Anda di halaman 1dari 25

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
2.1. STEMI...........................................................................................................3
2.1.1. Definisi...................................................................................................3
2.1.2. Etiologi dan Faktor Risiko......................................................................3
2.1.3. Patofisiologi............................................................................................4
2.1.4. Penegakkan Diagnosis............................................................................7
2.1.5. Prinsip Tatalaksana SKA......................................................................11
2.2. Terapi Trombolitik......................................................................................15
2.2.1. Prinsip Kerja.........................................................................................15
2.2.2. Kombinasi Obat....................................................................................16
2.2.3. Pemindahan Pasien...............................................................................17
2.2.4. Langkah Pemberian Fibrinolisis pada Pasien STEMI..........................17
2.2.5. Koterapi Antikogulan...........................................................................19
2.3. Prognosis.....................................................................................................19
BAB 3 PENUTUP.................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

i
BAB 1
PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian nomor satu secara


global. Banyak orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit kadiovaskuler
dari pada penyebab lainnya. Penyakit kardiovaskular saat ini diperkirakan akan
menjadi penyebab utama kematian di Negara industri dan berkembang pada tahun
2020. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan gawat darurat dari
penyakit jantung koroner (PJK). Penyakit jantung koroner merupakan salah satu
penyakit mematikan yang prevalensinya akan terus mengalami peningkatan
sepanjang tahunnya.1
Sindrom Koroner Akut di tahun 2012 telah menjadi penyebab kematian
utama dari PTM dan menyebabkan 17,5 juta kematian atau 46% dari seluruh
kematian penyakit tidak menular, 80% terjadi di negara dengan pendapatan
menengah ke bawah, dan angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 23,6
juta di tahun 2030.2 Secara garis besar faktor risiko sindrom koroner akut dapat
dibagi dua, yaitu yang dapat diubah dan tidak dapat diubah. Faktor yang dapat
diubah seperti: Dislipidemia (LDL meningkat, HDL menurun), Merokok,
Hipertensi, Diabetes Melitus, Sindrom Metabolik, Kurang aktivitas fisik.3
Data WHO menunjukkan bahwa penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke
menduduki urutan nomer satu dan dua sebagai penyebab kematian terbesar di
dunia. Keduanya menyebabkan 14,1 juta kematian diseluruh dunia pada tahun
2012 dimana Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan pada tahun 2000.
Kementerian kesehatan Indonesia memasukkan penyakit jantung koroner sebagai
penyebab utama kematian di Indonesia, sedangkan stroke berada diurutan
kelima.4,5
Ada 8,6 juta kasus infark miokard pada tahun 2013 di seluruh dunia. Infark
miokard dinding inferior diperkirakan terjadi pada 40-50% dari semua kasus MI.
Mereka memiliki prognosis yang lebih baik daripada infark miokard lainnya,
dengan mortalitas 2% sampai 9%. Namun, hingga 40% dari MI dinding inferior

1
berhubungan dengan keterlibatan ventrikel kanan yang menandakan hasil yang
lebih buruk.6
Sindrom Koroner Akut adalah ketidakmampuan jantung akut akibat suplai
darah yang mengandung oksigen ke jantung tidak adekuat. Keadaan tersebut
dapat menyebabkan penurunan fungsi jantung. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan
marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi angina pektoris tidak
stabil, infark miokard tanpa elevasi segmen ST atau Non ST-segment Elevation-
Acute Coronary Syndrome (NSTE-ACS) dan infark miokard dengan elevasi
segmen ST atau ST-segment Elevation-Acute Coronary Syndrome (STE-ACS).7
Infark miokard dinding inferior disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang
mengakibatkan penurunan perfusi ke daerah miokardium tersebut. Hal ini
menyebabkan iskemia miokard yang diikuti oleh infark. Miokardium inferior pada
kebanyakan orang disuplai oleh arteri koroner kanan. Pada sekitar 6-10% dari
populasi, karena dominasi kiri, sirkumfleksa kiri akan mensuplai arteri koroner
descenden posterior.8
Sekitar 40% dari semua MI melibatkan dinding inferior. Infark mikard
inferior memiliki prognosis yang lebih baik daripada di daerah lain, seperti
dinding anterior jantung. Angka kematian dari MI dinding inferior kurang dari
10%. Namun, beberapa faktor penyulit yang meningkatkan mortalitas, termasuk
infark ventrikel kanan, hipotensi, blok jantung bradikardia, dan syok kardiogenik.8

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. STEMI
2.1.1. Definisi
ST-elevation myocardial infarction (STEMI) adalah sindrom klinis yang
didefinisikan oleh gejala khas iskemia miokard yang berhubungan dengan elevasi
ST elektrikal tetap dan pelepasan biomarker nekrosis miokard lainnya. STE
adalah satu-satunya penanda terbaik yang ada untuk mendeteksi oklusi arteri
koroner lengkap akut tanpa sirkulasi kolateral, yang mengindikasikan daerah yang
signifikan dari miokardium yang cedera pada risiko infarksi ireversibel yang akan
segera terjadi, memerlukan terapi reperfusi segera.5,9,10

2.1.2. Etiologi dan Faktor Risiko


Hampir sepertiga dari pasien dengan STEMI memiliki faktor pencetus atau
gejala prodromal yang dapat diidentifikasi. Olahraga berat yang tidak biasa
(terutama pada pasien yang kelelahan atau biasanya tidak aktif), stres emosional,
dan penyakit akut merupakan pemicu yang paling sering terjadi. Infark tersebut
dapat terjadi akibat peningkatan konsumsi oksigen miokard yang nyata dengan
adanya penyempitan arteri koroner yang berat atau tekanan hemodinamik akut
pada plak yang rapuh akibat peningkatan katekolamin atau tekanan darah.11
Angina akselerasi dan angina istirahat merupakan dua pola angina tidak
stabil yang dapat berujung pada STEMI. Tindakan pembedahan nonkardiak juga
dapat mendahului STEMI. Stratifikasi risiko perioperatif dan tindakan
pencegahan dapat membatasi STEMI dan kematian terkait jantung. Penurunan
perfusi miokard akibat hipotensi (misalnya syok hemoragik atau septik) dan
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang disebabkan oleh stenosis aorta,
demam, takikardia, dan agitasi juga dapat berkontribusi pada nekrosis miokard.11
Faktor lain yang dilaporkan mempengaruhi STEMI adalah infeksi
pernafasan, hipoksemia yang disebabkan oleh faktor apapun, emboli paru,

3
hipoglikemia, pemberian sediaan ergot, penggunaan kokain, dan obat-obatan
simpatomimetik, serum sickness, alergi, dan jarang, sengatan tawon.11
Pasien dengan angina Prinzmetal dapat mengalami STEMI di wilayah arteri
koroner yang mengalami spasme.11 Infark miokard dinding inferior disebabkan
oleh iskemia dan infark ke regio inferior jantung. Pada 80% pasien, dinding
inferior jantung disuplai oleh arteri koroner kanan melalui arteri descending
posterior, sedangkan pada 20% pasien lainnya dari arteri sirkumfleksa.6

2.1.3. Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi.
Terbentuklah trombus kaya trombosit (white trombus). Trombus akan menyumbat
pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial.12–14

Gambar 1. Penyebab pembentukkan trombus koroner

Pelepasan zat vasoaktif juga menyebabkan vasokonstriksi sehingga


memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner

4
menyebabkan iskemia miokardium.15 Pasokan oksigen yang berhenti selama
kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark
miokard). Disisi lain, sebagian pasien SKA tidak mengalami rupture plak seperti
di atas.12,13
Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari
arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria,
tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau
restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik,
seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipertensi, takikardia, dapat menjadi
pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak
aterosklerosis.12,13

Gambar 2. Mekanisme perlindungan endogen terhadap trombosis dan oklusi


pembuluh darah11

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu faktor risiko
SKA adalah dislipidemia yaitu gangguan metabolisme lipid berupa peningkatan

5
kadar kolesterol total, trigliserida (TG), low density lipoprotein (LDL), dan
penurunan kadar high density lipoprotein (HDL). Apabila dislipidemia tidak
segera diatasi, maka dapat terjadi berbagai macam komplikasi, antara lain
atherosklerosis, penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular seperti stroke,
kelainan pembuluh darah lainya, dan pankreatitis akut.11–13
Dislipidemia disebabkan oleh terganggunya metabolisme lipid akibat
interaksi faktor genetik dan lingkungan. Walau terdapat bukti hubungan antara
kadar kolesterol total dengan kejadian kardiovaskular akut, hubungan ini dapat
menyebabkan kesalahan interpretasi ditingkat individu seperti pada wanita yang
sering mempunyai konsentrasi kolesterol HDL yang tinggi. Kejadian serupa juga
dapat ditemukan pada subjek dengan DM atau sindrom metabolik dimana
konsentrasi HDL sering ditemukan rendah.12,13
Penilaian resiko hendaknya mengikutsertakan analisis berdasarkan
konsentrasi HDL dan LDL. Terdapat bukti kuat adanya hubungan antara
kolesterol LDL dengan kejadian kardiovaskular akut berdasarkan luaran klinis.
Sehingga LDL merupakan target utama dalam tatalaksana dislipidemia. Besarnya
reduksi risiko kardiovaskular sesuai dengan penurunan kolesterol LDL.12,13
Setiap penurunan 1 mmo/L (40mg/dL) kolesterol LDL berhubungan dengan
reduksi 22% mortalitas dan morbiditas kardiovaskular. Kolesterol HDL dapat
memprediksi kejadian kardiovaskular bahkan pada pasien yang telah diterapi
dengan statin namun hubungan peningkatan konsentrasi kolesterol HDL dengan
proteksi kardiovaskular tidak meyakinkan karena, bila target kolesterol LDL
sudah tercapai, peningkatan kolesterol HDL tidak menurunkan resiko
kardiovaskular.12,13
Peran peningkatan Trigliserida sebagai prediktor penyakit KV masih
menjadi perdebatan. Hubungan antara Trigliserida puasa dengan risiko KV yang
didapat berdasarkan analisis univariat melemah setelah dilakukan penyesuaian
terhadap faktor lain terutama HDL. Konsentrasi Trigliserida yang tinggi disertai
dengan konsentrasi HDL rendah dan konsentrasi small dense LDL yang tinggi
sehingga diperkirakan pengaruh hipertrigliseridemia terhadap risiko KV secara

6
tidak langsung disebabkan oleh konsentrasi kolesterol HDL rendah dan
konsentrasi small dense LDL tinggi.12,13

2.1.4. Penegakkan Diagnosis


Anamnesis didapatkan keluhan nyeri dada tipikal angina, yaitu nyeri yang
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium, keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit).1,16 Keluhan nyeri dada pada
pasien terjadi karena oklusi lumen arteri koroner yang mendadak sehingga
mengganggu aliran darah ke distal dan menyebabkan infark pada miokard.17

Gambar 3. Ilustrasi penumpukan plak pada SKA7

Sindrom Koroner Akut menunjukkan gejala dari iskemik miokard akut.


Akut iskemik umumnya disebabkan oleh karena rupture dari plak aterosklerosis
yang retak, mengalami erosi, atau kombinasi dari thrombosis intrakoroner. Hal ini
berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang

7
menutupi plak tersebut yang berujung pada peningkatan risiko kematian atau
nekrosis otot jantung.11
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus
ini akan menyumbat pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial;
atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal.
Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi
sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.17
Penurunan aliran darah koroner dapat menyebabkan iskemia miokardium.
Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit akan menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Infark miokard tidak selalu
disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang
disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan
nekrosis jaringan otot jantung (miokard).1,17
Penyakit jantung koroner dapat berujung pada iskemia miokard, infark
miokard, gagal jantung maupun kematian mendadak. Ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan suplai oksigen otot jantung menyebabkan iskemia miokard.
Peningkatan kebutuhan oksigen dapat terjadi oleh karena peningkatan denyut
jantung atau fenomena fisiologis lain seperti peningkatan kontraksi ventrikel kiri,
tekanan dinding sistolik, kadar katekolamin, ataupun metabolisme miokard.18,19
Iskemia juga dapat mengganggu kontraktilitas miokardium karena proses
hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling
ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA
tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA
karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal).7,11
Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan
(IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis,
hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang
telah mempunyai plak aterosklerosis.20

8
Nyeri dada yang terjadi pada pasien dengan infark miokard serupa dengan
nyeri angina tetapi lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya
hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin. Pada fase awal infark
miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit meningkat. Pulsasi arteri
karotis melemah karena penurunan stroke volume yang dipompa jantung.5
Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi
menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan
darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu
beberapa minggu, tekanan darah kembali normal. Pemeriksaan ausklutasi
prekordium jantung dapat ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya
juga sulit dipalpasi. Infark daerah anterior akan menyebabkan pulsasi sistolik
abnormal terdengar akibat diskinesis otot jantung.5
Temuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara
jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi
ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar suara friction
rub perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural tipe STEMI. 17
Pemeriksaan fisik jantung pada pasien ini ditemukan batas jantung dalam batas
normal, suara jantung 1 dan 2 reguller, tidak ditemukan mumur ataupun gallop.5

Gambar 4. EKG: STEMI Inferior21

Pemeriksaan EKG awal dan serial merupakan bagian penting dari evaluasi
STEMI. Sadapan EKG II, III, dan aVF berkorelasi dengan dinding inferior

9
jantung. Peninggian segmen ST pada sadapan tersebut menunjukkan STEMI
dinding inferior. Depresi ST timbal balik sering terlihat pada sadapan aVL.
Hampir setengah dari infark dinding inferior berhubungan dengan MI ventrikel
kanan.21

Gambar 5. Takikardia ventrikel iskemik pada pasien dengan infark miokard


inferior lama21

Penambahan sadapan EKG sisi kanan harus digunakan untuk memeriksa


ventrikel kanan. EKG sisi kanan dilakukan dengan membalik sadapan prekordial
ke sisi kanan dada sebagai bayangan cermin dari sadapan prekordial tradisional.
Lead V4R sangat berguna untuk mendeteksi infark sisi kanan. Jika ada bukti
peningkatan ST MI, maka laboratorium kateterisasi harus diaktifkan. Jika tidak
ada peningkatan ST, maka kadar troponin harus diikuti.21
Pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan biomarker jantung untuk
melihat peningkatan tropinin dan CK.5,22 Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau
troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk

10
diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.5

Gambar 6. Temuan CK dan troponik paska gejala angina

Peningkatan marka jantung menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun


tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut
(penyebab koroner/nonkoroner). Jika marka jantung secara point of care testing
menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium
sentral. Pengukuran saat masuk ke RS dengan cut-off cTnI 0,1 μg/L untuk
diagnosis SKA. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.
Tujuan pemeriksaan laboratorium adalah untuk membuat diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.5

2.1.5. Prinsip Tatalaksana SKA


Tujuan pengobatan pada pasien sindrom koroner akut adalah untuk
mengontrol simtom dan mencegah progresifitas dari ACS atau setidaknya
mengurangi tingkat kerusakan miokard. Bukti peningkatan ST pada EKG
mengharuskan pasien dikirim untuk menjalani angiografi jantung darurat ke lab
kateterisasi dengan target waktu buka pintu-ke-pembuluh di bawah 90 menit.

11
Trombolisis harus dipertimbangkan, tergantung pada kemampuan fasilitas atau
antisipasi waktu pengangkutan yang lama ke laboratorium kateterisasi intervensi.5
Bukti infark ventrikel kanan menandakan bahwa pasien tidak boleh
menggunakan nitrat dan berikan volume yang meamdai untuk memastikan
preload yang adekuat. Ventrikel kanan mengandung lebih sedikit miokardium
daripada kiri dan bergantung pada preload yang memadai untuk memastikan
fungsi jantung yang adekuat. Jika ada kerusakan pada ventrikel kanan, reduksi
preload dari nitrat dapat menyebabkan hipotensi yang signifikan. Jika ini terjadi,
diperlukan resusitasi dengan kristaloid intravena dan kemungkinan vasopresor.5
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan
dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk
jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan.23
Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti
risiko perdarahan berlebih. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang
tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg,
dilanjutkan 75 mg setiap hari.5,23
Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan
bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor
ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna
atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor
risiko seperti infeksi H. pylori, usia >65 tahun, serta konsumsi bersama dengan
antikoagulan atau steroid.5

Tabel 1. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi SKA


Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis
pemeliharaan 75-100 mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis
pemeliharaan 2x90 mg/hari
Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis
pemeliharaan 75 mg/hari

12
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang
mendapatkan terapi antiplatelet. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko
perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko
yang paling baik.5
Dosis fundaparinuks yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara
subkutan. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks,
penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka
yang mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP.
Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.5
Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak
tersedia. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi
perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit. Crossover
heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan pada pasien dengan SKA.5

Tabel 2. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA24


Antikoagulan Dosis
Fondaparinuks 2,5 mg subkutan
Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari
Heparin tidak terfraksi Bolus i.v. 60 U/g, dosis
maksimal 4000 U.
Infus i.v. 12 U/kg selama
24-48 jam dengan dosis maksimal 1000 U/jam
target aPTT 11/2-2x control

Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel harus


dilakukan dengan hati-hati karena dapat meningkatkan risiko perdarahan.
Penderita dengan usia yang lebih tua atau yang perdarahan risiko tinggi harus
mendapatkan memiliki target INR 2-2,5 jika ingin memberikan antikoagulan
diberikan bersama aspirin dan clopidogrel.5,24

13
Statin harus diberikan tanpa melihat kadar awal kolesterol LDL dan tanpa
mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A
reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita ACS, termasuk mereka
yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat kontra indikasi.
Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit
dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dL.
Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai.5,24
Statin adalah obat yang aman dan efektif untuk mengurangi kadar LDL-C,
dan efektifitasnya dalam pencegahan primer dan sekunder PJK juga telah banyak
dibuktikan. Efek pleiotropiknya meliputi perbaikan disfungsi endotel yang sangat
banyak dan dapat berkontribusi pada efek menguntungkan yang spektakuler
dalam mengurangi risiko PJK. Mereka memiliki efek yang melengkapi fibrat,
tetapi kedua obat tersebut harus dikombinasikan dengan hati-hati karena bahaya
miopati.25,26

Tabel 3. Skor risiko perdarahan CRUSADE


Prediktor Skor Prediktor Skor
Hematokrit Klirens kreatinin, mL/menit
<31 9 ≤15 39
31-33,9 7 >15-30 35
34-36,9 3 >30-60 28
37-39.9 2 >60-90 17
≥40 0 >90-120 7
>120 0
Laju denyut jantung (kali per menit) Tekanan darah sistolik, mmHg
≤70 0 ≤90 10
71-80 1 91-100 8
81-90 3 101-120 5
91-100 6 121-180 1
101-110 8 181-200 3
111-120 10 ≥200 5
≥121 11
Riwayat penyakit vaskular sebelumnya Tanda gagal jantung saat datang
Tidak 0 Tidak 0
Ya 6 Ya 7
Diabetes Jenis kelamin
Tidak 0 Laki-laki 0
Ya 6 Perempuan 8
Skor CRUSADE Tingkat risiko Risiko perdarahan
1-20 Sangat rendah 3,1%
21-30 Rendah 5,5%
31-40 Moderat 8,6%
41-50 Tinggi 11,9%
>50 Sangat tinggi 19,5%

14
Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTE-ASC,
sehingga segala upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa
mungkin. Variabel yang dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor
selama perawatan dirangkum dalam CRUSADE bleeding risk score, antara lain
kadar hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda gagal
jantung, penyakit vaskular sebelumnya, adanya diabetes, dan tekanan darah
sistolik. Skor CRUSADE tidak menyertakan usia sebagai prediktor, namun tetap
berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE yang tinggi
dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.5

Gambar 7. Grafik skor perdarahan CRUSADE

2.2. Terapi Trombolitik


2.2.1. Prinsip Kerja
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempattempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu
yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam
sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer
tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak
medis pertama.5

15
Pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan
infark yang besar dan risiko perdarahan rendah dapat dipertimbangkan untuk
diberi fibrinolisis bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon
lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. Agen
yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase).5

Tabel 4. Regimen fibrinolitik untuk infark miokard akut5


Dosis awal Koterapi Indikasi kontra
antitrombin spesifik
Streptokinase 1,5 juta U dalam Heparin i.v Sebelum Sk atau
(Sk) 100 mL Dextrose selama 24-48 jam anistreplase
5% atau larutan
saline 0,9%
dalam waktu 30-
60 menit
Alteplase (tPA) Bolus 15 mg Heparin i.v.
intravena 0,75 selama 24-48 jam
mg/Kg selama 30
menit, kemudian
0,5 mg/KgBB
selama 60 menit.
Dosis total tidak
lebih dari 100 mg

2.2.2. Kombinasi Obat


Aspirin oral atau intravena harus diberikan dan clopidogrel diindikasikan
diberikan sebagai tambahan untuk aspirin. Antikoagulan direkomendasikan pada
pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila
dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan yang
digunakan dapat berupa:5
1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin
tidak terfraksi).
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat
badan dan infus selama 3 hari.

16
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks
intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam
kemudian.

2.2.3. Pemindahan Pasien


Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP
setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien. IKP “rescue”diindikasikan
segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50%
setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada. IKP emergency diindikasikan
untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis
yang berhasil.5
Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali. Angiografi
emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi diindikasikan untuk
gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis inisial. Jika
memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada
arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil.
Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-
24 jam.5

2.2.4. Langkah Pemberian Fibrinolisis pada Pasien STEMI


2.2.4.1. Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
1) Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam
dengan tanda dan gejala iskemik);
2) Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis; dan
3) Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang
mampu melakukan IKP (<120 menit).5

Tabel 5. Indikasi kontra terapi fibrinolitik5


Indikasi Kontra Absolut Indikasi Kontra Relatif
Stroke hemoragik atau stroke yang Transient ischaemic attack (TIA)
penyebabnya belum diketahui, dengan dalam 6 bulan terakhir
awitan kapanpun
Stroke iskemik 6 bulan terakhir Pemakaian antikoagulan oral

17
Kerusakan sistem saraf sentral dan Kehamilan atau dalam 1 minggu post-
neoplasma partum
Trauma operasi/trauma kepala yang Resusitasi traumatik
berat dalam 3 minggu terakhir
Penyakit perdarahan Hipertensi refrakter (tekanan darah
sistolik 1>180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut infeksi
endokarditis
Ulkus peptikum yang aktif

2.2.4.2. Langkah 2: Tentukan Pilihan


Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi invasif
untuk kasus tersebut. Pasien yang datang <3 jam sejak serangan dan IKP dapat
dilakukan tanpa penundaan, maka tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.
Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik:
1) Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat
halangan untuk strategi invasive;
2) Strategi invasif tidak dapat dilakukan, karena:
a. Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai;
b. Kesulitan mendapatkan akses vascular; dan
c. Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang
mampu melakukan IKP dalam waktu <120 menit.
3) Halangan untuk strategi invasive:
a. Transportasi bermasalah;
b. Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60
menit; dan
c. Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-
balloon lebih dari 90 menit.5

Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:


1) Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan:
a. Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-
balloon kurang dari 90 menit; dan

18
b. Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1
jam.
2) Risiko tinggi STEMI:
a. Syok kardiogenik;
b. Kelas Killip ≥ 3;
3) Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko
perdarahan dan perdarahan intracranial;
4) Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala; dan
5) Diagnosis STEMI masih ragu-ragu.5

2.2.5. Koterapi Antikogulan


1) Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya
diberikan terapi antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik
selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non
UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced
thrombocytopenia dengan terapi UFH berkepanjangan;
2) Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan
terapi antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga
maksimum 8 hari pemberian; dan,
3) Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH atau
fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan pasien yang
mendapat terapi fibrinolisis.

2.3. Prognosis
Kriteria keberhasilan reperfusi, antara lain:7
1) Hilangnya nyeri dada dalam 90 menit setelah memulai infus SK;
2) Resolusi elevasi segmen ST lebih dari 50% setelah memulai infus SK
pada lead dengan elevasi maksimum pada EKG awal;
3) Kadar puncak troponin I jantung yang lebih awal dan lebih tinggi
dalam 24 jam pertama setelah timbulnya gejala;

19
4) Munculnya aritmia reperfusi mis. Irama idioventrikuler dipercepat
(AIVR).
Infark inferior pada umumnya memiliki prognosis yang baik, ada beberapa
faktor yang dapat meningkatkan mortalitas. Sekitar 40% dari infark dinding
inferior juga melibatkan ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan sangat tergantung
pada beban awal, dan nitrat dapat memicu penurunan tekanan darah. Penambahan
sadapan EKG sisi kanan, terutama sadapan V4r akan membantu diagnosis
tersebut.6
Pengobatan yang tidak tepat akan meningkatkan risiko syok kardiogenik
akibat lebih banyak kematian otot jantung. Arteri koroner kanan mengalir ke
nodus sinoatrial, blok jantung dan bradikardia dapat terjadi. Blok jantung derajat
tinggi didefinisikan sebagai blok derajat kedua atau ketiga yang ditemukan pada
19% pasien dengan MI inferior akut. Jumlah sirkulasi kolateral ke AV
memengaruhi laju penyumbatan jantung.6
Kondisi hipotensi sering ditemukan pada infark miokard akut yang
melibatkan dinding inferior, posterior, dan ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan
sering ditandai dengan gejala hipotensi, meningkatnya tekanan vena jugularis, dan
syok. Secara klinis, infark ventrikel kanan sering terjadi pada STEMI inferior;
infark ventrikel kanan terbatas (isolated) dan jarang terjadi.17
Sama halnya dengan bradikardi, penyebab hipotensi pada kasus infark
miokard yang melibatkan dinding inferior, posterior, dan ventrikel kanan adalah
oklusi right coronary artery (RCA). Beberapa kondisi lain yang berperan
mencetuskan hipotensi pada pasien STEMI inferoposterior antara lain:17
1) Meningkatnya tonus vagal
2) Keterlibatan ventrikel kanan, terjadi >40% kasus STEMI
inferoposterior: kondisi ini menyebabkan berkurangnya kekuatan
pompa ventikel kanan.
3) Keterlibatan subklinis atrium: kondisi ini mencetuskan sekresi atrial
natriuretic peptide (ANP), yang bekerja sebagai hormon pembuang
cairan.

20
4) Kehilangan cairan melalui keringat dingin berlebihan dan muntah
dapat mencetuskan hipotensi hipovolemik.
Tatalaksana pada kondisi seperti di atas, antara lain: koreksi hipovolemia
dengan cairan isotonik; fluid challenge pada infark ventrikel kanan akan
meningkatkan preload dan memperbaiki gejala hipotensi; pemberian obat-obatan
vasopressor setelah melakukan fluid challeng; pemasangan temporary pacing, bila
tekanan darah gagal naik akibat bradikardi berat; dan tindakan revaskularisasi
segera dengan IKP.17

21
BAB 3
PENUTUP

ST-elevation myocardial infarction (STEMI) adalah sindrom klinis yang


didefinisikan oleh gejala khas iskemia miokard yang berhubungan dengan elevasi
ST elektrikal tetap dan pelepasan biomarker nekrosis miokard lainnya. Hampir
sepertiga dari pasien dengan STEMI memiliki faktor pencetus atau gejala
prodromal yang dapat diidentifikasi. Infark miokard dinding inferior disebabkan
oleh iskemia dan infark ke regio inferior jantung. Pada 80% pasien, dinding
inferior jantung disuplai oleh arteri koroner kanan melalui arteri descending
posterior, sedangkan pada 20% pasien lainnya dari arteri sirkumfleksa.
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempattempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu
yang disarankan. Infark inferior pada umumnya memiliki prognosis yang baik,
ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan mortalitas. Sekitar 40% dari infark
dinding inferior juga melibatkan ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan sangat
tergantung pada beban awal, dan nitrat dapat memicu penurunan tekanan darah.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Loscalzo J. Harrison’s Cardiovascular Medicine. Philadelphia: McGraw-


Hill Education; 2008.
2. Wong ND. Epidemiological studies of CHD and the evolution of
preventive cardiology. Nat Rev Cardiol. 2014;11(5):276–89.
3. Kaplan P. Jaundice. In: Fauci F; Kasper J, editor. Harrison’s Principle of
Internal Medicine. 18 ed. Philadelphia: The McGraw-Hill Companies;
2012. hal. 324–9.
4. World Health Organization (WHO). A Wealth of information on global
public health. World Heal Organiozation. 2014;
5. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2018.
6. Rosa SA, Timoteo AT, Ferreira L, et al. Complete atrioventricular block in
acute coronary syndrome: prevalence, characterisation and implication on
outcome. Eur Hear J Acute Cardiovasc Care. 2018;7(3):218–23.
7. Zipes DP; Libby P; Bonow RO; et al. Braunwald’s Heart Disease. 8 ed.
Philadelphia: Elsevier; 2019.
8. Aydin F, Yildirim OT, Dagtekin E, et al. Acute Inferior Myocardial
Infarction Caused by Lightning Strike. Preshop Disaster Med.
2018;33(6):658–9.
9. Jneid H, Addison D, Bhatt DL, et al. 2017 AHA/ACC Clinical
Performance and Quality Measures for Adults with ST-Elevation and Non-
ST-Elevation Myocardial Infarction. Am Hear Assoc. 2017;
10. Camm AJ, Luscher TF, Serruys PW. The ESC Textbook of Cardiovascular
Medicine. London: Blackwell Publishing; 2006.
11. Wilder J, Sabatine MS, Lilly LS. Acute Coronary Syndromes. In: Lilly LS,
editor. Pathophysiology of Heart Disease. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2016. hal. 243–9.
12. Hass EE, Yang EH, Gersh BJ, et al. ST-Segment Elevation Myocardial
Infarction. In: Fuster V, Walsh RS, Hunt SA, et al, editor. Hurst’s The
Heart. 13 ed. Philadelphia: McGraw-Hill Medical; 2011. hal. 1354–86.
13. Yazdani SK, Ladich E, Virmani R. Pathology of Myocardial Ischemia,
Infarction, Reperfusion, and Sudden Death. In: Fuster V, Wals SR,
Harrington RA, et al, editor. Hurst’s The Heart. 13 ed. Philadelphia:

23
McGraw-Hill Medical; 2011. hal. 1296–310.
14. Price SA LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC; 2016.
15. Price SA; Lorraine MW. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC; 2016.
16. American Heart Association/American Cardiology Collage. AHA/ACC
guideline for management of pastients with non-ST elevation ACS. Heart.
2014;
17. Kasper; Denis L; et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 20 ed.
New York: McGraw-Hill Education; 2018.
18. Mahmood S. Integrating Cardiology for Nuclear Medicine Physicians.
Berlin Heidelberg: Springer-Verlag; 2009.
19. Tortora GJ, Derrickson BN. Principles of Anatomy and Physiology.
Philadelphia: Wiley-Blackwell; 2012.
20. Redwood S; Curzen N; Banning T; et al. Oxford Textbook of
Interventional Cardiology. Oxford: Elsevier; 2018.
21. Albulushi A, Giannopoulos A, Kafkas N, et al. Acute right ventricular
myocardial infarction. Expert Rev Cardiovasc Ther. 2018;16(7):455–64.
22. Aru W; Idrus A; Marcelus S; et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 ed.
Jakarta: Interna; 2013.
23. American Heart Association. Guideline Update on Duration of Dual
Antiplatelet Therapy in CAD Patients. Heart. 2016;
24. Kabo P. Bagaimana Menggunakan Obat-Obatan Kardiovaskular Secara
Rasional. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012.
25. Davignon J. Advances in drug treatment of dyslipidemia: focus on
atorvastatin. Can J Cardiol. 1998;14:28–38.
26. Bruntol LL; Dandan RH; Knollmann BC. Goodman & Gilman’s: The
Pharmacological Basis of Therapeutics. Philadelphia: Mc Graw Hill
Education; 2018.

24

Anda mungkin juga menyukai