PATOFISIOLOGI
Disusun oleh :
KELOMPOK II
DEPARTEMEN FARMASI
1
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur saya panjatkan ke Hadirat Allah Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun tugas pembuatan makalah
dari mata kuliah patofisiologi ini mudah-mudahan baik dan benar, serta tepat pada waktunya.
Dalam tugas membuat makalah ini kami akan membahas mengenai ” GANGGUAN
SISTEM KARDIOVASKULER ( INFARK MIOKARD DAN GAGAL JANTUNG) “.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai beberapa bantuan dari teman-teman untuk
membantu menyelesaikan dan mengerjakannya . Oleh karena itu, kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah
ini. Oleh karena itu kami mengundang teman-teman untuk memberikan saran serta kritik
yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari teman-teman sangat kami harapkan
untuk penyempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
3.8 Kelebihan beban volume ………………………………………………………….……..20
4
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom koroner akut atau infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis
rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada SKA adalah
30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit.
Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 di
antara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun
pertama setelah infark miokard akut. kontinyu oleh arteri koroner selama aktivitas
normal, kebutuhan oksigen miokard naik akan menaikkan aliran arteri koroner. Suplai
oksigen miokard bergantung pada oksigen content darah dan coronary blood flow.
Oksigen content bergantung pada oksigenasi sistemik dan kadar hemoglobin, sehingga
bila tidak anemia atau penyakit paru aliran oksigen koroner cenderung konstan. Bila
ada kelainan maka aliran koroner secara dinamis menyesuaikan suplai oksigen
dengan kebutuhan oksigen sel. berbanding lurus dengan tekanan perfusi (P) dan
berbanding terbalik dengan tekanan arteri koroner (R) sehingga dihasilkan rumus:
Q = P/R.
Namun tidak seperti sistem arteri lain, dimana aliran muncul saat sistol, perfusi
koroner predominan mengalir saat diastol. Hal ini karena saat sistolik cabang koroner
tertutup oleh katup aorta dan aliran koroner tertutup oleh kontraksi otot. Aliran koroner
terbuka saat diastol saat koroner terbuka dan otot jantung relaksasi. Tekanan perfusi
digambarkan oleh tekanan diastolik sedangkan resistensi arteri korner ditentukan
oleh tekanan external arteri (miokard) atau faktor intrinsik arteri (sumbatan dan lain -lain).
5
BAB II
Definisi infark miokard adalah kematian sel miokard yang disebabkan oleh kondisi
iskemia bermakna yang berkepanjangan (Thygesen dkk., 2012b). Infark miokard akut dapat
merupakan akibat dari obstruksi aliran darah koroner karena pecahnya plak pembuluh darah
arteri koroner, atau akibat hal lain yang lebih jarang misalnya akibat spasme pembuluh darah
(Jansson, 2010, Mendis dkk., 2011). Plak merupakan konsekuensi dari proses
atherosklerosis. Plak yang tidak stabil ditandai dengan adanya inflamasi aktif pada dinding
vaskular berupa erosi, fisura ataupun ruptur plak.
Istilah IMA dapat digunakan bila terdapat bukti terjadinya nekrosis miokard pada
kondisi klinis yang sesuai. Definisi universal infark miokard akut harus memenuhi beberapa
kriteria, diantaranya :
1. Deteksi peningkatan dan/ atau penurunan biomarker jantung (terutama troponin jantung)
setidaknya satu nilai diatas persentil 99 nilai batas atas dengan disertai paling tidak satu
diantara kriteria berikut:
Gejala iskemia
Perubahan segmen ST dan gelombang T yang signifikan dan baru atau dianggap baru
atau left bundle branch block (LBBB) baru.
Adanya gelombang Q patologis pada rekaman EKG.
Pemeriksaan penunjang menunjukkan hilangnya miokard yang
viable atau adanya gangguan gerakan otot jantung yang baru.
Identifikasi trombus intrakoroner melalui angiografi koroner.
2. Henti jantung yang dicurigai karena iskemi jantung disertai perubahan EKG
(elektrokardiografi) dengan iskemi atau LBBB yang diperkirakan baru, tetapi pasien sudah
meninggal sebelum biomarker terambil atau sebelum biomarker meningkat.
3. Infark miokard terkait intervensi koroner perkutan didiagnosa jika ada peningkatan
troponin jantung (> 5 x 99 persentil nilai batas atas) pada pasien dengan dasar troponin
6
normal, atau peningkatan troponin > 20% jika dengan dasar troponin yang sudah meningkat,
disertai dengan salah satu:
4. Infark miokard akut akibat thrombosis intra-stent jika terdiagnosa melalui angiografi
koroner atau otopsi dengan peningkatan
dan/ atau penurunan biomarker jantung sedikitnya satu level diatas 99 persentil nilai batas
atas.
5. Infark miokard yang berhubungan dengan coronary artery bypass grafting (CABG)
ditandai dengan peningkatan biomarker jantung (> 10 x 99 persentil nilai batas atas) jika
sebelumnya dengan baseline troponin yang normal (≤ 99 persentile batas atas), disertai
dengan salah satu:
Infark miokard akut dapat terjadi apabila daerah yang mengalami iskemia miokard
menyebabkan terbentuknya suatu area nekrosis. Hampir seluruh kasus IMA disebabkan oleh
proses atherosklerosis yang berhubungan dengan thrombosis pada arteri koroner.
Atherosklerosis merupakan proses terbentuknya plak yang melibatkan tunika intima pada
arteri yang berukuran sedang sampai besar (Kumar dan Cannon, 2009). Plak atherosklerosis
terdiri dari inti lemak (lipid core), fibrous cap, dan infiltrasi sel-sel inflamasi (makrofag dan
sel limfosit T) (Michowitz dkk., 2005). Proses ini berlanjut seiring dengan bertambahnya usia
sampai seseorang mengalami suatu serangan iskemik. Disfungsi endotel akan menyebabkan
7
berkurangnya biovailabilitas endotel terhadap nitic oxide dan meningkatnya produksi
endotelin-1 sehingga hemostasis vaskuler terganggu dan terjadi peningkatan ekspresi molekul
adhesi dan thrombogenesitas (Kumar dan Cannon, 2009).
Jika endotel mengalami kerusakan maka sel-sel inflamasi terutama monosit akan
bermigrasi ke subendotel dan kemudian mengalami diferensisasi menjadi makrofag.
Makrofag akan memakan low density lipoprotein (LDL) yang teroksidasi menjadi sel foam
dan akhirnya terbentuk fatty streak, serta akan teraktivasi untuk melepaskan sitokin dan
chemoattractans (misalnya monocyte chemoattractant protein 1, Tumor Necrosis Factor-α
(TNF-α), dan interleukin (IL)) yang menarik lebih banyak makrofag dan sel otot polos.
Makrofag juga akan merangsang terbentuknya matriks metalloproteinase yaitu enzim yang
akan memakan matriks ekstrasel sehingga menyebabkan disrupsi plak. Rasio antara makrofag
dan sel otot polos pembuluh darah memegang peranan penting dalam (Kumar dan Cannon,
2009).
Pada kondisi ruptur plak atherosklerosis, terjadi proses aktivasi dan agregasi platelet,
pengeluaran thrombin, dan pada akhirnya menyebabkan pembentukan thrombus. Adanya
thrombus akan menyebabkan terganggunya aliran darah koroner sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Kondisi ketidakseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen yang berat dan persisten akan menyebabkan terjadinya nekrosis
miokardial. Bila terbentuk thrombus yang bersifat oklusif akan terjadi STEMI, sedangkan
bila thrombus yang terbentuk tidak bersifat oklusif akan terjadi NSTEMI atau APTS (Antman
dan Braunwald, 2007, Topol dan Werf, 2007, Aaronson dkk., 2012).
8
Thygesen dkk., 2012a). Penting untuk diketahui bahwa data studi Registry Observatoire sur
la Prise en charge hospitaliere, l’Evolution a un an et les caRacteristiques de patients
pre´sentant un infArctus du myocarde avec ou sans onde Q (OPERA) pada tahun 2006
menemukan bahwa meskipun berbeda secara penanganan, namun hasil luaran di rumah sakit
dan luaran klinis pada pasien NSTEMI dan STEMI adalah sama.
Diagnosis IMA harus ditegakkan dengan cepat dan akurat, bertujuan untuk dapat
memberikan penatalaksanaan yang optimal. Evaluasi penegakkan diagnosis meliputi
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah, pemeriksaan EKG, dan pemeriksaan penanda
biokimiawi enzim jantung (Panjrath dkk., 2008). Anamnesis pasien IMA didapatkan nyeri
dada tipikal angina berupa nyeri dada retrosternal seperti rasa berat, ditindih benda berat,
terbakar atau panas menjalar ke leher dan lengan kiri, leher rasa tercekik atau rasa ngilu
rahang bawah yang timbul saat saat istirahat. Nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit dan
tidak berkurang walau dengan istirahat atau pemberian obat nitrat. Terdapat pula terminologi
angina ekuivalen, yaitu nyeri epigastrium dan nyeri dada yang tidak khas, atau sesak napas
yang terjadi pada orang tua atau pada penderita diabetes melitus. Gejala sistemik penyerta
yang muncul dapat berupa mual, muntah dan keringat dingin (Burke dan Virmani, 2007,
Christofferson, 2009, Rhee dkk., 2011).
Pemeriksaan EKG memegang peranan penting dalam diagnosis IMA, dan harus
dilakukan dalam 10 menit setelah pasien tiba di ruang gawat darurat. Pada STEMI didapatkan
adanya elevasi segmen ST. Pada jam awal masih berupa gelombang T hiperakut (gelombang
T tinggi), kemudian berubah menjadi ST elevasi, terbentuknya T inversi, segmen ST yang
kembali ke garis isoelektris, dan terbentunya gelombang Q patologis. Adanya LBBB baru
juga merupakan tanda perubahan EKG yang menunjukkan STEMI. Jika EKG awal
meunjukkan hasil normal atau inkonklusif, maka perlu dilakukan serial EKG, dan
dibandingkan hasilnya. Pada NSTEMI, dapat ditemukan adanya depresi segmen ST atau
inversi gelombang T (Anderson dkk., 2011, Hamm dkk., 2011).
Penanda kimiawi yang dipakai untuk menunjukkan adanya kerusakan miokard ialah
Troponin I dan T. Troponin merupakan penanda biokimiawi yang sangat sensitif dan spesifik
untuk terjadinya nekrosis miokard. Troponin dapat meningkat dalam 3-6 jam setelah onset
keluhan, namun rata-rata meningkat dalam 6-12 jam. Waktu terjadinya peningkatan CK-MB
juga sama. Troponin tetap didapatkan dalam darah 5-14 hari. Sedangkan CK-MB telah hilang
9
dari peredaran darah dalam waktu 48 jam. Waktu pelepasan penanda biokimiawi enzim
jantung setelah suatu kondisi IMA dijelaskan pada gambar 2.1 dibawah (Anderson dkk.,
2011).
Stratifikasi risiko secara dini telah direkomendasikan oleh panduan yang dikeluarkan
oleh ACC/AHA dan ESC. Stratifikasi risiko yang akurat sangat penting untuk evaluasi pasien
dengan SKA untuk pengambilan keputusan yang sesuai mengenai pemilihan tempat dan
tingkat perawatan, kebutuhan akan intervensi terapeutik, serta lama rawat. Stratifikasi risiko
dapat menggunakan berbagai skor risiko klinis, seperti misalnya skor GRACE dan TIMI
yang memiliki nilai prediktif yang tinggi terhadap mortalitas saat perawatan di rumah sakit
serta dalam waktu 1 dan 6 bulan pasca serangan. Pasien yang memiliki faktor risiko multipel
untuk menderita IMA, usia tua, angina pada saat istirahat, terdapat riwayat tindakan
revaskularisasi sebelumnya, terdapat perubahan segmen ST-T yang dinamis, serta
peningkatan biomarker jantung yang mengindikasikan adanya nekrosis miokardial termasuk
dalam kelompok pasien berisiko tinggi (Bedetti dkk., 2010, Daga dkk., 2011).
Komplikasi iskemik yang terpenting adalah terjadinya nyeri dada angina pasca IMA
yang menggambarkan terjadinya proses iskemik yang berkelanjutan sebagai akibat infark
yang meluas atau infark berulang. Komplikasi mekanik terpenting akibat IMA adalah
penurunan kontraktilitas ventrikel kiri atau ventrikel kanan sampai terjadinya syok
kardiogenik. Terjadinya syok kardiogenik pada pasien IMA merupakan prediktor utama
kematian pasien IMA di rumah sakit. Gangguan irama jantung sebagai komplikasi IMA yang
berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas antara lain adalah takiaritmia ventrikuler, blok
atrioventrikuler derajat tinggi (Nonogi, 2002, Abu-Assi dkk., 2010, Ajit S Mullasari dkk.,
2011).
10
Komplikasi tersebut diatas termasuk ke dalam kejadian kardiovaskuler mayor, yaitu
komplikasi IMA yang berhubungan dengan survival pasien (Yasmin, 2014). Angka
mortalitas dalam 30 hari pada pasien IMA dengan syok kardiogenik pada penelitian GUSTO
I adalah 58%. Tingginya angka komplikasi akibat IMA menyebabkan dibutuhkannya
penegakkan diagnosis segera dan penatalaksanaan yang agresif untuk mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas (A. S. Mullasari dkk., 2011).
11
diikuti kemudian dengan stabilisasi dari agregat platelet tersebut. Proses berikutnya adalah
terjadinya inisiasi pembentukan trombus pada daerah yang mengalami ruptur plak tersebut.
Terjadinya interaksi antara platelet dengan komponen matriks ekstraseluler yang terpapar
oleh darah, termasuk di dalamnya adalah kolagen fibril dan/atau protein adesi non-kolagen
seperti von Willebrand factor (VWF), fibronectin dan laminin akan menciptakan ikatan adesi
lanjutan yang kuat, ireversibel, dan stabil antara platelet dengan matriks ekstraseluler tersebut
(Badimon dkk., 2012).
Ikatan yang kuat antara platelet dan kolagen menciptakan stimulus untuk aktivasi
platelet, perubahan ukuran, dan juga sekresi (eksositosis) dari konstituen granula-granula
yang tersimpan dalam platelet yaitu lysosomes, α-granules, dan dense bodies. Melalui
rangkaian proses biomolekuler dengan pelepasan berbagai macam substansi pro-trombotik,
maka sekresi granula platelet tersebut akan mendorong perekrutan dan aktivasi platelet
tambahan ke tempat terjadinya lesi endotel, meningkatkan proses trombosis yang terjadi
sebelumnya (Becker, 2008, Badimon dkk., 2012).
Respon platelet yang penting setelah terjadinya aktivasi platelet adalah perubahan
penyesuaian diri glikoprotein reseptor membran platelet GPIIb/IIIa. Perubahan tersebut
mendorong interaksi antara fibrinogen, suatu substasi ligand pada platelet dengan GP IIb/IIIa
sehingga terbentuklah ikatan silang multipel antar platelet yang kuat (Becker, 2008).
Telah diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara fungsi dan ukuran platelet.
Hal tersebut dikarenakan platelet yang berukuran besar, yang diproduksi dari megakariosit
yang teraktivasi pada sumsum tulang, mempunyai sifat lebih reaktif dibandingkan dengan
platelet normal. Platelet dengan ukuran yang besar mengandung dense granules lebih banyak
dan memproduksi thromboxane A2 yang lebih banyak. Pada percobaan in vitro, peningkatan
MPV telah dikaitkan dengan agregasi platelet yang lebih besar sebagai respon terhadap
12
adenosine diposphate (ADP) dan kolagen. Konsekuensinya adalah platelet yang berukuran
lebih besar dan hiperaktif memainkan peran yang penting dalam percepatan pembentukan
dan propagasi trombus intrakoroner, mendorong terjadinya kejadian trombotik akut
(Dastjerdi dkk., 2006, Lippi dkk., 2009, Badimon dkk., 2012).
Penting untuk diketahui bahwa ukuran platelet juga telah diketahui dapat
direfeleksikan oleh pengukuran volume platelet. Sehingga ukuran platelet dapat diidentifikasi
dengan menggunakan indeks volume platelet (platelet volume indices) pada pemeriksaan
hematologi (Khandekar dkk., 2006). Indeks volume platelet, termasuk di dalamnya adalah
plateletcrit (PCT), platelet distribution width (PDW), dan mean platelet volume (MPV) telah
tersedia pada pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan blood cell counters otomatis
sejak beberapa tahun terakhir (Giovanetti dkk., 2011). Berbagai studi telah berusaha untuk
mencari parameter indeks platelet yang terbaik yang dapat menggambarkan peningkatan
aktivasi platelet. Dari seluruh parameter indeks platelet, MPV dapat memberikan refleksi
perubahan baik pada tingkat stimulasi platelet ataupun kecepatan produksi platelet
(Khandekar dkk., 2006).
13
platelet berhubungan dengan peningkatan konsentrasi DNA pada megakariosit (Martin dkk.,
1983, Senaran dkk., 2001). Kunicki dkk. pada tahun 2012 menemukan bahwa bahwa ekspresi
α2integrin chain berhubungan dengan MPV pada pasien sindrom koroner akut (Kunicki
dkk., 2012). Peran genom pengatur volume platelet pada megakariosit ditemukan oleh Habart
dkk. pada tahun 2011 pada suatu meta analisis pada >66.000 individu, dimana ditemukan 66
buah lokus genom yang berkaitan dengan ukuran platelet (Habart dkk., 2013). Selain peran
genetik, penentuan volume platelet telah diketahui berhubungan dengan faktor humoral
melalui berbagai macam sitokin yang diproduksi sebagai respon terhadap konsumsi dan
destruksi platelet. Sitokin yang paling banyak diketahui adalah trombopoietin dan
interleukin-6 yang berperan dalam mengatur ploidi dari megakariosit dan jumlah platelet
(Battinelli dkk., 2001, Chu dkk., 2010).
Volume dari platelet tidak berhubungan dengan umur dari platelet. Platelet dengan
ukuran besar tidak harus merupakan platelet berusia muda. Heterogenitas ukuran platelet
adalah hasil dari proses dari produksi platelet, bukan merupakan hasil dari suatu proses
maturasi pada sirkulasi (Martin dkk., 1983, Thompson dkk., 1983, Chu dkk., 2010).
Platelet dengan ukuran besar secara metabolik dan enzimatik lebih aktif
dibandingkan platelet dengan ukuran kecil. Platelet besar mengandung material pro-
trombotik yang lebih banyak, dengan peningkatan jumlah thromboxane A2 dan B2 per unit
volume, dan ekspresi reseptor glikoprotein IIb/IIIa yang lebih banyak (Kamath dkk., 2001).
Platelet besar menunjukkan agregabilitas yang lebih tinggi sebagai respon terhadap ADP dan
penurunan inhibisi agregasi oleh prostasiklin. Platelet berukuran besar juga lebih padat dan
mengandung a-granules yang lebih banyak, dengan kemampuan yang tinggi untuk
melepaskan substansi protrombotik, termasuk platelet factor 4, P-selectin, dan platelet-
derived growth factor, faktor kimiawi dan mitogenik yang berkontribusi terhadap proliferasi
14
neointima pembuluh darah (Chu dkk., 2010). mengilustrasikan mekanisme platelet berukuran
besar berkontribusi terhadap penyakit kardiovaskuler. Mekanisme platelet berukuran besar
dalam proses trombosis (Chu dkk., 2010) Hubungan antara MPV dan jumlah platelet belum
sepenuhnya dapat dijelaskan secara tepat. Sebagian besar studi telah melaporkan bahwa
peningkatan volume platelet berhubungan dengan penurunan jumlah platelet hingga
mencapai puncaknya pada kondisi trombositopenia, dimungkinkan karena sebagai hasil
platelet berukuran kecil dikonsumsi dengan tujuan menjaga massa platelet yang fungsional
secara konstan. Sebaliknya pada keadaan trombositosis, lebih banyak platelet dengan ukuran
kecil yang dilepaskan pada sirkulasi (Huczek dkk., 2005). Beberapa penelitian menemukan
bahwa jumlah platelet dan volume platelet bersama-sama meningkat saat stimulasi
trombopoiesis. Harus diketahui bahwa berbagai studi menemukan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara peningkatan jumlah platelet dan kejadian IMA, restenosis,
atau mortalitas jangka panjang.
Berbagai studi lainnya menunjukkan hubungan yang signifikan antara MPV dan IMA
dan kejadian kardiovaskuler, bahkan setelah penyesuaian dengan jumlah platelet sehingga
hubungan antara MPV dengan kejadian kardiovaskuler tersebut diduga kuat adalah melalui
mekanisme tersendiri (Huczek dkk., 2005, KiliçliÇamur dkk., 2005, Yilmaz dkk., 2008, Chu
dkk., 2010). Hubungan terbalik antara MPV dengan jumlah platelet tersebut mendorong
interpretasi MPV dan jumlah platelet sebagai sebuah rasio, bukan sebagai variabel
independen (Azab dkk., 2011).
15
Peran MPV pada terapi pasien IMA belum banyak diketahui. Sampai saat ini tidak
ada studi yang menunjukkan MPV yang rendah dapat menurunkan risiko kardiovaskuler.
Sebuah studi terkini dengan situasi klinis STEMI menunjukkan bahwa MPV memiliki peran
untuk digunakan sebagai panduan terapi, dimana ditemukan bahwa hanya pasien dengan
peningkatan MPV yang memiliki penurunan mortalitas pada pemberian terapi abciximab
(Huczek dkk., 2005). Identifikasi pasien yang memerlukan terapi glycoprotein IIb/IIIa
inhibitors akan sangat membantu dalam mengambil keputusan klinis.
MPV yang tinggi condong untuk terjadi mendahului terjadinya IMA, bukan hasil
dari terjadinya IMA. Dengan merujuk bahwa waktu hidup platelet dalam darah adalah 7-10
hari, sebagian besar pengukuran platelet saat pasien baru masuk rumah sakit pada pasien
IMA akan berasal dari platelet sebelum pasien mengalami IMA. Martin, dkk. pada tahun
1983 menemukan bahwa MPV meningkat sebelum terjadinya IMA. Pada penelitian tersebut
ditemukan bahwa 90% platelet yang bersirkulasi setelah kejadian IMA adalah pletelet
sebelum terjadinya oklusi pembuluh darah. Kemudian bahwa ukuran platelet tetap sama
sampai 6 minggu pasca rawat inap pada pasien IMA, pada kondisi dimana IMA yang terjadi
telah menetap, mengindikasikan bahwa ukuran platelet merupakan suatu kondisi kronik,
bukan merupakan hasil dari terjadinya IMA (Martin dkk., 1983, Chu dkk., 2010).
16
BAB III
GAGAL JANTUNG
17
berdasarkan diagnosis dokter/ gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang.
Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan estimasi jumlah penderita penyakit gagal
jantung terbanyak kedua setelah DI Yogyakarta yaitu sebanyak 54.826(0,19%), sedangkan
provinsi Maluku Utara memiliki jumlah penderita paling sedikit, yaitu sebanyak 144 orang
(0,02%) (Data Riset Kesehatan Dasar, 2015).
Gagal jantung bisa terjadi akibat setiap gangguan yang menurunkan pengisian
ventrikel (disfungsi diastolik) dan / atau kontraktilitas miokard (disfungsi sistolik) (DiPiro,
2015). Kegagalan diastolik (backward failure) dapat terjadi akibat kekakuan dinding ventrikel
yang berat yang menyebabkan jantung tidak dapat menerima darah secara adekuat.
Kegagalan sistolik (forward failure) dapat terjadi akibat peningkatan beban volume, penyakit
miokardium, atau peningkatan beban tekanan (Silbernagl and Lang, 2007). Beberapa
penyakit dan kondisi lain penyebab gagal jantung yaitu aritmia, kardiomiopati, cacat jantung
bawaan (congenital heart disease), dan penyakit katup jantung (NIH, 2018).
18
Disfungsi sistolik merupakan ketidakmampuan ventrikula untuk berkontraksi ditandai
dengan penurunan kontraktilitas miokard. Penurunan di Left Ventricular Ejection Fraction
(LVEF) terjadi ketika kontraktilitas miokard menurun di seluruh ventrikel kiri.
3.5 Kardiomiopati
Kardiomiopati adalah suatu kelainan primer pada miokardium, keadaan ini jarang
terjadi namun pada kardiomiopati dilatasi mendasari 5-10% gagal jantung. Kerdiomiopati
dapat menyebabkan ganggun pada otot ventrikel seperti kardiomiopati hipertrofi yang
merupakan penyakit genetik yang ditandai oleh hipertrofi miokardium ventrikel kiri yang
asimetris, terutama septum (Davey, 2006).
Pada kardiomiopati, otot jantung menjadi membesar, tebal, atau kaku. Dalam kasus
yang jarang terjadi, jaringan otot di jantung diganti dengan jaringan parut. Saat kondisi
kardiomiopati memburuk, jantung menjadi lemah. Ini kurang mampu memompa darah
melalui tubuh dan mempertahankan irama listrik normal. Hal ini dapat menyebabkan gagal
jantung atau detak jantung tidak teratur disebut aritmia (NIH, 2016).
Hipertrofi ventrikel terjadi akibat pembesaran dan penebalan (hipertrofi) dari dinding
ruang pompa utama jantung (ventrikel kiri). hipertrofi ventrikel kiri dapat mengembangkan
dalam menanggapi beberapa faktor seperti tekanan darah tinggi atau penyakit jantung yang
menyebabkan ventrikel kiri untuk bekerja lebih keras. Sebagai efek beban kerja meningkat,
jaringan otot di dinding ruang menebal, dan kadang-kadang ukuran ruang itu sendiri juga
meningkat. Otot jantung membesar kehilangan elastisitas dan akhirnya mungkin gagal untuk
memompa dengan sebanyak kekuatan yang diperlukan (Grandman, 2006). Respon
kompensasi terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium atau bertambahnya
tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium, sarkomer
bertambah secara pararel atau serial bergantung pada jenis beban hemodinamik yang
mengakibatkan gagal jantung. Apapun susunan pasti sarkomernya, hipertrofi miokardium
akan meningkatkan kekuatan kontraksi ventrikel (Price and Wilson, 2006).
19
berasal dari ginjal atau karena penghentian obat antihipertensi pada penderita hipertensi
esensial (Syamsudin, 2011). Katup aorta memisahkan ventrikel kiri dengan aorta.
Penyempitan katup aorta akibat gangguan pembukaan katup menyebabkan overload tekanan
ventrikel kiri dan terjadi hipertrofi ventrikel kiri. Stenosis aorta adalah gangguan pembukaan
katup aorta berupa penyempitan yang menghambat aliran darah dan mengakibatkan beban
tekan pada ventrikel kiri. (Aaronson and ward, 2010) .
Sindrom klinis yang terjadi ketika arteri koroner mengalami sumbatan parsial atau
total yang mengakibatkan matinya sel otot jantung (infark). Nekrosis miokard dapat terjadi
akibat emboli di sepanjang koroner, sehingga menyebabkan infark pada jaringan distal.
Sumbatan pada arteri koroner, miokard yang di suplai oleh arteri tersebut mengalami iskemik
dan dalam beberapa jam menjadi nekrosis (kematian sel otot jantung) menyebabkan infark
miokard sedangkan penyebab yang amat sering adalah penyakit jantung koroner (Davey,
2006). Setelah beberapa bulan terjadi infark pada miokard terdapat dilatasi terhadap miokard
yang memicu remodeling miokard akibat peningkatan tegangan dinding akhir diastolik
sehingga pasien beresiko terhadap perkembangan gagal jantung kongesti (Aaronson and
Ward, 2010).
20
3.10 Kegagalan Diastolik
Pada pasien dengan kegagalan jantung diastolic, kegagalan diastolik ventrikel kiri
merupakan keadaan saat ventrikel kiri kehilangan kemampuan untuk berelaksasi secara
adekuat akibat kekakuan otot jantung, hilangnya kemampuan relaksasi pada jantung yang
memiliki peran penting dalam kemampuan untuk mengurangi dan mengisi curah jantung
mengakibatkan jantung tidak dapat mengisi darah dengan benar selama relaksasi. Hal ini
meningkat sesuai pertambahan usia (Katzung, 2012).
Stenosis mitral atau penyempitan katup mitral pada jantung yang menyebabkan
atrium kiri mempompa lebih keras untuk mengalirkan darah ke bagian ventrikel kiri. Pada
mitral, dimana katup yang menghubungkan ruang atrium dan ventrikel jantung bagian kiri
mengalami penyempitan, sehingga tidak bisa membuka dengan sempurna, hal ini
menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah ke ventrikel kiri. Pada beberapa kasus
mengakibatkan darah akan kembali ke bagian sebelah kanan jantung, sehingga menyebabkan
terjadinya penumpukan cairan pada paru-paru. (Hammer and McPee, 2014).
3.11.1 Aritmia
Aritmia adalah kelainan irama denyut jantung yang disebabkan oleh gangguan
konduksi impuls. Sel sel otot jantung dalam keadaan normal bukan merupakan pemacu
(pacemaker) laten tetapi bila potensial membrane mengalami depolarisasi yang sesuai, sel-sel
ini dapat membentuk inisiasi impuls repetitive dan menyebabkan aritmia. Hal ini disebabkan
misalnya oleh iskemia atau konsentrasi katekolamin local yang tinggi.Takiaritmia dan
bradiaritmia adalah kelainan pada asal, waktu, atau urutan depolarisasi jantung yang
menyebabkan laju denyut jantung, secara berturut-turut, >100 dan <60 kali/menit ( Aaronson
and Ward,2010). Irama yang abnormal dari jantung (aritmia) dapat diklasifikasikan baik
sebagai terlalu lambat (bradikardia) atau terlalu cepat (takikardia). Pada saat istirahat, jantung
biasanya diaktifkan pada tingkat 50-100 bpm. Aritmia timbul bilamana penghantaran listrik
pada jantung yang mengontrol detak jantung mengalami gangguan, ini dapat terjadi apabila
sel saraf khusus yang ada pada jantung yang bertugas menghantarkan listrik tersebut tidak
21
adapat bekerja dengan baik. Aritmia juga dapat terjadi apabila bagian lain dari organ jantung
menghantarkan sinyal listrik secara abnormal atau tidak semestinya (Hammer and McPee,
2014).
Congenital heart disease (Penyakit jantung bawaan) merupakan istilah umum untuk
menggambarkan kelainan jantung atau pembuluh darah besar yang hadir pada saat sejak
lahir. Pada beberapa kasus dalam jangka waktu yang lama saat tindakan bedah tidak berhasil.
Telah terjadi perubahan pada paru-paru ataupun miokard yang berkelanjutan dan bersifat
irreversibel. Kondisi tersebut akan berakibat pada kondisi gagal jantung (Robbin, 2015).
Pada pasien gagal jantung terjadi kontraktilitas disfungsi sistolik yang dipengaruhi
oleh massa otot sehingga terjadi dilatasi kardiomiopati hipertrofi ventrikel. Hipertrofi
ventrikel dapat disebabkan oleh tekanan yang berlebihan (seperti hipertensi sistemik atau
pulmonal stenosis) atau kelebihan beban volume sehingga dapat menyebabkan terjadinya
gagal jantung (Dipiro, et al 2011). Adanya sindroma klinis yang kompleks akibatkan
kelainan struktural dan fungsional jantung sehingga Jika curah jantung tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan tubuh terhadap oksigen. Beberapa Keadaan dapat memicu gagal
jantung seperti infark miokard, hipertensi, aritmia dan penyakit jantung lainnya
mengakibatkan keadaan stress pada jantung sehingga memicu terjadinya mekanisme
kompensasi untuk menyalurkan darah keseluruh tubuh secara adekuat (Setiawati, et al., 2012)
Kompensasi berlebihan dalam jangka waktu lama akan memperburuk kondisi jantung
secara kompleks meliputi perburukan fungisional, struktural, dan molekular (Dipiro, 2015).
Untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga Hal ini akan
menimbulkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem renin angiotensin
aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide (G. Jackson, et al.,
2000). Berlanjutnya gagal jantung, Ketiga respon kompensatorik sebagai usaha untuk
mempertahankan curah akan menjadi semakin kurang efektif (Price and Wilson, 2006).
22
Penurunan curah jantung menyebabkan aktifasi sistem saraf simpatetik dan
menyebabkan pelepasan katekolamin (norepinefrin dan epinefrin). Stimulasi ini memiliki
efek meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas pada jantung dan (vasokontriksi) pada
pembuluh darah yang kemudian akan meningkatkan isi sekuncup. Efek dari sistem saraf
simpatik ini melalui 3 reseptor: β1, β2, dan α1. Respon kompensasi ini menambah
peningkatan kerja jantung sehingga dapat berkontribusi terhadap penurunan fungsi jantung
(Kemp dan Conte, 2012).
23
3.14 Macam-macam gagal jantung
Sejumlah faktor atau kondisi mungkin dapat menimbulkan dan atau meningkatkan
kemungkinan terjadinya gagal jantung. Terdapat dua kelompok faktor risiko bagi penyakit
gagal jantung yaitu, faktor risiko yang dapat dirubah atau dimodifikasi dan faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi meliputi tingginya kadar kolesterol darah, perubahan gaya hidup dan
pola makan serta aktivitas fisik yang kurang. Beberapa faktor risiko seperti usia, jenis
kelamin pria, dan riwayat CVD di keluarga bersifat tidak dapat dirubah, namun faktor lain
seperti merokok, dislipidemia, hipertensi dan inaktivitas fisik, bersifat dapat dirubah
(dinamis) untuk memperbaiki progresivitas (Aaronson dan Ward, 2013).
1. Dislipidemia
2. Hipertensi
3. Inaktivitas fisik
4. Diabetes mellitus
5. Merokok tembakau
6. Obesitas
2. Riwayat CVD
3. Etnis
4. Usia
24
3.16 Diagnosa dan Pemeriksaan Klinis Gagal Jantung
Pada saat melakukan diagnosa gagal jantung dari sekumpulan gejala yang kompleks
dimana seorang pasien harus memiliki tampilan berupa : nafas pendek yang diripikal disaat
istirahat atau saat melakukan sesuatu aktivitas ang disertai maupun tidak disertai kelelahan
dan tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki), adanya bukti objektif
dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat (Siswanto, 2015).
Nafas pendek
Kelelahan
Dispnea ( sesak nafas )
Ortopnea
Dispnea noktural paroksismal ( PND )
Anoreksia
Indigesti
Batuk-batuk
positif Sejak 1775 agen inotropik positif telah digunakan untuk mengobati pasien
dengan gagal jantung. obat inotropik dapat didefinisikan sebagai terapi yang meningkatkan
kinerja independen kontraktil miokard yang menyebabkan perubahan denyut jantung dan
kondisi beban kerja jantung. Namun, kondisi beban kerja jantung dan denyut jantung sangat
bervariasi pada pasien dengan gagal jantung, mereka dapat berubah, dan dapat diubah oleh
beberapa obat inotropik. Banyak obat inotropik meningkatkan denyut jantung, dan beberapa
memiliki sifat vasodilator langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, beberapa kinerja
sistolik ditingkatkan dihasilkan oleh agen inotropik mungkin juga karenaperubahan kondisi
pembebanan dan detak jantung yang melekat ke banyak obat ini (Francis G. S, et al, 2014).
Beberapa obat inotropik positif yang digunakan untuk pengobatan gagal jantung adalah
sebagai berikut:
Digoxin
Dopamin
Epinephrine
25
Norepinephrin
Dobutamin
26
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Infark miokard adalah kematian sel miokard yang disebabkan oleh kondisi iskemia
bermakna yang berkepanjangan. Infark miokard akut dapat merupakan akibat dari obstruksi
aliran darah koroner karena pecahnya plak pembuluh darah arteri koroner, atau akibat hal
lain yang lebih jarang misalnya akibat spasme pembuluh darah .
2. Patofisiologi Infark Miokard Akut adalah Infark miokard akut dapat terjadi apabila daerah
yang mengalami iskemia miokard menyebabkan terbentuknya suatu area nekrosis.
3. Gagal jantung adalah sebuah kondisi dimana jantung mengalami penurunan kemampuan
pada ventrikel dalam mengisi ataupun mengalirkan darah ke seluruh tubuh.
4. Patofisiologi gagal jantung adalah terjadi kontraktilitas disfungsi sistolik yang dipengaruhi
oleh massa otot sehingga terjadi dilatasi kardiomiopati hipertrofi ventrikel. Hipertrofi
ventrikel dapat disebabkan oleh tekanan yang berlebihan (seperti hipertensi sistemik atau
pulmonal stenosis) atau kelebihan beban volume sehingga dapat menyebabkan terjadinya
gagal jantung .
27
DAFTAR PUSTAKA
Lily S Leonard. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Philadelphia : Wolters Kluwer
Lippincott Williams and Wilkins ; 2011 .p.135-89.
Fraker TD Jr, Fihn SD, Gibbons RJ. Chronic Angina Focused Update of The ACC/AHA
Guidelines for The Management of Angina: A Report of The American College of
Cardiology / American Heart Association Task Force on Practice Guidelines Writing
Group to Develop the Focused Update of 2002 Guidelines. Circulation.
2007;116:276272.
Serruys PW, Kutryk MJB, Ong ATL. Coronary Artery Stents. N Eng J Med.
2006;354:483-95.
Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus, Setiati Siti.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006 .p.1606-23.
28