Anda di halaman 1dari 30

FARMAKOLOGI

PENYAKIT JANTUNG

Disusun oleh:
Kelompok 2A dan 2B
P1337420919075

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2019
DAFTAR ISI

Penyakit Jantung Koroner ........................................................................................... iv


BAB I Penyait Jantung Koroner ................................................................................. 1
A. Definisi........................................................................................................... 1
1. Stroke Hemoragik ........................................................................................ 1
2. Angina Pectoris ........................................................................................... 2
3. Infark Miokard............................................................................................. 3
B. Patofisiologi ................................................................................................... 3
1. Stroke Hemoragik.................................................................................... 3
2. Angina Pectoris ....................................................................................... 4
3. Infark Miokardium .................................................................................. 5
C. Manifestasi Klinik.......................................................................................... 6
D. Diagnosis ....................................................................................................... 11
1. Pemeriksaan Elektrokardiogram ............................................................. 11
2. Pemeriksaan Marka Jantung .................................................................... 13
3. Pemeriksaan laboratorium ....................................................................... 14
4. Pemeriksaan foto polos dada ................................................................... 14
E. Hasil Terapi yang Diinginkan ........................................................................ 14
F. Penanganan .................................................................................................... 15
1. Terapi Non-Farmakologi ......................................................................... 16
2. Terapi Farmakologi ................................................................................. 16
G. Evaluasi Hasil Terapi ..................................................................................... 23
BAB I
PENYAKIT JANTUNG KORONER

A. DEFINISI
1. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik merupakan stroke yang disebabkan oleh karena adanya
perdarahan suatu arteri serebralis yang menyebabkan kerusakan otak dan
gangguan fungsi saraf. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat masuk
kedalam jaringan otak sehingga terjadi hematoma (Junaidi, 2012).
Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke hemoragik dikelompokan sebagai
berikut:
a. PIS (Perdarahan intraserebral)
Perdarahan intraserebral disebabkan karena adanya pembuluh darah
intraserebral yang pecah sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan
masuk ke dalam jaringan otak. Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial atau intraserebral sehingga terjadi penekanan pada
pembuluh darah otak sehingga menyebabkan penurunan aliran darah otak
dan berujung pada kematian sel sehingga mengakibatkan defisit neurologi.
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari
pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma.
Perdarahan ini banyak disebabkan oleh hipertensi dan penyakit darah seperti
hemofilia.
b. PSA (Pendarahan subarakhnoid)
Pendarahan subarakhnoid merupakan masuknya darah ke ruang
subrakhnoid baik dari tempat lain (pendarahan subarakhnoid sekunder)
atau sumber perdarahan berasal dari rongga subrakhnoid itu sendiri
(pendarahan subarakhnoid) (Junaidi, 2011). Perdarahan subarakhnoidal
(PSA) merupakan perdarahan yang terjadi masuknya darah ke dalam
ruangan subarachnoid (Junaidi, 2012).

1
2. Angina Pectoris
Angina pektoris adalah rasa tidak enak di dada sebagai akibat dari suatu
iskemik miokard tanpa adanya infark. Klasifikasi klinis angina pada dasarnya
berguna untuk mengevaluasi mekanisme terjadinya iskemik. Walaupun
patogenesa angina mengalami perubahan dari tahun ke tahun, akan tetapi
pada umumnya dapat dibedakan 3 tipe angina :
a. Classical effort angina (angina klasik)
Pada nekropsi biasanya didapatkan aterosklerosis koroner. Pada
keadaan ini, obstruksi koroner tidak selalu menyebabkan terjadinya
iskemik seperti waktu istirahat. Akan tetapi bila kebutuhan aliran
darah melebihi jumlah yang dapat melewati obstruksi tersebut,
akan tetapi iskemik dan timbul gejala angina. Angina pektoris akan
timbul pada setiap aktifitas yang dapat meningkatkan denyut
jantung, tekanan darah dan atatus inotropik jantung sehingga
kebutuhan O2 akan bertambah seperti pada aktifitas fisik, udara
dingin dan makan yang banyak.
b. Variant angina (angina Prinzmetal)
Bentuk ini jarang terjadi dan biasanya timbul pada saat istirahat,
akibat penurunan suplai O2 darah ke miokard secara tiba-tiba.
Penelitian terbaru menunjukkan terjadinya obsruksi yang dinamis
akibat spasme koroner baik pada arteri yang sakit maupun yang
normal. Peningkatan obstruksi koroner yang tidak menetap ini
selama terjadinya angina waktu istirahat jelas disertai penurunan
aliran darah arteri koroner.
c. Unstable angina (angina tak stabil / ATS)
Istilah lain yang sering digunakan adalah Angina preinfark, Angina
dekubitus, Angina kresendo. Insufisiensi koroner akut atau
Sindroma koroner pertengahan. Bentuk ini merupakan kelompok
suatu keadaan yang dapat berubah seperti keluhan yang bertambah
progresif, sebelumnya dengan angina stabil atau angina pada
pertama kali. Angina dapat terjadi pada saat istirahat maupun

2
bekerja. Pada patologi biasanya ditemukan daerah iskemik
miokard yang mempunyai ciri tersendiri (Kasron, 2012).
3. Infark Miokard
Infark Miokard merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mengalami hipoksia. Pembuluh darah
koronaria mengalami penyumbatan sehingga aliran darah yang menuju
otot jantung terhenti, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh
darah di sekitarnya. Daerah otot yang sama sekali tidak mendapat aliran
darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan
fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark.
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot
jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
B. PATOFISIOLOGI
1. Stroke Hemoragik
Otak sangat tergantung kepada oksigen dan otak tidak mempunyai
cadangan oksigen apabila tidak adanya suplai oksigen maka
metabolisme di otak mengalami perubahan, kematian sel dan kerusakan
permanen dapat terjadi dalam waktu 3 sampai 10 menit. Iskemia dalam
waktu lama menyebabkan sel mati permanen dan berakibat menjadi
infark otak yang disertai odem otak sedangkan bagian tubuh yang
terserang stroke secara permanen akan tergantung kepada daerah otak
mana yang terkena. Stroke itu sendiri disebabkan oleh adanya
arteroskelorosis. Arteroskelorosis terjadi karena adanya penimbunan
lemak yang terdapat di dinding-dinding pembuluh darah sehingga
menghambat aliran darah kejaringan otak. Arterosklerosis juga dapat
menyebabkan suplai darah kejaringan serebral tidak adekuat sehingga
menyebakan resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak (Amin &
Hardhi, 2013).
Arterosklerosis dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah atau
trombus yang melekat pada dinding pembuluh darah sehingga
menyebabkan sumbatan pada pembuluh darah. Apabila arterosklerosis

3
bagian trombus terlepas dari dinding arteri akan mengikuti aliran darah
menuju arteri yang lebih kecil dan akan menyebabkan sumbatan yang
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah (Amin & Hardhi, 2013).
2. Angina Pektoris
Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut
yang tidak menetap akibat ketidak seimbangan antara kebutuhan dan
suplai O2 miokard.
Beberapa keadaan yang dapat merupakan penyebab baik
tersendiri ataupun bersama-sama yaitu :
a. Faktor di luar jantung
Pada penderita stenosis arteri koroner berat dengan
cadangan aliran koroner yang terbatas maka hipertensi
sistemik, taki aritmia, tirotoksikosis dan pemakaian obat-
obatan simpatomimetik dapat meningkatkan kebutuhan O2
miokard sehingga mengganggu keseimbangan antara
kebutuhan dan suplai O2. Penyakit paru menahun dan
penyakit sistemik seperti anemi dapat menyebabkan tahikardi
dan menurunnya suplai O2 ke miokard.
b. Sklerotik arteri koroner
Sebagian besar penderita ATS mempunyai gangguan
cadangan aliran koroner yang menetap yang disebabkan oleh
plak sklerotik yang lama dengan atau tanpa disertai trombosis
baru yang dapat memperberat penyempitan pembuluh darah
koroner. Sedangkan sebagian lagi disertai dengan gangguan
cadangan aliran darah koroner ringan atau normal yang
disebabkan oleh gangguan aliran koroner sementara akibat
sumbatan maupun spasme pembuluh darah.
c. Agregasi trombosit
Stenosis arteri koroner akan menimbulkan turbulensi dan
stasis aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan
agregasi trombosit yang akhirnya membentuk trombus dan

4
keadaan ini akan mempermudah terjadinya vasokonstriksi
pembuluh darah.
d. Trombosis arteri koroner
Trombus akan mudah terbentuk pada pembuluh darah
yang sklerotik sehingga penyempitan bertambah dan kadang-
kadang terlepas menjadi mikroemboli dan menyumbat
pembuluh darah yang lebih distal. Trombosis akut ini diduga
berperan dalam terjadinya ATS.
e. Pendarahan plak ateroma
Robeknya plak ateroma ke dalam lumen pembuluh darah
kemungkinan mendahului dan menyebabkan terbentuknya
trombus yang menyebabkan penyempitan arteri koroner.
f. Spasme arteri koroner
Peningkatan kebutuhan O2 miokard dan berkurangnya
aliran koroner karena spasme pembuluh darah disebutkan
sebagai penyebab ATS. Spame dapat terjadi pada arteri
koroner normal atupun pada stenosis pembuluh darah koroner.
Spasme yang berulang dapat menyebabkan kerusakan artikel,
pendarahan plak ateroma, agregasi trombosit dan trombus
pembuluh darah (Kasron, 2012).
3. Infark Miokardium
Segera setelah terjadi Infark Miokard daerah miokard setempat
akan memperlihatkan penonjolan sitolik (diskinesia) dengan akibat
menurunnya ejeksi fraction, isi sekuncup, dan peningkatan volume akhir
sistolik dan akhir diastolik ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan atrium kiri juga naik.
Peningkatan tekanan atrium kiri diatas 25 mmHg yang lama akan
menyebabkan transudat cairan ke jaringan interstitium paru (gagal
jantung). Pemburukan hemodinamik ini bukan saja disebabkan karena
daerah infark, tetapi juga daerah iskemik disekitarnya. Miokard yang
masih relatif baik akan mengdakan kompensasi, khususnya dengan

5
bantuan rangsang adrenergik untuk mempertahankan curah jantung
tetapi dengan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini
jelas tidak memadai jika daerah yang bersangkutan juga mengalami
iskemia atau bahkan sudah fibrotik. Bila infark kecil dan miokard yang
kompensasi masih normal maka pemburukan hemodinamik akan
minimal. Sebaliknya jika infark luas dan miokard yang harus
berkompensasi juga buruk akibat iskemia atau infark lama, tekanan akhir
diastolik akan naik dan gagal jantung terjadi (Hermansyah, 2012).
Perubahan-perubahan hemodinamik Infark Miokard ini tidak statis.
Bila Infark Miokard makin tenang fungsi jantung membaik walaupun tidak
diobati. Hal ini disebabkan daerah-daerah yang tadi iskemik mengalami
perbaikan. Perubahan hemodinamik akan terjadi bila iskemik
berkepanjangan atau infark meluas. Terjadinya mekanis penyulit seperti
rupture septum ventrikel, regurgitasi mitral akut dan aneurisma ventrikel
akan memperburuk faal hemodinamik jantung (Hermansyah, 2012).
Aritmia merupakan penyulit Infark Miokard yang tersering dan
terjadi pada saat pertama serangan. Hal ini disebabkan karena perubahan
masa refrakter, daya hantar rangsang dan kepekaan terhadap rangsangan.
Sistem saraf otonom juga berperan terhadap terjadinya aritmia. Penderita
Infark Miokard umumnya mengalami peningkatan tonus parasimpatis
dengan akibat kecenderungan bradiaritmia meningkat. Sedangkan
peningkatan tonus simpatis pada Infark Miokard anterior akan
mempertinggi kecenderungan fibrilasi ventrikel dan perluasan infark
(Hermansyah, 2012).
C. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis PJK bervariasi tergantung dari besarnya
penurunan aliran darah ke otot jantung melalui arteri koroner. Namun
secara umum tanda dan gejalanya adalah nyeri dada substernal,
retrosternal, dan prekordial bentuk nyerinya seperti ditekan, ditindih,
terbakar, yang menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, gigi, skapula kiri,
punggung dan dapat juga dirasakan di epigastrium, namun pada
beberapa pasien yaitu lanjut usia dan pasien diabetes mellitus kadang

6
tanpa gejala nyeri yang khas, mual dan muntah, kulit menjadi dingin,
pucat, diaforesis, xantelasma, sesak nafas, pada kasus yang serius dapat
terjadi sincope atau penurunan kesadaran ( Kumar & Clarks, 2012).
Klasifikasi PJK menurut Kumar & Clarks (2012) adalah
a. Angina Pectoris Stable (APS)
APS merupakan nyeri dada yang timbul saat melakukan
aktifitas, dan rasa sakitnya tidak lebih dari 15 menit dan hilang
dengan istirahat atau pemberian Nitrogliserin. Nyeri ini bisa
terjadi pada orang normal, namun pada kasus jantung APS
diawali dengan adanya stenosis atherosklerosis dari pembuluh
darah koroner yang akan mengurangi suplai darah ke jantung.
Gambaran EKG pada penderita ini tidak khas dapat normal
atau terjadi ST depresi yang mengindikasi adanya iskemik.
b. Acute Coronary Syndrome (ACS)
Gejala utama yang muncul adalah ketidaknyamanan pada
dada (biasanya saat istirahat), serangan angina baru yang parah,
atau angina yang berlangsung paling cepat 20 menit.
Ketidaknyamanan ini dapat menyebar ke bahu, lengan kiri, ke
belakang, lalu ke rahang. Gejala yang menyertai termasuk mual,
muntah, diaphoresis, dan sesak napas. Tidak ada fitur khusus
yang menunjukkan ACS pada pemeriksaan fisik. Namun, pasien
dengan ACS dapat hadir dengan tanda-tanda gagal jantung akut
atau aritmia (Dipiro et al., 2015).
ACS dibagi menjadi 3 yaitu :
1) Unstable Angina Pectoris (UAP)
UAP adalah sakit dada yang timbul saat istirahat
lamanya lebih dari 15 menit ada peningkatan dalam
frekwensi sakitnya atau ada gejala perburukan. Pada
UAP secara patologi dapat terjadi karena ruptur plag
yang tidak stabil yang menyebabkan trombus mural,
trombus yang terbentuk menyebabkan oklusi subtotal
dari pembuluh darah koroner yang sebelumnya terjadi

7
penyempitan yang minimal sehingga aliran darah
tidak adekuat. Gambaran EKG dapat menunjukkan
adanya depresi segmen ST atau inversi gelombang T
kadang ditemukan ST elevasi saat nyeri. Tidak terjadi
peningkatan enzim jantung (Kumar & Clarks, 2012)
2) Acute non ST elevasi myocardial Infarction
(AcuteNSTEMI)
NSTEMI adalah nyeri dada tipikal angina. NSTEMI
terjadi dikarenakan trombosis akut koroner akibat
parsial trombus dimana menyebabkan oklusi
pembuluh darah inkomplit. Oklusi pada coroner masih
memungkinkan darah untuk mentransportasi oksigen
dan nutrisi ke miocard namun dalam jumlah yang
minimal yang memungkinkan kematian sel-sel
jantung. Gambaran EKG pada NSTEMI depresi
segmen ST atau inversi gelombang T atau keduanya.
Peningkatan dari enzim jantung CK, CK-MB dan
Troponin T ( Kumar & Clarks,2012).
3) Acute ST elevasi myocardial Infarction (Acute
STEMI)
STEMI adalah kematian jaringan otot jantung yang
ditandai adanya sakit dada khas (lebih lama, lebih
berat, dan menjalar lebih luas), lama sakitnya lebih
dari 30 menit tidak hilang dengan istirahat atau
pemberian anti angin namun nyeri akan membaik
dengan pemberian analgesik seperti Morfin atau
Pethidin. STEMI disebabkan oleh trombus arteri
koroner yang menutupi pembuluh darah secara
komplit atau total sehingga suplai darah terhenti,
keadaan ini menyebabkan kematian otot jantung.
Gambaran EKG pada STEMI adalah hiper akut T,

8
elevasi segmen ST, gelombang Q dan inversi
gelombang T. peningkatan enzim jantung CK, CKMB
dan Troponin T ( Kumar & Clarks ,2012).
c. Iskemik
Iskemik merupakan salah satu manifestasi klinis penyakit
jantung koroner. Banyak gejala merupakan iskemik
asimtomatik (silent ischemia). Pasien sering memiliki pola
nyeri yang berulang atau gejala lain yang muncul setelah
bekerja. Frekuensi, tingkat keparahan, atau durasi yang
meningkat, dan gejala pada saat istirahat menunjukkan pola
yang tidak stabil yang memerlukan evaluasi medis segera.
Gejalanya meliputi sensasi seperti di tekan atau terbakar
di sekitar sternum, yang menjalar ke rahang sebelah kiri, bahu,
dan lengan. Dada terasa sesak dan sesak napas juga bisa
terjadi. Sensasinya biasanya berlangsung sekitar 30 detik
sampai 30 menit.
Faktor yang dapat menekan gejala meliputi olahraga,
lingkungan dingin, berjalan setelah makan, gangguan
emosional, rasa takut, marah, dan koitus. Gejala menjadi
ringan dengan istirahat dalam 45 detik sampai 5 menit setelah
mengkonsumsi nitrogliserin.
Pasien dengan angina sekunder (Prinzmetal) akibat
spasme jantung seperti merasakan nyeri pada saat istirahat dan
di pagi hari. Rasa nyeri bukan diakibatkan karena bekerja
ataupun stress yang dapat hilang karena istirahat; Pada pola
elektrokardiogram (EKG) menunjukkan adanya cedera dengan
elevasi segmen ST daripada depresi.
Angina tidak stabil dikelompokkan ke dalam kategori
risiko rendah, menengah, atau tinggi untuk kematian jangka
pendek atau infark miokard nonfatal. Angina dengan risiko
tinggi tidak stabil meliputi: (1) percepatan tempo gejala

9
iskemik pada 48 jam sebelumnya; (2) nyeri saat istirahat yang
berlangsung lebih dari 20 menit; (3) usia lebih tua dari 75
tahun; (4) Perubahan segmen ST; dan (5) temuan klinis edema
paru, regurgitasi mitral, S3, rales, hipotensi, bradikardia, atau
takikardia.
Gejala berulang iskemia juga mungkin tidak
menimbulkan rasa sakit, atau "tidak terasa", yang dikarenakan
ambang batas dan toleransi nyeri pasien lebih tinggi daripada
pasien yang lebih sering memiliki rasa sakit (Dipiro et al.,
2015).
d. Stroke
Stroke merupakan manifestasi klinis dari penyakit
jantung koroner. Pasien mungkin tidak dapat memberikan
riwayat yang dapat dipastikan karena defisit neurologis.
Anggota keluarga atau saksi lainnya mungkin perlu
memberikan informasi mengenai ini.
Gejalanya meliputi kelemahan pada sebagian anggota
tubuh, ketidakmampuan berbicara, kehilangan penglihatan,
vertigo, atau terjatuh. Stroke iskemik biasanya tidak
menyakitkan, tapi sakit kepala bisa terjadi pada stroke
hemoragik.
Defisit neurologis pada pemeriksaan fisik bergantung
pada area otak yang terlibat. Hemi- atau monoparesis dan
hemisensory defisit adalah umum ditemukan. Pasien dengan
keterlibatan sirkulasi posterior mungkin memiliki vertigo dan
diplopia. Sirkulasi sirkulasi anterior biasanya terjadi pada
afasia. Pasien mungkin mengalami disartria, cacat bidang
visual, dan tingkat kesadaran yang berubah (Dipiro et al.,
2015).

10
D. DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12
sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai
tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada
semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia
dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada
semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik.
Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya
diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Gambaran EKG yang
dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu:
normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/
persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit)
maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa
inversi gelombang T (Irmalita dkk, 2015).
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk
diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar
sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun
adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan
pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa
memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang
elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali
pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai
ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang
resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen
ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI

11
terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi
segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi
reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk
STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil
pemeriksaan marka jantung tersedia (Irmalita dkk, 2015).

Tabel 1. Lokasi infark berdasarkan EKG

Deviasi Segmen ST Lokasi iskemia atau infark

V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel Kanan

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran


EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan
elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif
dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti
ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesi sitas
tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan
segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif
mempunyai sensitivitas dan spesi sitas sangat rendah (Irmalita dkk,
2015).

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan


elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard
dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil
(APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah
sebesar ≥ 0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya.

12
Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi
segmen ST yang tidak persisten (< 20menit), dan dapat terdeteksi di >2
sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV
mempunyai spesi tas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan
EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik
dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik (Irmalita dkk,
2015).

2. Pemeriksaan marka jantung


Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesi sitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab
kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal
jantung, hipertro ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan
nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka
bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi
pulmoner, kemoterapi, dan insu siensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya
nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini,
troponin I mempunyai spesi sitas yang lebih tinggi dari troponin T
(Irmalita dkk, 2015).
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau
troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah
awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan
angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka
pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama.
Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan
kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesi sitas lebih rendah) dengan

13
waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang
singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark
(infark berulang) maupun infark periprosedural (Irmalita dkk, 2015).
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium
sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung
(point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau
semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of
care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika
waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam.
Jika marka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil
negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral (Irmalita
dkk, 2015).
3. Pemeriksaan laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus
dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah
sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel
lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA
(Irmalita dkk, 2015).
4. Pemeriksaan foto polos dada
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan
ruang gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada
harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan
pemeriksaan untuk membuat diagnosis banding, identikasi komplikasi
dan penyakit penyerta (Irmalita dkk, 2015).
E. HASIL TERAPI YANG DIINGINKAN
Tujuan setiap pengobatan suatu penyakit adalah meningkatkan kualitas
hidup pasien dan diharapkan agar pasien dapat kembali sehat ataupun dapat
mengurangi rasa sakit pada pasien.
Terapi jantung coroner dalam jangka pendek yang diinginkan adalah
pencegahan penyakit komplikasi dan kematian, meredakan nyeri dada

14
karena iskemia, pemeliharaan normoglikemia dan pencegahan reoklusi arteri
coroner.
Tujuan jangka pendek dari pengobatan untuk pasien Acute Coronary
Syndromes menurut Dipiro, et al. (2015) adalah sebagai berikut:
a. Pemulihan dini aliran darah ke arteri terkait infark untuk mencegah
perluasan infark (dalam kasus infark miokard) atau mencegah oklusi
lengkap dan infark miokard;
b. Pencegahan kematian dan komplikasi lainnya infark miokard;
c. Pencegahan oklusi arteri koroner dengan infark;
d. Meringankan ketidaknyamanan iskemik dada;
e. Resolusi ST-segmen dan T-gelombang berubah pada EKG.

Sementara itu, untuk terapi jantung koroner jangka panjang adalah


sebagai berikut:

a. Mencegah kemungkinan kembalinya rasa sakit di dada


b. Menjaga ritme jantung
c. Mencegah komplikasi yang lebih lanjut

Dalam terapi penyakit jantung koroner juga dapat dilakukan


pengobatan aritmia. Hal ini dilakukan berdasarkan penyebab terjadinya
aritmia/jenis aritmia. Contohnya, jika seorang pasien menderita AF
(arterial flutter) diharapkan mendapatkan perbaikan ritme, pencegahan
terjadinya komplikasi tromboembolik, dan pencegahan kambuhnya
aritmia (Dipiro, 2009).

F. PENANGANAN
1. Terapi Non-Farmakologi
Terapi Non-Farmakologi yang dapat dilakukan yaitu :
a. Merubah gaya hidup, misalnya berhenti merokok.
b. Olahraga, dapat meningkatkan kadar HDL dan memperbaiki
koroner pada penderita jantung koroner, karena :

15
 Memperbaiki fungsi paru-paru dan memperbanyak O2
masuk ke dalam miokard.
 Menurunkan tekanan darah
 Menyehatkan jasmani
c. Diet dapat mengurangi kadar hiperglikemia (Tjay & Rahardja,
2007).
2. Terapi Farmakologi
a. Anti-iskemi
1) Nitrat
Merupakan obat lini pertama pada IHD. Mekanisme obat ini
yaitu menyebabkan vasodilatasi perifer, terutama vena,
bekerja pada otot polos vaskular yang mencakup pembentukan
nitrat oksida, meningkatkan cGMP intraseluler, dan
menurunkan tekanan pada jantung sehingga menurunkan
kebutuhan oksigen dan nyeri cepat menghilang (Dipiro, et al,
2015 dan Neal, 2006).
Tabel 2. Sediaan produk nitrat:

(Dipiro, et al, 2015)

16
 Nitrat kerja pendek
Nitrogliserin lebih berguna untuk mencegah serangan
daripada menghentikan serangan yang sudah terjadi
(Neal, 2006). Nitrogliserin yang diberikan secara
sublingual digunakan untuk mengobati serangan
angina akut. Bila cara ini tidak efektif, maka
dibutuhkan terapi kombinasi yaitu β bloker atau
calcium channel blocker (Dipiro, 2015)
 Nitrat kerja panjang
Bersifat lebih stabil dan bisa efektif selama beberapa
jam, tergantung pada obat dan sediaan yang
digunakan. Isosorbit dinitrat banyak digunakan, tetapi
cepat dimetabolisme oleh hati. Penggunaan isosorbit
mononitrat, yang merupakan metabolit aktif utama dari
dinitrat dan mencegah metabolisme lintas pertama.
 Efek samping
Dilatasi arteri akibat nitrat menyebabkan sakit kepala,
sehingga seringkali dosisnya dibatasi. Efek samping
lain yaitu hipotensi dan pingsan. Refleks takikardi
sering terjadi, namun dapat dicegah oleh terapi
kombinasi dengan β bloker. Dosis tinggi yang
diberikan jangka panjang bisa menyebabkan
methemoglobinemia sebagai akibat oksidasi
hemoglobin.
2) Calcium Channel Blocker
Mekanisme : Pada otot jantung dan otot polos vaskular,

Ca++ terutama berperan dalam peristiwa kontraksi.

Meningkatnya kadar Ca++ intrasel akan meningkatkan

kontraksi. Masuknya Ca++ dari ujung ekstrasel ke dalam

ruang intrasel dipacu oleh perbedaan kadar Ca++ ekstrasel dan

17
intrasel dan karena ruang intrasel bermuatan negatif. Blokade
kanal Ca++ menyebabkan berkurangnya kadar Ca++
intraseluler sehingga menurunkan kekuatan kontraksi otot
jantung, menurunkan kebutuhan otot jantung akan oksigen,
dan menyebabkan vasodilatasi otot polos pembuluh darah
sehingga mengurangi tekanan arteri dan intraventrikular.
Beberapa contoh obat Calcium channel antagonis : verapamil,
nifedipin, felodipin, amlodipin, nikardipin, dan diltiazem
(Ikawati, 2006). Amlodipin mempunyai durasi kerja panjang,
lebih jarang menyebabkan takikardia daripada nifedipin.
Verapamil dan diltiazem menekan nodus sinus, menyebabkan
bradikardia ringan. Diltiazem memiliki aksi yang berada di
antara verapamil dan nifedipin dan tidak menyebabkan
takikardia.
Tabel 3. Dosis yang direkomendasikan dari golongan
calcium channal blocker

3) β-adrenergic Blocking Agents


β bloker dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan
perfusi darah iskemi, dan mencegah angina (Neal, 2006).
Selain itu juga dapat menurunkan denyut jantung dan
kebutuhan oksigen pada pasien angina.
Obat ini efektif sebagai monoterapi atau dapat
dikombinasikan dengan nitrat dan/atau calcium channel
blocker. β bloker merupakan obat pilihan pertama pada angina

18
kronis sebagai terapi daily maintenance (Dipiro, et al, 2015),
dan lebih baik dari nitrat atau calcium channal blocker. Jika β
blcker tidak efektif, kombinasi bisa dimulai.
Dosis awal β bloker sebaiknya pada batas terendah dari
dosis biasa dan ditambahkan sesuai respon pasien. Tujuannya
yaitu menurunakan denyut jantung istirahat sampai 50-60
denyut per menit (Dipiro, et al, 2015).
Tabel 4. Dosis yang direkomendasikan dari golongan β
blocker

Efek samping : hipotensi, gagal jantung, bradikardi, heart


block, spasme bronki, vasokonstriksi perifer, perubahan
metabolisme glukosa, kelelahan, dan depresi. Penghentian
mendadak dapat meningkatkan keparahan penyakit.
Mengurangi dosis obat secara bertahap dapat dilakukan
selama 2 hari untuk memperkecil resiko reaksi penghentian
tiba-tiba (Dipiro, et al, 2015).
b. Antitrombotik
1. Obat Penghambat Siklo oksigenase (COX) Aspirin
Aspirin bekerja dengan cara menekan pembentukan
tromboksan A2 dengan cara menghambat siklooksigenase di
dalam platelet (trombosit) melalui asetilasi yang ireversibel.
Kejadian ini menghambat agregasi trombosit melalui jalur
tersebut dan bukan yang lainnya. Sebagian dari keuntungan ASA
dapat terjadi karena kemampuan anti inflamasinya, yang dapat
mengurangi ruptur plak. Dosis awal 160 mg, lalu dilanjutkan
dengan dosis 80 mg sampai 325 mg untuk seterusnya. Dosis yang

19
lebih tinggi lebih sering menyebabkan efek samping
gastrointestinal (DFAK Depkes, 2006).
2. Antagonis Reseptor Adenosin Diphospat Klopidogrel
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin yang lebih baru
bekerja dengan menekan aktivitas kompleks glikoprotein IIb/IIIa
oleh ADP dan menghambat agregasi trombosit secara efektif.
Klopidogrel dapat dipakai pada pasien yang tidak tahan dengan
aspirin dan dalam jangka pendek dapat dikombinasi dengan
aspirin untuk pasien yang menjalani pemasangan stent. Dosis
yang direkomendasikan dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 5. Dosis klopidogrel yang direkomendasikan

c. Antikoagulan
1. Unfactionated Heparin (UFH)
Unftactionated Heparin (selanjutnya disingkat sebagai UFH)
merupakan glikosaminoglikan yang terbentuk dari rantai
polisakarida dengan berat molekul antara 3000-30.000. Rantai
polisakarida ini akan mengikat antitrombin III dan
mempercepat proses hambatan antitrombin II terhadap trombin
dan faktor Xa (DFAK Depkes, 2006).
2. Heparin dengan berat molekul rendah (LMWH)
LMWH mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada
heparin standar. Heparin ini mempunyai keuntungan karena
hanya membutuhkan dosis tunggal harian melalui suntikan
subkutan dan dosis profilaksis tidak membutuhkan pemantauan
(Neal, 2006).

20
Tabel 6. Dosis UFH dan LMWH yang direkomendasikan

3. Antikoagulan Oral
Terapi antikoagulan oral yaitu warfarin, merupakan derivat
kumarin yang strukturnya mirip dengan vitamin K. Warfarin
memblok karboksilasi γ menghasilkan suatu zat yang terikat
Ca++ yang penting dalam membentuk suatu kompleks katalitik
yang efisien. Antikoagulan oral membutuhkan 2-3 hari untuk
mencapai efek antikoagulan penuh. Oleh karena itu bila
dibutuhkan efek segera harus diberikan heparin sebagai
tambahan (Neal, 2006).
d. Trombolitik/Fibrinolitik
Fibrinolitik bekerja sebagai trombolitik dengan cara
mengaktifkan plasminogen yang selanjutnya akan membentuk
plasmin. Dengan adanya fibrinolitik ini, degradasi fibrin dan
pemecahan trombus akan terjadi. Obat yang berfungsi sebagai
fibrinolitik antara lain alteplase dan streptokinase.
Alteplase merupakan aktivator plasminogen tipe jaringan yang
dihasilkan dari teknologi DNA rekombinan. Alteplase tidak
menuebabkan reaksi alergi dan dapat digunakan pada pasien dimana
infeksi streptokokus yang beru terjadi atau penggunakan
streptokinase terakhir yang menyebabkan kontraindikasi penggunaan
streptokinase (Neal, 2006). Dosis yang dapat digunakan yaitu 0,9

21
mg/kg (maksimum 90 mg) diberikan melalui IV infus selama 1
jam setelah pemberian 10% dari dosis total yang diberikan selama
1 menit (Dipiro,et al, 2015).
e. ACE Inhibitor
ACE-I menghambat sintesis Angiotensin I menjadi
angiotensin II. Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat yang
ada dalam sirkulasi dan penghambatan sintesisnya pada pasien
menyebabkan penurunan resistensi perifer dan tekanan darah.
Efek yang tidak diinginkan adalah batuk kering yang disebabkan
karena peningkatan bradikinin (Neal, 2006).
Tabel 7. Obat golongan ACE-I

(Dipiro, et al, 2009)

f. Antihiperlipidemia
Pada sebagian besar penderita hiperlipidemia dapat
dikontrol dengan diet dan olahraga. Namun, bisa juga dengan
bantuan obat penurun kadar lipid darah atau antihiperlipidemia.
Saat ini obat antihiperlipid golongan statin mengalami kemajuan
yang sangat menakjubkan dalam mengurangi kejadian
kardiovaskular, karena relatif efektif dan sedikit efek samping
serta merupakan obat pilihan pertama. Obat golongan ini dikenal
juga dengan obat penghambat HMGCoA reduktase. HMGCoA

22
reduktase adalah suatu enzym yang dapat mengontrol biosintesis
kolesterol. Dengan dihambatnya sintesis kolesterol di hati dan hal
ini akan menurunkan kadar LDL dan kolesterol total serta
meningkatkan HDL plasma.
Tabel 8. Obat golongan statin

(Dipiro, et al, 2009)

G. EVALUASI HASIL TERAPI


Evaluasi hasil terapi dari penyakit jantung koroner yaitu (Dipiro, et
al.,2015):
a. Monitoring parameter efikasi dari ST-segmen-elevation dan Non-ST-
segmen-elevation termasuk :
1. Menghilangkan ketidaknyamanan dari iskemia
2. Mengembalikan hasil Elektrokardiogram ke baseline
3. Menghilangkan tanda dan gejala dari gagal jantung
b. Monitoring parameter efek samping dari masing-masing obat yang
digunakan.
Monitoring pasien dengan stroke akut dan mengalami neurologis
memburuk, komplikasi (tromboemboli dan infeksi), dan efek samping
pengobatan secara intens.
Kebanyakan penyebab penurunan kondisi pasien stroke, yaitu :
1. Perluasan lesi di otak

23
2. Pembesaran edema serebral dan peningkatan tekanan
intrakranial
3. Hipertensi
4. Infeksi (misal pada saluran pernafasan dan kemih)
5. Tromboemboli vena
6. Gangguan elektrolit dan ritme jantung
7. Stroke kambuhan (Dipiro, et. al., 2015).

Penilaian Hipertensi

Tekanan Darah
Kategori
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Optimal < 120 < 80


Normal < 130 < 85
Normal Tinggi 130 – 139 85 – 89
Hipertensi Derajat 1 140 – 159 90 – 99
Hipertensi Derajat 2 160 – 179 100 – 109
Hipertensi Derajat 3 > 179 > 109

Sumber : The Sixth of the Joint National Committee on Prevention,


Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (1997)

Penilaian Kolesterol

Kolesterol Total
<200 mg/dL Yang Diharapkan

200 – 239 mg/dL Batas Atas


> 239 mg/dL Tinggi

Kolersterol LDL
<100 mg/dL Optimal

24
100 – 129 mg/dL Dekat atau Diatas Optimal

130 – 159 mg/dL Batas Atas


160 – 189 mg/dL Tinggi
>189 mg/dL Sangat Tinggi

Kolesterol HDL
<40 mg/dL Rendah
>59 mg/dL Tinggi

Trigliserida
<150 mg/dL Normal

150 – 199 mg/dL Batas Atas


200 – 499 mg/dL Tinggi
>499 mg/dL Sangat Tinggi

Sumber : Wells et.al, 2009


H. Terapi Non Farmakologi
- Edukasi mengenal gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal serta
upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan.
- Pasien tetap melakukan rehabilitasi kardiak secara rutin di rumah sakit.
- Pasien perlu merubah gaya hidup dan asupan makanan sehari-hari untuk
menurunkan berat badan pasien.
- Konseling mengenai obat.
- Dukungan dari keluarga untuk terus mengingatkan pasien agar tetap patuh
dalam mengkonsumsi obat-obat yang telah diberikan. (Khan, 2005)
I. Terapi Farmakologi
- Aspirin 100 mg/hari (antiplatelet)
- Klopidogrel 75 mg/hari (antiplatelet)
- Perindopril 4 mg/hari (Coronary heart disease)
- Simvastatin 20 mg/hari (antikolesterol)

25
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Huda Nurarif & Hardi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2.
Jakarta:EGC
Chisholm-Burns, M.A., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M.,
Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., dan Dipiro, J.T., 2016.
Pharmacotherapy : Principles and Practice. 4th edition. New York :
Mc Graw Hill.
Depkes. 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner.
Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Dipiro, J.T, Talbert, R.L, Yee, G.C, Matzke G.R, Wells, B.G, Posey L.M.
2009. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 7th Edition.
USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Dipiro, J.T, Talbert, R.L, Yee, G.C, Matzke G.R, Wells, B.G, Posey L.M.
2015. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 9th Edition.
USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan
(DFAK Depkes). 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit
Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Bakti Husada.
Hermansyah et,al 2012. Risiko Baru Penyakit Kardiovaskuler. Ethical Digest
Ikawati, Zulies. 2006. Pengantar Farmakologi Molekuler. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Irmalita., Juzar, Dafsah A., Andrianto., Setianto, Budi Yuli., Tobing, Daniel
PL., Firman, Doni., Firdaus,Isman. 2015. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia 2015 Edisi ketiga. Jakarta: Indonesian Heart Association
Junaidi, Iskandar. 2011. Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke.
Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer
Kasron. 2012. Kelainan dan Penyakit Jantung. Yogyakarta: Nuha Medika.

26
Khan, M.G. 2005. Heart Disease Diagnosis and Therapy. 2nd ed. London:
Humawa Press.
Kumar, P., & Clark, M. L. 2009. Kumar & Clark's Clinical Medicine 9th Edition.
Spain: Elsevier.
La Rosa.J.C., Grundy S.M., Waters D.D. Intensive Lipid Lowering with
Atorvastatin in Patients with Stable Coronary Artery Disease. N Engl J
Med. 2005; 352(1) :1425-35.
M.Thorp, C. 2008. Pharmacology for the Health Care Professions. Lonson::
John Wiley and Sons. Media Gizi Masyarakat Indonesia,
Vol.1,No.2,Februari 2012.
National Prescribing Service. 2005. Results Case Study 38: Management
of Ischaemic Heart Disease. National Prescribing Service Limited 10:
1-16.
Rainsford, K.R.D. 2004. Aspirin and Related Coumpound. London: Taylor and
Francis Inc.
Wells,B.G., Dipiro, J.T.,Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. 2009.
th
Pharmacotherapy Handbook. 7 ed. New York: McGraw Hill Medical.

27
28

Anda mungkin juga menyukai