Anda di halaman 1dari 30

ACUTE CORONARY

SYNDROME
Disusun Oleh :
Juliana Manurung
Dekan Selamat Putra Gulo
Daniel Amos S
Rara Naomi Noveria Tampubolon
Miduk Persada Panjaitan

Pembimbing :

dr. Gopas Simanjuntak, Sp.PD

RSUD BALIGE
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat TuhanYang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tulisan yang berjudul
ACUTE CORONARY SYNDROME dalam rangka melengkapi persyaratan
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSU HKBP BALIGE di
balige.

Dalam kesempatan ini pula penulis hendak menyampaikan rasa terimakasih


kepada dokter pembimbing yang telah memotivasi, membimbing, dan mengarahkan
penulis selama menjalani program Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Penyakit
Dalam dan dalam menyusun tulisan ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itulah, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga
tulisan ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita.

Pematangsiantar, Desember 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 4

A. Definisi ACS ........................................................................................ 4


B. Epidemiologi ........................................................................................ 5
C. Patogenesis .......................................................................................... 6
D. Diagnosis ............................................................................................. 8
E. Tatalaksana .......................................................................................... 12
F. Pengobatan ........................................................................................... 12
G. komplikasi ............................................................................................ 19
H. Pencegahan .......................................................................................... 21
BAB III KESIMPULAN ................................................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Acute Coronary Syndrome atau Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan

darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai

akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infact myocard

acute (IMA) yang disertai elevasi segmen St dan penderita dengan infark miokardium

tanpa elevasi ST.

SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner. Penyakit

jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi utama proses aterosklerosis.

Yaitu suatu fase akut dari Angina Pektoris Tak Stabil (APTS) yang disertai IMA

gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q

(IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari

ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (Vulnerable).

Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas tinggi.

Mortalitas tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun

lebih sering ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 5070% yang tidak stabil,

yakni fibrous cap dinding (punggung) plak yang tipis dan mudah erosi atau ruptur.

Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah

digunakan secara luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang

diketahui berhubungan dengan kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard:

baik Angina tidak stabil, infark miokard tanpa gelombang Q, dan infark miokard

gelombang Q mempunyai substrat patogenik umum berupa lesi aterosklerosis pada arteri

koroner.

1
Terminologi yang akan sering dipakai pada penderita Angina Pectoris adalah

perasaan berat, sesak, ditekan, didorong atau diremas. Angina Pectoris yang

khas biasanya akan terasa di tengah dada/belakang sternum (retrosternal) dan akan

menjalar ke dagu dan/atau ke lengan. Angina bisa rasanya dari nyeri ringan sampai ke

paling nyeri dan timbul keringatan dingin dan perasaan cemas. Kadang kala akan berserta

dengan sesak nafas.

Gambar 1. Angina Pektoris pada SKA

Angina sering dipicu dengan aktivitas fisik terutama setelah makan dan pada

cuaca yang dingin, dan kebanyakan dicetus oleh perasaan marah atau gembira. Nyeri

akan hilang cepat (biasanya berapa menit) dengan istirahat. Kadang kala perasaan itu

akan hilang sendiri dengan teruskan aktivitas.

Istilah ACS banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian yang

gawat pada pembuluh darah koroner. ACS merupakan satu sindrom yang terdiri dari

beberapa penyakit koroner yaitu, unstable angina, Acute Myocardial Infarction dengan

2
segmen ST elevasi (STEMI) dan Acute Myocardial Infarction tanpa segmen ST elevasi

(NSTEMI), maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner

perkutan. Alasan rasional menyatukan semua penyakit itu dalam satu sindrom adalah

karena mekanisme patofisiologi yang sama. Semua disebabkan oleh terlepasnya plak

yang merangsang terjadinya agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya

akan menimbulkan stenosis atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli.

Sedangkan letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan

elevasi ST adalah dari jenis thrombus yang menyertainya. Angina tak stabil dengan

trombus mural, Non-elevasi ST dengan thrombus inkomplet/nonklusif, sedangkan pada

elevasi ST adalah trombus komplet/oklusif.

Proses terjadinya thrombus dimulai dengan gangguan pada salah satu dari Trias

Virchow; kelainan pada pembuluh darah, gangguan endotel, serta aliran darah terganggu.

Selanjutnya proses aterosklerosis mulai berlaku, inflamasi, dan formasi plak di pembuluh

darah. Pada suatu saat, terjadi rupture/fissure pada plak dan akhirnya menimbulkan

thrombus yang akan menghambat pembuluh darah. Apabila pembuluh darah tersumbat

100% maka terjadi STEMI. Namun bila sumbatan tidak total, tidak terjadi infark, hanya

UA atau NSTEMI.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI Acute Coronary Syndrome

Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah suatu istilah yang digunakan untuk

memggambarkan spectrum keadaan atau kumpulan gejala penyakit yang meliput

Unstable Angina (UA), Non-ST elevasi Myocardium Infarction (NSTEMI) dan ST-

elevasi Myocardium Infarction (STEMI). UA dan NSTEMI mempunyai pathogenesis

dan presentasi klinik yang sama, hanya beda dalam derajatnya. Bila ditemukan

peningkatan enzim-enzim jantung, maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila

enzim-enzim jantung tidak meninggi, maka diagnosis adalah UA.

Unstable Angina

Sindrom Koroner Akut (SKA) STEMI

UNSTEMI

Bagan 1. Pembagian SKA

Pada UA dan NSTEMI, pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total

sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, thrombisis dan

vasokonstriksi. Penentuan Troponin I/T adalah ciri paling sensitive dan specific untuk

nekrosis miosit dan penentuan pathogenesis dan alur pengobatan.UA dan NSTEMI

4
merupakan ACS yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen

miokardium.

Penyebab utama ACS adalah stenosis koroner akibat thrombus pada plak

ateroscklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau rupture dan menyumbat pada

pumbuluh darah yang sudah mengalami penyempitan oleh aterosklerosis. UA dan

NSTEMI adalah bagian dari sindrom koroner akut kontinum, di mana plak pecah dan

terbentuk thrombosis koroner aliran darah ke daerah miokardium. UA dan NSTEMI juga

disebutkan sindrom koroner akut non-ST elevasi. Untuk membedakan mereka dari

STEMI, pemakaian EKG dibutuhkan. Dalam UA dan NSTEMI, tidak ditemukan ST

Elevasi dan gelombang Q patologis pada EKG, pada pasien dengan STEMI, alasan

mengapa ST elevasi dan gelombang Q patologis ditemukan, kerana ada hubungan

iskemic dari miokardium. Durasi oklusi, sejauh mana daerah infark menjaga

kelangsungan hidup selama oklusi, serta letak pembuluh darah yang menentukan infark

ada hubungan dengan munculnya ST elevasi dan gelombang Q.

B. EPIDEMIOLOGI

The American Heart Association memperkirakan lebih dari 6 juta penduduk

Amerika menderita penyakit jantung koroner dan lebih dari 1 juta orang yang

diperkirakan mengalami serangan infark miokardium setiap tahun. Kejadiannya lebih

cenderung pada pria dengan umur antara 45 65 tahun, dan di atas 65 tahun, pria dan

wanita menpunyai risiko yang sama. Sampai hari ini, penyakit jantung koroner

merupakan penyebab kematian utama di dunia.

Di Indonesia data lengkap penyakit jantung koroner belum ada. Pada survei

kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992, kematian akibat penyakit kardiovaskuler

menempati urutan pertama (16%) untuk umur di atas 40 tahun. SKRT pada tahun 1995 di

5
Pulau Jawa dan Pulau Bali didapatkan kematian akibat penyakit kardiovaskuler tetap

menempati urutan pertama dan persentasenya semakin meningkat (25%) dibandingkan

dengan SKRT tahun 1992. Di Makassar, didasari data yang dikumpulkan oleh Alkatiri7

di empat rumah sakit (RS) selama 5 tahun (1985 sampai 1989), ternyata penyakit

kardiovaskuler menempati urutan ke 5 sampai 6 dengan persentase berkisar antara 7,5

sampai 8,6%.

Penyakit jantung koroner terus-menerus menempati urutan pertama di antara

jenis penyakit jantung lainnya. dan angka kesakitannya berkisar antara 30 sampai 36,1%.

Diagnosis NSTEMI lebih sulit untuk ditegakkan dibanding diagnosis STEMI. Oleh

karena itu perkiraan prevalensinya menjadi lebih sulit. Secara keseluruhan, data

menunjukkan bahwa kejadian NSTEMI dan UA tahunan lebih tinggi daripada STEMI.

Perbandingan antara SKA dan NSTEMI telah berubah seiring waktu, karena laju

peningkatan NSTEMI dan UA relatif terhadap STEMI tanpa penjelasan yang jelas

mengenai perubahan ini. Perubahan dalam pola kejadian NSTEMI dan UA mungkin

dapat dihubungkan dengan perubahan dalam manajemen serta upaya pencegahan

penyakit jantung koroner selama 20 tahun terakhir. Secara keseluruhan, dari berbagai

penelitian, didapatkan bahwa kejadian tahunan dari penerimaan rumah sakit untuk

NSTEMI dan UA sekitar 3 per 1000 penduduk. Hingga saat ini, tidak ada perkiraan yang

jelas untuk Eropa secara keseluruhan, karena tidak adanya statistik kesehatan umum yang

terpusat.

C. PATOGENESIS

Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami kerusakan

oleh adanya faktor risiko antara lain:

1. Faktor hemodinamik seperti hipertensi,

6
2. Zat zat vasokonstriktor,

3. Mediator (sitokin) dari sel darah,

4. Zsap rokok,

5. Diet aterogenik,

6. Peningkatan kadar gula darah,

7. dan oxidasi dari LDL C.

Di antara faktor faktor risiko penyakit jantung koroner (lihat Tabel 1 di bawah),

diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, merokok, dan kepribadian

merupakan faktor faktor penting yang mesti diketahui.

Proses ACS mulai dengan proses aterosklerosis koroner. Proses aterosklerosis

koroner adalah suatu proses inflammasi yang kompleks dengan karakter karakter

berikut:

- akumulasi lipid, makrophag dan sel otot polos di plak intima di dalam arteri

koroner yang berukuran besar dan medium.

- Endothelium vascular memainkan peranan yang kritikal dalam

mempertahankan integritas vascular dan hemeostasis.

7
- Stress mechanis dari hipertensi, abnormalitas biokim dari dislipidemia,

diabetes mellitus dan elevasi homosistein di plasma, immunologis dari radikal

bebas di rokok, inflammasi dari infeksi dan alterasi genetik dapat

berkontribusi pada inisiasi kelukaan atau disfungsi endotel, yang

dipercayakan akan mempacukan atherogenesis.

Kerusakan ini menyebabkan sel endotel menghasilkan cell adhesion molecule

seperti : Sitokin (IL-1), Tumor Nekrosis Factor alfa, (TNF-), Kemokin dan Growth

Factor. Sel inflamasi seperti Monosit dan T-Limfosit masuk ke permukaan endotel dan

migrasi dari endothelium ke sub endotel. Monosit kemudian berdiferensiasi menjadi

makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik dibanding LDL.

Makrofag ini kemudian membantu sel busa.

LDL teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan menghasilkan respons

inflamasi. Sebagai tambahan, terjadi respons dari angiotensin II, yang menyebabkan

gangguan vasodilatasi, dan mencetuskan efek protrombik dengan melibatkan platelet dan

faktor koagulasi.

Akibat keruskan endotel terjadi respons protektif dan terbentuk lesi fibrofatty dan

fibrous, plak aterosklerosik, yang dipicu oleh inflamasi. Plak yang terjadi dapat menjadi

tidak stabil (vulnerable) dan mengalami rupture sehingga terjadi Acute Coronery

Sndrome (ACS)

D. DIAGNOSIS

Diagnosis ACS dapat diitegakkan dengan riwayat dan gejala, namun bisa juga

dengan bantuan EKG dan pemeriksaan laboratorium. Langkah pertama dalam

pengelolaan ACS ialah penetapan diagnosis pasti.

8
Diagnosis yang tepat amat penting, karana bila diagnosis ACS telah dibuat di

dalamnya terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan akan

dapat mengalami infark jantung atau kematian mendadak. Diagnosis yang salah sering

menpunyai konsekuensi buruk terhadap kuaitas hidup penderita. Pada orang orang

muda, pembatasan kegiatan jasmami yang tidak pada tempatnya mungkin akan

dinasihatkan. Bila hal ini terjadi pada orang orang tua, maka mereka mungkin harus

mengalami pensium yang terlalu dini, harus berulang kali dirawat di rumah sakit secara

berlebihan atau harus makan obat obatan yang potensial toksin untuk jangka waktu

lama. Di pihak lain, konsekuensis fatal dapat terjadi bila adanya penyakit jantung koroner

yang tidak diketahui atau bila adanya penyakit-penyakit jantung lain yang menyebabkan

angina pectoris terlewat dan tidak terdeteksi.

Cara cara diagnostic yang dipakaikan ada di table 2, tapi yang harus dokter

lakukan buat diagnosis ACS adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dengan

mempunyai anamnesis dan pemeriksaan fisik yang bener dan lengkap, sudah cukup

mengarahkan kita ke arah ACS.

9
Tabel 2. Cara Cara Diagnositik

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan Fisik

3. Laboratium

4. Foto Dada

5. Pemeriksaan Jantung Non Invasif

- EKG istirehat

- Uji Latihan Jasmani (treadmill)

- Uji latih Jasmani Kombinasi Pencitraan:

- Uji Latih Ekokardiagrafi (Stress Eko)

- Uji Latih Jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard

- Uji Latih Jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging

- Ekokardiografi Istirehat

- Monitoring EKG ambulatory

- Teknik non invasif penentuan klasifikasi koroner dan anatomi koroner :

- computed tomography

- Magnetic resonance arteriography

6. Pemerikasaan invasive menentukan anatomi koroner

- arteriografi koroner

- ultrasound intravascular (IVUS)

Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti, penentuan

faktor risiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan gejala angina pectoris

10
ringan,cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila pasien dengan keluhan yang berat

dan kemungkinan diperlukan tindakan revaskularisasi, maka tindakan angiografi sudah

merupakan indikasi.

Pada keadaan yang meragukan dapat melakukan Treadmill test. Treadmill test

lebih sensitive dan specific dibandingkan dengan EKG isitrahat dan merupakan tes

pilihan untuk mendeteksi pasien yang kemungkinan Angina Pectoris dan pemeriksaan ini

sarannya yang mudah dan biayanya terjangkau.

Pemeriksaan alternatif lain yang dapat dilakukan adalah ekokardiografi dan

teknik non invasive penentuan kalsifikasi koroner dan anatomi koroner, Computed

Tomography, Magnetic Resonance Arteriography, dengan sensifitas dan specifitas yang

lebih tinggi.

Dari anamnesis kita harus menanyakan beberapa soalan yang mengarahkan kita

ke ACS. Pertanyaan seperti berikut :

a. Sakit dada berterusan berapa lama?

b. Ada 15 menit? atau lebih lama?

c. Sakit dada di sebelah mana? Sila ditunjukkan!

d. Sakit itu rasa seperti apa? Terbakar? Tertekan? Ditindih?

e. Sakit waktu lakukan apa? Aktivitas? Apakah waktu istirahat?

f. Apakah sakit itu dengan rasa sesak? Lemas?

g. Apakah rasa sakit itu radiasi ke tangan kiri?

h. Apakah rasa sakit itu terasosiasi dengan keringatan dingin?

i. Sakit itu membaik dengan istirehat?

j. Apakah pasien perokok? Konsumsi alcohol?

k. Apakah pasien punya riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia?

11
l. Dalam keluarga ada yang mempunyai riwayat penyakit jantung? Stroke? Mati

mendadak?

Dari pemeriksaan fisik, kita harus mempunyai tanda-tanda yang harus kita curiga

ke arah ACS. Tanda tanda seperti berikut :

1. Tachycardia > 100x/min

2. Tachypnea >24/min.

3. Tampak Cemas

4. Tekanan Darah tinggi > 140/90 atau rendah <100/70.

5. Pulsasi arrhythmia.

6. Kedengaran murmur mungkin adalah komplikasi dari ACS.

Diteruskan dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG istirahat dan pemeriksaan

darah; periksa darah rutin dan enzim jantung (CK, CK-MB, Troponin T dan Troponin I).

Pasien dengan STEMI dan NSTEMI akan kita lihat kelainan di EKG seperti ST elevasi,

ST depresi, Tall T wave, T inversi. UA tiada kelainan di EKG, karana di thrombus itu

menyumbat tidak total dan tidak lama di arteri koroner dan tidak akan menyebabkan

perubahan di EKG. Pemeriksaan darah rutin dibutuhkan karana dari keputusannya akan

mengarahkan apakah pasien ini anemis dan apakah pasien ini ada infeksi. Pemeriksaan

enzim jantung juga mengarahkan kita ke ACS, di keadaan fisiologis enzim jantung

Troponin I dan T tidak akan meningkat, tapi enzim CK dan CK-MB akan meningkat jika

melakukan aktivitas yang berat, kerusakan otot-otot atau mengalami febris yang tinggi.

Pemeriksaan Enzim dapat membedakan antara NSTEMI dan Unstable Angina.

E. TATA LAKSANA

12
Sekiranya pasien sudah mempunyai tanda-tanda ACS, kita harus segera bertindak

supaya tidak menyebabkan konsekuensi yang lebih parah. Penatalaksanaan dapat

menggunakan akrronim MONACO. Dapat dimulai dengan memberikan oksigen 4L/mnt,

Aspirin 300mg, Clopidogrel 300mg, Nitroglycerin 0.6mg SL ulang setiap 5 minute

sebanyak tiga kali, jika pasien mengeluhkan nyeri dada yang berat sekali, morphine IV

0.5mg/ml sebanyak 5 ml dimasukin. Seterusnya, EKG harus dipantau dan mengetahui

apakah ini UA, NSTEMI atau STEMI. Jika pasien mengalami UA, kita harus

memastikan dengan pemeriksaan enzim jantung, dan melanjutkan ke arah edukasi dan

terapi rawat jalan. Jika pasien mengalami STEMI/ NSTEMI, kita harus memikirkan

apakah rencana reperfusi dengan Percutaneus Coronary Intervention (PCI) boleh

dilakukan apa tidak? Jika tidak boleh, kita harus rencanakan fibrinolysis. Di gambar

bawah (gambar 1) adalah algorithm penalaksaan ACS di Instalasi Gawat Darurat.

F. PENGOBATAN

Tujuan pengobatan pada ACS adalah untuk memperbaiki prognosis dengan cara

mencegah infark miokard dan kematian. Upaya yang dilakukan adalah bagaimana

mengurangi terjadinya thrombotic akut dan disfungsi ventrikel kiri. Tujuan ini dapat

dicapai dengan modifikasi gaya hidup ataupun intervensi farmakologik yang akan

(i) mengurang progresif plak

(ii) menstabilkan plak, dengan mengurangi inflamasi dan memperbaiki fungsi

endotel, dan akhirnya,

(iii) mencegah thrombosis bila terjadi disfungsi endotel atau pecahnya plak.

Selain itu, obat juga dipakai untuk memperbaiki simtom dan iskemi yaitu

nitrat kerja jangka pendek dan jangka panjang, Beta Blocker, CCB.

13
Kepada pasien yang menderita ACS maupun keluarganya perlu kita terangkan

tentang perjalanan penyakit, pilihan obat yang tersedia. Pasien harus diyakinkan bahwa

kebanyakan kasus angina dapat mengalami perbaikan dengan pengobatan dan modifikasi

gaya hidup sehingga kualitas hidup lebih baik. Kelainan penyerta seperti hipertensi,

diabetes mellitus, dislipidemia, dll, perlu ditangani secara baik.

Cara pengobatan ACS yaitu,

(i) pengobatan farmakologis,

(ii) revaskularisasi miokard. Perlu diingat bahwa tidak satu pun cara di atas

sifatnya menyembuhkan. Dengan kata lain tetap diperlukan modifikasi

gaya hidup dan mengatasi factor-factor risiko.

Di pengobatan farmakologik, ada banyak jenis obat yang boleh dipakai dan ada

tertentu yang sering dipakaikan dan akan dibahaskan nanti. Yang pertama adalah Aspirin

dosis rendah, dari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa aspirin masih merupakan obat

utama untuk mencegahan thrombosis. Meta-analysis menunjukkan bahwa dosis 75 150

mg sama efektivitasna dibandingkan dengan dosis yang lebih besar. Karena itu aspirin

disarankan diberi pada semua pasien ACS kecuali ditemukan kontraindikasi. Selain itu,

efek samping seperti iritasi gastrointestinal dan perdarahan, alergi harus diperhatiin.

Cardioaspirin memberikan efek samping yang lebih minimal dibandingkan Aspirin.

Selain itu, Thienopyridine Clopidogrel dan Ticlopidine merupakan antagonis ADP dan

menghambat agregasi Thrombosit. Clopidogrel lebih diindikasikan pada penderita

dengan resistensi atau intoleransi terhadap Aspirin. AHA/ACC guidelines update 2007

memasukkan kombinasi Aspirin dan Clopidogrel pada pasien dengan ACS menunjukkan

lebih rendah mortality rate.

Obat penurun kolesterol juga dipakai di pasien ACS, pengobatan dengan statin

digunakan untuk mengurangi risiko baik pada prevensi primer maupun pervensi sekunder.

14
Berbagai studi membuktikan bahwa statin dapat menurunkan komplikasi sebesar 39%.

Selain menurunkan kolesterol, statin juga mempunyai mekanisme lain yang dapat

berperan sebagai anti inflamasi, anti thrombotic dll (pleiotropic effect). Target penurunan

LDL kolesterol adalah < 100mg/dl dan pada pasien risiko tinggi, Diabetes Mellitus,

penderita penyakit jantung koroner dianjurkan menurunkan LDL kolesterol < 70mg/dl.

15
Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan SKA

16
Pengunaan Angiotensin Converter Enzyme Inhibitor (ACEI)/ Aldosterone

Receptor Blocker (ARB) sebagai kardioproteksi untuk prevensi infark sekunder pada

pasien dengan penyakit jantung koroner telah dibuktikan dari studi.

Nitrat pada umumnya disarankan pada pasien ACS karena nitrat memiliki efek

venodilator sehingga preload miokard dan afterload ventrikel kiri dapat menurun

sehingga dengan demikian konsumsi oksigen miokard juga akan menurun. Nitrat juga

melebarkan pembuluh darah normal dan yang mengalami aterosklerotik, menaikkan

aliran darah kolateral dan menghambat agregasi thombosit. Bila serangan Angina tidak

respons dengan Nitrat jangka pendek seperti Nitroglycerin, maka harus diwaspadai

adanya STEMI. Efek samping dari obat ini adalah sakit kepala dan flushing.

blocker juga merupakan obat standar yang diberikan pada pasien ACS,

blocker menghambat efek katekolamin pada sirkulasi dan reseptor -1 yang dapat

menyebabkan penurunan konsumsi oksigen miokardium. Pemberian blocker dilakukan

dengan target denyut jantung sekitar 60 kali per menit. Kontraindikasi terpenting

pemberian blocker adalah riwayat asma bronchial serta disfungsi ventrikel kiri akut.

Kalsium channel blocker juga diberikan, dia mempunyai efek vasodilatasi.

Kalsium channel blocker dapat mengurangi keluhan pada pasien yang telah mendapat

nitrat atau blocker; terutama pada pasien yang mempunyai kontraindikasi penggunaan

blocker. Kalsium channel blocker tidak disarankan bila terdapat penurunan fungsi

ventrikel kiri atau gangguan konduksi atrioventrikel.

Selain obat di atas, obat anticoagulant juga dipakai untuk coba membuka

pembuluh darah yang teroklusi. Unfractionated Heparin (UFH) adalah obat yang memicu

aktivitas antithrombin III dan mencegah converse fibrinogen ke fibrin. Obat ini tidak

melysiskan thrombusnya tapi mencegeh lanjutan thrombogenesis. Selain UFH, terdapat

Low Molecular Weight Heparins (LMWH) yang dapat dipakai juga. LMWH adalah

17
indikasi untuk terapi STEMI dan adalah prophylaksis pada UA dan NSTEMI. LMWH

ada kelebihan dari UFH, karena LMWH tidak harus dimonitor International Normalized

Ratio (INR). Di UFH harus melakukan INR berterusan supaya tidak sampai tahap yang

mungkinkan perdarahan.

Setelah obat farmakologi, sekarang masuk ke revaskularisasi miokard. Ada dua

cara revaskularisasi yang telah terbukti baik pada ACS stabil yang disebabkan

aterosklerotik koroner yaitu tindakan revaskularisasi pembedahan, bedah pintas koroner

(coronary artery bypass graft = CABG) dan tindakan intervensi perkutan (percutaneous

coronary intervention = PCI). Akhir akhir ini kedua cara tersebut telah mengalami

kemajuan pesat yaitu diperkenalkannya tindakan, off pump surgery dengan invasive

minimal dan drug eluting stent (DES). Revaskularisai dengan 1 tujuan adalah

meningkatkan survival ataupun mencegah infark ataupun menghilangkan gejala.

Secara umum, pasien yang memiliki indikasi untuk dilakukan arteriography

koroner dan tindakan kateterisasi menunjukkan penyempitan arteri koroner adalah

kandidat yang potensial untuk dilakukan ravaskularisasi miokard. selain itu, tindakaan

revaskularisasi dilakukan pada pasien jika; 1. Pengobatan tidak berhasil mengontrol

keluhan pasien 2. Hasil uji non-invasif menunjukan adanya risiko miokard 3. Dijumpai

risiko tinggi untuk kejadian dan kematian 4. Pasien lebih memiilihkan tindakan

intervensi disbanding dengan pengobatan biasa dan sepenuhnya mengerti akan risiko dari

pengobatan yang diberikan kepada mereka.

Dari gambar 1, menunjukkan goal reperfusi adalah PCI atau terapi thrombolitic,

jika PCI tidak dapat diakses dalam jangka waktu 90 menit, terapi thrombolitic disarankan.

Thrombolitic terapi dapat menurunkan mortalitas dan kurangkan saiz infark di patient

dengan STEMI. Terapi ini dilakukan dalam 3 jam pertama dari angina berlaku dan dapat

menurunkan 50% mortalitas pada pasien ACS.

18
Penderita penyakit jantung koroner akan kita mengevaluasikan risiko mortalitas,

ACS yang baru atau recurrent atau butuh revascularisasi yang darurat. Setiap pasien

dating dengan diagnosis ACS harus dilakukan score ini, namanya TIMI Risk Score di

table 2 dan 3 di bawah.

Table 2. TIMI score di UA dan NSTEMI

19
Table 3. TIMI Score di STEMI

G. KOMPLIKASI

Banyak komplikasi akan berlaku jika ACS tidak ditanganin dengan segera dan

membiarin proses iskemic berterusan. Yang paling sering kelihat di pasien ACS adalah

congestive heart failure (CHF). CHF post STEMI adalah suatu feature prognostic yang

buruk dan membutuhkan terapi obat supaya mortalitas rate diturunkan. Klasifikasi

Killip digunakan untuk assess pasien yang CHF post STEMI. 1) Killip 1 tiada ronchi

20
dan tiada suara jantung ke-3. 2) Killip 2 ronchi di < 50% paru paru atau ada suara

jantung ke 3. 3) Killip 3 ronchi > 50% paru paru. 4) Killip 4 Syok Cardiogenic.

Untuk penderita CHF yang ringan biasanya akan respon terhadap Intravenous

Furosemide 40-80mg dan Nitroglycerin administrasi kalau tekanan darah dalam batas

normal. Oksigen adalah mandatory dan regular tahap oksigen monitor. ACE-I boleh

diberikan dalam < 24-48 jam jika tekanan darah dalam batas normal. Penderita dengan

CHF yang berat butuh melakukan Swan-Ganz katetherisasi untuk memeriksa tekanan

pulmonary. Intravenous inotropic seperti dopamine dan dobutamine dibutuhkan pada

penderita CHF yang berat. Jika pasien menderita syok kardiogenic, revaskularisasi

dan/atau intra-aortic ballon pump insersi dibutuhkan.

Selain gagal jantung, penderita juga mungkin mengalami rupture miokardium dan

dilatasi aneurism. Ruptur di dinding ventrikel kiri biasanya adalah tanda tanda awal dan

yang fatal. Penderita akan mengalami kollaps haemodynamic dan mengikuti cardiac

arrest. Ruptur subakut masih boleh lakukan pericardiocentesis dan pembaikan ruptur

dengan operasi. Dilatasi aneurism pada miokardium yang infark adalah komplikasi yang

lambat dan butuhkan operasi.

Ventricular Septal Defect juga mungkin berlaku pada 1 2% pasien STEMI dan

biasanya disebabkan keterlambatan dan gagal fibrinolisis. Mortalitasnya sangat tinggi

dengan tanpa operasi langsung, mortalitas akan mencapai 92%. Mitral regurgitasi

mungkin berlaku pada pasien STEMI juga. Sever mitral regurgitasi mungkin berlaku

pada awal proses STEMI. Tiga mechanism mungkin menyebabkan mitral regurgitasi di

STEMI, dengan bantuan Transoesophageal Echocardiogram (TOE) akan konfirmasikan

causanya, 1) disfungsi ventricular kiri yang sever dan dilatasi menyebabkan annular

dilatasi pada katup dan menyebabkan regugitasi. 2) miokardium infark di dinding inferior

yang menyebabkan disfungsi otot papillary yang control buka dan tutup katupnya. 3)

21
miokardium infark pada otot papilari dan menyebabkan akut sever oedem pulmo dan

syok kardiogenic.

Irama jantung juga akan terganggu pada penderita ACS. Ventrikular takikardi dan

ventricular fibrilasi adalah gejala yang sering ketemu di pasien STEMI terutama dengan

reperfusi. Ventrikular takikardi harus di terapi dengan Intravenous Beta blockers,

lidocain atau amiodarone. Kalau pasien adalah hipotensi, synchronized kardioversi

dilakukan, dan memastikan kalium adalah di atas 4.5 mmol/L. Refractori ventricular

takikardi atau fibrilasi akan ada respon terhadap magnesium 8 mmol/L dalam 15 menit

IV. Atrial fibrillasi sering ketemu juga dan diterapikan beta blocker atau digoxin.

Bradyarrthimia boleh diterapi dengan IV Atripine 0.5mg dan diulangkan 6 kali dalam 4

jam. Kadang kala, gangguan konduksi aliran listrik jantung juga mungkin berlaku. AV

blok adalah yang paling sering ketemu pada AMI, terutama kalau adalah dinding inferior

yang infark, karena arteri koroner yang kanan supply ke SA dan AV node. Gangguan

konduksi boleh temporary dan permenant. Jika temporary, hanya dilakukan Atropine

atau pacemaker yang temporary. Tapi kalau adalah permanent, pacemaker yang

permanent dibutuhkan.

H. PENCEGAHAN

Tidak ada motto yang boleh mengganti ini, Mencegah lebih baik daripada

mengobati. Ini berlaku untuk siapapun, terlebih pada orang yang mempunyai factor

risiko yang tinggi. Prioritas pencegahan terutama dilakukan pada pasien dengan penyakit

jantung koroner, penyakit arteri periferi dan ateroscklerosis cerebrovascular. Selain itu,

pasien yang tanpa gejala tapi mempunyai risiko tinggi karena banyak factor risiko dan

besarnya risiko dalam 10 tahun bakal dapat penyakit kardiovascular yang fatal.

Peningkatan salah satu komponen factor risiko seperti cholesterol > 320mg/dl, LDL >

22
240 mg/dl, tekanan darah > 180/110mmhg dan pasien diabetes tipe2 dan tipe 1 dengan

mikroalbuminuria. Riwayat keluarga dekat pasien yang mempunyai penyakit

kardiovaskular aterosklerotik atau riwayat mati mendadak. Semua yang diatas adalah

factor factor risiko yang menyebabkan penyakit jantung koroner yang memungkin pada

pasien.

Jadi kita sebagai pelayan medis, harus mencarikan factor risiko yang ada pada

pasien dan membantu pasien mencegahkan factor risiko tersebut dengan cara

nonfarmakologik dan farmakologik. ACC/AHA merekomendasikan petunjuk untuk

untuk pencegahan penyakit kardiovaskular yang ditentukan dari factor risiko yang ada, di

bawah table 4.

Table 4. Panduan pencegahan primer penyakit kardiovaskular dan stroke

berdasarkan factor risko.

Selain daripada yang diatas, terdapat prevensi sekunder pada individu yang

terbukti menderita penyakit jantung koroner adalah upaya untuk mencegah agak ACS itu

tidak berulang lagi. Prevensi sekunder itu sangat diperlukan pada individu yang pernah

atau sudah terbukti menderita ACS, cenderung untuk mendapat sakit jantung lagi, dan

23
orang yang belum pernah sakit jantung tapi mempunyai kemungkinanya yang besar.

Selain itu, individu yang mempunyai proses aterosklerosis pada pembuluh darah organ

lain seperti di otak, aorta atau arteri karotis, arteri perifer dll. Oleh sebab itu, pervensi

sekunder itu penting supaya tidak menyebabkan ACS nanti. Tabel 5 di bawah adalah

intervensi intervensi yang harus dilakukan pada penderita atau bakal penderita ACS

supaya ACS tidak berlaku.

Tabel 5. Intervensi Faktor risiko.

Faktor risiko dan Perubahan yang diharapkan


Merokok:
berhenti total. Tidak terpapar pada lingkungan perokok.
Kontrol tekanan darah :
Tujuan TD < 140/90 mmHg; <130/80 mmHg pada gangguan gingal atau gagal jantung dan
diabetes.
Diet :
Tujuan : mengkonsumsi makanan yang menyehatkan
Pemberian Aspirin :
Tujuan: Aspirin dosis rendah pada penderita dengan risiko tinggi kardiovaskular
Pengaturan Lipid di Dalam tubuh:
tujuan : LDL C < 160 mg/dl jika factor risiko 1, LDL < 130 mg/dl jika memiliki 2 faktor
risiko dan risiko CHD 20%, atau LDL C < 100 mg/dl untuk factor risiko 2 faktor risiko
dimiliki dan memiliki 10% risiko CHD 20% atau jika pasien juga terkena diabetes.
Aktivitas fizik :
Tujuan : aktivatas fizik minimal 30 menit atau aktivitas fizik dengan intensitas sedang setiap
hari dalam 1 minggu.
Pengaturan Berat Badan
Tujuan : mencapai dan mempertahankan berat (BMI 18.5 24.9 kg/m2) Bila BMI 25 kg/m -
2
, lingkar pinggang 40 inci pada pria dan 35 inci pada wanita
Pengeloaan Diabetes
Tujuan : KGD puasa (< 110 mg/dl) dan HBA1c (<7%)
Atrial Fibrilasi Kronik
Tujuan : mencapai sinus ritme atau jika muncul atrial fibrilasi kronik, antikoagulan dengan
INR 2.0 3.0 ( target : 2.5)

24
Pada pasien yang post AMI harusnya diberikan terapi farmakologic supaya

moralitas dan rekurrensi boleh diturunkan. Jadi, menurut AHA/ACC, pasien post AMI

harus menggunakan Aspirin 75 100 mg/day, Beta Blocker supaya denyutan nadi < 60

b.pm. eg. Metoprolol 50 mg 2 kali sehari, ACE I, eg. Ramipril 2.5mg 2 kali sehari dan

mentitrasi sampai dosis yang diinginkan, jika ACE I tidak ditoleransi oleh pasien,

diganti dengan ARB, eg Valsartan 20mg 2 kali sehari. Statin juga digunakan seperti

simvastatin 20-80 mg/hari. Clopidogrel 75mg/hari for 9 12 bulan harus ditambahin

pada pasien yang berisiko sedang tinggi dan NSTEMI. Aldosterone antagonist eg.

Eplerenone 25mg/hari harus diberikan pada pasien post AMI dengan gejala klinis gagal

jantung dan ejeksi fraction berkurang.

25
BAB III

KESIMPULAN

Pasien bernama Lusi Wulandari Sibarani berusia 30 tahun didiagnosa dengan

Demam Thypoid dan Broncopneumonia yang diketahui dari anamnesis demam dan

batuk, hal ini sudah dialami pasien sejak 14 hari yang lalu. Demam dirasakan pada sore

menjelang malam dan menurun pada pagi hari. Pasien juga mengeluhkan sakit kepala

yang terasa berdenyut-denyut terus menerus, kadang pasien juga merasakan sakit kepala

sebelah seperti ditarik. Mual (+), muntah (+) air, sakit menelan (+), tidak selera

makan(+), penurunan berat badan (+), nyeri ulu hati (+), batuk (+), sesak nafas (+), BAK

(+) normal, BAB (-) 2 hari. Pasiem memiliki riwayat penyakit dispepsia.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Rani A. et al., 2006, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia,

halaman 63

2. Fauci A. et al., 2005, Harrisons Principles of Internal Medicine 16th edition,

p1425

3. Kumar P and Clark M, 2006, Clinical Medicine 7th Edition, page 743

4. Brady W. et al. 2012, Acute Coronary Syndrome : 2010 American Heart

Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency

Cardiovascular Care, AHA

5. Aroney C. et al. 2006, Guidelines for the management of acute coronary

syndromes 2006, National Heart Foundation of Australia.

6. Acute Coronary Syndromes : a national clinical guidelines, 2007, Scottish

Intercollegiate Guidelines Network.

7. Harrisons, Prinsiples of Internal Medicine, 17th ed, Philadelphia, McGraw Hill,

2000,138797.

8. Andra. Sindrom Koroner Akut:Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif?.

Majalah Farmacia Edisi Agustus 2006 , Halaman: 54

9. Sunarya Soerianata, William Sanjaya. Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut

dengan Revaskularisasi Non Bedah. Cermin Dunia Kedokteran No. 143, 2004

10. R.A. Nawawi, Fitriani, B. Rusli, Hardjoeno. NILAI TROPONIN T (cTnT)

PENDERITA SINDROM KORONER AKUT (SKA). Indonesian Journal of

Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 2006: 123-126

27

Anda mungkin juga menyukai