SYNDROME
Disusun Oleh :
Juliana Manurung
Dekan Selamat Putra Gulo
Daniel Amos S
Rara Naomi Noveria Tampubolon
Miduk Persada Panjaitan
Pembimbing :
RSUD BALIGE
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat TuhanYang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tulisan yang berjudul
ACUTE CORONARY SYNDROME dalam rangka melengkapi persyaratan
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSU HKBP BALIGE di
balige.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itulah, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga
tulisan ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Acute Coronary Syndrome atau Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan
darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai
akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infact myocard
acute (IMA) yang disertai elevasi segmen St dan penderita dengan infark miokardium
Yaitu suatu fase akut dari Angina Pektoris Tak Stabil (APTS) yang disertai IMA
(IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari
Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas tinggi.
Mortalitas tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun
lebih sering ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 5070% yang tidak stabil,
yakni fibrous cap dinding (punggung) plak yang tipis dan mudah erosi atau ruptur.
Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah
digunakan secara luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang
diketahui berhubungan dengan kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard:
baik Angina tidak stabil, infark miokard tanpa gelombang Q, dan infark miokard
gelombang Q mempunyai substrat patogenik umum berupa lesi aterosklerosis pada arteri
koroner.
1
Terminologi yang akan sering dipakai pada penderita Angina Pectoris adalah
perasaan berat, sesak, ditekan, didorong atau diremas. Angina Pectoris yang
khas biasanya akan terasa di tengah dada/belakang sternum (retrosternal) dan akan
menjalar ke dagu dan/atau ke lengan. Angina bisa rasanya dari nyeri ringan sampai ke
paling nyeri dan timbul keringatan dingin dan perasaan cemas. Kadang kala akan berserta
Angina sering dipicu dengan aktivitas fisik terutama setelah makan dan pada
cuaca yang dingin, dan kebanyakan dicetus oleh perasaan marah atau gembira. Nyeri
akan hilang cepat (biasanya berapa menit) dengan istirahat. Kadang kala perasaan itu
Istilah ACS banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian yang
gawat pada pembuluh darah koroner. ACS merupakan satu sindrom yang terdiri dari
beberapa penyakit koroner yaitu, unstable angina, Acute Myocardial Infarction dengan
2
segmen ST elevasi (STEMI) dan Acute Myocardial Infarction tanpa segmen ST elevasi
(NSTEMI), maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner
perkutan. Alasan rasional menyatukan semua penyakit itu dalam satu sindrom adalah
karena mekanisme patofisiologi yang sama. Semua disebabkan oleh terlepasnya plak
yang merangsang terjadinya agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya
akan menimbulkan stenosis atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli.
Sedangkan letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan
elevasi ST adalah dari jenis thrombus yang menyertainya. Angina tak stabil dengan
Proses terjadinya thrombus dimulai dengan gangguan pada salah satu dari Trias
Virchow; kelainan pada pembuluh darah, gangguan endotel, serta aliran darah terganggu.
Selanjutnya proses aterosklerosis mulai berlaku, inflamasi, dan formasi plak di pembuluh
darah. Pada suatu saat, terjadi rupture/fissure pada plak dan akhirnya menimbulkan
thrombus yang akan menghambat pembuluh darah. Apabila pembuluh darah tersumbat
100% maka terjadi STEMI. Namun bila sumbatan tidak total, tidak terjadi infark, hanya
UA atau NSTEMI.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah suatu istilah yang digunakan untuk
Unstable Angina (UA), Non-ST elevasi Myocardium Infarction (NSTEMI) dan ST-
dan presentasi klinik yang sama, hanya beda dalam derajatnya. Bila ditemukan
Unstable Angina
UNSTEMI
Pada UA dan NSTEMI, pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total
vasokonstriksi. Penentuan Troponin I/T adalah ciri paling sensitive dan specific untuk
nekrosis miosit dan penentuan pathogenesis dan alur pengobatan.UA dan NSTEMI
4
merupakan ACS yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen
miokardium.
Penyebab utama ACS adalah stenosis koroner akibat thrombus pada plak
ateroscklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau rupture dan menyumbat pada
NSTEMI adalah bagian dari sindrom koroner akut kontinum, di mana plak pecah dan
terbentuk thrombosis koroner aliran darah ke daerah miokardium. UA dan NSTEMI juga
disebutkan sindrom koroner akut non-ST elevasi. Untuk membedakan mereka dari
Elevasi dan gelombang Q patologis pada EKG, pada pasien dengan STEMI, alasan
iskemic dari miokardium. Durasi oklusi, sejauh mana daerah infark menjaga
kelangsungan hidup selama oklusi, serta letak pembuluh darah yang menentukan infark
B. EPIDEMIOLOGI
Amerika menderita penyakit jantung koroner dan lebih dari 1 juta orang yang
cenderung pada pria dengan umur antara 45 65 tahun, dan di atas 65 tahun, pria dan
wanita menpunyai risiko yang sama. Sampai hari ini, penyakit jantung koroner
Di Indonesia data lengkap penyakit jantung koroner belum ada. Pada survei
kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992, kematian akibat penyakit kardiovaskuler
menempati urutan pertama (16%) untuk umur di atas 40 tahun. SKRT pada tahun 1995 di
5
Pulau Jawa dan Pulau Bali didapatkan kematian akibat penyakit kardiovaskuler tetap
dengan SKRT tahun 1992. Di Makassar, didasari data yang dikumpulkan oleh Alkatiri7
di empat rumah sakit (RS) selama 5 tahun (1985 sampai 1989), ternyata penyakit
sampai 8,6%.
jenis penyakit jantung lainnya. dan angka kesakitannya berkisar antara 30 sampai 36,1%.
Diagnosis NSTEMI lebih sulit untuk ditegakkan dibanding diagnosis STEMI. Oleh
karena itu perkiraan prevalensinya menjadi lebih sulit. Secara keseluruhan, data
menunjukkan bahwa kejadian NSTEMI dan UA tahunan lebih tinggi daripada STEMI.
Perbandingan antara SKA dan NSTEMI telah berubah seiring waktu, karena laju
peningkatan NSTEMI dan UA relatif terhadap STEMI tanpa penjelasan yang jelas
mengenai perubahan ini. Perubahan dalam pola kejadian NSTEMI dan UA mungkin
penyakit jantung koroner selama 20 tahun terakhir. Secara keseluruhan, dari berbagai
penelitian, didapatkan bahwa kejadian tahunan dari penerimaan rumah sakit untuk
NSTEMI dan UA sekitar 3 per 1000 penduduk. Hingga saat ini, tidak ada perkiraan yang
jelas untuk Eropa secara keseluruhan, karena tidak adanya statistik kesehatan umum yang
terpusat.
C. PATOGENESIS
Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami kerusakan
6
2. Zat zat vasokonstriktor,
4. Zsap rokok,
5. Diet aterogenik,
Di antara faktor faktor risiko penyakit jantung koroner (lihat Tabel 1 di bawah),
koroner adalah suatu proses inflammasi yang kompleks dengan karakter karakter
berikut:
- akumulasi lipid, makrophag dan sel otot polos di plak intima di dalam arteri
7
- Stress mechanis dari hipertensi, abnormalitas biokim dari dislipidemia,
seperti : Sitokin (IL-1), Tumor Nekrosis Factor alfa, (TNF-), Kemokin dan Growth
Factor. Sel inflamasi seperti Monosit dan T-Limfosit masuk ke permukaan endotel dan
makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik dibanding LDL.
inflamasi. Sebagai tambahan, terjadi respons dari angiotensin II, yang menyebabkan
gangguan vasodilatasi, dan mencetuskan efek protrombik dengan melibatkan platelet dan
faktor koagulasi.
Akibat keruskan endotel terjadi respons protektif dan terbentuk lesi fibrofatty dan
fibrous, plak aterosklerosik, yang dipicu oleh inflamasi. Plak yang terjadi dapat menjadi
tidak stabil (vulnerable) dan mengalami rupture sehingga terjadi Acute Coronery
Sndrome (ACS)
D. DIAGNOSIS
Diagnosis ACS dapat diitegakkan dengan riwayat dan gejala, namun bisa juga
8
Diagnosis yang tepat amat penting, karana bila diagnosis ACS telah dibuat di
dapat mengalami infark jantung atau kematian mendadak. Diagnosis yang salah sering
menpunyai konsekuensi buruk terhadap kuaitas hidup penderita. Pada orang orang
muda, pembatasan kegiatan jasmami yang tidak pada tempatnya mungkin akan
dinasihatkan. Bila hal ini terjadi pada orang orang tua, maka mereka mungkin harus
mengalami pensium yang terlalu dini, harus berulang kali dirawat di rumah sakit secara
berlebihan atau harus makan obat obatan yang potensial toksin untuk jangka waktu
lama. Di pihak lain, konsekuensis fatal dapat terjadi bila adanya penyakit jantung koroner
yang tidak diketahui atau bila adanya penyakit-penyakit jantung lain yang menyebabkan
Cara cara diagnostic yang dipakaikan ada di table 2, tapi yang harus dokter
lakukan buat diagnosis ACS adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dengan
mempunyai anamnesis dan pemeriksaan fisik yang bener dan lengkap, sudah cukup
9
Tabel 2. Cara Cara Diagnositik
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Laboratium
4. Foto Dada
- EKG istirehat
- Ekokardiografi Istirehat
- computed tomography
- arteriografi koroner
Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti, penentuan
faktor risiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan gejala angina pectoris
10
ringan,cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila pasien dengan keluhan yang berat
merupakan indikasi.
Pada keadaan yang meragukan dapat melakukan Treadmill test. Treadmill test
lebih sensitive dan specific dibandingkan dengan EKG isitrahat dan merupakan tes
pilihan untuk mendeteksi pasien yang kemungkinan Angina Pectoris dan pemeriksaan ini
teknik non invasive penentuan kalsifikasi koroner dan anatomi koroner, Computed
lebih tinggi.
Dari anamnesis kita harus menanyakan beberapa soalan yang mengarahkan kita
11
l. Dalam keluarga ada yang mempunyai riwayat penyakit jantung? Stroke? Mati
mendadak?
Dari pemeriksaan fisik, kita harus mempunyai tanda-tanda yang harus kita curiga
2. Tachypnea >24/min.
3. Tampak Cemas
5. Pulsasi arrhythmia.
darah; periksa darah rutin dan enzim jantung (CK, CK-MB, Troponin T dan Troponin I).
Pasien dengan STEMI dan NSTEMI akan kita lihat kelainan di EKG seperti ST elevasi,
ST depresi, Tall T wave, T inversi. UA tiada kelainan di EKG, karana di thrombus itu
menyumbat tidak total dan tidak lama di arteri koroner dan tidak akan menyebabkan
perubahan di EKG. Pemeriksaan darah rutin dibutuhkan karana dari keputusannya akan
mengarahkan apakah pasien ini anemis dan apakah pasien ini ada infeksi. Pemeriksaan
enzim jantung juga mengarahkan kita ke ACS, di keadaan fisiologis enzim jantung
Troponin I dan T tidak akan meningkat, tapi enzim CK dan CK-MB akan meningkat jika
melakukan aktivitas yang berat, kerusakan otot-otot atau mengalami febris yang tinggi.
E. TATA LAKSANA
12
Sekiranya pasien sudah mempunyai tanda-tanda ACS, kita harus segera bertindak
sebanyak tiga kali, jika pasien mengeluhkan nyeri dada yang berat sekali, morphine IV
apakah ini UA, NSTEMI atau STEMI. Jika pasien mengalami UA, kita harus
memastikan dengan pemeriksaan enzim jantung, dan melanjutkan ke arah edukasi dan
terapi rawat jalan. Jika pasien mengalami STEMI/ NSTEMI, kita harus memikirkan
dilakukan apa tidak? Jika tidak boleh, kita harus rencanakan fibrinolysis. Di gambar
F. PENGOBATAN
Tujuan pengobatan pada ACS adalah untuk memperbaiki prognosis dengan cara
mencegah infark miokard dan kematian. Upaya yang dilakukan adalah bagaimana
mengurangi terjadinya thrombotic akut dan disfungsi ventrikel kiri. Tujuan ini dapat
dicapai dengan modifikasi gaya hidup ataupun intervensi farmakologik yang akan
(iii) mencegah thrombosis bila terjadi disfungsi endotel atau pecahnya plak.
Selain itu, obat juga dipakai untuk memperbaiki simtom dan iskemi yaitu
nitrat kerja jangka pendek dan jangka panjang, Beta Blocker, CCB.
13
Kepada pasien yang menderita ACS maupun keluarganya perlu kita terangkan
tentang perjalanan penyakit, pilihan obat yang tersedia. Pasien harus diyakinkan bahwa
kebanyakan kasus angina dapat mengalami perbaikan dengan pengobatan dan modifikasi
gaya hidup sehingga kualitas hidup lebih baik. Kelainan penyerta seperti hipertensi,
(ii) revaskularisasi miokard. Perlu diingat bahwa tidak satu pun cara di atas
Di pengobatan farmakologik, ada banyak jenis obat yang boleh dipakai dan ada
tertentu yang sering dipakaikan dan akan dibahaskan nanti. Yang pertama adalah Aspirin
dosis rendah, dari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa aspirin masih merupakan obat
mg sama efektivitasna dibandingkan dengan dosis yang lebih besar. Karena itu aspirin
disarankan diberi pada semua pasien ACS kecuali ditemukan kontraindikasi. Selain itu,
efek samping seperti iritasi gastrointestinal dan perdarahan, alergi harus diperhatiin.
Selain itu, Thienopyridine Clopidogrel dan Ticlopidine merupakan antagonis ADP dan
dengan resistensi atau intoleransi terhadap Aspirin. AHA/ACC guidelines update 2007
memasukkan kombinasi Aspirin dan Clopidogrel pada pasien dengan ACS menunjukkan
Obat penurun kolesterol juga dipakai di pasien ACS, pengobatan dengan statin
digunakan untuk mengurangi risiko baik pada prevensi primer maupun pervensi sekunder.
14
Berbagai studi membuktikan bahwa statin dapat menurunkan komplikasi sebesar 39%.
Selain menurunkan kolesterol, statin juga mempunyai mekanisme lain yang dapat
berperan sebagai anti inflamasi, anti thrombotic dll (pleiotropic effect). Target penurunan
LDL kolesterol adalah < 100mg/dl dan pada pasien risiko tinggi, Diabetes Mellitus,
penderita penyakit jantung koroner dianjurkan menurunkan LDL kolesterol < 70mg/dl.
15
Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan SKA
16
Pengunaan Angiotensin Converter Enzyme Inhibitor (ACEI)/ Aldosterone
Receptor Blocker (ARB) sebagai kardioproteksi untuk prevensi infark sekunder pada
Nitrat pada umumnya disarankan pada pasien ACS karena nitrat memiliki efek
venodilator sehingga preload miokard dan afterload ventrikel kiri dapat menurun
sehingga dengan demikian konsumsi oksigen miokard juga akan menurun. Nitrat juga
aliran darah kolateral dan menghambat agregasi thombosit. Bila serangan Angina tidak
respons dengan Nitrat jangka pendek seperti Nitroglycerin, maka harus diwaspadai
adanya STEMI. Efek samping dari obat ini adalah sakit kepala dan flushing.
blocker juga merupakan obat standar yang diberikan pada pasien ACS,
blocker menghambat efek katekolamin pada sirkulasi dan reseptor -1 yang dapat
dengan target denyut jantung sekitar 60 kali per menit. Kontraindikasi terpenting
pemberian blocker adalah riwayat asma bronchial serta disfungsi ventrikel kiri akut.
Kalsium channel blocker dapat mengurangi keluhan pada pasien yang telah mendapat
nitrat atau blocker; terutama pada pasien yang mempunyai kontraindikasi penggunaan
blocker. Kalsium channel blocker tidak disarankan bila terdapat penurunan fungsi
Selain obat di atas, obat anticoagulant juga dipakai untuk coba membuka
pembuluh darah yang teroklusi. Unfractionated Heparin (UFH) adalah obat yang memicu
aktivitas antithrombin III dan mencegah converse fibrinogen ke fibrin. Obat ini tidak
Low Molecular Weight Heparins (LMWH) yang dapat dipakai juga. LMWH adalah
17
indikasi untuk terapi STEMI dan adalah prophylaksis pada UA dan NSTEMI. LMWH
ada kelebihan dari UFH, karena LMWH tidak harus dimonitor International Normalized
Ratio (INR). Di UFH harus melakukan INR berterusan supaya tidak sampai tahap yang
mungkinkan perdarahan.
cara revaskularisasi yang telah terbukti baik pada ACS stabil yang disebabkan
(coronary artery bypass graft = CABG) dan tindakan intervensi perkutan (percutaneous
coronary intervention = PCI). Akhir akhir ini kedua cara tersebut telah mengalami
kemajuan pesat yaitu diperkenalkannya tindakan, off pump surgery dengan invasive
minimal dan drug eluting stent (DES). Revaskularisai dengan 1 tujuan adalah
kandidat yang potensial untuk dilakukan ravaskularisasi miokard. selain itu, tindakaan
keluhan pasien 2. Hasil uji non-invasif menunjukan adanya risiko miokard 3. Dijumpai
risiko tinggi untuk kejadian dan kematian 4. Pasien lebih memiilihkan tindakan
intervensi disbanding dengan pengobatan biasa dan sepenuhnya mengerti akan risiko dari
Dari gambar 1, menunjukkan goal reperfusi adalah PCI atau terapi thrombolitic,
jika PCI tidak dapat diakses dalam jangka waktu 90 menit, terapi thrombolitic disarankan.
Thrombolitic terapi dapat menurunkan mortalitas dan kurangkan saiz infark di patient
dengan STEMI. Terapi ini dilakukan dalam 3 jam pertama dari angina berlaku dan dapat
18
Penderita penyakit jantung koroner akan kita mengevaluasikan risiko mortalitas,
ACS yang baru atau recurrent atau butuh revascularisasi yang darurat. Setiap pasien
dating dengan diagnosis ACS harus dilakukan score ini, namanya TIMI Risk Score di
19
Table 3. TIMI Score di STEMI
G. KOMPLIKASI
Banyak komplikasi akan berlaku jika ACS tidak ditanganin dengan segera dan
membiarin proses iskemic berterusan. Yang paling sering kelihat di pasien ACS adalah
congestive heart failure (CHF). CHF post STEMI adalah suatu feature prognostic yang
buruk dan membutuhkan terapi obat supaya mortalitas rate diturunkan. Klasifikasi
Killip digunakan untuk assess pasien yang CHF post STEMI. 1) Killip 1 tiada ronchi
20
dan tiada suara jantung ke-3. 2) Killip 2 ronchi di < 50% paru paru atau ada suara
jantung ke 3. 3) Killip 3 ronchi > 50% paru paru. 4) Killip 4 Syok Cardiogenic.
Untuk penderita CHF yang ringan biasanya akan respon terhadap Intravenous
Furosemide 40-80mg dan Nitroglycerin administrasi kalau tekanan darah dalam batas
normal. Oksigen adalah mandatory dan regular tahap oksigen monitor. ACE-I boleh
diberikan dalam < 24-48 jam jika tekanan darah dalam batas normal. Penderita dengan
CHF yang berat butuh melakukan Swan-Ganz katetherisasi untuk memeriksa tekanan
penderita CHF yang berat. Jika pasien menderita syok kardiogenic, revaskularisasi
Selain gagal jantung, penderita juga mungkin mengalami rupture miokardium dan
dilatasi aneurism. Ruptur di dinding ventrikel kiri biasanya adalah tanda tanda awal dan
yang fatal. Penderita akan mengalami kollaps haemodynamic dan mengikuti cardiac
arrest. Ruptur subakut masih boleh lakukan pericardiocentesis dan pembaikan ruptur
dengan operasi. Dilatasi aneurism pada miokardium yang infark adalah komplikasi yang
Ventricular Septal Defect juga mungkin berlaku pada 1 2% pasien STEMI dan
dengan tanpa operasi langsung, mortalitas akan mencapai 92%. Mitral regurgitasi
mungkin berlaku pada pasien STEMI juga. Sever mitral regurgitasi mungkin berlaku
pada awal proses STEMI. Tiga mechanism mungkin menyebabkan mitral regurgitasi di
causanya, 1) disfungsi ventricular kiri yang sever dan dilatasi menyebabkan annular
dilatasi pada katup dan menyebabkan regugitasi. 2) miokardium infark di dinding inferior
yang menyebabkan disfungsi otot papillary yang control buka dan tutup katupnya. 3)
21
miokardium infark pada otot papilari dan menyebabkan akut sever oedem pulmo dan
syok kardiogenic.
Irama jantung juga akan terganggu pada penderita ACS. Ventrikular takikardi dan
ventricular fibrilasi adalah gejala yang sering ketemu di pasien STEMI terutama dengan
dilakukan, dan memastikan kalium adalah di atas 4.5 mmol/L. Refractori ventricular
takikardi atau fibrilasi akan ada respon terhadap magnesium 8 mmol/L dalam 15 menit
IV. Atrial fibrillasi sering ketemu juga dan diterapikan beta blocker atau digoxin.
Bradyarrthimia boleh diterapi dengan IV Atripine 0.5mg dan diulangkan 6 kali dalam 4
jam. Kadang kala, gangguan konduksi aliran listrik jantung juga mungkin berlaku. AV
blok adalah yang paling sering ketemu pada AMI, terutama kalau adalah dinding inferior
yang infark, karena arteri koroner yang kanan supply ke SA dan AV node. Gangguan
konduksi boleh temporary dan permenant. Jika temporary, hanya dilakukan Atropine
atau pacemaker yang temporary. Tapi kalau adalah permanent, pacemaker yang
permanent dibutuhkan.
H. PENCEGAHAN
Tidak ada motto yang boleh mengganti ini, Mencegah lebih baik daripada
mengobati. Ini berlaku untuk siapapun, terlebih pada orang yang mempunyai factor
risiko yang tinggi. Prioritas pencegahan terutama dilakukan pada pasien dengan penyakit
jantung koroner, penyakit arteri periferi dan ateroscklerosis cerebrovascular. Selain itu,
pasien yang tanpa gejala tapi mempunyai risiko tinggi karena banyak factor risiko dan
besarnya risiko dalam 10 tahun bakal dapat penyakit kardiovascular yang fatal.
Peningkatan salah satu komponen factor risiko seperti cholesterol > 320mg/dl, LDL >
22
240 mg/dl, tekanan darah > 180/110mmhg dan pasien diabetes tipe2 dan tipe 1 dengan
kardiovaskular aterosklerotik atau riwayat mati mendadak. Semua yang diatas adalah
factor factor risiko yang menyebabkan penyakit jantung koroner yang memungkin pada
pasien.
Jadi kita sebagai pelayan medis, harus mencarikan factor risiko yang ada pada
pasien dan membantu pasien mencegahkan factor risiko tersebut dengan cara
untuk pencegahan penyakit kardiovaskular yang ditentukan dari factor risiko yang ada, di
bawah table 4.
Selain daripada yang diatas, terdapat prevensi sekunder pada individu yang
terbukti menderita penyakit jantung koroner adalah upaya untuk mencegah agak ACS itu
tidak berulang lagi. Prevensi sekunder itu sangat diperlukan pada individu yang pernah
atau sudah terbukti menderita ACS, cenderung untuk mendapat sakit jantung lagi, dan
23
orang yang belum pernah sakit jantung tapi mempunyai kemungkinanya yang besar.
Selain itu, individu yang mempunyai proses aterosklerosis pada pembuluh darah organ
lain seperti di otak, aorta atau arteri karotis, arteri perifer dll. Oleh sebab itu, pervensi
sekunder itu penting supaya tidak menyebabkan ACS nanti. Tabel 5 di bawah adalah
intervensi intervensi yang harus dilakukan pada penderita atau bakal penderita ACS
24
Pada pasien yang post AMI harusnya diberikan terapi farmakologic supaya
moralitas dan rekurrensi boleh diturunkan. Jadi, menurut AHA/ACC, pasien post AMI
harus menggunakan Aspirin 75 100 mg/day, Beta Blocker supaya denyutan nadi < 60
b.pm. eg. Metoprolol 50 mg 2 kali sehari, ACE I, eg. Ramipril 2.5mg 2 kali sehari dan
mentitrasi sampai dosis yang diinginkan, jika ACE I tidak ditoleransi oleh pasien,
diganti dengan ARB, eg Valsartan 20mg 2 kali sehari. Statin juga digunakan seperti
pada pasien yang berisiko sedang tinggi dan NSTEMI. Aldosterone antagonist eg.
Eplerenone 25mg/hari harus diberikan pada pasien post AMI dengan gejala klinis gagal
25
BAB III
KESIMPULAN
Demam Thypoid dan Broncopneumonia yang diketahui dari anamnesis demam dan
batuk, hal ini sudah dialami pasien sejak 14 hari yang lalu. Demam dirasakan pada sore
menjelang malam dan menurun pada pagi hari. Pasien juga mengeluhkan sakit kepala
yang terasa berdenyut-denyut terus menerus, kadang pasien juga merasakan sakit kepala
sebelah seperti ditarik. Mual (+), muntah (+) air, sakit menelan (+), tidak selera
makan(+), penurunan berat badan (+), nyeri ulu hati (+), batuk (+), sesak nafas (+), BAK
(+) normal, BAB (-) 2 hari. Pasiem memiliki riwayat penyakit dispepsia.
26
DAFTAR PUSTAKA
halaman 63
p1425
3. Kumar P and Clark M, 2006, Clinical Medicine 7th Edition, page 743
2000,138797.
dengan Revaskularisasi Non Bedah. Cermin Dunia Kedokteran No. 143, 2004
Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 2006: 123-126
27