung) di
mana terdapat penyumbatan aliran darah ke otot jantung sehingga kontraktilitas
ventrikel dan curah jantung menurun yang dapat menyebabkan volume dan tekanan
ventrikel bertambah sehingga bendungan pada vena pulmonalis tidak mampu
menampung pasokan darah ke jantung sisi kiri, akibatnya cairan berpindah ke ruang
intertisial di mana wilayah berisi cairan yang mengelilingi sel-sel suatu jaringan
tertentu. Dalam kasus ini, dapat memicu edema paru karena penumpukan cairan di
paru sehingga menyebabkan palpitasi / jantung berdebar yang berakhir sesak napas
atau dispneu serta mudah lelah.

2) Mudah Lelah
Pada pasien penderita ACS, dapat terjadi Iskemia Miokard di mana kondisi
yang terjadi ketika aliran darah berhenti pada sebagian jantung, menyebabkan
kerusakan pada otot jantung. Salah satu dampak akibat Iskemia Miokard adalah
metabolisme sel terganggu karena iskemia dapat diartikan sebagai pembatasan dalam
suplai darah ke jaringan, menyebabkan kekurangan oksigen dan glukosa yang
diperlukan untuk metabolisme sel (untuk menjaga agar jaringan tetap hidup. Akibat
metabolisme sel yang terganggu, metabolisme anaerobik terganggu. Metabolisme
anaerobik adalah di mana tubuh memproduksi sebagian besar ATP dari lemak dan
karbohidrat melalui reaksi kimia yang melibatkan oksigen. Karena oksigen
terhambat, metabolisme anaerobik yang terganggu menyebabkan produksi ATP yang
menurun sehingga sel tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen (O2) yang berakhir
menyebabkan seseorang mudah lelah.

3) Denyut Nadi (Heart Rate) Meningkat


Pada pasien penderita ACS, dapat terjadi Infark Miokard (serangan jantung) di
mana terdapat penyumbatan aliran darah ke otot jantung sehingga kontraktilitas
ventrikel dan curah jantung menurun yang dapat menyebabkan tekanan arteri ikut
menurun dimana fungsi arteri adalah membawa darah dari jantung. Hal ini
mengakibatkan pengaktifan pada saraf simpatis yang memacu produksi hormon
katekolamin. Katekolamin adalah ‘stres’ hormon (seperti adrenalin atau
noradrenalin) dan dilepaskan selama masa stres untuk membantu memerangi tubuh
tekanan tambahan (yang disebut respon ‘fight or flight’). Lalu terjadilah
vasokontraksi atau penyempitan pada pembuluh darah yang memacu meningkatnya
tekanan darah akibat hambatan tersebut sehingga kerja jantung meningkat dan ini
mengakibatkan denyut nadi yang juga meningkat.

Proses Terjadinya Nyeri dada sebelah kiri menjalar ke lengan kiri dan punggung
a. Aterosklerosis adalah penyempitan dan penebalan arteri karena penumpukan plak
pada dinding arteri. Penumpukan plak tersebut terjadi saat lapisan sel pada dinding
dalam arteri (endothelium) yang bertugas menjaga kelancaran aliran darah mengalami
kerusakan.
b. Plak yang menyebabkan aterosklerosis terdiri dari kolesterol, zat lemak, kalsium, dan
fibrin (zat dalam darah).  Plak dapat terbawa aliran darah hingga menyebabkan
penyumbatan, atau membentuk bekuan darah pada permukaan plak. Hal tersebut
menyebabkan peredaran darah dan oksigen dari arteri ke organ tubuh terhambat.
Sebagian jantung menjadi kekurangan oksigen, suatu kondisi yang disebut
“iskemia jantung”.
c. Metabolisme sel terganggu menyebabkan kadar asam di dalam tubuh sangat tinggi
sehingga mengakibatkan asidosis yang mana mengakibatkan nyeri dada sebelah kiri.
Rasa nyeri pada dada yang terjadi saat aliran darah dan oksigen menuju otot jantung
tersendat atau terganggu. Ujung rangsangan di miokard, serabut operen, menuju ke
sistem saraf pusat, akar dorsalis skorokalis, ke fleksus brakialis, sehingga
menyebabkan nyeri dada kiri, lengan kiri, punggung kiri.

Proses Terjadinya Berkeringat dingin


Keringat dingin pada pasien dikarenakan respon kompensasi dari dalam tubuh,
dimana saat tekanan darah turun saraf simpatis akan terespon untuk meingkat, lalu
mengeluarkan hormon katekolamin dan menyebabkan vasokontriksi. Vasokontriksi yang
terjadi pada pembuluh darah perifer akan menyebabkan aliran darah perifer berkurang
sehingga tidak tersalurkannya panas tubuh karena cairan adalah penghantar panas,
sehingga permukaan kulit akan dingin dan pucat serta mengeluarkan keringat dingin.

Proses terjadinya Mual dan Muntah pada pasien ACS


Acute coronary syndrome (ACS) merupakan suatu istilah atau terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan spektrum penyakit arteri koroner yang bersifat
trombotik. Sedangkan mual merupakan sensasi tidak nyaman di area perut yang biasanya
muncul sebelum muntah. Dan muntah diartikan sebagai pengeluaran isi saluran
pencernaan melalui mulut secara aktif karena adanya kontraksi otot perut, dada, dan
saluran pencernaan. Mual dan muntah dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, di
antaranya akibat gangguan pada jantung.
Gejala mual muntah pada pasien ACS terjadi akibat terhambatnya aliran darah pada
arteri koroner yang menyuplai darah ke otot jantung. Sehingga akan menimbulkan
iskemia miokard, kondisi dimana terhambatnya aliran darah ke jantung yang
menyebabkan suplai darah ke jantung pun menurun. Akibat terhambatnya alirah darah
itu pun menyebabkan metabolisme sel yang lain ikut terganggu. Saat tubuh tidak dapat
bermetabolisme dengan baik, maka tubuh tidak bisa membuang sisa metabolisme keluar
tubuh. Akibatnya, tubuh akan mengalami peningkatan asam laktat yang merupakan sisa
metabolisme tubuh yang menumpuk ketika tubuh kekurangan O2. Peningkatan asam
laktat tersebut dapat menyebabkan tubuh mengalami asidosis dengan diikuti gejala nyeri
dada sebelah kiri.
Akibat terjadinya nyeri dada, penderia ACS akan mengalami cemas. Karena
timbulnya perasaan cemas ini, menyebabkan produksi hormon kortisol meningkat.
Fungsi utama kortisol adalah untuk metabolisme glukosa di dalam tubuh. Kortisol
berperan dalam meningkatkan kadar glukosa tersebut dengan membantu mobilisasi
glukagon dari pankreas, serta meningkatkan metabolisme pembentukan glukosa dari
bahan non-karbohidrat (lemak dan protein) hal ini terjadi saat meningkatkan kadar
glukosa dalam tubuh.
Laju metabolisme yang tinggi cenderung terjadi saat kondisi tubuh yang mencekam
(stress), karena itu sebagai bahan bakar pembentuk energi dibutuhkan banyak glukosa.
dalam membantu penyediaan akan kebutuhan glukosa yang meningkat perlu adaya
kortisol sebagai pembantu dalam penyediaan tersebut. Karena proses peningkatan
kortisol tersebut menyebabkan otot lambung berkontraksi yang dapat membuat
terjadinya peningkatan asam lambung. Akibatnya, penderita ACS akan mengalami gejala
mual dan muntah.

2.4 Pathway ACS

2.5 Etiologi dan Faktor Resiko ACS

1) Etiologi ACS
Etiologi primer dari sindrom koroner akut (ACS) adalah aterosklerosis. ACS
merupakan sindroma klinis akibat adanya penyumbatan pembuluh darah koroner,
baik bersifat intermitten maupun menetap akibat rupturnya plak atherosklerosis. Hal
tersebut menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard
(Hamm et. al., 2011). Pembuluh darah koroner merupakan saluran pembuluh darah
yang membawa darah mengandung O2 dan makanan yang dibutuhkan oleh miokard
agar dapat berfungsi dengan baik.
Aterosklerosis terjadi akibat inflamasi kronis pada pembuluh darah yang
dipicu akumulasi kolesterol pada kondisi kelainan metabolisme lemak yaitu
tingginya kadar kolesterol dalam darah. Plak aterosklerosis dapat ruptur dan memicu
pembentukan trombus sehingga terjadi oklusi pada arteri koroner. Aterosklerosis
merupakan kondisi patologis dengan ditandai oleh endapan abnormal lipid,
trombosit, makrofag, dan leukosit di seluruh lapisan tunika intima dan akhirnya ke
tunika media. Akhirnya terjadi perubahan struktur dan fungsi dari arteri koroner dan
terjadi penurunan aliran darah ke miokard. Perubahan gejala klinik yang tiba-tiba
dan tak terduga berkaitan dengan ruptur plak dan langsung menyumbat ke arteri
koroner (Majid, 2008).
Penyebab dari sindrom koroner akut (ACS) ini adalah trombus tidak oklusif
pada plak yang sudah ada, obstruksi dinamik (spasme koroner atau vasokonstriksi),
obstruksi mekanik yang progresif, inflamasi dan/atau infeksi, faktor atau keadaan
pencetus.

2) Faktor Resiko
American Heart Association / American College of Cardiologi (2017)
membagi faktor risiko kardiovaskular dalam 3 bagian,yaitu:
A. Faktor risiko utama yaitu faktor risiko yang menunjukkan hubungan
kuantitatif faktor risiko dengan risiko ACS, yaitu:
a) Merokok
Orang yang merokok mempunyai risiko 2 kali lebih banyak untuk
menderita penyakit kardiovaskular dibanding orang yang tidak merokok.
Efek merokok terhadap terjadinya aterosklerosis antara lain dapat
menurunkan kadar HDL, trombosit lebih mudah mengalami agregasi,
mudah terjadi luka endotel karena radikal bebas dan pengeluaran
katekolamin berlebihan serta dapat meningkatkan kadar LDL dalam darah.
Kematian mendadak karena SKA 2 – 3 kali lebih banyak pada perokok
dibandingkan bukan perokok. Orang yang merokok mempunyai risiko
kematian 60% lebih tinggi, karena merokok dapat menstimulasi
pengeluaran katekolamin yang berlebihan sehingga fibrilasi ventrikel
mudah terjadi.
Merokok dapat menaikkan kadar karbon dioksida dalam darah,
kemampuan mengikat oksigen menjadi menurun dan jumlah oksigen yang
rendah dapat mengganggu kemampuan jantung untuk memompa, dan
nikotin yang terkandung dalam rokok menstimulasi diproduksinya
katekolamin yang akan meningkatkan frekuensi heart rate dan blood
pressure. Merokok akan mengganggu respon vaskuler sehingga
meningkatkan adhesi dari platelet, yang akan meningkatkan risiko
terjadinya trombus (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010). Trombus
merupakan gumpalan darah yang menempel pada pembuluh darah, hal ini
terjadi karena permukaan pembuluh darah mengalami kerusakan. Trombus
yang menempel pada dinding pembuluh darah akan berdampak pada
gangguan aliran darah karena trombus dan berpotensi untuk lepas yang
selanjutnya akan berjalan didalam aliran darah sehingga terjadilah
penutupan pembuluh darah secara mendadak. Hasil penelitian menyatakan
bahwa pasien yang mempunyai riwayat merokok menunjukkan adanya plak
koroner yang lebih tinggi (rata-rata ± SD, 38,6 ± 12,5%) dibandingkan
dengan yang tidak pernah merokok (36,4 ± 11,0%), p-value = 0.080 (Hoo,
Foo, Lim, Ching, & Boo, 2016).

b) Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai suatu peningkatan tekanan darah
sistolik dan atau tekanan darah diastolik yang tidak normal. Nilai yang
dapat diterima berbeda sesuai usia dan jenis kelamin. Hipertensi merupakan
faktor risiko yang secara langsung dapat menyebabkan kerusakan penbuluh
darah.
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi
mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini
menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang
bermakna. Bila terdapat gejala, sifatnya non spesifik misalnya sakit kepala
atau pusing. Kalau hipertensi tetap tidak diketahui dan tidak dirawat, maka
akan mengakibatkan kematian karena SKA, payah jantung, stroke atau
payah ginjal. Diagnosis dini hipertensi dan perawatan yang efektif dapat
mengurangi kemungkinan morbiditas dan mortalitas.
Hipertensi adalah kondisi tekanan darah yang melebihi atau sama
dengan 40 mmHg pada tekanan sistolik dan melebihi atau sama dengan 90
mmHg pada tekanan diastolik (JNC VIII, 2013). Hipertensi merupakan
beban tekanan terhadap dinding arteri yang mengakibatkan semakin berat
beban jantung untuk memompakan darah ke seluruh jaringan, hal ini akan
mengakibatkan fungsi jantung akan semakin menurun dan dinding jantung
akan semakin menebal dan kaku (AHA, 2015). Selain itu pada kondisi
menurunnya kelenturan dinding arteri dan meningkatnya adhesi platelet,
tingginya tekanan juga akan mengakibatkan plak yang menempel pada
dinding arteri akan mudah terlepas dan mengakibatkan trombus (Hoo et al.,
2016).
Trombus terjadi sesudah pecahnya plak aterosklerosis, kemudian
mengaktivasi koagulasi dan platelet. Apabila plak pecah akan terjadi
perdarahan sub endotelial sampai terjadi trombogenesis yang akan
menyumbat baik secara parsial maupun total pada arteri koroner. Apabila
trombus menutup pembuluh darah secara total akan menyebabkan infark
miokard dengan ST elevasi, sedangkan trombus yang menyumbat secara
parsial akan menyebabkan stenosis dan angina yang tidak stabil (Gray,
2005). AHA merekomendasikan target tekanan darah pada ACS adalah <
140/90 mmHg pada pasien berusia < 80 tahun dan < 150/90 mmHg pada
mereka yang berusia > 80 tahun. European Society of Cardiology (ESC)
juga merekomendasikan untuk menurunkan tekanan darah < 140/90 mmHg
tanpa mempertimbangkan usia, dan < 140/85 mmHg pada pasien dengan
diabetes melitus (Archbold, 2016).

c) Dislipidemia
Dislipidemia adalah meningkatnya kadar kolesterol dan bentuk
ikatannya dengan protein seperti trigliserida dan LDL, tetapi sebalikya
kadar HDL menurun. Dislipidemia tidak lepas dari keterpajanan terhadap
asupan lemak sehari – hari terutama asupan lemak jenuh dan kolesterol,
yang dapat meningkatkan insidens penyakit jantung koroner. Dikatakan
setiap penurunan 200 mg asupan kolesterol per 1000 kalori akan
menurunkan 30% insidens penyakit jantung koroner. Sedangkan asupan
lemak jenuh dalam ukuran normal maksimal 10% dari 30% total lemak
yang dibutuhkan untuk keperluan sehari – hari, asupan kolesterol tidak
lebih dari 30 gram perhari. WHO merekomendasikan asupan lemak jenuh
maksimal 10% dari 30% lemak keseluruhan yang digunakan sebagai bahan
kalori ( Hartono,2004; Mann,2000). Study Multiple Risk Factor
Intervention Trial (MRFIT) mengemukakan bahwa angka kematian
meningkat sesuai dengan angka kanaikan kolesterol. Pada kadar kolesterol
diatas 300 mg% angka kematian SKA sebanyak 4 kali dibandingkan
dengan kadar kolesterol dibawah 200 mg%.
Diit juga memiliki implikasi penting pada jumlah kolesterol dan LDL.
Baik pada laki-laki maupun wanita relatif mempunyai kadar yang sama
sampai sekitar usia 20 tahun, setelah itu tingkat titik kolesterol meningkat
lebih pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Namun, setelah menopause,
kadar kolesterol total dan tingkat LDL pada wanita meningkat karena
tingkat estrogen rendah. Selain kolesterol total, LDL, dan HDL merupakan
komponen penting dalam mendiagnosa ACS (AHA, 2013). Kadar HDL dan
LDL telah terbukti menjadi faktor risiko untuk penyakit jantung. Dalam
beberapa penelitian HDL dan trigliserida merupakan prediktor kuat untuk
kematian kardiovaskuler pada wanita dibandingkan LDL dan jumlah
kolesterol (J. & S., 2015).
Kolesterol merupakan suatu jenis lemak yang terdapat di dalam darah,
bentuknya seperti lilin berwarna kuning dan di produksi oleh hati dan usus
halus. Bila tubuh mengkonsumsi cukup banyak makanan maka jumlah
trigliserida dan kolesterol akan meningkat. Kelebihan trigliserida akan
disimpan dalam jaringan lemak di bawah kulit yang kemudian akan
digunakan sebagai cadangan makanan buat tubuh. Kolesterol akan
berikatan dengan VLDL, LDL, dan HDL. Selain makanan yang tinggi
kolesterol dan lemak yang harus dihindari, kandungan makanan yang harus
dihindari adalah makanan tinggi kadar garam, tinggi kalsium dan tinggi
kalium, sebagaimana diketahui bahwa makanan dengan kadar garam tinggi
akan mengikat cairan tubuh lebih tinggi, sehingga beban pre load dan after
load juga akan meningkat dan lebih lanjut lagi kerja jantung akan semakin
berat (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hipertrigliseridemia berat
berkorelasi positif dengan mortalitas ACS. Atherogenic dyslipidemia (AD)
adalah komponen utama dari sindrom metabolik dan merupakan prediktor
penyakit jantung koroner (ACS). Sedangkan LDL merupakan faktor utama
penyebab patogenesis ACS (Wan et al., 2015).

d) Diabetes Mellitus
Pada penderita diabetes terjadi kelainan metabolisme yang disebabkan
oleh hiperglikemi yang mana metabolit yang dihasilkan akan merusak
endotel pembuluh darah termasuk didalamnya pembuluh darah koroner.
Pada penderita diabetes yang telah berlangsung lama akan mengalami
mikroangiopati diabetik yaitu mengenai pembuluh darah besar, dimana
pada penderita ini akan sering mengalami triopati diabetik / mikrongopati
yaitu neuropati, retinopati dan nefropati. Dan bilamana makroangiopati ini
terjadi bersama – sama dengan neuropati maka terjadilah infark
tersembunyi ataupun angina yang tersembunyi yaitu tidak ditemukan nyeri
dada, dimana keadaan ini mencakup hampir 40% kasus.
Pada penderita DM terjadi percepatan aterosklerosis dan 75 – 80%
kematian penderita diabetes disebabkan oleh makroangiopati terutama yang
terjadi pada jantung, yaitu SKA.

e) Stress
Banyak ahli yang mengatakan bahwa faktor stres erat kaitannya
dengan kejadian penyakit jantung koroner. Dalam kondisi stres yang kronis
dan berkepanjangan syaraf simpatis akan dipacu setiap waktu, dan
adrenalin pun akan meningkat, yang akan menyebabkan peningkatan
tekanan darah bersamaan dengan meningkatnya kadar kolesterol dalam
darah. Hal ini tentunya akan membebani jantung dan merusak pembuluh
darah koroner. Stress merupakan salah satu risiko koroner yang kuat, tapi
sukar diidentifikasi.
Stres merupakan respon yang tidak spesifik dari seseorang terhadap
setiap tuntutan kehidupan (Selye, 1976 dalam Stuart & Laraia, 2008).
Chandola (2010, dalam European Heart Journal, 2010) menyatakan bahwa
ada korelasi antara stres psikologis dengan kejadian ACS. Stres yang terus
menerus berlangsung lama akan meningkatkan tekanan darah dan kadar
katekolamin sehingga mengakibatkan penyempitan pada arteri koroner
(Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
Situasi kecemasan dan depresi akan merangsang hipotalamus untuk
mensekresikan adreno cortico tropin (ACTH), yang kemudian akan
menstimulasi korteks adrenal untuk mengeluarkan hormon kortisol yang
berdampak pada perubahan hemodinamik pasien ACS (Hare, Beierle,
Toufexis, Hammack, & Falls, 2014). Perubahan hemodinamik ini terjadi
karena adanya pengaturan sistem neurohormonal yang bersifat adaptif
maupun maladaptif. Sistem neurohormonal bersifat adaptif jika dapat
memelihara MAP selama terjadi penurunan cardiac output (CO). Dikatakan
maladaptif ketika terjadi peningkatan hemodinamik tubuh melebihi nilai
ambang batas normal, sehingga akan menstimulasi peningkatan kebutuhan
oksigen dan memicu cidera sel otot miokard (Onk et al., 2016).

B. Faktor risiko yang tidak dapat dirubah yaitu:


a) Umur dan Jenis Kelami
Semakin bertambahnya umur akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya penyakit jantung koroner. SKA lebih sering timbul pada usia
lebih dari 35 tahun keatas dan pada usia 55 – 64 tahun terdapat 40%
kematian disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Dikutip dari American
Heart Association / American College of Cardiologi (2001). Menurut
Kusmana (2002), umur merupakan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi, dimana seseorang yang berumurblebih atau sama dengan 60
tahun memiliki risiko kematian sebesar 10,13 kali dibandingkan yang
berumur 25 – 49 tahun. Insidens SKA dikalangan wanita lebih rendah
daripada laki – laki, tetapi hal ini akan berubah begitu memasuki periode
menopause, dimana insidens penyakit ini akan mendekati insiden pada pria.
Hariri (1997) mengemukakan bahwa laki – laki lebih dominan untuk
terkena SKA sebesar 2,34 kali jika dibandingkan dengan perempuan.
Mempunyai peranan yang dominan terhadap penyakit yang menyerang
pembuluh darah. Penuaan pembuluh darah dikaitkan dengan perubahan
struktur dan fungsi keberadaan pembuluh darah, khususnya pembuluh darah
besar (Mengden, 2006; Nilson, 2008), seperti diameter lumen, ketebalan
dinding pembuluh darah, peningkatan kekakuan dinding pembuluh darah
dan perubahan fungsi endotel (Mengden, 2006, Najjar et al., 2005).
Pembuluh darah yang paling sering terkena adalah yang bersifat elastis
seperti aorta sentralis dan arteri karotis (Science Blog, 2003, Lakatta, 2003;
Najjar et al., 2005). Lumen pembuluh darah besar akan mengalami dilatasi,
dindingnya semakin tebal dan semakin kaku (Lakatta, 2003; Najjar et al.,
2005). Perubahan ini dipengaruhi oleh perubahan struktur, mekanika, dan
biokimiawi oleh karena faktor umur yang kemudian berakibat pada
menurunnya arterial compliance dan kakunya dinding pembuluh darah (Jani
& Rajkumar, 2006; Laurent et al., 2006; Nilson, 2008). Najjar et al., (2005),
yang mengutip pendapat O’Rourke dan Nicholas, (2005), menyebutkan
bahwa peningkatan kekakuan dinding pembuluh darah adalah akibat dari
siklus tekanan yang terus menerus dan putaran yang berulang-ulang pada
dinding elastis arteri, sehingga menekan jaringan elastisnya untuk
digantikan dengan jaringan kolagen. Selain itu, Lakatta dan Levy, (2003),
dalam review artikelnya menyebutkan juga bahwa kekakuan arteri ini
berkaitan dengan pengaruh regulasi endotel terhadap tonus otot polos arteri
(Lakatta, 2003). Selanjutnya kemungkinan kekakuan dinding ini diperbesar
oleh adanya specific gene polymorphism (Hanon et al., 2001; Safar, 2005).
Aterosklerosis mengalami peningkatan seiring dengan adanya
pertambahan usia. Pada wanita usia dibawah 55 tahun angka kejadian ACS
lebih rendah dibandingkan laki-laki, namun pada usia 55 tahun angka
kejadian relatif sama antara keduanya. Pada usia diatas 55 tahun angka
kejadian jantung koroner pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki
(Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa wanita mempunyai risiko lebih tinggi terjadi serangan jantung
dibandingkan dengan laki-laki (AHA, 2014). Wanita relatif tidak terlalu
rentan terhadap penyakit ACS sampai terjadinya menopause. Usia
merupakan salah satu faktor risiko terkuat untuk penyakit arteri koroner;
kebanyakan kasus terjadi pada pasien yang berusia 40 tahun atau lebih tua.

b) Genetik
Penelitian Rastogi (2004), menyatakan bahwa, orang yang mempunyai
riwayat keluarga positif penyakit jantung memiliki risiko 2,3 kali untuk
mendapatkan SKA dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai
riwayat keluarga. Riwayat orang tua atau dari beberapa generasi
sebelumnya yang menderita penyakit jantung koroner akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya aterosklerosis pada orang tersebut. Tidak hanya
faktor keturunan saja yang dapat menyebabkan ateroseklerosis tetapi juga
familal lipid mempunyai andil dalam meningkatkan penyakit aterosklerosis
tersebut. Riwayat keluarga dapat juga menggambarkan gaya hidup
seseorang yang dapat menyebabkan terjadinya stres dan kegemukan
(Santoso & Setiawan, 2005). Penelitian Saxena (2011) di India menyatakan
bahwa ada korelasi antara kejadian hipertensi dengan riwayat keluarga
aterosklerosis. Seseorang memiliki risiko empat kali lebih besar terkena
ACS, jika kita mempunyai salah satu dari orang tua kita yang mempunyai
riwayat penyakit aterosklerosis.

C. Faktor risiko predisposisi seperti:


a) Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai berat badan lebih yang terutama
disebabkan oleh akumulasi lemak tubuh. Obesitas adalah apabila indeks
masa tubuh (IMT) > 27, dimana IMT adalah berat badan dalam kg
dibanding tinggi dalam m2. Orang dengan obesitas mempunyai risiko 2,68
kali untuk terjadinya SKA. Dikutip dari American Heart Association /
American College of Cardiologi (2001). Studi Farmingham mengemukakan
bahwa pada orang dengan obesitas kemungkinan untuk mengalami payah
jantung dan SKA lebih besar pada laki – laki dibanding perempuan.
Seseorang yang obesitas secara umum berisiko mengalami
hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia, yang merupakan faktor dominan
yang dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis. Selain itu beban cairan
tubuh yang cukup besar dan menurunnya kemampuan beraktivitas secara
bertahap akibat dari obesitas, lambat laun akan menimbulkan meningkatnya
beban kerja jantung dan menurunkan fungsinya. Obesitas berhubungan
dengan peningkatan volume darah dan curah jantung yang disebabkan oleh
peningkatan aktivitas metabolik yang tinggi dan jaringan adiposa yang akan
mempengaruhi perubahan hemodinamik pasien ACS. Hasil perubahan
hemodinamik tersebut menyebabkan left ventrikel (LV) remodeling,
peningkatan stres dinding miokard sehingga berdampak pada
ketidaknyamanan fisik (Plourde, Sarrazin, Nault, & Poirier, 2014).
Secara global, sekitar 39% orang dewasa berusia 18 tahun keatas
mengalami berat badan lebih dan 13% orang dewasa berusia 18 tahun
keatas mengalami obesitas (WHO, 2014). Seseorang dikatakan mengalami
obesitas apabila Body Mass Index (BMI) melebihi 30 (Depkes, 2010). Hasil
penelitian di University Hospital di Gyeonggi-do, South Korea dari 2
Januari 2010 sampai 31 Desember 2012 menunjukkan adanya korelasi
secara signifikan antara usia dan indeks massa tubuh (BMI) terhadap
peningkatan ACS (Lee et al., 2015).
b) Inaktivitas Fisik
Aktifitas fisik atau olahraga akan menstimulasi pembentukan
pembuluh darah kolateral yang berperan protektif terhadap kejadian
miokard infark. Penelitian Monica (1993) yang dilakukan terhadap 2040
orang di 3 kecamatan wilayah Jakarta Selatan menunjukkan mereka yang
teratur berolahraga atau bekerja fisik cukup berat mempunyai presentase
terendah untuk terkena hipertensi ataupun SKA. Orang yang tidak
berolahraga mempunyai risiko terkena SKA 2 kali lebih besar dibanding
yang berolahraga teratur atau beraktifitas fisik cukup berat
(Kusmana,2002 ).

2.6 Patofisiologi ACS


Patofisiologi sindrom koroner akut, baik angina tidak stabil, non-ST segment
elevation myocardial infarction (NSTEMI), atau pun STEMI adalah sama, yakni
manifestasi atau perkembangan akut dari plak aterosklerosis yang koyak atau pecah. Hal
ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak atheroma yang dominan dan penipisan
fibrous cap (tudung fibrosa) yang menutupi plak tersebut, merupakan bentuk plak yang
mudah rupture. Kejadian rupture prak aterosklerosis ini disebut fase disrupsi plak.
Kejadian rupture plak ini diikuti proses agregasi trombosit, yang akan membentuk
thrombus yang kaya trombosit (white thrombus), fase ini disebut fase trombosit akut.
Kemudian, trombus yang terbentuk akan menyumbat lumen pembuluh darah coroner,
baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh
coroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah coroner.
Plak yang menyebabkan aterosklerosis terdiri dari kolesterol, zat lemak, kalsium,
dan fibrin (zat dalam darah). Plak dapat terbawa aliran darah hingga menyebabkan
penyumbatan, atau membentuk bekuan darah pada permukaan plak. Hal tersebut
menyebabkan peredaran darah dan oksigen dari arteri ke organ tubuh terhambat.
Sebagian jantung menjadi kekurangan oksigen, suatu kondisi yang disebut “iskemia
jantung”. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang lebih 20 menit menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).

2.7 Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi factor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus, dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskema.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, daiforesis,
ronkhi basah halus, atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Pericardial friction rub karena pericarditis, kekuatan nadi tidak seimbang, dan
regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, penumotoraks, nyeri peluritik diserta
suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan
diagnosis banding SKA.

2) Pemeriksaan Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 lead merupakan pemeriksaan pertama dalam
menentukan pasien ACS. Pasien dengan keluhan nyeri dada khas harus sudah
dilakukan pemeriksaan EKG maksimal 10 menit setelah kontak dengan petugas.
Pada ACS STEMI didapatkan gambaran hiperakut T, elevasi segmen ST yang
diikuti terbentuk gelombang Q patologis, kembalinya segmen ST pada garis
isoelektris dan gelombang T terbalik. Perubahan ditemui minimal pada 2 lead yang
berdekatan. Adanya RBBB/LBBB onset baru merupakan tanda perubahan EKG
pada infark gelombang Q.
Perekaman EKG harus diulang minimal 3 jam selama 6-9 jam, dan 24 jam
setelahnya, dan secara langsung diperiksa EKG ketika pasien mengalami gejala
nyeri dada berulang/rekuren. Terkadang perlu juga dilakukan pemeriksaan lead V7-
V9 dan lead V3R dan V4R, bila didapatkan ST depresi di V1-V2 dengan gelombang
R prominen dan gejala infark inferior (Winipeg Regional Health Authority/ WRHA,
2008).

3) Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menegakkan adanya ACS, pemeriksaan yang memegang peranan penting
adalah troponin untuk membedakan antara infark dan angina tidak stabil. Troponin
lebih spesifik dan sensitif dibanding enzim kardiak lain seperti creatinin kinase (CK)
dan isoenzimnya (CK-MB). CK-MB dan Troponin T atau I meningkat 48 jam
setelah infark. Peningkatan bermakna minimal 1,5 kali dari batas normal.
Pemeriksaan harus dilakukan secara serial bila pada pemeriksaan pertama normal
tetapi diduga kuat mengalami infark. Peningkatan Troponin mengindikasikan
adanya infark (Marzlin & Webner, 2012).

4) Radiografi Thoraks
Foto rontgen thoraks membantu dalam mendeteksi adanya kardiomegali dan edema
pulmonal, atau memberikan petunjuk penyebab lain dari simptom yang ada seperti
aneurisma thoraks atau pneumonia (Coven, 2013).

5) Ekhokardiografi
Pemeriksaan ekhokardiografi memegang peranan penting dalam ACS.
Ekhokardiografi dapat mengidentifikasi abnormalitas pergerakan dinding miokard
dan membantu dalam menegakkan diagnosis. Ekhokardiografi membantu dalam
menentukan luasnya infark dan keseluruhan fungsi ventrikel kiri dan kanan, serta
membantu dalam mengidentifikasi komplikasi seperti regurgitasi mitral akut, ruptur
LV, dan efusi perikard (Coven, 2013).
Dan ada pemeriksaan ekokardiografi trantorakal saat istirahat dapat
memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk
menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dinding
ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal saat iskemia hilang.
Selain itu, diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau
diseksi aorta dapat dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika
memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia
di ruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin pada pasien
tersangka SKA.
6) Angiografi
Angiografi coroner memberikan informasi mengenai keadaan dan tingkat
keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostic pada
pasien dengan resiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan
okulusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada
pasien yang sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak
ditemukan perubahan EKG diagnostic. Pada pasien dengan penyakit pembuluh
multiple dan pasien dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki resiko tinggi
untuk kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi coroner disertai perekaman
EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali memungkinkan
identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain
eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling
defect yang mengesankan adanya thrombus intrakoroner.

7) Pemeriksaan Biomarka Jantung


Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan biomarka
nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai biomarka nekrosis jantung hanya menunjukkan adanya
nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis
miosit tersebut (penyebab coroner atau non coroner). Tropnin I/T juga dapat
meningkat akibat kelainan kardiak non coroner seperti takiaritmia, trauma kardiak,
gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/pericarditis. Keadaan non-kardiak
yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas,
penyakit neurologic akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan
insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi
yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi
ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesivitas yang lebih tinggi dari
troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, sehingga
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA
tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam
setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada
seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesivitas lebih rendah)
dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat,
CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun
infark periprosedural.
Pemeriksaan biomarka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral.
Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing)
pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatof, lebih cepat (15-20 menit)
tetapi kurang sensitive. Point of care testing sebagai alat diagnostic rutin SKA hanya
dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu . 1
jam. Jika biomarka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatof
maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.
Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang hendaknya
mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes yang
negative pada 1 kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis IMA (Infark Miokard Akut). Kadar troponin pada pasien IMA meningkat
di dalam darah perifer 3-4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu.
Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang dalam 2-3 hari, namun bila
terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu (Gambar 1.1)
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan
CKMB. CKMB akan meningkat dalam waktu 4-6 jam. Mencapai puncaknya pada
12 jam, dan menetap sampai 2 hari.
2.8 Penatalaksanaan Medis
1) ISDN ( Isosorbid Dinitrat)
ISDN adalah obat untuk mengatasi nyeri dada (angina) pada orang dengan
kondisi jantung tertentu, seperti penyakit jantung coroner. Nitrogliserin diberikan
untuk menurunkan konsumsi oksigen jantung yang akan mengurangi ismkemia dan
nyeri angina. Nitrogliserin adalah bahan vasoaktif yang berfungsi melebarkan , baik
vena maupun arteri, sehingga memengaruhi sirkulasi sirkuler. Dengan pelebaran
vena, terjadi pengumpulan darah vena di seluruh tubuh. akibatnya, hanya sedikit
darah yang kembali ke jantung dan terjadilah penurunan tekanan pengisian
(preload).
Nitrogliserin tersedia dalam bentuk tablet sublingual dalam dosis yang
berbeda-beda, topical (oisment, patch transdermal), dan bentuk IV.
Jenis obat Dosis Pemakaian dan pertimbangan
Amil nitrat Inhalasi yang Untuk serangan angina akut. Jarang
menghancurkan digunakan
ampul
Nitrogliserin SL : 0,4 mg Untuk serangan angina akut, letakan tablet
nitrostat dibawah lidah untuk mengatasi angina yang
Dosis bervariasi (0,3-
berat dan hipertensi
0,6 mg)
IV: dosis permulaan
5pg/mnt
Nitrobid Salep : 1-2menit Untuk mencegah serangan angina.
Nitrotransde Patch : 2,5-15 mg Untuk mencegah serangan angina. Patch
m setip 12jam dilepaskan dan diganti dengan patch barnm
kulit harus dirawat dengan baik, beritahu
kepada orang yang menempelkan untuk tidak
menyentuh bagian obatnya
Isosorbid PO : 5-40mg Untuk mencegah serangan angina. Tersedia
dinitrat dalam bentuk tablet, tablet SL, tablet
SL : 2,5-10 mg
kunyah, tablet SR, dapat menurunkan
Tablet kunyah: 5- tekanan darah. Toleransi dapat terjadi pada
10mg pemakaian lama.
Pentaeritrito D : PO : 10-40mg Untuk mencegah serangan angina. Toleransi
l (peritrate) setiap 6jam dapat terjadi pada pemakaian lama.
SR : 20-80 mg.
Setiap 12jam
Ket : PO (Peroral), IV (Intravena), SL (Sublingual), SR (Sustained release)

2) Terapi Reperfusi
A. Reperfusi dengan alat
Primary Percutaneus Coronary Intervention (pPCI) merupakan pilihan utama
dalam terapi reperfusi dibandingkan dengan fibrinolisis. Dengan pPCI maka
risiko perdarahan akibat fibrinolisis dapat dihindarkan. Risiko perdarahan
intrakranial dapat meningkat pada pemberian fibrinolysis. Terapi ini hanya
boleh dilakukan di rumah sakit yang telah memiliki fasilitas serta tenaga ahli.
Door to device time pada terapi ini adalah 90 menit, artinya dalam 90 menit
sejak pasien masuk IGD (Instalasi Gawat Darurat) pembuluh darah koroner
harus sudah kembali normal.
Terapi ini dilakukan dengan cara memasukkan kateter (sejenis slang kecil)
melalui pembuluh darah dari pergelangan tangan atau pangkal paha, hingga
pembuluh koroner. Setelah itu, dilakukan angiografi untuk melihat kondisi arteri
koroner. Setelah culprit vessel (penyebab terjadinya penyumbatan pembuluh
darah), maka akan dilakukan penyedotan gumpalan darah yang menyumbat
pembuluh darah koroner. Jika setelah proses penyedotan masih terlihat plak atau
aliran koroner belum sempurna, maka akan dilanjutkan dengan pemasangan
cincin atau stent.
Indikasi dilakukan primary PCI adalah :
 Diutamakan dilakukan dalam kurang dari 120 menit setelah kontak dengan
petugas medis
 Pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali
pada  kondisi yang diakibatkan oleh keterlambatan prosedur PCI
Aspek-aspek dalam prosedur PCI yang harus diperhatikan antara lain:
 Diutamakan pemasangan stent pada semua kasus dibandingkan hanya dengan
angioplasti dengan balon
 Tindakan primary PCI hanya terbatas pada pembuluh darah yang memiliki
lesi, kecuali bila dibarengi syok kardiogenik atau iskemik yang menetap
setelah PCI
 Akses melalui radial diutamakan dibandingkan femoral dan dilakukan oleh
dokter yang berpengalaman
 Aspirasi trombus secara rutin diutamakan untuk dilakukan
 Penggunaan rutin alat proteksi distal tidak direkomendasikan
 Penggunaan rutin intraaortic baloon pump (IABP) selain pada syok
kardiogenik tidak direkomendasikan

B. Reperfusi dengan obat


Terapi dengan obat ini biasa disebut terapi fibrinolitik. Obat yang berfungsi
untuk menghancurkan gumpalan darah yang menyumbat akan diberikan pada
pasien. Jika obat yang diberikan tepat dan dalam waktu yang tepat, maka obat
ini akan semakin efektif untuk menangani kondisi ini. Pemberian obat ini dalam
waktu kurang dari satu jam sejak waktu serangan, dapat mengurangi
kemungkinan kematian pasien hingga 47%.
Penanganan serangan jantung dengan obat harus dilakukan sedini mungkin.
Door to needle time maksimal adalah 30 menit. Obat ini dimasukka ke dalam
darah melalui cairan infus yang diteteskan secara perlahan selama sekitar satu
jam. Cara ini adalah cara alternatif bila disekitar kita tidak ada rumah sakit yang
memiliki fasilitas penangan serangan jantung dengan alat. Reperfusi dengan
obat tidak hanya bisa dilakukan oleh dokter spesialis jantung saja, tetapi juga
dapat dilakukan oleh dokter umum.
Ada tiga kelas utama obat fibrinolitik, yaitu :
a. Aktivator Plasminogen Jaringan (tPA)
● Mekanisme Kerja
tPA menghancurkan gumpalan dengan cara terikat ke fibrin di
permukaan gumpalan darah, sehingga mengaktivasi plasminogen yang
terikat ke fibrin. Plasmin dilepaskan dari plasminogen yang terikat
fibrin, kemudian molekul fibrin dihancurkan oleh plasmin, maka
gumpalan terlarut.
Kelompok obat ini digunakan pada infark miokardial akut, stroke
thrombotik serebrovaskular dan embolisme pulmoner.
● Farmakokinetik
Masa paruh tPA ± 5-10 menit, mengalami metabolisme di hati dan
kadar plasma bervariasi karena aliran darah ke hati yang bervariasi.
● Dosis
Alteplase diberikan secara infus IV sejumlah 60 mg selama jam
pertama dan selanjutnya 40 mg diberikan dengan kecepatan 20 mg/jam.
Dosis reteplase 2 kali 10 unit diberikan sebagai suntikan bolus IV
dengan interval pemberian 30 menit.
● Contoh obat golongan ini, seperti :
o Alteplase (Activase®; rtPA) adalah bentuk rekombinan dari tPA
manusia. Alteplase memiliki waktu paruh pendek (5 menit) dan
oleh karena itu diberikan secara bolus intravena diikuti dengan
infus.
o Retaplase (Retavase®) dibuat secara genetik, turunan yang lebih
kecil dari tPA rekombinan yang telah ditingkatkan potensinya dan
bekerja lebih cepat dari rTPA. Retaplase biasanya diberikan
sebagai injeksi bolus IV. Retaplase digunakan pada infark
miokardial akut dan embolisme paru.

o Tenecteplase (TNK-tPA) memiliki waktu paruh yang lebih


panjang dan afinitas ikatan yang lebih besar untuk fibrin daripada
rTPA. Karena waktu paruh yang lebih panjang, dapat diberikan
secara IV bolus. TNK-TPA hanya digunakan pada infark
miokardial akut

b. Streptokinase (SK)
● Mekanisme Kerja
Streptokinase mengaktivasi plasminogen dengan cara tidak langsung
yaitu dengan bergabung terlebih dahulu dengan plasminogen untuk
membentuk kompleks aktivator. Selanjutnya kompleks aktivator
tersebut mengkatalisis perubahan plasminogen bebas menjadi plasmin.
● Farmakokinetika
Masa paruhnya bifasik (2 fase), fase cepat 11-13 menit dan fase lambat
23 menit. Digunakan pada infark miokardial akut, thrombosis vena dan
aterial, dan embolisme paru.
● Contoh Obat
Fimakinase, Streptase ; (nama dagang)
● Dosis
IV: dosis dewasa untuk infark miokard akut dianjurkan dosis total 1,5
juta IU secara infus selama 1 jam.
c. Urokinase (UK)
● Mekanisme kerja
Urokinase diisolasi dari urin manusia.Urokinase bekerja secara
langsung dengan mengaktifkan plasminogen. Urokinase digunakan
untuk emboli paru, dan tromboemboli pada arteri dan vena
● Farmakokinetika
Bila diberikan secara IV, urokinase mengalami klirens (pembersihan)
yang cepat oleh hati. Masa paruh sekitar 20 menit. Sejumlah kecil obat
diekskresi dalam empedu dan urin.
● Contoh Obat
Abbokinase, Urokinase-GCBTinf ; (nama dagang)
● Dosis
Dosis yang dianjurkan adalah dosis muat 1000-4500 IU/kgBB secara
IV dilanjutkan dengan infus IV 4400 IU/kgBB/jam. Asam
aminokaproat merupakan penawar spesifik untuk keracunan urokinase.
Dosis biasa dimulai dengan 5 g (oral atau IV), diikuti dengan 1,25 g
tiap jam sampai perdarahan teratasi. Dosis tidak boleh melebihi 30 g
dalam 24 jam.

C. Efek Samping Obat Fibrinolitik


● Dapat menimbulkan perdarahan yang disebabkan fibrigenolisis sistemik dan
lisis sumbatan hemostatik normal.
● Untuk mengatasi fibrinolisis dengan cepat dapat diberikan asam
aminokaproat, suatu inhibitor fibrinolisis, secara IV lambat atu dapat juga
dilakukan transfusi darah.
● Efek samping lain mual, muntah, dan alergi. Streptokinase yang merupakan
protein asing dapat menyebabkan reaksi alergi seperti pruritus,
urtikaria,flushing, kadang-kadang angioedema, bronkospasme. Reaksi alergi
ringan juga dilaporkan pada penggunaan urokinase dan t-PA yang
nonantigenik.

D. Obat Pengencer Darah


Bekerja mencegah terjadinya penggumpalan darah dipembuluh darah,
gumpalan darah bisa menyumbat aliran darah ke otot jantung dan menyebabkan
serangan jantung. Bekuan darah juga bisa menghadang aliran darah ke otak,
sehingga akhirnya menyebabkan stroke. Pengencer darah bisa dalam bentuk
obat diminum atau disuntikkan. Ada 2 jenis obat pengencer yang dapat
ditemukan dipasaran yaitu obat pengencer darah golongan antiplatelet (bekerja
menjaga agar tidak terjadi pengumpalan sel-sel pembeku darah dipembuluh
darah dan arteri sehingga darah bisa tetap encer) dan antikoagulan ( bekerja
mencegah darah membeku dengan mengulur waktu terjadinya penggumpalan).

Golongan Antiplatelet
a. Aspirin
Aspirin adalah obat penghilang rasa sakit yang biasanya digunakan
untuk mengobati demam, sakit kepala, hingga radang. Namun, aspirin juga
bersifat antiplatelet yang bekerja menghambat pembentukan gumpalan
darah pada pasien stroke, sehingga mencegah stroke kambuh lagi. Aspirin
akan membantu mencegah trombosit darah membuat darah terlalu kental,
sehingga mengurangi risiko gumpalan. Mengonsumsi aspirin secara teratur
akan mengurangi kemampuan tubuh Anda untuk menghentikan perdarahan
karena dokter membarikan obat ini agar aspirin dapar mengencerkan darah .

b. Clopidogrel (Plavix)
Clopidogrel adalah obat pengencer darah untuk mencegah serangan
jantung pada orang yang baru terkena penyakit jantung, stroke, atau
penyakit sirkulasi darah (penyakit peripheral vascular). Clopidogrel juga
digunakan bersama aspirin untuk mengobati sesak napas yang memburuk
akibat serangan jantung baru, angina yang tidak stabil, dan untuk mencegah
penyumbatan darah setelah prosedur jantung tertentu (misalnya cardiac
stent). Obat ini bekerja menghambat terjadinya pembekuan darah. Maka
Anda disarankan untuk lebih berhati-hati agar tidak terluka sementara
sedang mengonsumsinya. Efek obat ini dapat memperlama
proses pemulihan luka.

c. Dipyridamole
Dipyridamole obat yang digunakan untuk mencegah penggumpalan
darah setelah operasi penggantian katup jantung. Obat ini biasanya
digunakan bersama aspirin untuk mengurangi risiko kematian setelah
mengalami serangan jantung atau untuk mencegah serangan jantung.
Adapun nama merek yang biasa ditemukan pada obat antiplatelet dengan
bahan aktif dipyridamole ini adalah premole, perdantine, dan aggrenox.

d. Ticlopidine (Ticlid)
Ticlopidine digunakan untuk mencegah stroke pada orang yang tidak
bisa menggunakan aspirin atau ketika konsumsi aspirin saja tidak efektif
untuk mencegah stroke.Terutama bagi orang yang sehabis memasang ring
jantung atau stent implant, dokter biasanya meresepkan aspirin dan
ticlopidine untuk selama 30 hari — yang dapat disesuaikan dengan kondisi
pasien.

e. Prasugrel (Effient)
Prasugrel diminum sehari sekali untuk membantu mencegah masalah
jantung dan pembuluh darah yang serius. Jangan menghentikan dosis
prasugrel tanpa sepengetahuan dokter yang berwenang. Menghentikan dosis
sembarangan dapat meningkatkan risiko serangan jantung dan bekuan
darah. Efek samping prasugrel dapat memberikan efek samping berupa
pusing, kelelahan berlebihan, nyeri di punggung, lengan atau tungkai, dan
batuk.

f. Ebtifibatide (Integrilin)
Eptifibatide bekerja mencegah serangan jantung pada orang-orang
yang mengalami angina tidak stabil. Integrilin juga digunakan untuk
mencegah penggumpalan darah sebelum operasi untuk melancarkan
prosedur membuka arteri dan memasukkan benda atau alat bedah.
g. Ticagrelor
Obat ini digunakan bersama dengan aspirin untuk mencegah komplikasi
jantung dan pembuluh darah yang berisiko fatal pada orang-orang yang
pernah mengalami serangan jantung atau nyeri dada parah. Ticagrelor juga
diresepkan pada orang yang memiliki pin terpasang di pembuluh darah
yang tersumbat untuk memperbaiki aliran darah. Nama merek jenis obat
yang mengandung ticagrelor adalah brilinta.

Golongan Antikoagulan
a. Warfarin
Warfarin memiliki nama merek dagang nama Coumadin dan Jantoven.
Obat ini bekerja dengan mengurangi pembentukan bekuan darah. Warfarin
digunakan untuk mencegah serangan jantung, stroke, dan pembekuan darah
di pembuluh darah dan arteri. 

b. Enoxaparin
Enoxaparin adalah obat pengencer darah yang berbentuk injeksi atau
suntikan. Obat ini digunakan untuk mencegah pembekuan darah pada kaki
pasien yang sedang bed rest atau selama operasi bagian perut. Dalam
kondisi lain, enoxaprin digunakan bersama dengan warfarin untuk
mengobati penggumpalan darah yang sudah terjadi di pembuluh darah kaki.
Enoxaparin menjaga aliran darah tetap lancar dengan menurunkan aktivitas
pembekuan protein dalam darah, sehingga membantu mengurangi risiko
serangan jantung. Obat ini digunakan dengan kombinasi bersama aspirin
untuk mencegah komplikasi angina (nyeri dada) dan serangan jantung.
Nama merek obat ini adalah Lovenox.

c. Heparin
Heparin adalah obat pengencer darah yang bekerja mencegah
penggumpalan darah dan mencegah kemungkinan komplikasi penyakit
jantung yang bisa berakibat fatal, seperti serangan jantung. Heparin juga
umum digunakan untuk pencegahan pembekuan darah setelah
operasi. Heparin bekerja lebih cepat daripada warfarin. Jadi, obat ini
biasanya diberikan dalam situasi darurat yang membutuhkan efek kilat.
Dosis heparin dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan risiko
osteoporosis. Untuk menyiasati hal ini, dokter biasanya mengganti dosisnya
dengan warfarin untuk terapi pengobatan jangka waktu panjang.

d. Edoxaban
Edoxaban (Savayasa) adalah obat yang digunakan untuk
mengobati trombosis vena dalam (DVT) dan komplikasinya,
termasuk emboli paru, setelah pasien diberikan obat pengencer darah suntik
selama 5-10 hari.

e. Fondaparinux (Arixtra)
Fondaparinux adalah obat yang digunakan untuk mengatasi gumpalan
darah serius pada kaki dan/atau paru-paru. Fondaparinux hanya tersedia
dalam bentuk injeksi, yang biasanya disuntikkan satu kali sehari tergantung
dengan kondisi masing-masing orang.

f. Dabigatran (Pradaxa)
Dabigatran adalah obat tablet yang digunakan untuk mencegah stroke
dan penyumbatan darah yang berbahaya (misalnya di kaki Anda atau paru-
paru) jika Anda memiliki jenis penyakit denyut jantung tidak teratur
(fibrilasi atrium). Fibrilasi atrium menyebabkan sebagian dari jantung tidak
bekerja normal. Hal ini dapat menyebabkan terbentuknya penyumbatan
darah dan meningkatkan risiko stroke atau serangan jantung. Dabigatran
memiliki beberapa efek samping seperti, nyeri perut, mulas, dan mual.

2.9 Asuhan Keperawatan ACS

1) Data Fokus

Data Subjektif Data Objektif


1. Klien mengeluh nyeri dada sebelah kiri, 1. Klien tampak meringis kesakitan
menjalar ke lengan kiri, leher, dan
2. TTV
punggung disertai keringat dingin.
TD: 130/90 mmHg
2. Klien mengatakan nyeri dada dirasakan
sejak 4 jam SMRS HR: 108x/mnt

3. Klien mengeluh mual dan muntah RR: 24x/mnt


4. Klien mengatakan memiliki riwayat 3. Pemeriksaan Lab
merokok 15 tahun lalu dengan 1
CKMB: 100 gr/dl
bungkus per hari
Troponin T Positif
5. Klien mengatakan memiliki riwayat
keturunan penyakit jantung Leukosit: 15.000 gr/dl

4. Hasil pemeriksaan EKG


menunjukkan ST elevasi di lead II,
III, aVF

2) Analisa Data

No. Data Masalah Etiologi

Keperawatan

1. DS: Nyeri akut Iskemia


miokard akibat
• Pasien mengatakan nyeri
sumbatan arteri
dada sebelah kiri, menjalar
koroner
ke lengan kiri, leher dan
punggung disertai dengan
keringat dingin

• Pasien mengatakan nyeri


dada dirasakan sejak 4 jam
SMRS

• Pasien mengatakan mual dan


muntah

DO :

• Pasien terlihat meringis


kesakitan

• TTV :
TD 130/90 mmHg

HR 108x/menit

RR 24x/menit

• CKMB 100 gr/dl

• Hasil Lab:

Troponin T (+), leukosit


15.000 gr/dl

2. DS : Penurunan curah Gangguan


jantung
• Paseien mengatakan mual kontraktilitas
dan muntah

• Pasien mengatakan memiliki


riwayat merokok sejak 15
tahun lalu dengan 1 bungkus
per hari

• Pasien mengatakan
mempunyai keturunan
terkena penyakit jantung

DO :

TTV :

TD 130/90 mmHg

HR 108x/menit

RR 24x/menit

• CKMB 100 gr/dl

• Hasil Lab:
Troponin T (+), leukosit
15.000 gr/dl

• Hasil perekaman EKG:

ST elevasi di lead II, III, Avf

3. DS : Resiko Sumbatan
penurunan aliran darah
• Pasien mengatakan memiliki
perfusi koroner
riwayat merokok sejak 15
jaringan
tahun lalu dengan 1 bungkus
jantung
per hari

• Pasien mengatakan
mempunyai keturunan
terkena penyakit jantung

• Pasien mengatakan nyeri


dada dirasakan sejak 4 jam
SMRS

DO :

• TD 130/90 mmHg

• HR 108x/menit

• RR 24x/menit

• CKMB 100 gr/dl

• Hasil Lab:

Troponin T (+), leukosit


15.000 gr/dl

• Hasil perekaman EKG:

ST elevasi di lead II, III, Avf


3) Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia miokard akibat sumbatan arteri
coroner. (Nanda 2018-2020 Domain 12 Kelas 1 Kode diagnosis 00132 Hal
445)
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan kontraktilitas.
(Nanda 2018-2020 Domain 4 Kelas 4 Kode diagnosis 00029 Hal 229)
3. Perfusi jaringan jantung, resiko penurunan berhubungan dengan sumbatan
aliran darah koroner. (Nanda 2018-2020 Domain 4 Kelas 4 Kode diagnosis
00200 Hal 234)

4) Intervensi

Tanggal No. NOC NIC Paraf


Dx
24/11/20 1 Setelah perawat 1. Manajemen Nyeri
melakukan tindakan 1x24 (NIC hal. 198)
jam, masalah keperawatan
Intervensi :
nyeri akut dapat teratasi.
a) Lakukan pengkajian
Indikator :
nyeri komprehensif
1. Kontrol Nyeri (NOC yang meliputi lokasi,
hal. 247) karakteristik,
onset/durasi,
a) Mengenali kapan nyeri
frekuensi, kualitas,
terjadi dipertahankan
intesitas atau
pada skla 2
beratnya nyeri dan
ditingkatkan ke skala
faktor pencetus
4.
b) Berikan informasi
b) Menggunakan tindakan
mengenai nyeri,
pencegahan
seperti penyebab
dipertahankan pada
nyeri, berapa lama
skala 2 ditingkatkan ke
nyeri akan dirasakan,
skala 4.
c) Menggunakan dan antisipasi dari
analgesik yang ketidaknyamanan
direkomendasikan akibat prosedur
dipertahankan pada
c) Dukung
skala 2 ditingkatkan ke
istirahat/tidur yang
skala 4.
adekuat untuk
d) Melaporkan perubahan membantu
terhadap gejala nyeri penurunan nyeri
pada psofesional
d) Gali pengetahuan
kesehatan
dan kepercayaan
dipertahankan pada
pasien mengenai
skala 2 ditingkatkan ke
nyeri
skala 4.
e) Dorong pasien
e) Melaporkan nyeri yang
untuk memonitor
terkontrol
nyeri dan menangani
dipertahankan pada
nyeri nya dengan
skala 2 ditingkatkan
tepat.
menjadi skala 4.

2. Pemberian
2. Perfusi jaringan : Analgesik
Kardiak a) Tentukan lokasi,
karakteristik,
a) Denyut jantung
kualitas, dan
apikal keparahan nyeri
dipertahankan sebelum mengobati
pasien.
pada skala 2
ditingkatkan ke
skala 2. b) Cek perintah
pengobatan
b) Demyut nadi meliputi obat dosis,
radial dan frekuensi obat
analgesik yang
dipertahankan
diresepkan.
pada skala 2
ditingkatkan ke
skala 2. c) Berikan
kebutuhan
c) Tekanan darah
kenyamanan dan
sistolik
aktivitas lain
dipertahankan
yang dapat
pada skala 2
membantu
ditingkatkan ke
relaksasi untuk
skala 2.
memfasilitasi
d) Tekanan darah
penurunan nyeri.
diastolik
dipertahankan
pada skala 2 3) Menejemen

ditingkatkan ke Lingkungan

skala 2. :
Kenyamanan

a) Ciptakan
lingkungan yang
tenang dan
mendukung.

b) Sediakan
lingkungan
aman dan
bersih,

c) Cepat bertindak
jika terdapat
panggilan bel,
yang harus
selalu dalam
jangkauan.

d) Posisikan pasien
untuk
memfasilitasi
kenyamanan
(misalnya,
gunakan prinsip-
prinsip
keselarasann
tubuh, sokong
depan bantal,
sokong sendi
selama
pergerakan,
belat sayatan
dan
immobilisasi
bagian tubuh
yang nyeri).

4) Terapi
Oksigen

a) Bersihkan
mulut, hidung,
dan sekresi
trakea dengan
tepat.

b) Siapkan
peralatan
oksigen dan
berikan
melalui sistem
humidifer.

c) Monitor aliran
oksigen.

d) Periksan
perangkat
(alat)
pemberian
oksigen secara
berkala untuk
memastikan
bawha
konsentrasi
(yang telah)
ditentukan
sedang
diberikan.

e) Monitor
efektifitas
terapi oksigen
(misalnya
tekanan
oksimetri,
ABGs) dengan
tepat.

2 Setelah perawat 1. Perawatan Jantung:


melakukan tindakan 1x24 Rehabilitasi
jam, masalah keperawatan
Intervensi :
penurunan curah jantung
dapat teratasi. a) Monitor toleransi
pasien terhadap
Indikator :
aktivitas
1. Status Sirkulasi
b) Berikan dukungan
(NOC hal. 561) harapan yang
realistis pada pasien
a) Tekanan darah sistol
dan keluarga
dipertahankankan pada
skala 2 ditingkatkan ke c) Instruksikan kepada
skala 4. pasien mengenai
resep yang tepat dan
b) Tekanan darah diastol
pengobatan yang
dipertahankan pada
tepat
skala 2 ditingkatkan ke
skala 4. d) Instruksikan pasien
dan keluarga
c) Tekanan nadi
mengenai aturan
dipertahankan pada
berolahraga,
skala 2 ditingkatkan ke
termasuk
skala 4.
pemanasan,
d) Tekanan darah rata- peregangan dan
rata dipertahankan pendinginan,
pada skala 2 sebagaimana
ditingkatkan ke skala mestinya
4.

2. Monitor TTV

a) Monitor tekanan
darah, nadi, suhu
dan status
pernafasan dengan
cepat.

b) Monitor tekanan
darah, nadi, suhu
dan status
bernafasan
sebelum, selama
dan sesudah
beraktifitas degan
cepat.

c) Monitor
keberadaan dan
kualitas nadi.

d) Monitor tekanan
nadi yang melebar
atau menyempit.

e) Monitor irama dan


tekanan jantung.

f) Monitor nada
jantung.

3 Setelah perawat 1. Manajemen Risiko


melakukan tindakan 1x24 Jantung (NIC hal.
jam, masalah keperawatan 205)
perfusi jaringan jantung,
Intervensi :
resiko penurunan dapat
teratasi. a) Identifikasi kesiapan
pasien untuk
Indikator :
mempelajari gaya
1. Perfusi Jaringan (NOC hidup yang
hal. 445) dimodifikasi (diet,
merokok, minuman
a) Denyut jantung apikal
beralkohol, dsb)
dipertahankan pada
skala 2 ditingkatkan ke b) Instruksikan pasien
skala 4. dan keluarga
mengenai tanda dan
b) Denyut jantung radial
gejala penyakit
dipertahankan pada
jantung,
skala 2 ditingkatkan ke
skala 4. sebagaimana
mestinya
c) Nilai rata-rata tekanan
darah dipertahankan c) monitor tekanan
pada skala 2 darah dan denyut
ditingkatkan ke skala jntung secara rutin
4. sebagaimana
mestinya
d) Banyak berkeringat
dipertahankan pada
skala 2 ditingkatkan ke
2. Manajemen Cairan
skala 4.
a) Monitor status
e) Mual dipertahankan
hemodinamik,
pada skala 2
termasuk CVP,
ditingkatkan ke skala
MAP, PAP, dan
4.
PCWP, jika ada
Muntah dipertahankan pada
b) Berikan terapi IV,
skala 2 ditingkatkan ke skala
seperti yang
4.
ditentukan

c) Monitor tanda-
2. Manajemen diri : tanda vital pasien
hipertensi
d) Monitor indikasi
a) Memantau tekanan retensi cairan
darah dipertahankan (misalnya,
pada skala 2 crackles, elevasi
ditingkatkan ke skala 4 CVP atau tekanan
kapiler paru yang
b) Mempertahankan target
tergankal, edema,
tekanan darah
distensi vena leher,
dipertahankan pada
dan asites.
skala 2 ditingkatkan ke
skala 4

c) Menyingkirkan rokok 3. Terapi oksigen


dipertahankan pada a) Pertahankan
skala 2 ditingkatkan ke kepatenan jalan napas
skala 4
b) Siapkan peralatan
d) Memantau komplikasi oksigen dan berikan
hipertensi melalui sistem
dipertahankan pada humidifier
skala 2 ditingkatkan ke
c) Berikan
skala 4
oksigen
tambahan
seperti yang
3. Perilaku berhenti
diperintahkan
merokok
d) Monitor aliran
a) Mengekspresikan
oksigen
keinginan untuk
berhenti merokok e) Monitor peralatan
dipertahankan pada oksigen untuk
skala 2 ditingkatkan memastikan bahwa
ke skala 4 alat tersebut tidak
mengganggu upaya
b) Mengekspresikan
pasien untuk bernapas
kepercayaan terhadap
kemampuan untuk
berhenti merokok
4. Perawatan
dipertahankan pada
penggunaan zat
skala 2 ditingkatkan
terlarang : rokok
ke skala 4
a) Tingkatkan hubungan
c) Mengidentifikasi
saling percaya dengan
hambatan untuk
membuat batasan yang
berhenti merokok
jelas (misalnya,
dipertahankan pada
memberikan dengan
skala 2 ditingkatkan
hati-hati mengenai
ke skala 4
fakta yang jelas
mengenai terjadinya
disfungsi, tetap
berfokus pada
4. Manajemen diri :
ketergantungan, dan
penyakit arteri
penyalahgunaan zat
koroner
dan tingkatkan harapan
a) Memantau denyut
b) Informasikan klien
dan irama jantung
bahwa frekuensi dan
dipertahankan pada
volume
skala 2 ditingkatkan
penyalahgunaan zat
ke skala 4
terlarang bisa
b) Memantau tekanan mengakibatkan
darah dipertahankan disfungsi yang
pada skala 2 bervariasi antara satu
ditingkatkan ke skala orang dengan orang
4 lain.

c) Memantau nyeri c) Bantu pasien dalam


ditingkatkan pada mengembangkan
skala 2 ditingkatkan mekanisme koping
ke skala 4 yang efektif dan tepat

d) Memantau pemicu
gejala dipertahankan
5. Monitor tanda-tanda
pada skala 2
vital
ditingkatkan ke skala
4 a) Monitor tekanan
darah, nadi, suhu,
e) Memantau beratnya
pernapasan, dengan
gejala dipertahankan
tepat
pada skala 2
ditingkatkan ke skala b) Monitor tekanan darah
4 saat pasien berbaring,
duduk, berdiri sebelum
dan setelah perubahan
posisi
2.10 Komplikasi ACS
Komplikasi ACS tergantung pada lokasi penyumbatan di arteri koroner, lamanya
penyumbatan, dan ukuran penyumbatan. Bergantung pada faktor-faktor ini berbagai
komplikasi dapat timbul.
1) Gangguan Hemodinamik (Gangguan Pemompaan/Pump Failure)
Ketika aliran darah ke jantung terpengaruh, hal itu dapat menyebabkan
serangan jantung. Pada serangan jantung bagian otot jantung, yang tidak menerima
oksigen, layu dan mati yang kemudian digantikan oleh jaringan parut.
Jaringan parut tidak dapat berkontraksi dan memompa darah. Sebaliknya,
jaringan parut bisa membengkak atau membesar, saat otot jantung lainnya
berkontraksi untuk memompa darah, memberi tekanan lebih pada bagian aktif
jantung untuk memompa darah. Akibatnya, darah yang dipompa berkurang, yang
menyebabkan berkurangnya sirkulasi oksigen dalam tubuh, yang dapat
menyebabkan tekanan darah rendah, gagal jantung, dan kematian.

2) Cardiac Arrhythmias
Juga disebut detak jantung tidak teratur, aritmia jantung adalah suatu kondisi
di mana detak jantung tidak teratur. Ini terlalu cepat atau terlalu lambat. Ini bisa
terjadi karena berbagai alasan :
● Jantung yang rusak mungkin membesar untuk menutupi penurunan kemampuan
memompa. Jantung yang membesar kemudian berdetak lebih kuat untuk
memompa darah, yang memengaruhi ritme alami jantung.
● Setelah serangan jantung, impuls listrik jantung terpengaruh yang dapat
menyebabkan detak jantung tidak teratur.
● Beberapa bagian jantung yang mengalami aliran darah lebih sedikit, mungkin
tidak mati tapi mudah tersinggung. Bagian yang mudah tersinggung ini
mengganggu ritme alami jantung. Kondisi ini juga dikenal sebagai fibrilasi
ventrikel atau takikardia ventrikel (Syok Kardiogenik).
Terkadang, aritmia jantung dapat menyebabkan gagal jantung atau serangan
jantung.
3) Komplikasi Mekanik
Komplikasi mekanis setelah serangan jantung atau kematian beberapa jaringan
di jantung meliputi:
● Katup mitral yang tidak berfungsi, yang dapat menyebabkan darah dipompa
mundur, sehingga tidak memasok cukup darah yang berisi oksigen ke tubuh.
● Dinding ventrikel pecah, yang menghentikan suplai darah ke tubuh.
● Aneurisma ventrikel kiri, yang merupakan pembengkakan area lemah di dinding
ventrikel kiri, ruang pompa utama jantung. Pembengkakan dapat menghalangi
jalan yang menyebabkan aliran darah ke tubuh berkurang.

4) Myocardial Rupture
Jarang otot jantung pecah di bawah tekanan tindakan pemompaan jantung
karena otot jantung yang rusak lemah. Pecah biasanya terjadi 1 hingga 10 hari
setelah serangan jantung dan lebih sering terjadi pada wanita. Dinding yang
memisahkan dua ventrikel (septum), dinding jantung luar, dan otot yang membuka
dan menutup katup mitral sangat rentan pecah selama atau setelah serangan jantung.
Pecahnya septum menyebabkan terlalu banyak darah dialihkan ke paru-paru,
menyebabkan penumpukan cairan (edema paru). Pecahnya septum terkadang bisa
diperbaiki dengan pembedahan.
Jika otot katup mitral pecah, katup tidak dapat berfungsi akibatnya adalah
gagal jantung yang parah dan mendadak.

2.11 Telaah Jurnal

1) Judul Jurnal
Klasifikasi Acute Coronary Syndrome Dengan Nilai Lipid Profile RSUD Dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh
(The Acute Coronary Syndrome Classification Between Lipid Profile Values In RSUD
Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh)

2) Pendahuluan
Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu masalah kardiovaskular yang utama
karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi.
Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung
kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner (Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), 2015, p.2)
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
Infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST segment elevation myocardial
infarction: STEMI), Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (non ST segment
elevation myocardial infarction: NSTEMI) dan Angina Pektoris tidak stabil (unstable
angina pectoris: UAP) (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
(PERKI), 2015, p.3).
Menurut Riskesdas 2013 di indonesia pravelensi jantung koroner berdasarkan
wawancara terdiagnosis dokter sebesar 0,5%, dan berdasarkan terdiagnosis dokter
atau gejala sebesar 1,5%. Di Provinsi Aceh pravelensi jantung koroner berdasarkan
wawancara terdiagnosis dokter sebesar 0,7% dan berdasarkan terdiagnosis atau gelaja
sebesar 2,3%. Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dini Akmalia
Mukti pada tahun 2015 dalam pengambilan data awal tahun 2014 di RSUD dr.zainoel
abidin penderita SKA untuk angka perawatan berjumlah 263 pasien, sedangkan pada
tahun 2015 terjadi peningkatan angka perawatan dengan jumlah 303 pasien.

3) Metode Penelitian Jurnal


Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptive,
dengan desain penelitian retrosfektif study. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien yang menderita acute coronary syndrome di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang berjumlah 220 pasien pada bulan januari
sampai dengan agustus 2016.
Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
nonprobability sampling dengan teknik purpose sampling. Kriteria sampel yang akan
diambil pada penelitian ini adalah pasien acute coronary syndrome yang mempunyai
nilai lipid profile (kolesterol total, LDL, HDL, Trigliserida) sebelum dilakukan terapi
dan pasien yang tidak berusia lebih dari 65 tahun.

4) Hasil
5) Pembahasan
Hasil penelitian tabel 1 didapatkan bahwa pada 90 pasien acute coronary
syndrome diperoleh gambaran umur rata-rata pasien adalah 51 tahun sedangkan
frekuensi terbanyak usia pasien adalah 58 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ismatri didapatkan 58,6% penyakit jantung koroner
berusia 45-59 tahun. Bertambahnya usia kondisi dan fungsi tubuh makin menurun
karena penumpukan plak seiiring dengan bertambahnya usia. Hal ini sesuai dengan
teori mengenai usia yang termasuk dalam faktor resiko terkena acute coronary
syndrome adalah > 45 tahun untuk laki-laki dan >55 tahun untuk perempuan.
Hasil penelitian tabel 2 didapatkan lebih banyak berjenis kelamin laki-laki
dibanding dengan perempuan. Menurut American Heart Association (AHA) 2007
dalam Malau (2012) morbiditas penyakit jantung koroner pada laki-laki dua kali lebih
besar di bandingkan dengan wanita, dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini
pada laki- laki dari pada perempuan, hal ini dikarena esterogen endogen bersifat
protektif pada perempuan namun setelah manopause penyakit ini akan terjadi pada
perempuan, tetapi tidak melampaui dari laki-laki
Hasil penelitian tabel 3 yang didapatkan distribusi pasien acute coronary
syndrome dengan diagnosa STEMI, NSTEMI dan UAP sama besarnya. Acute
coornary syndrome didefinisikan suatu kondisi yang menggambarkan klinik akut
sebagai akibat adanya penurunan suplai darah ke otot jantung secara tiba-tiba (Brown
& Edwards, 2005). Hasil penelitian ini juga berbeda dengan data dari European
Society of Cardiology (ECS) dalam Malau (2011) angka kejadian NSTEMI lebih
sering dibandingkan dengan STEMI yang mengalami penurunan
Hasil penelitian tabel 4 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara
satu variabel dengan variabel yang lain. Sehingga didapatkan kesimpulan adanya
perbedaan yang signifikan antara kolesterol total pada pasien acute coronary
syndrome dengan diagnosa STEMI, NSTEMI dan UAP. Kadar kolesterol yang tinggi
meningkatkan resiko penyakit arteri koronari. Orang dewasa menengah dengan kadar
kolesterol darah total dibawah 200 mg/dl memiliki risiko penyakit arteri koronari
yang rendah. Kadar kolesterol darah total dalam rentang 200 sampai 239 mg/dl
menggambarkan risiko yang sedang tapi meningkat. Ketika kadarnya naik di atas 240
mg/dl, risiko penyakit arteri koronari akan melipat ganda (Morton, 2011, p:543)
Hasil penelitian tabel 5 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan
antara satu variabel dengan variabel yang lain. Sehingga didapatkan kesimpulan tidak
adanya perbedaan yang signifikan antara LDL pada pasien acute coronary syndrome
dengan diagnosa STEMI, NSTEMI dan UAP. Hasil penelitian ini berbeda dengan
literatur yang dipaparkan menurut (Guyton, 2007) kadar LDL >130 mg/dl akan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner.
Hasil penelitian tabel 6 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan
antara satu variabel dengan variabel yang lain. Sehingga didapatkan kesimpulan tidak
adanya perbedaan yang signifikan antara HDL pada pasien acute coronary syndrome
dengan diagnosa STEMI, NSTEMI dan UAP.
Hasil penelitian tabel 7 menunjukkan menunjukkan tidak adanya perbedaan
yang signifikan antara satu variabel dengan variabel yang lain. Sehingga didapatkan
kesimpulan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kolesterol total pada pasien
acute coronary syndrome dengan diagnosa STEMI, NSTEMI dan UAP.

6) Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan pembahasan Terdapat perbedaan
yang signifikan antara rata-rata nilai kolesterol total pada pasien acute coronary
syndrome diagnosa STEMI, NSTEMI dan UAP dengan p value 0,007. Tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara rata-rata nilai low density lipoprotein (LDL) pada
pasien acute coronary syndrome diagnosa STEMI, NSTEMI dan UAP dengan p value
0,328. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata high density
lipoprotein (LDL) pada pasien acute coronary syndrome diagnosa STEMI, NSTEMI
dan UAP dengan p value 0,312. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-
rata Trigliserida pada pasien acute coronary syndrome diagnosa STEMI, NSTEMI
dan UAP dengan p value 0,743.
Adapun beberapa saran berdasarkan hasil penelitian bagi perawat pelaksana
dapat memberikan penanganan yang cepat dan tepat karena nilai lipid profile tidak
mempengaruhi kejadian acute coronary syndrome .

2.12 Edukasi
1) Penatalaksanaan Diet Pada Penyakit Jantung
Tujuan diet: Mengurangi  beban kerja jantung, Menormalkan Berat Badan,
Memenuhi kebutuhan gizi pasein, Mencegah dan mengurangi  cairan tubuh dan
Mengurangi resiko penyumbatan pembuluh darah.
● Syarat diet : Energi cukup untuk mempertahankan BB normal, Protein 0,8 gr / Kg
BB  Ideal / hari. Lemak 25-30 % dari kebutuhan Energi 7 % lemak jenuh  dan  10-
15 % lemak tidak jenuh. Kolesterol  rendah, terutama jika disertai dengan
Dislipedemia. Vitamin dan mineral cukup. Hindari penggunaan suplemen
Kalium , Kalsium dan Magnesium jika tidak dibutuhkan. Garam Rendah 3-5 gr /
hari ,jika  disertai Hipertensi. Makanan mudah dicerna dan tidak menimbulkan gas
dan Serat cukup untuk menghindari Konstipasi
● Makanan yang dihindari : Daging yang berlemak , jeroan, sosis , daging asap , 
gajih , otak , kepiting, kerang , keju, susu full crem. Kacang merah, oncom ,
kacang mete. Sayuran yang dapat menimbulkan gas  seperti : Kol , Kembang kol,
Lobak , Sawi, Nangka muda. Buah yang dapat menimbulkan gas  seperti : durian ,
nangka , cempedak, nenas. Kopi, teh kental, minuman mengandung soda dan
beralkohol. Bumbu tajam ( pedas, asin , asam ) dan Bumbu olahan  yang
mengandung Natrium
● Cara memasak yang baik : Bila memasak daging, pilihlah daging yang kurus.
Keluarkan bagian – bagian yang berlemak. Memasak dengan cara merebus,
mengukus, mengungkep, menumis, memanggang atau membakar. Hindarkan
menggoreng sebanyak mungkin dan Sebagian dari sayur sebaiknya dimakan
mentah atau sebagai lalapan.

2) Program rehabilitasi jantung


Merupakan salah satu penatalaksanaan non farmakologis pasien ACS.
Program rehabilitas jantung adalah program rawat inap, rawat jalan terkait dengan
edukasi dan aktivitas fisik yang dirancang untuk membantu pasien meningkatkan
kesehatan dan pulih dari penyakit jantung. Rehabilitasi jantung meliputi terapi
latihan , dukungan moral, dan edukasi tentang gaya hidup sehat.
Penderita ACS, disarankan agar mengikuti latihan fisik terarah dengan
pengawasan dan pemeriksaan mengkomunikasikan program rehabilitasi jantung
kepada semua lini yang terkait, yaitu dinas kesehatan, rumah sakit, poli klinik jantung,
dokter jantung, masyarakat, keluarga dan pasien itu sendiri tentang tujuan dan
manfaat frekuensi nadi secara intensif agar dapat terpantau perkembangan kesehatan
jantungnya.
Latihan fisik terarah memiliki pengaruh yang signifi kan terhadap fungsi otot
jantung berdasarkan hasil pemeriksaan tekanan darah dan gambaran EKG. Dimana
signifikansi yang paling besar adalah terhadap gambaran EKG dibandingkan tekanan
darah.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sindrom coroner akut (SKA) atau Accute Coronary Syndrom (ACS) adalah kejadian
kegawatan yang diakibatkan oleh gangguan pada pembuluh darah coroner yang bersifat
progresif, terjadi perubahan secara tiba-tiba dari stabil menjadi tidak stabil (Susilo.,
2013; Oktavianus & Sari., 2014).

Etiologi primer dari sindrom coroner akut (SKA) ini adalah aterosklerosis.
Aterosklerosis terjadi akibat inflamasi kronis pada pembuluh darah yang dipicu
akumulasi kolesterol pada kondisi kelainan metabolisme lemak yaitu tingginya kadar
kolesterol dalam darah. Plak ateroskelrosis dapat ruptur dan memicu pembentukan
thrombus sehingga terjadi oklusi pada arteri coroner. Penyebab dari sindrom coroner
akut ini adalah thrombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada, obstruksi kronik
(spasme coroner atau vasokontriksi), obstruksi mekanik yang progresif, inflamasi
dan/atau infeksi, faktor atau keadaan pencetus.

Faktor resiko utama terhadap terjadinya sindrom coroner akut ini antara lain :
merokok, hipertensi, dyslipidemia, diabetes mellitus, dan stress. Kemudian terdapat
faktor resiko yang tidak dapat diubah, yaitu umur dan jenis kelamin serta genetic. Dan
yang terakhir ada faktor predisposisi yaitu obesitas dan inaktivitas fisik.

Oleh karena itu, diperlukan edukasi yang diberikan kepada masyarakat yang
mempunyai resiko resiko tersebut diatas. Edukasi yang bisa diberikan antara lain
penatalaksanaan diet pada penyakit jantung dan program rehabilitasi jantung.

3.2 Saran

Demikianlah makalah ACS ini kami buat. Semoga dengan adanya makalah ini, dapat
memberikan wawasan kepada para pembacanya dan diharapkan akan meningkatkan
proses asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien dengan ACS.

68
DAFTAR PUSTAKA

Andhini, N. F. (2017). 済 無 No Title No Title. Journal of Chemical Information and


Modeling, 53(9), 1689–1699.

Kep, S., Kep, M., Mb, S. K., Pengantar, K., & Terima, U. (2018). Sistem Kardiovaskuler
Acute Coronary Syndrome ( Acs ).

Janah, S. M. (2015). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien Acut Coronary
Syndrome (ACS) Dengan ST Elevation Myocard Infarct (STEMI) di Ruang ICCU RSUD A.
Wahab Sjahranie Samarinda. STIKES Muhammadiyah Samarinda, 53(9), 1689–1699.

Suryani, A. D. E. (2017). Analisa Praktik Klinik Keperawatan Pada Klien Dengan Acute
Coronary Syndrome ( Acs Nstemi ) Dengan Terapi Inovasi Kompres Hangat Terhadap Nyeri
Di Ruang Intensive Care Unit ( Iccu ) Rsud Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2017
Karya Ilmiah Akhir Ners D. 1–24.

Rochfika. (2019). PERCUTANIUS CORONARY INTERVENTION. Sidoarjo : Uwais Inspirasi


Indonesia.
Andrianto. (2020) Buku Ajar Kegawatdaruratan Kardiovaskular Berbasis Standar Nasional
Pendidikan Profesi Dokter. Jawa Timur : Airlangga University Press
PERKI. (2018). Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut 2018. In Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia (p. 76).
Herdman, T.H. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: definitions and
classification 2018-2020. Jakarta: EGC.
Siti Maidatul Janah. (2015). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien Acut Coronary
Syndrome (ACS) Dengan ST Elevation Myocard Infarct (STEMI) Di Ruang ICCU RSUD
A.Wahab Sjahranie Samarinda.
Practo. 20. Acute Coronary Syndrome (ACS): Symptoms, Complications, and Treatment.
Retrieved from https://www.google.com/amp/s/www.practo.com/health-wiki/acute-coronary-
syndrome-acs-symptoms-complications-and-treatment/11/article/amp
Swein, R, N & Jivan, A. 2020. Complications of an Acute Coronary Syndrome. Retrieved
from https://www.msdmanuals.com/home/heart-and-blood-vessel-disorders/coronary-artery-
disease/complications-of-an-acute-coronary-syndrome#:~:text=Heart%20failure%2C%20low
%20blood%20pressure,disability%20or%20death%20is%20likely.
Damayanti, I. (2016). KLASIFIKASI ACUTE CORONARY SYNDROME DENGAN NILAI
LIPID PROFILE RSUD dr . ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH THE ACUTE CORONARY
SYNDROME CLASSIFICATION BETWEEN LIPID PROFILE VALUES IN RSUD dr .
ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH Sindrom koroner akut ( SKA ) adalah karena me. 1–8.
Badriyah, F. L. (2013). Latihan Fisik Terarah penderita post sindrom koroner akut dalam
memperbaiki otot jantung. Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, 24.

Halimuddin. 2016. Tekanan Darah Dengan Kejadian Infark Pasien Acute Coronary

Syndrome. http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/download/6443/5280

Humas, P. (2018). Penatalaksanaan Diet Pada Penyakit Jantung. Retrieved from


https://rsuppersahabatan.co.id/berita/read/penatalaksanaan-diet-pada-penyakit-jantung.
Badriyah, F. L. (2013). Latihan Fisik Terarah penderita post sindrom koroner akut dalam
memperbaiki otot jantung. Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, 24.
Mutarobin. (2018). Sistem Kardiovaskuler Acute Coronary Syndrome (ACS).
https://www.poltekkesjakarta1.ac.id/wp-content/uploads/legacy/jurnal/dokumen/35modul
%20acs-converted.pdf

Anda mungkin juga menyukai