Anda di halaman 1dari 31

PENYAKIT JANTUNG

KORORNER

OLEH :

Dr. Dra. Nurhaedar Jafar, Apt,M.Kes

PROGRAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2011
DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL......................................................................................................

SURAT KETERANGAN.................................................................................................

ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................

iii

A. Pengertian PJK............................................................................................

B. Patofisiologi PJK.........................................................................................

C. Manifestasi Klinik .......................................................................................

D. Pengobatan PJK............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
PENYAKIT JANTUNG KORONER

1. Pengertian

Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu kelainan yang

disebabkan oleh penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang

mengalirkan darah ke otot jantung. Karena sumbatan ini, terjadi

ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan oksigen otot jantung

yang dapat mengakibatkan kerusakan pada daerah yang terkena sehingga

fungsinya terganggu (Winata, 2005).

Penyakit jantung koroner terjadi akibat penyempitan dan penyumbatan

pembuluh arteri koroner pada organ jantung. Arteri koroner merupakan

pembuluh darah yang menyediakan darah bagi jantung. Penyempitan dan

penyumbatan arteri koroner menyebabkan terganggunya aliran darah ke

jantung. Sehingga akan menimbulkan efek kehilangan oksigen dan makanan

(Nutrien) ke jantung karena aliran darah ke jantung melalui arteri

berkurang. (Wijayakusuma, 2005).


Terjadinya penyempitan arteri koroner dimulai dengan terjadinya

aterosklerosis (kekakuan arteri) maupun yang sudah terjadi penimbunan

lemak (plague) pada dinding arteri koroner, baik disertai gejala klinis atau

tanpa gejala sekalipun (Kabo, 2008).

Menurut WHO (1985), aterosklerosis adalah perubahan variabel

intima arteri yang merupakan akumulasi fokal lemak ( lipid), komplek

karbohidrat, darah, dan jaringan fibrous. Aterosklerosis merupakan

penyebab penyakit jantung koroner yang terbanyak yaitu 98 % sedangkan

sisanya akibat spasme dan kelainan arteri (2%) (Utantio, 2007).

2. Patofisiologi

Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan

mengalami kerusakan, baik oleh factor risiko tradisional maupun non-

tradisional. Kerusakan ini menyebabkan sel endotel menghasilkan cell

adhesion molecule seperti sitokin (interleukin -1, (IL-1); tumor nekrosis

factor alfa, (TNF–alpha), kemokin (monocyte chemoattractant factor,

(PDGF). Basic fibroblast growth factor, (bFGF). Sel inflamasi seperti

monosit dan T-Limfosit masuk ke permukaan endotel dan migrasi dari

endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian berdiferensiasi menjadi

makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih atherogenik

dibanding LDL. Makrofag ini kemudian membentuk sel busa. LDL

teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan menghasilkan respons

inflamasi. Sebagai tambahan, terjadi respons dari angiotensin II, yang

menyebabkan gangguan vasodilatasi, dan mencetuskan efek protrombik


dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan endotel

terjadi respons protektif dan terbentuk lesi fibrofatty dan fibrous, plak

atherosklerosik, yang dipicu oleh inflamasi. Plak yang terjadi dapat menjadi

tidak stabil (vulnerable) dan mengalami rupture sehingga terjadi Sindroma

Koroner Akut (SKA) (Madjid, 2007).

Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis merupakan suatu

proses inflamasi/infeksi yang awalnya ditandai dengan cedera pada dinding

arteri oleh berbagai sebab (hipertensi, oksidasi, nikotin) merupakan sinyal

bagi system imun untuk melepaskan sel darah putih (terutama netrofil dan

makrofag) ke daerah permukaan. Selanjutnya makrofag akan memfagosit

kolesterol LDL teroksidasi. Proses ini merubah kolesterol LDL menjadi

bentuk foamy cell yang melekat pada sel otot polos arteri. Sejalan dengan

waktu, kolesterol akan mengering dan membentuk plaque yang keras, yang

akan menimbulkan cedera berkelanjutan pada dinding arteri. Pembentukan

plaque ini akan terus berjalan dan dapat mempersempit lumen arteri atau

bahkan memblokade aliran darah. Plaque ini juga dapat terlepas dan

menyumbat arteri yang lebih kecil seperti arteri koronaria atau arteri serebri

menimbulkan penyakit IMA dan infark serebri (Samsi, 2004).

Proses yang mengawali aterosklerosis telah menjadi perdebatan pada

beberapa tahun terakhir, dan beberapa hipotesis telah diajukan.

1. Hipotesis Response to Injury

Menyatakan bahwa perlukaan pada endotel menyebabkan respon

inflamasi sebagai proses perlukaan pada dinding arteri. Sebagai contoh,


luka meningkatkan adhesi endotel pada lekosit dan platelet,

menghantarkan antikoagulan vaskular lokal pada prokoagulan. Lekosit dan

platelet yang terekrut kemudian melepaskan sitokin, senyawa-senyawa

vasokonstriksi, growth factor, yang merangsang respon inflamasi yang

ditandai oleh migrasi sel otot halus ke dalam intima, dan proliferasinya

membentuk suatu lesi intermediate. Komponen lain dari respon inflamasi

ini adalah rekrutmen makrofag ke dalam dinding arteri. Makrofag-

makrofag tersebut mengambil LDL yang terdeposit menjadi sel busa, yang

merupakan awal lesi aterosklerosis. Hipotesis ini dikemukakan oleh Ross

tahun 1977 (Stocker & Keanay, 2004).

2. Hipotesis Response to Oxidation (Oxidative Modification Hypothesis)

Dikemukakan oleh Steinberg dkk pada tahun 1989, bahwa oksidasi

lipoprotein merupakan jalur yang penting dalam aterosklerosis.Disebutkan

bahwa LDL dalam bentuk natif tidak bersifat aterogenik. LDL yang

termodifikasi secara kimia mudah masuk ke makrofag melalui jalur

scavenger receptor. Sel-sel vaskular mengandung logam yang terpapar di

medium juga menghasilkan LDL termodifikasi, sehingga tersedia ligan

untuk jalur scavenger receptor. Modifikasi LDL melalui oksidasi ini

kemudian menghasilkan modifikasi Apo B-100, yaitu pada gugus lisin,

yang menyebabkan muatan negatif partikel lipoprotein meningkat.

Modifikasi Apo B-100 ini menyebabkan LDL lebih mudah di-up take

makrofag melalui sejumlah jalur scavenger receptor, menghasilkan sel


busa. Akumulasi sel busa merupakan awal perkembangan lesi

aterosklerosis (Stocker & Keanay, 2004).

3. Hipotesis Response to Retention

Hipotesis yang dikemukakan oleh William dan Tabas (1995) ini

menyebutkan bahwa retensi lipoprotein merupakan tahap awal dari

terjadinya oksidasi, inflamasi, dan disfungsi endotel. Sebagai akibat dari

retensi lipoprotein aterogenik ini tidak hanya kumulasi lipid, namun juga

memperlama terhadap paparan oksidan lokal dan enzim non oksidatif

lainnya di dinding pembuluh darah (Gustafsson & Boren, 2004) .

Meskipun plague aterosklerosis dapat tetap stabil atau berubah

secara bertahap, beberapa di antaranya dapat mengalami ruptur

menyebabkan keluarnya lipid dan factor jaringan dalam berbagai kejadian

dengan puncaknya terjadi thrombosis intravaskuler. Akhir proses ini

ditentukan oleh apakah pembuluh darah mejadi tersumbat ataukah terjadi

trombolisis, baik spontan maupun akibat pengobatan, dan apakah plague

selanjutnya menjadi stabil.

Pengamatan terkini menghidupkan kembali teori lama bahwa

aterosklerosis berkembang sebagai akibat respon inflamasi dalam dinding

pembuluh darah, mungkin diawali atau diperburuk oleh suatu agen infeksi.

Tingginya kadar C-reactive protein dalam sirkulasi yaitu suatu penanda

inflamasi non spesifik, dikaitkan dengan tingginya angka kejadian iskemik

Proses inflamasi memegang peranan penting dalam menentukan kejadian

aterosklerosis. Pro inflamatori sitokin seperti interleukin-1, dan tumor


necrosis factor α (TNF-α) di samping molekul adesi interselular 1,

selektin, interleukin-6, dan serum amyloid A, mempunyai implikasi

terhadap aterogenesis. Sebagai tambahan, C-reactive protein (CRP),

sebuah reaktan fase akut yang mendasari terjadinya proses inflamasi, kadar

yang meningkatkan 100kali lipat atau lebih terhadap infeksi bakteri yang

parah, trauma fisik, atau kondisi inflamasi lainnya yang mungkin

memegang peranan penting (Wong dkk, 2004).

3. Manifestasi klinik

a. Angina pectoris

Angina pectoris ialah suatu sindroma klinis di mana didapatkan

sakit dada yang timbul pada waktu melakukan aktivitas karena adanya

iskemik miokard. (Madjid, 2007)

Klasifikasi klinis angina pada dasarnya dilakukan untuk

mengevaluasi mekanisme terjadinya iskemik. Pada umumnya angina

pectoris dibagi menjadi 3 tipe angina yakni :

a. Angina Pektoris Stabil (APS) : sindrom klinik yang ditandai

dengan rasa tidak enak di dada, rahang, bahu, pungggung ataupun

lengan, yang biasanya dicetuskan oleh kerja fisik atau stres

emosional dan keluhan ini dapat berkurang bila istirahat atau oleh

obat nitrogliserin.

b. Angina Prinzmetal : nyeri dada disebabkan oleh spasme arteri

koronaria, sering timbul pada waktu istirahat, tidak berkaitan


dengan kegiatan jasmani dan kadang-kadang siklik (pada waktu

yang sama tiap harinya).

c. Angina pektoris tidak stabil (APTS, unstable angina) : ditandai

dengan nyeri dada yang mendadak dan lebih berat, yang

serangannya lebih lama (lebih dari 20 menit) dan lebih sering.

Angina yang baru timbul (kurang dari satu bulan), angina yang

timbul dalam satu bulan setelah serangan infark juga digolongkan

dalam angina tak stabil. (Madjid, 2007)

b. Infark Miokard Akut (IMA)

Serangan infark miokard biasanya akut, dengan rasa sakit seperti

angina, tetapi tidak seperti angina yang biasa, maka disini terdapat rasa

penekanan yang luar biasa pada dada. Bila pasien sebelumnya pernah

mendapat serangan angina ,maka ia tahu bahwa sesuatu yang berbeda

dari serangan angina sebelumnya sedang berlangsung. Juga, kebalikan

dengan angina yang biasa, infark miokard akut terjadi sewaktu pasien

dalam keadaan istirahat , sering pada jam-jam awal dipagi hari (Anwar,

2004).

Rasa sakitnya adalah diffus dan bersifat mencekam, mencekik,

mencengkeram atau membor. Paling nyata didaerah subternal, dari

mana ia menyebar kedua lengan, kerongkongan atau dagu, atau

abdomen sebelah atas (sehingga ia mirip dengan kolik cholelithiasis,

cholesistitis akut ulkus peptikum akut atau pancreatitis akut) (Anwar,

2004).
FR Psikososial :
Kesehatan Mental Emosional

Gambar 1. Patofisiologi Terjadinya PJK

4. Pengobatan PJK

a. Pengobatan

1. Obat Antianginal

Angina adalah rasa tidak enak di dada karena suplai oksigen ysng

tidak cukup ke otot jantung untuk memnuhi permintaan oksigen.

Karena itu, perawatan angina bertujuan untuk mengurangi keperluan

oksigen otot jantung maupun menambahkan aliran darah ke koroner.


Tiga kelas utama obat anti angina yang tersedia adalah nitrat, beta

blocker, dan calsium channel blocker.

a. Nitrat

Nitrat adalah obat vasilidator (pelebar pembuluh darah)

yang merileksasikan dinding pembuluh darah. Pada waktu yang

sama pelebaran arteri koroner memperbaiki aliran darah ke otot

jantung. Nitrat yang paling sering dipakai adalah glyseryl

trinitrate (GNT) yang juga disebut nitroglycerin (NTG),

isosorbide dinitrate (ISDN), isosorbide mononitrate (ISMN).

Contoh-contoh buatan komersial adalah Nitrobin, Nitrobat,

Notroderm, Nitromark, Nitrodisc, Isordil, Sorbitrate, Isomark,

Isoket, Ismo, Cedocard, Vascardin, Imdur, Fasorbid, Nitrostat,

Deponit, Isosorbid, Isoket, Elantan, dan Pentacard.

b. Beta Blocker

Beta Blocker menghambat aksi adrenalin pada ujung-ujung

syaraf yang mempengaruhi denyutan jantung dan kekuatan

kontraksi. Oleh aksi ini dikurangi jumlah pekerjaan yang

dilakukan oleh jantung, dan karena itu mengurangi keperluan

oksigen otot jantung. Beta Blocker adalah obat yang efektif untuk

perawatan dan pencegahan hipertensi dan untuk kontrol aritmia

jantung tertentu.

Contoh-contoh buatan komersial adalah Sektral, Tenormin,

Betablok, Visken, Inderal, Lopressor, Farnormin, Alpresol,


Prestoral, Farnagard, Propadex, Propranolol, Cardiosel,

Farmadral, Mikelan, Nederal, Trasicor, Seloken, Blockard,

Decreten, Internolol, Selozok, Corgard, Trasicor, Concor,

Corbutol, Maintate dan Losartan.

c. Calsium Channel Blocker

Obat macam ini memiliki khasiat mengendurkan dinding arteri

koroner sehingga mencegah kekejangan koroner. Lagipula

mereka berlaku langsung pada sel-sel otot jantung yang

menyebabkan sedikit berkurang dalam kemampuan kontrasi, dan

karena itu mengurangi permintaan oksigen miokardial. Calsium

channel blockers efektif pada perawatan dan pencegahan angina,

dapat juga melebarkan arteri sekeliling sehingga mengurangi

tekanan darah. Karena itu, obat ini juga dipakai dalam perawatan

hipertensi.

Contoh-contoh buatan komersial adalah Herbesser, Adalat,

Isoptin, Carpedin, Norvasc, Farmalat, Farmabes, Coronipin,

Corpamil, Nifecard, Nifedin, Nifedipine, Plendil, Vasdalat,

Dilmen, Loxen, Pincard Xepalat, Dilitiazem, Verapamil,

Cardyne, Fedipin, Lacipil, Safcard, Cardizem, Cordalat,

Tensivask, Ficor dan Kemolat.

2. Diuretik

Diuretik menambah ekskresi garam dan air ke dalam urine, jadi

mengurangi jumlah cairan dalam sirkulasi dan dengan demikian


menurunkan tekanan darah. Diuretik efektif dalam perawatan

kegagalan jantung.

Contoh-contoh buatan komersial adalah Chlortride, Lasix, Burinex,

Aldactron, Dyazde, Moduretic, Lasix, HCT, Amiloride, Diamox,

Furosetic, Furosemid, Hygroton, Diurefo, Furosix, Farsix, Natrilix,

Carpiaton, Farsyx, Hugroton, Aldactone, Aldazide Cetasix dan

Ampugan.

Sebagian besar diuretik menyebabkan pertambahan ekskresi

kalsium ke dalam urine, sehingga bisa menyebabkan kehabisan

kalsium tubuh. Kehilangan kalsium dapat dinetralkan dengan makan

makanan yang kaya akan kalsium (buah-buahan seperti pisang, jeruk,

tomat dan sayuran), atau dengan makan tambahan kalsium.

3. Digitalis

Obat-obat digitalis menambahkan kekuatan kontraksi otot jantung,

sehingga dapat memperbaiki kemampuan jantung yang melemah.

Obat-obat tersebut juga digunakan sebagai obat antiaritma karena

memperlambat transmisi impuls elektris. Obat-obat digitalis dipakai

dalam perawatan kegagalan jantung, sering dalam kombinasi dengan

diuretik. Obat-obat itu juga efektif dalam pengendalian dan

pencegahan aritmia jantung tertentu.

Contoh obat jenis ini adalah Digoxin, Lanoxin, Fargoxin dan

Lanitop.

4. Obat Anti Aritmia


Obat-obat anti aritma dipakai pada perawatan dan pencegahan aritma

jantung. Beta blockers bekerja dengan menghambar aksi adrenalin

terhadap reseptor beta (penerima, ujung syaraf atau indera penerima

rangsang) pada jantung ini mengakibatkan perlambatan denyutan

jantung. Dixogen memperlambat transmisi impuls elektris melalui

node AV, jadi memperlambat kecepatan denyut ventrikal.

Contoh-contoh obat tersebut adalah Inderal, Lanoxin, Norpace,

Pronesty, Kinidin, Tambocor, Tonocard, Cardarone, Verapamil,

Quinidine, Sotacor, Mexitec, Isoptin, Maintate.

5. Anticoagulant

Anticoagulant (pengencer darah) bekerja mencegah pembentukan

gumpalan darah di dalam sistem sirkulasi, yaitu untuk pencegahan

pembentukan gumpalan darah di dalam jantung dan pembuluh darah.

Contoh buatan komersial ialah Warfarin, Sintrom, Heparin dan

Praxiparin.

Penting sekali untuk memakai anticoagulant benar-benar seperti

diresepkan. Aspirin sama sekali tidak boleh dimakan bersama

anticoagulant (kecuali disuruh dokter), karena bisa mengakibatkan

meningkatnya kecenderungan akan pendarahan.

6. Obat Antiplatelete

Platelete adalah sel-sel darah yang kecil sekali, yang mempunyai

fungsi penting dalam mekanisme penggumpalan darah. Bila

pembuluh darah cedera, platelete yang melekat pada dinding


pembuluh membentuk gumpalan di tempat yang rusak. Gumpalan itu

menambal dinding yang rusak dan mencegah pendarahan lebih lanjut,

akan tetapi, pada keadaan tertentu, pembentukan gumpalan darah bisa

menyebabkan masalah serius. Sebagai contoh, pada pasien dengan

penyakit arteri koroner, terdapat kecenderungan yang meningkat

dalam pembentukan gumpalan darah di tempat plak, sehingga

menimbulkan hambatan yang komplit dari arteri koroner dan

mengakibatkan infarksi miokardial atau serangan jantung.

Obat-obat antiplatelete mengurangi kelengketan platelete dan oleh

sebab itu mengurangi kecenderungan untuk pembentukan gumpalan

darah. Obat-obat antiplatelete dibuat untuk mengurangi risiko

serangan jantung pada pasien yang menderita angina, pasien yang

sudah menderita serangan jantung, pasien yang telah menjalani

operasi by-pass, mengurangi risiko penutupan okulasi (by-pass graft)

dan setelah angioplasti koroner untuk mengurangi risiko

penggumpulan darah pada tempat yang dilebarkan.

Contoh-contoh buatan komersial ialah Aspirin, Solprim, Cardiprin,

Persantin, Ticlid, Ascardia, Aptor, Aspilet dan Farmasal.

7. Obat Untuk Memperbaiki Kadar Kolesterol Dalam Darah

a. Statin

Sejak diperkenalkannya pada tahun 1980, statin menjadi

obat yang paling ampuh untuk menurunkan kolesterol yang kita

punyai pada saat ini, jenis obat ini sering terdapat di pasaran
seperti lovastatin (mevacol), sinvastatin (zokor), fluvastatin

(lescor), Pravastatin (pravachol) dan atrovastatin (lipitor).

Statin didesain untuk menahan enzim yang disebut HMG-

CoA reductas, yang diperlukan untuk memproduksi kolesterol.

Bila statin menahan enzim tersebut, lever tidak dapat

membuatnya. Padahal sel-sel dalam lever memerlukan jumlah

tertentu dari kolesterol untuk membentuk membran sel agar

dapat berfungsi secara benar. Karena sel lever tidak dapat

membuat kolesterol, mereka mengambil dari tempat lain, maka

dia mendapatkan kolesterol yang terdapat dalam darah dengan

memproduksi receptors yang mengumpulkan LDL. Dengan

demikian berkuranglah jumlah LDL yang terdapat dalam aliran

darah. Statin juga langsung meningkatkan jumlah sintesa NO

pada dinding pembulub darah. Dengan meningkatkan produksi

NO, statin mengurangi inflamasi dari pembuluh darah. Statin

juga dapat menyetabilkan plak dan mencegahnya untuk pecah.

b. Nicotinic Acid

Merupakan obat yang sering digunakan untuk menaikkan

kadar HDL, yang tadinya amat rendah. Karena memiliki berbagai

akibat samping, penggunaanya harus berhati-hati sesuai dengan

petunjuk dokter. Obat ini bekerja di dalam lever untuk

mempengaruhi produksi lemak. NA digunakan untuk

menurunkan trigliserida, LDL, dan menaikkan HDL.


c. Fibrates

Obat ini menurunkan lemak darah. Beberapa jenis atau

golongan fibrates adalah Gemfibrozil, fenofibrate dan clofibrate.

Penggunaannya terutama ditunjukan untuk menurunkan

trigliserida, juga menaikkan HDL dan menurunkan LDL secara

normal.

d. Resins atau Acid Sequestrans

Resins juga disebut bile acid sequestrans. Jenis obat ini

bekerja di dalam usus, di mana dia mengikat asam empedu yang

membawa kolesterol, sehingga menambah pembuangan

kolesterol. Jadi obat ini mengurangi jumlah kolesterol yang

menuju ke liver kemudian membuat lebih banyak LDL reseptor

yang bertanggung jawab untuk menangkap LDL dari darah,

sehingga kolesterol dapat menurun.

b. Pengobatan di masyarakat

1. Bawang Putih

Pemberian bawang putih jangka panjang akan menurunkan secara

progresif kadar kolesterol serum dan trigliserida baik pada orang normal

maupun penderita hiperlipidemia. Di Thailand Institute of Scientific and

Technological Research dibuat kapsul berisi ekstrak bawang putih yang

setara dengan 7 gram bawang putih segar setiap kapsul. Dosis yang

dipakai adalah 2 kali satu kapsul setiap hari selama 5 bulan. Pada bulan

pertama pemberian bawang putih, kolesterol serum meningkat. Hal ini


diduga karena adanya fase regresi lesi atheroskierotik atau (mobilisasi

lemak dan depositnya). Kolesterol HDL meningkat stabil setelah bulan

kedua pemberian bawang putih. Pada orang sehat/normolipid tidak terjadi

kenaikan kolesterol pada bulan pertama pemberian bawang putih, yang

diduga karena tidak adanya atherosklerosis pada orang tersebut. Kadar

kolesterol menurun bermakna setelah 8 minggu, namun penurunan kadar

trigliserida baru terjadi setelah 5 bulan pemberian bawang putih (Anand

MP, 1978; Nitiyanant, et.al, 1987 dalam Sunarto & Susetyo, 1995)

Telah dilaporkan bahan aktif yang berperan adalah campuran allyl

propyl disulphide, diallyl disulphide dan bahan yang mengandung sulfur,

tetapi yang paling penting diallyl disulphide. Senyawa diallyl disulphide

adalah suatu disulphide-Oxyde tidak jenuh yang disebut juga allicin.

Bahan ini yang diduga mempunyai efek hipokolesterolemik. Rantai allyl

yang tidak jenuh dengan mudah akan tereduksi menjadi rantai propyl yang

jenuh, sehingga akan menurunkan kadar NADH dan NADPH yang penting

untuk sintesa trigliserida dan kolesterol (Pikir BS, 1981; Zacharias NT,

1980 dalam Sunarto & Susetyo, 1995) Allicin juga mempunyai sifat

mengikat SH group yaitu suatu bagian fungsional dari Co-A yang perlu

untuk biosintesis kolesterol (Pikir BS, 1981; Augisti KT, 1978; dalam

Sunarto & Susetyo, 1995)

Pemberian minyak esensial bawang putih setara dengan 1 gram

bawang segar/kgBB/hari yang diberikan bersamaan dengan diet tinggi

kolesterol, akan menurunkan kadar kolesterol, trigliserida serum, prebeta


lipoprotein (VLDL) dan beta lipo-protein (LDL) serta meningkatkan alfa-

lipoprotein (HDL), sehingga rasio beta/alfa juga menurun (Bordia A, et.al,

1977; Hemphill LC, et.al, 1991; Schulman KA, 1991 dalam Sunarto &

Susetyo, 1995).

Kacang mengandung serangkaian zat gizi yang bermanfaat bagi

sistem cardiovascular, termasuk serat, vitamin dan mineral, seperti kalium,

kalsium, magnesium dan tocopherols; phytochemicals, seperti

phytosterols dan phenolic compounds; dan bioactive compounds, seperti

resveratrol dan arginine. Walnuts manjadi sumber asam lemak omega-3,

alpha linolenic acid. kacang dan walnuts mangandung antioksidan yang

tinggi. Kandungan asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam kacang-

kacangan, khususnya kacang tanah terbukti sangat tinggi dan profil asam

lemak dalam kacang tersebut merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan terjadinya penurunan risiko penyakit jantung koroner.

”Mengkonsumsi satu ons kacang, lebih dari lima kali seminggu bisa

menurunkan risiko penyakit jantung koroner 25 % sampai 39 %,” (Kelley

C, 2009). Fitosterol dalam jantung dapat menurunkan kadar kolesterol dan

level Triglyserida dengan cara memblok absorbsi kolesterol dari makanan

yang disirkulasikan dalam darah dan mengurangi reabsorbsi kolesterol

dari hati, serta tetap menjaga HDL (High Density Lipoprotein) kolesterol.

Lebih dari 80 persen lemak dalam minyak kacang adalah jenis yang tidak
jenuh dan sehat bagi jantung serta bebas kolesterol (Stevani Elizabeth,

2004).

Selain mengandung SIT, kacang-kacangan juga mengandung

serat (fiber). Serat dalam makanan terdiri dari serat larut dan yang tidak

larut, namun keduanya dapat menurunkan kolesterol. Penurunan

kolesterol terjadi karena kolesterol terbawa ke dalam feses bersama serat

dan proses biosintesis kolesterol dalam hati berkurang karena tingginya

konsumsi serat. Idealnya, mengkonsumsi serat 25-30 gram per hari.

Kacang tanah termasuk makanan yang mengandung serat. Satu sendok

kecil kacang tanah mengandung 2 gram serat atau 8 persen dari serat

yang dibutuhkan per hari. (Elizabeth, stevani. 2004).

Dr Frank Hu dari Havard School of Public Health. Dalam pertemuan

American Heart Association di Dallas tahun 2000, mengungkapkan hasil

penelitiannya terhadap 86 ribu wanita yang sering mengkonsumsi kacang,

disimpulkan bahwa mengkonsumsi kacang-kacangan termasuk kacang

tanah, mampu menjaga pemompaan aktivitas jantung dengan teratur.

(stevani Elizabeth, 2004)

Penilaian data Iowa Women’s Health Study dilaporkan

konsistennya penurunan CVD dan kematian penyakit jantung koroner,

dengan meningkatkan konsumsi kacang / mentega kacang (Blomhoff, R,

et.al dalam Kelley C, 2009). Sebuah analisa studi menunjukkan bahwa

subjek yang memiliki tingkat konsumsi kacang yang tinggi dapat

mengurangi 35% risiko insidensi CHD ( Fraser, GE, et al. dalam Kelley C,
2009). Suatu percobaan metabolic yang dilakukan pada tahun 1993, di

mana 20% dari asupan energi berasal dari walnuts. Total kolesterol dan

LDL-C mengalami penurunan, berturut-turut 12% dan 18%, pada

normocholesterolemic subjects studied (Sabate, J. et.al dalam Kelley C,

2009 ). Greil dan Kris-Etherton melaporkan lebih dari 25 studi klinis telah

dilakukan evaluasi efek dari konsumsi kacang pada serum lipids dan

lipoproteins. Jenis kacang yang diteliti adalah walnut dan almond (Griel,

AE, et.al. dalam Kelley C, 2009). Penyelidikan tersebut telah dievaluasi

lipids, lipoproteins dan apolipoproteins dan secara konsisten memberikan

efek penurunan kadar kolesterol.

Data terbaru melaporan bahwa konsumsi kacang dapat

mengurangi risiko hypertensi (Djoussé L,et.al dalam Kelley C, 2009).

Studi prospective kohort Physicians’ Health Study 1 menggunakan 15.966

subjek yang tidak memiiki riwayat hipertensi, di follow up. Sebanyak

237.585 orang/tahun, hanya 8.423 kasus hipertensi yang terjadi.

Dibandingkan dengan subjek yang tidak mengkonsumsi kacang-

kacangan, rate hipertensi mengalami penurunan ketika konsumsi kacang-

kacangan ditingkatkan. Sebagai contoh, rasio multi-variabel untuk

hipertensi berkisar antara 0,97 untuk orang-orang yang mengkonsumsi

kacang sekali atau dua kali dalam sebulan dan hanya 0,82 bagi mereka

memakan kacang paling sedikit tujuh kali seminggu. Data ini menunjukkan

bahwa konsumsi kacang-kacangan terkait dengan penurunkan resiko

hipertensi. (Kelley C, 2009)


5. Teh Hijau dan PJK

Banyak penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asupan teh

memiliki efek perlindungan terhadap penyakit kardiovaskular (CVD),

termasuk aterosklerosis, penyakit jantung koroner (CHD), kematian,

stroke, dan kemungkinan kolesterol tinggi dan tekanan darah tinggi

(Nagao, et al., 2007; Cabrera, et al., 2006; Nagao, et al., 2005; Maron, et

al., 2003; Vita, 2003; McKay dan Blumberg, 2002; Yang dan Landau, 2000

dalam Carol Brannon, 2009). Beberapa laporan yang diterbitkan oleh

Hertog dan rekan-rekannya mencatat hubungan terbalik antara asupan

flavonol dan CVD di Eropa. Teh hitam, apel, dan bawang adalah sumber

utama makanan flavonol di Eropa (Hertog, et al., 1993, 1995 dan l997;

Kéli, et al.,1995; McKay dan Blumberg, 2002 dalam Carol Brannon, 2009).

Di negara-negara Barat, teh hitam adalah sumber utama asupan makanan

flavonol. (Geleijnse, et al. 2002 dalam Carol Brannon, 2009) juga

mengamati hubungan terbalik antara konsumsi teh dan flavonoid dengan

CVD, terutama dengan kejadian infark miokard (MI) atau serangan

jantung. Beberapa penelitian epidemiologi telah melaporkan hubungan

positif antara asupan teh dan total mortalitas dan morbiditas koroner

(Cabrera, et al., 2006; Woodward dan Tunstall-Pedoe, l999; Hertog, et al.,

l997 dalam Carol Brannon, 2009). Sebagai contoh, di Wales dan

Skotlandia minum teh positif terkait dengan kelas sosial-ekonomi rendah

dan dengan orang-orang yang memiliki gaya hidup kurang sehat seperti

tingginya prevalensi merokok dan asupan lemak makanan yang lebih


tinggi. Sebaliknya, peminum teh di Belanda cenderung lebih

berpendidikan, mengkonsumsi lebih sedikit makanan lemak, alkohol dan

kopi, merokok lebih sedikit, dan memiliki indeks massa tubuh lebih rendah

(McKay dan Blumberg, 2002 dalam Carol Brannon, 2009).

Boston Area Health Study, sebuah penelitian case-control,

melaporkan bahwa laki-laki dan perempuan yang meminum satu atau

lebih cangkir teh sehari memiliki risiko MI 44% lebih rendah daripada

orang-orang yang tidak minum teh sama sekali (Sesso, et al.,1999 dalam

Rosolva 2000 ). Sebuah studi kohort Jepang pada 8.552 orang dewasa

menemukan bahwa konsumsi harian lebih dari 10 cangkir teh hijau secara

signifikan mengurangi risiko kematian akibat kardiovaskuler pada laki-laki

dan bermanfaat pada perempuan (Nakachi, et al., 2000 dalam Carol

Brannon, 2009).

Sebuah meta-analisis, berdasarkan 10 kohort penelitian dan 7 studi

case-control, menemukan bahwa kebanyakan studi menunjukkan efek

perlindungan dari konsumsi teh terhadap CVD. Tampaknya ada

penurunan tingkat penyakit kardiovaskular (CVD) - kondisi yang terjadi

sebagai kemajuan kardiovaskuler seperti cardiac arrest, myocardial

infarction (heart attack), unstable angina, congestive heart failure (CHF),

dan strokes dengan meningkatnya konsumsi teh. Tujuh studi

menunjukkan bahwa minum tiga cangkir teh per hari mengurangi angka

kejadian MI 11 %. Peters dan rekan-rekannya, yang melakukan meta-

analisis ini, tidak dapat merangkum efek konsumsi teh pada penyakit
jantung koroner dan stroke disebabkan oleh berbagai faktor yang terkait

dengan kedua penyakit ini (Hodgson, et al., 2003; Vita, 2003; Peters, et

al., 2001 dalam Carol Brannon, 2009).

Ada beberapa mekanisme efek perlindungan teh terhadap CVD.

(Nagao, et al., 2007; Cabrera, et al., 2006; McKay dan Blumberg, 2002;

Duffy, et al., 2001; Duffy, et al., 2001 dalam Carol Brannon, 2009):

1. Pencegahan oksidasi LDL (in vitro dan studi hewan).

2. Memperbaiki fungsi arteri pada pasien penyakit jantung

koroner.

3. Meningkatkan jeda waktu setelah konsumsi teh sebelum

terjadi oksidasi LDL pada manusia.

4. Menurunkan Stenosis (penyempitan dan penyumbatan)

arteri pada orang dewasa.

5. Kemungkinan adanya hubungan terbalik antara konsumsi

teh dan kadar plasma total homocysteine.

In vitro studi telah menemukan bahwa oksidasi LDL dihambat oleh

ekstrak teh hijau dan teh hitam, namun efek ini tidak diamati pada orang

dewasa yang sehat atau pada perokok (McKay dan Blumberg, 2002;

Lotto dan Fraga, 2000; Cherubini, et al., l999; Princen, et al., l998; van

het Hof, et al., l997 dalam Carol Brannon, 2009). Dua penelitian yang

melibatkan pria sehat melaporkan peningkatan dalam jeda waktu setelah

mengkonsumsi hijau atau teh hitam terhadap oksidasi kolesterol LDL.

Meskipun studi ini menemukan penundaan dalam oksidasi LDL,


disarankan bahwa asupan sehari-hari dari 7 sampai 8 cangkir teh itu tidak

cukup untuk meningkatkan konsentrasi catechin yang cukup tinggi untuk

menghambat oksidasi LDL (McKay dan Blumberg, 2002; Hodgson, et al,

2000; Miura, et al, 2000 dalam Carol Brannon, 2009). Disarankan, tapi

tidak terbukti, bahwa konsentrasi plasma catechin yang lebih tinggi,

serupa dengan konsentrasi yang dicapai pada studi in vitro, dapat dicapai

dan dipertahankan oleh konsumsi teh secara berulang dari waktu ke

waktu, misalnya, satu cangkir teh setiap dua jam. Efek dari minum teh

dapat bervariasi karena perbedaan colonic microflora pada individu dan

perbedaan genetik pada enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme

polifenol (Hodgson, et al., 2003; McKay dan Blumberg, 2002 dalam Carol

Brannon, 2009).

Disfungsi endotel, khususnya endotelium yang menurunkan

kegiatan oksida nitrat, yang berkontribusi bagi pengembangan dan

perkembangan aterosklerosis. Fungsi endotel normal termasuk mengatur

nada vasomotor, aktivitas platelet, Leukocyte adhesi, proliferasi otot polos

vaskular melalui pelepasan oksida nitrat (NO) dan hormon lain (Duffy,

2001 dalam Carol Brannon, 2009). Disfungsi endotel dikaitkan dengan

peningkatan stres oksidatif dan gangguan aliran darah melalui arteri.

Antioksidan dapat memperbaiki disfungsi endotel. A randomized, placebo-

controlled, crossover studi dari 50 pasien penyakit jantung koroner

ditemukan bahwa jangka pendek (dua jam setelah asupan teh 450 ml)

dan jangka panjang (setelah asupan harian 900 ml selama empat minggu)
terbalik disfungsi vasomotor endotel. Fungsi vasomotor brachial artery

diperiksa dengan USG vaskular pada awal penelitian dan setelah setiap

intervensi. Plasma flavonoid meningkat setelah konsumsi teh jangka

pendek dan jangka panjang. Air digunakan sebagai plasebo dan itu tidak

berpengaruh pada fungsi endotelium ( Duffy, et al, 2001 dalam Carol

Brannon, 2009).

Peningkatan plasma total homocysteine dianggap sebagai faktor

risiko independen pada kejadian atherosclerosis dan CVD. Vitamin B6,

B12, dan folat telah ditemukan dapat menurunkan kadar plasma total

homocysteine (Hodgson, et al., 2003 dalam Carol Brannon, 2009). Dua

pengamatan studi menemukan hubungan terbalik yang kuat antara

asupan teh dan plasma total homocysteine level (de Bree, et al., 2001;

Nygard, et al., 1997 dalam Carol Brannon, 2009). Sebuah studi kohort

pada 1.960 orang dewasa yang dilakukan oleh (Jacques, et al, 2001

dalam Carol Brannon, 2009) juga melaporkan menemukan hubungan

terbalik antara konsumsi teh dan kadar plasma total homocysteine setelah

disesuaikan dengan asupan kopi. Studi ini tidak melaporkan hubungan

positif antara kafein dan kadar plasma total homocysteine. Namun, orang

lain telah melaporkan temuan yang bertentangan dengan studi yang

disebutkan sebelumnya. Dalam salah satu studi klinis kecil (20 orang)

asupan harian dari 4 gr teh hitam padat, setara dengan 1 L teh hitam yang

kuat, meningkatkan plasma homocysteine levels. Efek kafein pada tingkat

homocysteine tidak dievaluasi dalam studi ini (Olthoff, et al., 2001 dalam
Carol Brannon, 2009). Studi klinis kecil lainnya (22 orang) tidak

menemukan efek dari konsumsi teh hitam pada kadar homosistein plasma

(Hodgson, et al., 2003 dalam Carol Brannon, 2009).

Tekanan darah tinggi dapat mempercepat perkembangan

aterosklerosis. Walaupun penelitian yang melibatkan hipertensi hewan

dan satu penelitian peminum teh hitam di Norwegia telah melaporkan efek

menguntungkan dari polyphenols teh hijau pada tekanan darah tinggi,

efek ini belum pernah dilaporkan dalam studi baru-baru ini di Jepang,

Australia, dan United Kingdom (McKay dan Blumberg, 2002; Hara, 2001;

Hodgson, et al., l999; Wakabayashi, et al., l998; Bingham, et al., l997;

Stensvold, et al., l992 dalam Carol Brannon, 2009). Teh, termasuk teh

hitam, teh hijau, dan teh polifenol, telah ditemukan mampu menurunkan

kadar kolesterol tinggi pada binatang (tikus dan hamster) yang diberi diet

tinggi lemak dan kolesterol (Vinson dan Dabbagh, l998; Yang dan Koo,

l997; Matsumoto, et al., 1998; Yang dan Landau, 2000 dalam Carol

Brannon, 2009). Hanya empat dari 13 studi epidemiologi melaporkan

hubungan terbalik antara konsumsi teh dan kadar kolesterol darah (McKay

dan Blumberg, 2002; Tewari, et al., 2000; Langley-Evans, 2000; Serafini,

et. al., 1996; Vinson, et al., l995 dalam Carol Brannon, 2009). Satu uji

klinis yang melibatkan 240 orang dengan hiperkolesterolemia ringan

menemukan bahwa konsumsi dari theaflavin yang diperkaya suplemen

ekstrak teh hijau efektif dalam menurunkan total baseline kolesterol dan

kadar kolesterol LDL dan meningkatkan kolesterol HDL (Maron, et al.,


2003 dalam Carol Brannon, 2009). Dengan demikian, bukti ilmiah tidak

mendukung efek protektif teh terhadap CVD. Menarik untuk dicatat bahwa

studi yang dilakukan di Eropa dan Asia cenderung lebih positif

menunjukkan hubungan antara asupan teh dan kesehatan jantung dari

studi di US (Saranow, 2004). Namun, lebih banyak riset, terutama uji

klinis, dibutuhkan untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi mekanisme

yang bertanggung jawab atas perlindungan ini. Sebuah skala besar uji

klinis pada manusia belum dilakukan (Saranow, 2004 dalam Carol

Brannon, 2009).
Anggur Merah dan PJK

Perkiraan atau hipotesis bahwa mengkonsumsi anggur

merah (red wine) dapat mencegah penyakit jantung koroner

bermula dari French Paradox. Angka kematian akibat penyakit

jantung di Perancis lebih rendah daripada Amerika, padahal

masyarakat Perancis mengkonsumsi mentega dan makanan

berlemak lebih banyak dari Amerika. Rata-rata tekanan darah

dan kadar kolesterol masyarakat Perancis juga lebih tinggi

dari Amerika. Tampaknya ini berhubungan dengan kebiasaan

masyarakat Perancis yang mengonsumsi red wine setiap hari.

Adanya kandungan alkohol pada red wine memberi hipotesis

bahwa alkohol inilah yang berperan. Banyak penelitian

prospektif menunjukkan hubungan terbalik antara konsumsi

alkohol secara ringan-menengah(60 ml/hari) dengan PJK,

namun hal tersebut dapat bias karena juga dipengaruhi gaya

hidup dan diet yang berbeda. Sebagian penelitian

mengatakan, alkohol meningkatkan HDL, namun belum ada

uji klinis yang memastikan bahwa alkohol dapat meningkatkan

HDL. Penelitian menggunakan etanol murni menunjukkan

bahwa etanol dapat menghambat agregasi/pengumpulan

platelet yang berperan pada penyakit jantung koroner.

Namun, kemampuan tersebut lebih besar pada red wine

daripada etanol murni sehingga terdapat zat lain yang lebih


berperan untuk menghambat agregasi platelet. Bir, minuman

anggur putih (white wine), dan minuman beralkohol lainnya

lebih sedikit, bahkan gagal untuk menghambat agregasi

platelet. Perkiraan zat pada red wine yang bermanfaat adalah

flavonoid. Flavonoid merupakan zat seperti vitamin yang

terdapat alamiah pada tanaman, termasuk teh, buah, dan

sayur. Pada anggur, flavonoid terutama terdapat pada

kulitnya. Steine (Circulation, 1999, vol.100) dan banyak

peneliti lain mengungkapkan bahwa flavonoid bersifat anti-

oksidan sehingga dapat menghambat oksidasi LDL pada

dinding pembuluh koroner. Manfaat lain flavonoid adalah

menghambat platelet yang berperan pada aterosklerosis.

Menurut Folt dari Universitas Wisconsin, tampaknya terdapat

flavonoid tertentu pada red wine yang dapat menghambat

aktivitas platelet, seperti quercetin, rutin, kaempferol, apigenin,

dan amentoflavon. Buah lain, seperti jeruk, yang juga

mengandung flavonoid tidak dapat menghambat agregasi

platelet. Faktor-faktor lain yang berperan pada aterosklerosis

juga dipengaruhi oleh flavonoid pada anggur, seperti

menghambat pembelahan sel otot polos pembuluh darah,

memperbaiki fungsi endotel, dan menghambat ekspresi

Monocyte Chemotactic Protein-1 (MCP-1). Dengan demikian,

flavonoid pada red wine tampaknya memberi efek negatif


pada aterosklerosis melalui berbagai mekanisme. Flavonoid

juga ditemukan pada buah anggur ungu sehingga

mengkonsumsi jus/sari anggur ungu juga dapat memberi efek

perlindungan bagi jantung. Sepertiga kandungan flavonoid

terdapat pada biji anggur. Meskipun demikian, belum ada

pernyataan yang memastikan hubungan antara anggur dan

pencegahan PJK. Penelitian uji klinis berskala besar secara

acak masih perlu banyak dilakukan. Oleh karena itu, konsumsi

anggur untuk tujuan ini, terutama red wine, belum

direkomendasikan resmi, termasuk oleh AHA. Khusus untuk

red wine, orang yang belum mengonsumsi wine tidak

direkomendasikan meminumnya untuk tujuan pencegahan

PJK. Bagi yang telah biasa minum, tidak boleh melebihi 60

ml/hari (Andria, 2007)

Anda mungkin juga menyukai