Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION


BLOK KARDIOVASKULAR II

Disusun oleh

NAMA : Nadhirah Az-Zahra


NIM : 022.06.0063
KELAS :B
KELOMPOK :9
TUTOR : dr. Irsandi Riski Farmananda, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AL-AZHAR MATARAM
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa karna atas rahmat dan karunia yang
telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan laporan SGD (Small Group Discussion). Laporan
ini membahas mengenai hasil SGD Lembar Belajar Mahasiswa (LBM2) yang meliputi seven jumps
step dan dibagi menjadi 2 sesi SGD. Dalam penyusunan laporan SGD LBM 2 ini, penulis menyadari
sepenuhnya banyak terdapat kekurangan dalam penyajiannya. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Dalam penyusunan laporan ini penulis menyadari tanpa
adanya bimbingan dan petunjuk dari semua pihak tidaklah mungkin hasil laporan SGD LBM 2 ini
dapat di selesaikan sebagaimana mestinya. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis
menyampaikan terimakasih kepada:

1. dr. Irsandi Riski Farmananda, S.Ked selaku tutor dan fasilitator SGD kelompok 9
2. Keluarga yang senantiasa memberikan dorongan serta motivasi baik doa dan material
3. Teman-teman yang memberikan masukan dan dukungan dalam menyusun laporan ini

Dengan ini penulis menyajikan laporan SGD LBM 1. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan
saran yang dapat membangun kesempurnaan dalam laporan ini. Akhir kata semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Mataram, 22 Desember 2023

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman

SAMPUL…………………………………………………................................

KATA PENGANTAR…………………………………………………….......

DAFTAR ISI……………………………………………………………..........

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Skenario…………………………………………………………………….

1.2 Deskripsi Masalah………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Vaskularisasi Jantung...................................................................................

2.2 Definisi dan klasifikasi ACS.......................................................................

2.3 Epidemilogi ACS.......................................................................................

2.4 Etiologi dan faktor resiko ACS..................................................................

2.5 Manifestasi Klinis ACS.............................................................................

2.6 Patofisiologi ACS.......................................................................................

2.7 Pemeriksaan Fisik ACS..............................................................................

2.8 Pemeriksaan Penunjang ACS...................................................................

2.9 Tatalaksana ACS........................................................................................

2.10 Komplikasi ACS.......................................................................................

2.11 Prognosis dan KIE ACS...........................................................................

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA……………………….................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
“Nyeri Dada”
Seorang perempuan berusia 65 tahun datang ke IGD RS FK Unizar dengan keluhan nyeri
dada sejak 4 jam yang lalu. Nyeri dada dirasakan semakin memberat dan tidak hilang dengan
istirahat. Pasien baru pertama kali merasakan keluhan seperti ini. Pasien merupakan pecinta
makanan berlemak. Pasien menyangkal adanya Riwayat penyakit maag. Pasien juga menyangkal
keluhan sesak nafas. Terdapat Riwayat merokok maupun Riwayat konsumsi alkohol BB-95 kg. TB
157cm. KU: tampak kesakitan, TD-130/80 mmHg, N=100x/menit, RR 19x/menit, t-36,5°C. apakah
Langkah awal yang dapat dilakukan oleh dokter jaga IGD tersebut?
1.2 Deskripsi Masalah

Berdasarkan skenario diatas diketahui bahwa seorang perempuan usia 65 tahun datang ke
IGD dengan keluhan nyeri dada sejak 4 jam lalu. Dari hasil anamnesa diperoleh bahwa, nyeri
dada semakin berat walaupun dalam keadaan istirahat, telah minum obat tetapi tidak membaik,
tidak ada sesak napas dan merupakan seorang perokok. Sedangkan dari hasil pemeriksaan vital
sign diperoleh IMT masuk dalam tingkat obesitas tingkat 2, kondisi pasien tampak kesakitan, TD
dalam pre hipertensi dan normal (nadi, RR, dan suhu tubuh).
Keluhan utama pada pasien adalah rasa nyeri pada dada. Nyeri dada atau disebut juga
sebagai chest pain, chest discomfort dapat berasal dari organ yang berada di thorax maupun
abdomen, dan dapat diklasifikasikan menjadi cardiac dan non-cardiac. Pasien menyangkal
keluhan sesak nafas. Pasien juga memiliki Riwayat merokok dan konsumsi alkohol . Untuk
menegakan diagnosis, diperlukan pemeriksaan EKG, namun pada scenario tidak ditemukannya
data pemeriksaan penunjang baik EKG maupun hasil lab. Pada scenario dikatakan bahwa pasien
menyangkal keluhan sesak nafas, yang menandakan kemungkinan sakit dada pasien bukan
berasal dari paru-paru. Nyeri dada dirasakan semakin memberat dan tidak hilang dengan istirahat
merupakan indikasi yang mengarahkan diagnosis pasien ke arah Sindrom Koroner Akut. Sindrom
koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard yang terjadi akibat kurangnya
aliran darah ke miokardium berupa nyeri dada, perubahan segmen ST pada Electrocardiogram
(EKG), dan perubahan biomarker jantung. Kejadian sindrom koroner akut merupakan penyebab
mortalitas yang tinggi pada penderita PJK, karena itu upaya pencegahan sangat penting
dilakukan dengan memperbaiki gaya hidup. Sindrom koroner akut merupakan sekumpulan dari
gejala penyumbatan pembuluh darah akibat dari kerusakan lapisan dinding pembuluh darah
(aterosklerosis). Diduga penyumbatan pembuluh darah ini dikarenakan pasien tersebut obesitas
tingkat II. Sindrom coroner akut ini diklasifikasikan menjadi 3 yaitu angina tak stabil (unstable
angina), infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI/ ST segment Elevation Myocardial
Infarction), dan infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI/Non ST segmen
Elevation Myocardial Infarction).
Namun, untuk menentukan diagnosis tepatnya perlu dilakukan pemeriksaan EKG untuk
mengetahui gambaran kondisi jantung serta pemeriksaan penunjang lainnya misalnya
pemeriksaan laboratorium. Sehingga etiologic, patofisiologi, gambaran klinis, pemeriksaan
penunjang, prognosis, KIE serta komplikasi dapat diketahui dengan tepat serta tatalaksana yang
diberikan sesuai dengan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Vaskularisasi Jantung

Jantung divaskularisasi utama oleh arteri koronaria. Arteri koronaria akan


memperdarahi miokardium dengan oksigen sehingga memungkinkan kontraksi jantung dan
dengan demikian menyebabkan sirkulasi darah ke seluruh tubuh. Fungsi arteri jantung yaitu
memberi oksigen dan nutrisi ke miokardium sehingga memungkinkan kontraksi jantung, yang
menyebabkan darah beredar ke seluruh tubuh (Chaudhry, 2022).

Arteri koronaria terbagi atas 2 yaitu arteri koronaria dextra dan arteri koronaria sinistra
yang merupakan cabang utama dari dasar aorta. Arteri koronaria dextra memanjang sepanjang
ulkus koroner dan memasok bagian sinistra jantung. Kemudian arteri ini bercabang ke arteri
sirkumfleksa dan arteri interventrikular anterior (arteri desendens anterior kiri). Arteri
interventrikular anterior kemudian dikelompokkan menjadi cabang septal dan cabang
diagonal.
• Cabang septal memasok dua pertiga anterior septum interventrikular dan bundel His.

• Cabang diagonal memasok otot papiler anterolateral dan bagian anterior dan lateral dinding
ventrikel kiri.

• Arteri sirkumfleksa mengikuti sulkus koroner ke bagian sinistra jantung dan kemudian
terbagi menjadi arteri marginal sinistra dan arteri ventrikel kiri posterior. Arteri
sirkumfleksa dan cabang-cabangnya menyuplai bagian posterolateral ventrikel kiri
(Chaudhry, 2022).

Sedangkan arteri koronaria dextra menelusuri sepanjang sulkus koroner dextra dan
memberikan aliran darah ke permukaan anterior dan diafragma atrium dextra dan
ventrikel serta dua pertiga posterior septum interventrikular.

• Dua cabang awal yang berasal dari arteri koronaria dextra merupakan arteri conus yang
mengalirkan darah ke infundibulum ventrikel kanan tempat arteri pulmonalis muncul dan
cabang dari SA node yang menyediakan suplai darah ke SA node.

• Saat arteri koronaria dextra berjalan di sepanjang sulkus koroner, ia mengeluarkan arteri
marginal dextra yang berjalan di sepanjang batas akut (batas anteroinferior) jantung. Arteri
marginal dextra digunakan dalam angioplasti untuk membedakan batas inferior jantung,
dan menyediakan aliran darah ke ventrikel dextra.

• Saat arteri koronaria dextra menuju ke bagian posterior jantung, arteri interventrikular
posterior (arteri posterior descending) dan arteri posterolateral dextra di crux cordis
bercabang.

• Baik posterior descending artery dan arteri posterolateral dextra merupakan cabang
terminal. Arteri descending posterior memberikan cabang septum yang memasok sepertiga
posterior septum interventrikular. Arteri posterolateral dextra dapat menjadi bagian dari
atrium dan ventrikel posterior kiri.

• Akhirnya, pada akhir arteri koronaria dextra mengeluarkan cabang dari simpul
AV. Cabang nodus AV bercabang di permukaan diafragma dan menyuplai nodus AV
(Chaudhry, 2022).
Anastomosis terjadi pada beberapa tempat di jantung walaupun arteri koronaria
dianggap sebagai arteri ujung.

• Satu anastomosis berada di antara cabang LAD dari LCA dan cabang arteri descending
posterior dari arteri coroner dextra.

• Satu lagi adalah antara arteri coroner dextra dan arteri sirkumfleksa sinistra di sulkus
koroner.

• Anastomosis ketiga terjadi dengan cabang septum dari kedua arteri di septum
interventrikular (Chaudhry, 2022)

2.2 Definisi dan Klasifikasi ACS


Sindrom Koroner Akut merupakan suatu kondisi gawat darurat yang terjadi akibat
berkurangnya atau berhentinya aliran darah yang menuju ke jantung secara tiba-tiba
sehingga menyebabkan trombosis intravaskular yang menimbulkan ketidakseimbangan
pasokan dan kebutuhan oksigen miokard. Kondisi ini ditandai dengan suatu nyeri dada yang
khas, yang dirasakan seperti tertindih benda berat. Arteri koroner berfungsi untuk membawa
darah yang kaya oksigen ke otot jantung. Jika terjadi penyempitan atau penyumbatan pada
arteri koroner, maka angina atau yang umum disebut sebagai serangan jantung, akan terjadi
(PERKI, 2018), (SudoyoAW, dkk., 2014).
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2018)
menyatakan bahwa berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi
menjadi tiga, yakni:

A. STEMI (ST segment Elevation Myocardial Infarction)


Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan
revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara
medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner
perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi
tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung
(PERKI, 2018).

Gambar 3 Gambaran EKG pada pasien dengan diagnosis SKA ST Elevation

B. NSTEMI (Non-ST segment Elevation Myocardial Infarction)


NSTEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat
presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar,
gelombang T pseudo normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Ditambah lagi dengan
peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/ T atau
CKMB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka
diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (NonST Elevation
Myocardial Infarction, NSTEMI) (PERKI, 2018)

Gambar 4 Gambaran EKG pada pasien dengan diagnosis SKA Non ST Elevation
Myocardial Infarction (NSTEMI)

C. UAP (Unstable Angina Pectoris)


Angina pektoris adalah nyeri dada yang menyertai iskemia miokardium yang dipicu
oleh aktivitas yang meningkatkan kebutuhan miokardium akan oksigen; seperti latihan fisik;
dan hilang dalam beberapa menit dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin (Majid, 2018).
Angina pektoris adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara kebutuhan (demand) dan suplai aliran arteri coroner. Unstable Angina Pectoris
(UAP) atau disebut juga angina pectoris tidak stabil yaitu bila nyeri timbul untuk pertama
kali, sakit dada yang tiba-tiba terasa pada waktu istirahat atau aktivitas minimal yang terjadi
lebih berat secara mendadak atau bila angina pectoris sudah ada sebelumnya namun
menjadi lebih berat. Biasanya dicetuskan oleh faktor yang lebih ringan dibanding
sebelumnya (Khotimah dkk, 2022), (PERKI, 2018).

Disebabkan oleh kontraksi otot polos pembuluh koroner sehingga mengakibatkan


iskemia miokard. patogenesis spasme tersebut hingga kini belum diketahui, kemungkinan
tonus alphaadrenergik yang berlebihan (Histamin, Katekolamin Prostagglandin). Selain dari
spame pembuluh koroner juga disebut peranan dari agregasi trobosit. penderita ini
mengalami nyeri dada terutama waktu istirahat, sehingga terbangun pada waktu menjelang
subuh. Manifestasi paling sering dari spasme pembuluh koroner ialah variant (prinzmental)
(Djohan, 2004). Pada angina pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara
bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CKMB yang
abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai norma atas (upper limits of normal) (PERKI,
2018).

Menurut Muhibbah, et al (2019) faktor risiko terjadinya UAP terbagi dua yaitu:
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah atau tidak dapat dimodifikasi adalah usia
(lebih dari 45 tahun untuk pria dan 55 tahun untuk wanita), jenis kelamin, dan
keturunan.
2. Faktor risiko yang dapat diubah atau di modifikasi adalah merokok, hipertensi,
diabetes mellitus, dislipidemia dan obesitas.

Menurut PERKI (2018) manifestasi klinis pada UAP yaitu:


a. Nyeri dada yang timbul saat istirahat atau saat melakukan aktivitas, seperti rasa
tertekan atau berat daerah retrosternal yang dapat menjalar ke leher, rahang, area
interskapular bahu, lengan kiri dan epigastrium, berlangsung beberapa menit atau
lebih dari 20 menit.
b. Diaforesis (keringat dingin), mual, muntah, nyeri abdominal, dan sesak napas.
c. Gambaran EKG: Depresi segmen ST > 1mm dan atau inversi gelombang T> 2mm di
beberapa sadapan prekordial, dapat disertai dengan elevasi segmen ST yang tidak
persisten (<20 menit), gelombang Q yang menetap,Non-diagnostik, dan Normal.
d. Biomarka jantung yang tidak meningkat secara bermakna.
2.3 Etiologi

Sindrom koronaria akut adalah manifestasi dari Penyakit Jantung Koroner (PJK)
dan umumnya disebabkan oleh adanya gangguan plak pada pembuluh darah koroner atau
dikenal dengan aterosklerosis. Faktor resiko dari penyakit ini terdiri atas faktor
modifikasi dan faktor non modifikasi. Pada faktor modifikasi terdiri atas merokok,
hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, aktivitas fisik, obesitas dan praktik gizi yang buruk.
Sedangkan faktor non modifikasi terdiri atas jenis kelamin pria, umur, ras dan riwayat
keluarga dengan infark miokard dini (usia 55 tahun). Penyalagunaan kokain juga dapat
menyebabkan terjadinya vasospasme (Singh, 2022)

2.4 Epidemiologi ACS


Epidemiologi di negara Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 13 juta orang
menderita SKA, lebih dari 1,1 juta orang terdiagnosis IMA, dan 150.000 terdiagnosis
unstable angina pektoris (UAP). Heart Disease and Stroke Statistics dari American Heart
Association (AHA) tahun 2016 melaporkan bahwa 15,5 juta orang berumur >20 tahun di
USA terdiagnosis SKA dan diperkirakan setiap 42 detik terjadi kasus IMA. Sindrom
koroner akut merupakan kelompok penyakit degeneratif yang menjadi penyebab kematian
nomor satu di Indonesia dan jumlah kejadiannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Data
statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1992 persentase penderita SKA di Indonesia
adalah 16,5%, dan pada tahun 2000 melonjak menjadi 26,4%. Tiga dari 1.000 penduduk
Indonesia menderita SKA. Data dari rumah sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita,
terjadi peningkatan jumlah kasus, dari tahun 2000-2009 terdapat peningkatan operasi
koroner sebesar 83%. Kejadian SKA di Sumatera Barat menempati posisi ke-4 setelah
Sulawesi Tengah, Aceh, dan Jakarta (RIKESDAS, 2018), (Gomar et al., 2016).

2.5 Manifestasi Klinis


Tingkat dimana arteri koroner tersumbat biasanya berkorelasi dengan gejala yang
timbul dan variasi dalam marker jantung serta temuan elektrokardiografi. Angina, atau
nyeri dada, terus dianggap sebagai gejala klasik SKA. Pada angina tidak stabil, nyeri dada
biasanya terjadi baik pada saat istirahat atau saat beraktivitas dan hasilnya adalah terbatasnya
kegiatan. Nyeri dada yang berhubungan dengan NSTEMI biasanya durasinya lebih panjang
dan rasa nyeri dada lebih parah dibandingkan dengan angina tidak stabil. Dalam kedua
kondisi, frekuensi dan intensitas nyeri dapat meningkat jika tidak diselesaikan dengan
istirahat, nitrogliserin, dan dapat bertahan lebih lama dari 15 menit. Nyeri bisa terjadi dengan
atau tanpa radiasi ke leher, lengan, punggung, atau daerah epigastrium. Selain angina,
pasien dengan SKA juga hadir dengan sesak napas, diaforesis, mual, dan kepala yang
terasa ringan. Perubahan tanda vital, seperti takikardi, tachypnea, hipertensi, atau hipotensi,
dan penurunan saturasi oksigen (SaO2) atau kelainan irama jantung dapat juga terjadi
(Huether SE, McCance KL, editors., 2019).

2.6 Patofisiologi SKA


Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah akibat perubahan komposisi plak dan penipisan tudung
fibrosa yang menutupi plak tersebut. Kejadian in akan diikuti oleh proses agregasi trombosit
dan aktivasi jalur koagulasi shingga terbentuk trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat lubang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Suplai oksigen yang berhenti selama kurang- lebih 20
menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard/IM) (Silbernagl, S,
Lang, F 2018).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Sumbatan subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis juga dapat menyebaban
terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Selain nekrosis, iskemia
juga menyebabkan gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan
stunning (setelah iskemia hilang), serta distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan
bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Pada sebagian pasien, SKA terjadi karena sumbatan
dinamis akibat spasme lokal arteri koronaria epikardial (angina prinzmetal). Penyempitan
arteri koronaria, tapa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan ole progresi pembentukan
plak atau restenosis setelah intervensi koroner perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik,
seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis (Silbernagl, S, Lang,
F (2018).
2.7 Pemeriksaan Fisik

Anamnesisi diperlukan untuk mengetahuiapakah Pasien mengalami keluhan terasa tidak


nyaman atau bahkan nyeri pada bagian dada, keluhan terjadi sejak kapan serta apa yang
dilakukan sebelum terjadi keluahn dll. Serta anamnesis mengenai kemungkinan faktor Resiko
dari penyakit ini dapat dibagi dua: pertama adalah faktor risiko yang dapat diperbaiki
(reversible) atau bisa diubah (modifiable), yaitu: hipertensi, kolesterol, merokok, obesitas,
diabetes mellitus, hiperurisemia, aktivitas fisik kurang, stress, dan gaya hidup (life style) dan
faktor risiko yang tidak dapat diperbaiki seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat penyakit
keluarga(McCance, 2019).

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi


iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral
akut, suara jantung Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke
lengan kiri, leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten atau
persisten (> 20 menit); sering disertai diaphoresis, mual/ muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan sinkop, ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentifikasi komplikasi iskemia(McCance, 2019).

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan diagnostik utama pada pasien SKA adalah EKG serta pemeriksaan enzim jantung.
1. Pemeriksaan Elektrokardiogram InfraK Miokard Akut
Infark miokard akut sering dikaitkan dengan perubahan dinamis dalam bentuk
gelombang EKG dan akuisisi EKG serial dapat memberikan informasi penting, terutama
jika EKG pada presentasi awal non-diagnostik. Merekam beberapa EKG standar dengan
posisi elektroda tetap di Interval 15-30 menit untuk awal 1 - 2 jam, atau penggunaan
kontinu perekaman EKG 12-lead berbantuan komputer (jika tersedia) untuk dideteksi
perubahan EKG dinamis, wajar untuk pasien dengan persisten atau gejala berulang atau
EKG nondiagnostik awal (McCance, 2019).
2. Pemeriksaan Laboratorium InfraK Miokard Akut
Tes troponin jantung sensitivitas tinggi (cTn). Kadar serum troponin jantung IM
mulai meningkat 3 sampai 4 jam setelah onset ketidak nyamanan, puncaknya antara 18 dan
36 jam dan kemudian menurun secara perlahan sehingga memungkinkan deteksi hingga 14
hari setelah infark miokard besar. dengan demikian, pengukurannya dapat membantu untuk
mendeteksi infark miokard selama hampir 2 minggu setelah kejadian tersebut terjadi
(McCance, 2019).
3. Kreatinin Kinase pada InfraK Miokard Akut
Kreatinin kinase ditemukan di jantung, otot rangka, otak, dan banyak organ lainnya,
konsentrasi serum enzim dapat meningkat setelah cedera pada salah satu jaringan ini. CK-
MB terdapat di jantung CK-MB juga membuat 1% sampai 3% dari kreatinin kinase di otot
rangka (McCance, 2019).

Untuk mendokumentasikan karakteristik naik turunnya konsentrasi CK- MB, sampel


darah harus diambil setiap 4 sampai 8 jam. Meskipun CK-MB tidak sensitif atau spesifik
untuk jantung sebagai biomarker seperti cTn, konsentrasi darahnya menurun lebih cepat
daripada cTn, yang menjadikannya biomarker pilihan untuk mengevaluasi dugaan infark
yang berulang pada pasien yang mengalami nyeri dada berulang dalam beberapa hari
setelah terjadi infark miokard (McCance, 2019).
4. SGOT
Pemeriksaan SGOT akan meningkat dalam 6-12 jam, dan pucaknya dalam 24 jam
setelah terjadi serangan, dan akan kemali normal pada dalam 3-4 hari (McCance, 2019).
5. Photo Thorak
Hasil dari photo thorak pada pasien Infark Miokard Akut ada 2 macam, yang pertama bisa
normal, dan yang kedua terdapat adanya pembesaran pada jantung dan diduga adanya anurisma
ventrikuler (McCance, 2019).

2.9 Tatalaksana ACS


Sasaran pengobatan SKA pertama adalah menghilangkan rasa sakit dan cemas.
Kedua mencegah dan mengobati sedini mungkin komplikasi (30-40%) yang serius seperti
payah jantung, aritmia, thrombo-embolisme, pericarditis, ruptur m. papillaris, aneurisma
ventrikel, infark ventrikel kanan, iskemia berulang dan kematian mendadak. Menurut
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2015) terapi awal adalah terapi
yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar
keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan marka
jantung adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus
diberikan semua atau bersamaan (PERKI, 2018),

Berikut beberapa tatalaksana awal yang diberikan kepada pasien dengan sindrom coroner akut:
• Tirah baring
• Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri <
95% atau yang mengalami distres respirasi. Suplemen oksigen dapat diberikan pada
semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2
arteri
• Aspirin 160- 320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat
absorpsi sublingual (dibawah lidah) yang lebih cepat. Pada pembuluh darah koroner,
agregrasi platelet dan pembentukan trombus dilakukan oleh troboksan A2 (TXA-2)
yang dihasilkan oleh platelet yang teraktivasi dan dikatalisis oleh enzim
siklooksigenase 1 (COX-1). Pemberian Aspirin bertujuan untuk membatasi trombus.
Aspirin menghambat COX-1 dalam platelet, menghambat produksi TXA-2 dan
agregrasi platelet. Pasien yang alergi aspirin bisa diberikan clopidogrel 300 mg.
• Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate). Dosis awal ticagrelor yang
dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/ hari.
Pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel. Pasien
STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik dengan
dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/
hari.
• Nitrogliserin (NTG) spray/ tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat jika nyeri dada tidak
hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal
tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan
terapi tiga dosis NTG sublingual dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid
dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.

• Morfin diberikan sebagai analgesik, untuk mengurangi kecemasan pasien dan


menurunkan respon adrenalin, frekuensi nadi (heart rate), tekanan darah dan
kebutuhan oksigen miokard (Fletcher, 2007). Pemakaian morfin dosis rendah 5- 10
mg memiliki efek analgesia yang disertai hilangnya fungsi sensorik, eksitasi, depresi
nafas, miosis, suhu badan menurun, psikomotor menurun, letargi dan apatis. Masa
kerja morfin 4-5 jam (PERKI, 2018),

Disamping terapi awal diatas, terdapat terapi lanjutan yang bertujuan untuk
memperbaiki outcome pasien SKA. Dimana terapi lanjutan yang dimaksud yaitu:

1. Beta blocker, dimana obat jenis ini dapat menurunkan angka reinfark dan kematian
akinat aritmia pada pasien STEMI dan NSTEMI namun tidak secara langsung
menurunkan angka kematian, terutama pada pasein dengan gagal jantung atau
hemodinamik yang tidak stabil. Jika tidka terdapat kontraindikasi beta bloker dapat
diberikan dalam waktu 24 jam dan diteruskan setelah keadaan membaik. Pasein yang
mendapat terapi beta bloker harus dimonitor untuk keadaan hipotensi, bradikardi,
gejala gagal jantung, hipoglikemi, dan bronkospasme (Sanjani, RD, 2020).
2. ACE inhibitor, dimana obat jenis ini dapat menurunkan resiko disfungsi ventrikel
kanan dan kematian pada pasien dengan SKA dan harus diberikan dalam waktu 24
jam dan diteruskan kecuali terdpaat kontraindikasi. Perlu diawasi untuk keadaan
hipotensi, jumlah urin berkurang, batuk, hiperkalemia, dan insufisiensi ginjal pada
pengguna ACE inhibitor. Pada pasein yang intoleransi denganACE inhibitor,
angiotensin reseptor bloker dapat digunakan sebagai terapi alternative (Sanjani, RD,
2020).
3. Statin, obat ini harus diberikan pada pasein SKA dengan kadar kolesterol lebih dari
100 mg/dL. Kadar lemak dan kolesterol harus selalu dikontrol pada pasien SKA
(Sanjani, RD, 2020).
4. Clopidogrel (plavix), dapat menghambat agragasi trombosit dan dapat diberikan pada
pasien andina tak stabil atau NSTEMI yang alergi terhadap penisilin. Clopidogrel juga
dapat diberikan sebagai tambahan pada terapi aspirin dan tidak boleh diberikan pada
pasien yang akan menjalani operasi

bypass arteri koroner dalam waktu 5 hingga 7 hati ke depan karena menignkatkan
resiko perdarahan (Sanjani, RD, 2020).
5. Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa, merupakan anti platelet yang digunakan untuk
angina tak stabil dan NSTEMI yang dijadwalkan akan dilakukan tindakan diagnostik
invasif. Pilihan untuk terapi antikoagulan pada pasien dengan angina tak stabil atau
NSTEMI antara lain enoxaparin (Lovenox), unfractionated heparin, bivalirudin
(Angiomax) dan fondaparinux (Arixtra). Enoxaparin dan unfractionated heparin
sangat direkomendasikan pada pasien yang memilih panegobatan konservatif, namun
fondaparinux dipilih unutk mereka yang memiliki reiko tinggi perdarahan (Sanjani,
RD, 2020).
Terapi Non Farmakologi

Salah satu terapi non farmakologi untuk mengurangi nyeri dada pada pasien sindrom
koroner akut yaitu dengan terapi panas (thermotherapy). Thermotherapy merupakan
pemberian aplikasi panas pada tubuh untuk mengurangi gejala nyeri akut maupun nyeri
kronis. Terapi ini umumnya digunakan untuk meningkatkan aliran darah dengan
melebarkan pembuluh darah sehingga suplai oksigen dan nutrisi pada jaringan meningkat
dan meningkatkan elastisitas otot sehingga mengurangi kekakuan otot (Ningsih, 2020).
Cara kerja thermotherapy adalah dengan meningkatkan aktivitas molekuler (sel)
dengan metode pengaliran energi melalui konduksi (pengaliran lewat media padat),
konveksi (pengaliran lewat media cair atau gas), konversi (pengubahan berntuk energi) dan
radiasi (pemancaran energi). Efek teraupetik thermotherapy diantaranya mengurangi nyeri,
mengurangi ketegangan otot, mengurangi edema/pembekakan pada fase kronis dan
meningkatkan aliran darah. Kekakuan otot yang disebabkan iskemia dapat diperbaiki
dengan jalan meningkatkan aliran darah pada daerah radang. Mekanisme thermotherapy
meningkatkan permeabilitas kapiler, pelepasan histamin dan bradikinin yang
mengakibatkan vasodilatasi. Jenis aplikasi thermotherapy beragam, salah satu jenis yang
digunakan adalah hot pack (kantung panas), berisi silika gel yang direndam dengan air
panas yang diaplikasi selama 15- 20 menit. Hot pack diindikasi untuk mendapatkan
relaksasi tubuh secara umum dan mengurangi siklus nyeri, spasme, iskemi dan hipoksia
(Ningsih, 2020).

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pda pasien SKA yaitu distritmia merupakan gangguan irama
pada jantung dengan presentase 90%, gagal jantung kongestif, tromboemoli, pericarditis,
ruptura miokardium dan aneurisma ventrikel, fibrilasi atrium, aritmia, supraventricular, asistol
ventrikel, bradiaritmia, komplikasi mekanik (rupture muskulus papilaris, rupture septum
ventrikel, rupture dinding ventrikel) selain itu terdapat beberapa komplikasi lainnya yaitu:
a. Disfungsi ventricular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan pada
segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling
ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam
hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan
yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca
infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang
nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
b. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
pada STEMI13 . Edema paru akut juga bisa terjadi sebagai komplikasi infark miokard
akut, dimana terjadi penurunan fungsi pompa otot miokard, dan menurunnya fungsi
ejeksi ventrikel kiri. Kondisi ini menimbulkan perubahan pada keseimbangan gaya
starling tekanan kapiler alveolar, berupa peningkatan tekanan hidrostatik kapiler
alveolar disertai kebocoran cairan ke intersisial dan alveoli.
c. Syok kardiogenik
Merupakan suatu keadaan patofisiologis dimana jantung gagal mempertahankan sirkulasi
adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun pengisian cukup. Gagal jantung paling
sering disebabkan oleh kegagalan kontraktilitas miokard, seperti pada infark miokard.
Hanya 10% penderita syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk, sedangkan 90%
terjadi selama perawatan.

d. Infark ventrikel kanan Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidak-seimbangan


sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi
miokard.
e. Aritmia pasca STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidak-seimbangan sistem saraf autonom,
gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi miokard.
f. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua penderita STEMI dan
tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas ektopik
ventrikel pada penderita STEMI.
g. Takikardi dan fibrilasi ventrikel
Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardi dan fibrilasi ventricular dapat terjadi tanpa tanda
bahaya aritmia sebelumnya (Indonesia, 2015).
2.11 Prognosis dan KIE
Terdapat beberapa sistem yang dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasca sindrom
koroner akut (Indonesia, 2015), seperti :
1. TIMI risk score
Merupakan system prognostik yang menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan
fisis. TIMI risk score ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang masing-masing
setara dengan 1 poin

Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang masing-
masing setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah usia ≥65 tahun, ≥3
faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST pada EKG, terdapat 2 kali
keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu, peningkatan marka jantung, dan
penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir. Dari semua variabel yang ada, stenosis
koroner ≥50% merupakan variabel yang sangat mungkin tidak terdeteksi.

2. Klasifikasi Killip
Berdasarkan pemeriksaan fisis bedside, sederhana, S3/ronkhi basah, kongesti paru,
dan syok kardiogenik.
Klasifikasi killip dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan temuan pemeriksaan fisis. Kelas
I : Tidak ada gagal jantung kongestif (Mortalitas 6%); Kelas II : + S3 dan/atau ronkhi
basah (Mortalitas 17%); Kelas III : Edema paru (Mortalitas 30-40%); Kelas IV : Syok
kardiogenik (Mortalitas 60-80%).
3. Karakteristik Sindrom Koroner Akut Berdasarkan faktoresiko.
Jika keadaan SKA ini tidak dengan komplikasi prognosisnya Dubia ad bonam sedangakn
jika SKA dengan komplikasi prognosisinya Dubia ad malam. (Indonesia, 2015)
KIE
Upaya pencegahan Sindrom Koroner Akut (SKA) berbasis keluarga dilakukan melalui
pendekatan dua unsur, yaitu :

- Unsur kultural yang meliputi gerakan PAACU sebagai berikut :

1) Pola makan sehat dan kalori seimbang


2) Hindari asap rokok dan merokok
3) Melakukan aktivitas fisik
4) Istirahat cukup
5) Ubah pola pikir dan kelola stress

- Unsur struktural

1) Membentuk hubungan simetris antara keluarga dengan masyarakat


2) Membentuk komunitas pencegah Sindrom Koroner Akut (SKA) (Sangadji, 2021).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard
yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri dada,
perubahan segmen ST pada Electrocardiogram (EKG), dan perubahan biomarker
jantung. Kondisi ini ditandai dengan suatu nyeri dada yang khas, yang dirasakan
seperti tertindih benda berat. Arteri koroner berfungsi untuk membawa darah yang
kaya oksigen ke otot jantung. Jika terjadi penyempitan atau penyumbatan pada
arteri koroner, maka angina atau yang umum disebut sebagai serangan jantung,
akan terjadi. Sindrom coroner akut dapat dibagi menjadi 3, yakni STEMI, NSTEMI,
dan Angina Pektoris tidak stabil. Sindrom koroner akut merupakan kelompok
penyakit degeneratif yang menjadi penyebab kematian nomor satu di Indonesia dan
jumlah kejadiannya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Patofisiologi dari SKA adalah berkurangnya aliran darah koroner


menyebabkan iskemia miokardium. Hal yang menyebabkan berkurangnya aliran
darah pada arteri coroner dapat disebabkan oleh plak, aterosklerosis, serta
vasokonstriksi pembuluh darah Suplai oksigen yang berhenti selama kurang-lebih
20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis. Faktor risiko yang tidak
dapat diubah atau tidak dapat dimodifikasi adalah usia (lebih dari 45 tahun untuk
pria dan 55 tahun untuk wanita), jenis kelamin, dan keturunan. Faktor risiko yang
dapat diubah atau di modifikasi adalah merokok, hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemia dan obesitas. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
oleh tenaga Kesehatan dapat berupa pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG),
pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan marka jantung dengan CKMB atau
Troponin I/T, serta pemeriksaan foto rontgent. Edukasi yang dapat diberikan
kepada pasien SKA yakni edukasi terkait SKA, edukasi terkait gizi dan pola makan,
edukasi faktor risiko, edukasi gaya hidup sehat, serta edukasi obat yang digunakan.
Tatalaksana farmakologi yang umum diberikan pada pasien SKA adalah Morfin,
Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), Kejadian sindrom koroner akut
merupakan penyebab mortalitas yang tinggi pada penderita PJK, karena itu upaya
pencegahan sangat penting dilakukan dengan memperbaiki gaya hidup.
DAFTAR PUSTAKA

dr. Ketut Suadarmana, Sp. PD. 2018. Infark Miokard. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Denpasar.

Huether SE, McCance KL, editors (2019). Buku Ajar Patofisiologi. 6th Indonesia ed vol 1.
Singapore: Elsevier
Kumar, V., Abbas, A., dan Aster, J. 2016. Robbins Basic Pathology Edisi9. Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2018. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Edisi Kelima. Philadelphia: ELSEVIER.

Qurarato Ayuniyah. 2021. Studi Penggunaan Asetol Pada Pasien IMA di RS dr. Ety
Asharto Batu. Fakultas Kesehatan UMM.

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. (2014) Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing

Silbernagl, S, Lang, F (2018). Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi, EGC, Jakarta

Sindhy Ayu Prasetyarda. 2021. Studi Literatur : Faktor yang berhubungan dengan
Prehospital delay pasien Infark Miokard Akut. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Malang.

Tortora, GJ, Derrickson, B. (2016). Principles of Anatomy & Physiology 13th Edition.
United States of America: John Wiley & Sons, Inc.

Triwin Jaya Simbalon. 2021. Literatur Review : Gambaran Karakteristik pasien Penderita
Infark Miokard Akut. Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan.
Sanjani, R. D. (2022). SINDROM KORONER AKUT . publikasiilmiah.ums, 1 - 13. Singh,
A. (2022). Acute Coronary Syndrome. Bethesda: StatPearls Publishing LLC
omalasari, I. (2022). ANGINA STABIL ARTIKEL
PENELITIAN. SURABAYABIOMEDICAL JOURNAL.

Mulia, D. P. (2021). TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT-STEMI


PADARUMAH SAKIT RUJUKAN. Fakultas Kedokteran, Universitas
MuhammadiyahSurakarta, 1 - 2

Anda mungkin juga menyukai