Anda di halaman 1dari 21

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................. iii
DAFTAR TABEL................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 2
2.1 Definisi............................................................................................................ 2
2.2 Epidemiologi................................................................................................... 2
2.3 Patofisiologi..................................................................................................... 3
2.4 Diagnosis......................................................................................................... 4
2.5 Diagnosis Banding........................................................................................... 9
2.6 Tatalaksana.................................................................................................... 10
BAB III LAPORAN KASUS............................................................................. 17
3.1 Identitas Pasien.............................................................................................. 17
3.2 Anamnesis..................................................................................................... 17
3.3 Pemeriksaan fisik.......................................................................................... 18
3.4 Pemeriksaan Penunjang................................................................................ 19
3.5 Diagnosis....................................................................................................... 21
3.6 Tatalaksana.................................................................................................... 22
BAB IV PEMBAHASAN................................................................................... 23
BAB V KESIMPULAN...................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 25

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Cara Mengukur Deviasi Segmen ST.................................................6


Gambar 2.2 Waktu Timbulnya Berbagai Marka Jantung......................................9

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Lokasi Infark Berdasarkan Sadapan EKG............................................. 6

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Sindroma Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS),


adalah suatu terminologi yang dipakai untuk menunjukkan sekumpulan gejala
nyeri dada iskemik yang akut, merupakan keadaan kegawatdaduratan yang
memerlukan penanganan segera. SKA merupakan sindroma klinis akibat adanya
penyumbatan pembuluh darah koroner, baik bersifat intermitten maupun menetap
akibat rupturnya plak aterosklerosis yang menimbulkan ketidakseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen miokard. SKA merupakan suatu masalah kardiovaskular
yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka
kematian yang tinggi, dimana SKA menyumbang sekitar 7 juta kematian setiap
tahun secara global.1,2
SKA ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang meliputi EKG dan laboratorium pemeriksaan marker jantung. Keluhan
pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina
tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium, yang dapat berlangsung intermiten
(beberapa menit) atau persisten (>20 menit), serta sering disertai keluhan penyerta
seperti diaforesis (keringat dingin), mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan sinkop. Pemeriksaan penunjang dengan alat EKG harus diambil dalam 10
menit pertama setelah pasien datang ke unit gawat darurat dengan keluhan nyeri
dada, dimana dapat dievaluasi adanya elevasi segmen ST atau tanpa elevasi
segmen ST. Pemeriksaan laboratorium untuk menilai adanya tanda nekrosis
miokard seperti CK-MB, Troponin T dan I, serta myoglobin.1,2
Tujuan terapi SKA adalah mengurangi daerah miokard yang mengalami
infark sehingga fungsi ventrikel kiri dapat dipertahankan, mencegah komplikasi
kardiak fatal dan menangani komplikasi SKA.1 Tingginya angka morbiditas dan
mortalitas SKA menjadi dasar pentingnya pengetahuan dalam penegakkan
diagnosis dan penanganan segera saat menemukan kasus SKA.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindroma Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS),
adalah suatu terminologi yang dipakai untuk menunjukkan sekumpulan gejala
nyeri dada iskemik yang akut, merupakan keadaan kegawatdaduratan yang
memerlukan penanganan segera. SKA merupakan sindroma klinis akibat adanya
penyumbatan pembuluh darah koroner, baik bersifat intermitten maupun menetap
akibat rupturnya plak aterosklerosis. Hal tersebut menimbulkan
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard. SKA sendiri
merupakan bagian dari penyakit jantung koroner (PJK) dimana yang termasuk ke
dalam SKA adalah angina pektoris tak stabil (Unstable Angina Pectoris/UAP),
infark miokard dengan ST Elevasi (ST Elevation Myocard Infarct/STEMI), dan
infark miokard tanpa ST Elevasi (Non ST Elevation Myocard Infarct/NSTEMI).1,2

2.2 Epidemiologi
SKA merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama karena
menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. SKA
menyumbang sekitar 7 juta kematian setiap tahun secara global. Selain itu, data
menunjukkan bahwa SKA menjadi penyebab utama kematian pada wanita dengan
angka kematian dan prevalensi yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan
dengan pria. Indonesia termasuk dalam wilayah Asia-Pasifik dimana pada tahun
2018 sebanyak 17,3 juta penduduk Indonesia meninggal karena penyakit jantung
dan 3 juta meninggal pada usia dibawah 60 tahun. Penderita penyakit jantung saat
ini tidak identik lagi dengan usia lanjut tetapi sudah banyak terjadi pada usia
produktif. Kematian terbanyak terjadi di luar rumah sakit. Kematian yang terjadi
sebelum pasien sampai di rumah sakit berhubungan dengan aritmia maligna
(VT/VF). Banyak kejadian terjadi dalam empat jam pertama setelah awal
serangan. Kematian di rumah sakit lebih banyak berhubungan dengan
menurunnya curah jantung termasuk gagal jantung kongestif dan syok

2
kardiogenik. Kematian berhubungan dengan luasnya miokard yang terkena. Oleh
karena itu, upaya membatasi luas infark akan menurunkan mortalitas.1,2,3

2.3 Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah akibat perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrosa yang menutupi plak tersebut. Kecepatan aliran darah,
turbulensi, dan anatomi pembuluh darah juga merupakan faktor yang
memengaruhi. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan
aktivasi jalur koagulasi sehingga terbentuk trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat lubang pembuluh darah koroner, baik
secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah
koroner.
Sumbatan trombus yang parsial akan menimbulkan gejala iskemia yang
progresif (lebih lama atau pada aktivitas yang lebih ringan dari biasanya), gejala
iskemia yang baru pertama terjadi, atau terjadi saat istirahat disebut UAP.
Sumbatan trombus yang parsial yang menyebabkan berkurangnya aliran darah
koroner dengan suplai oksigen selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard/IM) menimbulkan gejala
NSTEMI. Pada fase ini trombus kaya akan platelet sehingga terapi aspirin,
clopidogrel, dan GP IIb/IIIa inhibitor paling efektif. Pemberian trombolisis pada
fase ini tidak efektif dan malah sebaliknya dapat mengakselerasi oklusi dengan
melepaskan bekuan yang berikatan dengan trombin yang dapat mempengaruhi
terjadinya koagulasi. Jika trombus menyumbat total pembuluh darah koroner
dalam jangka waktu yang lama maka akan menyebabkan STEMI. Bekuan ini kaya
akan trombin, oleh karena itu, pemberian fibrinolitik yang cepat dan tepat atau
langsung dilakukan intervensi coroner perkutan (IKP) dapat membatasi perluasan
infark miokard.1,2
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Sumbatan subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis juga dapat

3
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Selain nekrosis, iskemia juga menyebabkan gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), serta distritmia
dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Pada
sebagian pasien, SKA terjadi karena sumbatan dinamis akibat spasme lokal arteri
koronaria epikardial (angina prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi pembentukan plak atau
restenosis setelah intervensi koroner perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik,
seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi
pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.1,2

2.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten (beberapa menit) atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal
sering disertai keluhan penyerta seperti diaforesis (keringat dingin), mual/muntah,
nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.2
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan (indigesti), sesak napas yang tidak
dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan
atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia
lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau
demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan
ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas,
terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya
keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis
SKA. 2
Presentasi klinik lain yang dapat dijumpai adalah angina ekuivalen,
terutama pada wanita dan lanjut usia. Keluhan yang paling sering dijumpai adalah

4
awitan baru atau perburukan sesak napas saat aktivitas. Beberapa faktor yang
menentukan bahwa keluhan tersebut presentasi dari SKA adalah sifat keluhan,
riwayat PJK, jenis kelamin, umur, dan jumlah faktor risiko tradisional. 2
Angina atipikal yang berulang pada seorang yang mempunyai riwayat
PJK, terutama infark miokard, berpeluang besar merupakan presentasi dari SKA.
Keluhan yang sama pada seorang pria lanjut usia (>70 tahun) dan menderita
diabetes berpeluang menengah suatu SKA. Angina ekuivalen atau yang tidak
seutuhnya tipikal pada seseorang tanpa karakteristik tersebut di atas berpeluang
kecil merupakan presentasi dari SKA. 2
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut: 2
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non-koroner (penyakit arteri
perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,
bedah pintas koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga yang diklasifikasikan
sebagairisiko tinggi, risiko sedang, atau risiko rendah menurut National
Cholesterol Education Program (NCEP).

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis
banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah
halus, dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi
komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,
hipotensi, diaforesis, ronkhi basah halus, atau edema paru meningkatkan
kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan
nadi tidak seimbang, dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA. 2

5
d. EKG
Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada
diagnosis Sindroma koroner akut untuk menentukan tata laksana selanjutnya.
EKG harus diambil dalam 10 menit pertama setelah pasien datang ke unit gawat
darurat dengan keluhan nyeri dada. Berdasarkan gambaran EKG, pasien Sindroma
koroner akut dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok: 1,2
1. Dengan elevasi segmen ST atau left bundle branch block (LBBB)
baru/dianggap baru (new or presumably new LBBB). Didapatkan
gambaran elevasi segmen ST, minimal di dua sadapan yang berhubungan.
2. Tanpa elevasi segmen ST, dengan gambaran EKG umumnya berupa
depresi segmen ST atau inversi gelombang T yang dinamis pada saat
pasien mengeluh nyeri dada.

Gambar 2.1 Cara mengukur deviasi segmen ST 2

Tabel 2.1 Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG 1

6
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan
diagnosis Sindroma koroner akut tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat
iskemia tersembunyi di daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh
karena itu pada hasil EKG normal perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan
tambahan.
Depresi segmen ST  0,5 mm di 2 sadapan berdekatan sugestif untuk
diagnosis UAP atau NSTEMI tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi
segmen ST yang kecil, diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi
segmen ST 1 mm. Depresi segmen ST 1 mm dan/atau inversi gelombang T2
mm di beberapa sadapan prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau
NSTEMI (tingkat peluang tinggi). Gelombang Q 0,04 detik tanpa disertai
depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T menunjukkan tingkat
persangkaan terhadap Sindroma koroner akut tidak tinggi sehingga diagnosis yang
seharusnya dibuat adalah Kemungkinan Sindroma koroner akut atau Definitif
Sindroma koroner akut.
Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan non-diagnostik,
sementara angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian
(rekam juga V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan
kelainan yang non-diagnostik dan biomarka jantung negatif sementara keluhan
angina sangat sugestif Sindroma koroner akut, maka pasien dipantau selama 12-
24 jam. EKG diulang setiap terjadi angina berulang atau setidaknya 1 kali dalam
24 jam. Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi
segmen ST dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis UAP
atau NSTEMI dapat dipastikan. Walaupun demikian, depresi segmen ST yang

7
kecil (0,5 mm) yang terdeteksi saat nyeri dada dan mengalami normalisasi saat
nyeri dada hilang sangat sugestif diagnosis UAP atau NSTEMI.2
Stress test dapat dilakukan untuk provokasi iskemia jika dalam masa
pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG tetap non-diagnostik, biomarka
jantung negatif, dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil stress test yang
positif meyakinkan diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi UAP atau
NSTEMI. Hasil stress test negatif menunjukkan diagnosis Sindroma koroner akut
diragukan dan dilanjutkan dengan rawat jalan.2

e. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium untuk menilai adanya tanda nekrosis miokard


seperti CK-MB, Troponin T dan I, serta mioglobin dipakai untuk menegakkan
diagnosis Sindroma koroner akut. Troponin lebih dipilih karena lebih sensitif dari
pada CK-MB. Troponin berguna untuk diagnosis, stratifikasi risiko, dan
menentukan prognosis. Troponin yang meningkat akan meningkatkan risiko
kematian. Pada pasien Sindroma koroner akut dengan ST elevasi, reperfusi tidak
boleh ditunda hanya untuk menunggu enzim jantung. 1,2
CK-MB merupakan isoenzim dari creatinin kinase, dengan konsentrasi
terbesar terdapat pada miokardium. Dalam jumlah kecil CK-MB dapat dijumpai
di otot rangka, usus kecil atau diafragma. CK-MB mulai meningkat 3 jam setelah
infark dan mencapai puncaknya setelah 12-14 jam. CK-MB akan mulai
menghilang dari darah 48-72 jam setelah infark. 1
Troponin mengatur interaksi kerja aktin dan myosin dalam otot jantung
dan lebih spesifik dari CK-MB. Ada dua bentuk yaitu troponin T dan I. Enzim ini
mulai meningkat pada jam 3 setelah onset nyeri dada. mencapai puncaknya pada
jam ke-12 hingga 24, serta kadarnya masih meningkat sampai beberapa hari ke
depan, kemudian nilainya kembali ke normal pada hari ke 8 – 21 (trop T) dan 7 –
14 (trop I). Peningkatan enzim ini menjadi bukti adanya nekrosis miokard dan
menunjukkan prognosis yang buruk pada Sindroma koroner akut. Pengukuran
enzim jantung troponin bersama dengan pemeriksaan EKG secara serial
merupakan bagian dari evaluasi pasien dengan tanda dan gejala yang mencurigai
adanya Sindroma koroner akut. Petugas medis perlu mengetahui onset dari gejala

8
sebelum melakukan pemeriksaan enzim jantung, karena troponin maupun CK-MB
baru meningkat 3 jam setelah onset iskemik. 1,2
Penggunaan biomarkers high sensitive-cardiac Troponin I (hs-cTnI) dan
high sensitive-cardiac Troponin T (hs-cTnT) dianjurkan bila tersedia, mengingat
biomarker ini lebih sensitif untuk mendeteksi adanya nekrosis miokard lebih awal.
Deteksi peningkatan troponin (Tn) diatas nilai persentil 99 batas atas, sangat
sensitif dan spesifik menunjukkan adanya nekrosis miokard. Ambang batas
deteksi untuk hs-cTnI 0,056 mcg/L sedangkan untuk hs-cTnT 14 ng/L. Pedoman
Sindroma koroner akut PERKI tahun 2015 juga merekomendasikan untuk tidak
melakukan pemeriksaan hs-cTnI atau hs-cTnT pada jam ke-0 dan jam ke-2 tanpa
melakukan stratifikasi risiko klinis untuk menyingkirkan diagnosis Sindroma
koroner akut. Hasil pengukuran hs-cTnI dengan nilai kurang dari persentil 99
pada jam 0 dan jam ke-2 bersama dengan nilai stratifikasi risiko klinis yang
rendah (skor TIMI 0 atau 1) memprediksi angka kejadian major adverse cardiac
event (MACE) dalam 30 hari kurang dari 1%.1,2
Bila tidak tersedia pemeriksaan hs-cTnT atau hs-cTnI, pemeriksaan
troponin T atau troponin I yang negatif pada saat datang dan antara 3 sampai 6
jam dari onset iskemik dapat digunakan bersamaan dengan stratifikasi risiko yang
sangat rendah (TIMI skor 0, low risk Vancouver rule, North American chest pain
score 0, dan usia < 50 tahun atau HEART score risiko rendah) dapat memprediksi
kurang dari 1% MACE dalam 30 hari.1,2

Gambar 2.2 Waktu Timbulnya Berbagai Marka Jantung 1

9
2.5 Diagnosis banding
Penyakit yang mengancam jiwa dan dapat menyerupai nyeri dada iskemia:
1) Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik atau penyakit katup jantung
(stenosis dan regurgitasi katup aorta) dapat mengeluh nyeri dada disertai
perubahan EKG dan peningkatan marka jantung menyerupai yang terjadi
pada pasien NSTEMI.2
2) Miokarditis dan perikarditis dapat menimbulkan keluhan nyeri dada,
perubahan EKG, peningkatan biomarka jantung, dan gangguan gerak
dinding jantung menyerupai NSTEMI.2
3) Stroke dapat disertai dengan perubahan EKG, peningkatan marka jantung,
dan gangguan gerak dinding jantung.2
4) Diseksi aorta: tanyakan sifat nyeri, apakah seperti dirobek.1
5) Emboli paru akut: tanyakan faktor risiko berupa imobilisasi.1
6) Tension pneumothorax: tanyakan riwayat penyakit paru lama, cedera
dinding dada.1

2.6 Tatalaksana
Tujuan terapi Sindroma koroner akut adalah mengurangi daerah miokard
yang mengalami infark sehingga fungsi ventrikel kiri dapat dipertahankan,
mencegah komplikasi kardiak fatal dan menangani komplikasi Sindroma koroner
akut.1
Secara umum, tata laksana infark miokard akut dengan STEMI dan
NSTEMI hampir sama, baik pra rumah sakit maupun saat di rumah sakit.
Perbedaan terdapat pada strategi terapi reperfusi, dimana STEMI lebih ditekankan
untuk segera melakukan reperfusi, baik dengan medikamentosa (fibrinolitik) atau
intervensi (intervensi koroner perkutan - IKP).1,2

a. Tatalaksana Pra Rumah Sakit


Tindakan-tindakan pra rumah sakit dilakukan oleh layanan gawat darurat
sebelum pasien tiba di rumah sakit, biasanya dilakukan di dalam ambulans. Bila
dicurigai Sindroma koroner akut, segera lakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan

10
dan berikan pemberitahuan ke RS bila ada rencana untuk dilakukan tindakan
fibrinolitik atau IKP primer.1,2
Tindakan yang dilakukan pada layanan gawat darurat adalah:1,2
• Monitoring, amankan ABC (airway, breathing, circulation). Persiapkan diri
untuk melakukan RJP dan defibrilasi.
• Berikan aspirin. Pertimbangkan pemberian oksigen, nitrogliserin, dan morfin
jika diperlukan.
• Pemeriksaan EKG 12 sadapan dan interpretasi. Jika terdapat ST elevasi,
informasikan rumah sakit dan catat waktu onset serta kontak pertama dengan
tim medis.
• Lakukan pemberitahuan ke RS untuk melakukan persiapan penerimaan pasien
dengan Sindroma koroner akut.
• Bila akan diberikan fibrinolitik pra rumah sakit, lakukan checklist
kontraindikasi fibrinolitik.
Aspirin dapat diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan kecurigaan
Sindroma koroner akut sehingga dapat diberikan pra rumah sakit secara dikunyah
dengan dosis 160 - 320 mg. Sebelum memberikan aspirin, pastikan tidak terdapat
alergi aspirin pada pasien.

b. Tata Laksana Awal di Rumah Sakit


1. Oksigen
Pada pedoman PERKI, oksigen diberikan pada semua pasien dengan sesak
napas, tanda gagal jantung, syok, atau saturasi oksigen <94%. Monitoring SpO2
akan sangat bermanfaat untuk mengetahui perlu tidaknya diberikan oksigen pada
pasien. Konsensus 2015 memuat beberapa pendapat yang mempersoalkan tentang
perlu tidaknya terapi oksigen pada pasien Sindroma koroner akut dengan SpO2
yang normal. Pedoman PERKI merekomendasikan untuk mempertimbangkan
penundaan terapi oksigen pada pasien dengan kecurigaan atau terbukti Sindroma
koroner akut dengan SpO2 yang normal. Indikasi terapi oksigen adalah pada
kondisi:
• Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau hemodinamik tidak
stabil.

11
• Pasien dengan tanda bendungan paru (gagal jantung akut).
• Pasien dengan saturasi oksigen <90%.1

2. Aspirin
Aspirin dapat menurunkan reoklusi koroner dan berulangnya kejadian
iskemik setelah terapi fibrinolitik. Penggunaan aspirin supositoria dapat dilakukan
pada pasien dengan mual, muntah, ulkus peptik, atau gangguan pada saluran
pencernaan atas. Dosis pemeliharaan 80-100 mg/hari.1,2
Obat anti-inflamatorik non steroid (OAINS) baik yang selektif maupun
nonselektif tidak boleh diberikan pada Sindroma koroner akut selama di RS
karena dapat meningkatkan risiko kematian, reinfark, gagal jantung, hipertensi,
dan ruptur miokard.1,2

3. Nitrat
Tablet nitrogliserin sublingual dapat diberikan sampai 3 kali dengan
interval 3-5 menit jika tidak terdapat kontraindikasi. Obat ini tidak boleh
diberikan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil yaitu tekanan darah
sistolik <90 mmHg atau >30 mmHg lebih rendah dari pemeriksaan tekanan darah
awal (jika dilakukan), bradikardia <50 x/menit atau takikardia >150x/menit tanpa
adanya gagal jantung, dan adanya infark ventrikel kanan. Nitrogliserin adalah
venodilator dan penggunaannya harus berhati-hati pada keadaan pasien yang
menggunakan obat penghambat fosfodiesterase (contoh: sildenafil) dalam waktu
<24 jam (48 jam pada tadalafil). Dosis untuk nitrogliserin adalah 400 mikrogram,
sedangkan ISDN adalah 5 mg secara sublingual.1,2

4. Analgetik
Analgetik terpilih pada pasien Sindroma koroner akut adalah morfin.
Pemberian morfin dilakukan jika tidak ada respons terhadap pemberian
nitrogliserin sublingual atau semprot. Morfin merupakan pengobatan yang cukup
penting pada Sindroma koroner akut oleh karena:
• Menimbulkan efek analgesik pada SSP yang dapat mengurangi aktivasi
neurohumoral dan menyebabkan pelepasan katekolamin.

12
• Menyebabkan venodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel kiri dan
mengurangi kebutuhan oksigen.
• Menurunkan tahanan vaskular sistemik, sehingga mengurangi afterload
ventrikel kiri.
• Membantu redistribusi volume darah pada edema paru akut.1,2

c. Terapi reperfusi pada STEMI


Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB). Pada Right
Bundle Branch Block (RBBB) dengan gejala-gejala iskemia yang persisten harus
dipertimbangkan IKP primer. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP
primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia
yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu
atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan terapi
reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang
memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada,
pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke RS
tersebut apakah kurang atau lebih dari 2 jam. Jika membutuhkan waktu lebih dari
2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan,
jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.2
Terapi fibrinolitik segera atau IKP primer sudah merupakan standar
pengobatan pasien STEMI yang onset serangan masih dalam 12 jam dan tidak
terdapat kontraindikasi. Terapi reperfusi dapat menyelamatkan fungsi miokard
dan mengurangi mortalitas. Semakin pendek waktu reperfusi, manfaatnya
semakin besar.1,2
Reperfusi pada pasien STEMI akan mengembalikan aliran koroner pada
arteri yang berhubungan dengan area infark, mencegah perluasan infark, dan
menurunkan mortalitas jangka panjang. Fibrinolitik berhasil mengembalikan
aliran normal koroner pada 50-60% kasus, sedangkan IKP primer dapat
mengembalikan aliran normal sampai 90% kasus, dan manfaat ini lebih besar
didapatkan pada pasien dengan syok kardiogenik. Tindakan IKP juga memiliki

13
risiko perdarahan intrakranial dan stroke yang lebih rendah. Pada Sindrom
koroner akut dengan elevasi segmen ST dan LBBB baru atau dugaan baru,
sebelum melakukan terapi reperfusi harus dilakukan evaluasi sebagai berikut:1,2
• Langkah I
1) Nilai waktu onset serangan.
2) Perhitungkan risiko STEMI.
3) Perhitungkan risiko fibrinolysis.
4) Waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli intervensi
(kateterisasi/IKP) yang tersedia.
• Langkah II
Dalam melakukan pemilihan strategi terapi reperfusi ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, antara lain onset STEMI, ada tidaknya fasilitas intervensi
coroner perkutan (IKP) dan tenaga ahli, kontraindikasi fibrinolitik, dan pada
pasien yang risiko lebih tinggi.1,2
a. Terapi Fibrinolitik
1) Onset < 12 jam (fibrinolitik paling efektif jika dilakukan pada onset <3
jam)
2) Tidak ada akses ke fasilitas IKP (untuk merujuk memerlukan waktu >120
menit) atau akan menimbulkan penundaan:
• Kontak medik-balon (pada tindakan IKP) atau door-to-balloon time >
90 menit
• (Door-to-balloon time) dikurangi (door-to-needle time) > 1 jam
3) Tidak terdapat kontraindikasi fibrinolitik

Fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama di


layanan medis yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu
yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam
sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa kontraindikasi apabila IKP primer
tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak
medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (< 2 jam sejak awitan
gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolitik perlu
dipertimbangkan bila waktu antara Kontak Medis Pertama dengan inflasi balon

14
lebih dari 90 menit. Fibrinolitik harus dimulai di ruang gawat darurat. Agen yang
spesifik terhadap fibrin (tenecteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase). Harus
diberikan aspirin oral. Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan
untuk aspirin. Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang
diobati dengan fibrinolitik sampai revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama
dirawat di rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
1. Enoxaparin subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi).
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan
infus selama 3 hari.
3. Pada pasien-pasien yang mendapatkan streptokinase, fondaparinux intravena
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian.2

 Kontraindikasi fibrinolitik1,2
o Kontraindikasi Absolut
• Perdarahan intrakranial kapanpun.
• Stroke iskemik kurang dari 3 bulan dan lebih dari 3 jam.
• Tumor intrakranial.
• Adanya kelainan struktur vaskular serebral.
• Kecurigaan diseksi aorta.
• Perdarahan internal aktif atau gangguan sistem pembekuan darah.
• Cedera kepala tertutup atau cedera wajah dalam 3 bulan terakhir.

o Kontraindikasi Relatif
• Tekanan darah yang tidak terkontrol
• Tekanan darah sistolik >180 mmHg dan tekanan darah diastolik >110
mmHg
• Riwayat stroke iskemik >3 bulan, demensia
• Trauma atau RJP lama (>10menit) atau operasi besar < 3 bulan
• Perdarahan internal dalam 2-4 minggu

15
• Penusukan pembuluh darah yang sulit dilakukan penekanan
• Hamil
• Ulkus peptikum
• Sedang menggunakan antikoagulan dengan INR tinggi

b. Terapi Invasif (IKP) 1,2


1) Onset < 12 jam, setelah onset >3 jam IKP lebih efektif daripada
fibrinolitik.
2) Dapat dipertimbangkan setelah onset >12 jam jika pasien masuk ke dalam
kriteria risiko tinggi.
3) Tersedia ahli IKP
 Kontak medik-balon atau door-to- balloon time < 90 menit
 (Door-to-balloon time) dikurangi (door-to-needle time) < 1 jam
4) Terdapat kontraindikasi fibrinolitik, termasuk risiko perdarahan tinggi.
5) STEMI risiko tinggi (CHF, Killip ≥ 3).
6) Diagnosis STEMI diragukan.

Intervensi koroner perkutan (IKP) primer merupakan IKP emergensi


dengan balloon, stent, atau alat lainnya, yang dikerjakan pada arteri yang infark
(infarct-related artery/IRA) tanpa terapi fibrinolitik sebelumnya. IKP primer
adalah terapi reperfusi pilihan apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman
dalam waktu 120 menit dari Kontak Medis Pertama. IKP primer diindikasikan
untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali
bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang
dengan awitan gejala yang telah lama. Tidak disarankan untuk melakukan IKP
secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan
gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum
diberikan fibrinolitik. Bila pasien tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi
antiplatelet ganda (dual antiplatelet therapy/DAPT) dan kemungkinan dapat patuh
terhadap pengobatan, lebih disarankan drug-eluting stents (DES) dari pada bare
metal stents (BMS).

16
17
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tata


Laksana Sindrom Koroner Akut. Edisi Keempat. 2018.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Kursus
Bantuan Hidup Jantung Lanjut. 2021.
3. Sulastri, L., Trisyani, Y., Mulyati, T. Manfaat Health Education pada
Pasien Acute Coronary Syndrome (ACS): Tinjauan Literatur. JNC. 2020.
3(2): 100-109.
4. Putra, B.F.K. Stemi Inferior dengan Bradikardi dan Hipotensi. Available
at: https://media.neliti.com/media/publications/400687-stemi-inferior-
dengan-bradikardi-dan-hip-1ec97425.pdf (Accessed: January 23, 2023).
2018.

18

Anda mungkin juga menyukai