Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

( Konsep Dasar Dan Asuhan Keperawatan Sindrom Coronel Akut (SCA) )

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok

Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Dosen pengampu : Indrawati S.Kep., M.Kes

Oleh Kelompok 3 (tiga)

Fitri ayu nimgsih (B0218006)

Nurul aisah (B0218366)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS SULAWESI BARAT


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat karunianyalah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.

Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama
kepada dosen pembimbing yang telah memberikan bantuannya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa makalah jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan
saran dari dosen pembimbing dan semua pihak yang sifatnya membangun selalu penulis
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan demi perbaikan makalah penulis di masa yang
akan datang. 

Campalagian, 7 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................

DAFTAR ISI ......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................

A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................
C. Tujuan .....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................

A. Definisi SCA............................................................................................................
B. Epidemologi SCA....................................................................................................
C. Faktor faktor resiko SCA.........................................................................................
D. Patofisiologi SCA....................................................................................................
E. Manifestasi klinis ....................................................................................................
F. Anamnesa................................................................................................................
G. Pemeriksaan penunjang...........................................................................................
H. Penatalaksanaan ......................................................................................................
I. Komplikasi ..............................................................................................................

BAB III ASKEP .................................................................................................................

A. Pengkajian ..............................................................................................................
B. Diagnosa .................................................................................................................
C. Intervensi ................................................................................................................
D. Implementasi ..........................................................................................................
E. Evaluasi ..................................................................................................................

BAB IV TELAAH JURNAL..............................................................................................

A. Analisis Jurnal ........................................................................................................


B. Pembahasan isi Jurnal..............................................................................................

BAB V PENUTUP .............................................................................................................

A. Kesimpulan .............................................................................................................
B. Saran .......................................................................................................................

DAFTRA PUSTAKA .........................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sindrom koroner akut (acute coronary syndrome/ACS ) meliputi
spektrum penyakit dari infark miokard akut (MI) sampai angina tak stabil
(unstable angina). Penyebab utama penyakit ini adalah trombosis arteri
koroner yang berakibat pada iskemi dan infark miokard. Derajat iskemik
dan ukuran infark ditentukan oleh derajat dan lokasi trombosis.
Sejak 1960 ‐ an, ketika terapi standard menjadi istirahat penuh ( bed
rest) dan defibrilasi (jika diperlukan), angka kematian infark miokard akut
menurun terus. Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat
jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain
sebagai akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak
stabil, infarct myocard acute  (IMA) yang disertai elevasi segmen
ST. Penderita dengan infark miokardium tanpa elevasi ST.3 SKA
ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner. Penyakit
jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi utama proses aterosklerosis .
The American Heart Association   memperkirakan bahwa lebih dari 6
juta penduduk Amerika, menderita penyakit jantung koroner (PJK) dan
lebih dari 1 juta orang yang diperkirakan mengalami serangan infark
miokardium setiap tahun. Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur
antara 45 sampai 65 tahun, dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah
umur 65 tahun.4–6 Penyakit jantung koroner juga merupakan penyebab
kematian utama (20%) penduduk Amerika.
B. Rumusan masalah
1. Apa Definisi SCA?
2. Bagaiman Epidemologi SCA ?
3. Apa Saja Faktor faktor resiko SCA ?
4. Bagaimana Patofisiologi SCA ?
5. Apa Manifestasi klinis ?
6. Bagaimana Anamnesa SCA ?
7. Bagaimana Pemeriksaan penunjang SCA ?
8. Bagaiaman Penatalaksanaan SCA ?
9. Apa saja Komplikasi SCA ?

C. Tujuan
1. Mengetahui Definisi SCA
2. Mengetahui Epidemologi SCA
3. Mengetahui Faktor faktor resiko SCA
4. Mengetahui Patofisiologi SCA
5. Mengetahui Manifestasi klinis
6. Mengetahui Anamnesa
7. Mengetahui Pemeriksaan penunjang
8. Mengetahui Penatalaksanaan
9. Mengetahui Komplikasi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi SCA
Sindrom koroner akut merupakan suatu kumpulan gejala klinis iskemia
miokard yang terjadi secara tiba-tiba akibat kurangnya aliran darah ke miokard
berupa angina, perubahan segmen ST pada elektrokardiografi (EKG) 12 lead, dan
peningkatan kadar biomarker kardiak.
SKA terdiri dari tiga kelompok yaitu angina pektoris tidak stabil/ APTS
(unstable angina (UA)), non-ST-segmen elevation myocardial infarction (NSTEMI),
dan STsegmen elevation myocardial infarction (STEMI) (Kumar and Cannon,
2009.). Pasien dikatakan mengalami UA apabila tidak ditemukan peningkatan
biomarker kardiak didarah beberapa jam setelah onset awal nyeri dada iskemia.
Presentasi klinis UA dapat berupa angina saat istirahat (biasanya berlangsung > 20
menit), onset baru suatu angina yang berat, dan pola angina crescendo (mengalami
peningkatan dalam hal intensitas, durasi, atau kombinasinya).
Pada NSTEMI iskemia yang terjadi cukup berat menyebabkan kerusakan
miokard sehingga terjadi pelepasan penanda nekrosis miokard (Troponin T/I spesifik
kardiak, atau fraksi creatinin kinase myocardial band (CKMB)) namun belum
memberikan gambaran perubahan EKG berupa elevasi segmen ST, sedangkan pada
STEMI terjadi infark pada daerah miokard yang luas sehingga memberikan
gambaran elevasi segmen ST pada EKG disertai suatu pelepasan penanda nekrosis
miokard (Grech and Ramsdale, 2003, Kumar and Cannon, 2009, O'Gara, Kushner, et
al., 2013).
Guidelines dari European Society of Cardiology (ESC) tahun 2012
mendefinisikan IMA sebagai kondisi dimana terdapat bukti nekrosis miokardial
pada pasien yang menunjukkan gambaran klinis iskemia miokard yang akut. Deteksi
infark miokard berdasarkan adanya peningkatan biomarker kardiak (yaitu CKMB
dan atau troponin) di atas nilai normal dengan salah satu dari kondisi berikut :
keluhan iskemia, adanya perubahan segmen ST dan atau gelombang T atau adanya
gambaran left bundle branch block (LBBB), adanya gelombang Q pada rekaman
EKG, gambaran abnormalitas pergerakan dinding regional, dan identifikasi adanya
trombus intrakoroner dengan angiografi atau autopsi (Thygesen, S.Alpert, et al.,
2012).
B. Epidemologi SCA
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian terbanyak diseluruh
dunia. Pada tahun 2012, penyakit jantung iskemia bertanggung jawab terhadap
sekitar 7,4 juta kematian diseluruh dunia. Berdasarkan data American Heart
Association (AHA) pada tahun 2003 dilaporkan sekitar 71,3 juta penduduk Amerika
menderita penyakit jantung dan menyebabkan sebanyak 1 juta kematian.
Studi oleh Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) yang
melibatkan populasi pasien di Amerika Serikat (AS) menemukan 38% penderita
SKA mengalami STEMI sedangkan Euro Heart Survey on ACS-II (EHS-ACS-II)
melaporkan sebanyak 47% pasien dengan STEMI. Kejadian SKA meningkat seiring
dengan bertambahnya usia, dimana didapatkan insiden yang tinggi pada laki-laki
sampai usia 70 tahun. Wanita yang telah mengalami menopause selama 15 tahun
memiliki resiko yang sama dengan laki-laki untuk mengalami SKA (Kleinschmidt,
2006, Canto, Kiefe, et al., 2011).
Angka mortalitas penyakit kardiovaskular (KV) di Indonesia mengalami
peningkatan setiap tahunnya, mencapai angka 30% pada tahun 2004 dibandingkan
sebelumnya hanya sekitar 5 % pada tahun 1975. Data terakhir dari National Heart
Survey , menunjukkan bahwa penyakit serebrokardiovaskular merupakan penyebab
utama kematian di Indonesia. Studi kohort selama 13 tahun di tiga daerah di provinsi
Jakarta menunjukkan bahwa PJK merupakan penyebab utama kematian di Jakarta.
Data registri dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) dari tahun 2008-2009
mencatat sebanyak 2013 orang menderita SKA, dimana sebanyak 654 orang
mengalami STEMI (Dharma, Juzar, et al., 2012).
C. Faktor faktor resiko SCA
Sekitar 80 % pasien dengan infark miokard akut (IMA) dilaporkan memiliki
setidaknya 1 dari faktor risiko major, termasuk diantaranya merokok, dislipidemia,
hipertensi, diabetes melitus (DM) , dan obesitas abdomen. Faktor resiko major dari
SKA diantaranya adalah sebagai berikut (Eponiene, Zaliaduonyte-Peksiene, et al.,
2014) :
1. Peningkatan umur
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Dislipidemia
4. Diabetes Melitus
5. Merokok
6. Hipertensi
7. Obesitas

Boudi and Ali (2008) mengklasifikasikan faktor resiko PJK menjadi : faktor
resiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu : umur, jenis kelamin, dan riwayat
keluarga sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu: merokok, hipertensi,
diabetes melitus, obesitas, hiperkolesterolemia, diet tinggi lemak jenuh, dan faktor
hemostatik. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), faktor risiko
PJK yang ikut berperan menyebabkan kematian adalah tingginya tekanan darah
(13% dari kematian global), diikuti oleh konsumsi tembakau (9%), peningkatan gula
darah (6%), rendahnya aktivitas fisik (6%), dan kelebihan berat badan atau obesitas
(5%) (Cepoinene, et al., 2013).

D. Patofisiologi SCA
Secara umum regional IMA disebabkan oleh karena terjadinya trombosis pada
lesi plak aterosklerotik culprit, penyebab lain yang termasuk sangat jarang terjadi
diantaranya adalah diseksi arteri koroner spontan, arteritis koroner, emboli koroner,
spasme koroner dan penekanan myocardial bridges. Plak aterosklerotik yang
terganggu pada ateri koroner akan menstimulasi agregasi platelet dan formasi
trombus. Trombus ini akan menyebabkan terjadinya oklusi pada pembuluh darah
sehingga mengurangi perfusi ke miokard (Libby and Simon, 2001).
Di masa terdahulu, para peneliti beranggapan bahwa penyempitan pembuluh
darah koroner adalah akibat dari penebalan plak yang merupakan penyebab primer
berkurangnya aliran darah sehingga terjadi iskemia, namun data terbaru saat ini
mendukung bahwa ruptur dari plak yang tidak stabil dan rapuh yang berkaitan
dengan perubahan proses inflamasi merupakan penyebab dari keadaan ini.
Berbagai studi dengan teknik pengambilan gambar in Vivo pada manusia serta
keberhasilan terapi antitrombotik dan fibrinolitik pada SKA menguatkan peranan
trombosis terhadap patomekanisme SKA (Apple, Pearce, et al., 2007, Libby and
Simon, 2001, Libby, 2001).
1. Ruptur Plak Aterosklerosis
Plak ateroma terdiri dari beberapa morfologi dan dapat ditemukan diberbagai
lokasi berbeda pada arteri koroner seorang pasien. Lesi awal ditandai dengan
infiltrasi sel foam (lesi tipe I), kemudian berkembang dan menjadi matang
dengan infiltrasi otot polos dan lipid (lesi tipe II “Fatty Streak”) serta deposisi
jaringan ikat (Lesi tipe III). Lesi awal berkembang dalam kurun waktu tiga
dekade awal kehidupan pada daerah dengan aliran turbulen yang terlokalisir
pada arteri koroner. Perkembangan lesi ini dipercepat oleh beberapa keadaan ,
seperti hipertensi, DM, hiperkolesterolemia, dan merokok. Seiring dengan
pertumbuhan plak yang menjadi lebih lunak dengan kandungan lipid
ekstraselular yang tinggi dan cholesteryl ester serta cap fibrosa yang lebih tipis
secara progresif (lesi tipe IV-Va “atheroma”) maka plak akan menjadi semakin
rentan mengalami gangguan. Plak yang ruptur dilapisi oleh trombus (lesi tipe
VI) dikenal sebagai lesi kompleks. Ketika lesi ini menyebabkan derajat
stenosis koroner yang signifikan tanpa asupan kolateral yang adekuat maka
akan terjadi SKA. Setelah terjadinya serangan, trombus pada lesi yang
kompleks ini akan terorganisasi dan mengalami kalsifikasi (lesi tipe Vb) atau
fibrosis (lesi tipe Vc) dan pada akhirnya akan mejadi lesi stenosis kronik. Lesi
kompleks dapat mengandung kumpulan trombus dari episode plak ruptur
sebelumnya, diikuti dengan lisis klot spontan, sel inflamasi, dan sel otot polos.
Kebanyakan lesi culprit pada SKA cenderung memiliki lebih sedikit kalsifikasi
(Davies, 2000, Overbaugh, 2009, Gutstein and Fuster, 1999) . Perkembangan
dan pertumbuhan plak aterosklerosis dapat dibagi menjadi lima tahap
berdasarkan morfologi lesinya. Fase 1, merupakan perkembangan tanpa gejala
dari lesi tipe I-III yang terjadi pada beberapa dekade awal kehidupan. Fase 2 ,
adalah perkembangan ateroma (lesi tipe IV dan Va), dimana biasanya tanpa
gejala namun dapat pula disertai suatu angina pektoris stabil. Disrupsi plak
terjadi pada fase 3 sehingga terjadi trombus mural yang tidak menyebabkan
oklusi dan pertumbuhan tiba tiba dari lesi kompleks. Fase 3 ini dapat
memberikan gejala angina namun dapat juga tidak bergejala. Fase 4 berkaitan
dengan terjadinya SKA dimana terjadi disrupsi lesi plak (Type VI) yang
disertai trombus besar yang oklusif. Fase 5 merupakan fase kronik dimana
terjadi kalsifikasi atau fibrosis plak (lesi tipe Vb dan Vc) (Gutstein and Fuster,
1999). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya plak ruptur,
yaitu faktor dari luar dan dari dalam. Faktor dari luar adalah adanya aliran
darah yang bertabrakan dengan plak , tekanan terhadap dinding pembuluh
darah merupakan kunci dari faktor luar yang mempengaruhi stabilisasi plak.
Tekanan dari luar ini dapat dipengaruhi oleh faktor sistemik seperti pengaruh
lingkungan atau farmakologi. Faktor dari dalam yaitu ukuran plak, lokasi, dan
kandungan dari lipid core serta integritas dari cap fibrosa mempengaruhi
kesensitifan plak terhadap tekanan dari luar. Tekanan dari dalam yang
mempengaruhi stabilitas plak berasal dari aktivitas sel inflamasi didalam plak
sklerotik (Gutstein and Fuster, 1999). Makrofag akan melepaskan
metalloprotein yang mana memiliki aktivitas yang melawan komponen
kolagen plak sehingga merapuhkan cap fibrosa. Makrofag yang berasal dari sel
foam juga telah menunjukkan akan mengaktifkan matrix metalloproteinases
(MMPs) dengan menguraikan spesies reaktif oksigen. Makrofag pada plak
sklerotik berasal dari monosit disirkulasi, yang terikat pada dinding pembuluh
darah di area aliran yang turbulen. Monosit tertarik ke dinding pembuluh darah
melalui faktor kemotaktik seperti Monocyte Chemoattractant Protein-1 (MCP-
1), yang juga berperan merangsang paparan faktor jaringan di monosit dan sel
otot polos. Selain makrofag, limfosit T juga ditemukan dalam jumlah banyak
pada plak ateroma. Infeksi sistemik dikatakan berkaitan dengan kelainan
aterosklerotik. Agen infeksi dapat mempengaruhi fungsi endotel dan
mengaktifkan monosit serta makrofag untuk mengeluarkan sitokin inflamasi.
Sitokin ini akan merangsang produksi spesies reaktif oksigen dan enzim
proteolitik yang akan mempengaruhi stabilitas plak. Stress oksidatif dan
kapasitas antioksidan dinding pembuluh darah memiliki peranan yang penting
terhadap pertumbuhan plak hingga rupturnya plak. Makrofag dan limfosit-T
akan mengalami apoptosis pada plak aterosklerosis tingkat lanjut, kematian sel
apoptosis akan mempengaruhi stabilitas plak. Plak yang rapuh dikatakan
terdiri dari lipid core dengan luas setidaknya 50% dari keseluruhan volume
plak, makrofag dengan densitas tinggi, sel otot polos densitas rendah di cap,
faktor jaringan dalam jumlah tinggi, dan cap plak yang tipis dimana struktur
kolagennya tidak teratur (Gutstein and Fuster, 1999, Libby and Theroux, 2005,
Fischer, Gutstein, et al., 2000).
2. Trombositosis
Trombosis plak terjadi akibat dua proses yang berbeda. Pertama disebabkan
adanya perluasan proses denudasi endotel sehingga permukaan jaringan ikat
subendotel mengalami paparan dalam area yang besar. Pembentukan trombus
terjadi kemudian terikat di permukaan plak. Proses ini dikenal dengan istilah
erosi endotel. Beberapa studi obervasional menunjukkan bahwa hilangnya sel
endotel berkaitan dengan aktivasi makrofag yang mengakibatkan kematian sel
endotel melalui apoptosis dan produksi protease yang memangkas sel endotel
dari perlekatannya dengan dinding pembuluh darah. Mekanisme kedua adalah
pembentukan trombus akibat rupturnya plak. Pada keadaan ini cap plak ruptur
dan terjadi paparan lipid core dengan darah pada lumen arteri. Area lipid core
bersifat sangat trombogenik, mengandung faktor jaringan, fragmen kolagen,
dan permukaan crystalline yang mempercepat terjadinya koagulasi.
Pembentukan trombus pada awalnya terjadi di plak itu sendiri kemudian
meluas dan distorsi dari dalam, trombus dapat meluas sampai ke lumen arteri
(Libby and Simon, 2001, Libby and Theroux, 2005, Crea and Liuzzo, 2013).
Disrupsi plak seperti erosi endotel merupakan cerminan meningkatnya
aktivitas sel inflamasi didalam plak. Cap plak memiliki struktur yang
dinamis, kekuatannya tergantung terhadap matriks jaringan ikat didalamnya
yang secara konstan diganti dan diatur oleh sel otot polos. Proses inflamasi
mengurangi sintesis kolagen dengan menghambat sel otot polos dan
menyebabkan kematian sel melalui apoptosis. Makrofag juga memproduksi
metalloproteinase yang mampu memecah semua komponen matriks jaringan
ikat, termasuk kolagen. Metalloproteinase ini dilepaskan ke jaringan dalam
bentuk tidak aktif yang kemudian diaktivasi oleh plasmin. Produksi
metalloproteinase oleh makrofag dirangsang oleh sitokin inflamasi seperti
tumor necrosis factor (TNF) . Oleh sebab itu disrupsi plak saat ini dianggap
sebagai fenomena auto-destruct yang dirangsang oleh aktivitas inflamasi
(Davies, 2000, Suryana, 2013). Disrupsi plak merupakan penyebab dominan
sekitar > 80% dari trombus koroner pada pria kulit putih dengan konsentrasi
plasma low density lipoprptein (LDL) yang tinggi dan konsentrasi yang
rendah dari high density lipoprotein (HDL). Sedangkan pada perempuan,
erosi endotel bertanggung jawab terhadap 50% kasus trombus koroner.
Proses disrupsi memiliki komponen intra plak yang lebih resisten terhadap
terapi (Epstein, Fuster, et al., 1992, Gutstein and Fuster, 1999).

E. Manifestasi klinis
Derajat oklusi arteri biasanya berkaitan dengan gejala yang muncul dengan
variasi di penanda kardiak dan penemuan EKG. Angina atau nyeri ada merupakan
gejala klasik suatu SKA. Pada angina tidak stabil, nyeri dada muncul saat istirahat
atau aktivitas berat sehingga menghambat aktivitas. Nyeri dada yang berkaitan
dengan NSTEMI biasanya lebih lama dalam hal durasi dan lebih berat.
Pada kedua keadaan ini, frekuensi dan intensitas dapat meningkat bila tidak
hilang dengan istirahat, nitrogliserin, atau keduanya dan dapat bertahan selama lebih
dari 15 menit. Nyeri dapat muncul dan menjalar ke lengan, leher, dan punggung atau
area epigastrium. Sebagai tambahan dari angina, pasien SKA dapat muncul disertai
sesak nafas, keringat dingin, mual, atau kepala berkunang-kunang. Selain itu dapat
terjadi perubahan tanda vital, seperti takikardi, takipneu, hipertensi ataupun
hipotensi, penurunan saturasi oksigen (SaO2) dan abnormalitas irama jantung
(Overbaugh, 2009).

F. Anamnesa
Keluhan utama pasien dengan SKA adalah nyeri dada/angina berupa rasa
tertekan dan berat yang muncul saat istirahat atau saat aktivitas ringan selama lebih
atau sama dnegan 10 menit. Nyeri paling sering terasa dibagian retrosternal dan
menjalar ke lengan, leher, ataupun rahang. Nyeri dada juga dapat disertai dengan
keringat dingin, dyspnea, mual, nyeri perut, atau syncope. Suatu sesak nafas saat
aktivitas onset baru yang tidak dapat dijelaskan atau sesak saat aktivitas yang
semakin bertambah dapat dianggap sebagai suatu angina equivalent.
Pasien usia tua (≥ 75 tahun) dan perempuan sering datang dengan angina
atipikal begitu juga pasien dengan diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal, dan
dementia. Angina atipikal biasanya berupa dari nyeri epigastrium, nyeri menelan,
rasa tertusuk atau nyeri pleuritik. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan
SKA adalah usia tua, jenis kelamin laki-laki, riwayat PJK dikeluarga, adanya
penykit arteri perifer, insufisiensi ginjal, riwayat infark miokard sebelumnya, dan
revaskularisasi koroner sebelumnya (Kumar and Cannon, 2009, Grech and
Ramsdale, 2003).

G. Pemeriksaan penunjang
1. EKG
2. Pemeriksaan Laboratorium
3. Pemeriksaan Darah
4. Pemeriksaan Enzim Serum

H. Penatalaksanaan
1. Tindakan pencegahan penyakit jantung
a. mengurangi atau mengurangi faktor resiko yang dapat diubah
olahraga,merokok, dan makanan berlemak.
b. Individu yang mengalami stres, dan terutama yang memiliki
riwayat penyakit jantung dalam keluarga, harus menurunkan
risiko dan mencari pertolongan segera jika terjadi tanda-tanda
lain.
2. Untuk pasien SKA, pandua terapi menggunakan pertolongan
akronim ABCDE .
a. Untuk terapi antiplatelet, antikoagulan,  penghangat enzim
pengubah – angiotensin, dan penyakit reseptor – angiotensin.
b. Untuk penyakit – beta dan pengendalian TD  (tekanan darah).
c. Untuk terapi kolesterol ( kolesterol dan berhenti merokok)
berhenti merokok.
d. Untuk penatalaksanaan diabetes dan diet.
e. Untuk berolahraga atau olahraga.
3. Bagi penderita angina tidak stabil dan NSTEMI, penanganannya
juga meliputi :
a. Perintang beta-andrenergik untuk mengurangi beban jantung
yang berlebihan dan kebutuhan oksigen.
b. Hiparin dan inhibitor glikoprotein IIb/IIIa untuk melihat
agregasi keping darah dan bahaya oklusi koroner pada pasien
berisiko-tinggi (pasien yang menggunakan kateterisasi dan
troponin positif),
c. Nitrogliserin IV untuk mendilasi arteri koroner dan
meringankan nyeri di dada.
d. Bedah angioplasti koroner transluminal perkutaneus atau graf
bypass arteri koroner untuk lesi obstruktif.
e. Antilipemik untuk menurunkan tingkat kolesterol seum atau
trigliserida.
4. Bagi penderita STEMI, penanganannya meliputi intervensi awal
seperti di atas dan   juga:
a. Terapi trombolitik (kecuali bila ada kontraindikasi) dlam
waktu 12 jam setelah gejala serangan untuk mengembalikan
kepatenan dan serangan nekrosis.
b. Heparin IV untuk meningkatkan kepatenan di arteri koroner
yang diserang.
c. Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa untuk membentuk suatugregasi
keping darah.
d. Inhibitor enzim pengkonversi-angiotensin (angiotensin -
converting enzyme – ACE) untuk menurunkan afterload dan
preload dan mencegah pembentukan kembali (dimulai 6 jam
setelah adanya admisi atau jika kondisi pasien stabil)
e. PTCA, penempatan stent, atau bedah CABG untuk membuka
arteri yang mengalami rintangan atau menyempit.

I. Komplikasi
1. Dapat terjadi tromboemboli akibat kontraktilitas miokard berkurang.
2. Dapat terjadi gagal jantung kongestif apabila jantung tidak dapat
membantu mengeluarkan semua darah yang diterimanya.
3. Distrimia adalah komplikasi tersering pada infark.
4. Distrimia adalah syok kardiogenik jika curah jantung sangat
berkurang dalam waktu lama.
5. Dapat terjadi ruptur miokardium selama atau segera setelah suatu
infark besar.
6. Dapat terjadi perikarditis, meningkatkan pertumbuhan setelah
jantung (biasanya berapa hari setelah fark).
7. Setelah IM sembuh, terbentuk jaringan parut yang memanfaatkan
sel-sel miokardium yang mati.
     
BAB III

ASKEP

A. Pengkajian
1. Data dasar tentang info status terkini pasien
2. Pengkajian sistematis berhubungan dengan gambaran gejala : dada,
sulit bernafas (dispneu), palpitasi, pingsan (sinkop), atau keringat
dingin (diaphoresis)
3. Masing-masing harus mengevaluasi waktu dan durasinya serta faktor
yang mencetuskan dan meringankan
4. Pengkajian fisik
5. Tingkat kesadaran
6. Nyeri dada
7. Frekuensi dan irama jantung
8. Bunyi jantung
9. Tekanan darah
10. Denyut nadi perifer
11. Tempat infus intravena
12. Warna kulit dan suhu
13. Paru
14. Nafas pendek
15. Fungsi gastrointestinal
16. Status volume cairan

B. Diagnosa dan intervensi


1. Gangguan rasa nyaman nyeri akut
Gangguan rasa tidak nyaman dan nyeri akut dapat terjadi sehubungan
dengan kurangnya suplai oksigen ke otot jantung sekunder karena
oklusi arteri koronaria. Kondisi ini di tandai dengan rasa nyeri dada
hebat dengan menjalar ke leher, punggung belakang, dan
epigastrium. Di samping itu, wajah tampak kelelahan, kelelahan,
perubahan kesadaran dan tekanan darah.
a. Intervensi
1) Monitor dan karakteristik nyeri;  lokasi, intensitas nyeri, durasi
nyeri, kualitas dan penyebaran nyeri
2) Kaji apakah pernah ada di rawayat nyeri dada di sebelumnya
3) Atur lingkungan tenang nyaman, jelaskan bahwa pasien harus
istirahat
4) Ajarkan teknik relaksasi seperti nafas,
5) Periksa tanda-tanda vital   sebelum dan sebelum pengobatan
analgetik
b. Kolaborasi
1) Berikan tambahan oksigen dengan nasal canule atau masker.
2) Pemberian obat-obatan sesuai indikasi, anti angina
(nitrogyserin seperti; nitro-disk, nitro bid),  Beta
bloker; propanorol ( indera ), pindolol (vietlen), atenol
(tenormin), analgesik ( seperti; morphin / meperidine / demoral
), cantagonis (seperti nifedipine / adalat ).
2. keterbatasan   aktivitas fisik
Keterbatasan aktivitas fisik yang terjadi sehubungan dengan suplai
oksigen dan oksigen   yang tidak seimbang, iskemik/ kematian otot
jantung. Kondisi ini ditandai dengan kelelahan, perubahan nadi dan
tekanan darah aktivitas, perubahan warna kulit.
a. Intervensi
1) Catat nadi, irama, dan tekanan darah sebelum saat aktivitas dan
setelah aktivitas.
2) Anjurkan dan jelaskan bahwa pasien harus istirahat sampai
keadaan stabil.
3) Anjurkan agar pasien tidak mengedan jika buang air besar
4) Hindarkan kelelahan di tempat duduk
5) Rencanakan aktifitas secara bertahap jika telah bebas
nyeri; duduk di tempat tidur, berdiri, duduk di kursi 1 jam
sebelum makan
6) Ukur tanda vital sebelum dan setelah aktivitas.
b. Kolaborasi
1) Merujuk ke ASAS untuk program tindak lanjut dan rehabilitasi.
3. Rasa Cemas
Rasa cemas dapat terjadi berkaitan dengan perubahan status
menjadi   sakit, ancaman kematian, kegagalan berhaji.  Kondisi ini di
tandai dengan tekanan darah   meningkat, wajah tampak cemas,
perhatian hanya pada diri sendiri.
a. Intervensi
1) melakukan    komunikasi terapeutik dengan cara membina
hubungan saling mencintai dan merawat pasien dengan sabar.
2) Dampingi   pasien, cegah tindakan destruktif dan konfrontatif
3) Jelaskan tindakan-tindakan    yang akan dilkukan
4) Jawab pertanyaan pasien dengan konsisten
5) Bantu dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
b. Kolaborasi
Pemberian obat penenang misalnya diazepam (valium), flurazepam
hydrochloride (dalmane), lorazepam (ativan) Potensial
penurunan   “cardiac out put”
4. Potensi Penurunan “cardiac out put”
Penurunan cardiac out put dapat terjadi sehubungan dengan perubahan
nadi, aliran konduksi, dan penurunan preload/peningkatan SVR.
a. Intervensi
1) Ukur tekanan darah, evaluasi kualitas nadi
2) Kaji adanya murmur, S3 dan S4.
3) Dengarkan bunyi nafas
4) Siapkan alat-alat atau obat-obatan emergensi.
b. Kolaborasi
1) Berikan oksigen tambahan
2) Pemasangan infus
3) Rekam EKG
4) Pemeriksaan Rontgen thoraks   ulang
5. Potensi   penurunan perfusi jaringan
Ini terjadi sehubungan dengan vasokontrinsik hipovolemia.
a. Intervensi
1) Awasi perubahan emosi secara terkendali misalnya bingung,
cemas, lemah dan penurunana kesadaran
2) Kewaspadaan adanya sianosis, kulit dingin dan nadi perifer
3) Kaji adanya tanda-tanda homan ;  nyeri pada lutut, eritema dan
edema
4) Pantau pernafasan
5) Kaji fungsi pencernaan; ada tidaknya mual , penurunan bunyi
usus, muntah, distensi abdomen dan konstipasi
6) Pantau pemasukan cairan; ada tidaknya perubahan dalam
produksi urin.
b. Kolaborasi
1) Pemeriksaan laboratorium; astrup, kreatinin, dan elektrolit
2) Pengobatan; heparin, panitidin dan antasida.
6. Perubahan Volume Cairan
Perubahan volume cairan yang berlebahan terjadi sehubungan dengan
penurunan perfusi organ ginjal, peningkatan    retensi natrium dan
udara, serta peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein
plasma.
a. Intervensi
1) Kaji bunyi nafas, ada tidaknya cracles
2) Kaji   JVD (distensi vena jugularis) dan edema ada atau tadak
ada
3) Keseimbagan cairan
4) Timbang berat badan setiap hari
5) Jika memungkinkan   berikan cairan 2000 cc/ 24 jam
b. Kolaborasi
Pemberian garam/ minum dan diuretik misalnya Furosemid (lasix)
C. Implementasi
Pada tahap implementasi atau pelaksanaan dari asuhan keperawatan
meninjau dari apa yang telah di atasi atau intervensi sebelumnya dengan
tujuan utama rencanaan nyeri dada, tidak ada kesulitan bernafas,
pemeliharaan atau pemeliharaan jaringan yang adekuat, mengurangi
kecemasan, pemantauan program asuhan diri, dan tidak ada komplikasi .

D. Evaluasi
1. Hasil yang diharapkan
2. Pasien menunjukkan pengurangan nyeri.
3. Tidak menunjukkan kesulitan dalam bernafas
4. Perfusi jaringan terpelihara secara adekuat
5. Memperihatkan kekhawatiran
BAB IV
TELAAH JURNAL
A. Analisi jurnal
1. Judul penelitian
Peran perawat dalam identifikasi dini dan penatalaksanaan pada Accute Coronary
Syndrome
2. Peneliti
Nur Ayniyah
3. Tujuan penelitian
Penanganan ACS/SCA harus dilakukan secara tepat dan cepat agar angka
kematiannya bisa diminimalkan.
B. Pembahasan isi jurnal
1. Population, problem (populasi, metode, dan masalah yang di angkat dalam
Jurnal)
a. Populasi
Menggunakan 10 literatur reviw
b. Metode
Pencarian literatur dari bulan april 2006 sampai dengan april 2016 pada
MEDLINE, NCBI, CINAHL, dengan menggunakan kata kunci coronary
syimdrom, penatalaksanaan dan tidak membatasi penggunaan sampel
penelitian.
c. Masalah yang diangkat
Penanganan ACS/SCA harus dilakukan secara tepat dan cepat agar angka
kematiannya bisa diminimalkan.

2. Interventional
Yaitu menggunakan 24 referensi yang terdiri dari buku, jurnal, artikel dan
beberapa link dari internet.

3. Outcome (hasil yang diharapkan)


Berdasarkan 10 literatur riview yang didapatkan maka penegakan secara dini
diagnosa ACS/SCA harus dilakukan dengan segera, yaitu dapat dilakukan dengan
melihat adanya tiga kriteria yaitu nyeri dada, perubahan gambaran EKG dan
pertanda biokimia (serum biomarker).
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sindrom koroner akut (acute coronary syndrome/ACS ) meliputi
spektrum penyakit dari infark miokard akut (MI) sampai angina tak stabil
(unstable angina). Penyebab utama penyakit ini adalah trombosis arteri
koroner yang berakibat pada iskemi dan infark miokard. Derajat iskemik
dan ukuran infark ditentukan oleh derajat dan lokasi trombosis.
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian terbanyak diseluruh
dunia. Pada tahun 2012, penyakit jantung iskemia bertanggung jawab terhadap
sekitar 7,4 juta kematian diseluruh dunia. Berdasarkan data American Heart
Association (AHA) pada tahun 2003 dilaporkan sekitar 71,3 juta penduduk Amerika
menderita penyakit jantung dan menyebabkan sebanyak 1 juta kematian.
Sindrom koroner akut merupakan suatu kumpulan gejala klinis iskemia
miokard yang terjadi secara tiba-tiba akibat kurangnya aliran darah ke miokard
berupa angina, perubahan segmen ST pada elektrokardiografi (EKG) 12 lead, dan
peningkatan kadar biomarker kardiak.
B. Saran
Bagi klien yang mempunyai gejala-gejala yang tampak seperti Nyeri
yang memancar sampai ke bahu, leher, lengan, atau rahang, atau nyeri di
punggung diantara tulang belikat dan gejala sebelumya maka perlu
dilakukan dignosis dini karena dapat dicurigai mengalami penyakit
sindrom koroner akut terutama infark miokard akut.   Dengan diagnosis
yang tepat dan dengan tindakan yang cermat dan tepat maka kita akan
menyelamtkan nyawa penderita.
Dalam upaya meningkatkan asuhan keperawatan klien dengan
penyakit infark miokard akut, hendaknya :
1. Klien diberi support agar dapat mempercepat penyembuhan
2. Memberi perawatan dan perhatian kepda klien dalam proses
perawatan
3. Penigkatan dan penyedian sarana dan prasarana serta kerja sama
antara pihak rumah sakit dengan keluarga
4. Diharapkan kepada keluarga kiranya dapat merawat klien apabila
dilakukan perawatan dirumah.
DAFTAR PUSTAKA

Ainiyah, Nur. “peran perawat dalam identifikasi dini dan penatalaksanaan pada acute
coronary syndrome.” Jurnal Ilmia Kesehatan, 2015: 184-192.

Siska angriany t, LILI INDA SARI, ASMAUL HUSNAH S, MAYA ASTARI DEWI,
NURDINA MANOMA, INDRAWATI, MEGAWATI, Muh.thaufi q.h, ANDI
FADERIANI, MAYA HASKARLINA, SRI DEWI, JULAIHA KALSABA,
RISNAWATI IDRIS. “MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
“SINDROM KORONER AKUT”.” trusday septembar 2021: 32.

https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/1014138201-3-BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai