Anda di halaman 1dari 60

SARI PUSTAKA

PREVALENSI SINDROM KORONER AKUT


DI RSU UKI PERIODE MEI-JULI 2017

Disusun oleh :

1. Melita Aditya Sari (1261050058)

2. Muhammad Ryan Adiputra (1361050197)

3. Dede Indra Permana (1361050277)

SARI PUSTAKA DIBUAT DALAM RANGKA MEMENUHI


SYARAT KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Sari Pustaka dengan judul:

Prevalensi Sindrom Koroner Akut di RSU UKI


Periode Mei Juli 2017

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan program Kepaniteraan


Klinik Ilmu Penyakit Dalam Periode 24 Juli 2017 - 30 September 2017

Disusun oleh :

1. Melita Aditya Sari (1261050058)

2. Muhammad Ryan Adiputra (1361050197)

3. Dede Indra Permana (1361050277)

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Frits R.W. Suling Sp.JP (K), FIHA, FAsCC

selaku pembimbing

Jakarta, 15 Agustus 2017


Mengetahui

dr. Frits R.W. Suling Sp.JP (K), FIHA, FAsCC

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas semua

karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul

Prevalensi Sindrom Koroner Akut di RSU UKI Periode Mei Juli 2017 sebagai salah

satu persyaratan dalam menyelesaikan stase Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam pada

Program Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Kristen

Indonesia.

Penulisan Referat ini dapat terselesaikan dengan baik atas dorongan dan

bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dari lubuk hati yang terdalam penulis

ingin memberikan penghargaan dan rasa terimakasih kepada dr. Frits R.W. Suling

Sp.JP (K), FIHA, FAsCC selaku dokter pembimbing. Penulis sampaikan rasa hormat

dan terimakasih yang tak terhingga atas bimbingan, ilmu pengetahuan dan motivasi

yang telah diberikan kepada penulis.

Akhir kata penulis berharap Referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Penulis menyadari bahwa Referat ini masih jauh dari sempurna, baik dalam penulisan

maupun penyajian informasinya. Untuk itu penulis mohon maaf segala kekurangan

yang ada. Kritik dan saran sangat penulis harapkan sebagai masukan yang berharga

untuk bisa menjadikan Referat ini lebih baik.

Jakarta, 15 Agustus 2017

Penulis

3
ABSTRAK

Latar belakang :
Sindrom Koroner Akut (SKA) diketahui sebagai indikator utama penyakit jantung iskemik
yang merupakan bagian utama dari penyakit kardiovaskular. Telah dilaporkan bahwa sekitar
17 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit jantung, dimana 50% dari kematian
tersebut disebabkan oleh Sindrom Koroner Akut (SKA).

Tujuan :
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Prevalensi Sindrom Koroner Akut (SKA) di
RSU UKI Periode Mei Juli 2017.

Metode:
Desain penelitian ini adalah deskriptif yang meneliti Prevalensi Sindrom Koroner Akut (SKA)
di RSU UKI Periode Mei Juli terhadap 18 purposive sampling (8 pria dan 10 wanita).
Analisis data mempergunakan SPSS versi 22 terhadap prevalensi faktor independent pada
faktor dependent.

Hasil:
Prevalensi SKA yang paling tinggi adalah UAP sebanyak 14 orang (77.80%), usia 41-65 tahun
sebanyak 8 orang (44.44%), wanita sebanyak 10 orang (55.56%), IMT normal (18.50-24.99)
sebanyak 14 orang (77.78%), Hipertensi stage 1 sebanyak 6 orang (33.30%). tidak memiliki
riwayat Hipertensi sebanyak 10 orang (55.56%), tidak memiliki riwayat DM sebanyak 14 orang
(77.78%), tidak memiliki riwayat hiperlipidemia sebanyak 13 orang (72.20%), tidak memiliki
riwayat penyakit jantung sebanyak 10 orang (55.56%), dan tidak memiliki riwayat PCI
sebanyak 13 orang (83.30%).

Kesimpulan :
Usia, jenis kelamin, IMT, tekanan darah, hipertensi, DM, hiperlipidemia, penyakit jantung, dan
riwayat PCI merupakan faktor risiko SKA dimana faktor tersebut saling terkait satu sama lain.

Kata kunci:
Sindrom Koroner Akut, Hipertensi, DM, Hiperlipidemia, Penyakit Jantung, PCI

4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i

DAFTAR ISI .... ii

ABSTRAK ... iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .... 1

1.2 Tujuan ......... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sindrom Koroner Akut ... 3

2.2 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut ... 3

2.3 Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut . 6

2.4 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut 7

2.5 Penegakan Diagnosis Sindrom Koroner Akut ... 12

2.6 Pemeriksaan Penunjang Sindrom Koroner Akut .. 13

2.7 Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut 20

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian ..... 32

3.2 Tempat dan Waktu ...... 32

3.3 Populasi dan Sampel .... 32

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 32

3.5 Subjek Penelitian .......... 33

5
3.6 Pengumpulan Data .... 33

3.7 Analisis Data ... 33

3.8 Definisi Operasional 34

3.9 Etika Penelitian . 36

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan ..... 47

5.2 Saran ............ 47

DAFTAR PUSTAKA

6
ABSTRACT

Background:
ACS is known as the main indicator of Ischemic Heart Diseases and the main part of
Cardiovascular Diseases (CVD). It has been reported that 17 millions peoples die each year
caused by CVD where 50% cause of death is Acute Coronary Syndrome (ACS).

Purpose:
The aim of this study is to determine Prevalence of Acute Coronary Sindrom in FKUKI
General Hospital from May July 2017.

Methods:
This study design was descriptive that investigated Prevalence of Acute Coronary Syndrome
(ACS) at UKI General Hospital in May July 2017 using secondary data against 18 purposive
sampling (8 male and 10 female). The data analysis used SPSS version 22 to determine
prevalence of independent factor in dependent factor.

Results:
The highest prevalence of ACS is 14 peoples (77.78%) was diagnosed UAP, 8 peoples
(44.44%) was in the age group 41-65 years, 10 peoples (55.56%) is female, 14 peoples
(77.78%) have normal BMI (18.50-24.99), 6 peoples (33.30%) had hypertension stage I, 10
peoples (55.56%) didnt have history of Hypertension, 14 peoples (77.78%) didnt have history
of DM, 13 peoples (72.22%) didnt have history of Hyperlipidemia, 10 peoples (55.56%) didnt
have history of Cardiovascular Diseases (CVD), and 13 peoples (72.22%) didnt have history
of PCI.

Conslusion : .
Age, gender, Body Mass Index (BMI), Blood Pressure, Hypertension, DM, Hyperlipidemia,
Cardiovascular Diseases, and PCI were the risk factors of ACS.

Keywords :
Acute Coronary Syndrome, Hypertension, DM, Hyperlipidemia, Cardiovascular Diseases, PCI

7
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di antara beberapa penyebab pasien dewasa yang datang dalam keadaan

darurat, nyeri dada merupakan penyebab paling umum dimana 506 juta keadaan

darurat setiap tahunnya.1 Nyeri dada dianggap sebagai faktor penting yang

berkontribusi terhadap penyakit kardiovaskular sehingga pasien yang memiliki

nyeri dada yang khas dalam menjalani evaluasi menyeluruh. Hal ini seperti

tujuan utama dokter dalam mengevaluasi seorang pasien dan menilai apakah

rasa sakit itu karena penyakit jantung atau lainnya. Sindrom Koroner Akut

(SKA) diketahui sebagai indikator utama penyakit jantung iskemik yang

merupakan bagian utama dari penyakit kardiovaskular.2 Di antara beberapa

penyebab SKA, penyakit arteri koroner juga dianggap sebagai faktor risiko.3

SKA didefinisikan sebagai kumpulan manifestasi klinis yang timbul akibat

gangguan aliran darah yang ke jantung yang disebabkan oleh penyumbatan

arteri koroner. Spektrum Infark Miokard ST Elevasi, Infark Miokard non-ST

Elevasi dan angina tidak stabil termasuk dalam SKA.4 Telah dilaporkan bahwa

penyakit jantung menempatkan sekitar 17 juta orang meninggal setiap

tahunnya, dimana setengah dari kematian disebabkan oleh sindrom koroner

akut (SKA).3 Karakteristik SKA yang paling utama adalah nyeri dada.

8
Oleh karena itu, nyeri dada diketahui sebagai sumber utama SKA.5 Sebuah

penelitian melaporkan bahwa prevalensi SKA pada pasien yang mengalami

nyeri dada yang terendah adalah 13% dan yang tertinggi 46%.7 Terkadang

pasien dengan SKA mungkin tidak memiliki nyeri dada yang khas. Telah

dilaporkan bahwa pasien SKA tanpa nyeri dada yang khas menyumbang

33.33% lansia dan 25% remaja dengan proporsi laki-laki 69.23% yang pada

mumnya mempengaruhi dinding inferior dan anteroseptal (29,3% dan 27,3%

masing-masing).8 Hipertensi, diabetes melitus, merokok dan dislipidemia

dianggap sebagai faktor risiko umum SKA yang umum dimodifikasi karena

mayoritas pasien yang didiagnosis dengan SKA memiliki satu atau lebih dari

faktor risiko ini.7 Banyak peneliti yang melaporkan diabetes mellitus, STEMI,

angina tidak stabil, hiperlipidemia dan Hipertensi sebagai diagnosis yang paling

umum di SKA.7,9 Oleh karena itu, penelitian ini penulis bertujuan untuk

mengetahui Angka Kejadian Sindrom Koroner Akut (SKA) di RSU UKI Periode

Mei Juli 2017.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui Angka Kejadian Sindrom

Koroner Akut (SKA) di RSU UKI Periode Mei Juli 2017.

9
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sindrom Koroner Akut 10

Sindrom koroner akut adalah salah satu manifestasi klinis penyakit jantung

koroner yang utama dan sering mengakibatkan kematian. Sindrom Sindrom

koroner akut terjadi karena terjadinya pengurangan oksigen akut atau subakut

dari miokardium. Hal ini terjadi karena adanya ruptur atau erosi plak,

aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflammasi, trombosis,

vasokonstriksi dan embolisasi.

Sindrom koroner akut menggambarkan suatu keadaan iskemik miokard yang

meliputi Unstable Angina (UA), Non-ST Elevated Myocardial Infarction

(NSTEMI), atau ST Elevated Myocardial Infarction (STEMI).

2.2 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut 11

Klasifikasi Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Jenisnya adalah

sebagai berikut.

a) ST Elevated Myocardial Infarction (STEMI)

Merupakan suatu sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala

iskemik miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa

ST Elevasi yang persisten diikuti dengan pelepasan biomarker nekrosis

miokard. Hal ini terjadi karena adanya oklusi total dari arteri koroner

10
sehingga menyebabkan area yang mengalami infark menjadi lebih luas.

Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk

mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya, secara

medikamentosa menggunakan agen brinolitik atau secara mekanis,

intervensi koroner perkutan primer.

Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris

akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang

bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak perlu menunggu

hasil peningkatan marka jantung.

b) Non-ST Elevated Myocardial Infarction (NSTEMI)

Merupakan suatu keadaan dimana terjadi oklusi parsial arteri koroner

dan tidak disertai dengan adanya elevasi segmen ST pada gambaran

EKG.

c) Unstable Angina (UA)

Didefinisikan sebagai angina pektoris (rasa tidak nyaman di daerah

thoraks tipe iskemik) dengan salah satu diantara manifestasi klinis

berikut ini.

1) Terjadi pada saat istirahat (atau aktivitas minimal) dan biasanya

berlangsung lebih dari 20 menit (jika tidak ada penggunaan

nitrat atau analgetik).

2) Nyeri hebat dan pada umumnya nyeri jelas, atau

11
3) Biasanya semakin lama semakin bertambah berat (nyeri yang

bertambah hebat atau terus menerus atau menjadi lebih sering

dari sebelumnya).

Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat

keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua

sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG dapat berupa depresi segmen ST,

inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-

normalization, atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1).

Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan

kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung.

Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila

hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka

diagnosis menjadi NSTEMI. Pada UA, marka jantung tidak meningkat secara

bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-

MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper

limits of normal, ULN).

Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau

menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih

berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan

EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina

12
sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang

tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang (Gambar 1).

Gambar 2.1 Algoritma Evaluasi Sindrom Koroner Akut

2.3 Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut 12

Adapun beberapa faktor risiko terjadinya SKA yaitu faktor risiko yang dapat

dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.

13
a) Faktor resiko yang dapat dimodifikasi, antara lain sebagai berikut.

Hipertensi

Diabetes Melitus (DM)

Hiperlipidemia

Merokok

Obesitas

Stress

b) Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain sebagai berikut.

Riwayat PJK dalam keluarga

Usia

Jenis kelamin
s

2.4 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut 11,13

SKA dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade,

pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang

mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan

fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption

disrupsi plak. Setelah plak mengalami ruptur maka tissue factor dikeluarkan

dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex mengaktifkan

faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi trombin yang

banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan

pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase acute thrombosis.

14
Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofag dan sel T limfosit,

proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis

tersebut. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak

melalui perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel

endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga

menyebabkan ruptur plak.

Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi

berbagai zat vasokonstriktor maupun vasodilator lokal. Jika mengalami

aterosklerosis maka akan terjadi disfungsi endotel. Disfungsi endotel ini dapat

disebabkan oleh meningkatnya inaktivasi nitrit oxide (NO) oleh beberapa

oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/NADPH (Nicotinamide

Adenine Dinucleotide Phosphate Oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide

Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi

pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan

gagal jantung.

Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi

endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi

endotel, faktor konstriktor lebih dominan (endotelin-1, tromboksan A2, dan

prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (NO dan prostasiklin).

15
NO secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi

leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic. Melalui

efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan

kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan

luasnya infark.

SKA yang diteliti secara angiografi 6070% menunjukkan obstruksi plak

aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak

karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti

lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik.

Terdapat beberapa proses yang berperan terhadap progresivitas UA / STEMI

adalah sebagai berikut.

1. Ruptur plak atau erosi plak dengan trobus non oklusif

Merupakan penyebab yang paling berperan dalam terjadinya UA atau

NSTEMI sehingga terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh darah

koroner yang sebelumnya mengalami penyempitan yang minimal.

Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan

pelindung jaringan (fibrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti

yang banyak lemak dan sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi

plak yang berdekatan dengan intima normal dan pada bahu timbunan

lemak. Terkadang, ruptur terjadi pada dinding plak yang paling lemah

16
karena adanya enzim protease yang dihasilkan oleh makrofag yang

secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap).

Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi platelet

dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Apabila trombus

menyebabkan oklusi total akan terjadi STEMI, sedangkan bila trombus

menyebabkan oklusi parsial maka akan terjadi UA.

2. Obstruksi dinamis

Beberapa penyebab terjadinya obstruksi dinamis, yaitu sebagai berikut.

Spasme arteri koroner epikardium, seperti pada Prinzmetal

Angina.

Resistensi pembuluh darah koroner.

Vasokonstriksi lokal seperti tromboksan A2, yang dilepaskan oleh

trombosit.

Disfungsi endotel koroner.

Stimulus Adrenergik termasuk dingin dan kokain.

3. Obstruksi mekanik yang progresif

Penyempitan yang hebat lumen arteri koroner yang disebabkan oleh

pembentukan aterosklerotik yang progresif atau restenosis pasca

intervensi koroner perkutan.

17
4. Inflamasi dan/atau infeksi

Iinflamasi, disebabkan oleh atau yang berhubungan dengan infeksi. Hal

ini mungkin menyebabkan terjadinya penyempitan arteri, destabilisasi

plak, ruptur dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit-T di dinding

plak meningkatkan ekspresi enzim seperti metaloproteinase, yang dapat

mengakibatkan penipisan dan ruptur plak, sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya SKA.

5. Angina Pektoralis Tidak Stabil Sekunder

Merupakan akibat sekunder dari kondisi pencetus diluar arteri koroner.

Pada pasien ini ada penyebab dapat berupa penyempitan arteri koroner

yang mengakibatkan terbatasnya perfusi miokard, dan mereka biasanya

menderita angina stabil yang kronik.

Dimana kelima penyebab diatas saling terkait satu sama lain.

Gambar 2.2 Plak Aterosklerosis

18
2.5 Penegakan Diagnosis Sindrom Koroner Akut10

1) Anamnesis

Diagnosa SKA harus dipertimbangkan pada pasien yang memiliki gejala

iskemik. Tanda gejala dan klinis iskemik seperti ketidaknyamanan atau nyeri

di dada yang dalam (Angina), yang tidak dapat dilokalisasi, dan biasanya

menjalar ke tangan kiri, dagu atau leher dengan durasi lebih dari 20 menit

dan biasanya tidak hilang dengan istirahat dan/atau nitrogliserin.

Keluhan angina tipikal yang sering disertai keluhan penyerta seperti

diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdomen, sesak nafas. Berbeda dengan

nyeri dada episode Angina Stabil, nyeri dada pada SKA lebih berat dan

mungkin muncul saat istirahat.

Gejala atipikal angina atau angina equivalent yang sering dijumpai antara

lain nyeri penjalaran angina tipikal, rasa ganggu pencernaan, sesak nafas

yang tidak dapat diterangkanm atau rasa lemah mendadak yang sulit

diuraikan. Keluhan atipikal ini sering dijmpai pada pasien wanita, usia lanjut

atau dengan DM.

2) Pemeriksaan Fisik

Tidak ada pemeriksaan fisik yang khas pada episode SKA. Hasil

pemeriksaan fisik yang biasanya ditemukan seperti keringat dingin, kulit

yang dingin dan lembab, dapat didengarnya suara jantung S3 dan S4 atau

apical sistoik murmur (disebabkan regugitasi mitral yang karena disfungsi

19
otot papiler). Ronki basah dapat didengar jika terdapat edema paru yang

menandakan iskemik lama dan merupakan tanda akan terjadi shock

kardiogenik.

2.6 Pemeriksaan Penunjang pada Sindrom Koroner Akut 14

1) EKG 15

Pada iskemia miokardium, dapat ditemukan depresi segmen ST ( 1mV)

atau inverse gelombang T simetris (> 2mV) pada dua lead yang

bersebelahan.

Depresi ST pada iskemia miokard:


A. Depresi ST horizontal, spesifik
untuk iskemia
B. Depresi ST landai ke bawah,
spesifik untuk iskemia
C. Depresi ST landai ke atas, tidak
spesifik untuk iskemia
Inverse T pada iskemia miokard:
A. Inverse T yang kurang spesifik
untuk iskemia
B. Inverse T berujung lancip dan
simetris, spesifik untuk iskemia.

Perubahan EKG yang khas menyertai infark miokardium, dan perubahan

paling awal terjadi hampir seketika pada saat mulainya gangguan

miokardium. Pemeriksaan EKG harus dilakukan segera pada setiap orang

yang dicurigai menderita infark sekalipun kecurigaannya kecil.

20
Selama infark miokard akut, EKG berkembang melalui tiga stadium yaitu

sebagai berikut.

1. Gelombang T runcing diikuti dengan inverse gelombang T

Secara akut, gelombang T meruncing (peaking), kemudian inverse

(simetris). Perubahan gelombang T menggambarkan iskemia

miokardium. Jika terjadi infark sejati, gelombang T tetap inverse

selama beberapa bulan sampai beberapa tahun.

2. Elevasi segmen ST

Secara akut, segmen ST mengalami elevasi dan menyatu dengan

gelombang T. elevasi segmen ST menggambarkan jejas miokardium.

Jika terjadi infark, segmen ST biasanya kembali ke garis iso elektrik

dalam beberapa jam.

3. Muncul gelombang Q baru

Gelombang-gelombang Q baru bermunculan dalam beberapa jam

sampai beberapa hari. Gelombang ini menandakan infark miokard,

syarat: lebar 0,04 detik, dalam 4mm atau 25% tinggi R. Pada

kebanyakan kasus, gelombang ini menetap seumur hidup pasien.

21
Evolusi EKG pada Infark Miokard Akut

A. Fase hiperakut: Elevasi segmen ST yang nonspesifik,

T yang tinggi dan meruncing.

B. Fase evolusi lengkap: Elevasi ST yang spesifik dan

konveks ke atas, T inverse simetris, Q patologis.

C. Fase infark lama: Q patologis (QS atau Qr), ST

kembali isoelektrik, T normal atau negatif.

Lokalisasi infark berdasarkan lokasi letak perubahan EKG adalah sebagai berikut.

Lokasi Lead Perubahan EKG

Anterios ekstensif V1-V6 ST elevasi, gelombang Q

Anteroseptal V1-V4 ST elevasi, gelombang Q

Anterolateral V4-V6 ST elevasi, gelombang Q

Posterior V1-V2 ST depresi, Gelombang R tinggi

Lateral I, aVL, V5, V6 ST elevasi, gelombang Q

Inferior II, III, Avf ST elevasi, gelombang Q

Ventrikel kanan V4R, V5R ST elevasi, gelombang Q

Gambar 2.3 Letak Anatomis SKA

22
2) Cardiac Marker

Kerusakan miokardium dikenali keberadaanya antara lain dengan

menggunakan test enzim jantung, seperti: kreatin-kinase (CK), kreatin-

kinase MB (CK-MB), cardiac specific troponin (cTn) I/T, laktat

dehidrogenase (LDH), dan myoglobin. Peningkatan nilai enzim CKMB

atau cTn T/I >2x nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis

jantung (infark miokard). Pemeriksaan enzim jantung sebaiknya

dilakukan secara serial.

a. Cardiac specific troponin (cTn)

Paling spesifik untuk infark miokard

Troponin C Pada semua jenis otot

Troponin I & T Pada otot jantung

Troponin I memiliki ukuran yang lebih kecil, sehingga mudah

dideteksi

b. Myoglobin

Marker paling cepat terdeteksi (hal ini karena ukuran

molekulnya sangat kecil), 1-2 jam sejak onset nyeri

Ditemukan pada sitoplasma semua jenis otot

c. Creatine Kinase (CK)

Ditemukan pada otot, otak, jantung

Murah, mudah, tapi tidak spesifik

23
d. Lactat Dehidrogenase (LDH)

Ditemukan di seluruh jaringan

LD1 & LD2 memiliki konsentrasi tinggi pada otot jantung,

normalnya LD2 > LD1

Pada pasien infark jantung: LD1 > LD2

e. Creatine Kinase-Myocardial Band (CKMB)

Spesifik untuk infark miokard

Meningkat Puncak Normal

cTn T 3 jam 12-48 jam 5-14 hari

cTn I 3 jam 24 jam 5-10 hari

CKMB 3 jam 10-24 jam 2-4 hari

CK 3-8 jam 10-36 jam 3-4 hari

Mioglobin 1-2 jam 4-8 jam 24 jam

LDH 24-48 jam 3-6 hari 8-14 hari

24
Tabel 2.1 Perbedaan Karekteristik Klinis Acute Coronary syndrome

Unstable Angina NSTEMI STEMI

Gambaran Klinis

Presentasi klinis

Angina saat istirahat, durasi >20 menit menyerupai SKA pada


Angina pertama kali hingga aktivitas fisik menjadi sangat umumnya. Namun
terbatas
kadang pasien datang
Agina progresif: pasien dengan angina stabil, terjadi
dengan gejala atipikal:
pemburukan: frekuensi lebih sering, durasi lebih lama,
nyeri pada lenga atau
muncul dengan aktifitas ringan
bahu, sesak nafas akut,
Angina pada SKA sering disertai dengan keringan dingin,
atau aritmia
mual dan muntah, serta lasa lemas.

Pada populasi usia lanjut (>75 tahun), perempuan dan

diabetes kadang keluhan tidak khas Pasien dengan STEMI

biasanya telah memiliki

riwayat angina atau PJK,

usia lanjut dan

kebanyaan laki-laki

25
Pemeriksaan fisik

Sering kali normal. Pada beberapa kasus dapat Penilaian umum:

ditemui tanda tanda kongesti dan instabilitas kecemasan, sesak,

hemodinamik keringat dingin, tanda

Levine. Pemeriksaan

fisik lainnya dapat

berupa tanda perburukan

gagal jantung.

Pemeriksaan Elektrokardiografi (dalam 10 menit pertama)

Gambaran depresi segmen ST pada dua atau lebih Elevasi segmen ST pada

sadapan sesuai region dinding ventrikelnya, dan/atau dua atau lebih sadapan

inversi gelombang T. sesuai region dinding

ventrikelnya

Pemeriksaan Biomark Jantung

Tidak ada peningkatan Peningkatan troponin T Peningkatan troponin T

troponin T dan/atau dan/atau CKMB (4-6 jam dan/atau CKMB (4-6 jam

CKMB setelah onset) setelah onset)

26
Troponin jantung juga dapat membedakan SKA klasifikasi NSTEMI dan UAP.

Walaupun NSTEMI dan UAP dapat memiliki gambaran EKG yang hampir

serupa, namun kadar troponin jantung pada UAP tidak akan meningkan,

sedangkan troponin jantung akan meningkat pada NSTEMI. Ini dikarenakan

belum terjadinya kematian sel miokard pada UAP Meskipun kadar troponin

meningkatkan efektifitas untuk mendiagnosa infark akut, troponin sendiri susah

untuk menggambarkan reinfarksi miokard, dikarenakan kadar troponin dapat

meningkat sampai dengan 2 minggu setelah infark. Creatinine kinase MB

fraction (CKMB) dapat membantu untuk mendiagnosis reinfarksi miokard

dikarenakan CKMB memiliki waktu paruh yang lebih singkat (3-5 hari).

2.7 Penatalaksanaan pada Sindrom Koroner Akut 16

a) Terapi Awal

Menetapkan diagnosa kerja yang cepat akan menjadi strategi

penanganan selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah

terapi yang diberika pada pasien dengan diagnosa kerja kemungkinan

SKA atau SKA dengan keluhan angina. Terapi awal yang dimaksud

adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang harus

diberikan semua atau bersamaan.

1. Oksigenasi

27
Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka

dengan saturasi 02 arteri <95% atau yang mengalami

distress respirasi

Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien

SKA dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan

saturasi O2 arteri

2. Nitrogliserin (NTG)

Diberikan secara sublingual (SL) (0,3 0,6 mg), dapat

diulang sampai 3x dengan interval 5-10 menit jika

keluhan belum membaik setelah pemberian pertama,

dilanjutkan dengan drip intravena 5-10 g/menit

(jangan lebih 200 g/menit).

Kontraindikasi : hipotensi

Manfaat :

Memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard;

Menurunkan kebutuhan oksigen di miokard;

Menurunkan beban awal (preload) sehingga

mengubah tegangan dinding ventrikel;

Dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki

aliran kolateral

28
3. Morphine

Dosis 2 4 mg intravena

Manfaat :

Mengurangi kecemasan dan kegelisahan;

Mengurangi rasa sakit akibat iskemia;

Meningkatkan venous capacitance;

Menurunkan tahanan pembuluh sistemik;

Menurunkan nadi dan tekanan darah.

Efek samping :

Mual, bradikardi, dan depresi pernapasan.

4. Aspirin

Dosis yang dianjurkan ialah 160325 mg perhari, dan

absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet,

terutama pada stadium awal. Aspirin suppositoria (325

mg) dapat diberikan pada pasien yang mual atau muntah.

Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian

GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin).

29
Harus diberikan kepada semua pasien ACS jika tidak ada

kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial).

Efek : menghambat COX-1 dalam platelet dan mencegah

pembentukan TXA2, sehingga mencegah agregasi

platelet dan konstriksi arterial.

5. Antitrombolitik lain : Clopidogrel, Ticlopidine

Derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet,

memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan

viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP

(adenosine diphosphate) pada reseptor platelet, sehingga

menurunkan kejadian iskemi.

Pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya

trombosis dan iskemia berulang, tetapi dapat dicegah

dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari)

bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Efek samping:

netropenia, trombositopenia (jarang), purpura trombotik

trombositopenia perlu evaluasi hitung sel darah

lengkap pada minggu II III.

Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila

dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi

dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi

30
gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun

tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Dosis: 1 x

75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi

sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah

pemberian obat dan 4060% inhibisi dicapai dalam 37

hari .

Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at

Risk of Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa

Clopidogrel secara bermakna lebih efektif daripada ASA

untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah

(IMA, stroke) pada aterosklerosis.

b) Terapi Lanjut

Reperfusi harus dilakukan untuk menghindari kerusakan yang lebih luas pada

miokardium. Reperfusi dapat dilakukan dengan terapi trombolitik dan PCI

(percutaneus coronary intervention).

Terapi trombolitik

- Terapi trombolitik lebih bagus dilakukan pada waktu kurang

dari 6 jam setelah serangan jantung.

- Pada pasien dengan tekanan sistolik kurang dari 90 mmHg

harus diberikan zat inotropik.

- Agen yang sering digunakan adalah:

31
o Streptokinase 1.5 mega unit dalam 100 ml larutan

salin atau dextrose 5% dalam waktu kurang dari 1

jam

o Alteplase diberikan berdasarkan berat badan pasien

>65 kg 15 mg bolus dan dilanjutkan

dengan 50 mg/30 menit dan 35 mg/60 menit

berikutnya.

<65 kg 15 mg bolus, dilanjutkan dengan

0.75mg/kg/30 menit dam 0.5 mg/kg/60 menit

berikutnya.

Heparin harus diberikan karena peluang

untuk terjadi oklusi setelah terapi alteplase

sangat tinggi. Heparin diberikan setelah

terapi alteplase selama 48 jam

o Tenecteplase diberikan secara bolus dan dosisnya

berdasarakn berat badan pasien. Keuntungan

teneteplase adalah tidak menginduksi produksi

antibodi.

o Berikut adalah regimen tenecteplase:

<60 kg 30 mg iv bolus

60-70 kg 35 mg iv bolus

32
70-80 kg 40 mg iv bolus

80-90 kg 45 mg iv bolus

>90 kg 50 mg iv bolus

Heparin setelah terapi tenecteplase selama 48

jam

- Indikasi:

o Infark miokardium dengan elevasi segmen ST

- Kontraindikasi

o Absolut

Risiko perdarahan intrakranial

Riwayat stroke iskemik kurang dari 3

bulan

Malformasi atriovena

Neoplasma intrakranial

Risiko perdarahan

Perdarahan aktif

Trauma kepala kurang dari 3 bulan

Suspek diseksi aorta

33
o Relatif

Risiko perdarahan intrakranial

Hipertensi dengan tekanan darah

lebih dari 180/110mmHg

Stroke iskemik lebih dari 3 bulan

Riwayat hipertensi kronik yang tidak

terkontrol

Risiko perdarahan

Pengguna antikoagulan

Riwayat bedah major kurang dari 3

minggu

Perdarahan dalam kurang dari 4

minggu. Misalnya perdarahan traktus

gastrointestinal, traktus urinarius

Ulkus peptik yang aktif

Lain-lain

Hamil

Pernah terapi trombolitik kurang dari

12 bulan lebih dari 5 hari

34
- Indikator terapi berhasil :

o Nyeri dada berkurang

o Segmen ST tidak lagi elevasi atau berkurang 50%

o CK dan CKMB meningkat lebih awal

o Hemodinamik menjadi lebih stabil

- Indikator terapi gagal :

o Nyeri dada menetap

o Elevasi segmen ST yang menetap

o Hemodinamik tidak stabil

o Komplikasi gagal jantung dan aritmia

- Komplikasi dari terapi trombolitik adalah :

o Hipotensi

o Alergi

o Perdarahan yang tidak terkontrol

o Aritmia

Percutaneus Coronary Intervention (PCI)

o Indikasi PCI

Nyeri dada yang menetap walaupun sudah

diterapi dengan terapi trombolitik.

Hemodinamik tidak stabil

35
Syok kardiogenik untuk pasien dengan umur

kurang dari 75 tahun, kurang dari 36 jam setelah

serangan jantung STEMI

Gagal jantung dengan nyeri dada kurang dari 12

jam

Setelah diterapi reperfusi dapat juga diberikan terapi berikut.

1. Anti-agregasi trombosit

Untuk menghindari terjadinya trombosis

Dapat diberikan aspirin dengan dosis 75-150 mg/hari dan

harus dikunyah

Tambahan clopidogrel juga mampu menghindari

trombosis dengan dosis 75 mg/hari

Aspirin dan clopidogrel harus diminum selama hidup

2. Beta blocker

Diindikasikan kepada semua pasien MCI akut

Kontraindikasi pasien dengan gagal jantung, riwayat

bronkospasme, blok AV, bradikardia (nadi<50x/menit)

3. Nitrogliserin

Menguntungkan dalam mengurangkan perluasan infark

tapi tidak mempengaruhi mortalitas.

36
Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan sistolik

< 100 mmHg

Dapat diberikan nitrogliserin atau isosorbid dinitrat

(2-10 mg/jam). Diberikan pada waktu serangan jantung

4. Angiotensi Converting Enzyme (ACE) Inhibitor

Untuk mengurangkan perluasan infark

Berikut adalah dosis bagi ACE inhibitor

ACEI Starting dose Target dose

Enalapril 2.5-5 mg x 1/hari 10 mg x 2/hari

Captopril 6.25 mg x 1/hari 25-50 mg x3/hari

Ramipril 2.5 mg x 1/hari 10 mg x 1/hari

Lisinopril 5 mg x 1/hari 10 mg x 1/hari

Quinalapril 5 mg x 1/hari 10-40 mg x 1/hari

5. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

- Penganti untuk ACE inhibitor untuk pasien yang tidak tahan

dengan efek sampingnya misalnya batuk yang berterusan.

37
- Berikut adalah dosisnya.

ARB Starting dose Max dose

Losartan 50 mg x 1 /hari 100 mg x 1/hari

Valsartan 80 mg x 1/hari 160 mg x 1/hari

Telmisartan 40 mg x 1 /hari 80 mg x 1/hari

Irbesartan 150 mg x 1/hari 300 mg x 1/hari

Candesartan 8 mg x 1/hari 16 mg x 1/hari

6. Statin

Untuk mengontrol profil lipid

Dapat diberikan atrovastatin 10-80 mg/hari, simvastatin

20-40 mg/hari, pravastatin 40 mg/hari atau rouvastatin

10-20 mg

7. Penghambat kanal kalsium

Pemberian diltiazem hanya untuk infark dengan gelombang Q.

38
BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah Deskriptif yang meneliti Prevalensi Sindrom Koroner

Akut di RSU UKI Periode Mei Juli 2017 dengan menggunakan data sekunder.

B. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di RSU UKI pada tanggal 21 Agustus 2017 sampai dengan

25 Agustus 2017.

C. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien di IGD RSU UKI pada bulan Mei

sampai Juli 2017. Sampel pada penelitian ini adalah pasien Sindrom Koroner Akut

di IGD RSU UKI pada bulan Mei Juli 2017. Pengambilan sampel dilakukan

secara purposive sampling.

D. Kriteria Inklusi Dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi

Pasien Sindrom Koroner Akut di IGD RSU UKI pada bulan

Mei Juli 2017

Warga Negara Indonesia (WNI)

Usia 17 Tahun

39
2. Kriteria Eksklusi

Bukan penderita Sindrom Koroner Akut

Warga Negara Asing (WNA)

Usia <17 Tahun

E. Subjek Penelitian

Pasien Sindrom Koroner Akut yang memenuhi kriteria inklusi dan berobat di IGD

RSU UKI pada bulan Mei Juli 2017.

F. Pengumpulan Data

Pengumpulan data ini dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari

Rekam Medis. Dari rekam medis diperoleh data yang meliputi usia, jenis kelamin,

berat badan (BB), tinggi badan (TB), tekanan darah, riwayat hipertensi, riwayat

DM, riwayat hyperlipidemia, riwayat penyakit jantung, riwayat PCI, dan diagnosis

pasien.

G. Analisis Data

Dari judul penelitian ditetapkan faktor dependent dan faktor risiko (independent)

penelitian. Faktor independent meliputi :

1. Usia

2. Jenis kelamin

3. Indeks Massa Tubuh (IMT)

4. Tekanan Darah

40
5. Riwayat Hipertensi

6. Riwayat DM

7. Riwayat Hiperlipidemia

8. Riwayat Penyakit Jantung

9. Riwayat PCI

Data yang sudah terkumpul disimpan dalam perangkat lunak SPSS versi 22.

Analisis data mempergunakan SPSS versi 22. Pada saat entry data, dilakukan

pencucian data. Selanjutnya dilakukan analisis univariat terhadap prevalensi faktor

independent pada faktor dependent.

H. Definisi Operasional

Sindrom Koroner Akut adalah Sindrom koroner akut (ACS) merupakan kumpulan

manifestasi klinis yang mengambarkan proses penyakit yang meliputi angina

pektoris tidak stabil, infark miokardium tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan

infark miokardium dengan elevasi segmen ST (STEMI).

Usia adalah ulang tahun terakhir responden pada saat dilakukan penelitian.

Kode : 0 = 18 40 tahun

1 = 41 65 tahun

2 = > 65 tahun

41
Indeks masa tubuh (IMT) adalah keadaan gizi seseorang yang dihitung dari

perbandingan antara berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m).

Kode : 0 = Normal (18.50 24.99)

1 = Underweight (< 18.50)

2 = Overweight (25.00-29.99)

3 = Obesitas (30.00)

Tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan oleh pompa jantung untuk

memompa darah ke seluruh tubuh. Tekanan darah ini terdiri dari tekanan darah

sistolik dan tekanan darah diastolik.

Kode : 0 = Normal

1 = Pre Hipertensi

2 = Hipertensi Stage I

3 = Hipertensi Stage I

Riwayat Hipertensi adalah pasien yang memiliki riwayat hipertensi dimana tekanan

darah sistolik 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik 90 mmHg, pada

pemeriksaan berulang yang sekurang-kurangnya dua kali pengukuran tekanan

darah pada saat yang berbeda.

Kode : 0 = Tidak memiliki riwayat Hipertensi

1 = Memiliki riwayat Hipertensi

42
Riwayat DM adalah pasien yang memiliki riwayat DM dengan kriteria menurut

WHO dimana kadar GDS 200 mg/dl atau GDP 126 mg/dl disertai dengan gejala

klasik berupa poliuria, polifagia, dan polidipsia.

Kode : 0 = Tidak memiliki riwayat DM

1 = Memiliki riwayat DM

Riwayat Hiperlipidemia adalah pasien yang memiliki riwayat hiperlipidemia

dimana kadar kolestrol > 200 mg/dl dengan atau tanpa peningkatan kadar

trigliserida dalam darah.

Kode : 0 = Tidak memiliki riwayat Hiperlipidemia

1 = Memiliki riwayat Hiperlipidemia

Riwayat PCI adalah pasien yang memiliki riwayat dilakukan tindakan PCI.

Kode : 0 = Tidak memiliki riwayat PCI

1 = Memiliki riwayat PCI

I. Etika Penelitian

Penelitian ini mengikuti kaidah sesuai dengan etika penelitian yang berlaku dengan

merahasiakan identitas responden yang ada. Dokumen tentang identitas dan data

yang berhubungan dengan penelitian mengenai Angka Kejadian Sindrom Koroner

Akut di RSU UKI Periode Mei Juli 2017 hanya dipergunakan untuk keperluan

penelitian.

43
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 4.1. Frekuensi Penderita Sindrom Koroner Akut Berdasarkan

Tipe Sindrom Koroner Akut

Jumlah (n) Persentase (%)

Sindrom Koroner Akut


14 77.80
UAP
3 16.70
STEMI
1 5.50
NSTEMI

Berdasarkan hasil penelitian ini, dari 18 penderita SKA sebanyak 14 orang

(77.80%) menderita UAP, 3 orang (16.70%) menderita STEMI, dan 1 orang

(5.50%) menderita NSTEMI.

Tabel 4.2. Frekuensi Penderita SKA Berdasarkan Usia

Usia Jumlah (n) Persentase (%)

18-40 Tahun 3 16.67

41-65 Tahun 8 44.44

> 65 Tahun 7 38.89

44
Berdasarkan faktor usia diperoleh hasil bahwa penderita SKA tebanyak berusia

41-65 tahun yaitu 8 orang (44.44%). Sedangkan angka kejadian SKA pada usia

18-40 tahun sebanyak 3 orang (16.67%) dan sebanyak 7 orang (38.89%) berusia

>65 tahun.

Semakin bertambahnya usia, prevalensi terjadinya SKA semakin meningkat.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Naveed Aslam Lashari et all (2016) yang

menyatakan bahwa dari 280 penderita SKA sebanyak 75 orang (26.80%)

berusia 20-40 tahun, 154 orang (55.0%) berusia 40-60 tahun, dan sebanyak 51

orang (18.20%) berusia 61-80 tahun.17

Tabel 4.3. Frekuensi Penderita SKA Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)

Laki-laki 8 44.44

Perempuan 10 55.56

Perempuan memiliki angka kejadian SKA lebih tinggi dibandingkan dengan

laki-laki (55.56% vs 44.44%).

Angka kejadian SKA meningkat setelah menopause. Hal ini terjadi karena

penurunan kadar estrogen setelah menopause dimana estrogen menunda

45
perkembangan aterosklerosis yang dapat meningkatkan risiko terjadinya SKA.

Estrogen merupakan hormon yang bertanggung jawab terhadap peningkatan

konsentrasi HDL, penurunan LDL dan Lipoprotein. Peran estrogen dalam

meningkatkan HDL dan menurunkan LDL hampir mencapai 15 %. Estrogen akan

menurunkan kadar LDL dan lipoprotein dengan cara meningkatkan regulasi,

katabolisme LDL dan Lipoprotein. Selain itu, estrogen juga berfungsi dalam

memperbaiki fungsi vaskuler dimana vasodilatasi yang terjadi memberikan

kesempatan perbaikan pada endothelium yang rusak.18

Tabel 4.4. Frekuensi Penderita SKA Berdasarkan Indeks Massa Tubuh

Indeks Massa Tubuh Jumlah (n) Persentase (%)

Underweight (<18.50) 0 0

Normal (18.50 24.99) 14 77.78

Overweight (25.00-29.99) 4 22.22

Obesitas ( 30) 0 0

Pasien dengan IMT 25 kg / m2 memiliki risiko kardiovaskular yang lebih

tinggi. Hal ini dikarenakan konsentrasi protein C-reaktif yang lebih tinggi ,

tingkat troponin dan NT-proBNP yang lebih rendah dibandingkan dengan IMT

normal.19 Namun, pada penelitian ini diperoleh bahwa penderita SKA yang

memiliki IMT normal sebanyak 14 orang (77.78%) dan overweight sebanyak

(22.22%).

46
Tabel 4.5. Frekuensi Penderita SKA Berdasarkan Tekanan Darah

Tekanan Darah Jumlah (n) Persentase (%)

Normal 5 27.80

Pre-Hipertensi 3 16.70

Hipertensi Stage I 6 33.30

Hipertensi Stage II 4 22.20

Penderita SKA yang memiliki tekanan darah normal sebanyak 5 orang

(27.80%), pre-hipertensi sebanyak 3 orang (16.70%), hipertensi stage 1

sebanyak 6 orang (33.30%), dan hipertensi stage 2 sebanyak 4 orang (22.20%).

Hampir semua konsensus atau pedoman utama mengatakan bahwa seseorang

akan dikatakan hipertensi apabila memiliki tekanan darah sistolik 140 mmHg

dan/atau tekanan darah diastolik 90 mmHg, pada pemeriksaan berulang yang

sekurang-kurangnya dua kali pengukuran tekanan darah pada saat yang berbeda

dimana pengukuran pertama akan dikonfirmasi pada sedikitnya dua kunjungan

berikutnya dalam waktu satu sampai beberapa minggu.20

47
Klasifikasi tekanan darah menurut Joint National Committee (JNC) VII adalah

sebagai berikut.

Tabel 4.6. Klasifikasi Hipertensi menurut Joint National Committee (JNC) VII

Kategori Sistolik (mmHg) Diastole (mmHg)

Normal <120 dan <80

Pre hipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi stage I 140-159 atau 90-99

Hipertensi stage II 160 atau 100

Peningkatan tekanan darah terjadi karena adanya peningkatan preload atau

kontraktilitas jantung yang menyebabkan terjadinya peningkatan cardiac

output dan konstriksi fungsional, atau hipertrofi struktural menyebabkan

terjadinya peningkatan resistensi pembuluh darah. Apabila terjadi peningkatan

cardiac output dan/atau resitensi perifer, hal ini akan menyebabkan terjadinya

peningkatan tekanan darah. Dimana peningkatan tekanan darah yang

berlangsung secara kronik akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit

kardiovaskular.20

48
Tabel 4.7. Frekuensi Penderita SKA Berdasarkan Riwayat Hipertensi

Riwayat Hipertensi Jumlah (n) Persentase (%)

Ya 8 44.44

Tidak 10 55.56

Penderita SKA yang tidak memiliki riwayat hipertensi lebih banyak

dibandingkan dengan penderita yang memiliki riwayat hipertensi

(55.56% vs 44.44%).

Hipertensi kronik merupakan salah satu faktor resiko terjadinya pembentukan

arterosklerosis, meningkatnya kejadian penyakit arteri perifer, gagal ginjal

kronik, dan penyakit jantung koroner. Efek jangka panjang dari tingginya

tekanan darah adalah rusaknya dinding arteri sehingga membuat dinding arteri

menjadi lebih rentan untuk menebal atau menyempit (arterosklerosis) ataupun

pecahnya pembuluh darah.21

49
Tabel 4.8. Frekuensi Penderita SKA Berdasarkan Riwayat DM

Riwayat DM Jumlah (n) Persentase (%)

Ya 4 22.22

Tidak 14 77.78

Berdasarkan faktor risiko riwayat DM diperoleh hasil bahwa sebanyak 4 orang

(22.22%) penderita SKA memiliki DM dan 14 orang (77.78%) tidak memiliki

DM. DM adalah sekelompok gangguan metabolik yang ditandai dengan

hiperglikemia yang disebabkan oleh kerusakan dari sekresi insulin, kerja

insulin, atau keduanya. DM digolongkan menjadi dua tipe, yaitu DM tipe 1

akibat defisensi insulin absolut dan diabetes tipe 2 akibat defisiensi insulin

relatif.22

Tabel 4.9. Kriteria Diagnosis DM (Perkeni, 2015)

Normal Pre Diabetes DM

Glukosa Darah Puasa <110 110-125 126

(mg/dL)

Gula Plasma Dua Jam <140 140-199 200

Setelah TTGO (mg/dL)

HbA1C <5,7 5,7-6,4 6,5

50
DM sudah diketahui merupakan salah satu faktor risiko terjadinya peyakit

jantung koroner. Hal ini terjadi karena hiperglikemia dan stress oksidatif yang

terjadi pada DM akan menyebabkan kerusakan endotel. Kerusakan ini akan

menyebabkan terbentuknya arterosklerotik yang dapat menyebabkan penyakit

jantung koroner.

Tabel 4.10. Frekuensi Penderita SKA Berdasarkan Riwayat Hiperlipidemia

Riw. Hiperlipidemia Jumlah (n) Persentase (%)

Ya 5 27.80

Tidak 13 72.20

Sebagian besar penderita SKA tidak memiliki riwayat hiperlipidemia yaitu

sebanyak 13 orang (72.20%) sedangkan 5 orang (27.80%) memiliki

hiperlipidemia. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Stivano bahwa penderita dengan hiperlipidemia lebih banyak dibandingkan

penderita SKA tanpa hiperlipidemia.

SKA terjadi akibat adanya pada pembuluh darah koroner sehingga aliran darah

menuju jantung dapat terhambat bahkan berhenti. Sumbatan tersebut adalah

thrombus yang berasal dari ruptur plak arterosklerosis dan bukan merupakan

stenosis, salah satu faktor risiko SKA yang berkaitan erat dengan kejadian

51
aterosklerosis adalah tingginya kadar kolesterol. Selama ini kadar kolesterol

LDL (Low Density Lipoprotein) dianggap sebagai kolesterol jahat karena

membawa kolesterol menuju jaringan., akan tetapi pasien di unit perawatan

koroner sering tidak memiliki kadar kolesterol yang tinggi, yang terjadi adalah

perubahan kualitas kolesterol LDL akibat proses oksidasi sehinga terbentuklah

LDL teroksidasi.23, 24

Tabel 4.11. Frekuensi Penderita SKA Berdasarkan

Riwayat Penyakit Jantung

Riw. Penyakit Jantung Jumlah (n) Persentase (%)

Ya 8 44.44

Tidak 10 55.56

Sebanyak 8 orang (44.44%) dari penderita SKA memiliki riwayat penyakit

jantung sedangkan 10 orang (55.56%) tidak memiliki riwayat penyakit jantung.

Hasil ini sesuai dengan penelitian Stivano dan Rosmiatin bahwa penderita

dengan riwayat penyakit kardiovaskular lebih sedikit dibandingkan dengan

penderita tanpa riwayat penyakit kardiovaskular. Hal ini mungkin terjadi karena

kurangnya pengetahuan penderita tentang riwayat penyakitnya dahulu.

52
Tabel 4.12. Frekuensi Penderita SKA Berdasarkan Riwayat PCI

Riwayat PCI Jumlah (n) Persentase (%)

Ya 3 16.70

Tidak 15 83.30

Berdasarkan riwayat PCI (Percutaneous Coronary Intervention) diperoleh

hasil bahwa 3 orang (16.70%) penderita SKA pernah melakukan tindakan PCI

sedangkan sebanyak 13 orang (83.30%) belum pernah dilakukan tindakan PCI.

PCI adalah suatu tindakan minimal invasif dengan melakukan pelebaran dari

pembuluh darah koroner yang menyempit dengan balon dan dilanjutkan dengan

pemasangan stent (gorong-gorong) agar pembuluh darah tersebut tetap terbuka.

Sesuai dengan namanya, tindakan dilakukan dengan hanya insisi kulit

(percutaneous) yang kecil, kemudian dimasukkan kateter ke dalam pembuluh

darah (transluminal) sampai ke pembuluh koroner, dan dilakukan tindakan

intervensi dengan inflasi balon dan pemasngan stent (coronary angioplasty)

Pada pasien dengan riwayat PCI memiliki risiko untuk terkena SKA lagi,

namun hal ini biasanya terjadi pada pasien yang memiliki faktor-faktor risiko

lain seperti hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus, penyakit multivessel,

dan pasien lansia.26, 27

53
BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Telah dilakukan penelitian Prevalensi Sindrom Koroner Akut di RSU

UKI Periode Mei Juli 2017 dengan studi desain deskriptif terhadap

18 purposive sampling di RSU UKI dati tanggal 21 Agustus 2017

25 Agustus 2017 yang terdiri dari 44.44% usia 41-65 tahun dan 55.56%

gender wanita.

2. Usia, jenis kelamin, IMT, tekanan darah, riwayat hipertensi, riwayat

DM, riwayat hiperlipidemia, riwayat penyakit jantung, dan riwayat PCI

merupakan faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya Sindrom

Koroner Akut dimana faktor tersebut saling terkait satu sama lain.

5.2 Saran

1. Perlunya kontrol berat badan karena berat badan berlebih dapat

meningkatkan risiko terjadinya Sindrom Koroner Akut.

2. Perlunya kontrol tekanan darah karena peningkatan tekanan darah dapat

meningkatkan risiko terjadinya Sindrom Koroner Akut.

3. Perlunya deteksi dini Hipertensi, DM, Hiperlipidemia, dan Penyakit

Jantung dalam mencegah progresivitas penyakit tersebut karena

54
penyakit kronis tersebut dapat meningkatkan risiko terjadinya Sindrom

Koroner Akut.

4. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih

besar dan variabel yang lebih rinci untuk eksplorasi temuan dalam

penelitian ini.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldman L, Kirtane AJ. Triage of patients with acute chest pain and

possible cardiac ischemia: the elusive search for diagnostic perfection. Ann

Intern Med. 2003;139(12):987-95.

2. Antman EM, Selwyn A, Braunwald E, Loscalzo J. Ischemic heart disease.

Harrisons principles of internal medicine. McGraw Hill; 2008. p. 1514-26.

3. Hamilton B, Kwakyi E, Koyfman A, Foran M. Diagnosis and management

of acute coronary syndrome: Diagnostic et prise en charge du syndrome

coronarien aigu. AfJEM. 2013;3(3):124-33.

4. Newby DE, Grubb NR, Bradbury A. Cardiovascular disease. Davidsons

principles and practice of medicine. Churchill Livingstone Elsevier; 2010.

p.521640.

5. Hamm CW, Bassand J-P, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al.

ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in

patients presenting without persistent ST-segment elevation. Eur Heart J.

2011;32(23):2999-3054.

6. Mokhtari A, Dryver E, Soderholm M, Ekelund U. Diagnostic values of

chest pain history, ECG, troponin and clinical gestalt in patients with chest

pain and potential acute coronary syndrome assessed in the emergency

department. Springerplus. 2015;4(1):219.

56
7. Parkash O, Almas A, Hameed A, Islam M. Comparison of non cardiac chest

pain (NCCP) and acute coronary syndrome (SKA) patients presenting to a

tertiary care center. JPMA The Journal of the Pakistan Medical Association.

2009;59(10):667-71.

8. Shakoor, Tariq M, Sher, Falik, Shah, A SF. Incidence of Atypical

Presentation of Myocardial Infarction. Pak Heart J. 2012;41(1-2).

9. Liu CH, Huang YC. Comparison of STEMI and NSTEMI patients in the

emergency department. Journal of Acute Medicine. 2011;1(1):1-4.

10. Smith, Jennifer N; Negrelli, Jenna M; Manek, Megha B; Viera, Anthony J.

Diagnosis and Management of Acute Coronary Syndrome: An Evidence-

Based Update.Journal of The American Board of Family

Medicine.2015;28(2):283-93.

11. Trisnohadi, Hanafi B; Muhadi. Angina Pektoris Tak Stabil / Infark

Miokard Akut Tanpa ST Elevasi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi IV.2014:1449-50.

12. Brunori, Evelise Helena; Lopes, Camila Takao; Cavalcante, Agueda Maria;

Santos, Vinicius Batista et all. Association of Cardiovascular Risk Factors

with The Different Presentations of Acute Coronary Syndrome.

Rev.Latino-Am.Emfermagem. 2014;22(4):538-46.

57
13. Creal, Filippo; Binder, Ronald K; Luscher, Thomas F. The year in

cardiology 2016: acute coronary syndromes.European Heart

Journal.2017;38:154-64.

14. Mokhtari A, Dryver E, Soderholm M, Ekelund U. Diagnostic values of

chest pain history, ECG, troponin and clinical gestalt in patients with chest

pain and potential acute coronary syndrome assessed in the emergency

department. Springerplus. 2015;4(1):219.

15. Nikus, Kjell; Bimbaum, Yochai; Eskola, Markku; Sclarovsky,

Samuel; Zhong-qun, Zhang; Pahlm, Olle. Updated Electrocardiographic

Classification of Acute Coronary Syndromes.

16. Smith JN, Negrelli JM, Manek MB, Hawes EM, Viera AJ. Diagnosis and

management of acute coronary syndrome: an evidence-based update. The

Journal of the American Board of Family Medicine. 2015; 28(2):283-93.

17. Lashari, Naveed A; Lakho, Nadia I; Memon, Sarfaraz A; Ahmed, Ayaz;

Waseem, Muhammad Fahad. Acute Coronary Syndrome; Frequency,

Contributing Factors And Types In Patient With Typical Chest

Pain.Profesional Medical Journal.2017;24(3):409-13.

18. Wani, Mohmad I; Rashid, Aamir; Beig, Jahangir R; Ajaaz, Shahood. Acute

Coronary Syndrome (ACS) in the Young: Angiographic Featuraes and Risk

Factor Analysis of Patients with ACS before the Age of 35 Years.

International Journal of Scientific Study.2017;5(4):244-8.

58
19. Niedziela, Jacek; Hudzik, Bartorz; Niedziela, Natalia et all. The obesity

paradox in acute coronary syndrome: a meta-analysis.European Journal of

Epidemiology. 2014; 29(11): 80112.

20. Picariello C, Lazzeri C, Attana P, Chiostri M, Gensini GF, Valente S. The

impact of hypertension on patients with acute coronary syndromes.

International journal of hypertension. 2011:563-5.

21. Dorobantu, Maria; Tautu, Oana F; Fruntelata, Ana; CalmacGabriel, Lucian

et all. Hypertension and acute coronary syndromes in Romania: data from

the ISACS-TC registry. European Heart Journal Supplement.

2014;1(16):A20-7.

22. Dong X, Cai R, Sun J, Huang R, Wang P, Sun H, Tian S, Wang S. Diabetes

as a risk factor for acute coronary syndrome in women compared with men:

a metaanalysis, including 10 856 279 individuals and 106 703 acute

coronary syndrome events.Diabetes/metabolism research and reviews.

2017;33(5).

23. Rahmaniar Amelinda, D., Dinamika Kadar Kolesterol LDL terhadap

Kejadian Sindrom Koroner Akut di RSD dr. Soebandi Jember (LDL

Cholesterol Dinamics on the Acute Coronary Syndrome Incidence at the dr.

Soebandi General Hospital).

24. Torry, S.R., Panda, L. and Ongkowijaya, J., 2014. Gambaran faktor risiko

penderita sindrom koroner akut. e-CliniC, 2(1).

59
25. Tumade, B., Jim, E.L. and Joseph, V.F. Prevalensi Sindrom Koroner Akut

Di RSUP PROF. DR. RD Kandou Manado Periode 1 Januari 2014-31

Desember 2014. e-CliniC.2016; 4(1).

26. Dadjoo Y , Mahmoody Y . The Prognosis of Primary Percutaneous

Coronary Intervention after One Year Clinical Follow Up, Int Cardio Res J.

2017;7(1):e12725.

27. Velders, M.A., James, S.K., Libungan, B., Sarno, G., Frbert, O., Carlsson,

J., Schalij, M.J., Albertsson, P. and Lagerqvist, B., 2014. Prognosis of

elderly patients with ST-elevation myocardial infarction treated with

primary percutaneous coronary intervention in 2001 to 2011: A report from

the Swedish Coronary Angiography and Angioplasty Registry (SCAAR)

registry. American heart journal, 167(5), pp.666-673.

60

Anda mungkin juga menyukai