Anda di halaman 1dari 20

JURNAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI I

PRAKTIKUM III PENYAKIT JANTUNG KORONER

NSTMI (NON-ST MYOCARD INFARCTION)

Hari, Tanggal Praktikum : Selasa, 23 April 2019


A2B - Kelompok 1
Oleh:

A.A Aditya Bhadrapada Pudja (171200160)

Baiq Dewi Anggraeni (171200161)

Dewa Ayu Mitarini (171200162)

Gede Aditya Maharta Yana (171200163)

Gusti Ayu Ade Tusyati (171200164)

I Gede Argham Mahardika (171200165)

I Kadek Aditya Putra (171200166)

I Komang Agus Mahardika (171200167)

I Made Pradnyana Putra (171200168)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI

2019
III. PENYAKIT JANTUNG KORONER

NSTMI (NON-ST MYOCARD INFARCTION)

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi penyakit NSTEMI
2. Mengetahui patofisiologi penyakit NSTMI
3. Mengetahui tatalaksana penyakit NSTMI (Farmakologi & non-Farmakologi)
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit NSTMI secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP
B. DASAR TEORI
1.1.Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang
utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi.
Banyak kemajuan yang telah dicapai melalui penelitian dan oleh karenanya diperlukan
pedoman tatalaksana sebagai rangkuman penelitian yang ada.
Definisi SKA merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan
keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan
oksigen (O2) miokardium dan aliran darah(Muttaqin, 2009).
Acute Coronary Syndrome merupakan suatu istilah atau terminology yang
digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang
meliputi angina pectoris tidak stabil, infark miokard gelombang non Q atau infark miokard
tanpa elevasi segmen ST (Non ST elevation miocard infarction/NSTEMI), infark miokard
dengan gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segment ST (ST elevation
miocard infarction/STEMI) (Rokhaeni, 2001).
ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) merupakan suatu kondisi yang
mengakibatkan kematian sel miosit jantung karena iskhemia yang berkepanjangan akibat
oklusi koroner akut (Black & Hawk, 2005). STEMI terjadi akibat stenosis total pembuluh
darah koroner sehingga menyebabkan nekrosis sel jantung yang bersifat irreversible
(Brown & Edwars, 2005).
STEMI merupakan sindroma klinis yang dididefinisikan dengan tanda gejala dan
karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST elevasi dan
pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac troponin merupakan biomarker
yang digunakan untuk diagnosis infark miokard. (AHA, 2013).
1.2.Patofisiologi
Iskemia miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada suplai
oksigen ke miokardium. Oklusi akut karena adanya trombus pada arteri koroner
menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke miokardium. Contoh lain, pada pasien
dengan plak intrakoroner yang bersifat stabil, peningkatan frekuensi denyut jantung dapat
menyebabkan terjadinya iskemi karena meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium,
tanpa diimbangi kemampuan untuk meningkatkan suplai oksigen ke miokardium
(Myrtha,2012)

Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan peristiwa


yang awal terjadi. Daerah subendokardial merupakan daerah pertama yang terkena, karena
berada paling jauh dari aliran darah. Jika iskemia makin parah, akan terjadi kerusakan sel
miokardium. Infark miokardium adalah nekrosis atau kematian sel miokardium. Infark
miokardium dapat terjadi nontransmural (terjadi pada sebagian lapisan) atau transmural
(terjadi pada semua lapisan). (Myrtha,2012). Faktor-faktor yang berperan dalam progresi
SKA dapat dilihat pada gambar 2.
(Myrtha,2012)
1.2.1. Pembentukan Plak Aterosklerosis
Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan proses
sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi
endotel dan proses infl amasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak
dimulai dengan adanya disfungsi endotel karena faktor-faktor tertentu. Pada
tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan
sel darah, seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh darah. (Myrtha,2012)
a. Inisiasi proses aterosklerosis: peran endotel
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika
intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus
selama hidup sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses
aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel,
migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke dalam tunika
intima, respons infl amatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis.
(Myrtha,2012)
Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses
aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan
merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan
kerusakan endotel. Faktor-faktor risiko ini dapat menyebabkan
kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel.
(Myrtha,2012)

Gambar 3. Fase awal disfungsi endotel


Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam terjadinya
proses aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses infl amasi,
migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan,
dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak. Endotel yang
mengalami disfungsi ditandai hal-hal sebagai berikut:
 Berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida dan produksi
endothelin-1 yang berlebihan, yang mengganggu fungsi
hemostasis vaskuler.
 Peningkatan ekspresi molekul adhesive (misalnya P-
selektin, molekul adhesive antarsel, dan molekul adhesif sel
pembuluh darah, seperti Vascular Cell Adhesion Molecules-
1 [VCAM-1])
 Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa
substansi aktif lokal.
(Myrtha,2012)
b. Perkembangan proses aterosklerosis: peran proses inflamasi
Jika endotel rusak, sel-sel infl amatorik, terutama monosit,
bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan
molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-
sel ini mengalami differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan
mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri,
berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks.
Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan
sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis
factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin
mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T,
dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks
ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh
darah bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu
mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi
plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah.8
Makrofag juga menghasilkan matriks metalloproteinase (MMPs),
enzim yang mencerna matriks ekstraseluler dan menyebabkan
terjadinya disrupsi plak (Gambar 4). (Myrtha,2012)

Gambar 4. Pembentukan fatty streaks


(Myrtha,2012)
c. Stabilitas plak dan kecenderungan mengalami rupture
Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel
otot polos dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas
plak dan kecenderungan untuk mengalami rupture(Myrtha,2012)
LDL yang termodifi kasi meningkatkan respons inflamasi oleh
makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik,
menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang
selanjutnya mengalami modifi kasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang
terstimulasi akan memproduksi matriks metalloproteinase yang
mendegradasi kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika
intima, yang membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis.
Jika kapsul fibrosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan
paparan aliran darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini
menyebabkan terbentuknya bekuan. Proses proinfl amatorik ini
menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses
antiinfl amatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan mendukung
stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan TGF-β bekerja mengurangi
proses infl amasi yang terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang
seperti pada proses penyembuhan luka. Keseimbangan ini bisa bergeser
ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah pertumbuhan plak, maka plak
semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan menjadi rentan
mengalami ruptur8 (Gambar 5).

Gambar 5 Pembentukan lesi aterosklerotik yang semakin kompleks


d. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA
Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan
seiring berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul
bila stenosis lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi
karena ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan
hanya menyumbat kurang dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak
yang ruptur dan ada plak yang tetap stabil belum diketahui secara pasti.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul
fibrosa yang tipis, dan infl amasi dalam plak merupakan predisposisi
untuk terjadinya ruptur. (Myrtha,2012)
Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks
subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini
menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi
trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam
proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga
melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma
merupakan jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan
bersamaan dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit.
Proses hemostasis primer maupun sekunder bisa dilihat pada gambar 6.
Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk:
 Trombus putih: merupakan bekuan yang kaya trombosit. Hanya
menyebabkan oklusi sebagian.
 Trombus merah: merupakan bekuan yang kaya fibrin. Terbentuk
karena aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada
arteri. Bekuan ini bersuperimposisi dengan trombus putih,
menyebabkan terjadinya oklusi total.
(Myrtha,2012)
1.3.Penatalaksanaan Penyakit NSTMI
Pasien dengan sangkaan SKA harus dievaluasi dengan cepat. Keputusan yang
dibuat berdasarkan evaluasi awal terhadap pasien memiliki konsekuensi klinis dan
ekonomis yang bermakna. Pasien NSTEMI atau diduga NSTEMI yang dalam keadaan
stabil sebaiknya dirawat inap dan menjalani tirah baring dengan monitoring ritme EKG
berkelanjutan dan diobservasi akan kemungkinan iskemik berulang. Pasien dengan resiko
tinggi, termasuk mereka dengan rasa tidak nyaman pada dada yang terus menerus dan atau
hemodinamik tidak stabil sebaiknya dirawat di unit Coroner (coronary care unit) dan
diobservasi setidaknya 24-48 jam(Daga LC,2011)
Terdapat empat komponen utama terapi pada NSTEMI yaitu terapi antiiskemia,
antiplatelet/antikoagulan, terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi), dan perawatan
sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS. Terapi fibrinolitik (thrombolitik)
menggunakan streptokinase, urokinase, tenekteplase atau preparat lainnya sebaiknya tidak
digunakan pada pasien dengan NSTEMI(Daga LC,2011)
1.3.1.Terapi Suportif
Pemberian oksigen dilakukan bila saturasi oksigen <90%, distres
pernafasan, atau memiliki resiko tinggi untuk terjadi hipoksemia(Paxinos,2012).
Untuk mengatasi nyeri dapat diberikan nitrogliserin sublingual atau buccal
spray (0.4mg). Nitrogliserin dapat diberikan setiap 5 menit dengan total 3 dosis
pemberian. Jika nyeri masih menetap atau pasien dengan hipertensi ataupun
gagal jantung , nitrogliserin intra vena dapat diberikan (dosis inisial 5-10
ug/menit dengan peningkatan 10 ug/menit sampai tekanan darah sistolik turun
dibawah 100 mmHg). Pemberian nitrogliserin dikontraindikasikan pada pasien
yang mengkonsumsi sildenafil dalam 24 jam sebelum masuk rumah sakit atau
48 jam untuk tadalafil(Paxinos,2012).
Morfin dapat digunakan untuk mengatasi nyeri, walaupun terdapat
beberapa observasi yang mengindikasikan adanya peningkatan mortalitas pada
SKA dengan penggunaan nya. Sedangkan NSAID disarankan untuk dihentikan
pengunaannya pada pasien NSTEMI, karena dijumpai peningkatan resiko
mortalitas, reinfark, hipertensi, gagal jantung dan ruptur miokard sehubungan
dengan penggunaannya(Paxinos,2012).
Tabel 1. Terapi suportif pada NSTEMI

1.3.2.Terapi anti iskhemik


A. Penghambat Reseptor Beta
Penghambat beta harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien-
pasien yang tidak memiliki tanda gagal jantung ataupun low-output state,
peningkatan resiko syok kardiogenik atau kontraindikasi relatif lain terhadap
penghambatan reseptor beta (interval PR >0,24 detik, blok jantung derajat 2
atau 3, asma aktif, penyakit saluran nafas reaktif)(Paxinos,2012).
Penghambat reseptor beta mengurangi insidensi iskemik berulang dan
serangan infark miokard berikutnya. Preparat oral ini sebaiknya dilanjutkan
sampai waktu yang tak terbatas, terutama pada pasien-pasien dengan fungsi
ventrikel kiri yang berkurang. Penghambat reseptor beta intravena dapat
diberikan apabila tidak dijumpai kontraindikasi. Pada pasien-pasien yang
dikontraindikasikan menggunakan preparat penghambat beta dapat
menggunakan non-dihydropyridine calcium channel blocker (mis, verapamil
atau diltiazem) sebagai terapi inisial dengan memperhatikan bahwa pasien
tersebut tidak mengalami disfungsi ventrikel kiri yang signifikan atau
kontraindikasi lainnya(Paxinos,2012). Beberapa penyekat beta yang sering
dipakai dalam praktek klinik dapat dilihat pada tabel 2.

(perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia, 2015)


B. Nitrat
Keuntungan terapeutik dari penggunaan nitrat berhubungan dengan
efek venodilator yang menyebabkan penurunan preload miokard dan volume
end diastolik ventrikel kiri yang akhirnya menyebabkan penurunan
konsumsi oksigen miokard. Selain itu nitrat akan menyebabkan dilatasi arteri
koroner normal maupun arteri koroner yang mengalami aterosklerotik dan
meningkatkan aliran kolateral coroner(Hamm et al, 2011)
Pada pasien dengan NSTEMI yang memerlukan perawatan rumah
sakit, penggunaan nitrat intravena lebih efektif dibandingkan nitrat
sublingual untuk mengurangi gejala dan depresi segmen ST. Dosis harus di
up titrasi sampai gejala (angina atau dyspnoe) berkurang atau munculnya
efek samping (sakit kepala atau hipotensi) (Hamm et al, 2011)
Table 3. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA
(perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia, 2015)
C. Calcium Channel Blocker
Calcium channel blockers merupakan obat vasodilator dan beberapa
diantaranya memiliki efek langsung terhadap konduksi atrioventrikular dan
denyut jantung. Terdapat tiga sub kelas dari calcium blocker yaitu
dihydropyridines (nifedipine), benzothiazepines (diltiazem), dan
phenylethylamines (verapamil). Ketiga sub kelas ini memiliki derajat yang
bervariasi dalam hal vasodilatasi, penurunan kontraktilitas miokard dan
penghambatan konduksi atrioventrikular. Nifedipin dan amlodipin memiliki
efek vasodilatasi perifer yang paling besar, sementara diltiazem memiliki
efek vasodilator yang paling kecil(Hamm et al, 2011). Studi menggunakan
CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang
seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.
1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi
pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B).
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI
dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B).
3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B).
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik (Kelas
I-C).
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak
direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta.
(Kelas III-B).

Table 4. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA
(perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia, 2015)
1.3.3.Terapi Antiplatelet
A. Aspirin
Aspirin sebaiknya diberikan kepada semua pasien kecuali ada
kontraindikasi, dosis inisial aspirin non enterik 150-300 mg dikunyah.
Selanjutnya 75-100 mg per hari dalam jangka panjang dikatakan memiliki
efikasi yang sama dengan dosis besar dan memiliki resiko intoleran saluran
cerna yang lebih kecil(Hamm et al, 2011)

B. P2Y12 Reseptor Inhibitor


Clopidogrel direkomendasikan pada seluruh pasien dengan dosis
inisial 300 mg selanjutnya diikuti 75 mg per hari. Pada pasien yang
dipertimbangkan untuk menjalani PCI, loading dose 600 mg disarankan
untuk mencapai penghambatan fungsi trombosit yang lebih cepat.
Clopidogrel harus dipertahankan setidaknya selama 12 bulan kecuali
terdapat resiko perdarahan(Daga LC,2011).
Penelitian Triton TIMI-38 menunjukkan bahwa pada pasien-pasien
dengan SKA yang menjalani PCI, ternyata prasugrel secara signifikan
menurunkan insidensi kejadian iskemik baik dalam jangka panjang maupun
pendek. Namun berhubungan dengan peningkatan resiko perdarahan,
terutama pada pasien berusia > 75 tahun, berat badan < 60 kg dan pasien-
pasien dengan riwayat TIA, stroke atau perdarahan intrakranial(Daga
LC,2011).
Obat golongan P2Y12 Reseptor Inhibitor baru yang cukup menjanjikan
sebagai obat anti platelet adalah Ticagrelor. Seperti prasugrel, Ticagrelor
memiliki onset of action yang lebih cepat dan konsisten dibandingkan
clopidogrel, namun juga memiliki offset of action yang lebih cepat sehingga
pemulihan fungsi platelet menjadi lebih cepat(Hamm et al, 2011).
C. Glycoprotein IIb/IIIa Receptor Inhibitors
Tiga obat yang termasuk golongan GP IIb/IIIa receptor inhibitors yang
disetujui untuk penggunaan klinis adalah abciximab yang merupakan suatu
fragmen monoklonal antibody; eptifibatide sebuah peptide siklik; dan
tirofiban yang merupakan molekul peptidomimetik.3 Studi terbaru mengenai
SKA tidak menemukan keuntungan dalam penggunaan GP IIb/IIIa dalam
SKA(Daga LC,2011).
1.3.4.Terapi Antikoagulan
Antikoagulan digunakan pada terapi NSTEMI untuk menghambat
pembentukan dan atau aktivitas thrombin sehingga dapat mengurangi kejadian-
kejadian yang berhubungan dengan pembentukan thrombus. Antikoagulan
direkomendasikan untuk semua pasien sebagai tambahan terapi anti
platelet(Hamm et al, 2011).
Terdapat beragam jenis antikoagulan yang tersedia, dan pemilihannya
didasarkan pada resiko iskemik, kejadian perdarahan dan pilihan strategi
manajemen inisial ( urgent invasif, early invasif atau konservatif). (Hamm et al,
2011). Jenis antikoagulan antara lain:
- Indirect inhibitors koagulasi (butuh anti trombin untuk aksi penuhnya) :
 Indirect thrombin inhibitors : unfractionated heparin (UFH), low
molecular weight heparin (LMWHs)
 Indirect factor Xa inhibitors : LMWHs, fondaparinux
- Direct inhibitors koagulasi
 Direct factor Xa inhibitors : apixaban, rivaroxaban, otamixaban
 Direct thrombin inhibitors (DTIs): bivalirudin, dabigatran
(Hamm et al, 2011)
A. Low Molecular Weight Heparin
Pada pasien-pasien NSTEMI yang telah mendapat enoxaparin dan akan
menjalani PCI, tidak dibutuhkan dosis enoxaparin tambahan jika suntikan
sub kutan sebelumnya < 8 jam sebelum PCI. Namun bila suntikan sub kutan
enoxaparin terakhir > 8 jam sebelum PCI, diperlukan dosis tambahan 0,3
mg/kgBB IV bolus. Tidak disarankan mengganti antikoagulan dengan jenis
yang lain(Hamm et al, 2011)
B. Direct Thrombin Inhibitor
Bivalirudin saat ini direkomendasikan sebagai antikoagulan alternatif
untuk urgent dan elektif PCI pada pasien-pasien NSTEMI resiko sedang
atau tinggi. Bivalirudin menurunkan resiko perdarahan dibandingkan
dengan UFH/LMWH plus GP IIb/IIIa inhibitor, namun membutuhkan
tambahan bolus heparin selama PCI untuk mencegah stent thrombosis(Daga
LC,2011).
1.4.Faktor Resiko
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya
rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat
beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain
aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit dalam lainnya.
Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA
pada individu.
 Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang
progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi
mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada
usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia antara 40
dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima kali lipat
(Kumar, et al., 2007).
 Merokok
Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok
mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan
atherosclerosis pada wanita (Kumar, et al., 2007). Efek rokok adalah
menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh
katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO atau
dengan perkataan lain dapat menyebabkan takikardi, vasokonstrisi
pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merubah 5-10 % Hb menjadi carboksi -Hb. Disamping itu dapat
menurunkan HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas. Makin
banyak jumlah rokok yang dihisap, kadar HDL kolesterol makin
menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL
kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki-laki perokok. Merokok juga
dapat meningkatkan tipe IV abnormal pada diabetes disertai obesitas
dan hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung lebih mudah
terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok. (Kumar, et
al., 2007).
 Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah
systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat
meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60%
dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan, sekitar
50% pasien hipertensi dapat meninggal karena gagal jantung kongestif,
dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke (Kumar, et al.,
2007). Mekanisme hipertensi berakibat IHD:
1. Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk
jantung, sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau
pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung
dari berat dan lamanya hipertensi
2. Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma
langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria,
sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner (faktor
koroner) Hal ini menyebabkan angina pektoris, Insufisiensi koroner
dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita
hipertensi dibanding orang normal.
(Kumar, et al., 2007).
Tabel 1. Rekomendasi Penatalaksanaan Jangka Panjang Pasien STEMI

(Presley,2011)
Tabel 2. Intervensi Perubahan Gaya Hidup Pasien STEMI Setelah Keluar Rumah Sakit

(Presley,2011)
C. Alat dan Bahan
Alat:
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minimum obat
4. Kalkulator scientific
5. Laptop dan koneksi internet
Bahan
1. Text Book(Dipiro, Koda kimble, DIH, ESC, JNC)
2. Data nilai normal laboratorium
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta analysis).
DAFTAR PUSTAKA

ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction : A Report of


the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines. 2013.
Presley, Bobby. 2011. “Penatalaksanaan Jangka Panjang Sindroma Koroner Akut dengan Elevasi
Segmen ST” Buletin Rasional(3): 11
Daga LC, Kaul U, Mansoor A. Approach to STEMI and NSTEMI. J Assoc Physicians India. 2011
Dec;59 Suppl:19-25
Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC Guidelines for the
management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-
segment elevation The Task Force for the management of acute coronary syndromes (ACS)
in patients presenting without persistent ST-segment elevation of the European Society of
Cardiology (ESC). European Heart Journal (2011) 32, 2999–3054
Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2007. Robbin’s Basic Pathology. Elsevier Inc.
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler dan
Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Myrtha, Risalina. 2012. “PatofiSiologi Sindrom Koroner Akut.” Tinjauan Pustaka RS Anak
Astrini Wonogori Jawa Tengah 39(4): 261–64.
Paxinos G, Katritsis DG. Current Therapy of Non-ST-Elevation Acute Coronary Syndromes.
Hellenic J Cardiol 2012; 53: 63-71
Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman tatalaksana Hipertensi
pada penyakit kardiovaskular Edisi pertama. Jakarta: Indonesian Heart Association
Rokhaeni, Heni dkk. 2001. Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler. Edisi I. Jakarta: Bidang
Pelatihan dan Pelatihan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.

Anda mungkin juga menyukai