DAFTAR ISI............................................................................................................i
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
2.1. STEMI...........................................................................................................3
2.1.1. Definisi...................................................................................................3
2.1.2. Etiologi dan Faktor Risiko......................................................................3
2.1.3. Patofisiologi............................................................................................4
2.1.4. Penegakkan Diagnosis............................................................................7
2.1.5. Prinsip Tatalaksana SKA......................................................................11
2.2. Terapi Trombolitik......................................................................................15
2.2.1. Prinsip Kerja.........................................................................................15
2.2.2. Kombinasi Obat....................................................................................16
2.2.3. Pemindahan Pasien...............................................................................17
2.2.4. Langkah Pemberian Fibrinolisis pada Pasien STEMI..........................17
2.2.5. Koterapi Antikogulan...........................................................................19
2.3. Prognosis.....................................................................................................19
BAB 3 PENUTUP.................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23
i
BAB 1
PENDAHULUAN
1
berhubungan dengan keterlibatan ventrikel kanan yang menandakan hasil yang
lebih buruk.6
Sindrom Koroner Akut adalah ketidakmampuan jantung akut akibat suplai
darah yang mengandung oksigen ke jantung tidak adekuat. Keadaan tersebut
dapat menyebabkan penurunan fungsi jantung. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan
marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi angina pektoris tidak
stabil, infark miokard tanpa elevasi segmen ST atau Non ST-segment Elevation-
Acute Coronary Syndrome (NSTE-ACS) dan infark miokard dengan elevasi
segmen ST atau ST-segment Elevation-Acute Coronary Syndrome (STE-ACS).7
Infark miokard dinding inferior disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang
mengakibatkan penurunan perfusi ke daerah miokardium tersebut. Hal ini
menyebabkan iskemia miokard yang diikuti oleh infark. Miokardium inferior pada
kebanyakan orang disuplai oleh arteri koroner kanan. Pada sekitar 6-10% dari
populasi, karena dominasi kiri, sirkumfleksa kiri akan mensuplai arteri koroner
descenden posterior.8
Sekitar 40% dari semua MI melibatkan dinding inferior. Infark mikard
inferior memiliki prognosis yang lebih baik daripada di daerah lain, seperti
dinding anterior jantung. Angka kematian dari MI dinding inferior kurang dari
10%. Namun, beberapa faktor penyulit yang meningkatkan mortalitas, termasuk
infark ventrikel kanan, hipotensi, blok jantung bradikardia, dan syok kardiogenik.8
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. STEMI
2.1.1. Definisi
ST-elevation myocardial infarction (STEMI) adalah sindrom klinis yang
didefinisikan oleh gejala khas iskemia miokard yang berhubungan dengan elevasi
ST elektrikal tetap dan pelepasan biomarker nekrosis miokard lainnya. STE
adalah satu-satunya penanda terbaik yang ada untuk mendeteksi oklusi arteri
koroner lengkap akut tanpa sirkulasi kolateral, yang mengindikasikan daerah yang
signifikan dari miokardium yang cedera pada risiko infarksi ireversibel yang akan
segera terjadi, memerlukan terapi reperfusi segera.5,9,10
3
hipoglikemia, pemberian sediaan ergot, penggunaan kokain, dan obat-obatan
simpatomimetik, serum sickness, alergi, dan jarang, sengatan tawon.11
Pasien dengan angina Prinzmetal dapat mengalami STEMI di wilayah arteri
koroner yang mengalami spasme.11 Infark miokard dinding inferior disebabkan
oleh iskemia dan infark ke regio inferior jantung. Pada 80% pasien, dinding
inferior jantung disuplai oleh arteri koroner kanan melalui arteri descending
posterior, sedangkan pada 20% pasien lainnya dari arteri sirkumfleksa.6
2.1.3. Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi.
Terbentuklah trombus kaya trombosit (white trombus). Trombus akan menyumbat
pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial.12–14
4
menyebabkan iskemia miokardium.15 Pasokan oksigen yang berhenti selama
kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark
miokard). Disisi lain, sebagian pasien SKA tidak mengalami rupture plak seperti
di atas.12,13
Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari
arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria,
tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau
restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik,
seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipertensi, takikardia, dapat menjadi
pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak
aterosklerosis.12,13
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu faktor risiko
SKA adalah dislipidemia yaitu gangguan metabolisme lipid berupa peningkatan
5
kadar kolesterol total, trigliserida (TG), low density lipoprotein (LDL), dan
penurunan kadar high density lipoprotein (HDL). Apabila dislipidemia tidak
segera diatasi, maka dapat terjadi berbagai macam komplikasi, antara lain
atherosklerosis, penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular seperti stroke,
kelainan pembuluh darah lainya, dan pankreatitis akut.11–13
Dislipidemia disebabkan oleh terganggunya metabolisme lipid akibat
interaksi faktor genetik dan lingkungan. Walau terdapat bukti hubungan antara
kadar kolesterol total dengan kejadian kardiovaskular akut, hubungan ini dapat
menyebabkan kesalahan interpretasi ditingkat individu seperti pada wanita yang
sering mempunyai konsentrasi kolesterol HDL yang tinggi. Kejadian serupa juga
dapat ditemukan pada subjek dengan DM atau sindrom metabolik dimana
konsentrasi HDL sering ditemukan rendah.12,13
Penilaian resiko hendaknya mengikutsertakan analisis berdasarkan
konsentrasi HDL dan LDL. Terdapat bukti kuat adanya hubungan antara
kolesterol LDL dengan kejadian kardiovaskular akut berdasarkan luaran klinis.
Sehingga LDL merupakan target utama dalam tatalaksana dislipidemia. Besarnya
reduksi risiko kardiovaskular sesuai dengan penurunan kolesterol LDL.12,13
Setiap penurunan 1 mmo/L (40mg/dL) kolesterol LDL berhubungan dengan
reduksi 22% mortalitas dan morbiditas kardiovaskular. Kolesterol HDL dapat
memprediksi kejadian kardiovaskular bahkan pada pasien yang telah diterapi
dengan statin namun hubungan peningkatan konsentrasi kolesterol HDL dengan
proteksi kardiovaskular tidak meyakinkan karena, bila target kolesterol LDL
sudah tercapai, peningkatan kolesterol HDL tidak menurunkan resiko
kardiovaskular.12,13
Peran peningkatan Trigliserida sebagai prediktor penyakit KV masih
menjadi perdebatan. Hubungan antara Trigliserida puasa dengan risiko KV yang
didapat berdasarkan analisis univariat melemah setelah dilakukan penyesuaian
terhadap faktor lain terutama HDL. Konsentrasi Trigliserida yang tinggi disertai
dengan konsentrasi HDL rendah dan konsentrasi small dense LDL yang tinggi
sehingga diperkirakan pengaruh hipertrigliseridemia terhadap risiko KV secara
6
tidak langsung disebabkan oleh konsentrasi kolesterol HDL rendah dan
konsentrasi small dense LDL tinggi.12,13
7
menutupi plak tersebut yang berujung pada peningkatan risiko kematian atau
nekrosis otot jantung.11
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus
ini akan menyumbat pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial;
atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal.
Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi
sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.17
Penurunan aliran darah koroner dapat menyebabkan iskemia miokardium.
Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit akan menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Infark miokard tidak selalu
disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang
disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan
nekrosis jaringan otot jantung (miokard).1,17
Penyakit jantung koroner dapat berujung pada iskemia miokard, infark
miokard, gagal jantung maupun kematian mendadak. Ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan suplai oksigen otot jantung menyebabkan iskemia miokard.
Peningkatan kebutuhan oksigen dapat terjadi oleh karena peningkatan denyut
jantung atau fenomena fisiologis lain seperti peningkatan kontraksi ventrikel kiri,
tekanan dinding sistolik, kadar katekolamin, ataupun metabolisme miokard.18,19
Iskemia juga dapat mengganggu kontraktilitas miokardium karena proses
hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling
ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA
tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA
karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal).7,11
Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan
(IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis,
hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang
telah mempunyai plak aterosklerosis.20
8
Nyeri dada yang terjadi pada pasien dengan infark miokard serupa dengan
nyeri angina tetapi lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya
hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin. Pada fase awal infark
miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit meningkat. Pulsasi arteri
karotis melemah karena penurunan stroke volume yang dipompa jantung.5
Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi
menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan
darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu
beberapa minggu, tekanan darah kembali normal. Pemeriksaan ausklutasi
prekordium jantung dapat ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya
juga sulit dipalpasi. Infark daerah anterior akan menyebabkan pulsasi sistolik
abnormal terdengar akibat diskinesis otot jantung.5
Temuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara
jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi
ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar suara friction
rub perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural tipe STEMI. 17
Pemeriksaan fisik jantung pada pasien ini ditemukan batas jantung dalam batas
normal, suara jantung 1 dan 2 reguller, tidak ditemukan mumur ataupun gallop.5
Pemeriksaan EKG awal dan serial merupakan bagian penting dari evaluasi
STEMI. Sadapan EKG II, III, dan aVF berkorelasi dengan dinding inferior
9
jantung. Peninggian segmen ST pada sadapan tersebut menunjukkan STEMI
dinding inferior. Depresi ST timbal balik sering terlihat pada sadapan aVL.
Hampir setengah dari infark dinding inferior berhubungan dengan MI ventrikel
kanan.21
10
diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.5
11
Trombolisis harus dipertimbangkan, tergantung pada kemampuan fasilitas atau
antisipasi waktu pengangkutan yang lama ke laboratorium kateterisasi intervensi.5
Bukti infark ventrikel kanan menandakan bahwa pasien tidak boleh
menggunakan nitrat dan berikan volume yang meamdai untuk memastikan
preload yang adekuat. Ventrikel kanan mengandung lebih sedikit miokardium
daripada kiri dan bergantung pada preload yang memadai untuk memastikan
fungsi jantung yang adekuat. Jika ada kerusakan pada ventrikel kanan, reduksi
preload dari nitrat dapat menyebabkan hipotensi yang signifikan. Jika ini terjadi,
diperlukan resusitasi dengan kristaloid intravena dan kemungkinan vasopresor.5
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan
dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk
jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan.23
Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti
risiko perdarahan berlebih. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang
tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg,
dilanjutkan 75 mg setiap hari.5,23
Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan
bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor
ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna
atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor
risiko seperti infeksi H. pylori, usia >65 tahun, serta konsumsi bersama dengan
antikoagulan atau steroid.5
12
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang
mendapatkan terapi antiplatelet. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko
perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko
yang paling baik.5
Dosis fundaparinuks yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara
subkutan. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks,
penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka
yang mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP.
Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.5
Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak
tersedia. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi
perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit. Crossover
heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan pada pasien dengan SKA.5
13
Statin harus diberikan tanpa melihat kadar awal kolesterol LDL dan tanpa
mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A
reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita ACS, termasuk mereka
yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat kontra indikasi.
Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit
dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dL.
Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai.5,24
Statin adalah obat yang aman dan efektif untuk mengurangi kadar LDL-C,
dan efektifitasnya dalam pencegahan primer dan sekunder PJK juga telah banyak
dibuktikan. Efek pleiotropiknya meliputi perbaikan disfungsi endotel yang sangat
banyak dan dapat berkontribusi pada efek menguntungkan yang spektakuler
dalam mengurangi risiko PJK. Mereka memiliki efek yang melengkapi fibrat,
tetapi kedua obat tersebut harus dikombinasikan dengan hati-hati karena bahaya
miopati.25,26
14
Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTE-ASC,
sehingga segala upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa
mungkin. Variabel yang dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor
selama perawatan dirangkum dalam CRUSADE bleeding risk score, antara lain
kadar hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda gagal
jantung, penyakit vaskular sebelumnya, adanya diabetes, dan tekanan darah
sistolik. Skor CRUSADE tidak menyertakan usia sebagai prediktor, namun tetap
berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE yang tinggi
dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.5
15
Pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan
infark yang besar dan risiko perdarahan rendah dapat dipertimbangkan untuk
diberi fibrinolisis bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon
lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. Agen
yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase).5
16
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks
intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam
kemudian.
17
Kerusakan sistem saraf sentral dan Kehamilan atau dalam 1 minggu post-
neoplasma partum
Trauma operasi/trauma kepala yang Resusitasi traumatik
berat dalam 3 minggu terakhir
Penyakit perdarahan Hipertensi refrakter (tekanan darah
sistolik 1>180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut infeksi
endokarditis
Ulkus peptikum yang aktif
18
b. Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1
jam.
2) Risiko tinggi STEMI:
a. Syok kardiogenik;
b. Kelas Killip ≥ 3;
3) Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko
perdarahan dan perdarahan intracranial;
4) Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala; dan
5) Diagnosis STEMI masih ragu-ragu.5
2.3. Prognosis
Kriteria keberhasilan reperfusi, antara lain:7
1) Hilangnya nyeri dada dalam 90 menit setelah memulai infus SK;
2) Resolusi elevasi segmen ST lebih dari 50% setelah memulai infus SK
pada lead dengan elevasi maksimum pada EKG awal;
3) Kadar puncak troponin I jantung yang lebih awal dan lebih tinggi
dalam 24 jam pertama setelah timbulnya gejala;
19
4) Munculnya aritmia reperfusi mis. Irama idioventrikuler dipercepat
(AIVR).
Infark inferior pada umumnya memiliki prognosis yang baik, ada beberapa
faktor yang dapat meningkatkan mortalitas. Sekitar 40% dari infark dinding
inferior juga melibatkan ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan sangat tergantung
pada beban awal, dan nitrat dapat memicu penurunan tekanan darah. Penambahan
sadapan EKG sisi kanan, terutama sadapan V4r akan membantu diagnosis
tersebut.6
Pengobatan yang tidak tepat akan meningkatkan risiko syok kardiogenik
akibat lebih banyak kematian otot jantung. Arteri koroner kanan mengalir ke
nodus sinoatrial, blok jantung dan bradikardia dapat terjadi. Blok jantung derajat
tinggi didefinisikan sebagai blok derajat kedua atau ketiga yang ditemukan pada
19% pasien dengan MI inferior akut. Jumlah sirkulasi kolateral ke AV
memengaruhi laju penyumbatan jantung.6
Kondisi hipotensi sering ditemukan pada infark miokard akut yang
melibatkan dinding inferior, posterior, dan ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan
sering ditandai dengan gejala hipotensi, meningkatnya tekanan vena jugularis, dan
syok. Secara klinis, infark ventrikel kanan sering terjadi pada STEMI inferior;
infark ventrikel kanan terbatas (isolated) dan jarang terjadi.17
Sama halnya dengan bradikardi, penyebab hipotensi pada kasus infark
miokard yang melibatkan dinding inferior, posterior, dan ventrikel kanan adalah
oklusi right coronary artery (RCA). Beberapa kondisi lain yang berperan
mencetuskan hipotensi pada pasien STEMI inferoposterior antara lain:17
1) Meningkatnya tonus vagal
2) Keterlibatan ventrikel kanan, terjadi >40% kasus STEMI
inferoposterior: kondisi ini menyebabkan berkurangnya kekuatan
pompa ventikel kanan.
3) Keterlibatan subklinis atrium: kondisi ini mencetuskan sekresi atrial
natriuretic peptide (ANP), yang bekerja sebagai hormon pembuang
cairan.
20
4) Kehilangan cairan melalui keringat dingin berlebihan dan muntah
dapat mencetuskan hipotensi hipovolemik.
Tatalaksana pada kondisi seperti di atas, antara lain: koreksi hipovolemia
dengan cairan isotonik; fluid challenge pada infark ventrikel kanan akan
meningkatkan preload dan memperbaiki gejala hipotensi; pemberian obat-obatan
vasopressor setelah melakukan fluid challeng; pemasangan temporary pacing, bila
tekanan darah gagal naik akibat bradikardi berat; dan tindakan revaskularisasi
segera dengan IKP.17
21
BAB 3
PENUTUP
22
DAFTAR PUSTAKA
23
McGraw-Hill Medical; 2011. hal. 1296–310.
14. Price SA LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC; 2016.
15. Price SA; Lorraine MW. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC; 2016.
16. American Heart Association/American Cardiology Collage. AHA/ACC
guideline for management of pastients with non-ST elevation ACS. Heart.
2014;
17. Kasper; Denis L; et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 20 ed.
New York: McGraw-Hill Education; 2018.
18. Mahmood S. Integrating Cardiology for Nuclear Medicine Physicians.
Berlin Heidelberg: Springer-Verlag; 2009.
19. Tortora GJ, Derrickson BN. Principles of Anatomy and Physiology.
Philadelphia: Wiley-Blackwell; 2012.
20. Redwood S; Curzen N; Banning T; et al. Oxford Textbook of
Interventional Cardiology. Oxford: Elsevier; 2018.
21. Albulushi A, Giannopoulos A, Kafkas N, et al. Acute right ventricular
myocardial infarction. Expert Rev Cardiovasc Ther. 2018;16(7):455–64.
22. Aru W; Idrus A; Marcelus S; et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 ed.
Jakarta: Interna; 2013.
23. American Heart Association. Guideline Update on Duration of Dual
Antiplatelet Therapy in CAD Patients. Heart. 2016;
24. Kabo P. Bagaimana Menggunakan Obat-Obatan Kardiovaskular Secara
Rasional. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012.
25. Davignon J. Advances in drug treatment of dyslipidemia: focus on
atorvastatin. Can J Cardiol. 1998;14:28–38.
26. Bruntol LL; Dandan RH; Knollmann BC. Goodman & Gilman’s: The
Pharmacological Basis of Therapeutics. Philadelphia: Mc Graw Hill
Education; 2018.
24