Anda di halaman 1dari 47

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infark miokard, yang umumnya dikenal sebagai serangan jantung, merupakan
nekrosis ireversibel dari otot jantung sebagai akibat iskemik yang berkepanjangan.
Terjadi akibat tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri koroner,
yang kebanyakan diakibatkan ruptur plak dengan pembentukan trombus di pembuluh
darah koroner tersebut, sehingga mengakibatkan pengurangan suplai darah yang
dibutuhkan miokardium.
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering
di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari
separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit, sekitar 1 di antara 25
pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal tahun pertama setelah IMA.
Menurut WHO (2008), pada tahun 2002 penyakit infark miokard akut
merupakan penyebab utama kematian di dunia. Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%)
kematian terjadi akibat penyakit infark miokard akut di seluruh dunia. Di negara
berpenghasilan rendah angka kematian 2.470.000 (9,4%). Di Indonesia penyakit infark
miokard akut merupakan penyebab kematian pertama dengan angka mortalitas 220.000
(14%).
Menurut penelitian Direktorat Jenderal Yanmedik Indonesia pada tahun 2007,
jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah
sakit di Indonesia adalah 239.548 jiwa. Kasus terbanyak adalah penyakit jantung
iskemik, yaitu 110.183 kasus. Tertinggi terjadi pada infark miokard akut (13,49%) dan
kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya (13,37%).
1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Kardiologi &
Kedokteran Vaskuler RSUP Haji Adam Malik Medan
2. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis serta
pembaca, terutama mengenai STEMI dan HHD.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Acute Coronary Syndrome (ACS)
2.1.1. Definisi dan Etiologi

Sindrom Koroner Akut/Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah suatu istilah


atau terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau
kumpulan proses penyakit yang meliputi :
1. Angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina pectoris/UAP)
2. Infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST
(Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI)
3. Infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST
elevation myocardial infarction/STEMI).
Infark miokard akut (IMA) didefinisikan sebagai nekrosis miokard yang
disebabkan oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri koroner.
Sumbatan ini sebagian besar disebabkan oleh ruptur plak ateroma pada arteri koroner
yang kemudian diikuti oleh terjadinya trombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi dan
mikroembolisasi distal. Kadang-kadang sumbatan akut ini dapat pula disebabkan oleh
spasme arteri koroner, emboli atau vaskulitis.
Menurut EHJ, definisi dari Infark Miokard adalah terdeteksinya naik atau
turunnya nilai biomarker jantung (diutamakan troponin) dengan setidaknya satu nilai
berada diatas persentil 99 dari batas atas referensi dan setidaknya salah satu dari kriteria
berikut : tanda-tanda iskemia, perubahan segmen ST-T yang baru atau dianggap baru
atau Left Bundle Branch Block yang baru, terdapatnya gelombang Q patologis pada
EKG, adanya bukti pencitraan atas matinya miokardium ataupun abnormalitas gerakan
dinding jantung, maupun identifikasi adanya trombus intrakoroner dari angiografi
maupun autopsi.
Otot jantung diperdarahi oleh 2 pembuluh koroner utama, yaitu arteri koroner
kanan dan arteri koroner kiri yang merupakan percabangan langsung dari aorta. Arteri
koroner kiri bercabang menjadi arteri desendens anterior kiri dan arteri sirkumfleks kiri.
Arteri desendens anterior kiri berjalan pada sulkus interventrikuler sampai ke apeks
jantung, ia memperdarahi kedua ventrikel dan septum interventrikuler. Arteri
sirkumfleks kiri berjalan pada sulkus arterio-ventrikuler dan mengelilingi permukaan
posterior jantung, ia memperdarahi atrium kiri dan bagian inferior dari ventrikel kiri.
Arteri koroner kanan berjalan di dalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah. Ia
memperdarahi SA node, atrium kanan, ventrikel kanan dan septum interventrikuler.

Gambar 1. Anatomi Arteri Koroner Jantung


Bentuk Sindrom Koroner Akut merupakan hasil yang bergantung dari derajat
obstruksi arteri koroner dan berhubungan dengan iskemia. Oklusi trombus parsial
menyebabkan sindrom unstable angina pectoris

(UAP) dan infark miokard tanpa

elevasi segmen ST (NSTEMI). Jika trombus menyumbat arteri koroner secara komplit,
maka menyebabkan iskemik yang lebih parah dan nekrosis, dikenal sebagai infark
miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI).
Pada STEMI, terjadi penurunan aliran darah atau berhenti secara tiba-tiba karena
oklusi thrombus pada arteri koroner yang sudah mengalami arterosklerorsis. Pada
kebanyakan kasus, proses akut dimulai dengan ruptur atau fisur dari plak arterosklerosis
dimana thrombus mural timbul pada tempat ruptur dan menyebabkan oklusi arteri
koroner. Secara histologis, plak koroner yang lebih mudah ruptur adalah yang intinya
kaya dengan lipid dan yang mempunyai fibrous cap yang tipis. Pada kasus yang jarang,
STEMI dapat disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli
koroner, kelainan kongenital, spasme koroner, dan penyakit inflamasi sistemik.
Kerusakan miokard yang disebabkan oklusi arteri koroner bergantung pada
beberapa faktor, yaitu oklusi total atau sebagian pembuluh darah yang rusak, durasi

okulsi koroner, kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah koroner ke jaringan
yang terganggu, kebutuhan oksigen oleh miokard, keberadaan native factors dan
adekuat atau tidaknya perfusi miokard pada daerah infark setelah pulih. Faktor
persipitasi untuk STEMI adalah latihan fisik yang kuat, stress emosional, penyakit
medis atau bedah dan penyalahgunaan kokain atau pun narkoba lain seperti
amphetamine.
2.1.2

Faktor Risiko dan Klasifikasi


Faktor risiko infark miokard dapat dibagi kepada faktor risiko yang dapat diubah

dan tidak dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah antara lain :
Usia
Jenis kelamin
Riwayat Keluarga
Etnik Tertentu.
Faktor risiko yang dapat diubah antara lain :

Merokok
Hipertensi
Dislipidemia

Diabetes Mellitus
Obesitas
Stress

Infark miokard dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan klinis, antara
lain sebagai berikut:
1. Tipe 1 (Spontaneous myocardial infarction)
Infark miokard spontan berhubungan dengan rupturnya plak yang mengakibatkan
trombus intraluminal pada satu atau lebih arteri koroner. Ini akan mengakibatkan
turunnya aliran darah pada miokard atau terjadinya emboli platelet distal dengan
hasil akhir nekrosis miosit.
2. Tipe 2 (Myocardial infarction secondary to an ischaemic imbalance)
Pada keadaan injury, miokard menjadi nekrosis dimana terjadi ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard
3. Tipe 3 (Myocardial infarction resulting in death when biomarker values are
unavailable)
Kematian jantung dengan adanya gejala yang mendukung iskemi miokard,
perubahan EKG tetapi sampel darah belum dapat diperoleh, bahkan sebelum muncul
biomarker jantung dalam darah.
4. Tipe 4.
a. Tipe 4a (Infark miokard yang berkaitan dengan percutaneous coronary
intervention (PCI))

Infark miokard yang berhubungan dengan PCI didefinisikan sebagai kenaikan


cTn > 5x persentil atau kenaikan nilai cTn> 20%.
b. Tipe 4b (infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis)
Infark miokard yang berhubungan dengan thrombosis stent dapat dideteksi oleh
angiografi

koroner atau

autopsi

pada iskemia

miokard

dan dengan

kenaikan/penurunan nilai biomarker jantung dengan satu nilai diatas persentil 99


5. Tipe 5 (Infark miokard yang berkaitan dengan coronary artery bypass graft)
Didefinisikan sebagai naik atau turunnya nilai biomarker jantung dengan
setidaknya satu nilai berada diatas persentil 99 dari batas atas referensi atau
setidaknya salah satu dari kriteria berikut :
(i)
LBBB yang baru atau terdapatnya gelombang Q patologis pada EKG
(ii)
Sumbatan arteri koroner yang terdokumentasikan dengan angiografi
(iii)
Adanya bukti pencitraan atas matinya miokardium ataupun abnormalitas
gerakan dinding jantung.
Menurut Canadian Cardiovascular Society, nyeri dada dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Kelas 1
Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2 lantai dan
lain-lain tidak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada latihan
yang berat, berjalan cepat serta terburu-buru waktu kerja.
2. Kelas 2
Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya angina pectoris timbul bila
melakukan lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih
dari 1 lantai, terburu-buru atau berjalan menanjak.
3. Kelas 3
Aktivitas sehari-hari terbatas. Nyeri timbul bila berjalan 1-2 blok, naik tangga 1
lantai dengan kecepatan yang biasa.
4. Kelas 4
Angina pectoris bisa timbul pada waktu istirahat sekalipun. Hampir semua
aktivitas dapat menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu dan berjalan.
2.1.3

Patogenesis
Aterosklerosis dimulai ketika terjadi jejas (akibat berbagai faktor risiko dalam

berbagai intensitas dan lama paparan yang berbeda) pada endotel arteri, sehingga
menimbulkan disfungsi endotel. Paparan jejas pada endotel memicu berbagai
mekanisme yang menginduksi lesi aterosklerotik. Disfungsi endotel merupakan awal
terjadinya aterosklerosis. Disfungsi endotel ini disebabkan oleh faktor-faktor risiko

seperti dislipidemia, hipertensi, DM, obesitas dan merokok dan faktor-faktor risiko lain,
misalnya homosistein dan kelainan hemostatik.
Pembentukan aterosklerosis terdiri dari beberapa fase yang saling berhubungan.
Fase awal terjadi akumulasi dan modifikasi lipid (oksidasi, agregasi, dan proteolisis)
dalam dinding arteri yang selanjutnya mengakibatkan aktivasi inflamasi endotel. Pada
fase selanjutnya, terjadi pengumpulan elemen - elemen inflamasi seperti monosit ke
dalam tunika intima.
Awalnya monosit menempel pada endotel yang diperantarai oleh beberapa
molekul adhesi pada permukaan sel endotel, yaitu Inter Cellular Adhesion Molecule-1
(ICAM-1), Vascular Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1) dan Selectin. Molekul
adhesi ini diatur oleh sejumlah faktor yaitu lipopolisakarida, prostaglandin dan sitokin.
Setelah berikatan dengan endotel, monosit berpenetrasi ke lapisan lebih dalam dibawah
lapisan intima.
Monosit-monosit yang telah memasuki dinding arteri ini akan berubah menjadi
makrofag dan "memakan" LDL yang telah dioksidasi melalui reseptor scavenger. Hasil
fagositosis ini akan membentuk sel busa atau "foam cell" dan selanjutnya akan menjadi
fatty streaks. Aktivasi ini menghasilkan sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan yang
akan merangsang proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos dari tunika media ke tunika
intima dan penumpukan molekul matriks ekstraselular seperti elastin dan kolagen, yang
mengakibatkan pembesaran plak dan terbentuk fibrous cap. Pada tahap ini, proses
aterosklerosis sudah sampai pada tahap lanjut dan disebut sebagai plak aterosklerotik.
Pembentukan plak aterosklerotik akan menyebabkan penyempitan lumen arteri.
Akibatnya kurangnya aliran darah. Trombosis sering terjadi setelah rupturnya plak
aterosklerosis, terjadi pengaktifan platelet dan jalur koagulasi. Apabila plak pecah,
robek atau terjadi perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang
menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu arteri koroner. Pada saat inilah muncul
berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses aterosklerosis ini
dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang dapat
menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak stabil/progresif
yang dikenal juga dengan sindroma koroner akut.

2.1.4 Manifestasi Klinis


Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara
cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai
nyeri dada yang berasal dari jantung dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner
atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya
serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes militus, dislipidemia, merokok,
stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan
tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang
salah dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat. Nyeri dada
tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Gejala ini merupakan petanda
awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
1.
Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
2.
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
3.

ditusuk, rasa diperas, dan diplintir.


Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,

4.
5.
6.

punggung/interskapula, perut, dan juga ke lengan kanan.


Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas
dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru,

diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal, Nyeri dada tidak selalu
ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes militus
dan usia lanjut.

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit
dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark
anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi atau hipotensi).

Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apical yang bersifat sementara karena
disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai
38C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada
yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada 2 sandapan
prekordial yang berdampingan atau 1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan
enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera
dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan bukti
kuat untuk menunjukkan gambaran elevasi segmen ST sehingga bermanfaat untuk
dilakukan terapi perfusi. JIka pemeriksan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI
tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan
interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara lanjut harus dilakukan
untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan
STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark
pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya infark miokard gelombang Q.
Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi
thrombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral,
biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami
angina pectoris tak stabil atau non STEMI/infark non Q.
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana
pasien STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi. Beberapa
pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain :
1.
Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK) MB dan cardiac
specific Troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus

digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan
otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB.
Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera
mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai
enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung
(infark miokard).
a.
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan
CKMB.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2

b.

jam dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
2.

dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.


Pemeriksaan enzim jantung yang lain, yaitu:
a.
Mioglobin, dapat dideteksi 1 jam setelah infark dan puncaknya dalam 48 jam.
Creatinin Kinase (CK), meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark

b.

miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal

3.

c.

dalam 3-4 hari.


Lactic dehydrogenase (LDH), meningkat setelah 24 jam bila ada infark

Reaksi

miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis

polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan
menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.
2.1.6 Diagnosa Banding
Beberapa diagnosis banding yang memiliki gejala yang sama dengan ACS antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Cardiac
a. Acute coronary syndrome
Tekanan di retrosternal yang menyebar ke leher, rahang, atau bahu dan
lengan kiri.
EKG : adanya ST elevasi maupun depresi yang terlokalisir.
b. Perikarditis
Rasa sakit yang menusuk (memburuk dengan inspirasi)
Rasa sakit berubah dengan perubahan posisi (membaik dengan duduk

membungkuk ke depan).
Auskultasi : ada friction rub pada precordium

10

EKG : ST-Elevasi yang difus.


c. Aortic dissection
Rasa sakit seperti merobek yang berpindah seiring dengan berjalannya waktu

(punggung dan dada)


Tekanan darah lengan yang tidak simetris.
Mediastinum yang melebar pada foto thorax.

2. Pulmonal
Emboli paru

Pleuritic pain yang terlokalisir bersamaan dengan dispneu


Adanya pleural friction rub
Merupakan predisposisi untuk trombosis vena

Pneumonia

Pleuritic chest pain


Adanya batuk dan produksi sputum
Auskultasi dan perkusi yang abnormal pada paru ( misalnya karena ada

konsolidasi)
Infiltrat pada foto thoraks

Pneumothoraks
Pleuritic chest pain pada satu sisi yang tiba-tiba
Menghilangnya suara nafas
Pada foto thoraks tampak hiperlusen dan hilang tanda-tanda adanya paru di
sisi yang terkena.

3. Gastrointestinal :

a. Esophageal spasm

Adanya rasa sakit retrosternal, diperburuk dengan menelan


Ada riwayat rasa sakit sewaktu menelan.

b. Acute cholecystitis

Right upper quadrant abdominal tenderness


Sering disertai dengan rasa mual
Ada riwayat intoleransi makanan berlemak.

11

Tabel 1. Perbedaan gejala pada jenis-jenis ACS

2.1.7 Penatalaksanaan
Manajemen, termasuk diagnosis dan pengobatan IMA, dimulai pada first
medical contact (FMC), didefinisikan sebagai titik di mana pasien dinilai oleh
paramedis atau dokter atau tenaga medis lainnya dalam pengaturan pra-rumah sakit,
atau pasien tiba di rumah sakit bagian darurat. Suatu diagnosis kerja infark miokard
pertama harus dibuat pada FMC. Hal ini biasanya didasarkan pada riwayat nyeri dada
yang berlangsung selama 20 menit atau lebih, tidak berkurang dengan pemberian
nitrogliserin. Petunjuk penting adalah riwayat CAD dan penjalaran rasa sakit pada leher,
rahang bawah atau lengan kiri. Rasa sakit mungkin tidak parah. Beberapa pasien datang
dengan gejala yang kurang khas, seperti mual/muntah, sesak napas, kelelahan, jantung
berdebar atau sinkop. Penelitian menunjukkan bahwa sampai dengan 30% dari pasien
dengan STEMI hadir dengan gejala tidak khas.
Pemantauan EKG harus dimulai sesegera mungkin pada semua pasien yang
diduga STEMI untuk mendeteksi aritmia yang mengancam kehidupan dan
memungkinkan defibrilasi cepat jika diindikasikan. Hasil EKG harus diperoleh dan
diinterpretasikan sesegera mungkin pada titik FMC. Bahkan pada tahap awal, EKG

12

jarang normal. Biasanya, ST-segmen elevasi di akit miokard infark, diukur pada J point,
harus ditemukan dalam lead yang berpasangan. Beberapa hal yang harus diberikan pada
pasien antara lain :
1. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada pasien STEMI tanpa komplikasi diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan
dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri
dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan
preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus
berlangsung dapat diberikan nitrogliserin intravena. Nitrogliserin intravena juga
diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru. Terapi Nitrat harus
dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau pasien yang
dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiestrase 5 inhibitor (sildenafil) dalam 24 jam sebelumnya
karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
3. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg
dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit dengan dosis total 20 mg.
4. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal
dengan dosis 160-325 mg diruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral
dengan dosis 75-162 mg.
5. Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV
mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan

13

darah sistolik >100 mmHg. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan
dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan
dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
6. ACE Inhibitor
ACE Inhibitor harus segera diberikan jika tekanan darah stabil dan tetap di atas 100
mmHg. Keuntungan ACE Inhibitor terutama terlihat pada pasien dengan gagal
jantung, infark miokard, disfungsi ventrikel kiri. ACE Inhibitor seperti captopril
6,25 mg diberikan 3 dosis, target 25-50 mg.
7. Antagonis Kalsium
Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan antagonis kalsium secara rutin.
Namun golongan obat ini dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita
dengan nyeri dada iskemik yang berlanjut walaupun telah mendapatkan nitrat dan
penyekat beta.
8. Antitrombotik
Heparin dapat diberikan dalam bentuk unfractionated heparin atau low molecular
weight heparin. Unfractionated heparin diberikan 5000 unit bolus dilanjutkan
dengan 1000 unit/jam. Dosis heparin kemudian diteruskan sesuai pemeriksaan aPTT
(target aPTT 1,5-2 x nilai normal).
9. Antagonis Reseptor Glykoprotein IIb/IIIa
Golongan obat ini sedang diuji pada uji klinik sebagai terapi adjuvant trombolitik.
Penggunaannya pada primary PTCA terbukti memperbaiki angka harapan hidup.
Terapi Reperfusi

14

Gambar 2 Pendekatan Manajemen STEMI


Pemberian terapi trombolitik jangan menunggu hasil pemeriksaan enzim
jantung, karena penundaan yang tidak perlu ini dapat mengurangi miokardium yang
seharusnya dapat terselamatkan. Jika keluhan pasien sesuai dengan IMA dan kadar
enzim jantung yang meningkat, namun tidak terdapat ST elevasi pada EKG, maka
diagnosisnya adalah infark non ST elevasi (NSTEMI). Pasien harus mendapat terapi
heparin, aspirin, dan obat-obat anti-angina. Terapi trombolitik tidak boleh diberikan
pada infark non ST-elevasi.
Pemberian trombolitik harus dilakukan sesegera mungkin jika tidak ada
kontraindikasi, karena semakin cepat diberikan semakin banyak miokardium yang
terselamatkan. Sebaiknya dicapai dalam waktu kurang dari 30 menit. Tujuan utamanya
adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Reperfusi dini akan memperpendek lama
oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia
ventrikular yang maligna. Indikasi terapi trombolitik adalah sebagai berikut:
1.
Gejala yang sesuai dengan IMA
2.
Perubahan EKG berupa ST elevasi > 0,1 mm pada minimal 2 sandapan yang
3.

berdekatan, gambaran bundle branch block baru


Onset nyeri dada:
< 6 jam
: Sangat bermanfaat

15

6-12 jam : Bermanfaat


>12 jam : Tidak bermanfaat, kecuali dengan penderita dengan iskemi
lanjut, yang terbukti berlanjutnya nyeri dada dan ST elevasi
pada EKG

Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi
ST > 50 % dalam 90 menit pemberian trombolitik. Beberapa obat trombolitik :
1. Streptokinase (SK)
Regimen 1,5 juta unit dalam 100 NaCl 0,9% atau dekstrose 5% diberikan dalam 1
jam. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan
selanjutnya karena terbentuknya antibodi.
2. Tissue Plasminogen Activator (tPA)
Penggunaan tPA harus dipertimbangkan pada pasien-pasien yang telah mendapatkan
streptokinase dalam 2 tahun terakhir, alergi terhadap streptokinase, hipotensi (TDS
< 90 mmHg).
Kegagalan trombolisis ditandai dengan berlanjutnya nyeri dada dan menetapnya
ST elevasi. Komplikasi berupa gagal jantung, aritmia lebih banyak terjadi, untuk itu
rescue PTCA harus dipertimbangkan. Jika tidak memungkinkan, sebaiknya trombolisis
diulangi dengan dosis yang sama.
Primary PTCA (Percutaneous Tranluminal Coronary Angioplasty)

terbukti

memiliki keberhasilan membuka dan mempertahankan patensi arteri koroner yang


tersumbat lebih baik dibandingkan trombolitik. Namun tindakan ini masih terbatas pada
beberapa rumah sakit. Primary PTCA dipertimbangkan sebagai alternatif tindakan
reperfusi, tindakan ini tidak dianjurkan lagi jika pemberian trombolitik sudah melebihi
60-90 menit.
Pasien yang memiliki kontraindikasi absolut untuk tindakan trombolitik,
Pasien dengan syok kardiogenik.

16

2.1.8 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien ACS antara lain adalah
sebagai berikut :
1. Disfungsi Ventrikuler
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran
dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodeling ventrikuler dan umumnya mendahului berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Beberapa contoh
disfungsi ventrikuler antara lain :
a. Aritmia dan gangguan konduksi pada fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering terjadi pada infark miokard akut dan
merupakan sumber kematian utama. Mekanisme yang berkontribusi dalam

aritmogenesis setelah infark miokard meliputi:


Gangguan anatomi aliran darah terhadap struktur dari jalur konduksi (sinoatrial

node, atrioventrikular node, dan bundle branch).


Penumpukan racun dari produk metabolisme (seperti asidosis seluler) dan

abnormal konsentrasi ion transeluler karena kebocoran membran.


Stimulasi autonom (simpatis dan parasimpatis)
Pemberian obat aritmogenik potensial (seperti dopamin).

b. Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel bertanggung jawab pada kematian jantung yang mendadak
selama perjalanan IMA. Episode fibrilasi ventrikel yang terjadi selama 48 jam
pertama MI sering berhubungan dengan ketidakstabilan listrik sementara.
Namun fibrilasi ventrikel yang terjadi lebih dari 48 jam setelah IMA umumnya
mencerminkan disfungsi ventrikel kiri berat dan berhubungan dengan angka
kematian yang tinggi. ACE inhibitor / ARB mengurangi mortalitas 30-hari pada
pasien. Studi-studi lain telah menegaskan bahwa beta-blocker diberikan dalam
24 jam pertama setelah IMA pada pasien dengan VF / VT dikaitkan dengan
menurunnya kematian dini tanpa gagal jantung yang semakin memburuk.
c. Aritmia Supraventrikular
Aritmia supraventrikular juga umum terjadi pada IMA. Sinus bradikardia terjadi
karena stimulasi vagal yang berlebihan atau iskemik SA node, biasanya infark

17

miokard di dinding inferior. Sinus takikardia sering terjadi dan dapat terjadi
karena sakit dan kecemasan, gagal jantung dan pemberian obat (dopamin), atau
pengurangan volum intravaskular. Karena sinus takikardi meningkatkan
kebutuhan oksigen dan dapat membuat iskemik ulang, mengidentifikasi dan
mengobatinya merupakan hal yang penting. Denyut prematur atrium dan
fibrilasi atrium terjadi karena iskemik atrium atau distensi atrium sekunder pada
gagal ventrikel kiri.
d. Hambatan Konduksi
Hambatan konduksi (blok atrioventrikular nodal dan blok bundle branch)
umumnya berkembang pada IMA. Mereka terjadi sebagai hasil dari iskemik atau
nekrosis dari jalur konduksi, atau pada kasus blok atrioventrikular, mungkin
terjadi karena peningkatan vagal tone. Aktivitas vagal meningkat karena
stimulasi serat aferen oleh karena inflamasi miokardium atau sebagai hasil
aktivasi autonom menyeluruh berhubungan dengan sakit pada IMA.
2. Disfungsi miokardium
ACS dapat juga menyebabkan kerusakan pada otot otot jantung. Beberapa
komplikasi akibat kerusakan otot jantung antara lain :
a. Gagal Jantung Kongestif
Iskemik jantung akut terjadi sebagai akibat kontraktilitas ventrikel

dan

peningkatan kekakuan miokardium, dapat menuju ke gejala gagal jantung. Tanda


dan gejala dekompensasi termasuk sesak napas, ronkhi dan suara jantung ketiga
(S3). Pengobatan terdiri dari pengobatan standar gagal jantung, yang secara khas
termasuk diuretik, ACE inhibitor dan -bloker. Sebagai tambahan, pada pasien
dengan gagal jantung paska MI dan fraksi ejeksi ventrikel kiri <40%, antagonis
aldosteron harus dipertimbangkan. Namun, pemberian antagonis aldosteron
bersama dengan ACE-inhibitor, kadar serum potasium harus dimonitor untuk
mencegah hiperkalemia.
b. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik adalah keadaan penurunan cardiac output yang parah dan
hipotensi (tekanan darah sistol <90mmHg) dengan perfusi yang tidak adekuat ke
jaringan perifer yang terjadi ketika lebih dari 40% ventrikel kiri terjadi infark.
Syok kardiogenik merupakan proses yang berlangsung sendiri karena hipotensi
mengakibatkan perfusi koroner berkurang, dan penurunan stroke volume
meningkatkan ukuran ventrikel kiri dan meningkatkan kebutuhan oksigen. Syok

18

kardiogenik terjadi hingga 10% pasien setelah MI dan angka mortalitas >70%.
Kateterisasi jantung segera dan revaskularisasi dapat meningkatkan prognosis.
c. Infark Ventrikel Kanan
Sekiranya satu dari tiga pasien dengan infark dinding inferior ventrikel kiri, akan
terjadi nekrosis dari bagian ventrikel kanan, karena arteri koroner yang sama
(biasanya koroner kanan) memperfusi kedua daerah pada kebanyakan pasien.
Akibat dari kontraksi abnormal dan penurunan fungsi ventrikel kanan akan
mengarah kepada tanda gagal jantung kanan (distensi vena jugular) diluar
proporsi dari tanda gagal jantung kiri.
3. Komplikasi Mekanik
Beberapa komplikasi mekanik dari ACS antara lain :
a. Ruptur Otot Papiler
Iskemik nekrosis dan ruptur otot papiler ventrikel kiri bisa sangat fatal karena
regurgitasi mitral akut yang berat, lembaran katup kehilangan tempat
melekatnya. Ruptur parsial, dengan regurgitasi sedang, mungkin tidak segera
mematikan tapi dapat menunjukkan gejala gagal jantung atau edema pulmonal.
b. Regurgitasi Katup Mitral
Regurgitasi katup mitral bisa terjadi selama fase subakut akibat dilatasi ventrikel
kiri, disfungsi otot papiler atau ruptur dari korda tendinea. Biasanya
mengakibatkan perubahan hemodinamik secara tiba-tiba berupa sesak napas
akut dan kongesti paru dan murmur sistolik.
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA, antara lain
adalah sebagai berikut :
Klas
I
II
III
IV

Definisi
Mortalitas (%)
Tak ada tanda gagal jantung kongestif
6
S3 dan/atau ronkhi basah
17
Edema paru
30-40
Syok kardiogenik
60-80
Tabel 2. Klasifikasi Killip pada infark Miokard Akut

Faktor risiko (bobot)

Skor Risiko/Mortalitas 30

Usia 65-74 tahun (2 poin)


Usia > 75 tahun (3 poin)
Diabete mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)
TDS <100mmHg (3 poin)

hari (%)
0,8
1,6
2,2
4,4

19

Frekuensi jantung > 100mmHg (2 poin)


Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
Berat < 67 kg (1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1poin)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)
Skor risiko = total poin (0-14)

7,3
12,4
16,1
23.4
26,8
35,9

Tabel 3. TIMI Risk Score untuk Infark Miokard dengan elevasi ST

2.2. Hipertensi
2.2.1 Definisi dan Klasifikasi
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang menetap yang penyebabnya masih
tidak diketahui (hipertensi esensial, idiopatik, atau primer) maupun yang berhubungan
dengan penyakit yang lain (hipertensi sekunder) (Dorland, 2009). Hipertensi juga dapat
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arteri di atas batas normal yang
diharapkan pada kelompok usia tertentu (Oxford, 2003).
Berdasarkan dari penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua jenis, yaitu
sebagai berikut ini :
1.

Hipertensi primer (esensial)


Lebih dari 90 % pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi tipe ini.
Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi
ini telah diidentifikasi, namun belum ada satu teori yang menegaskan
patogenesis hipertensi ini. Faktor genetik memegang peranan penting dalam
jenis hipertensi ini. Apabila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan
darah

yang

monogenik

dan

poligenik,

orang

tersebut

mempunyai

kecenderungan untuk memiliki hipertensi esensial. Banyak karakteristik


genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium atau
mengubah ekskresi kallikrein urin, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron,
2.

steroid adrenal, dan angiotensinogen.


Hipertensi sekunder
Hipertensi yang merupakan akibat kelainan penyakit ataupun obat tertentu
yang bisa meningkatkan tekanan darah. Kurang dari 10 % pasien menderita

20

jenis hipertensi ini. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit
ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab hipertensi sekunder
yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak,
dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan
tekanan darah. (Muchid et al, 2006).
Berdasarkan bentuknya, hipertensi dapat dibagi menjadi tiga. Ketiga jenis
hipertensi tersebut antara lain:
1.
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension), yaitu peningkatan tekanan
diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada
2.

anak-anak dan dewasa muda.


Hipertensi campuran (sistolik dan diastolik yang meninggi), yaitu peningkatan

3.

tekanan darah pada sistolik dan diastolik.


Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension), yaitu peningkatan tekanan
sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya ditemukan pada
usia lanjut (Phibbs, 2007).
Berdasarkan kriteria tekanan darahnya dalam JNC 7 (2003), Hipertensi dapat

dibagi menjadi tiga, yaitu:


1.
2.
3.

Prahipertensi.
Tekanan darahnya dari 120/80 mmHg sampai 139/89 mmHg.
Hipertensi tingkat I.
Tekanan darahnya dari 140/90 mmHg sampai 159/99 mmHg.
Hipertensi tingkat II.
Tekanan darahnya melebihi 160/100 mmHg.

2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Berdasarkan Kumar et al (2004), hipertensi memiliki beberapa etiologi, yaitu
antara lain :
1.
Faktor genetik. Beberapa mutasi genetik pada gen-gen pengatur tekanan darah
akan menyebabkan sebuah keluarga lebih rentan terhadap Hipertensi daripada
2.

keluarga yang tidak memiliki riwayat hipertensi.


Faktor fetal. Menurut penelitian, berat badan lahir yang rendah mempunyai
risiko mengalami kejadian hipertensi yang lebih tinggi. Ini berhubungan
dengan adanya kelainan pada sistem pembuluh darahnya.

21

3.

Faktor lingkungan :
a. Obesitas. Orang yang gemuk lebih sering mengalami kejadian hipertensi
dibandingkan dengan orang yang kurus.
b. Alkohol. Banyak penelitian menunjukkan adanya hubungan antara
meminum alkohol dengan kejadian hipertensi.
c. Asupan garam. Semakin tinggi asupan garam yang diterima oleh
seseorang, peluang untuk terjadinya hipertensi semakin besar.
d. Stres. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stres dapat mengakibatkan
kenaikan tekanan darah.
e. Mekanisme humoral. Sistim saraf pusat memegang peranan penting dalam
pengaturan tekanan darah. Jika sistem ini terganggu, maka pengaturan
tekanan darah juga terganggu.
f. Resistensi insulin. Hubungan antara diabetes dengan hipertensi telah lama
diketahui dan salah satu ciri pada diabetes adalah hiperinsulinemia
sehingga resistensi insulin juga akan memiliki hubungan dengan terjadinya
kejadian hipertensi.
Ada beberapa faktor risiko yang dapat mencetuskan timbulnya hipertensi.

Faktor-faktor risiko yang mendorong timbulnya hipertensi adalah :


1.

Faktor risiko, seperti diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok, dan

2.
3.
4.

genetik.
Sistem saraf simpatis (tonus simpatis dan variasi diurnal).
Keseimbangan antara modulator, vasodilatasi, dan vasokontriksi.
Pengaruh sistem endokrin setempat yang berperan pada sistem renin,
angiotensin, dan aldosteron (Yogiantoro, 2009).

22

Gambar 3. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengendalian Tekanan Darah.


Selain itu, menurut Sigarlaki (2006), faktor pemicu hipertensi dapat dibedakan
atas yang tidak terkontrol (seperti keturunan, jenis kelamin, dan umur) dan yang dapat
dikontrol (seperti kegemukan, kurang olahraga, merokok, serta konsumsi alkohol dan
garam). Akan tetapi, hipertensi ini dipengaruhi oleh faktor risiko ganda, baik yang
bersifat endogen seperti neurotransmiter, hormon dan genetik, maupun yang bersifat
eksogen seperti rokok, nutrisi dan stres.
2.2.3 Patogenesis
Menurut Yusuf (2008), tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan
tahanan perifer. Di dalam tubuh, terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan
tekanan darah secara akut. Sistem tersebut ada yang langsung bereaksi ketika terjadi
perubahan tekanan darah dan ada juga yang bereaksi lebih lama. Sistem yang cepat
tersebut antara lain refleks kardiovaskular melalui baroreseptor, refleks kemoreseptor,
respon iskemia susunan saraf pusat, dan refleks yang berasal dari atrium, arteri
pulmonalis, dan otot polos. Sistem lain yang kurang cepat merespon perubahan tekanan
darah melibatkan respon ginjal dengan pengaturan hormon angiotensin dan vasopresor.
Pada hipertensi primer terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi tekanan
darah berupa faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel,
aktivitas saraf simpatis, dan sistem renin angiotensin yang mempengaruhi keadaan

23

hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan
faktor endotel.
Pada tahap awal hipertensi primer, curah jantung meninggi sedangkan tahanan
perifer normal yang disebabkan peningkatan aktivitas simpatis. Pada tahap selanjutnya,
curah jantung menjadi normal sedangkan tahanan perifer yang meninggi karena refleks
autoregulasi melalui mekanisme konstriksi katup prakapiler. Kelainan hemodinamik ini
juga diikuti dengan perubahan struktur pembuluh darah (hipertrofi pembuluh darah) dan
jantung (penebalan dinding ventrikel).
Stres dengan peninggian aktivitas simpatis dan perubahan fungsi membran sel
dapat menyebabkan konstriksi fungsional dan hipertrofi struktural. Faktor lain yang
berperan adalah endotelin yang bersifat vasokonstriktor. Berbagai promoter pressorgrowth bersamaan dengan kelainan fungsi membran sel yang mengakibatkan hipertrofi
vaskular akan menyebabkan peninggian tahanan perifer serta tekanan darah.
Mengenai kelainan fungsi membran sel, Garay (1990) dalam Yusuf (2008)
telah membuktikan adanya defek transportasi ion Na+ dan Ca2+

untuk melewati

membran sel. Defek tersebut dapat disebabkan oleh faktor genetik atau peninggian
hormon natriuretik akibat peninggian volume intravaskular. Selain itu, terjadi perubahan
intraselular dimana kenaikan Na+ intraselular akibat penghambatan pompa Na+ akan
meningkatkan ion Ca2+ intraselular sehingga menyebabkan perubahan dinding
pembuluh darah maupun konstriksi fungsional yang mengakibatkan peninggian tahanan
darah dan tekanan darah yang menetap.

Sistem renin angiotensin aldosteron juga memegang peranan penting dalam


penyakit ini dimana renin akan melepaskan angiotensin I dan angiotensin converting
enzym akan mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang mempunyai efek
vasokonstriksi kuat dan angiotensin II juga menyebabkan sekresi aldosteron yang
berfungsi meretensi Na+ dan air.
Studi pasien Framingham yang dilakukan oleh The National Heart, Lung and
Blood Institute (NHLBI) juga melaporkan adanya korelasi antara gangguan toleransi
glukosa dengan hipertensi. Selain itu, ada juga yang melaporkan bahwa pada pasien

24

hipertensi, kadar insulin darah meningkat setelah dilakukan pembebanan glukosa pada
tes toleransi glukosa oral. Pada keadaan hiperinsulinemia, terjadi pengaktifan saraf
simpatis, peningkatan reabsorpsi natrium oleh tubulus proksimal dan gangguan
transportasi membran sel berupa penurunan pengeluaran natrium dari dalam sel akibat
kelainan pada sistem Na+/K+ ATPase dan Na+/H+ exchanger dan terganggunya
pengeluaran ion Ca2+ dari dalam sel. Akibatnya, terjadi peningkatan sensitivitas otot
polos pembuluh darah terhadap zat vasokonstriktor yang menyebabkan terjadinya
peningkatan kontraktilitas. Sementara itu, kadar ion H + yang rendah dalam sel akan
meningkatkan sintesis protein, proliferasi sel dan hipertrofi pembuluh darah.
Faktor lingkungan (stres psikososial, obesitas dan kurang olahraga) juga
berpengaruh pada timbulnya hipertensi.

Olahraga yang teratur serta isotonik akan

menurunkan tahanan perifer sehingga tidak terjadi peningkatan tekanan darah. Selain
itu, rokok dan alkohol juga memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi dimana pada
orang yang peminum alkohol serta perokok akan lebih mudah menderita hipertensi
dibandingkan dengan orang yang tidak merokok atau meminum alkohol.
Semua ini akan mengakibatkan peningkatan tahanan perifer sehingga akan
terjadi peningkatan tekanan darah. Paparan yang terus menerus ini akan mengakibatkan
seseorang menderita hipertensi. Apabila tidak diobati dan dijaga, orang tersebut akan
menderita berbagai komplikasi yang akan mengakibatkan kematian.

25

Gambar 4. Mekanisme Patofisiologi dari Hipertensi.


Dikutip dari: Muchid, A., et al, 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Departemen Kesehatan
2.2.4 Diagnosis
Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit
dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan prosedur
diagnostik lainnya. Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pengukuran tekanan
darah yang benar, pemeriksaan funduskopi, perhitungan BMI (Body Mass Index) yaitu
berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (meter kuadrat), auskultasi arteri karotis,
abdominal, dan bruit arteri femoralis. Selain itu, pemeriksaan juga meliputi palpasi pada
kelenjar tiroid, pemeriksaan lengkap jantung dan paru-paru, pemeriksaan abdomen
untuk melihat pembesaran ginjal, massa intraabdominal dan pulsasi aorta yang
abnormal, palpasi ekstremitas bawah untuk melihat adanya edema dan denyut nadi,
serta penilaian neurologis.
Hipertensi seringkali disebut silent killer karena pasien dengan hipertensi
esensial biasanya tidak ada gejala (asimtomatik). Penemuan fisik yang utama adalah
meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu dua
kali kontrol dilakukan untuk mendiagnosis hipertensi. Tekanan darah ini digunakan
untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan sesuai dengan tingkatnya.
Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum memulai
terapi antihipertensi adalah urinalisis, kadar gula darah dan hematokrit, kalium,
kreatinin, kalsium serum, profil lemak (setelah puasa 912 jam) termasuk HDL, LDL
dan trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan pilihan yang biasanya dilakukan
adalah pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin/kreatinin.
Selain itu, melalui anamnesis, didapatkan riwayat penyakit untuk membedakan
penyebab yang mungkin. Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus meliputi hal-hal,
seperti otak (stroke, TIA, dementia), mata (retinopati), jantung (hipertropi ventrikel kiri,
angina atau pernah infark miokard, pernah revaskularisasi koroner), ginjal (penyakit
ginjal kronis) dan penyakit arteri perifer (Muchid et al, 2006).

26

2.2.5 Penatalaksanaan Hipertensi


Dalam menangani penyakit hipertensi, banyak organisasi kesehatan di dunia
membuat suatu pedoman dalam tata laksana hipertensi. Pada intinya pedoman-pedoman
tersebut berisikan cara mengatasi penyakit hipertensi dengan perubahan gaya hidup atau
terapi non farmakologi, obat yang digunakan dalam terapi farmakologi dan target
tekanan darah yang ingin dicapai serta penanganan pada penderita hipertensi dengan
keadaan khusus. Berikut ini pedoman tata laksana hipertensi :
1. WHO dan International Society of Hypertension Writing Group (ISWG) 2003

Pasien hipertensi dengan tekanan darah sistole >= 140 mmHg dan diastole >= 90
mmHg diawali dengan terapi non farmakologi seperti penurunan berat badan
bagi penderita yang kegemukan, olahraga yang teratur, mengurangi konsumsi
alkohol dan garam, tidak merokok dan mengkonsumsi lebih banyak sayur dan
buah.

Terapi farmakologi : untuk penderita tanpa komplikasi pengobatan dimulai


dengan diuretik tiazid dosis rendah dan untuk penderita dengan komplikasi
menggunakan lebih dari satu macam obat hipertensi.

2. Joint National Committee (JNC)

Perubahan gaya hidup dan terapi obat memberikan manfaat yang berarti bagi
pasien hipertensi

Target tekanan darah < 140/90 bagi hipertensi tanpa komplikasi dan target
tekanan darah < 130/80 bagi hipertensi dengan komplikasi

Diuretik tiazid merupakan obat pilihan pertama untuk mencegah komplikasi


kardiovaskular.

Hipertensi dengan komplikasi pilihan pertama diuretik tiazid tapi juga bisa
digunakan penghambat ACE (captopril,lisinopril,ramipril), ARB (valsartan,
candesartan), beta bloker (bisoprolol) dan antagonis kalsium (nifedipin,
amlodipin) bisa juga dipertimbangkan.

27

Pasien hipertensi dengan kondisi lain yang menyertai seperti gagal ginjal dan
lain-lain, obat anti hipertensi disesuaikan dengan kondisinya.

Monitoring tekanan darah dilakukan 1 bulan sekali sampai target tercapai


dilanjutkan setiap 2 bulan, 3 bulan atau 6 bulan. Semakin jauh dari percapaian
target tekanan darah, semakin sering monitoring dilakukan.

3. British Hypertensive Society (BHS)

Terapi non farmakologi dilakukan pada pasien hipertensi dan mereka yang
keluarganya ada riwayat hipertensi

Pengobatan dimulai pada tekanan darah sistol >=140 dan diastol >= 90

Target yang ingin dicapai setelah pengobatan, sistol =< 140 dan diastol =< 85

obat piliha pertama tiazid atau beta bloker bila tidak ada kontraindikasi.

2. National Heart Lung Blood Institute (NHLBI)

Modifikasi gaya hidup sebagai penanganan menyeluruh, dapat dikombinasi


dengan terapi obat

Menerapkan pola makan DASH (Diet Approach to Stop Hypertension) untuk


penderita hipertensi

Hipertensi tanpa komplikasi harus dimulai dengan diuretik atau beta bloker

Hipertensi dengan penyakit penyerta, pemilihan obat harus berdasarkan masingmasinghambat individu dan berubah dari mono terapi ke terapi kombinasi yang
fleksibel

28

3. European Society of Hypertension (ESH)

Fokus diberikan pada pasien individual dan risiko kardiovaskularnya.

Penderita hipertensi dapat menerima satu atau lebih macam obat selama tujuan
terapi tercapai

Penatalaksanaan

harus difokuskan pada pencapaian

target pengobatan

kardiovaskular dengan perubahan gaya hidup atau dengan terapi obat

Kombinasi obat yang digunakan untuk mencapai target tekanan darah harus
ditetapkan secara individual pada masing-masing pasien

Penghambat ACE dan ARB tidak boleh digunakan pada kehamilan.

4. UK's NICE

Penghambat ACE sebagai lini pertama bagi penderita hipertensi usia < 55 tahun
dan antagonis kalsium atau diuretika bagi penderita hipertensi > 55 tahun

ARB direkomedasikan jika penghambat ACE tidak dapat ditoleransi

Penggunakan beta bloker sebagai lini keempat.

5. (Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia, tahun 2007

Penanganan hipertensi ditujukan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas


kardiovaskular (termasuk serebrovaskular) serta perkembangan penyakit ginjal
dimulai dengan upaya peningkatan kesadaran masyarakat dan perubahan gaya
hidup ke arah yang lebih sehat.

Penegakan diagnosis hipertensi perlu dilakukan dengan melakukan pemeriksaan


tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak 1 minggu bila tekanan darah
<160/100 mmHg

29

Sebelum bertindak dalam penanganan hipertensi, perlu dipertimbangkan adanya


risiko kardiovaskular, kerusakan organ target dan penyakit penyerta. Penanganan
dengan obat dilakukan pada penderita dengan banyaknya faktor risiko 3 atau
lebih atau dengan adanya kerusakan organ target,diabetes, penyakit penyerta, di
samping perubahan gaya hidup.

Penanganan dengan obat dilakukan bila upaya perubahan gaya hidup belum
mencapai target tekanan darah (masih >= 140/90 atau >= 130/80 bagi penderita
diabetes/ penyakit ginjal kronis).

Pemilihan obat didasarkan ada tidaknya indikasi khusus. Bila tidak ada indikasi
khusus, obat tergantung pada derajat hipertensi (derajat 1 atau derajat 2 JNC7)

2.2.6 Komplikasi hipertensi


Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel arteri dan
mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh
seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor
resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack),
penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial
fibrilasi.
Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain, maka
akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya
tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan
resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal
jantung.

BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. Rekam Medis Pasien

30

Kepaniteraan Klinik Senior


Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran USU / RS Haji Adam Malik Medan
REKAM MEDIS
No RM
Tanggal
Hari
Pukul

: 00.54.96.11
: 26 Februari 2013
: Selasa
: 12.30 WIB

Nama pasien
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Alamat
Agama

: Basmalem Br. Bangun


: 67 Tahun
: Perempuan
: Petani
: Desa Rambah Tampu Kec. Lau Bale
: Kristen

Keluhan Utama
Anamnesa

: Nyeri dada
: Hal ini dialami os sejak sabtu malam, saat os sedang duduk duduk
di rumah. Nyeri dirasakan seperti ditekan beban berat di dada.
Nyeri dirasakan lebih dari 30 menit dan tidak menghilang
dengan istirahat. Nyeri dada tidak disertai keringat dingin dan
mual, tetapi terdapat penjalaran nyeri hingga ke daerah
punggung. Os memiliki riwayat hipertensi yang sudah diderita
sejak 5 tahun yang lalu, namun hanya menggunakan

pengobatan tradisional saja.


Faktor risiko PJK
: Perempuan usia > 55 tahun
Riwayat penyakit terdahulu : Hipertensi (riwayat tensi 170 mmHg)
Riwayat pemakaian obat
: Tidak jelas
Status Praesens
Keadaan umum
: Sedang
Kesadaran
: Compos mentis
TD
: 150/100 mmHg
HR
: 80 x/i
RR
: 22 x/i
T
: 37,0C
Sianosis (-), Ortopnea (-), Dispnea (-), Ikterus (-), Edema (-), Pucat (-)
BB
: 107 kg
TB
: 165 cm
IMT : 39,30 kg/m2, obesitas
Pemeriksaan Fisik
Kepala : Mata : anemia (+), ikterik (-)

31

Leher : TVJ R + 2 cmH2O


Dinding Thoraks :
Inspeksi
: Simetris fusiformis
Palpasi
: Stem Fremitus kanan = kiri
Perkusi
: Sonor pada kedua lapangan paru
Jantung
Batas jantung atas
Batas jantung kanan
Batas jantung kiri

: ICS II Linea Parasternal Sinistra


: ICS II IV Linea Parasternal Dekstra
: Linea Mid Clavikula Sinistra

Auskultasi
Jantung
: S1 (N), S2(N), S3 (-), S4(-), Reguler
Murmur (-), gallop (-)
Paru
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-), Wheezing (-)
Abdomen
Palpasi Hepar/lien : tidak teraba
Bising usus normal, Asites (-)
Ekstremitas
Superior
: Sianosis (-), Clubbing (-)
Inferior
: Edema (-), Pulsasi arteri (+)
Akral
: Hangat
Hasil Laboratorium
Darah lengkap
Hemoglobin : 9,9 g% (13,2 - 17.3)
Eritrosit
: 3,49 x 106/mm (4,20 4,87)
Leukosit
: 11,65 x 10/mm (4,5 11,0)
Hematokrit : 30,3 % (43 - 49)
Trombosit
: 233 x 10/mm (150 450)
Metabolisme Karbohidrat
KGD puasa 101,40 mg/dL (63 - 158)
Enzim Jantung
Troponin T : 2,0 g/dL (0 0,01)
CK-MB
: 85 U/L (0 - 25)
Ginjal
Ureum
Kreatinin
Elektrolit

: 38,50 mg/dL (<50)


: 1,07 mg/dL (0,70 1,20)

32

Na+
K+
Cl-

: 128 mEq/L (135 - 155)


: 4,2 mEq/L (3,6 5,5)
: 100 mEq/L (96 - 106)

Pemeriksaan EKG

Interpretasi rekaman EKG :

SR

QRS Rate 88 x/i

33

QRS axis (N)


P wave (+) N
PR interval : 0,16 s
QRS duration : 0,08 s
Q Patologis (+) di V1, III, aVF

ST-depresi (+) di V5, V6


T-inverted (+) di III, aVF
LVH (-)
VES (-)

Kesan EKG : SR + STEMI inferior + iskemik lateral


Foto Thoraks

Interpretasi foto Thoraks :

CTR 59 %
Segmen aorta dilatasi
Segmen pulmonal normal
Pinggang jantung rendah

Kesan : Kardiomegali

Apex downward
Kongesti (-),
Infiltrat (-).

34

Diagnosa Kerja
Fungsional
Anatomi
Etiologi

: STEMI interior, onset 3 hari, KILLIP I, TIMI risk 5/14


Hipertensi Stage I
: Arteri Koroner, pembuluh darah
: Aterosklerosis, idiopatik

Diagnosa Banding : UAP, NSTEMI


Pengobatan

Bed rest
O2 nasal 2 3 L/i
IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i (Mikro)
Drip heparin 4000 IU bolus 840 IU/jam
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Bisoprolol 1 x 1,25 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Captopril 1 x 40 mg

Rencana pemeriksaan lanjutan


EKG serial
Enzim Jantung serial
Lipid Profile
Angiografi Koroner/Ekokardiografi
Faal Hemostasis
Faal ginjal
Prognosis
Ad Vitam

: dubia ad bonam

Ad Functionam

: dubia ad bonam

Ad Sanactionam

: dubia ad bonam

3.2. Follow Up Pasien


Follow Up Pasien Divisi Kardiologi 26 Februari 4 Maret 2013
Tanggal
26/02/2013

S
Nyeri dada

O
Sensorium : CM
TD : 150/100 mmHg
HR: 88 x/i
RR: 22 x/i
T : 37,5C
Kepala
Mata : anemis (+), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)
Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)

A
P
STEMI inferior onset 3 Bed rest
hari Killip I TIMI 5/14
O2 nasal kanul 2 3 L/i
Hipertensi stage 1
IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i
(Mikro)
Heparin 4000 IU bolus 840
IU/jam
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Bisoprolol 1 x 1,25 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Captopril 3 x 6,25 mg

Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)
27/02/2013

Nyeri dada

Sensorium : CM
TD : 135/65 mmHg

STEMI inferior onset 3


hari Killip I TIMI 5/14

Bed rest

HR: 92 x/i
RR: 24 x/i
T : 37,0C

Pre-hipertensi
1 AV block

Kepala
Mata : anemis (-), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)

O2 nasal kanul 2 3 L/i


IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i
(Mikro)
Heparin 840 IU/jam (hari kedua)
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Bisoprolol 1 x 1,25 mg
Captopril 3 x 6,25 mg
Ceftriaxone 1 gr / 12 jam (hari
pertama)

Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)
Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)

28/02/2013

Nyeri dada

Sensorium : CM
TD : 220/100 mmHg
HR: 92 x/i

STEMI inferior onset 3


hari Killip I TIMI 5/14

Hipertensi stage 2

Bed rest semi-fowler


IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i
(Mikro)

RR: 24 x/i
T : 37,0C

Kepala
Mata : anemis (-), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)

1 AV block

Heparin 840 IU/jam (hari ketiga)


Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg, naikkan
menjadi 1 x 5 mg
Captopril 3 x 12,5 mg, naikkan
menjadi 3 x 25 mg
Ceftriaxone 1 gr / 12 jam (hari
kedua)
Alprazolam 1 x 0,25 mg
Cedocard 5 mg

STEMI inferior onset 3


hari Killip I TIMI 5/14

Hipertensi stage 2
1 AV block

Bed rest semi-fowler


IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i
(Mikro)
Heparin 840 IU/jam (hari

Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)
Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)

01/03/2013

Nyeri dada
Demam

Sensorium : CM
TD : 190/100 mmHg
HR: 92 x/i
RR: 24 x/i

T : 39,0 C

keempat)
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Bisoprolol 1 x 5 mg
Captopril 3 x 25 mg
Ceftriaxone 1 gr / 12 jam (hari
ketiga)
Paracetamol 3 x 500 mg
Alprazolam 1 x 0,25 mg
Hct 1 x 25 mg

STEMI inferior onset 3


hari Killip I TIMI 5/14

Hipertensi terkontrol

Bed rest
IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i
(Mikro)
Heparin 840 IU/jam (hari kelima)
Aspilet 1 x 80 mg

Kepala
Mata : anemis (-), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)
Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)
Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)

02/03/2013

Nyeri dada
Demam

Sensorium : CM
TD : 125/80 mmHg
HR: 88 x/i
RR: 22 x/i
T : 38,5 C

Kepala
Mata : anemis (-), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)

Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)

Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Bisoprolol 1 x 5 mg
Captopril 3 x 37,5 mg
Ceftriaxone 1 gr / 12 jam (hari
keempat)
Paracetamol 3 x 500 mg
Alprazolam 1 x 0,25 mg
Hct 1 x 25 mg

Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)

03/03/2013

Nyeri dada
Demam

Sensorium : CM
TD : 130/70 mmHg
HR: 72 x/i
RR: 22 x/i
T : 38,0 C

STEMI inferior onset 3


hari Killip I TIMI 5/14

Hipertensi terkontrol

Bed rest
IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i
(Mikro)
Heparin 840 IU/jam (hari
keenam)

Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Bisoprolol 1 x 5 mg
Captopril 3 x 25 mg
Ceftriaxone 1 gr / 12 jam (hari
kelima)
Paracetamol 3 x 500 mg
Alprazolam 1 x 0,25 mg
Hct 1 x 25 mg

STEMI inferior onset 3


hari Killip I TIMI 5/14

Hipertensi terkontrol

Bed rest
IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i
(Mikro)
Aspilet 1 x 80 mg

Kepala
Mata : anemis (-), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)
Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)
Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)

04/03/2013

Nyeri dada
Demam

Sensorium : CM
TD : 120/70 mmHg
HR: 70 x/i
RR: 20 x/i

T : 38,0 C
Kepala
Mata : anemis (-), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)
Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)
Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)

Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Bisoprolol 1 x 5 mg
Captopril 3 x 50 mg
Ceftriaxone 1 gr / 12 jam (hari
keenam)
Paracetamol 3 x 500 mg
Alprazolam 1 x 0,25 mg
Hct 1 x 25 mg

3.3. Pembahasan Kasus


TEORI

KASUS

Faktor Risiko terjadinya Jantung Koroner:


Pasien perempuan usia 67 tahun, obesitas
1. Faktor risiko yang tidak dapat
diubah
Usia (laki-laki lebih dari 45
tahun; Perempuan lebih dari 55
tahun atau menopause tanpa

terapi pengganti esterogen)


Jenis kelamin
Riwayat
Penyakit
jantung

koroner dalam keluarga


2. Faktor risiko yang dapat diubah
Merokok
Hipertensi
Obesitas terutama abdominal
Diabetes Melitus
Hiperlipidemia
Kurang aktifitas fisik
Manifestasi Klinis dari STEMI
Pasien mengeluhkan Nyeri dirasakan
Nyeri dada yang berlangsung lebih dari 20
seperti ditekan beban berat di dada. Nyeri
menit menjalar ke bahu kiri, lengan dengan
dirasakan lebih dari 30 menit dan tidak
rahang. Berbeda dengan angina pektoris,
menghilang dengan istirahat. Nyeri dada
timbulnya
nyeri
dada
tidak
ada
juga dirasakan menjalar hingga ke
hubungannya dengan aktivits fisik dan bila
punggung dan lengan.
tidak diobati berlangsung dalam beberapa
jam.

Disamping

mengeluh

itu

dyspnea,

penderita

juga

palpitasi

dan

berkeringat.
Pemeriksaan Laboratorium:
Pemeriksaan
darah
lengkap

Dari pemeriksaan laboratorium adanya


dan

pemeriksaan terhadap faktor risiko penyakit


jantung koroner seperti KGD, profil lipid,

peningkatan kadar enzim jantung pada 26


februari 2013 yaitu CK-MB 85 U/L dan

troponin T 2,0 g/L


dan enzim jantung diperlukan.
Elektrokardiogram:
SR
Kelainan EKG yang khas adalah ST-T

berupa depresi segmen ST 0,1 mVolt

(1mm).

Penatalaksanaannya

Terdiri dari terapi farmakologis, non


farmakologis dan terapi reperfusi dengan

cara intervensi atau bedah pintas (CABG).

QRS Rate 88 x/i


QRS axis (N)
P wave (+) N
PR interval : 0,16 s
QRS duration : 0,08 s
Q Patologis (+) di V1, III, aVF
ST depresi (+) di V5, V6
T-inverted (+) di III, aVF
LVH (-)
VES (-)
Bed rest
O2 nasal 2 3 L/i
IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i (Mikro)
Drip heparin 4000 IU bolus 840
IU/jam
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Bisoprolol 1 x 1,25 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Captopril 1 x 40 mg

BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan dari data yang didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya, pasien dapat didiagnosis dengan STEMI inferior onset
3 hari KILLIP I TIMI Risk 5/14 dan hipertensi stage I.
4.2. Saran
Agar follow up dapat dilakukan dengan lebih baik lagi agar keadaan pasien dapat
terus terpantau dan pemberian obat dapat lebih efektif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004. Tatalaksanan Sindroma Koroner Akut Dengan ST-Elevasi. Pedoman


Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia
Antman E.M., Braunwald E., 2008. Disorders of cardiovascular system.ST-segment
Elevation Myocardial Infarction 1532-1544. Harrisons Internal Medicine, 17th
edition, United States of America, The McGraw-Hill Companies.
Daga, Lal C, Upendra Kaul, Aijaz Mansoor, 2011, Approach to STEMI and NSTEMI,
Journal Association of Physicians India, vol. 59, p.19-24.

Diego S., William W., Thygesen C., Management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation.2002. European Society of
Cardiology. Elsevier.
Djohan, A.B.T. 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Hypertension. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 1-7
Dorland, 2007. Dorlands Medical Dictionary. USA: Elsevier. Available from:
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/hypertension
Fagan, S., 2002. Structure and function of the heart, 9, Cardiovascular System2nd edition,
United Kingdoms. Elsevier.
Fuster,at al. Hurst, The Heart Disease. 13th, 2011, Mc Graw Hill Publisher
Kabo, dr. Peter dan dr Sjukri Karim. EKG dan Beberapa Penanggulangan Penyakit
Jantung ; Bab Infark Miokard Akut; 2007. Jakarta : FK UI ; 141-153
Kawai C., Pathognesis of Acute Myocardial Infarction, Novel Regulatory System of
Bioactive Substance in the Vessel Wall. 2012. American Heart Association
Kumar, P. & Clark, M., 2004. Cardiovascular disease In: Clinical Medicine 6th ed.
London: Elsevier.
Maric, C., 2005. Sex Differences in Cardiovascular Disease and Hypertension:
Involvement of the Renin-Angiotensin System. Hypertension 46:475-476.
Available from: http://hyper.ahajournals.org/content/46/3/475.full
McEniery, C.M., Wilkinson, I.B.& Avolio, A.P., 2007. Age, Hypertension and Arterial
Function. Clin. Exp. Pharmacol. Physiol. 34:665671. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17581227
Muchid, A., et al, 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan,

Departemen

Kesehatan.

Available

from:

http://binfar.depkes.go.id/download/BUKU_SAKU_HIPERTENSI.pdf
National Heart, Lung, And Blood Institute, 2004. The Sevent Report of the Joint
National Committee on the Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of

High Blood Pressure. USA: NIH Publication, 12-13. Available from:


http://www.nhlbi.nih.gov
Oxford, 2003. Oxford Consice Medical Dictionary 6th ed. New York: Oxford University
Press.
Papadopoulos John, 2008, Pocket Guide to Critical Care Pharmacotherapy. New Jersey:
Humana Press.
Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus Sindroma Koroner
Akut,2006. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006.
Phibbs, B., 2007. Hypertensive Heart Disease In: The Human Heart: A Basic Guide to
Heart Disease 2nd ed. Lippincott: Williams & Wilkins, 28-40.
Rhee, W.J, Sabattne,

S.M., Lily S.L., 2011.

Acute Coronary Syndromes,

Pathophysiology of Heart Diseases, 5th ed, Philadelphia: Lippincott Williams &


Wilkins, a Wolters Kluwer business. 161- 188
Rilantono L.I., Baraas F., Karo S.K., dan roebiono P.S., Penyakit Jantung Koroner,
Angina Pektoris, 1996, Fakultas Kedokteran universitas Indonesia.
Steg, G. , et al. 2012. ESC Guidelines for The Management of Acute Myocardial
Infarction in Patients Presenting with ST-Segment Elevation. European Heart
Journal. 1-51.
Sudoyo, W.A.,et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Bab Infark Miokard
Akut Dengan Elevasi ST. Jakarta: FK UI ;1615-1625
Tatalaksanan Sindroma Koroner Akut Dengan ST-Elevasi,2004. Pedoman Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2004.
Thygesen K., Alpert J.S., & White H.D. 2012. Universal definition of Myocardial
infarction. European Heart Journal. 1-14.
Tyroler H.A., Diseases and Health Probelms, 2000, Coronary Heart Disease
Epidemiology in the 21st Century, The Johns Hopkins University School of
Hygiene and Public Health

Yogiantoro, M., 2006. Hipertensi Esensial. In: Sudoyo, A.W., et al eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam 5th ed. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing, 1079-1085.
Yusuf, I., 2008. Hipertensi Sekunder. Medical Review 21 (3): 71-79. Available from:
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/213087179.pdf

Anda mungkin juga menyukai