Anda di halaman 1dari 35

TUGAS SMALL GRUP DISCUSSION

“The Differences between STEMI (ST segment elevation myocardial


infarction), NON-STEMI (non ST segment elevation myocardial infarction),
and UAP (unstable angina pectoris)”

Dosen Fasilitator: Dr. Abu Bakar, S.Kep.Ns., M.Kep., Sp.KMB

disusun oleh:

Sahrir Ramadhan NIM. 131814153036


Wahyu Sukma Samudera NIM. 131814153042
Agoesta Pralita Sari NIM. 131814153060
Dian Rizki Ramadhani NIM. 131418153083

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang “The Differences between STEMI
(ST segment elevation myocardial infarction), NON-STEMI (non ST segment
elevation myocardial infarction), and UAP (unstable angina pectoris)”.
Penulis telah menyusun makalah dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak termasuk Dosen Fasilitator sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ilmiah ini dapat memberikan
manfaat maupun tambahan pengetahuan kepada pembaca.

Surabaya, Oktober 2018


Penuli
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom Koroner Akut adalah penyebab paling umum dari keganasan
aritmia menyebabkan kematian jantung mendadak. Di dunia sendiri, lebih dari
3 juta orang pertahun diperkirakan mendapatkan STEMI dan lebih dari 4 juta
orang mengalami NSTEMI. Di Amerika, setiap tahun sekitar 1,36 juta pasien
rawat inap didiagnosa Sindrom Koroner Akut. Sebanyak 0,81 juta untuk infark
miokard dan sisanya adalah unstable angina pectoris. Kira-kira dua pertiga
pasien dengan infark miokard memiliki NSTEMI; sisanya adalah STEMI (Lloyd-
Jones D, Adams R, Carnethon M, et al; 2009). Di Eropa diperkirakan insidensi
tahunan NSTEMI adalah 3 dari 1000 penduduk, namun angka ini cukup
bervariasi di negara-negara lain (Hamm CW, 2011). Angka mortalitas di rumah
sakit lebih tinggi pada STEMI namun mortalitas jangka panjang didapati dua
kali lebih tinggi pada pasien-pasien dengan NSTEMI dalam rentang 4 tahun
(Hamm CW, et al., 2011 & Paxinos G, et al., 2012).
Istilah Sindrom Koroner Akut meliputi tiga entitas yang berbeda dari
manifestasi akut penyakit jantung koroner, yaitu ST elevasi myocardial
infarction (STEMI), non-ST elevasi myocardial infarction (NSTEMI) dan
unstable angina pectoris (UAP). Berdasarkan kajian oleh penulis, didapatkan
bahwa perbedaan antara STEMI, NSTEMI, dan UAP masih belum dipahami
dengan jelas. Padahal perawat harus memahami denga jelas perbedaan
diantara ketiganya untuk dapat menetapkan intervensi keperawatan dengan
tepat, seiring meningkatnya prevalensi penyakit kardiovaskuler, termasuk
Sindrom Koroner Akut. Oleh karena itu, penulis berinisiatif untuk
mengumpulkan evidence based dengan topik “The Differences between
STEMI (ST segment elevation myocardial infarction), NON-STEMI (non ST
segment elevation myocardial infarction), and UAP (unstable angina
pectoris)”.

B. Rumusan Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan adalah “Apa perbedaan antara STEMI
(ST segment elevation myocardial infarction), NON-STEMI (non ST segment
elevation myocardial infarction), dan UAP (unstable angina pectoris)?”
C. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan umum
Untuk menjelaskan perbedaan antara STEMI (ST segment elevation
myocardial infarction), NON-STEMI (non ST segment elevation myocardial
infarction), dan UAP (unstable angina pectoris).
2. Tujuan khusus
a. Menjelaskan patofisiologi Sindrom Koroner Akut.
b. Menjelaskan STEMI (ST segment elevation myocardial infarction).
c. Menjelaskan NON-STEMI (non ST segment elevation myocardial
infarction).
d. Menjelaskan UAP (unstable angina pectoris).

D. Manfaat
Dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat
antara lain:
1. Manfaat teoritis
Dapat memberikan bukti-bukti empiris tentang perbedaan antara STEMI
(ST segment elevation myocardial infarction), NON-STEMI (non ST
segment elevation myocardial infarction), dan UAP (unstable angina
pectoris).
2. Manfaat praktis
Bagi tenaga kesehatan, khususnya perawat, diharapkan makalah ini dapat
menjadi pertimbangan untuk dapat membedakan antara tiga jenis Sindrom
Koroner Akut dan penentuan tatalaksana pasien dengan Sindrom Koroner
Akut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Sindrom Koroner Akut


1. Definisi
Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia
miokard yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa
nyeri dada, perubahan segmen ST pada Electrocardiogram (EKG), dan
perubahan biomarker jantung (Kumar & Cannon, 2009).
2. Patofisiologi
Ada tiga laporan penting memperluas kerangka kerja untuk
memahami mekanisme dasar yang mengarah ke Sindrom Koroner Akut:
a. Libby P. (2013) menggambarkan model yang diperbarui dalam hal jalur
seluler dan molekuler yang mendasari patogenesis Sindrom Koroner Akut,
dengan peran sentral untuk peradangan, yang mendorong gangguan plak
dan trombosis (Gambar. 1).

Gambar 1. Jalur Inflamasi Pra-Pembuangan Arteri Koroner ke Pecah dan


Trombosis
Keterangan:
Sebuah penampang dari plak atheromatous di bagian bawah gambar menunjukkan
inti lipid sentral mengandung sel-sel busa makrofag (kuning) dan sel T (biru). Sel
otot polos arteri (merah) hadir di intima dan media adalah sumber kolagen arteri
(struktur heliks tripel). Sel T yang diaktifkan mensekresi sitokin interferon-
gamma, yang menghambat produksi kolagen interstisial baru yang diperlukan
untuk memperbaiki dan mempertahankan tutup fibrosa pelindung plak (kiri atas).
Sel T juga dapat mengaktifkan makrofag di intima dengan mengekspresikan ligan
CD40, yang melibatkan reseptor CD40 pada fagosit. Sinyal inflamasi ini
menyebabkan overproduksi matriks metalloproteinase (MMP) 1, 8, dan 13, yang
mengkatalisasi langkah pembatas laju awal dalam pemecahan collaged (kanan
atas). Ligasi CD40 juga menyebabkan makrofag untuk memproduksi prokoagulan
faktor jaringan secara berlebihan. Konsekuensi ganda dari sinyal inflamasi ini
masing-masing berkontribusi pada ketidakstabilan cap fibrosa plak.
Pemahaman yang lebih bernuansa tentang patofisiologi Sindrom
Koroner Akut ini telah memperluas pendekatan di luar manajemen stenosis
intrakoroner fokal.
b. Crea F, Liuzzo G. (2013) mengklasifikasikan Sindrom Koroner Akut
menjadi 3 kelompok (Gambar 2): atherosclerosis obstruktif dengan
inflamasi sistemik, aterosklerosis obstruktif tanpa inflamasi sistemik, dan
Sindrom Koroner Akut tanpa aterosklerosis obstruktif (misalnya, angina
Prinzmetal, spasme koroner yang diinduksi amfetamin).

Gambar 2. Klasifikasi Patogenesis Baru ACS

Keterangan:
Deskriptor klinis sederhana menyediakan kerangka kerja untuk memahami
mekanisme dasar yang bertanggung jawab atas ketidakstabilan koroner pada
kelompok homogen pasien dengan sindrom koroner akut (ACS) yang mungkin
membantu dalam mencari algoritma diagnostik baru dan target terapeutik: 1) pasien
dengan atherosclerosis obstruktif (ATS) dan peradangan sistemik; 2) pasien dengan
aterosklerosis obstruktif tanpa inflamasi sistemik; dan 3) pasien tanpa aterosklerosis
obstruktif.
c. Falk E, et al (2013) menjelaskan 3 morfologi plak arteri koroner umum
yang mengakibatkan trombosis (ruptur plak, erosi plak, dan kalsifikasi
nodular yang mengganggu yang menonjol ke lumen arteri koroner, yang
dikenal sebagai "nodul kalsifikasi"). Falk E, et al (2013) menjelaskan
beberapa kontributor terhadap "plak yang rentan", termasuk struktural dari
plak (ukuran inti nekrosis, ketebalan dan tingkat peradangan di dalam cap
fibrosa), neovaskularisasi plak dan infiltrasi dengan makrofag yang
dirangsang hemoglobin (keduanya meningkatkan risiko untuk perdarahan
intraplaque), dan pola kalsifikasi (kalsifikasi bergelombang/spotty
calcification memberikan risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kalsifikasi terlokalisasi padat).
3. Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom
Koroner Akut dibagi menjadi:
a) Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
b) Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)
c) Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

B. STEMI (ST segment elevation myocardial infarction)


1. Definisi
STEMI merupakan merupakan suatu kondisi yang mengakibatkan
kematian sel miosit jantung karena iskhemia yang berkepanjangan akibat
oklusi koroner akut (Black & Hawk, 2005). STEMI terjadi akibat stenosis
total pembuluh darah koroner sehingga menyebabkan nekrosis sel jantung
yang bersifat irreversible (Brown & Edwars, 2005). Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan.
2. Patofisiologi
Proses aterosklerotik dimulai ketika adaya luka pada sel endotel yang
bersentuhan langsung dengan zat-zat dalam darah. Permukaan sel endotel
yang semula licin menjadi kasar, sehingga zat-zat didalam darah
menempel dan masuk kelapisan dinding arteri. Penumpukan plaque yang
semakin banyak akan membuat lapisan pelindung arteri perlahan-lahan
mulai menebal dan jumlah sel otot bertambah. Setelah beberapa lama
jaringan penghubung yang menutupi daerah itu berubah menjadi jaringan
sikatrik, yang mengurangi elastisitas arteri. Semakin lama semakin banyak
plaque yang terbentuk dan membuat lumen arteri mengecil.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang
secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. (Black & Hawk, 2005; Libby, 2008 &
Alwi, 2006).
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plaque aterosklerosis
mengalami fisura, rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik
memicu trombogenesis sehingga mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus,
yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap
terapi trombolitik.
Pada lokasi ruptur plaque, berbagai agonis (kolagen, ADP epinefrin dan
serotonin) memicu aktivasi trombosit, selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Aktifitas
trombosit juga akan memicu terjadinya agregasi platelet dan mengaktifasi
faktor VII dan X sehingga menkonversi protombin menjadi thrombin dan
fibrinogen menjadi fibrin. Pembentukan trombus pada kaskade koagulasi
akan menyebabkan oklusi oleh trombus sehinga menyebabkan aliran
darah berhenti secara mendadak dan mengakibatkan STEMI (Black &
Hawk, 2005; Lily, 2008; Libby, 2008 & Alwi, 2006).
3. Petanda (cardiac biomarker) kerusakan jantung
Cardiac biomarker merupakan hal yang sangat penting dalam diagnosis
STEMI. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB
dan cardiac specific troponin (cTn)T atau (cTn)I dan dilakukan secara
serial. Pada STEMI, pemberian terapi trombolitik tidak perlu menunggu
hasil biomarker jantung namun dilakukan sesegera mungkin. Peningkatan
nilai enzim diatas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya
nekrosis pada miokard jantung.
4. Infark anterior
Adanya perubahan EKG ST elevasi pada lead V3 - V4 disebut infark
anterior. Infark anterior terjadi bila adanya oklusi pada left anterior
desending (LAD). LAD mensuplai darah ke dinding anterior ventrikel kiri
dan 2/3 area septum intraventrikular anterior. Komplikasi dari STEMI
anterior adalah disfungsi ventrikel kiri yang berat yang dapat
mengakibatkan terjadinya gagal jantung dan shock kardiogenik. Oklusi
LAD juga dapat menyebabkan AV block akibat infark pada septum
intraventrikular. Sinus tachycardia merupakan tanda yang umum dijumpai
akibat respon neurohormonal symphatetic untuk mengurangi cardiac
output atau tekanan darah (Underhill, 2005, Libby, 2008).
5. Infark inferior dan posterior
Infark inferior dan posterior diakibatkan oleh oklusi right coronary artery
(RCA) pada 80-90% pasien sedangkan 10- 20% pasien diakibatkan oleh
oklusi arteri left circumflex (LCX). Pada infark inferior dijumpai adanya
perubahan EKG ST elevasi pada lead II, III, aVF sedangkan infark posterior
dijumpai adanya ST segmen depresi di V1 - V4 (Underhill, 2005; Libby,
2008).

6. Infark lateral
Infark miokardial lateral terjadi bila dijumpai adanya perubahan ST elevasi
pada EKG di lead I, aVL, V5, V6. Infark ini diakibatkan oleh cabang-cabang
arteri yang mensuplai darah pada dinding lateral ventrikel kiri yaitu cabang
left circumflex (LCx), diagonal LAD dan cabang terminal dari right coronary
artery (RCA). Karena LCx mensuplai AV junction, bundle his, dan anterior
dan posterior muscle papillary pada 10% populasi, oklusi arteri ini berkaitan
dengan abnormalitas konduksi jantung atau insufisiensi katup mitral yang
berkaitan dengan dysfungsi muscle papillary (Underhill, 2005; Libby, 2008;
Lily, 2000).
7. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan biasa terjadi pada infark inferior dengan trias
karakteristik yaitu hipotensi, peningkatan tekanan vena jugularis dengan
tanda kusmaul’s, serta area paru bersih. Infark inferior di diagnosis bila
dijumpai elevasi segmen ST pada sadapan EKG sisi kanan V3R dan V4R
serta adanya abnormalitas gerakan dinding ventrikel kanan.
Penatalaksanaan dilakukan dengan volume loading untuk
mempertahankan PCWP 18- 20 mmHg, menghindari penggunaan nitrat
serta pemberian dobutamin untuk mengatasi hipotensi (Underhill, 2005,
Lewis, 2004, Libby, 2008).
8. Diagnosis STEMI
Diagnosis dini adalah kunci untuk pengobatan awal STEMI. . Sebuah
riwayat nyeri dada atau ketidaknyamanan yang berlangsung 10-20 menit
harus meningkatkan kecurigaan STEMI akut pada individu yang rentan
(pasien pria paruh baya, terutama jika mereka memiliki faktor risiko untuk
penyakit koroner).
Diagnosis STEMI didasarkan pada dua hal berikut:
a. Nyeri dada.
b. Perubahan ECG atau LBBB baru.
c. Peningkatan biomarker
Pasien STEMI mungkin mengalami berbagai gejala yang bervariasi mulai
dari penghancuran rasa nyeri / nyeri dada retrosternal atau kiri dengan
gejala khas yang berhubungan dengan dispnea yang terisolasi, serangan
sinkop, malaise dan sesak napas. Lansia, penderita diabetes dan pasien
dengan OAINS dapat mengalami infark miokard yang tidak terdeteksi.
Pasien-pasien ini umumnya ditemukan memiliki syok kardiogenik,
hipotensi, aritmia dan blok konduksi dan gagal ventrikel kiri akut.
EKG 12-lead harus dilakukan sesegera mungkin. Jika EKG awal tidak
menunjukkan STEMI tetapi pasien terus memiliki gejala, mengulang EKG
harus diperoleh (setiap 15 menit atau lebih). Sementara penanda nekrosis
miokard berguna dalam menguatkan diagnosis, harus ditekankan bahwa
mereka mungkin tidak meningkat awal setelah timbulnya gejala.
Dalam kasus-kasus yang meragukan, ekokardiografi dapat menjadi
tambahan yang berguna dalam membuat diagnosis, terutama di antara
pasien muda tanpa riwayat penyakit koroner.

C. NON-STEMI (non ST segment elevation myocardial infarction)


Definisi
NSTEMI adalah adanya ketidakseimbangan antara pemintaan dan
suplai oksigen ke miokardium terutama akibat penyempitan arteri koroner
akan menyebabkan iskemia miokardium lokal. Iskemia yang bersifat
sementara akan menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan
jaringan (Sylvia,2009).
Unstable Angina (UA) dan Non ST Elevasi Infark Miokard diketahui
merupakan suatu kesenambungan dengan kemiripan patofisiologis dan
gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya
tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan
manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa
peningkatan biomarker jantung (Sudoyo, 2009).
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen
ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak.
Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya
tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner (Kalim, 2008).

Etiologi
NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.
NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau proses vasokonstriksi
koroner, sehingga terjadi iskemia miokard dan dapat menyebabkan
nekrosis jaringan miokard dengan derajat lebih kecil, biasanya terbatas
pada subendokardium. Keadaan ini tidak dapat menyebabkan elevasi
segmen ST, namun menyebabkan pelepasan penanda nekrosis.
Penyebab paling umum adalah penurunan perfusi miokard yang
dihasilkan dari penyempitan arteri koroner disebabkan oleh thrombus
nonocclusive yang telah dikembangkan pada plak aterosklerotik
terganggu. Penyempitan abnormal dari arteri koroner mungkin juga
bertanggung jawab.
a. Faktor resiko
1) Yang tidak dapat diubah
a) Umur
b) Jenis kelamin : insiden pada pria tinggi, sedangkan pada wanita
meningkat setelah menopause
c) Riwayat penyakit jantung coroner pada anggota keluarga di usia
muda (anggota keluarga laki-laki muda dari usia 55 tahun atau anggota
keluarga perempuan yang lebih muda dari usia 65 tahun).
d) Hereditas
e) Ras : lebih tinggi insiden pada kulit hitam.
2) Yang dapat diubah
a) Mayor : hiperlipidemia, hipertensi, Merokok, Diabete, Obesitas, Diet
tinggi lemak jenuh, kalori.
b) Minor : Inaktifitas fisik, emosional, agresif, ambisius, kompetitif, stress
psikologis berlebihan.
3) Faktor penyebab

No. Penyebab ST/Nstemi

Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah


1.
ada
Obstruksi dinamik (spasme koroner atau
2.
vasokonstriksi)

3. Obstruksi mekanik yang progresif

4. Inflamasi dan atau infeksi

5. Faktor atau keadaan pencetus

a) Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada


Penyebab paling sering SKA adalah penurunan perfusi miokard
oleh karena penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang
ada pada plak aterosklerosis yang robek/pecah dan biasanya tidak sampai
menyumbat. Mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi trombosit beserta
komponennya dari plak yang ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di
distal, merupakan penyebab keluarnya petanda kerusakan miokard pada
banyak pasien.
b) Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang
mungkin diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus pada segmen
arteri koroner epikardium (angina prinzmetal). Spasme ini disebabkan oleh
hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi
endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi
abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
c) Obstruksi mekanik yang progresif
Penyebab ke tiga SKA adalah penyempitan yang hebat namun
bukan karena spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien
dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah
intervensi koroner perkutan (PCI).
d) Inflamasi dan/atau infeksi
Penyebab ke empat adalah inflamasi, disebabkan oleh/yang
berhubungan dengan infeksi, yang mungkin menyebabkan penyempitan
arteri, destabilisasi plak, ruptur dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit-
T di dinding plak meningkatkan ekspresi enzim seperti metaloproteinase,
yang dapat mengakibatkan penipisan dan ruptur plak, sehingga
selanjutnya dapat mengakibatkan SKA.
e) Faktor atau keadaan pencetus
Penyebab ke lima adalah SKA yang merupakan akibat sekunder
dari kondisi pencetus diluar arteri koroner. Pada pasien ini ada penyebab
berupa penyempitan arteri koroner yang mengakibatkan terbatasnya
perfusi miokard, dan mereka biasanya menderita angina stabil yang kronik.
SKA jenis ini antara lain karena:
(1) Peningkatan kebutuhan oksigen miokard, seperti demam, takikardi
dan tirotoksikosis.
(2) Berkurangnya aliran darah coroner.
(3) Berkurangnya pasokan oksigen miokard, seperti pada anemia dan
hipoksemia.
Kelima penyebab SKA di atas tidak sepenuhnya berdiri sendiri dan
banyak terjadi tumpang tindih. Dengan kata lain tiap penderita mempunyai
lebih dari satu penyebab dan saling terkait.
2.3 Patofisiologi
Non ST elevation myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan
oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen
miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena
trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada
arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tidak stabil.
Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar,
densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi
faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai
konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang
tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T
yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan
sitokin proinflamasi seperti TNF α , dan IL-6. Selanjutnya IL-6 merangsang
pengeluaran hsCRP di hati.
2.4 Manifestasi Klinis NSTEMI
a. Nyeri Dada
Nyeri yang lama yaitu lebih dari 20 menit, sedangkan pada angina
kurang dari itu. Disamping itu pada angina biasanya nyeri akan hilang
dengan istirahat akan tetapi pada infark tidak. Nyeri dan rasa tertekan pada
dada itu bisa disertai dengan keluarnya keringat dingin atau perasaan
takut. Biasanya nyeri dada menjalar ke lengan kiri, bahu, leher sampai ke
epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa hanya
sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM
berkaitan dengan neuropathy.
b. Sesak Nafas

Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan


akhir diastolik ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa
menimbulkan hipervenntilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak
nafas merupakan tanda adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna.
c. Gejala Gastrointestinal

Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan


biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada
infak inferior juga bisa menyebabkan cegukan.
d. Gejala Lain

Termasuk palpitasi, rasa pusing atau sinkop dari aritmia ventrikel


dan gelisah.
2.5 Pemeriksaan Penunjang
2.5.1 Biomarker Jantung:
1) Troponin T dan Troponin I
Petanda biokimia troponin T dan troponin I mempunyai peranan
yang sangat penting pada diagnostik, stratifikasi dan pengobatan penderita
Sindroma Koroner Akut (SKA). Troponin T mempunyai sensitifitas 97% dan
spesitifitas 99% dalam mendeteksi kerusakan sel miokard bahkan yang
minimal sekalipun (mikro infark). Sedangkan troponin I memiliki nilai normal
0,1. Perbedaan troponin T dengan troponin I:
(a) Troponin T (TnT) dengan berat molekul 24.000 dalton, suatu
komponen inhibitorik yang berfungsi mengikat aktin.
(b) Troponin I (TnI) dengan berat molekul 37.000 dalton yang berfungsi
mengikat tropomiosin.
2.5.2 EKG (T Inverted dan ST Depresi)
Pada pemeriksaan EKG dijumpai adanya gambaran T Inverted dan
ST depresi yang menunjukkan adanya iskemia pada arteri koroner. Jika
terjadi iskemia, gelombang T menjadi terbalik (inversi), simetris, dan
biasanya bersifat sementara (saat pasien simptomatik). Bila pada kasus ini
tidak didapatkan kerusakan miokardium, sesuai dengan pemeriksaan CK-
MB (creatine kinase-myoglobin) maupun troponin yang tetap normal,
diagnosisnya adalah angina tidak stabil. Namun, jika inversi gelombang T
menetap, biasanya didapatkan kenaikan kadar troponin, dan diagnosisnya
menjadi NSTEMI. Angina tidak stabil dan NSTEMI disebabkan oleh
thrombus non-oklusif, oklusi ringan (dapat mengalami reperfusi spontan),
atau oklusi yang dapat dikompensasi oleh sirkulasi kolateral yang baik.
2.5.3 Echo Cardiografi pada Pasien Non-ST Elevasi Miokardial Infark
a) Area Gangguan
Gambar 2. Berbagai letak anatomis SKA.
b) Fraksi Ejeksi
Fraksi ejeksi adalah daya sembur jantung dari ventrikel ke aorta.
Freksi pada prinsipnya adalah presentase dari selisih volume akhir diastolik
dengan volume akhir sistolik dibagi dengan volume akhir diastolik. Nilai
normal > 50%. Dan apabila < dari 50% fraksi ejeksi tidak normal.

c) Angiografi koroner (Coronari angiografi)


Untuk menentukan derajat stenosis pada arteri koroner. Apabila
pasien mengalami derajat stenosis 50% pada pasien dapat diberikan obat-
obatan. Dan apabila pasien mengalami stenosis lebih dari 60% maka pada
pasien harus di intervensi dengan pemasangan stent.

Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di
dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat
berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar,
gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan.
Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan
marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T
atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi
peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut
Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat
secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk
peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai
normal atas (upper limits of normal, ULN),.
Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih
berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika
ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara
keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24
jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.

D. UAP (unstable angina pectoris)


1. Definisi
Angina pektoris tak stabil adalah suatu spektrum dari sindroma iskemik
miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil dan anfark miokard
akut. Terminologi ATS harus tercakup dalam kriteria penampilan klinis
sebagai berikut :
a. Angina pertama kali
Angina timbul pada saat aktifitas fisik. Baru pertama kali dialami oleh
penderita dalam priode 1 bulan terakhir

b. Angina progresif
Angina timbul saat aktifitas fisik yang berubah polanya dalam 1 bulan
terakhir, yaitu menjadi lebih sering, lebih berat, lebih lama, timbul dengan
pencetus yang lebih ringan dari biasanya dan tidak hilang dengan cara
yang biasa dilakukan. Penderita sebelumnya menderita angina pektoris
stabil.
c. Angina waktu istirahat
Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik ataupun hal-hal yang dapat
menimbulkan peningkatan kebutuhan O2 miokard. Lama angina
sedikitnya 15 menit.
d. Angina sesudah IMA
Angina yang timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA.
Kriteria penampilan klinis tersebut dapat terjadi sendiri-sendiri atau
bersama-bersama tanpa adanya gejala IMA. Nekrosis miokard yang terjadi
pada IMA harus disingkirkan misalnya dengan pemeriksaan enzim serial dan
pencatatan EKG.

2. Patofisiologi
Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut yang
tidak menetap akibat ketidak seimbangan antara kebutuhan dan suplai O
2

miokard. Beberapa keadaan yang dapat merupakan penyebab baik tersendiri


ataupun bersama-sama yaitu :
a. Faktor di luar jantung
Pada penderita stenosis arteri koroner berat dengan cadangan aliran
koroner yang terbatas maka hipertensi sistemik, takiaritmia, tirotoksikosis
dan pemakaian obat-obatan simpatomimetik dapat meningkatkan
kebutuhan O2 miokard sehingga mengganggu keseimbangan antara
kebutuhan dan suplai O2. Penyakit paru menahun dan penyakit sistemik
seperti anemi dapat menyebabkan tahikardi dan menurunnya suplai O2
ke miokard.
b. Sklerotik arteri koroner
Sebagian besar penderita ATS mempunyai gangguan cadangan aliran
koroner yang menetap yang disebabkan oleh plak sklerotik yang lama
dengan atau tanpa disertai trombosis baru yang dapat memperberat
penyempitan pembuluh darah koroner. Sedangkan sebagian lagi disertai
dengan gangguan cadangan aliran darah koroner ringan atau normal
yang disebabkan oleh gangguan aliran koroner sementara akibat
sumbatan maupun spasme pembuluh darah.
c. Agregasi trombosit
Stenosis arteri koroner akan menimbulkan turbulensi dan stasis aliran
darah sehingga menyebabkan peningkatan agregasi trombosit yang
akhirnya membentuk trombus dan keadaan ini akan mempermudah
terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah.
d. Trombosis arteri koroner
Trombus akan mudah terbentuk pada pembuluh darah yang sklerotik
sehingga penyempitan bertambah dan kadang-kadang terlepas menjadi
mikroemboli dan menyumbat pembuluh darah yang lebih distal.
Trombosis akut ini diduga berperan dalam terjadinya ATS.
e. Pendarahan plak ateroma
Robeknya plak ateroma ke dalam lumen pembuluh darah kemungkinan
mendahului dan menyebabkan terbentuknya trombus yang
menyebabkan penyempitan arteri koroner.
f. Spasme arteri koroner
Peningkatan kebutuhan O2 miokard dan berkurangnya aliran koroner
karena spasme pembuluh darah disebutkan sebagai penyeban ATS.
Spame dapat terjadi pada arteri koroner normal atupun pada stenosis
pembuluh darah koroner. Spasme yang berulang dapat menyebabkan
kerusakan artikel, pendarahan plak ateroma, agregasi trombosit dan
trombus pembuluh darah.
Beberapa faktor risiko yang ada hubungannya dengan proses
aterosklerosis antara lain adalah :
a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah : umur, jenis kelamin dan riwayat
penyakit dalam keluarga.
b. Faktor risiko yang dapat diubah : merokok, hiperlipidemi, hipertensi,
obesitas dan DM.
3. Pengenalan Klinis
a. Gejala
Didapatkan rasa tidak enak di dada yang tidak selalu sebagai rasa
sakit, tetapi dapat pula sebagai rasa penuh di dada, tertekan, nyeri,
tercekik atau rasa terbakar. Rasa tersebut dapat terjadi pada leher,
tenggorokan, daerah antara tulang skapula, daerah rahang ataupun
lengan. Sewaktu angina terjadi, penderita dapat sesak napas atau rasa
lemah yang menghilang setelah angina hilang. Dapat pula terjadi palpitasi,
berkeringat dingin, pusing ataupun hampir pingsan.
b. Pemeriksaan fisik
Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi
dapat terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah
apeks. Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap atau
meningkat pada waktu serangan angina.
c. EKG
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat
normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda
ergometer.
Tujuan dari stress test adalah :
 Menilai sakit dada apakah berasal dari jantung atau tidak.
 Menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh
darah utama akan memberi hasil positif kuat.
Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST,
depresi segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST,
hambatan cabang ikatan His dan tanpa perubahan segmen ST dan
gelombang T. Perubahan EKG pada ATS bersifat sementara dan masing-
masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun sersamaan. Perubahan
tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali ke gambaran normal
atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila
perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi evolusi
gelombang Q, maka disebut sebagai IMA.
d. Enzim LDH, CPK dan CK-MB
Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau meningkat
tetapi tidak melebihi nilai 50% di atas normal. CK-MB merupakan enzim
yang paling sensitif untuk nekrosis otot miokard, tetapi dapat terjadi positif
palsu. Hal ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan kadar enzim secara
serial untuk menyingkirkan adanya IMA.
4. Prognosis
Dengan pengobatan farmakologis, berbagai penelitian menunjukkan
bahwa dalam 1 tahun pertama, variasi prosentase penderita ATS yang
mengalami IMA berkisar antara 6-60% dengan tingkat kematian 1-40%.
Penelitian Heng dkk melaporkan bahwa selama perawatan di rumah sakit
terdapat 26% penderita ATS dengan angina berulang mengalami IMA.
Sedangkan tanpa angina berulang hanya 10%.
Demikian juga Julian melaporkan dalam 1 tahun, 8% penderita ATS
mengalami IMA dengan tingkat kematian 12%. Yetty (1985-1987) di RS
Jantung Harapan Kita meneliti 12 faktor risiko tinggi untuk terjadinya IMA pada
ATS antara lain umur 60 tahun, stres, riwayat angina, riwayat infark, hipertensi,
DM, riwayat keluarga, kebiasaan merokok, rasio torak jantung (CIR) 60% dan
angina berulang. Ternyata didapatkan kebiasaan merokok. CIR 60% dan
angina berulang mempunyai hubungan bermakna terhadap terjadinya IMA
pada ATS dan kombinasi dari ketiga faktor tersebut meningkatkan kejadian
IMA. Juga dilaporkan kejadian IMA pada fase perawatan dari rumah sakit
adalah 6,25% dengan tingkat kematian 2,08% sedangkan pada fase
pemeriksaan tindak lanjut 20,45% dengan tingkat kematian 0%.
5. Pengobatan
Pada dasarnya bertujuan untuk memperpanjang hidup dan memperbaiki
kualitas hidup dengan mencegah serangan angina baik secara medikal atau
pembedahan.
a. Pengobatan medical
Bertujuan untuk mencegah dan menghilangkan serangan angina.
Ada 3 jenis obat yaitu :
1) Golongan nitrat
Nitrogliserin merupakan obat pilihan utama pada serangan angina
akut. Mekanisme kerjanya sebagai dilatasi vena perifer dan
pembuluh darah koroner. Efeknya langsung terhadap relaksasi otot
polos vaskuler. Nitrogliserin juga dapat meningkatkan toleransi
exercise padapenderita angina sebelum terjadi hipoktesia miokard.
Bila di berikan sebelum exercise dapat mencegah serangan angina
2) Ca- Antagonis
Dipakai pada pengobatan jangka panjang untuk mengurangi
frekwensi serangan pada beberapa bentuk angina.

Cara kerjanya :
 Memperbaiki spasme koroner dengan menghambat tonus
vasometer pembuluh darah arteri koroner (terutama pada angina
Prinzmetal).
 Dilatasi arteri koroner sehingga meningkatkan suplai darah ke
miokard
 Dilatasi arteri perifer sehingga mengurangi resistensi perifer dan
menurunkan afterload.
 Efek langsung terhadap jantung yaitu dengan mengurangi
denyut, jantung dan kontraktilitis sehingga mengurangi
kebutuhan O2.
3) Beta Bloker
Cara kerjanya menghambat sistem adrenergenik terhadap miokard
yang menyebabkan kronotropik dan inotropik positif, sehingga denyut
jantung dan curah jantung dikurangi. Karena efeknya yang
kadiorotektif, obat ini sering digunakan sebagai pilihan pertama untuk
mencegah serangan angina pektoris pada sebagian besar penderita.
b. Pembedahan
Prinsipnya bertujuan untuk :
memberi darah yang lebih banyak kepada otot jantung
memperbaiki obstruksi arteri koroner.
Ada 4 dasar jenis pembedahan :
1) Ventricular aneurysmectomy : Rekonstruksi terhadap kerusakan
ventrikel kiri
2) Coronary arteriotomy : Memperbaiki langsung terhadap obstruksi
arteri koroner
3) Internal thoracic mammary : Revaskularisasi terhadap miokard.
4) Coronary artery baypass grafting (CABG) : Hasilnya cukup
memuaskan dan aman yaitu 80%-90% dapat menyembuhkan angina
dan mortabilitas hanya 1 % pada kasus tanpa kompilasi.
Metode terbaru lain di samping pembedahan adalah :
1) Percutanecus transluminal coronary angioplasty (PCTA)
2) Percutaneous ratational coronary angioplasty (PCRA)
3) Laser angioplasty
BAB 3
PEMBAHASAN

Perbandingan STEMI, NSTEMI dan UAP

STEMI NONSTEMI UNSTABLE


ANGINA
PECTORIS

Gambaran Gambaran EKG Gambaran EKG Gambaran EKG


pemeriksaan menunjukkan menunjukkan menunjukkan
EKG gelombang gelombang gelombang
Segmen ST segmen ST tidak segmen ST tidak
mengalami mengalami mengalami
Elevasi. Nilai elevasi, hasil elevasi, inversi
ambang batas pemeriksaan EKG gelombang T lebih
elevasi segmen dapat berupa dari atau sama
ST untuk depresi segmen dengan 2 mm
menegakkan ST. Nilai depresi
diagnosis STEMI segmen ST untuk
pada sebagian menegakkan
besar sadapan diagnosis NSTEMI
adalah 0,1 mv adalah > 0,05 mv
atau 1 mm atau 1 atau 0,5 mm atau
kotak kecil ½ kotak kecil.
Inversi gelombang
T lebih dari atau
sama dengan 2
mm atau 2 kotak
kecil

Cardiac Peningkatan Peningkatan Tidak terjadi


Biomarker troponin I/T atau troponin I/T atau peningkatan
CK-MB CK-MB troponin I/T atau
CK-MB
Durasi dan Nyeri dada yang Nyeri dada yang Nyeri dada yang
karakteristik dirasakan dirasakan dirasakan
nyeri dada berlangsung berlangsung lebih berlangsung lebih
sekitar 10 menit dari 20 menit dari 15 menit.
sampai 20 menit. dapat muncul saat Nyeri dada yang
Gejala khas nyeri aktivitas atau saat dirasakan
dada terasa istirahat. Gejala mengalami
seperti tertekan khas nyeri dada perubahan
atau berat pada terasa seperti menjadi lebih
retrosternum yang tertekan atau berat berat, lebih sering
dapat menjalar ke pada retrosternum dan lebih lama.
lengan kiri, leher yang dapat Nyeri dada dapat
atau rahang. menjalar ke lengan muncul atau tidak
kiri, leher atau hilang saat
rahang. Terjadi digunakan untuk
peningkatan beristirahat.
intensitas, durasi,
frekuensi angina.
Angina yang
muncul saat
aktivitas yang lebih
ringan dari
aktivitas sehari-
hari

PENYEBAB Thrombus yang Thrombus yang Thrombus tidak


oklusif total oklusif sebagian oklusif

KERUSAKAN Kerusakan Kerusakan Tidak ada


JANTUNG miokardial/infark>> miokardial/infark>> nekrosis
transmural subendocardial

PENGOBATAN ASA, oksigen, ASA, oksigen, ASA, oksigen,


nitrat, heparin nitrat, heparin nitrat, heparin

MANAJEMEN PCI/ reperfusi Kontraindikasi


farmakologi. fibrinolysis:
Farmakoterapi: streptokinase,
fibrinolysis: tenecteplase,
streptokinase, reteplase,
tenecteplase, alteplase.
reteplase,
Strategi invasive
alteplase
awal dengan
angiography, PCI,
atau CABG.

A. STRATIFIKASI RISIKO UNTUK KASUS STEMI

SKOR TIMI UNTUK STEMI

Parameter Skor

Usia 65-74 tahun / ≥75 tahun 2/3

Riwayat diabetes, hipertensi, atau angina 1

Tekanan darah sistolik <100 mmHg 3

Denyut jantung >100 kali/menit 2

Klasifikasi KILLIP II-IV 2

Berat badan <67 kg 1

Ada ST elevasi pada dinding anterior atau left bundle 1


branch block
Waktu untuk terapi reperfusi >4 jam 1

Validation of TIMI risk score for STEMI Daniel Souto Silveira, Cristiano
Pederneiras Jaeger, Luciano Hatschbach, Euler Roberto Fernandes Manenti
Hospital Mãe de Deus, Porto Alegre, RS – Brazil. International Journal of
Cardiovascular Sciences. 2016;29(3):189-197
Stratifikasi risiko berdasarkan TIMI dan ditujukan untuk memperkirakan
tingkat mortalitas dalam 30 hari

SKOR TIMI MORTALITAS

0 0.8 %

1 1.6 %

2 2.2 %

3 4.4 %

4 7.3 %

5 12.4 %

6 16.1 %

7 23.4 %

8 26.8 %

>8 35.9 %
Stratifikasi risiko berdasarkan TIMI dan ditujukan untuk memperkirakan
tingkat mortalitas dalam 1 tahun

SKOR TIMI MORTALITAS

0 1.0 %

1 1.0 %

2 1.8 %

3 3.0 %

4 4.2 %

5 6.7 %

6 7.7 %

7 12.1 %

8 16.3 %

>8 17.2 %
B. STRATIFIKASI RISIKO UNTUK KASUS NSTEMI DAN UAP

Beberapa stratifikasi risiko yang digunakan dalam Sindrom Koroner Akut


adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction) dan GRACE (Global Registry
of Acute Coronary Events), sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk stratification of
Unstable angina patients Suppress ADverse outcomes with Early implementation
of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk menstratifikasi risiko terjadinya
perdarahan. Stratifikasi perdarahan penting untuk menentukan pilihan
penggunaan antitrombotik. Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan
strategi penanganan selanjutnya (konservatif atau intervensi segera) bagi seorang
dengan NSTEMI.
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang
masing-masing setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah usia
≥65 tahun, ≥3 faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST pada EKG,
terdapat 2 kali keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu, peningkatan marka
jantung, dan penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir. Dari semua variabel yang
ada, stenosis koroner ≥50% merupakan variabel yang sangat mungkin tidak
terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%);
skor 3-4 : risiko menengah (risiko kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 :
risiko tinggi (risiko kejadian kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI telah
divalidasi untuk prediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum
SKA termasuk UAP/NSTEMI.

STRATIFIKASI RISIKO BERDASARKAN TIMI

Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang
masing-masing setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah usia
≥65 tahun, ≥3 faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST pada EKG,
terdapat 2 kali keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu, peningkatan marka
jantung, dan penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir. Dari semua variabel yang
ada, stenosis koroner ≥50% merupakan variabel yang sangat mungkin tidak
terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%);
skor 3-4 : risiko menengah (risiko kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 :
risiko tinggi (risiko kejadian kardiovaskular hingga 41%).
PARAMETER SKOR

Usia lebih dari 65 tahun 1

Memiliki faktor resiko lebih dari 3. 1


Faktor resiko berupa Hipertensi, DM,
merokok, riwayat keluarga,
dyslipidemia.

Angiogram koroner sebelumnya 1


menunjukkan stenosis > 50%

Penggunaan aspirin dalam 7 hari 1


terakhir

Terdapat setidaknya dua episode 1


nyeri saat istirahat dalam 24 jam
terakhir

Deviasi Segmen ST > 0,5 mm 1

Peningkatan biomarker jantung (CK- 1


MB atau Troponin )

Stratifikasi Risiko Berdasarkan Skor Timi

SKOR TIMI RISIKO RISIKO KEJADIAN


KEDUA

0-2 Rendah < 8,3

3-4 Menengah < 19,9 %

5-7 Tinggi < 41 %


STRATIFIKASI RISIKO BERDASARKAN KELAS KILLIP

Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko


berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut
dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari

Kelas Killip Temuan Klinis Mortalitas

I Tidak terdapat gagal 6%


jantung (tidak terdapat
ronkhi maupun S3)

II Terdapat gagal jantung 17 %


ditandai dengan S3 dan
ronkhi basah pada
setengah lapang paru,
peningkatan JVP (
Jugularis Venous
Pressure)

III Terdapat edema paru 38 %


ditandai ronkhi basah
diseluruh lapang paru

IV Terdapat syok 81 %
kardiogenik ditandai
dengan tekanan darah
sistole < 90 mmHg dan
tanda hipoperfusi
jaringan
STRATIFIKASI RISIKO BERDASARKAN GRACE

Klasifikasi GRACE mencantumkan beberapa variabel yaitu usia, kelas


Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang
gawat darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut
jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di
rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi
kematian di rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤108 dianggap
mempunyai risiko rendah (risiko kematian <1%). Sementara itu, pasien dengan
skor risiko GRACE 109-140 dan >140 berturutan mempunyai risiko kematian
menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan
setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap
mempunyai risiko rendah (risiko kematian <3%). Sementara itu, pasien dengan
skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan mempunyai risiko kematian
menengah (3-8%) dan tinggi (>8%). Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah
satu variabel dalam klasifikasi GRACE.

Skor Grace

PREDIKTOR SKOR

Usia dalam tahun

<40 0
40-49 18
50-59 36
60-69 55
70-79 73
80 91
Laju denyut jantung (kali per menit)

<70 0
70-89 7
90-109 13
110-149 23
150-199 36
>200 46
Tekanan darah sistolik (mmHg)

<80 63
80-99 58
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
>200 0
Kreatinin (µmol/L)

0-34 2
35-70 5
71-105 8
106-140 11
141-176 14
177-353 23
≥354 31
Gagal jantung berdasarkan klasifikasi Killip
I 0
II 21
III 43
IV 64
Henti jantung saat tiba di RS 43
Peningkatan marka jantung 15
Deviasi segmen ST 30

STRATIFIKASI BERDASARKAN CRUSADE

Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI,


sehingga segala upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa
mungkin. Variabel-variabel yang dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan
mayor selama perawatan dirangkum dalam CRUSADE bleeding risk score, antara
lain kadar hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda
gagal jantung, penyakit vaskular sebelumnya, adanya diabetes, dan tekanan
darah sistolik. Dalam skor CRUSADE, usia tidak diikutsertakan sebagai prediktor,
namun tetap berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE
yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.

Skor Risiko Perdarahan Crusade

Prediktor Skor
Hematokrit awal, %
<31 9
31-33,9 7
34-36,9 3
37-39.9 2
≥40 0
Klirens kreatinin, mL/menit
≤15 39
>15-30 35
>30-60 28
>60-90 17
>90-120 7
>120 0
Laju denyut jantung (kali per menit)
≤70 0
71-80 1
81-90 3
91-100 6
101-110 8
111-120 10
≥121 11
Jenis kelamin
Pria 0
Wanita 8
Tanda gagal jantung saat dating
Tidak 0
Ya 7
Riwayat penyakit vaskular sebelumnya
Tidak 0
Ya 6
Diabetes
Tidak 0
Ya 6
Tekanan darah sistolik, mmHg
≤90 10
91-100 8
101-120 5
121-180 1
181-200 3
≥200 5
GAMBAR . RISIKO PERDARAHAN MAYOR BERDASARKAN SKOR
PERDARAHAN CRUSADE

Berdasarkan skor CRUSADE, pasien dapat ditentukan dalam berbagai tingkat


risiko perdarahan.

Stratifikasi Risiko Berdasarkan Skor Crusade

Skor CRUSADE Tingkat risiko Risiko perdarahan

1-20 Sangat rendah 3,1%

21-30 Rendah 5,5%

31-40 Moderat 8,6%

41-50 Tinggi 11,9%

>50 Sangat tinggi 19,5%

Selain stratifikasi risiko yang telah disebutkan di atas, untuk tujuan


revaskularisasi dan strategi invasif, pasien juga dibagi dalam beberapa kelompok
risiko, yaitu risiko sangat tinggi dan risiko tinggi. Penentuan faktor risiko ini
berperan dalam penentuan perlu-tidaknya dilakukan angiografi dan waktu dari
tindakan tersebut.
Dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan yang berfokus pada
permasalahan kardio, terapi MONA dapat diberikan pada kemungkinan/definitif
Sindrom Koroner Akut (SKA).

Persangkaan SKA

Non Kardiak Kemungkinan SKA Definitif SKA

EKG : normal Tanpa elevasi


Elevasi segmen ST
Marka jantung awal segmen ST
: normal

Observasi 12 jam
sejam awitan Perubahan
angina gelombang ST dan
atau gelombang T

Angina berlanjut

Marka jantung
Angina berulang positif
Angina tidak
atau hasil EKG
berulang Hemodinamik
terdapat perubahan
EKG : normal abnormal
ST/gelombang T
Marka jantung :
normal Marka jantung :
positif

Negatif atau Bukan Evaluasi untuk


Definitif SKA Terapi Nstemi
SKA terapi reperfusi

Pemantauan :
rawat jalan
DAFTAR PUSTAKA

Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, et al. Third universal definition of


myocardial infarction. J Am Coll Cardiol 2012;60:1581–98.
Lloyd-Jones D, Adams R, Carnethon M, et al; American Heart Association
Statistics Committee and Stroke Statistics Subcommittee. Heart disease
and stroke statistics—2009 update. a report from the American Heart
Association Statistics Committee and Stroke Statistics Subcommittee
[published correction appears in Circulation. 2009;119(3):e182].
Circulation. 2009 Jan 27;119(3):480-486. Epub 2008 Dec 15.
Libby P. 2013) Mechanisms of acute coronary syndromes and their
implications for therapy. N Engl J Med368:2004–2013
Crea F, Liuzzo G. (2013) Pathogenesis of acute coronary
syndromes. J Am Coll Cardiol 61:1–11.
Falk E, et al (2013) Update on acute coronary syndromes: the pathologists'
view. Eur Heart J 34:719–728.
Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al.
ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in
patients presenting without persistent ST-segment elevation The Task
Force for the management of acute coronary syndromes (ACS) in patients
presenting without persistent ST-segment elevation of the European
Society of Cardiology (ESC). European Heart Journal (2011) 32, 2999–
3054
Paxinos G, Katritsis DG. Current Therapy of Non-ST-Elevation Acute
Coronary Syndromes. Hellenic J Cardiol 2012; 53: 63-71
Eugene Braunwald, MD. Unstable Angina A Classification. The American
Heart Association. Circulation. 1989;80:410-414
John A. Ambrose. Angiographic Morphology and The Pathogenesis of
Ustable Angina Pectoris. JACC Vol. 5, No.3 March 1985:609-16

Anda mungkin juga menyukai